Dibuat Oleh:
Prodi Profesi Ners Lanjutan Kelas A
Yesika M. I. Tangkudung
NIM: 711490121054
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Pada akhir Desember 2019, dunia digemparkan dengan munculnya kasus pneumonia misterius
yang dilaporkan pertama kali di Wuhan, provinsi Hubei. Belum diketahui dengan pasti sumber
penularannya, tetapi kasus dikaitkan dengan pasar ikan Wuhan. Pada tanggal 18 sampai 29
Desember 2019, telah dilaporkan terdapat lima pasien yang dirawat dengan Acute Respiratory
Distress Syndrome (ARDS) di Wuhan. Hingga saat ini kasus terus meningkat dan telah menyebar
di berbagai provinsi lain di China, Thailand, Jepang, Korea Selatan dan negara-negara lain
(Susilo, dkk 2020). Pada tanggal 11 Februari 2020, World Health Organization memberi nama
virus tersebut Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus-2 (SARS-CoV-2) dan nama
Pada tanggal 12 Maret 2020 WHO telah mengumumkan COVID-19 sebagai pandemik. Tercatat
hingga tanggal 31 Juli 2021, terdapat 197.943.446 kasus dan 4.222.934 jiwa meninggal akibat
Indonesia tercatat 3.372.374 kasus dengan positif COVID-19 dan 92.311 jiwa meninggal akibat
Diketahui bahwa penyebaran SARS-CoV-2 dari manusia ke manusia menjadi sumber transmisi
utama sehingga penyebaran bersifat lebih agresif. Transmisi SARS-CoV-2 dari pasien
simptomatik terjadi melalui droplet yang keluar saat batuk atau bersin. Selain itu, telah diteliti
pula bahwa SARS-CoV- 2 dapat viabel pada aerosol (dihasilkan melalui nebulizer), yang mana
virus mampu bertahan setidaknya 3 jam. SARS-CoV-2 pada manusia utamanya menginfeksi sel-
sel pada saluran napas yang melapisi alveoli. SARS-CoV-2 akan berikatan dengan reseptor-
reseptor dan membuat jalan masuk ke dalam sel (Susilo, dkk 2020).
Pada Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) sindrom gejala klinis yang muncul beragam, dari
(sebagian kecil berdahak) dan sulit bernapas atau sesak (WHO dalam PDPI, 2020). Menurut data
WHO, sekitar 81% pasien virus corona mengalami gejala ringan, 14% kondisinya membutuhkan
terapi oksigen, dan sekitar 5% memerlukan perawatan intensif, dengan pneumonia berat menjadi
diagnosa utama pada pasien COVID-19. COVID-19 menginfeksi saluran pernapasan atas yang
menyumbat paru-paru. Pada kasus yang lebih parah virus corona mampu langsung merusak paru-
paru. Ketika virus bereplikasi secara bertahap virus sedang menuju area pernapasan bawah
(respiratory tree) dan masuk ke tabung bronkial. Ketika tabung bronkial mengalami bengkak
karena peradangan, pada saat itu sistem pernapasan bermasalah dan sirkulasi oksigen pun
terganggu. Hal inilah yang membuat pasien COVID-19 kesulitan bernapas dan membutuhkan
terapi pemberian oksigen bahkan alat bantu ventilator. Pemberian terapi oksigen akan membantu
untuk memenuhi kebutuhan oksigen dalam tubuh yang tidak dapat dilakukan oleh pasien
COVID-19 dikarenakan terinfeksinya organ paru-paru dan terdapatnya peradangan pada bronkial
(VOI, 2020).
(Puspitasari dkk, 2015). Berdasarkan teroi Hierarki Maslow, Oksigen sebagai kebutuhan utama
yang termasuk ke dalam lima kebutuhan fisiologis manusia harus terpenuhi. Keberadaan oksigen
sangat mempengaruhi unsur vital tubuh dalam proses metabolisme untuk mempertahankan
kelangsungan hidup seluruh sel tubuh (Andarmoyo, 2012). Oksigen disuplai ke seluruh tubuh
oleh jantung dan paru- paru untuk proses metabolisme tubuh untuk mempertahankan hidup dan
aktivitas berbagai organ dan sel tubuh. Apabila lebih dari 4 menit orang tidak mendapatkan
oksigen maka akan berakibat pada kerusakan otak yang tidak dapat diperbaiki dan biasanya
pasien akan meninggal. Secara fungsional oksigen memegang peranan penting dalam semua
proses tubuh. Pemenuhan kebutuhan oksigen ini tidak terlepas dari kondisi sistem pernapasan
secara fungsional. Bila ada gangguan pada salah satu organ sistem respirasi, maka kebutuhan
oksigen pun akan terganggu (Kusnanto, 2016). Pada pasien COVID-19 sistem pernapasan
terpenuhinya kebutuhan oksigen yang disebabkan oleh adanya gangguan pertukaran gas.
