Anda di halaman 1dari 4

 TNI/Militer sebagai kekuatan politik Indonesia

Pada tanggal 2 Mei 1955, seminggu setelah Konferensi Asia Afrika digelar, KSAD Bambang
Sugeng mengundurkan diri dari jabatannya, didorong oleh ketidakmampuannya
melaksanakan amanat Piagam Yogya sebagai buntut dari penyelesaian peristiwa 17 Oktober.
Untuk menduduki jabatan tersebut, kabinet berketetapan akan mengangkat salah satu perwira
dari “kelompok anti 17 Oktober” dan segera mengajukan calon-calonnya, namun pimpinan
TNI AD menjelang akhir Mei menegaskan bahwa pengisian dan pengangkatan KSAD harus
didasarkan pada senioritas dan sejalan dengan kepentingan militer. TNI Sebagai Kekuatan
Politik Setelah Jatuhnya Kabinet Ali, dokumen Piagam keutuhan Angkatan Darat Republik
Indonesia dalam buku Sejarah Tentara Nasional Indonesia, Akan tetapi kemudian kabinet Ali
memutuskan untuk mengangkat Kolonel Bambang Utojo menjadi KSAD yang baru, yang
sebenarnya pada saat itu senioritasnya masih rendah. Pimpinan TNI menolak keputusan
tersebut, dan mengancam akan melakukan boycott terhadap pengangkatan Bambang Utojo
apabila tetap akan dilaksanakan. Pada hari pengangkatan Kolonel Bambang Utojo dengan
suatu upacara pelantikan sebagai KSAD, dengan pangkat Mayor Jenderal, Pimpinan TNI dan
para perwira yang diundang memboikotnya atas perintah Pejabat KSAD Zulkifli Lubis, dan
Lubis menolak untuk menyerahkan otoritasnya kepada Bambang Utojo. Pemerintah
kemudian melalui menteri pertahanan Mr. Iwa Kusuma Sumantri atas instruksi dari Presiden
Sukarno bertindak dengan memecat Lubis dari segala jabatannya. Kolonel Lubis tidak
menggubris pemecatan itu dengan menyatakan bahwa dia didukung oleh seluruh perwira
Komandan Teritorium, serta seluruh pimpinan TNI.

Akhirnya timbullah polemik dimana para pimpinan TNI di satu pihak dan Pemerintah di
pihak yang lain tetap berkeras pada keputusan masing-masing. Sementara itu, ternyata
keputusan politik pemerintah terhadap TNI AD itu ditentang oleh partai-partai, dan bahkan
partai-partai pemerintah di Parlemen mengajukan mosi tidak percaya atas keputusan tersebut,
serta menuntut agar menteri-menterinya ditarik dari kabinet. Hanya PNI dan PKI-lah yang
tetap mendukung keputusan tersebut, dan menyuarakan dalam media massa tentang adanya
bahaya diktator militer.

Jurnal TAPIs Vol.9 No.1 Januari-Juni 2013, keterlibatan militer dalam kancah politik
di indonesia Nurhasanah Leni hal 36-37.
Pada masa transisi di dalam kehidupan politik di Indonesia ini Tentara Nasional Indonesia
melalui Mayor Jenderal A. H. Nasution sebagai KSAD, menitikberatkan tindakannya untuk
mengurangi, dan bahkan untuk menghilangkan kerapuhan politis yang merupakan kelemahan
paling fundamentil yang ada pada TNI. Jenderal Nasution menitikberatkan usahanya untuk
mendapatkan legitimasi atau “dasar hukum” bagi TNI untuk melakukan peranan-peranan
non-militer, dalam hal ini peranan politik yang selama ini belum dimiliki TNI. Akibat
konsepsi yang dilemparkan oleh Bung Karno tersebut, timbullah reaksi pro dan kontra yang
luar biasa di kalangan masyarakat dan terutama di kalangan partai-partai politik, sehingga
muncul polarisasi antara dua kekuatan yang pro Sukarno maupun yang kontra Sukarno.
Bahkan daerah-daerah sudah banyak yang kemudian semakin keras menentang pemerintah
pusat dan diantaranya menyatakan daerah kekuasaannya dalam keadaan darurat perang.
Munculnya Militer Sebagai Kekuatan Politik Pada Masa Transisi 1957- 1959. Muhaimin,
Perkembangan Militer dalam Politik di Indonesia 1945-1966. Pada hari itu juga Presiden
Sukarno mengumumkan Negara dalam keadaan darurat/bahaya perang, atau SOB*. SOB
inilah yang akhirnya memberikan dasar hukum kepada militer, untuk melakukan tindakan-
tindakan non-militer khususnya tindakan politik

 *staat van oorlog en beleg (SOB) state of emergency.

 Kedudukan militer dalam sistem demokratis masyarakat

Sistem demokrasi adalah keniscayaan bagi negara modern. Menurut Huntington, seseorang
realis yang fokus pada isu-isu peradaban, demokrasi dan hubungan sipil-militer,
mendefinisikan demokrasi sebagai suatu bentuk pemerintahan yang berdasarkan sumber
wewenang bagi pemerintah, tujuan yang dilayani oleh pemerintah, dan prosedur untuk
membentuk pemerintahan.

Dalam suatu sistem demokrasi dimana negara berperan sebagai pelindung masyarakat dari
ancaman dan gangguan internal maupun eksternal, maka posisi militer di dalam sebuah
negara sudah semestinya berfungsi agar ancaman dan gangguan itu menjadi sebuah
keharusan. Fungsi itu bisa dikatakan sebagai kewajiban pokok dari sebuah institusi militer.
Dengan demikian posisi militer atau angkatan bersenjata merupakan sebuah institusi yang sah
atau lazim “jika memang disepakati dan mempunyai legalitas tersendiri dari pemerintah”
dalam sebuah organisasi yang bernama negara, yang mempunyai kewajiban berkaitan dengan
perlindungan negara demi memproteksi masyarakat dari ancaman fisik.

 Paradigma Baru dan Reformasi TNI

Rasa semangat demokrasi dan fungsi militer atau TNI di Indonesia dalam praktik dan
kebijakan yang tersedia kini senafas dengan agenda reformasi dan prinsip-prinsp militer di
negara demokrasi.

Paradigma Baru TNI pasca 1998 adalah: Paradigma yang dilandasi cara berpikir yang bersifat
analitik dan prospektif ke masa depan berdasarkan pendekatan komprehensif yang
memandang TNI sebagai bagian dari sistem nasional. Paradigma baru ini dalam fungsi sosial
politik mengambil bentuk implementasi sebagai berikut; Merubah posisi dan metode tidak
selalu harus di depan. Hal ini mengandung arti bahwa kepeloporan dan keteladanan TNI
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang dulu amat mengemuka dan
secara kondisi obyektif memang diperlukan pada masa itu, kini dapat berubah untuk memberi
jalan guna dilaksanakan oleh institusi fungsional.

Dengan kata lain TNI dengan paradigma barunya tidak mengubah secara signifikan budaya
dan postur dari TNI dalam ruang sosial-politik. Dengan paradigma barunya TNI tetap berada
dalam ruang konservatisme dengan kepercayaan pada supremasi sipil dalam pengelolaan
negara.

Dari paradigma baru itu juga terasa suatu sikap historistik yang memonopoli pemaknaan akan
sejarah. Sikap ini terlihat dari kecenderungan menonjolkan kepeloporan dan keteladanan TNI
yang merentang jauh kebelakang ke masa 1945 tanpa melihat konteks dan pembaruan
interpretasi.

Anda mungkin juga menyukai