Anda di halaman 1dari 19

Chapter 41 Bab 41

Cutaneous Reaction to Drugs Reaksi-Reaksi Kutaneous Terhadap Obat

CUTANEOUS ADVERSE DRUG ERUPTIONS AT A SEKILAS TENTANG ERUPSI-ERUPSI KUTANEOUS


GLANCE AKIBAT OBAT
 Drug-induced cutaneous eruptions are  Erupsi-erupsi kutaneous karena-obat cukup
common umum.
 They range from common nuisance rashes to  Erupsi-erupsi ini berkisar mulai dari ruam
rare life-threatening diseases. nuisans sampai penyakit langka yang
 The spectrum of clinical manifestations membahayakan nyawa.
includes exanthematous, urticarial, pustular,  Spektrum manifestasi-manifestasi klinis
and bullous eruptions. mencakup erups eksantematosa, erupsi
 These reactions may mimic other cutaneous urtikaria, pustular, dan erupsi bulosa.
diseases such as acne, porphyria, lichen planus,  Reaksi-reaksi ini bisa menyerupai penyakit
and lupus. kutaneous lain seperti akne, porfiria, liken
 Fixed drug eruptions are usually solitary dusky planus, dan lupus.
macules that recur at the same site.  Fixed drug eruptions biasanya merupakan
 Drug reactions may be limited solely to skin or makula kehitaman soliter yang kambuh pada
may be part of a severe systemic reaction, such tempat yang sama.
as drug hypersensitivity syndrome or toxic  Reaksi-reaksi obat bisa terbatas hanya pada
epidermal necrolysis. kulit atau bisa menjadi bagian dari reaksi
sistemik parah, seperti sindrom hipersensitifitas
obat atau nekrolisis epidermal toksik.

Complications of drug therapy are a major cause of Komplikasi-komplikasi dari terapi obat merupakan
patient morbidity and account for a signifcant salah satu penyebab utama morbiditas pasien dan
number of patient deaths.1 Drug eruptions range bertanggung jawab terhadap banyak kematian
from common nuisance eruptions to rare or life- pasien. Erupsi-erupsi obat berkisar mulai dari
threatening drug-induced diseases. Drug reactions erupsi umum yang mengganggu hingga penyakit
may be solely limited to the skin, or they may be imbas obat yang membahayakan keselamatan
part of a systemic reaction, such as drug pasien. Reaksi-reaksi obat terkadang hanya
hypersensitivity syndrome or toxic epidermal terbatas pada kulit, dan terkadang bisa menjadi
necrolysis (TEN) (see Chapter 40). bagian dari sebuah reaksi sistemik, seperti sindrom
hipersensitifitas obat atau nekrolisis epidermal
toksik (TEN).

Drug eruptions are often distinct disease entities Erupsi-erupsi akibat obat merupakan entitas
and must be approached systematically, as any penyakit tersendiri dan harus diperlakukan sebagai
other cutaneous disease. A precise diagnosis of the penyakit kutaneous lainnya. Diagnosis pola reaksi
reaction pattern can help narrow possible causes, yang tepat bisa membantu mempersempit daftar
because different drugs are more commonly penyebab yang mungkin, karena banyak obat yang
associated with different types of reactions. umum terkait dengan berbagai jenis reaksi.

EPIDEMIOLOGY EPIDEMIOLOGI
A systematic review of the medical literature, Sebuah telaah sistematis terhadap literatur
encompassing nine studies, concluded that kedokteran, yang mencakup sembilan penelitian,
cutaneous reaction rates varied from 0% to 8% and menyimpulkan bahwa tingkat reaksi kutaneous
were highest for antibiotics.2 Outpatient studies of bervariasi mulai dari 0% sampai 8% dan paling
cutaneous adverse drug reactions (ADRs) estimate tinggi untuk obat-obat antibiotik. Penelitian-
that 2.5% of children who are treated with a drug, penelitian tentang reaksi simpang obat (RSO) pada
and up to 12% of children treated with an pasien-pasien rawat jalan memperkirakan bahwa
antibiotic, will experience a cutaneous reaction. 2,5% anak-anak yang diterapi dengan obat, dan
hingga 12% anak-anak yang diterapi dengan
antibiotik, akan mengalami reaksi kutaneous.

ETIOLOGY ETIOLOGI
In the evaluation of a patient with a history of a Dalam evaluasi pasien yang memiliki riwayat
suspected ADR, it is important to obtain a detailed reaksi-obat-berbahaya, penting untuk memeriksa
medication history, including use of over-the- riwayat pengobatan pasien secara rinci, termasuk
counter preparations and herbal and naturopathic penggunaan obat-obatan yang dijual bebas dan
remedies. New drugs started within the preceding obat herbal serta naturopati. Obat-obat baru yang
3 months, especially those within 6 weeks, are dikonsumsi dalam 6 pekan sebelumnya berpotensi
potential causative agents for most cutaneous sebagai penyebab untuk kebanyakan erupsi
eruptions (exceptions include drug-induced lupus, kutaneous (kecuali lupus imbas obat dan
drug-induced pemphigus, and drug-induced pseudolimfoma kutaneous imbas obat), begitu juga
cutaneous pseudolymphoma), as are drugs that dengan obat-obatan yang telah digunakan sesekali.
have been used intermittently.

PATHOGENESIS OF DRUG ERUPTIONS PATOGENESIS ERUPSI-ERUPSI OBAT


Constitutional factors influencing the risk of Faktor-faktor konstitusional yang mempengaruhi
cutaneous eruption include pharmacogenetic risiko erupsi kutaneous antara lain variasi
variation in drug-metabolizing enzymes and farmakokinetika dalam hubungan antara enzim-
human leukocyte antigen (HLA) associations. enzim metabolisme obat dan antigen leukosit
Acetylator phenotype alters the risk of developing manusia (HLA). Fenotip asetilator mengubah risiko
drug-induced lupus due to hydralazine, untuk mengalami lupus imbas obat akibat
procainamide, and isoniazid. HLADR4 is signifcantly hidralazin, prokainamida, dan isonaizid. HLA-DR4
more common in individuals with hydralazine- jauh lebih umum pada orang yang mengalami
related drug-induced lupus than in those with lupus imbas hidralazin dibanding pada orang yang
idiopathic systemic lupus erythematosus.4 HLA mengalami lupus eritematosus sistemik idiopatik.
factors may also influence the risk of reactions to Faktor-faktor HLA juga bisa mempengaruhi risiko
nevirapine, abacavir, carbamazepine, and reaksi-reaksi terhadap neirapin, abacavir,
allopurinol. karbamazepin, dan alopurnol.

Many drugs associated with severe idiosyncratic Banyak obat yang terkait dengan reaksi obat
drug reactions are metabolized by the body to idiosynkratik parah dimetabolisasi oleh tubuh
form reactive, or toxic, drug products.8 These untuk membentuk produk-produk obat yang
reactive products comprise only a small proportion reaktif atau toksik. Produk-produk reaktif ini hanya
of a drug’s metabolites and are usually rapidly terdiri dari sebagian kecil metabolit obat dan
detoxifed. However, patients with drug biasanya didetoksifikasi secara cepat. Akan tetapi,
hypersensitivity syndrome, TEN, and Stevens– pasien yang mengalami sindrom hipersensitifitas
Johnson syndrome (SJS) resulting from treatment obat, TEN, dan sindrom Stevens-Johnson
with sulfonamide antibiotics and the aromatic (SJS)akibat terapi dengan antibiotik sulfonamida
anticonvulsants (e.g., carbamazepine, phenytoin, dan antikonvulsan aromatik (misal: karbamazepin,
phenobarbital, primidone, and oxcarbazepine) fenytoin, fenobarbital, primidon, dan
show greater sensitivity in in vitro assessments to okskarbazepin) menunjukkan sensitifitas yang lebih
the oxidative, reactive metabolites of these drugs besar terhadap metabolit-metabolit reaktif
than do control subjects. oksidatif dari obat-obat ini dibanding subjek
kontrol.
Acquired factors also alter an individual’s risk of Faktor-faktor yang didapat di lingkungan juga
drug eruption. Active viral infection and mengubah risiko seseorang untuk mengalami
concurrent use of other medications have been erupsi obat. Infeksi virrus aktif dan penggunaan
shown to alter the frequency of drug-associated obat-obat lain secara bersamaan telah tebukti
eruptions. Reactivation of latent viral infection dapat mengubah frekuensi erupsi terkait obat.
with human herpes virus 6 also appears common Interaksi antara obat-dengan-obat juga bisa
in drug hypersensitivity syndrome and may be mengubah risiko erupsi kutaneous. Asam valproat
partially responsible for some of the clinical meningkatkan risiko reaksi berbahaya kutaneous
features and/or course of the disease.10,11 Viral parah terhadap lamotrigin, antikonvulsan lain.
infections may act as, or generate the production Basis interaksi dan reaksi ini tidak diketahui, tetapi
of, danger signals that lead to damaging immune boleh jadi merupakan gabungan dari berbagai
responses to drugs, rather than immune tolerance. faktor, termasuk perubahan metabolisme obat,
detoksifikasi obat, pertahanan antioksidan, dan
reaktivitas imun.

Drug–drug interactions may also alter the risk of Interaksi obat dengan obat juga bisa mengubah
cutaneous eruption. Valproic acid increases the risiko erupsi kutaneous. Asam valproate
risk of severe cutaneous adverse reactions to meningkatkan risiko reaksi simpang obat terhadap
lamotrigine, another anticonvulsant.12 The basis lamotrigin, yang merupakan antikonvulsan.
of these interactions and reactions is unknown, Mekanisme dari interaksi dan reaksi ini masih
but they may represent a combination of factors, belum diketahui, tetapi kemungkinan merupakan
including alterations in drug metabolism, drug kombinasi dari berbagai faktor, termasuk
detoxifcation, antioxidant defenses, and immune perubahan metabolisme obat, detoksifikasi obat,
reactivity. pertahanan antioksidan, dan reaktifitas imun.

