Anda di halaman 1dari 3

TUGAS

PERITONITIS

DISUSUN OLEH:

DAFFA ARKANANTA PUTRA YANNI

1102015050

PEMBIMBING:

Dr. KALIS SATYA WIJAYA, Sp.B (K), Sp. BA

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KABUPATEN BEKASI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
PERIODE 15 MARET – 25 APRIL 2021
PENYEBAB PERITONITIS
Peritonitis adalah keadaan akut abdomen akibat peradangan sebagian atau seluruh selaput
peritoneum parietale ataupun viserale pada rongga abdomen. Peritonitis merupakan penyulit
berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk akut dan kronis, biasanya disertai dengan gejala
nyeri abdomen dan nyeri tekan pada abdomen, konstipasi, dan demam. Peradangan biasanya
disebabkan oleh infeksi pada peritoneum. Seringkali disebabkan dari penyebaran infeksi yang
berasal dari organ-organ di cavum abdomen. Penyebab tersering adalah perforasi dari organ
lambung, colon, kandung empedu dan apendiks.Infeksi dapat juga menyebar dari organ lain
yang menjalar melalui darah (Schwarts, 2015).

Peritonitis umumnya disebabkan oleh bakteri, namun dapat juga disebabkan oleh zat kimia
(aseptik), empedu, tuberkulosis, klamidia, diinduksi obat atau diinduksi oleh penyebab
lainnya yang jarang (Buja, 2014).

Peritonitis bakterial primer (Spontaneous Bacterial Peritonitis/SBP) merupakan infeksi


bakteri yang luas pada peritoneum tanpa hilangnya integritas saluran gastrointestinal.
Streptococcus pneumoniae biasanya merupakan organisme penyebabnya. Faktor risiko yang
berperan pada peritonitis ini adalah adanya malnutrisi, keganasan intra abdomen,
imunosupresi, dan splenektomi. Kelompok risiko tinggi adalah pasien dengan sindrom
nefrotik, gagal ginjal kronik, lupus eritematosus sistemik, dan sirosis hepatis dengan asites
(Schwarts, 2015).

Peritonitis bakterial sekunder merupakan infeksi peritoneum akut yang terjadi akibat
hilangnya integritas saluran gastrointestinal. Kuman aerob dan anaerob sering terlibat, dan
kuman tersering adalah Escherichia coli dan Bacteroides fragilis (Buja, 2014).

Peritonitis akibat zat kimia (aseptik) terjadi sekitar 20% dari seluruh kasus peritonitis, dan
biasanya sekunder dari perforasi ulkus duodenum atau gaster (Buja, 2014).

PATOFISIOLOGI PERITONITIS
Peritonitis primer dan sekunder secara prinsip memiliki etiologi yang berbeda dalam
patogenesisnya. Pada peritonitis primer, etiologi terjadinya peritonitis tidak berasal dari
traktus gastrointestinal (infeksi yang nantinya terjadi tidak berhubungan langsung dengan
gangguan organ gastrointestinal), sedangkan pada sekunder ditemukan adanya kerusakan
integritas traktus (perforasi) tersebut baik akibat strangulasi maupun akibat infeksi (Schwartz,
2015).

Pada peritonitis sekunder terjadi kontaminasi rongga peritoneum yang steril terhadap
mikroorganisme yang berasal dari traktus gastrointestinal. Dalam keadaan fisiologis tidak ada
hubungan langsung antara lumen gastrointestinal dengan rongga peritoneum, namun apabila
terjadi kerusakan integritas dari traktus gastrointestinal hubungan tersebut tercipta. Kerusakan
integritas dari traktus gastrointestinal terjadi pada beberapa kondisi, seperti appendisitis
perforasi, perforasi ulkus peptikum (gaster atau duodenum), perforasi colon (sigmoid) karena
diverticulitis, sampai volvulus, kanker, dan strangulasi (hernia inguinalis, femoralis, atau
obturator). Akibat kontaminasi tersebut, flora normal usus seperti Escherichia coli dan
Klebsiella pneumoniae (serta bakteri gram negatif dan anaerobik lainnya) masuk dalam
rongga peritoneum. Infeksi pada peritonitis sekunder secara tipikal bersifat polimikrobial
(gram negatif aerob dan anaerob). Adanya invasi dari bakteri-bakteri tersebut menyebabkan
reaksi peradangan seperti yang mengaktifkan seluruh mekanisme pertahanan peritoneum
(dari eliminasi mekanik sampai pembentukan eksudat). Eliminasi mekanik menjadi salah satu
jalur utama bagi bakteri-bakteri masuk dalam pembuluh darah (bakteremia) yang pada
akhirnya dapat berlanjut menjadi sepsis, sepsis berat, syok sepsis, dan MODS (Multiple
Organ Dysfunction Syndrome). Reaksi peradangan lokal menyebabkan peningkatan
permeabilitas dari pembuluh darah kapiler sehingga terjadi perpindahan cairan ke “rongga
ketiga” yang dapat berlanjut menjadi hipovolemia. Reaksi peradangan tersebut dapat
berlanjut menjadi SIRS (Systemic Inflammatory Response Syndrome), Proses inflamasi akut
dalam rongga abdomen mengakibatkan terjadinya aktivasi saraf simpatis dan supresi dari
peristalsis (ileus). Absorbsi cairan dalam usus akan terganggu sehingga cairan tidak hanya
terdapat pada rongga peritoneum, tetapi juga dalam lumen usus. Selain itu, ileus paralitik
menyebabkan pertumbuhan mikroorganisme yang tidak terkontrol.

DAFTAR PUSTAKA
Schwartz S, Brunicardi F, Andersen D, Billiar T, Dunn D, Hunter J, et al. 2015. Schwartz's
Principles of Surgery 10th ed. New York: McGraw-Hill Education.

Buja L, Krueger G & Netter F. 2014. Netter's illustrated human pathology. London: Elsevier
Health Sciences.

Anda mungkin juga menyukai