TUJUAN
TINJAUAN PUSTAKA
KONSEP COVID 19
Pengertian COVID 19
Coronavirus merupakan virus RNA strain tunggal positif, berkapsul dan tidak bersegmen yang
termasuk dalam ordo Nidovirales, keluarga Coronaviridae. Coronaviridae dibagi dalam dua
subkeluarga yang dibedakan berdasarkan serotipe dan karakteristik genom. Terdapat empat genus
yaitu alpha coronavirus, betacoronavirus, deltacoronavirus dan gamma coronavirus (Burhan, dkk
2020). Struktur coronavirus seperti kubus dengan protein S yang berlokasi di permukaan virus.
Coronavirus bersifat sensitif terhadap panas dan secara efektif dapat diinaktifkan oleh desinfektan
yang mengandung klorin, pelarut lipid dengan suhu 56 oC selama 30 menit, eter, alkohol, asam
perioksiasetat, detergen non-ionik, formalin, oxidizing agent dan kloroform. Sedangkan penggunaan
klorheksidin tidak efektif dalam menonaktifkan virus (Wang, dalam Yuliana 2020).
Infeksi virus corona yang disebut COVID-19 pertama kali ditemukan di kota Wuhan, Cina, pada akhir
Desember 2019. Virus ini menular dengan sangat cepat dan telah menyebar ke hampir semua negara,
termasuk Indonesia, hanya dalam waktu beberapa bulan. COVID 19 merupakan penyakit menular
yang disebabkan oleh virus bernama SARS-CoV-2. Virus corona adalah zoonosis (ditularkan antara
hewan dan manusia). Ada setidaknya dua jenis coronavirus yang diketahui menyebabkan penyakit
yang dapat menimbulkan gejala berat seperti Middle East Respiratory Syndrome (MERS-CoV) dan
Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS- CoV). SARS CoV2 adalah virus jenis baru yang belum
pernah diidentifikasi sebelumnya pada manusia dan menyebabkan Coronavirus Disease 2019
(COVID-19).
Penyakit coronavirus 2019 (COVID-19) adalah infeksi saluran pernapasan yang disebabkan oleh
terdapat berbagai protein dengan berbagai fungsi, salah satunya berikatan dengan reseptor membran
sel. Hal inilah yang membuat virus dapat mudah masuk ke dalam sel tubuh. Struktur virus menyerupai
Coronavirus adalah kelompok besar virus yang dapat menyebabkan penyakit pada
hewan dan manusia. Beberapa penyakit-penyakit pada manusia yang ditimbulkan virus dari keluarga
coronavirus adalah selesma, Middle East Respiratory Syndrome (MERS), Severe Acute Respiratory
Syndrome (SARS), dan penyakit yang dinyatakan pandemi tertanggal 11 Maret 2020 oleh WHO,
pneumonia yang belum diketahui penyebabnya di Wuhan, China. Hari ke hari jumlah kasus meningkat
hingga akhirnya WHO menetapkan kasus ini sebagai Public Health Emergency of International
12 Februari 2020, nama COVID-19 resmi digunakan untuk penyakit baru ini dengan virus
Hasil analisis filogenetik menunjukkan bahwa virus ini masuk dalam subgenus yang sama dengan
coronavirus yang menyebabkan wabah Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS) pada 2002-2004
silam, yaitu Sarbecovirus. Atas dasar ini, International Committee on Taxonomy of Viruses
gejala (asimtomatik), gejala ringan, pneumonia, pneumonia berat, ARDS, sepsis, hingga syok sepsis.