The course and outcome of drug-induced disease Perjalanan klinis dan outcome penyakit-penyakit
are also influenced by host factors. Older age may imbas-obat juga dipengaruhi oleh faktor-faktor
delay the onset of drug eruptions and has been host. Usia yang lebih tua bisa menunda onset
associated with a higher mortality rate in some erupsi obat dan telah dikaitkan dengan angka
severe reactions. A higher mortality rate is also kematian yang lebih tinggi pada beberapa reaksi
observed in patients with severe reactions who parah. Angka kematian yang lebih tinggi juga
have underlying malignancy.13 The pathogenesis ditemukan pada pasien dengan reaksi-reaksi parah
of most drug eruptions is not understood, yang juga mengalami keganasan lain. Patogenesis
although the clinical features of most drug dari kebanyakan erupsi obat belum dipahami,
reactions are consistent with immune-mediated walaupun karakteristik klinis dari kebanyakan
disease. The immune system may target the native reaksi obat sejalan dengan penyakit berperantara
drug, its metabolic products, altered self, or a imun. Sistem imun bisa menargetkan obat
combination of these factors. bersangkutan, produk metabolik nya,
perubahannya, atau merupakan kombinasi dari
faktor-faktor ini.

MORPHOLOGIC APPROACH TO DRUG ERUPTIONS PENDEKATAN MORFOLOGIS TERHADAP ERUPSI-


Although there are many presentations of ERUPSI OBAT
cutaneous drug eruptions, the morphology of Walaupun ada banyak presentasi erupsi-erupsi
many cutaneous eruptions may be obat kutaneous, namun morfologi dari banyak
exanthematous, urticarial, blistering, or pustular. erupsi kutaneous bisa berupa lesi eksantematosa,
The extent of the reaction is variable. For example, urtikarial, pelepuhan, atau pustular. Tingkat
once the morphology of the reaction has been keparahan reaksi berbeda-beda. Sebagai contoh,
documented, a specifc diagnosis [e.g., fxed drug jika morfologi reaksi telah ditemukan, maka
eruption (FDE) or acute generalized diagnosis spesifiknya (yakni erupsi obat tetap atau
exanthematous pustulosis (AGEP)] can be made. pustulosis eksantematosa menyeluruh) bisa
The reaction may also present as a systemic ditegakkan. Reaksi ini juga bisa tampak sebagai
syndrome [e.g., serum sickness-like reaction or sebuah sindrom (misal: reaksi mirip serum sickness
hypersensitivity syndrome reaction (HSR)]. Fever is atau reaksi sindrom hipersensitifitas). Demam
generally associated with such systemic cutaneous terkait dengan erupsi-obat-berbahaya yang lebih
ADRs. serius.

EXANTHEMATOUS ERUPTIONS Erupsi Eksantematosa


Exanthematous eruptions, sometimes referred to
as morbilliform or maculopapular, are the most Erupsi eksantematosa, yang juga dikenal sebagai
common form of drug eruptions, accounting for erupsi morbiliform atau makulopapular,
approximately 95% of skin reactions2 (Fig. 41-1). merupakan bentuk erupsi obat yang paling umum,
Simple exanthems are erythematous changes in mewakili sekitar 95 persen reaksi kulit (Gbr. 40-1).
the skin without evidence of blistering or Eksantema sederhana merupakan perubahan-
pustulation. The eruption typically starts on the perubahan eritematosa pada kulit tanpa ada bukti
trunk and spreads peripherally in a symmetric pelepuhan atau pustulasi. Erupsi lazimnya mulai
fashion. Pruritus is almost always present. These terjadi pada trunkus dan menyebar secara perifer
eruptions usually occur within 1 week of initiation dan simetris. Pruritus hampir selalu ada. Erupsi-
of therapy and may appear 1 or 2 days after drug erupsi ini lazimnya terjadi dalam 1 pekan sejak
therapy has been discontinued.15 Resolution, dimulainya terapi dan sembuh dalam 7 sampai 14
usually with 7–14 days, occurs with a change in hari. Penyembuhan terjadi dengan disertai
color from bright red to a brownish red, which may perubahan warna dari merah terang ke merah
be followed by desquamation. The differential kecoklatan, yang mana bisa diikuti dengan skaling
diagnosis in these patients includes an infectious atau deskuamasi. Diagnosis banding pada pasien-
exanthem (e.g., viral, bacterial, or rickettsial), pasien ini mencakup eksantema infeksius (misal:
collagen vascular disease, and infections. infeksi virus, bakteri, atau tickettsial), penyakit
vaskuler kolagen, dan infeksi.

Exanthematous eruptions can be caused by many Erupsi-erupsi eksantematosa bisa disebabkan oleh
drugs, including β-lactams (“the penicillins”), banyak obat, termasuk penisilin, sulfonamida,
sulfonamide antimicrobials, nonnucleoside reverse inhibitor transkriptase reverse non-nukleopsida
transcriptase inhibitors (e.g., nevirapine), and (misal: nevirapin), dan obat anti-epilepsi. Penelitian
antiepileptic medications. Studies have shown that telah menunjukkan bahwa sel T spesifik-obat
drug-specifc T cells play a major role in memegang peranan besar dalam terjadinya reaksi
exanthematous, bullous, and pustular drug obat eksantematosa, bulosa, dan pustular. Pada
reactions.16 In patients who have concomitant pasien-pasien yang mengalami mononukleosis
infectious mononucleosis, the risk of developing an infeksi yang bersamaan, risiko untuk mengalami
exanthematous eruption while being treated with erupsi eksantematosa sambil sedang diobati
an aminopenicillin (e.g., ampicillin) increases from dengan aminopenisilin (misal: ampisilin) meningkat
3%–7% to 60%-100%.17 A similar drug–viral dari 3-7 persen hingga 60-100 persen. Interaksi
interaction has been observed in 50% of patients serupa antara obat-dan-virus telah ditemukan pada
infected with human immunodefciency virus (HIV) 50 persen pasien yang terinfeksi HIV yang terpapar
who are exposed to sulfonamide antibiotics. terhadap antibiotik sulfonamida.

An exanthematous eruption in conjunction with Erupsi eksantematosa dalam kaitannya dengan


fever and internal organ inflammation (e.g., liver, demam dan keterlibatan organ dalam (misal: hati,
kidney, central nervous system) signifes a more ginjal, sistem saraf pusat) menandakan reaksi yang
serious reaction, known as the hypersensitivity lebih parah, yang dikenal sebagai reaksi sindrom
syndrome reaction, drug-induced hypersensitivity hipersensitifitas (Tabel 40-1). Ini terjadi pada
reaction (DIHS) or drug reaction with eosinophilia sekitar 1 diantara 3000 keterpaparan terhadap
and systemic symptoms (DRESS) (Table 41-1). It agen-agen seperti antikonvulsan aromatik,
occurs in approximately 1 in 3,000 exposures to lamotrigin, antibiotik sulfonamida, dapson,
agents such as aromatic anticonvulsants, nutrofurantoin, nevirapin, minosiklin, dan
lamotrigine, sulfonamide antimicrobials, dapsone, alopurinol (Gbr. 40-2). Reaksi sindrom
nitrofurantoin, nevirapine, minocycline, hipersensitifitas (HSR) terjadi paling sering pada
metronidazole, and allopurinol (Fig. 41-2). HSR keterpaparan pertama terhadap obat, dengan
occurs most frequently on frst exposure to the gejala-gejala yang mulai terjadi 1 hingga 6 pekan
drug, with initial symptoms starting 1–6 weeks setelah keterpaparan. Demam dan malaise sering
after exposure. Fever and malaise are often the menjadi gejala yang tampak. Limfositosis atipikal
presenting symptoms. Atypical lymphocytosis with yang disusul eosinofilia bisa terjadi selama fase
subsequent eosinophilia may occur during the awal reaksi pada beberapa pasien. Walaupun
initial phases of the reaction in some patients. kebanyakan pasien mengalami erupsi
Although most patients have an exanthematous eksantematosa, manifestasi yang lebih serius bisa
eruption, more serious cutaneous manifestations ditemukan (Gbr. 40-3). Keterlibatan organ dalam
may be evident (Fig. 41-3). Internal organ bisa asimtomatik. Beberapa pasien bisa menjadi
involvement can be asymptomatic.11 Some hipotiroid sekitar 2 bulan setelah gejala-gejala awal
patients may become hypothyroid due to an muncul.
autoimmune thyroiditis approximately 2 months
after the first symptoms appear.

The formation of toxic metabolites of the aromatic Pembentukan metabolit-metabolit toksik oleh
anticonvulsants may play a pivotal role in the obat-antikonvulsan aromatik bisa memegang
development of HSR.9 In most individuals, the peranan penting dalam terjadinya reaksi sindrom
chemically reactive metabolites that are produced hipersensitifitas. Pada kebanyakan individu,
are detoxified by epoxide hydroxylases. However, metabolit-metabolit reaktif kimiawi yang dihasilkan
if detoxification is defective, one of the akan mengalamid etoksifikasi oleh epoksida
metabolites may act as a hapten and initiate an hidroksilase. Akan tetapi, jika detoksifikasi tidak
immune response, stimulate apoptosis, or cause berhasil, maka salah satu dari metabolit reaktif
cell necrosis directly. Approximately 70%–75% of tersebut bisa bertindak sebagai hapten dan
patients who develop anticonvulsant HSR in menginisiasi sebuah respons imun, menstimulasi
response to one aromatic anticonvulsant show apoptosis, atau menyebabkan nekrosis sel secara
crossreactivity to the other aromatic langsung. Sekitar 70 persen hingga 75 persen
anticonvulsants. In addition, in vitro testing shows pasien yang mengalami reaksi-sindrom-
that there is a pattern of inheritance of HSR hipersensitifitas sebagai respons terhadap salah
induced by anticonvulsants. Thus, counseling of satu obat-antikonvulsan aromatik menunjukkan
family members and disclosure of risk are reaktivitas-silang dengan antikonvulsan artomatik
essential. lainnya. Selain itu, pemeriksaan in vitro
menunjukkan bahwa ada kejadian reaksi-sindrom-
hipersensitifitas dalam satu keluarga yang
ditimbulkan oleh obat-antikonvulsan. Sehingga,
konseling anggota-anggota keluarga dan
penjelasan risiko merupakan hal yang penting.

