Anda di halaman 1dari 10

Vol. 3(2) Mei 2019, pp.

227-236
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SYIAH KUALA ISSN : 2597-6893 (online)

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK KORBAN KEJAHATAN SEKSUAL


(Suatu Penelitian di Kabupaten Aceh Selatan)

Afza Suhendra
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala
Jl. Putroe Phang No. 1, Darussalam, Banda Aceh – 23111

Nursiti
Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala
Jl. Putroe Phang No. 1, Darussalam, Banda Aceh - 23111

Abstrak - Kejahatan seksual terhadap anak diatur dalam Pasal 81 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak. Selain itu juga diatur dalam pasal 47 dan 48 Qanun Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum
Jinayat. Kejahatan seksual yang dilakukan terhadap anak akan berdampak pada kesehatan, psikologis, pendidikan,
dan hubungan sosial maupun perkembangan lainnya. Karena itu anak korban kejahatan seksual perlu
mendapatkan perlindungan hukum dan pemenuhan hak-haknya sebagai korban. Di Kabupaten Aceh Selatan dari
tahun 2015 hingga 2017 terdapat 22 kasus kejahatan seksual terhadap anak. Tujuan penulisan ini untuk
menjelaskan bagaimana kasus-kasus kejahatan seksual terhadap anak diselesaikan, menjelaskan bentuk-bentuk
perlindungan hukum terhadap anak korban kejahatan seksual, serta menjelaskan faktor-faktor yang menghambat
upaya perlindungan terhadap anak korban kejahatan seksual. Metode dalam penulisan artikel ini adalah metode
yuridis empiris. Data primer diperoleh melalui penelitian lapangan dengan melakukan wawancara terhadap
responden dan informan. Data sekunder diperoleh melalui penelitian kepustakaan dengan membaca referensi dan
literatur yang berkaitan. Data yang terkumpul kemudian dianalisis dengan menggunakan analisis kualitatif dan
disajikan secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kasus kejahatan seksual terhadap anak yang
terjadi di Aceh Selatan pada tahun 2015 diselesaikan melalui pengadilan negeri. Sedangkan mulai dari tahun 2016
hingga 2017 kasus diselesaikan melalui mahkamah syar’iah. Bentuk–bentuk perlindungan hukum terhadap anak
korban kejahatan seksual di Aceh Selatan adalah mendapatkan pendampingan dari unit PPA dan P2TP2A Aceh
Selatan, dirujuk untuk mendapatkan bantuan psikologi ke Banda Aceh, dilakukan kunjungan oleh pihak P2TP2A
Aceh Selatan terhadap korban untuk mengetahui perkembangannya, dan ditempatkan di pesantren untuk
mendapatkan pemulihan mental korban. Hambatan-hambatan yang dihadapi dalam pemenuhan hak-hak korban
adalah jarak yang jauh antara kediaman korban dengan unit PPA dan P2TP2A Aceh Selatan, tidak adanya rumah
aman untuk korban dan dukungan dari masyarakat kepada korban termasuk ketidaksediaannya menjadi saksi, dan
terbatasnya anggaran untuk program perlindungan, serta terbatasnya SDM baik di unit PPA maupun P2TP2A
Aceh Selatan. Disarankan agar kasus-kasus kejahatan seksual terhadap anak sebaiknya diselesaikan di pengadilan
umum berdasarkan undang-undang perlindungan anak. Disarankan pada pemerintah untuk memastikan
pendidikan terhadap anak korban kejahatan seksual. Disarankan pada pemerintah Aceh Selatan untuk
menyediakan fasilitas rumah aman untuk anak korban kejahatan seksual serta meningkatkan sumber daya
manusia.
Kata Kunci : perlindungan hukum, kejahatan seksual, anak