Sekitar 80% kasus tergolong ringan atau sedang, 13,8% mengalami sakit berat, dan sebanyak 6,1%
memiliki suhu puncak antara 38,1-39oC dan 34% suhu pasien lebih dari 39oC, batuk dan
kesulitan bernapas. Selain itu dapat disertai dengan sesak memberat, fatigue, mialgia, gejala
gastrointestinal seperti diare dan gejala saluran napas lain. Setengah dari pasien timbul sesak
dalam satu minggu. Pada kasus berat perburukan secara cepat dan progresif, seperti ARDS, syok
septik, asidosis metabolik yang sulit dikoreksi dan perdarahan atau disfungsi sistem koagulasi
dalam beberapa hari. Kebanyakan pasien memiliki prognosis baik, dengan sebagian kecil dalam
Berdasarkan kondisi pasien, gejala yang muncul dapat dikategorikan sebagai berikut, gejala
ringan didefinisikan sebagai pasien dengan infeksi akut saluran napas atas tanpa komplikasi, bisa
disertai dengan demam, fatigue, batuk (dengan atau tanpa sputum), anoreksia, malaise, nyeri
tenggorokan, kongesti nasal, atau sakit kepala. Pasien tidak membutuhkan suplementasi oksigen.
Pada beberapa kasus pasien juga mengeluhkan diare dan muntah. Pasien COVID-19 dengan
pneumonia berat ditandai dengan demam, ditambah salah satu dari gejala: (1) frekuensi
pernapasan >30x/menit (2) distres pernapasan berat, atau (3) saturasi oksigen 93% tanpa bantuan
Perjalanan penyakit dimulai den gan masa inkubasi yang lamanya sekitar 3-14 hari (median 5
hari). Pada masa ini leukosit dan limfosit masih normal atau sedikit menurun dan pasien tidak
bergejala. Pada fase berikutnya (gejala awal), virus menyebar melalui aliran darah, diduga
terutama pada jaringan yang mengekspresi ACE2 seperti paru-paru, saluran cerna dan jantung.
Gejala pada fase ini umumnya ringan. Serangan kedua terjadi empat hingga tujuh hari setelah
timbul gejala awal. Pada saat ini pasien masih demam dan mulai sesak, lesi di paru memburuk,
limfosit menurun. Penanda inflamasi mulai meningkat dan mulai terjadi hiperkoagulasi. Jika
tidak teratasi, fase selanjutnya inflamasi makin tak terkontrol, terjadi badai sitokin yang
Virus corona ditularkan antara manusia dan hewan (zoonis) karena mengalami
spillover. Spillover ini dapat terjadi karena berbagai faktor, misalnya mutasi atau peningkatan kontak
antara manusia dengan hewan yang memiliki virus corona. Pada mulanya SARS ditularkan kucing
luwak dan MERS ditularkan unta. Saat ini, kelelawar diduga sebagai hewan yang berperan menjadi
sumber penularan dan trenggiling menjadi reservoir sementara SARS-CoV-2. Pada beberapa minggu
pertama, wabah COVID- 19 diketahui berasosiasi dengan pasar makanan laut yang menjual hewan
hidup di Wuhan karena semua pasien saat itu memiliki riwayat bekerja atau mengunjungi pasar
tersebut.
Selain zoonis, penyakit ini juga menular antar manusia. Penyebaran SARS-CoV-2 dari
manusia ke manusia menjadi sumber transmisi utama sehingga penyebaran menjadi lebih agresif.
COVID-19 menular melalui droplet (yang keluar ketika batuk, bersin, atau menghembuskan napas)
dan kontak erat, berbeda dengan tuberkulosis yang menular melalui udara atau airbone.
Virus yang keluar bersama droplet menempel di permukaan benda. Orang lain dapat
tertular COVID-19 bila menyentuh mata, hidung, atau mulut dengan tangan yang telah berkontak
benda dengan droplet yang mengandung virus. Virus dapat bertahan di lingkungan sekitar tiga jam
hingga beberapa hari (pada tembaga hingga 4 hari, hingga 24 jam pada papan kardus, serta hingga 2-3
hari pada plastik dan stainless steel. Droplet yang dikeluarkan ketika batuk atau bersin dapat
menempel pada benda berjarak satu meter. Oleh karena itu, penting untuk menjaga jarak satu meter
Penulisan lain menemukan bahwa virus ini ditemukan pula pada feses sehingga diduga
berpotensi sebagai salah satu rute transmisi. Selain itu, pada biopsi sel epitel rektum, duodenum, dan
gaster ditemukan bukti infeksi SARS-CoV-2. Lebih lanjut, ditemukan 23% pasien yang virusnya
masih terdeteksi dari sampel feses padahal sudah tidak terdeteksi pada sampel saluran napas.