Sulfonamide antimicrobials are both sulfonamides Antibiotik sulfonamida juga dimetabolisasi menjadi
(contain SO2-NH2) and aromatic amines (contain a metabolit-metabolit toksik, yaitu, hidroksilamin
benzene ring-NH2). Aromatic amines can be dan senyawa nitroso. Pada kebayakan orang,
metabolized to toxic metabolites, namely, metabolit ini didetoksifikasi. Akan tetapi, reaksi-
hydroxylamines and nitroso compounds.19 In sindrom-hipersensitifitas bisa terjadi pada pasien-
most people, the metabolite is detoxifed. pasien yang tidak mampu mendetoksifikasi
However, HSRs may occur in patients who either metabolit ini. Karena saudara dan kerabat tingkat-
form excess oxidative metabolites or are unable to pertama lainnya berisiko tinggi untuk mengalami
detoxify such metabolite. Because siblings and reaksi berbahaya serupa, maka konseling anggota-
other frst-degree relatives may be at an increased anggota keluarga sangat penting.
risk (perhaps as high as 1 in 4) of developing a
similar adverse reaction, counseling of family
members is essential.

Other aromatic amine-containing drugs, such as Senyawa amina aromatik lainnya, seperti
procainamide, dapsone, and acebutolol, may also prokainamida, dapson, dan asebutolol, juga
be metabolized to chemically reactive compounds. dimetabolisasi menjadi senyawa-senyawa yang
It is recommended that patients who develop reaktif secara kimiawi. Dianjurkan kepada pasien
symptoms compatible with a sulfonamide-induced yang mengalami gejala-gejala reaksi-sindrom-
HSR avoid these aromatic amines, because the hipersensitifitas sulfonamida agar menghindari
potential exists for crossreactivity. However, cross- amina-amina aromatik ini, karena ada potensi
reactivity is much less likely to occur between untuk terjadinya reaktifitas silang. Akan tetapi,
sulfonamides antimicrobials and drugs that are not reaktifitas silang seharusnya tidak terjadi antara
aromatic amines (e.g., sulfonylureas, thiazide sulfonamida dan obat-obatan yang bukan
diuretics, furosemide, celecoxib, and merupakan senyawa amina aromatik (misal:
acetazolamide). sulfonilurea, diuretik thiazida, furosemida, dan
asetazolamida).

Allopurinol is associated with the development of Alopurinol terkait dengan terjadinya reaksi-reaksi
serious drug reactions, including HSR. Active obat yang berbahaya, termasuk reaksi-sindrom-
infection or reactivation of HHV-6 has been hipersensitifitas. Dilaporkan bahwa pada seorang
observed in patients who develop allopurinol pasien yang mengalami reaksi-sindrom-
HSR.21 Allopurinol-induced severe adverse hipersensitifitas beserta hepatitis, reaktivasi virus
reactions, specifcally HSR and SJS/ TEN spectrum, HHV 6 terjadi. Reaksi-reaksi berbahaya imbas
have been strongly associated with a genetic purinol, termasuk HSR, SJS, dan TEN, telah
predisposition in Han Chinese and Thai dikaitkan dengan predisposisi genetik pada orang-
populations; presence of the HLA-B*5801 allele orang Cina Han; keberadaan alel HLA-B*5801
was found to be an important genetic risk factor. lainnya ditemukan sebagai faktor risiko genetik
yang penting.

URTICARIAL ERUPTIONS Erupsi Urtikaria


Urticaria is characterized by pruritic red wheals of
various sizes. Individual lesions generally last for Urtikaria ditandai dengan bercak merah pruritus
less than 24 hours, although new lesions can dengan berbagai ukuran. Lesi-lesi individual
commonly develop. When deep dermal and umumnya berlangsung selama kurang dari 24 jam,
subcutaneous tissues are also swollen, the walaupun lesi-lesi baru umumnya bisa terjadi.
reaction is known as angioedema. Angioedema is Apabila jaringan dermis dalam dan subkutaneous
frequently unilateral and nonpruritic and lasts for juga membengkak, maka reaksi ini dikenal sebagai
1–2 hours, although it may persist for 2–5 days. angioedema. Angioedema merupakan reaksi yang
sering unilateral, non-pruritus dan berlangsung
selama 1 hingga 2 jam, walaupun bisa berlangsung
selama 2 hingga 5 hari.
Urticaria and angioedema, when associated with Urtikaria dan angioedema, jika dikaitkan dengan
drug use, are usually indicative of an penggunaan obat, biasanya menandakan reaksi
immunoglobulin (Ig) E-mediated immediate hipersensitifitas imediet berperantara
hypersensitivity reaction. This mechanism is imunoglobulin E (IgE). Mekanisme ini dicirikan oleh
typifed by immediate reactions to penicillin and reaksi-reaksi imediet terhadap penisilin dan
other antibiotics (see Chapter 38). Signs and antibiotik lain. Tanda-tanda dan gejala-gejala
symptoms of IgE-mediated allergic reactions reaksi-reaksi alergi berperantara IgE lazimnya
typically include pruritus, urticaria, cutaneous mencakup pruritus, urtikaria, flushing kutaneous,
flushing, angioedema, nausea, vomiting, diarrhea, angioedema, nausea, muntah-muntah, diare, nyeri
abdominal pain, nasal congestion, rhinorrhea, abdominal, dan bronkospasme atau hipotensi.
laryngeal edema, and bronchospasm or Urtikaria dan angioedema juga bisa disebabkan
hypotension. Urticaria and angioedema can also oleh reaksi-reaksi non-berperantara IgE yang
be caused by non-IgE-mediated reactions that menghasilkan pelepasan histamin atau mediator
result in direct and nonspecifc liberation of inflamasi lain secara langsung. Urtikaria non
histamine or other mediators of inflammation.15 berperantara IgE imbas obat dan angioedema
Drug-induced non-IgE-mediated urticaria and biasanya terkait dengan obat NSAID, inhibitor ACE
angioedema are usually related to nonsteroidal dan opioid.
antiinflammatory drugs (NSAIDs), angiotensin
converting enzyme (ACE)-inhibitors and opioids.

Serum sickness-like reactions (see Table 41-1) are Erupsi mirip serum sickness (lihat Tabel 40-1)
defned by the presence of fever, rash (usually ditentukan oleh keberadaan demam, ruam
urticarial), and arthralgias 1–3 weeks after (biasanya urtikaria), dan arthralgia 1 hingga 3
initiation of drug therapy. Lymphadenopathy and pekan setelah inisiasi terapi obat. Limfadenopati
eosinophilia may also be present; however, in dan eosinofilia juga bisa ditemukan; akan tetapi,
contrast to true serum sickness, immune berbeda dengan erupsi serum sickness sebenarnya,
complexes, hypocomplementemia, vasculitis, and pada erupsi yang mirip ini tidak ditemukan
renal lesions are absent. kompleks imun, hipokomplementemia, vaskulitis,
dan lesi ginjal.

Cefaclor is associated with an increased relative Sefaklor terkait dengan peningkatan risiko relatif
risk of serum sickness-like reactions. The overall reaksi mirip serum sickness. Angka kejadian total
incidence of cefaclor-induced serum sickness-like reaksi mirip-serum-sickness imbas obat sefaklor
reactions has been estimated to be 0.024%–0.2% telah diperkirakan sebesar 0,024 persen hingga 0,2
per course of cefaclor prescribed. In genetically persen per sefaktor yang diresepkan. Pada host
susceptible hosts, a reactive metabolite is yang rentan secara genetika, metabolit reaktif
generated during the metabolism of cefaclor that dihasilkan selama metabolisme sefaktor yang bisa
may bind with tissue proteins and elicit an terikat ke protein jaringan dan menimbulkan
inflammatory response manifesting as a serum respons inflamatori yang tampak sebagai reaksi
sickness-like reaction. mirip-serum-sickness.

Other drugs that have been implicated in serum Obat-obat lain yang telah dilaporkan terlibat dalam
sickness-like reactions are cefprozil, bupropion, reaksi-reaksi mirip-serum-sickness adalah sefprozil,
minocycline, and rituximab24 as well as bupropin, minosiklin, dan rituksimab serta
infliximab.25 The incidence of serum sickness-like infliksimab. Kejadian reaksi-reaksi mirip-serum-
reactions caused by these drugs is unknown. sickness yang disebabkan oleh obat-obat ini belum
diketahui.

