Anda di halaman 1dari 3

Peran Fermentasi pada Tempe

Tempe merupakan salah satu olahan kedelai yang difermentasi. Kehadirannya di atas meja makan
sudah sangat akrab ditemui. Tidak hanya itu, pedagang kaki lima dengan gerobaknya pun tidak
luput untuk menjual olahan fermentasi kedelai ini. Sebelum dapat terhidang dan siap disantap,
kedelai sebagai bahan baku tempe harus melewati berbagai proses termasuk membutuhkan
bantuan dari jamur atau kapang Rhizopus sp. sehingga dapat membentuk massa yang kompak dan
padat. Selama proses fermentasi terjadi pertumbuhan jamur pada permukaan dan dapat menembus
ke dalam kedelai sehingga lama-kelamaan antar kedelai akan menyatu dan menjadi tempe yang
kita kenali di pasaran. Proses fermentasi kedelai menjadi tempe dapat meningkatkan gizi sekaligus
mengubah flavor langu (beany flavor) dari kedelai menjadi flavor khas tempe yang nikmat.
Menurut Sudarmadji (1981), fermentasi tempe juga dapat menurunkan asam fitat sebanyak 30%
dari kadar fitat kedelai mentah sebelum fermentasi. Hal ini merupakan peran dari jamur tempe
yaitu Rizhopus sp. yang menghasilkan enzim fitase untuk mengurai asam fitat menjadi inositol dan
fosfor anorganik. Tanpa dilakukannya fermentasi, zat gizi kedelai seperti kalsium dan fosfat masih
terikat dengan asam fitat di dalam kedelai sehingga apabila dikonsumsi, tubuh tidak dapat
menyerap dan memanfaatkan kalsium dan fosfat tersebut. Hal ini mengakibatkan secara tidak
disadari, seseorang dapat mengalami defisiensi fosfat dan kalsium.
Selain itu konsumsi asam fitat berlebih memiliki hubungan positif dengan penurunan kemampuan
penyerapan zat besi dalam tubuh. Oleh karena itu, proses fermentasi merupakan salah satu proses
pengolahan yang memiliki peran penting untuk meningkatkan gizi terutama pada bahan baku
serealia yang tinggi asam fitat. Beberapa peneliti telah mengembangkan varian jenis tempe dengan
cara mengaplikasikan proses fermentasi pada bahan serealia lain seperti kacang tanah, kacang
hijau, kacang merah, kacang tolo, lamtoro, koro pedang, kratok, dan lain-lain yang diharapkan
jamur tempe dapat menurunkan asam fitat pada serealia tersebut seperti perannya pada tempe
kedelai.
Proses fermentasi tidak langsung dilakukan pada kedelai kering yang baru saja dibeli di pasar.
Tentunya ada beberapa proses sebelum fermentasi yang harus dilakukan kaitannya untuk
menciptakan kondisi optimal pertumbuhan jamur tempe agar proses fermentasi dapat berjalan
dengan baik.
Pembuatan tempe diawali dengan pencucian kedelai hingga diperoleh kedelai yang bersih dari
kotoran. Kemudian dilakukan perebusan kedelai yang bertujuan sebagai proses hidrasi yaitu
penyerapan air sebanyak mungkin ke dalam biji kedelai sekaligus untuk memudahkan proses
selanjutnya yaitu pengupasan kulit kedelai. Pengupasan ini bertujuan untuk memudahkan
miselium jamur sebagai agen fermentasi tempe agar dapat menembus ke dalam kedelai. Kemudian
dilakukan pencucian dan perendaman dalam air pada suhu kamar selama 22-24 jam. Tahap
perendaman ini bertujuan agar bakteri asam laktat dapat tumbuh secara alami sehingga diperoleh
kondisi asam yang sesuai dengan kondisi pertumbuhan jamur tempe.
Selanjutnya dilakukan perebusan kembali menggunakan air rendamannya, lalu ditiriskan. Apabila
kedelai sudah agak dingin (±40˚C), kemudian dilakukan inokulasi atau peragian dengan ragi/jamur
tempe atau laru atau usar. Tahap peragian ini tentunya bertujuan agar proses fermentasi tempe
dapat terjadi sesuai yang dikehendaki. Inokulum atau ragi yang ditambahkan pada kedelai dapat
berupa ragi komersial berbentuk serbuk yang dapat dengan mudah dibeli di pasar atau dapat
menggunakan usar. Usar merupakan ragi tradisional yang diperoleh dengan cara membiarkan
spora kapang tumbuh di antara dua lapis daun yaitu daun waru dan jati. Selain kedua jenis
inokulum atau ragi tersebut, dapat juga digunakan kultur Rhizopus oligosporus murni yang
biasanya digunakan oleh para pengrajin dengan teknik fermentasi moderen. Setelah dilakukan
peragian, kedelai kemudian dibungkus dan ditempatkan dalam wadah untuk fermentasi.
Berbagai bahan pembungkus dapat digunakan seperti daun pisang, waru, jati, plastik, dan lain-
lain, asalkan bahan pembungkus yang digunakan dapat memungkinkan udara untuk masuk karena
jamur tempe membutuhkan oksigen dalam pertumbuhannya. Untuk memastikan hal tersebut,
bahan pembungkus tempe biasanya diberi lubang dengan cara ditusuk dengan paku. Menurut
penelitian, perbedaan bungkus tempe yang digunakan dapat mempengaruhi rasa atau sensoris dan
kenampakan dari tempe. Tempe yang dikemas menggunakan daun jati memberikan kecerahan
yang lebih rendah bila dibandingkan tempe yang dikemas dengan daun waru, pisang, dan plastik
setelah difermentasi selama 72 jam (Agrippina dkk., 2017 ). Menurut penelitian lain oleh Sayuti
(2015), penggunaan kemasan daun (daun pisang atau daun waru) memberikan kualitas tempe
kacang gude lebih baik bila dibandingkan dengan menggunaakn kemasan plastik. Hal ini
dikarenakan pengemasan dengan daun lebih kedap cahaya, udara dapat bersirkulasi dengan baik,
dan kelembaban lebih terjaga. Proses pemeraman atau fermentasi tempe berlangsung selama 40-
48 jam (Koswara, 2009; Widowati, 2016).

Anda mungkin juga menyukai