Abstract - Sexual offenses against children are regulated in Article 81 of Law Number 23 Year 2002 on Child
Protection. It is also stipulated in articles 47 and 48 of Qanun Number 6 of 2014 on Jinayat Law. Sexual crimes
committed against children will have an impact on health, psychological, educational, and other social and
developmental relationships. Therefore, child victims of sexual crimes need to obtain legal protection and the
fulfillment of their rights as victims. In South Aceh District from 2015 to 2017 there are 22 cases of sexual crimes
against children. The purpose of this paper is to explain how cases of sexual crimes against children are resolved,
explaining the forms of legal protection of child victims of sexual crimes, and explaining the factors that hinder
the protection of child victims of sexual crimes. The method in writing this article is empirical juridical method.
Primary data was obtained through field research by interviewing respondents and informants. Secondary data
is obtained through literature research by reading references and related literature. The collected data is then
analyzed by using qualitative analysis and presented descriptively. The results show that child sex crimes cases
that occurred in South Aceh in 2015 were resolved through the district court. While from 2016 to 2017 cases are
resolved through a syar'iah court. The forms of legal protection for child victims of sexual crimes in South Aceh
are to receive assistance from the PPA and P2TP2A units of South Aceh, referred to psychological support to
Banda Aceh, visits by P2TP2A Aceh Selatan to victims to know their progress and placed in pesantren to get the
victim's mental recovery. The constraints faced in the fulfillment of the rights of victims are the great distance
between the victim's residence and the PPA and P2TP2A units of South Aceh, the absence of safe houses for
JIM Bidang Hukum Pidana : Vol. 3, No.2 Mei 2019 228
Afza Suhendra, Nursiti

victims and support from the community to the victims including their unwillingness to be witnesses, and limited
budgets for protection programs, as well as limited human resources in both PPA and P2TP2A South Aceh units.
It is recommended that cases of sexual crimes against children should be resolved in public courts under child
protection legislation. It is recommended to the government to ensure education of child victims of sexual crimes.
It is recommended to the government of South Aceh to provide safe housing facilities for child victims of sexual
crimes and to increase human resources.
Keywords: legal protection, sexual crimes, child

PENDAHULUAN
Kejahatan seksual terhadap anak saat ini merupakan kejahatan yang cukup mendapat
perhatian di kalangan masyarakat. Sering di koran atau majalah diberitakan terjadi kejahatan
seksual. Jika mempelajari sejarah, sebenarnya jenis tindak pidana ini sudah ada sejak dulu, atau
dapat dikatakan sebagai suatu bentuk kejahatan klasik yang akan selalu mengikuti
perkembangan kebudayaan manusia. Kejahatan ini akan selalu ada dan berkembang setiap saat
walaupun mungkin tidak terlalu jauh berbeda dengan sebelumnya. Kejahatan seksual tidak
hanya terjadi di kota-kota besar yang relatif lebih maju kebudayaan dan kesadaran atau
pengetahuan hukumnya, tapi juga terjadi di pedesaan yang relatif masih memegang nilai tradisi
dan adat istiadat.

METODOLOGI PENELITIAN
Pendekatan masalah dalam penelitian ini dilakukan dengan dua cara yaitu: yuridis
normatif yaitu sebagai upaya memahami persoalan berdasarkan pada lapangan hukum dan
dilakukan dengan mempelajari, mencatat peraturan perundang-undangan, dan teori-teori yang
berkenaan dengan permasalahan dalam penelitian ini dan yuridis empiris yaitu untuk
memperoleh kejelasan dan pemahaman dari permasalahan dalam penelitian berdasarkan
realitas yang ada. Metode penelitian ini dilakukan dengan cara melihat langsung obyek
penelitian yaitu dengan mengadakan observasi dan wawancara khususnya yang berkaitan
dengan permasalahan yang akan dibahas dalam mencari dan menemukan fakta tersebut.
Dalam penelitian ini digunakan metode purposive sampling yaitu teknik penentuan
sampel dengan pertimbangan tertentu. Teknik ini biasa diartikan sebagai suatu proses
pengambilan sampel dengan menentukan terlebih dahulu jumlah sampel yang hendak diambil,
kemudian pemilihan sampel dilakukan denganberdasarkan tujuan-tujuan tertentu, asalkan tidak
menyimpang dari ciri-cirisampel yang ditetapkan.1
Adapun responden dalam penelitian ini adalah:

1
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D, Alfabeta, Bandung, 2008, hlm 85
JIM Bidang Hukum Pidana : Vol. 3, No.2 Mei 2019 229
Afza Suhendra, Nursiti

a. Korban/ Keluarga Korban


b. Kepala DP3AKB Aceh Selatan
c. Penyidik Polres Aceh Selatan
d. Jaksa Aceh Selatan
Penelitian lapangan dilakukan untuk memperoleh data primer. Data diperoleh dengan
melakukan wawancara dengan responden dan informan dengan tujuan untuk memperoleh data
yang dapat dipertanggung jawabkan kebenaran terhadap permasalahan yang akan diteliti.
Penelitian kepustakaan dilakukan untuk memperoleh data sekunder dengan mempelajari buku-
buku teks, peraturan perundang-undangan, atikel serta tulisan ilmiah dengan tujuan untuk
memperoleh teori-teori dan konsep terkait permasalahan yang akan ditelitian

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


1. Penyelesaian Kasus Kejahatan Seksual Terhadap Anak di Aceh Selatan
Penyelesaian kasus kejahatan seksual di Aceh Selatan pada tahun 2015 berbeda dengan
tahun 2016 dan 2017, karena pada tahun 2015 kasus kejahatan seksual masih diselesaikan di
Pengadilan Negeri berdasarkan undang-undang yang berlaku dan pelakunya semuanya
dipenjarakan. Sedangkan pada tahun 2016 dan 2017 penyelesaian kasus kejahatan seksual
diselesaikan di Mahkamah Syar’iah dengan berdasarkan Qanun Nomor 6 Tahun 2014 tentang
Hukum Jinayat. Pelaku kejahatan seksual pada tahun 2016 dan 2017 ditahan hanya pada proses
penyidikan hingga proses peradilan. dan pelakunya tidak dipenjarakan melainkan hanya
dicambuk, setelah itu dibebaskan kembali.

2. Bentuk Perlindungan Hukum terhadap Korban Kejahatan Seksual


Perlindungan anak korban kejahatan seksual sudah jelas diatur dalam Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2014 perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak. Yang mana, kejahatan seksual terhadap anak merupakan tindak pidana.
Undang-Undang ini diperkuat juga dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Khusus untuk Provinsi Aceh, berlaku hukum syariat yang tertuang dalam Qanun Nomor
6 Tahun 2014. Qanun Jinayat atau peraturan daerah tentang pidana di Aceh mengatur hukuman
cambuk paling tinggi untuk pemerkosa anak di Aceh, yaitu paling rendah 150 kali dan paling
tinggi 200 kali.
JIM Bidang Hukum Pidana : Vol. 3, No.2 Mei 2019 230
Afza Suhendra, Nursiti