PUSTULAR ERUPTIONS Erupsi Pustular


Acneiform eruptions are associated with the use of
iodides, bromides, adrenocorticotropic hormone, Erupsi-erupsi akneiformis terkait dengan
glucocorticoids, isoniazid, androgens, lithium, penggunaan iodida, bromida, hormon
actinomycin D, and phenytoin. Drug-induced acne adrenokortikotropi, glukokortikoid, isoniazid,
may appear in atypical areas, such as on the arms androgen, lithium, aktinomisin D, dan fenitoin.
and legs, and is most often monomorphous. Akne imbas obat bisa terlihat pada area-area
Comedones are usually absent. The fact that tipikal, seperti pada lengan dan betis, dan paling
acneiform eruptions do not affect prepubertal sering monomorf. Komedo biasanya tidak ada.
children indicates that previous hormonal priming Fakta bahwa erupsi-erupsi akneiformis tidak terjadi
is a necessary prerequisite. In cases in which the pada anak-anak pra-pubertas menandakan bahwa
offending agent cannot be discontinued, topical priming hormonal sebelumnya merupakan
tretinoin may be useful.26 An acneiform eruption persyaratan yang wajib. Pada kasus dimana obat
often occurs during treatment with epidermal penyebab tidak bisa dihentikan, tretinoin bisa
growth factor receptor inhibitors (e.g., geftinib, bermanfaat. Erupsi akneiformis sering terjadi
erlotinib, cetuximab). The acneiform rash is often selama pengobatan dengan inhibitor reseptor
accompanied by paronychia, dry skin, and skin faktor pertumbuhan epidermal (misal: geftinib,
fssures. The eruption is dose dependent, with erlotinib, cetuximab). Ruam akneiformis sering
respect to both incidence and severity.27 In a disertai dengan paronychia, kulit kering, dan fisur
systemic review and meta-analysis encompassing kulit. Erupsi tidak dependen dosis, dan berkorelasi
over 1,000 patients receiving cetuximab as a dengan insidens dan severitas. Dalam sebuah
single-agent, the incidence of an acneiform review sistemik dan meta-analisis yang mencakup
eruption was 81.6%. lebih 1000 pasien penerima setuksimab sebagai
agen tunggal, insidens erupsi akneiformis
ditemukan sebesar 81,6%.

AGEP is an acute febrile eruption that is often AGEP merupakan sebuah erupsi demam akut yang
associated with leukocytosis (Fig. 41-4 and Table sering terkait dengan leukositosis (Gbr. 40-4 dan
41-1). After initiation of the implicated drug, 1–3 Tabel 40-1). Setelah inisiasi obat yang terlibat, 1
weeks may elapse before skin lesions appear. The hingga 3 pekan bisa terlewatkan sebelum lesi kulit
lesions often start on the face or major skin muncul. Lesii sering mulai terjadi pada wajah atau
creases. Generalized desquamation occurs lipatan kulit utama. Deskuamasi menyeluruh
approximately 2 weeks later. The estimated terjadi sekitar 2 pekan kemudian. Kejadian AGEP
incidence of AGEP is approximately 1–5 cases per yang diperkirakan adalah sekitar 1 hingga 5 kasus
million per year. AGEP is most commonly per juta per tahun. AGEP paling umum terkait
associated with β-lactam and macrolide dengan beta-laktam dan antibiotik makrolida dan
antibiotics, anticonvulsants, and calcium channel perintang saluran kalsium. Diagnopsis banding
blockers.29 Differential diagnosis includes pustular mencakup psoriasis pustular, HSR dengan
psoriasis, HSR with pustulation, subcorneal pustulasi, dermatosis pustular sub-korneal
pustular dermatosis (Sneddon–Wilkinson disease), (penyakit Sneddon-Wilkinson), vaskulitis pustular,
pustular vasculitis, or in severe cases of AGEP, TEN. atau TEN, khususnya pada kasus-kasus AGEP parah.
The typical histopathologic analysis of AGEP Analisis histopatologi tipikal terhadap lesi-lesi AGEP
lesions shows spongiform subcorneal and/or menunjukkan pustula sub-korneal dan/atau
intraepidermal pustules, an often marked edema intraepidermal spongiformis, edema dermis
of the papillary dermis, and perivascular infltrates papiler, dan infiltrat perivaskular dengan neutrofil
with neutrophils and exocytosis of some dan eksositosis dari beberapa eosinofil.
eosinophils. Discontinuance of therapy is usually Penghentian terapi biasanya disesuaikan dengan
the extent of treatment necessary in most kebtuuhan perawatan pada kebanyakan pasien,
patients, although some patients may require the walaupun beberapa pasien mungkin memerlukan
use of corticosteroids. Patch tests have been used penggunaan kortikosteroid. Hasil-hasil positif pada
in the diagnosis of AGEP. tes tempel dan tes transformasi limfositik
menandakan keterlibatan sel T pada AGEP.

BULLOUS ERUPTIONS (Table 41-2) ERUPSI-ERUPSI BULOSA (Tabel 41-2)


PSEUDOPORPHYRIA. Pseudoporphyria is a PSEUDOPORFIRIA. Pseudoporfiria merupakan
cutaneous phototoxic disorder that can resemble sebuah penyakit fototoksik kutaneous yang bisa
either porphyria cutanea tarda in adults or menyerupai porfiria kutanea tarda pada orang
erythropoietic protoporphyria in children (see dewasa atau protoporfiria eritropoietik pada anak-
Chapter 132). Pseudoporphyria of the porphyria anak. Pseudoporfiria dari jenis porifiria kutanea
cutanea tarda variety is characterized by skin tarda ditandai dengan fragilitas kulit, pembentukan
fragility, blister formation, and scarring in lepuh, dan skaring pada bagian yang terkena
photodistribution; it occurs in the presence of langsung sinar matahari; ia terjadi dengan adanya
normal porphyrin levels. The other clinical pattern kadar porfirin normal. Pola klinis lainnya
mimics erythropoietic protoporphyria and menyerupai protoporfiria dan bermanifestasi
manifests as cutaneous burning, erythema, sebagai lecur kutaneous, eritema, vesikulasi, skar
vesiculation, angular chicken pox-like scars, and mirip cacar angular, dan penebalan kulit. Erupsi
waxy thickening of the skin. The eruption may bisa dimulai dalam 1 hari sejak pelaksanaan terapi
begin within 1 day of initiation of therapy or may atau biasa tertunda hingga 1 tahun. Perjalanan
be delayed in onset for as long as 1 year. The klinis erupsi-erupsi ini cukup lama pada beberapa
course is prolonged in some patients, but most pasien, tetapi kebanyakan laporan melaporkan
reports describe symptoms that disappear several gejala-gejala yang hilang beberapa pekan hingga
weeks to several months after the offending agent beberapa bulan setelah obat penyebab dihentikan.
is withdrawn. Because of the risk of permanent Karena adanya risiko skaring wajah permanen,
facial scarring, the implicated drug should be maka obat yang terlibat harus dihentikan jika
discontinued if skin fragility, blistering, or scarring fragilitas, pelepuhan, atau skaring, terjadi. Selain
occurs.31 In addition, the use of broad-spectrum itu, penggunaan sunscreen spektrum-luas dan
sunscreen and protective clothing should be pakaian protektif sebaiknya dianjurkan. Obat-obat
recommended. Drugs that have been associated yang telah dikaitkan dengan pseudoporfiria
with pseudoporphyria include naproxen and other mencakup naproksen dan NSAID lain, dan
NSAIDs, and voriconazole. vorikonazol.

DRUG-INDUCED LINEAR IgA DISEASE. Both PENYAKIT IgA LINAER IMBAS-OBAT. Penyakit IgA
idiopathic and drug-induced linear IgA diseases linear imbas-obat dan penyakit IgA idiopatik
(see Chapter 58) are heterogeneous in clinical memiliki gambaran klinis yang heterogen. Kasus
presentation. Cases of the drug-induced type have IgA linear imbas-obat memiliki kesamaan
morphologies resembling erythema multiforme, morfologis dengan eritema multiformis, pemfigoid
bullous pemphigoid, and dermatitis herpetiformis. bulosa, dan dermatitis herpetiformis. Penyakit
The drug-induced disease may differ from the imbas obat bisa berbeda dari jenis idiopatik dalam
idiopathic entity in that mucosal or conjunctival hal lesi-lesi mukosa atua kontijungtiva tidak umum,
lesions are less common, spontaneous remission penyambuhan spontan terjadi ketika obat
occurs once the offending agent is withdrawn, and penyebab dihentikan, dan deposit-deposit imun
immune deposits disappear from the skin once the hilang dari kulit ketika lesi sembuh.
lesions resolve.

Biopsy specimens are necessary for diagnosis. Spesimen-spesimen biopsi diperlukan untuk
Histologically, the two entities are similar. A study diagnosis. Secara histologis, kedua entitas ini mirip.
suggests that, as in the idiopathic variety, the Sebuah penelitian menunjukkan bahwa, seperti
target antigen is not unique in the drug-induced pada jenis idiopatik, antigen target tidak unik pada
disease. Although 13%–30% of patients with tipe imbas-obat. Walaupun 13 persen hingga 30
sporadic linear IgA have circulating basement persen pasien dengan IgA linear sporadis memiliki
membrane zone antibodies, these antibodies have antibodi zona membran dasar yang bersirkulasi,
not been reported in drug-induced cases.34 In namuna ntibodi-antibodi ini belumd ilaporkan pada
patients with linear IgA bullous disease proven by kasus-kasus imbas-obat. Pada pasien dengan
direct immunofluorescence, the index of suspicion penyakit bulosa IgA linear yang dibuktikan dengan
of drug induction should be higher in cases with imunofluoreseksi direk, indeks kecurigaan induksi
only IgA and no IgG in the basement membrane obat harus lebih tinggi pada kasus-kasus yang
zone. Several drugs can induce linear IgA bullous hanya menunjukkan IgA dan tidak ada IgG dalam
dermatosis, the most frequently reported being zona membran dasar. Beberapa obat bisa memicu
vancomycin. dermatosis bulosa IgA linear, yang paling sering
adalah vankomisin.

DRUG-INDUCED PEMPHIGUS. Pemphigus may be PEMFIGUS IMBAS-OBAT. Pemfigus bisa dianggap


considered as drug-induced or drug-triggered (i.e., sebagai kondisi imbas obat atau terpicu obat
a latent disease that is unmasked by the drug (yakni: penyakit laten yang ditampakkan oleh
exposure; see Chapter 54). Drug-induced keterpaparan terhadap obat). Pemfigus imbas obat
pemphigus caused by penicillamine and other yang disebabkan oleh penisilain dan obat thiol
thiol-containing drugs (e.g., piroxicam, captopril) lainnya cenderung sembuh sepontan pada 35
tends to remit spontaneously in 35%–50% of persen hingga 50 persen kasus, terjadi sebagai
cases, presents as pemphigus foliaceus, has an pemfigus foliaceus, memiliki interval rata-rata 1
average interval to onset of 1 year, and is tahun sampai terjadi onset, dan terkait dengan
associated with the presence of antinuclear keberadaan antibodi anti-nuklear pada 25 persen
antibodies in 25% of patients. pasien.