Patofisiologi
Coronavirus menyebabkan sejumlah besar penyakit pada hewan dan kemampuannya
menyebabkan penyakit berat pada hewan seperti babi, sapi, kuda, kucing dan ayam. Coronavirus
disebut dengan virus zoonatik yaitu virus yang ditransmisikan dari hewan ke manusia. Banyak
hewan liar yang dapat membawa patogen dan bertindak sebagai vektor untuk penyakit menular
tertentu. Kelelawar, tikus bambu, unta dan musang merupakan host yang biasa ditemukan untuk
coronavirus. Coronavirus pada kelelawar merupakan sumber utama untuk kejadian severe acute
respiratorysyndrome (SARS) dan Middle East Respiratory Syndrome (MERS) (Yuliana, dalam
PDPI, 2020).
Coronavirus hanya bisa memperbanyak diri melalui sel host-nya. Virus tidak bisa hidup tanpa sel
host. Berikut siklus dari coronavirus setelah menemukan sel host sesuai tropismenya. Pertama,
penempelan dan masuk virus ke sel host diperantarai oleh Protein S yang ada dipermukaan virus.
Protein S penentu utama dalam menginfeksi spesies host-nya serta penentu tropisnya (Yuliana,
dalam Wang 2020). Pada studi SARS-CoV protein S berikatan dengan reseptor di sel host yaitu
enzim ACE-2. ACE-2 dapat ditemukan pada mukosa oral dan nasal, nasofaring, paru, lambung,
usus halus, usus besar, kulit, timus, sumsum tulang, limpa, hati, ginjal, otak, sel epitel alveolar
paru, sel eritrosit usus halus, sel endotel arteri vena, dan sel otot polos. Setelah berhasil masuk
selnajutnya translasi replikasi gen dari RNA denom virus. Selanjutnya replikasi dan transkripsi
dimana sintesis virus RNA melalui translasi dan perakitan dari kompleks replikasi virus. Tahap
selanjutnya adalah perakitan dan rilis virus (Yuliana, Fehr 2015).
Setelah terjadi transmisi, virus masuk ke saluran napas atas kemudian bereplikasi di sel epitel
saluran napas atas (melakukan siklus hidupnya). Setelah itu menyebar ke saluran napas bawah.
Pada infeksi akut terjadi peluruhan virus dari saluran napas dan virus dapat berlanjut meluruh
beberapa waktu di sel gastrointestinal setelah penyembuhan. Masa inkubasi virus sampai muncul
penyakit sekitar 3-7 hari (Yuliana, PDPI 2020).
Periode inkubasi adalah waktu antara pertama kali terkena virus hingga pertama kali gejala
muncul. Periode inkubasi COVID-19 berlangsung 1-14 hari, biasanya sekitar lima hari. Gejala
yang muncul dapat berupa demam
batuk nonproduktif, sesak, mialgia, dan lemas. Pada pemeriksaan penunjang dapat ditemukan
jumlah leukosit normal atau leukopenia daan bukti radiologis yang mengarah ke pneumonia
(Findyartini dkk, 2020).
Gambar 1. Skema perjalanan penyakit COVID-19, diadaptasi dari berbagai sumber (Susilo dkk, 2020)
Penyakit komorbid hipertensu dan diabetes melitus, jenis kelamin laki- laki, dan perokok aktif
merupakan faktor resiko dari infeksi Sars-CoV-2. Tingginya kejadian pada jenis kelamin laki-laki
diduga terkait dengan prevalensi perokok aktif yang lebih tinggi. Pada perokok, hipertensi, dan
diabetes melitus, diduga ada peningkatan ekspresi reseptor ACE 2. Pasien kanker dan penyakit hati
kronik lebih rentan terhadap infeksi SARS-CoV-2.
Kanker diasosiasikan dengan reaksi imunosupresif, sitokin yang berlebihan, supresi induksi
agen proinflamasi, dan gangguan maturasi sel dendritik. Pasien dengan sirosi atau penyakit hati kronik
juga mengalami penurunan respon imun, sehinggalebih mudah terjangkit COVID-19, dan dapat
mengalami luaran yang lebih buruk.