Aturan itu tercantum dalam Pasal 48 Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum
Jinayat yang berbunyi“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan Jarimah Pemerkosaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 terhadap anak diancam dengan ‘Uqubat Ta’zir cambuk
paling sedikit 150 (seratus lima puluh) kali, paling banyak 200 (dua ratus) kali atau denda
paling sedikit 1.500 (seribu lima ratus) gram emas murni, paling banyak 2.000 (dua ribu) gram
emas murni atau penjara paling singkat 150 (seratus lima puluh) bulan, paling lama 200 (dua
ratus) bulan”.
Adapun pelaku pelecehan seksual bagi anak akan mendapatkan cambuk paling banyak
90 (sembilan puluh) kali atau denda paling banyak 900 (sembilan ratus) gram emas murni atau
penjara paling lama 90 (sembilan puluh) bulan. Ini sesuai Pasal 46 QanunAceh Nomor 6 Tahun
2014 tentang Hukum Jinayat yang berbunyi “Setiap Orang yang dengan sengajamelakukan
Jarimah Pelecehan Seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47terhadap anak, diancam
dengan ‘UqubatTa’zircambuk paling banyak 90 (Sembilan puluh) kali atau denda paling
banyak 900 (Sembilan ratus)gram emas murni atau penjara paling lama 90 (sembilan
puluh) bulan”.
Keberadaan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014, Perpu Nomor 1 Tahun 2016,
Pasal 47 dan 48 Qanun Nomor 6 Tahun 2014 mempertegas perlunya pemberatan sanksi pidana
dan denda bagi pelaku kejahatan terhadap anak terutama kepada kejahatan seksual yang
bertujuan untuk memberikan efek jera, serta mendorong adanya langkah konkrit untuk
memulihkan kembali fisik, psikis dan sosial anak. Anak korban kejahatan seksual dilindungi
dengan baik dari segi faktor hukum. Adapun bentuk lain dalam upaya perlindungan hukum
terhadap anak kejahatan seksual seperti:
1) Program Kontrol
Salah satu tujuan pembentukan P2TP2A adalah memfasilitasi kebutuhan perempuan
dan anak korban kekerasan dalam memenuhi hak atas korban yaitu hak atas kebenaran, hak
atas perlindungan, hak atas kebenaran dan hak atas pemulihan/pemberdayaan.2 P2TP2A Aceh
Selatan menjalankan Program kontrol secara berkala terhadap korban kejahatan seksual. Anak
korban kejahatan seksual yang telah didata oleh P2TP2A Aceh Selatan, akan dikembalikan ke
orang tuanya. Instansi P2TP2A melakukan kontrol rutin sebanyak dua kali dalam sebulan untuk
memastikan kondisi anak tersebut baik kodisi fisiknya maupun psikisnya. 3

2
http://www.p2tp2aaceh.com/p/tujuan-pembentukan-p2tp2a-memfasilitasi.html,aksestanggal 17
November 2017
3
MurlidaWati, Staf P2TP2A Aceh Selatan, Wawancara, Aceh Selatan, 12 Oktober 2017
JIM Bidang Hukum Pidana : Vol. 3, No.2 Mei 2019 231
Afza Suhendra, Nursiti

2) Program Perlindungan
Unit PPA Polres Aceh selatan telah memastikan perlindungan penuh terhadap anak
korban kejahatan seksual.Sesuai namanya unit ini difokuskan penanganan para wanita dan
anak yang memang sangat rentan terhadap perilaku kekerasan baik secara fisik, psikis, maupun
seksual, ini dikarenakan posisi mereka yang seringkali diposisikan sangat lemah.Petugas PPA
akan melakukan pengawalan dan monitoring untuk menjaga keamanan korban dari segala
bentuk hal-hal yang tidak diinginkan.4
3) Program Rehabilitasi
Dari beberapa kasus, anak korban kejahatan seksual bukan hanya mengalami
penderitaan fisik yang parah, akan tetapi juga mengalami trauma yang sangat parah. Upaya
yang dilakukan oleh pihak P2TP2A dengan izin orang tua korban, anak korban kejahatan
seksual akan menjalani program rehabilitasi di pesantren atau dayah.5 Dengan adanya
rehabilitasi oleh pihak pesantren atau dayah tersebut, upaya pemulihan psikologi korban dapat
dilakukan.Penguatan dan pemahaman ilmu agama serta bersosialisasi dengan para santri
setidak dapat memulihkan trauma yang dideritanya. Semangat hidup anak korban kejahatan
seksual akan terbangun kembali.
4) Program Pendampingan
Kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak merupakan perbuatan kriminal yang
berdampak sangat berat terhadap fisik, psikologis dan sosial bagi korban yang
mengalaminya.Aceh Seltan merupakan salah satu daerah yang mengalami konflik bersenjata
cukup lama. Agar masyarakat dapathidup kembali secara normal, perlu penanganan secara
intensif dan khusus kepada masyarakat.
Untuk menjawab kebutuhan tersebut maka didirikan Pusat Pelayanan Pemberdayaan
Perempuan dan Anak Terpadu Aceh selatan, sebagai wahana pemberdayaan dan perlindungan
terhadap perempuan dan anak untuk mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender.
Wahana P2TP2A Aceh Selatan memiliki berbagai fungsi seperti Pusat penyediaan data
dan informasi, pusat rujukan dan memberikan pelayanan terhadap perempuan dan anak yang
mengalami tindak kekerasan dan Pendiskriminasian.
Sebagai upaya perlindungan terhadap korban kejahatan seksual untuk mendapatkan
haknya, pihak P2TP2A Aceh Selatan melakukan pendampingan penuh mulai dari proses