Most patients with nonthiol drug-induced Kebanyakan pasien dengan pemphigus imbas-obat
pemphigus manifest clinical, histologic, non-thiol menunjukkan aspek-aspek klinis,
immunologic, and evolutionary aspects similar to histologis, imunologis dan evolusioner yang mirip
those of idiopathic pemphigus vulgaris with dengan pemphigus vulgaris idiopatik dengan
mucosal involvement and show a 15% rate of keterlibatan mukosa dan menunjukkan 15%
spontaneous recovery after drug withdrawal. penyembuhan spontan, setelah penghentian obat.
Treatment of drug-induced pemphigus begins with Terapi pemphigus imbas-obat dimulai dengan
drug cessation. Systemic glucocorticoids and other penghentian obat. Glukokortikoid sistemik dan
immunosuppressive drugs are often required until obat imunosupresif lain sering diperlukan sampai
all symptoms of active disease disappear. Vigilant semua gejala penyakit aktif hilang. Follow-up ketat
follow-up is required after remission to monitor diperlukan setelah remisi untuk memantau pasien
the patient and the serum for autoantibodies to dan serum untuk autoantibodi untuk mendeteksi
detect an early relapse. jika ada kekambuhan dini.

DRUG-INDUCED BULLOUS PEMPHIGOID. PEMFIGOID BULOSA IMBAS-OBAT


Drug-induced bullous pemphigoid (see Chapter 56) Pemfigoid bulosa imbas-obat (lihat Bab 56) bisa
can encompass a wide variety of presentations, mencakup presentasi yang luas, mulai dari
ranging from the classic features of large, tense gambaran klasik berupa bula tegang besar yang
bullae arising from an erythematous, urticarial muncul dari dasar urtrikarial eritematosa dengan
base with moderate involvement of the oral cavity, keterlibatan ringan rongga mulut, sampai bentuk-
through mild forms with few bullous lesions, to bentuk ringan dengan sedikit lesi-lesi bulosa,
scarring plaques and nodules with bullae. hingga plak-plak skar dan nodul disertai bula. Obat
Medications that have been reported to cause yang telah dilaporkan menyebabkan pemfigoid
bullous pemphigoid include furosemide, bulosa mencakup furosemide, amoksisilin, dan
amoxicillin, and spironolactone. In contrast to spironolakton. Berbeda dengan pasien yang
patients with the idiopathic form, patients with mengalami bentuk idiopatik, pasien dengan
druginduced bullous pemphigoid are generally pemfigoid bulosa imbas-obat umumnya berusia
younger. In addition, the histopathologic fndings lebih muda. Selain itu, gambaran histopatologis
are of a perivascular infltration of lymphocytes adalah infiltrasi limfosit ke dalam perivaskuler
with few eosinophils and neutrophils, dengan sedikit eosinophil dan neutrophil, vesikel
intraepidermal vesicles with foci of necrotic intraepidermal dengan fokus keratinosit nekrotik,
keratinocytes, thrombi in dermal vessels, and a thrombus dalam pembuluh dermis, dan
possible lack of tissue-bound and circulating kemungkinan tidak adanya IgG zona membran anti-
antibasal membrane zone IgG. basal yang bersirkulasi dan terikat jaringan.

In the acute, self-limited condition, resolution Pada kondisi akut, penyembuhan terjadi setelah
occurs after the withdrawal of the culprit agent, penghentian obat penyebab, dengan atau tanpa
with or without glucocorticoid therapy. However, terapi glukokortikoid. Akan tetapi, pada beberapa
in some patients the drug may actually trigger the pasien obat bisa benar-benar memicu bentuk
idiopathic form of the disease. idiopatik dari penyakit ini.

STEVENS–JOHNSON SYNDROME AND TOXIC SINDROM STEVENS-JOHNSON (SJS) DAN TOXIC


EPIDERMAL NECROLYSIS. SJS and TEN or the EPIDERMAL NECROLYSIS (TEN). Spektrum SJS dan
SJS/TEN spectra represent variants of the same TEN atau SJS/TEN mencakup varian-varian dari
disease process. Differentiation between the two proses penyakit yang sama. Diferensiasi diantara
patterns depends on the nature of the skin lesions dua pola bergantung pada sifat lesi kulit dan luasan
and the extent of body surface area involvement keterlibatan area permukaan tubuh (lihat Bab 39
(see Chapters 39 and 40). dan 40).

Recently, the understanding of the pathogenesis of Baru-baru ini, pemahaman tentang patogenesis
severe cutaneous ADRs has expanded greatly. RSO kutaneous telah berkembang pesat. Berbagai
Various factors including pharmacogenetic and faktor termasuk faktor farmakogenetika dan
immunogentic determinants may influence the imunogenetika bisa mempengaruhi kemungkinan
likelihood of a reaction and variability in innate terjadinya reaksi dan perbedaan imunitas alami
and adaptive immunity may influence the clinical dan adaptif bisa mempengaruhi gambaran klinis.
presentation.38 In addition, the detection of drug- Selian itu, pendeteksian proliferasi sel-T spesifik
specifc T-cell proliferation provides evidence that T obat memberikan bukti bahwa sel T terlibat dalam
cells are involved in severe skin rashes. ruam-ruam kulit parah.

Treatment of SJS/TEN includes discontinuance of Pengobatan SJS/TEN mencakup penghentian obat


the suspected drug(s) and supportive measures yang dicurigai dan tindakan-tindakan pendukung
such as careful wound care, hydration, and seperti perawatan luka dengan hati-hati, hidrasi,
nutritional support. The use of corticosteroids in dan dukungan gizi. Penggunaan kortikosteroid
the treatment of SJS and TEN is controversial.40,41 dalam pengobatan SJS dan TEN masih
Intravenous Ig (IVIg, up to 3–4 g over 3 days) has kontroversial. Ig intravena (IVIg, hingga 3-4 g dalam
been shown in some reports to halt progression of 3 hari) telah terbukti dapat menghambat progresi
TEN, especially when IVIg is started early. TEN, khususnya jika IVIg dimulai sejak dini. Akan
However, some studies have not found an tetapi, beberapa penelitian tidak menemukan
improved outcome in patients with TEN who are outcome membaik pada pasien dengan TEN yang
treated with IVIg.38 A recent study concluded that diterapi dengan IVIg. Sebuah penelitian terbaru
neither corticosteroids nor intravenous Ig had any menyimpulkan bahwa baik kortikosteroid maupun
signifcant effect on mortality in comparison to Ig intravena tidak memiliki efek signifikan terhadap
supportive care only.42 Other treatment angka kematian dibanding perawatan suportif saja.
modalities include cyclosporine,43 Modalitas terapi lain mencakup siklosporin,
cyclophosphamide, and plasmapharesis. Patients siklofosfamida, dan plasmafaresis. Pasien yang
who have developed a severe cutaneous ADR telah mengalami RSO kutaneous berat tidak boleh
should not be rechallenged with the drug. ditantang-ulang dengan obat bersangkutan. Terapi
Desensitization therapy with the medication may desensitisasi dengan obat tersebut juga bisa
also be a risk. berisiko.

FIXED DRUG ERUPTIONS (FDE) usually appear as FDE biasanya muncul sebagai makula eritematosa
solitary, erythematous, bright red or dusky red merah kehitaman atau merah terang yang bisa bisa
macules that may evolve into an edematous berkembang menjadi plak edematosa; lesi-lesi tipe
plaque; bullous-type lesions may be present, bulosa bisa ditemukan. FDE paling umum
widespread lesions may be diffcult to differentiate ditemukan pada genitalia dan pada area perianal,
from TEN. FDEs are commonly found on the walaupun bisa terjadi dimana saja pada permukaan
genitalia and in the perianal area, although they kulit (Gbr. 40-5). Beberapa pasien bisa
can occur anywhere on the skin surface (Fig. 41-5). mengeluhkan luka-bakar atau sengatan, dan yang
Some patients may complain of burning or lainnya bisa mengalami demam, malaise, dan
stinging, and others may have fever, malaise, and gejala-gejala abdominal. FDE bisa terjadi mulai dari
abdominal symptoms. FDE can develop from 30 30 menit hingga 8 sampai 16 jam setelah
minutes to 8–16 hours after ingestion of the meminum obat. Setelah fase akut awal yang
medication. After the initial acute phase lasting berlangsung berhari-hari hingga beberapa pekan,
days to weeks, residual grayish or slatecolored terjadi hiperpigmentasi yang berwarna keabu-
hyperpigmentation develops. On rechallenge, not abuan. Saat ditantang-ulang, lesi tidak hanya
only do the lesions recur in the same location, but kambuh pada lokasi yang sama tetapi juga lesi baru
also new lesions often appear. sering muncul.

More than 100 drugs have been implicated in Lebih dari 100 obat yang telah ditemukan
causing FDEs, including ibuprofen, sulfonamides, menyebabkan FDE, termasuk ibuprofen,
naproxen, and tetracyclines. A haplotype linkage in sulfonamida, naproksen, dan tetrasiklin. Rangkai-
trimethoprim–sulfamethoxazole-induced FDE has gen haplotipe pada FDE imbas trimethoprim-
been documented. sulfametoksazol telah dilaporkan.