Menurut Susilo (2020), infeksi saluran napas akut yang menyerang pasien HIV umunya memiliki
risiko mortalitas yang lebih besar dibandingkan pasien yang tidak HIV. Menurut studi meta-analisis
yang dilakukan oleh Yang, dkk menunjukkan bahwa pasien pasien COVID-19 dengan riwayat
penyakit sistem respirasi akan cenderung memiliki manifestasi klinis yang lebih parah.
Berdasarkan ketetapan dari Centers for Disease Control and Prevention (CDC) adalah kontak erat,
termasuk tinggal satu rumah dengan pasien COVID-19 dan memiliki riwayat perjalanan ke area
terjangkit. Tenaga medis merupakan salah satu populasi yang beresiko tinggi tertular (Susilo dkk,
2020).
Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium lain seperti hematologi rutin, hitung jenis, fungsi ginjal, elektrolit, analisis
gas darah, hemostasis, laktat, dan prokalsitonin dapat dikerjakan sesuai dengan indikasi.
Trombositopenia juga kadang dijumpai, sehingga kadang diduga sebagai pasien dengue (Susilo, dkk
dalam Yan, dkk).
Pencitraan
Modalitas pencitraan utama yang menjadi pilihan adalah foto toraks, dan CT-scan toraks. Pada foto
toraks dapat ditemukan gambaran seperti opasifikasi ground-glass, infiltrat, penebalan peribronkial
konsolidasi fokal, efusi pleura, dan atelectasis. Foto thoraks kurang sensitif dibandingkan CT
scan, karena sekitar 40% kasus tidak menemukan kelainan pada foto thoraks.
Studi dengan USG toraks menunjukkan pola B yang difus sebagai temuan utama. Konsolidasi
subpleural posterior juga ditemukan walaupun jarang.
Pada gambaran CT scan dipengaruhi oleh perjalanan klinis:
Pasien asimtomatis: cenderung unilateral, multifokal, predominan gambaran ground-glass.
Penebalan septum interlobularis, efusi pleura, dan limfadenopati jarang ditemukan.
Satu minggu sejak onset gejala: lesi bilateral dan difus, predominan gambaran ground-glass.
Efusi pleura 5%, limfadenopati 10%.
Dua minggu sejak onset gejala: masih predomina gambaran ground-glass, namun mulai
terdeteksi konsolidasi
Tiga minggu sejak onset gejala: predominan gambaran ground- glass dan pola retikular. Dapat
ditemukan bronkiektasis, penebalan pleura, efusi pleura, dan limfadenopati.
Gambar 4. Gambaran CT Scan pada COVID-19. Tampak gambaran ground-glass bilateral (Susilo dkk, 2020)
Pemeriksaan spesimen saluran napas atas dan bawah
Saluran napas atas dengan swab tenggorok (nasofaring dan orofaring)
Saluran napas bawah (sputum, bilasan bronkus, BAL, bila menggunakan endotrakeal tube dapat
berupa aspirat endotrakeal)
Pemeriksaan antigen-antibodi
Pemeriksaan ini tidak direkomendasikan oleh HO sebagai dasar diagnosis utama, dikarekan perlunya
observasi lanjutan bagi pasien yang dinyatakan negatif serologi dan pemeriksaan ulang bila dianggap
ada faktor resiko tertular.
Perlu dipertimbangkan pula onset paparan dan durasi gejala sebelum memutuskan pemeriksaan
serologi. Dilaporkan pemeriksaan IgM dan IgA terdeteksi mulai hari ke 3-6 setelah onset gejala.
Pemeriksaan Virologi
Who merekomendasikan pemeriksaan molekuler untuk seluruh pasien yang termasuk dalam
kategori suspek. Pada individu yang tidak memenuhi kriteria suspek atau asimtomatis juga boleh
dilakukan pemeriksaan dengan mempertimbangkan aspek epidemiologi, protokol skrining
setempat, dan ketersediaan alat. Pengerjaan pemeriksaan molekuler membutuhkan fasilitas
dengan biosafety level 2 (BSL-2).