4
Kanit PPA Polres Aceh Selatan, Wawancara, Aceh Selatan, 13 Oktober 2017
5
Kepala DP3AKB Aceh Selatan, Wawancara, Aceh Selatan, 13 Oktober 2017
JIM Bidang Hukum Pidana : Vol. 3, No.2 Mei 2019 232
Afza Suhendra, Nursiti

persidangan hingga selesai.6 Hal ini sesuai dengan tugas pokok P2TP2A yaitu melakukan
upaya curative(penanganan) bagi perempuan dan anak korban kekerasan.

3. Faktor yang Menghambat Perlindungan Hukum terhadap Anak Korban Kejahatan


Seksual
Kejahatan seksual terhadap anak merupakan kejahatan yang cukup mendapat perhatian
di kalangan masyarakat. Sering di koran atau majalah diberitakan terjadi kekerasan seksual.
Masyarakat perlu lebih jeli dan peka terhadap lingkungan. Perlu disadari bahwa kejahatan
dapat dilakukan oleh siapapun dan terhadap siapapun. Setiap orang dapat menjadi sasaran
kejahatan, baik itu orang dewasa maupun anak di bawah umur. Maraknya kejahatan kesusilaan
dewasa ini berkenaan dengan perilaku dalam hubungan seksual biasanya berbentuk
pencabulan baik yang dilakukan oleh sepasang orang dewasa atau sesama orang dewasa
maupun dengan anak dibawah umur. Pelaku kejahatan tersebut merasa bahwa anak-anak dapat
menjadi salah satu sasaran untuk menyalurkan hasrat seksualnya. Hal ini dipengaruhi oleh
pendapat bahwa anak-anak tidak cukup mampu untuk mengerti bahwa perbuatan itu
merupakan tindak pidana atau anak-anak tidak mempunyai keberanian untuk menolak
keinginan pelaku.
Kasus kekerasan seksual terhadap anak paling banyak menimbulkan kesulitan dalam
penyelesaiannya baik pada tahap penyidikan, penuntutan, maupun pada tahap penjatuhan
putusan. Selain kesulitan dalam batasan di atas, juga kesulitan pembuktian misalnya perkosaan
atau perbuatan cabul yang umumnya dilakukan tanpa kehadiran orang lain.
Kasus kejahatan seksual terhadap anak di bawah umur semakin meningkat di Aceh
Selatan. Dengan meningkatnya kasus kekerasan seksual pada anak dibawah umur tersebut,
semua pihak harus lebih waspada dan mengontrol anaknya dengan baik, walaupun terhadap
orang sudah dikenal atau saudara dekat sekalipun. karena, mayoritas kasus kekerasan seksual
terhadap anak dibawah umur yang ditangani pihak Polres Aceh Selatan, melibatkan pelaku
yang tak lain merupakan tetangga korban, ayah korban dan bahkan masih memiliki hubungan
persaudaraan.
Membahas mengenai kejahatan seksual terhadap anak, maka perlu untuk mengkaji
lebih mendalam mengenai faktor yang menghambat perlindungan hukum terhadap anak korban
kejahatan seksual, bentuk perlindungannya dan melihat apakah perlindungan hukum terhadap