A challenge or provocation test with the suspected Tes tantang atau tes provokasi dengan obat yang
drug may be useful in establishing the diagnosis. dicurigai bisa bermanfaat dalam menegakkan
Patch testing at the site of a previous lesion yields diagnosis. Tes tempel pada tepat yang ditumbuhi
a positive response in up to 43% of patients. lesi sebelumnya menghasilkanr espons positif pada
Results of prick and intradermal skin tests may be hingga 43 persen pasien. Hasil tes cucuk kulit dan
positive in 24% and 67% of patients, tes intradermal bisa positif pada 24 persen dan 67
respectively.44,45 Food-initiated fxed eruptions persen pasien, masing-masing. Erupsi-erupsi tepat
also exist and are important to consider when yang dipicu makanan juga ada dan penting untuk
assessing causation. dipertimbangkan ketika melakukan pemeriksaan.

ANTICOAGULANT-INDUCED SKIN NECROSIS NEKROSIS KULIT IMBAS-ANTIKOAGULAN


Anticoagulant-induced skin necrosis begins 3–5 Nekrosis kulit imbas antikoagulan mulai terjadi 3
days after initiation of treatment. The majority of sampai 5 hari setelah inisiasi terapi. Kumarin dan
cases of anticoagulant-induced skin necrosis have heparin (yang tidak difraksionasi dan memiliki
been attributed to coumarin congeners bobot molekul rendah) bisa menimbulkan nekrosis
(bishydroxycoumarin, phenprocoumon, kulit (Gbr. 40-6). Plak-plak kemerahan dan nyeri
acenocoumarol, and warfarin) (Fig. 41-6). Early terjadi pada tempat-tempat yang kaya adiposa
red, painful plaques develop in adiposerich sites seperti payudara, bokong, dan panggul. Plak-plak
such as breasts, buttocks, and hips. These plaques ini bisa melepuh, berulser, atau berkembang
may blister, ulcerate, or develop into necrotic menjadi area nekrotik. Diperkirakan bahwa 1
areas. It is estimated that 1 in 10,000 persons who diantara 10.000 orang yang mendapatkan obat ini
receive the drug is at risk of this adverse event. berisiko untuk mengalami reaksi berbahaya ini.
The incidence is four times higher in women, Kejadiannya adalah empat kali lebih tinggi pada
especially in obese women, with a peak incidence wanita, khususnya pada wanita gemuk, dengan
in the sixth and seventh decades of life. Affected kejadian puncak pada dekade ke-6 dan ke-7. Pasien
patients often have been given a large initial yang terkena sering telah diberikan dosis kumarin
loading dose of warfarin in the absence of awal yang tinggi tanpa adanya terapi heparin yang
concomitant heparin therapy. An accompanying menyertai. Infeksi yang menyertai seperti
infection such as pneumonia, viral infection, or pneumonia, infeksi virus, atau erysipelas bisa
erysipelas may be seen in up to 25% of patients. ditemukan pada hingga 25 persen pasien. Sebuah
An association with protein C and protein S hubungan dengan defisiensi protein C dan protein
defciencies exists, but pretreatment screening is S ditemukan, tetapi screening pra-terapi tidak
not warranted. An association with heterozygosity dijamin. Sebuah hubungan dengan heterozigositas
for factor V Leiden mutation has been reported. untuk mutasi faktor Leiden V telah dilaporkan.

The pathogenesis of this adverse event is the Patogenesis reaksi merugikan ini adalah
paradoxical development of occlusive thrombi in terbentuknya thrombus kolusif dalam venul
cutaneous and subcutaneous venules due to a kutaneous dan subcutaneous akibat keadaan
transient hypercoagulable state. This results from hiperkoagulasi sementara. Ini terjadi karena
the suppression of the natural anticoagulant supresi protein antikoagulan C pada tingkat lebih
protein C at a greater rate than the suppression of tinggi dibanding supresi faktor prokoagulan alami.
natural procoagulant factors.

Treatment involves the discontinuation of Terapi melibatkan penghentian kumarin,


warfarin, administration of vitamin K, and infusion pemberian vitamin K, infusi heparin pada dosis
of heparin at therapeutic dosages. Fresh frozen terapeutik. Plasma beku segar dan konsentrat
plasma and purifed protein C concentrates have protein C murni telah digunakan. Tindakan-
been used. Supportive measures for the skin are a tindakan suportif untuk kulit adalah terapi utama.
mainstay of therapy. The morbidity rate is high; Angka morbiditas cukup tinggi; 60 persen individu
60% of affected individuals require plastic surgery yang terkena memerlukan bedah plastis untuk
for remediation of fullthickness skin necrosis by perbaikan nekrosis kulit seluruh-lapisan dengan
skin grafting. These patients may be treated with graf kulit. Pasien-pasien ini bisa diterapi dengan
warfarin in the future, but small dosages (2–5 mg kumarin di masa mendatang tetapi dianjurkan
daily) are recommended, with initial treatment dengan dosis yang rendah (2 sampai 5 mg per hari),
under heparin coverage. dengan terapi awal bersama dengan heparin.

DRUG-INDUCED LICHENOID ERUPTIONS ERUPSI LIKENOID IMBAS-OBAT


Drug-induced lichen planus produces lesions that Lichen planus imbas obat menghasilkan lesi-lesi
are clinically and histologically indistinguishable yang secara klinis dan histologis tidak dapat
from those of idiopathic lichen planus (see Chapter dibedakan dari lichen planus idiopatik; akan tetapi,
26); however, lichenoid drug eruptions often erupsi obat lichenoid sering muncul pada awalnya
appear initially as eczematous with a purple hue sebagai ekzema dengan warna keunguan dan
and involve large areas of the trunk. Usually, the melibatkan banyak area trunkus. Biasanya,
mucous membranes and nails are not involved. membran muksa dan kuku tidakt erlibat. Secara
Histologically, focal parakeratosis, cytoid bodies in histologis, parakeratosis focal, interupsi lapisan
the cornifed and granular layers, the presence of granular, badan-badan sitoid dalam lapisan-lapisan
eosinophils and plasma cells in the inflammatory granular cornified, keberadaan eosinofil dan sel
infltrate, and an infltrate around the deep vessels plasma dalam infiltrat inflamatori, dan infiltrat di
favor a diagnosis of lichenoid drug eruption. Many sektiar pembuluh dalam mendukung diagnosis
drugs, including β-blockers, penicillamine, and erupsi obat lichenoid. Banyak obat, termasuk β-
ACE-inhibitors, especially captopril, reportedly blocker, penisilamin, dan inihibitor enzim
produce this reaction. Lichen planus-like eruptions pengonversi angiotensin (ACE), khususnya
have also been reported with tumor necrosis kaptopril, yang dilaporkan menghasilkan reaksi ini.
factor-α (TNF) antagonists, such as infliximab, Periode laten utama adalah antara 2 bulan sampai
etanercept, and adalimumab.48,49 The mean 3 tahun untuk penisilamin, sekitar 1 tahun untuk
latent period is between 2 months and 3 years for agen perintang β-adrenergik, dan 3 sampai 6 bulan
penicillamine, approximately 1 year for β- untuk inhibitor ACE. Periode laten bisa menjadi
adrenergic blocking agents, and 3–6 months for lebih singkat jika pasien sebelumnya telah terpapar
ACE-inhibitors. For anti-TNF treatments, the time terhadap obat. Penyembuhan biasanya terjadi
to reaction is similar with onset occurring between dengan waktu 2 hingga 4 bulan. Uji tantang dengan
3 weeks and 62 weeks. The latent period may be obat penyebab telah dilakukan pada beberapa
shortened if the patient has been previously pasien, dengan reaktivasi gejala-gejala dalam 4
exposed to the drug. Resolution usually occurs sampai 15 hari.
with 2–4 months. Rechallenge with the culprit
drug has been attempted in a few patients, with
reactivation of symptoms within 4–15 days.

DRUG-INDUCED CUTANEOUS PSEUDOLYMPHOMA PSEUDOLIMFOMA KUTANEOUS IMBAS-OBAT


Pseudolymphoma is a process that simulates Pseudolimfoma merupakan sebuah proses yang
lymphoma but has a benign behavior and does not mensimulasi limfoma tetapi memiliki perilaku jinak
meet the criteria for malignant lymphoma. Drugs dan tidak memenuhi kriteria untuk limfoma ganas.
are a wellknown cause of cutaneous Obat-obatan merupakan penyebab yang telah
pseudolymphomas (see Chapter 146), but the diketahuiuntuk pseudolimfoma kutaneous, tetapi
condition may also be induced kondisi ini juga bisa ditimbulkan oleh agen-agen
by foreign agents such as insect bites, infections infeksi seperti gigitan serangga, infeksi (misal: HIV),
(e.g., HIV), and idiopathic causes. dan penyebab idiopatik.

Anticonvulsant-induced pseudolymphoma Pseudolimfoma umumnya terjadi setelah 1 pekan


generally occurs after 1 week to 2 years of hingga 2 tahun keterpaparan terhadap obat. Dalam
exposure to the drug. Within 7–14 days of drug 7 sampai 14 hari penghentian obat, gejala-gejala
discontinuation, the symptoms usually resolve. biasanya sembuh. Erupsi sering bermanifestasi
The eruption often manifests as single lesions but sebagai lesi-lesi tunggal tetapi juga bisa berupa
can also be widespread erythematous papules, papula, plak, atau nodul eritematosa yang tersebar
plaques, or nodules. Most patients also have fever, luas. Kebanyakan pasien juga mengalami demam,
marked lymphadenopathy and limfadenopati signifikan dan hepatosplenomegali,
hepatosplenomegaly, and eosinophilia. Mycosis dan eosinofilia. Lesi-lesi mirip mikosis fungoides
fungoideslike lesions are also associated with juga terkait dengan obat-obat ini.
these drugs.