Sampel dikatakan positif COVID-19 bila rRT-PCR positif minimal dua target genom (N, E, S,
atau RdRP) yang spesifik SARS-CoV-2 atau rRT-PCR betacoronavirus, ditunjang dengan hasil
sequencing sebagian atau seluruh genom virus yang sesuai dengan SARS-CoV-2.
Hasil negatif palsu pada tes virologi dapat tejadi bila kualitas pengambilan atau manajemen
spesimen buruk, spesimen diambil saat infeksi masih sangat dini, atau gangguan teknis di
laboratorium. Oleh karena itu, hasil negatif tidak menyingkirkan kemungkinan infeksi SARS-
CoV-2, terutama pada pasien dengan indeks kecurigaan yang tinggi.
Bronkoskopi
Bronkoskopi untuk mendapatkan sampel BAL merupakan metode pengambilan sampel dengan
tingkat deteksi paling baik. Induksi sputum mampu meningkatkan deteksi virus pada pasien yang
negatif
SARS-CoV-2 melalui swab nasofaring/orofaring. Namun, tindakan ini tidak direkomendasikan
rutin karena risiko aerosolisasi virus.
Pungsi pleura sesuai kondisi
Pemeriksaan sampel darah, feses dan urin untuk pemeriksaan virologi belum merekomendasikan
rutin dilakukan karena dianggap belum bermanfaat dalam praktek di lapangan. Pada pemeriksaan
virus hanya terdeteksi sekitar <10% pada sampel darah, jauh lebih rendah dibandingkan dengan
swab.
Begitupun pada pemeriksaan urin, sampai saat ini belum ada yang berhasil mendeteksi virus di
urin.
Penatalaksanaan COVID 19
Sampai saat ini belum tersedia rekomendasi tata laksana khusus pasien COVID-19,
termasuk antivirus atau vaksin. Tata laksana yang dapat dilakukan adalah terapi simtomatik dan
oksigen. Pada pasien gagal napas dapat dilakukan ventilasi mekanik. Menurut National Health
Commisission (NHC) China telah meneliti beberapa obat yang berpotensi mengatasi infeksi SARS-
CoV-2, antara lain interferon alfa (IFN-𝛼), lopinavir/ritonavir (LPV/r). Ribavirin (RBV), klorokuin
fosfat (CLQ/CQ), remdesvir dan umifenovir (arbidol). Selain itu, juga terdapat beberapa obat antivirus
lainnya yang sedang dalam masa uji coba di tempat lain.
Terapi Etiologi/ Definitif
Meskipun belum ada obat yang terbukti meyakinkan efektif melalui uji klinis, China telah
membuat rekomendasi obat untuk penangan COVID-19 dan pemberian tidak lebih dari 10 hari.
Rincian dosis dan administrasi sebagai berikut :
IFN-alfa, 5 juta unit atau dosis ekuivalen, 2 kali/hari secara inhalasi
LPV/r, 200 mg/50 mg/kapsul, 2 kali 2 kapsul/hari per oral
RBV 500 mg, 2-3 kali 500 mg/hari intravena dan dikombinasikan dengan IFN-alfa atau LPV/r
Klorokuin fosfat 500 mg (300 mg jika klorokuin), 2 kali/hari per oral
Arbidol (umifenovir), 200 mg setiap minum, 3 kali/hari per oral
Manajemen Simtomatik dan Suportif
Oksigen
Pastikan patensi jalan napas sebelum memberikan oksigen. Indikasi oksigen adalah distress
pernapasan atau syok dengan desaturase, target kadar saturasi oksigen >94%. Oksigen dimulai
dari 5 liter per menit dan dapat ditingkatkan secara perlahan sampai mencapai target. Pada
kondisi kritis, boleh langsung digunakan nonrebreathing mask.
Antibiotik
Pemberian antibiotik hanya dibenarkan pada pasien yang dicurigai infeksi bakteri dan bersifat
sedini mungkin. Pada kondisi sepsis, antibiotik harus diberikan dalam waktu 1 jam. Antibiotik
yang dipilih adalah antibiotik empirik berdasarkan dengan profil mikroba lokal.