6
MurlidaWati, Staf P2TP2A Aceh Selatan, Wawancara, Aceh Selatan, 12 Oktober 2017
JIM Bidang Hukum Pidana : Vol. 3, No.2 Mei 2019 233
Afza Suhendra, Nursiti

anak korban kejahatan seksual telah sesuai dengan Unang-undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan anak.
Anak korban kejahatan seksual berhak mendapatkan perlindungan dari berbagai pihak,
bukan hanya dari keluarganya tetapi juga dari pihak terkait lainnya. Kenyataan yang terjadi di
masyarakat, perlindungan terhadap anak korban kejahatan seksual seringkali mengalami
hambatan yang disebabkan oleh beberapa faktor. Beberapa faktor yang mempengaruhi upaya
yang menghambat perlindungan hukum terhadap anak korban kejahatan seksual di Kabupaten
Aceh Selatan.
1. Sosial dan Budaya Masyarakat
Kejahatan seksual terhadap anak merupakan bentuk pelanggaran atas norma susila yang
sudah sangat meresahkan. Kenyataan di masyarakat, kasus pelecehan seksual dianggap tabu
untuk diungkapkan, hal ini terkait dengan kondisi sosialnya dimata masyarakat. Kebanyakan
dimasyarakat Aceh Selatan saat ini, kejahatan seksual yang menimpa anak tidak diungkapkan
atau dilaporkan oleh keluarganya karena dianggap membuka aib sendiri.7 Keluarga lebih
memilih untuk diam dan menutup diri agar penilaian masyarakat tetap baik. Bahkan korban
yang sudah jelas mengalami kejahatan seksual dikucilkan dan diusir dari desa tempat
tinggalnya karena persepsi masyarakat yang menganggap bahwa korban kejahatan seksual
adalah penzina.8 Hal inilah yang justru menghambat upaya perlindungan terhadap anak korban
kejahatan seksual.
Keberanian orang tua untuk mendobrak persepsi buruk di masyarakat mutlak
diperlukan dalam upaya pelaporan tindak kejahatan seksual terhadap anak. Apabila tindak
kejahatan ini di diamkan, maka anak menjadi rentan akan kasus serupa dan tindak kejahatan
seksual ini tidak akan pernah terungkap.
2. Keberadaan Ahli Psikologi
Selain mengalami penderitaan fisik, anak korban kejahatan seksual juga mengalami
penderitaan mental. Umumnya korban akan mengalami trauma berat hingga depresi yang
menjadi-jadi. Tidak sedikit korban kejahatan seksual yang ingin mengakhiri hidupnya dengan
upaya percobaan bunuh diri untuk menuntaskan penderitaan yang dialaminya. Pada kasus anak
yang menjadi korban kejahatan seksual di Aceh Selatan, masyarakat desa disekitar tempat
tinggal korban tidak bisa diajak kerjasama untuk membantu penyembuhan trauma yang

7
Kepala DP3AKB Aceh Selatan, Wawancara, Aceh Selatan, 13 Oktober 2017
8
Kepala DP3AKB Aceh Selatan, Wawancara, Aceh Selatan, 13 Oktober 2017
JIM Bidang Hukum Pidana : Vol. 3, No.2 Mei 2019 234
Afza Suhendra, Nursiti