DRUG-INDUCED VASCULITIS VASKULITIS IMBAS OBAT


Drug-induced vasculitis represents approximately Vaskulitis imbas-obat mewakili sekitar 10 persen
10% of the acute cutaneous vasculitides and vaskulitida kutaneous akut dan biasnaya
usually involves small vessels (see Chapter 163). melibatkan pembuluh-pembuluh kecil. Obat-obat
Drugs that are associated with vasculitis include yang terkait dengan vaskulitis mencakup
propylthiouracil, hydralazine, granulocyte colony- propiltiourasil, hidralazin, faktor penstimulasi
stimulating factor, granulocyte-macrophage koloni granulosit, faktor penstimulasi koloni
colony-stimulating factor, allopurinol, cefaclor, makrofage granulosit, alopurinol, sefaklor,
minocycline, penicillamine, phenytoin, isotretinoin, minosiklin, penisilamin, fenitoin, dan isotretinoin.
and anti-TNF agents, including etanercept, Interval rata-rata mulai dari inisiasi terapi obat
infliximab, and adalimumab.49 The average sampai onset vaskulitis imbas obat adalah antara 7
interval from initiation of drug therapy to onset of sampai 21 hari; saat ditantang-ulang, lesi bisa
drug-induced vasculitis is 7–21 days; in the case of terjadi dalam kurang dari 3 hari.
rechallenge, lesions can occur in less than 3 days.

The clinical hallmark of cutaneous vasculitis is Penanda klinis vaskulitis kutaneous adalah purpura
palpable purpura, classically found on the lower yang dapat dipalpasi, yang lazim ditemukan pada
extremities. Urticaria can be a manifestation of ekstremitas bawah. Urtikaria bisa menjadi
small vessel vasculitis, with individual lesions manifestasi vaskulitis pembuluh kecil, dengan lesi-
remaining fxed in the same location for more than lesi individual yang tetap tidak berpindah pada
1 day. Other features include hemorrhagic bullae, lokasi yang sama selama lebih dari 1 hari. Ciri lain
ulcers, nodules, Raynaud disease, and digital mencakup bula hemoragik, ulser, nodul, penyakit
necrosis. The same vasculitic process may also Raynaud, dan nekrosis digital. Proses vaskulitis
affect internal organs such as the liver, kidney, gut, serupa juga bisa mengenai organ-organ dalam
and central nervous system and can be potentially seperti hati, ginjal, usus, dan sistem saraf sentral
life threatening. dan bisa berpotensi membahayakan keselamatan
pasien.

Drug-induced vasculitis can be diffcult to diagnose Vaskulitis imbas obat bisa sulit didiagnosa dan
and is often a diagnosis of exclusion. In some sering merupakan diagnosis eksklusi. Pada
cases, serologic testing has revealed the presence beberapa kasus, tes serologis telah menunjukkan
of perinuclear-staining antineutrophil cytoplasmic adanya autoantibodi sitoplasmik anti-neutrofil
autoantibodies against myeloperoxidase. staining-perinuklear terhadap myeloperoksidase.
Alternative causes for cutaneous vasculitis such as Penyebab-penyebab alternatif untuk vaskulitis
infection or autoimmune disease must be kutaneous seperti infeksi atau penyakit autoimun
eliminated. Tissue eosinophilia may be an indicator harus dihilangkan. Eosinofilia jaringan bisa menjadi
of drug induction in cutaneous small vessel indikator keterlibatan obat pada vaskulitis
vasculitis. Treatment consists of drug withdrawal. pembuluh kecil kutaneous. Terapi terdiri dari
Systemic glucocorticoids may be of benefit. penghentian obat. Glukokortikoid sistemik bisa
bermanfaat.

DRUG-INDUCED LUPUS (See Chapter 155) LUPUS IMBAS-OBAT (Lihat Bab 155)
Drug-induced lupus is characterized by frequent Lupus imbas obat ditandai dengan keluhan-keluhan
musculoskeletal complaints, fever, weight loss, muskuloskeletal yang sering, demam, penurunan
pleuropulmonary involvement in more than half of berat badan, keterlibatan pleuropulmonary pada
patients, and in rare cases renal, neurologic, or lebih dari setengah pasien, dan keterlibatan ginjal,
vasculitic involvement (see Table 41-1). Many neurologi, atau vaskulitis pada beberapa kasus
patients have no cutaneous fndings of lupus (lihat Tabel 40-1). Kebanyakan pasien tidak
erythematosus. The most common serologic memiliki gambaran kutaneous dari lupus
abnormality is positivity for antinuclear antibodies eritematosus. Abnormalitas serologi yang paling
with a homogenous pattern. Although antihistone umum adalah kepositifan untuk antibodi anti-
antibodies are seen in up to 95% of druginduced nuklear dengan pola homogen. Walaupun antibodi-
lupus, they are not specifc for the syndrome and antibodi anti-histamin ditemukan pada hingga 95
are found in 50%–80% of patients with idiopathic persen lupus imbas obat, namun antibodi-antibodi
lupus erythematosus. Unlike in idiopathic lupus ini tidak spesifik untuk sindrom ini dan ditemukan
erythematosus, antibodies against double- pada 50 hingga 80 persen pasien yang mengalami
stranded DNA are typically absent, whereas lupus eritematosus idiopatik. Berbeda pada lupus
antisingle-stranded DNA antibodies are often eritematosus idiopatik, antibodi anti DNA double-
present.54 Genetic factors may also play a role in strand biasanya tidak ada, sedangkan antibodi anti
the development of drug-induced lupus. HLA-DR4 DNA single-strand sering ada. Faktor-faktor genetik
is present in 73% of the patients with hydralazine- bisa memegang peranan dalam terjadinya lupus
induced lupus and in 70% of patients with imbas obat. HLA-DR4 terdapat pada 73 persen
minocycline-induced lupus.55 Evidence now pasien yang mengalami lupus imbas hidralazin dan
suggests that abnormalities during T-cell selection pada 70 persen pasien yang mengalami lupus
in the thymus initiate lupus-like autoantibody imbas minosiklin. Bukti sekarang menunjukkan
induction. bahwa abnormalitas selama seleksi sel-T pada
timus menginisiasi induksi auto-antibodi mirip
lupus.

In contrast, drug-induced subacute cutaneous Berbeda dengan itu, lupus eritematosus kutaneous
lupus erythematosus is characterized by a subakut imbas-obat ditandai dengan lesi
papulosquamous or annular cutaneous lesion, papuloskuamous atau lesi kutaneous anular, yang
which is often photosensitive, and absent or mild sering sensitif terhadap cahaya, dan keterlibatan
systemic involvement. Circulating anti-Ro (Sjögren sistemik ringan atau tidak ada keterlibatan
syndrome A) antibodies have also been identifed sistemik. Antibodi anti-Ro yang bersirkulasi
in many patients. (sindrom Sjogren) juga telah diidentifikasi pada
banyak pasien.

Many drugs have been implicated in causing Banyak obat yang telah dikaitkan dengan
druginduced lupus syndromes, especially terjadinya sindrom lupus imbas-obat, khususnya
hydralazine, procainamide, isoniazid, methyldopa, hidralazin, prokainamida, isoniazid, metildopa, dan
and minocycline.57 Drugs that have been minosiklin. Obat-obat yang telah dikaitkan dengan
associated with subacute cutaneous lupus lupus eritematosus kutaneos subakut mencakup
erythematosus include thiazide diuretics, calcium diuretik thiazida, perintang saluran kalsium, dan
channel blockers, and ACE inhibitors. The number inhibitor ACE. Jumlah pasien yang mengalami lupus
of patients who develop subacute cutaneous lupus eritematosus kutaneous subakut selama terapi
erythematosus during treatment with these dengan obat-obat ini sangat kecil, dan obat-obat ini
medications is very low, and these drugs are dianggap memiliki risiko rendah untuk
thought to have a low risk for causing or menyebabkan atau memperparah lupus
exacerbating cutaneous lupus.58 Other drugs that kutaneous. Obat lain yang telah dikaitkan dengan
have been associated with drug-induced lupus lupus imbas obat mencakup terbinafin, inhibitor
include terbinafne, proton pump inhibitors, and pompa proton, dan pengobatan anti-TNF.
anti-TNF treatments.

The identifcation of minocycline as a cause of Identifikasi minosiklin sebagai salah satu penyebab
druginduced lupus makes it important for lupus imbas obat menjadikannya penting bagi para
dermatologists to recognize this syndrome. dermatologis untuk mengenali sindrom ini. Lupus
Minocycline-induced lupus typically occurs after 2 imbas minosiklin lazimnya terjadi setelah 2 tahun
years of therapy. The patient presents with a terapi. Pasien mengalami poliarthritis simetris.
symmetric polyarthritis. Hepatitis is often detected Hepatitis sering dideteksi pada pemeriksaan
on laboratory evaluation. Cutaneous fndings laboratorium. Hasil pemeriksaan kutaneous
include livedo reticularis, painful nodules on the mencakup livedo retikularis, nodul nyeri pada
legs, and nondescript eruptions. Antihistone betis, dan erupsi non-deskrip. Antibodi anti-histone
antibodies are seldom present. A study of HLA jarang ditemukan. Sebuah penelitian terhadap alel-
class II alleles revealed the presence of HLA-DR4 or alel HLA kelas II menunjukkan adanya HLA-DR4
HLA-DR2 in many of the patients. atau HLA-DR2 pada banyak pasien.

DIAGNOSIS AND MANAGEMENT DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN


The iatrogenic disorders described here are Penyakit-penyakit iatrogenik yang disebutkan di
distinct disease entities, although they may closely sini adalah entitas penyakit tersendiri, walaupun
mimic many infective or idiopathic diseases. A bisa sangat mirip dengan banyak penyakit infeksi
drug cause should be considered in the differential atau penyakit idiopatik. Obat sebagai penyebab
diagnosis of a wide spectrum of dermatologic harus dipertimbangkan dalam diagnosis banding
diseases, particularly when the presentation or berbagai penyakti dermatologi, khususnya jika
course is atypical. presentasi perjalanan klinisnya tidak tipikal.