dialaminya.9 Lambat laun korban akan berdiam diri, merasa aneh, risih dan takut apabila
berjumpa dengan orang lain. Hal ini tentunya akan mempengaruhinya dimasa depan. Untuk
menangani trauma ini peran keluarga dan masyarakat saja tidak cukup, perlu adanya
pendampingan oleh orang yang lebih ahli dibidang masalah kejiwaan yaitu psikolog. Dengan
kompetensi yang dimiliki oleh seorang psikolog, tentunya penderitaan mental anak korban
kejahatan seksual akan berangsur pulih dan proses pengungkapan kasus yang menimpanya
dapat dilakukan. Situasi dan kondisi di Aceh Selatan sendiri, hingga kini belum ada ahli
psikolog yang bertugas.10 Tanpa disadari keberadaan ahli psikolog disuatu daerah juga
mempengaruhi upaya perlindungan terhadap anak korban kejahatan seksual.
3. Keberadaan Fasilitas Perlindungan Korban
Fasilitas perlindungan atau rumah aman untuk korban kejahatan seksual merupakan
sarana yang tepat sebagai upaya perlindungan. Keberadaan rumah aman bagi anak korban
kejahatan seksual sangat dibutuhkan, selain untuk melindungi korban, fasilitas ini juga dapat
mencegah hal buruk lain yang akan terjadi. Salah satu Kendala yang dihadapi oleh pihak
P2TP2A Aceh Selatan adalah, belum adanya rumah aman untuk menitipkan anak korban
kejahatan seksual.11 Umumnya anak korban kejahatan seksual akan dikembalikan lagi kepada
orang tuanya. Selain tidak aman, upaya perlindungan dan pemulihan korban menjadi tidak
efisien. Tidak tertutup kemungkinan baik korban maupun keluarga korban akan mengalami
ancaman dan intimidasi dari pelaku.
4. Tingkat Ekonomi
Tingkat ekonomi yang rendah juga turut mempengaruhi upayaperlindungan
terhadapanak korban kejahatan seksual. Beberapa kasus kejahatan seksual yang terjadi di Aceh
Selatan, menimpa anak dari keluarga dengan tingkat ekonomi rendah dan berdomisili di
wilayah yang jauh dari perkotaan. Beban biaya yang harus dikeluarkan menjadi alasan untuk
tidak melaporkan kasus kejahatan seksual yang dialami.12 Hal ini menjadi dilema bagi mereka,
karena biaya hidup saja sangat susah didapat apalagi harus mengeluarkan biaya untuk
melaporkan kasus kejahatan seksual kepada pihak berwajib.

9
Kepala DP3AKB Aceh Selatan, Wawancara, Aceh Selatan, 13 Oktober 2017
10
MurlidaWati, Staf P2TP2A Aceh Selatan, Wawancara, Aceh Selatan, 12 Oktober 2017
11
MurlidaWati, Staf P2TP2A Aceh Selatan, Wawancara, Aceh Selatan, 12 Oktober 2017
12
Kanit PPA Polres Aceh Selatan, Wawancara, Aceh Selatan, 13 Oktober 2017
JIM Bidang Hukum Pidana : Vol. 3, No.2 Mei 2019 235
Afza Suhendra, Nursiti

5. Kurangnya Peran Pihak Terkait


Kurangnya peran pihak terkait turut mempengaruhi upaya perlindungan anak korban
kejahatan seksual. Pihak kepolisian sebagai garda terdepan pelindung dan pengayom
masyarakat semestinya bertanggung jawab dalam upaya perlindungan ini. Seperti diketahui,
pihak kepolisian seharusnya menempatkan unit PPA di wilayah hukum yang paling rendah
yaitu kepolisian sektor (Polsek). Keberadaan Unit PPA yang lahir berdasarkan Peraturan
Kapolri (Perkap) Nomor 10 tahun 2007, bukanlah suatu unit yang baru dalam organisasi Polri.
Sebab, sebelumnya unit bernama Rendawan ( Remaja, Pemuda dan Wanita ) yang berada di
bawah fungsi Binmas (Pembinaan Masyarakat dan sekarang Binamitra) dan kemudian menjadi
suatu unit khusus di bawah fungsi Reskrim yang bernama Unit RPK (Ruang Pelayanan
Khusus). Peran Unit PPA ini sangat dibutuhkan dalam upaya perlindungan bagi anak korban
kejahatan seksual. Kenyataan dilapangan saat ini, banyak polsek diwilayah Aceh selatan yang
jauh dari ibukota, tidak ada unit PPA yang ditugaskan.13
Langkah atau proses awal dari penegakan hukum dalam upaya memberantas tindakan
kejahatan seksual dengan korban anak sebagaimana tujuan pembentukan undang-undang
Nomor 23 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun
2014 tentang Perlindungan Anak. Dalam melaksanakan tugasnya terhadap penyidikan
kejahatan seksual dengan korban anak tidak jarang mengalami kendala. Pertama,
mengumpulkan bukti-bukti permulaan yang cukup. Pada umumnya kejahatan seksual dengan
korban anakyang dialami korban tidak disaksikan oleh orang lain selain korban sendiri yang
mengalaminya. Kendala kedua yaitu keterangan korban yang tidak terus terang.14
Menurut jaksa penuntut umum bagian pidana umum, faktor penghambat dalam
penyelidikan disaat persidangan yaitu kebanyakan saksi menolak untuk memberikan
keterangan terhadap kasus kejahatan seksual yang terjadi, dengan alasan takut ditanyai sesuatu,
takut masuk penjara, selain rasa takut yang dimiliki saksi, alasan lainnya yaitu saksi tidak mau
berurusan dengan aparat penegak hukum.15
Berdasarkan pernyataan diatas, dapat diketahui bahwa masih rendahnya kesadaran
saksi dalam proses penyelidikan. Padahal penyidik telah memberikan surat yang sah dengan
alasan secara jelas untuk memenuhi panggilan dan wajib datang, sesuai dengan Pasal 112 ayat
(1), (2) KUHP.

13
Kanit PPA Polres Aceh Selatan, Wawancara, Aceh Selatan, 13 Oktober 2017
14
Kanit PPA Polres Aceh Selatan, Wawancara, Aceh Selatan, 13 Oktober 2017
15
Jaksa Pidum Aceh Selatan, Wawancara, Aceh Selatan, 16 Oktober 2017
JIM Bidang Hukum Pidana : Vol. 3, No.2 Mei 2019 236
Afza Suhendra, Nursiti

KESIMPULAN
Penyelesaian kasus kejahatan seksual di Aceh Selatan pada tahun 2015 berbeda dengan
tahun 2016 dan 2017, karena pada tahun 2015 kasus kejahatan seksual diselesaikan di
Pengadilan Negeri berdasarkan undang-undang yang berlaku dan pelakunya semuanya
dipenjarakan. Sedangkan pada tahun 2016 dan 2017 penyelesaian kasus kejahatan seksual
diselesaikan di Mahkamah Syar’iah dengan berdasarkan Qanun Nomor 6 Tahun 2014 tentang
Hukum Jinayat. Pelaku kejahatan seksual pada tahun 2016 dan 2017 ditahan hanya pada proses
penyidikan hingga proses peradilan. sanksi yang didapatkan oleh pelakunya yaitu tidak
dipenjarakan melainkan hanya dicambuk, setelah itu dibebaskan kembali. Jadi dapat
disimpulkan bahwa perlindungan hukum terhadap anak korban kejahatan seksual di Aceh
Selatan belum sepenuhnya sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Adapun upaya perlindungan hukum terhadap anak kejahatan seksual diatur dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002, Perppu Nomor 1 Tahun 2016, Pasal 47 dan 48
QanunAceh Nomor 6 Tahun 2014 mempertegas perlunya pemberatan sanksi pidana dan denda
bagi pelaku kejahatan terhadap anak terutama kepada kejahatan seksual yang bertujuan untuk
memberikan efek jera, serta mendorong adanya langkah konkrit untuk memulihkan kembali
fisik, psikis dan sosial. Bentuk lain dalam upaya perlindungan hukum terhadap anak antara lain
program kontrol, program perlindungan, program rehabilitasi, dan program pendampingan.
Faktor yang menghambat saat melakukan penyelidikan terjadi karena dalam hal
mengumpulkan bukti-bukti kasus kejahatan seksual tidak ada saksi lain selain korban sendiri
yang mengalaminya, keterangan korban yang tidak terus terang disebabkan rasa takut, trauma,
dan ancaman dari pelaku. Saksi tidak hadir dalam pemeriksaan disebabkan masih rendahnya
kesadaran saksi untuk memberikan keterangan.

DAFTAR PUSTAKA
1. Buku-buku
Sugiyono, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D, Alfabeta, Bandung, 2008.

2. Peraturan Perundang-undangan
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Qanun Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat

Anda mungkin juga menyukai