The diagnosis of a cutaneous drug eruption Diagnosis erupsi obat kutaneous dapat dilakukan
involves the precise characterization of reaction dengan penentuan tipe reaksi secara tepat.
type. A wide variety of cutaneous drug-associated Berbagai erupsi kutaneous terkait-obat juga
eruptions may also warn of associated internal memperingatkan tentang toksisitas internal terkait
toxicity (Table 41-3). Even the most minor (Tabel 40-3). Bahkan erupsi kutaneous yang paling
cutaneous eruption should trigger a clinical review kecil seharusnya memicu review klinis sistem,
of systems, because the severity of systemic karena keparahan keterlibatan sistemik tidak harus
involvement does not necessarily mirror that of merupakan manfiestasi kulit. Perubahan hepatik,
the skin manifestations. Hepatic, renal, joint, ginjal, sendi, respirasi, hematologi, dan perubahan
respiratory, hematologic, and neurologic changes neurologis harus diperiksa, dan semua gejala atau
should be sought, and any systemic symptoms or tanda sistemik diselidiki. Demam, malaise,
signs investigated. Fever, malaise, pharyngitis, and faringitis, dan gejala-gejala atau tanda-tanda
other systemic symptoms or signs should be sistemik lainnya harus diselidiki. Tes yang lazim
investigated. A usual screen would include a full digunakan adalah hitung darah utuh, tes fungsi
blood count, liver and renal function tests, and a ginjal dan hati, dan analisis urn.
urine analysis.

Skin biopsy should be considered for all patients Biopsi kulit harus dipertimbangkan untuk semua
with potentially severe reactions, such as those pasien yang berpotensi mengalami reaksi parah,
with systemic symptoms, erythroderma, blistering, seperti yang mengalami gejala sistemik,
skin tenderness, purpura, or pustulation, as well as eritroderma, pelepuhan, kelunakan kulit, purpura,
in cases in which the diagnosis is uncertain. Some atau pustulasi, serta pada kasus dimana diagnosis
cutaneous reactions, such as FDE, are almost tidak tentu. Beberapa reaksi kutaneous, seperti
always due to drug therapy, and approximately FDE, hampir selalu disebabkan oleh terapi obat,
40%–50% of SJS/ TEN cases are also drug dan hampir 90 persen kasus TEN juga terkait
related.59 Other more common eruptions, dengan obat. Erupsi yang lebih umum lainnya, yang
including exanthematous or urticarial eruptions, mencakup erupsi eksantematosa atau erupsi
have many nondrug causes. urtikarial, memiliki banyak penyebab yang bukan
obat.

There is no gold standard investigation for Belum ada pemeriksaan standar untuk konfirmasi
confrmation of a drug cause. Instead, diagnosis penyebab obat. Justru, diagnosis dan p;emeriksaan
and assessment of cause involve analysis of a penyebab melibatkan analisis berbagai ciri seperti
constellation of features such as timing of drug waktu terjadinya keterpaparan obat dan onset
exposure and reaction onset, course of reaction reaksi, perjalanan reaksi dengan menghentikan
with drug withdrawal or continuation, timing, and atau melanjutkan obat pada uji tantang, riwayat
nature of a recurrent eruption on rechallenge, a respons serupa untuk obat yang bereaksi silang,
history of a similar response to a crossreacting dan laproan terdahulu tentang reaksi serupa
medication, and previous reports of similar terhadap obat yang sama. Pemeriksaan untuk
reactions to the same medication. Investigations to mengeluarkan kemungkinan penyebab non-obat
exclude nondrug causes are similarly helpful. juga sangat membantu.

Several in vitro investigations can help to confrm Beberapa pemeriksaan in vitro bisa membantu
causation in individual cases, but their exact menguatkan hubungan sebab-akibat pada kasus-
sensitivity and specifcity remain unclear. kasus individual, tetapi sensitifitas dan spesifitas
Investigations include the lymphocyte toxicity and pasitnya masih belum jelas. Pemeriksaan
lymphocyte transformation assays.60 The basophil mencakup toksisitas limfosit dan uji transformasi
activation test has been reported to be useful to limfosit. Tes aktivasi basofil telah dilaporkan
evaluate patients with possible drug allergies to β- bermanfaat untuk mengevaluasi pasien dengan
lactam antibiotics, NSAIDs, and muscle kemungkinan alergi obat terhadap antibiotik beta-
relaxants.14 Penicillin skin testing with major and laktam, NSAID, dan relaksan otot. Tes kulit dengan
minor determinants is useful for confrmation of an penisilin bermanfaat untuk memastikan reaksi
IgE-mediated immediate hypersensitivity reaction hipersensitifitas imediet berperantara IgE terhadap
to penicillin.14 Patch testing has been used in penisilin. Tes tempel telah digunakan pada pasien-
patients with ampicillin-induced exanthematous pasien yang mengalami erupsi eksantematosa
eruptions, AGEP reactions,61 abacavir-induced imbas ampisilin dan dalam diagnosis FDE. Tes
hypersensitivity,62 and in the ancillary diagnosis of tempel memiliki sensitifitas yang lebih besar jika
FDEs. Patch testing has greater sensitivity if dilakukan pada area kulit yang sebelumnya terlibat.
performed over a previously involved area of skin.

Cutaneous drug eruptions do not usually vary in Erupsi obat kutaneous tidak biasanya memiliki
severity with dose. Less severe reactions may keparahan yang tergantung dosis. Reaksi-reaksi
abate with continued drug therapy (e.g., transient yang kurang parah bisa reda dengan terapi obat
exanthematous eruptions associated with yang terus dilanjutkan (misal: erupsi eksantema
commencement of a new HIV antiretroviral sementara yang terkait dengan dimulainya resimen
regimen). However, a reaction suggestive of a antiretroviral HIV baru). Akan tetapi, sebuah reaksi
potentially life-threatening situation should yang menandakan situasi yang membahayakan
prompt immediate discontinuation of the drug, nyawa harus menyegerakan penghentian obat,
along with discontinuation of any interacting drugs serta penghentian obat lain yang beritneraksi, yang
that may slow the elimination of the suspected mana bisa meperlambat penghilangan agen
causative agent. Although the role of kausatif yang dicurigai. Walaupun peran
corticosteroids in the treatment of serious kortikosteroid dalam pengobatan reaksi-reaksi
cutaneous reactions is controversial, most kutaneous serius masih kontroversial, kebanyakan
clinicians choose to start prednisone at a dosage of klinisian memilih memulai prednisone pada dosis
1–2 mg/kg/day when symptoms are severe. 1-2 mg/kg/hari ketika gejala-gejala parah.
Antihistamines, topical corticosteroids, or both can Antihistamin, kortikosteroid topikal, atau keduanya
be used to alleviate symptoms.63 Resolution of bisa digunakan untuk meredakan gejala.
the reaction over a reasonable time frame after Penyembuhan reaksi dalam kurun waktu yang
the drug is discontinued is consistent with a drug wajar setelah obat dihentikan sejalan dengan
cause but also occurs for many infective and other penyebab obat tetapi juga terjadi untuk banyak
causes of transient cutaneous eruptions. Drug penyebab infeksi dan lainnya pada erupsi
desensitization, also known as induction of drug kutaneous sementara. Desensitisasi obat, yang juga
tolerance, has been used primarily for IgE- dikenal sebagai induksi toleransi obat, telah
mediated reactions caused by drugs such as digunakan utamanya untuk reaksi-reaksi
penicillin or more recently, monoclonal antibodies berperantara Ige yang disebabkan oleh obat
such as rituximab and infliximab.14,64 Patients seperti penisilin atau antibodi monoclonal seperti
should not be rechallenged or desensitized if they rituksimab dan infliksimab. Pasien tidak boleh
have suffered a potentially serious reaction. ditantang-ulang atau didesensitisasi jika mereka
mengalami reaksi yang berpotensi serius.

PREVENTION PENCEGAHAN
Cutaneous reactions to drugs are largely Reaksi-reaksi kutaneous terhadap obat sebagian
idiosyncratic and unexpected; serious reactions besar bersifat idiosinkratik dan tidak terduga;
are rare. However, once a reaction has occurred, it reaksi-reaksi serius cukup jarang. Akan tetapi, jika
is important to prevent future similar reactions in reaksi sudah terjadi, penting untuk mencegah
the patient with the same drug or a cross-reacting reaksi-reaksi serupa di masa mendatang pada
medication. For patients with severe reactions, pasien dengan obat yang sama atau obat yang
wearing a bracelet (e.g., MedicAlert) detailing the bereaksi-silang. Untuk pasien dengan reaksi-reaksi
nature of the reaction is advisable, and patient parah, mengenakan gelang kesehatan (seperti
records should be appropriately labeled. MedicAlert) yang merinci sifat-sifat reaksi sangat
dianjurkan, dan rekam pasien perlu diberi label
dengan tepat.

Host factors appear important in many reactions. Faktor-faktor host tampak penting pada banyak
Some of these can be inherited, which places reaksi. Beberapa diantaranya bisa diwariskan, yang
frstdegree relatives at a greater risk than the mana menempatkan kerabat tingkat pertama pada
general population for a similar reaction to the risiko lebih besar dibanding populasi umum untuk
same or a metabolically cross-reacting drug. This reaksi serupa terhadap obat yang sama. Temuan
fnding appears to be important in SJS, TEN, and ini tampak penting pada SJS, TEN, dan sindrom
drug hypersensitivity syndrome. hipersensitifitas obat.

Reporting reactions to the manufacturer or Melaporkan reaksi obat ke produsen obat atau
regulatory authorities is important. Postmarketing otoritas berwenang juga penting. Pelaporan reaksi-
voluntary reporting of rare, severe, or unusual reaksi langka, parah, atau tidak lazim pasca
reactions remains crucial to enhance the safe use pemasaran masih menjadi faktor penting untuk
of pharmaceutical agents. meningkatkan keamanan penggunaan agen-agen
farmaseutik.

Anda mungkin juga menyukai