Kortikosteroid
Shang, dkk dalam Susilo (2020) merekomendasikan pemberian kortiksteroid. Landasannya
adalah studi Chen, dkk. pada 401 penderita SARS yang diberikan kortiksteroid, 152 di antaranya
termasuk kategori kritis. Hasil studi menunjukkan kortikosteroid menurunkan mortalitas dan
waktu perawatan pada SARS kritis. Dosis yang diberikan adalah dosis rendah-sedang (≤0.5-1
mg/kgBB metilprednisolon atau ekuivalen) selama kurang dari tujuh hari. Dosis ini berdasarkan
konsensus ahli di China.
Russel CD, dkk. justru merekomendasikan untuk menghindari pemberian kortikosteroid bagi
pasien COVID-19 karena bukti yang belum kuat dan penyebab syok pada COVID-19 adalah
sekuens non-vasogenik. Hal ini didukung studi telaah sistematik Stockman, dkk. yang
menyatakan bahwa belum dapat disimpulkan apakah terapi ini memberi manfaat atau justru
membahayakan.
Vitamin C
Vitamin C diketahui memiliki fungsi fisiologis pleiotropik yang luas. Kadar vitamin C
suboptimal umum ditemukan pada pasien kritis yang berkorelasi dengan gagal organ dan luaran
buruk. Penurunan kadar vitamin C disebabkan oleh sitokin inflamasi yang mendeplesi absorbsi
vitamin C. Kondisi ini diperburuk dengan peningkatan konsumsi vitamin C pada sel somatik.
Oleh karena itu,
dipikirkan pemberian dosis tinggi vitamin C untuk mengatasi sekuens dari kadar yang
suboptimal pada pasien kritis.
Ibuprofen dan tiazolidindion
Profilaksis tromboemboli vena
Profilaksis menggunakan antikoagulan low molecular-weight heparin (LMWH) subkutan dua
kali sehari lebih dipilih dibandingkan heparin. Bila ada kontraindikasi, WHO menyarankan
profilaksis mekanik, misalnya dengan compression stocking.
Plasma konvalesen
Plasma dari pasien yang telah sembuh COVID-19 diduga memiliki efek terapeutik karena
memiliki antibodi terhadap SARS-CoV-2. Shen C, dkk. melaporkan lima serial kasus pasien
COVID-19 kritis yang mendapatkan terapi plasma ini. Seluruh pasien mengalami perbaikan
klinis, tiga diantaranya telah dipulangkan.117 Biarpun studi masih skala kecil dan tanpa control.
plasma konvalesen telah disetujui FDA untuk terapi COVID-19 yang kritis. Donor plasma harus
sudah bebas gejala selama 14 hari, negatif pada tes deteksi SARS-CoV-2, dan tidak ada
kontraindikasi donor darah.
Imunoterapi
Wang C, dkk dalam Susilo, dkk (2020) melakukan identifikasi antibodi yang berpotensial
sebagai vaksin dan antibodi monoklonal. Mereka menggunakan ELISA untuk menemukan
antibodi yang sesuai, sampel berasal dari tikus percobaan. Hasil akhir menemukan bahwa
antibodi 47D11 memiliki potensi untuk menetralisir SARS-CoV-2 dengan berikatan pada protein
S.
Isolasi pada semua kasus, sesuai dengan gejala klinis yang muncul, baik ringan maupun sedang.
Implementasi pencegahan dan pengendalian infeksi (PPI)
Serial foto toraks untuk menilai perkembangan penyakit
Kenali kegagalan napas hipoksemia berat
Observasi ketat dan pahami komorbid pasien
Komplikasi
Menurut dr. Reni (2020), komplikasi yang bisa terjadi pada pasien COVID- 19 diantaranya:
Pneumonia (infeksi paru-paru)
Pneumonia akan menyebabkan kantung udara yang ada di paru-paru meradang dan membuat
Anda sulit bernapas. Pada sebuah riset pada pasien positif Covid-19 yang kondisinya parah,
terlihat bahwa paru- parunya terisi oleh cairan, nanah, dan sisa-sisa atau kotoran sel. Hal ini
menghambat oksigen yang seharusnya diantarkan ke seluruh tubuh. Padahal, oksigen sangat
dibutuhkan agar berbagai organ di tubuh bisa menjalankan fungsinya. Jika tidak ada oksigen,
maka organ tersebut akan rusak.
Gagal napas
Saat mengalami gagal napas, tubuh tidak bisa menerima cukup oksigen dan tidak dapat
membuang cukup banyak karbon dioksida. Kondisi gagal napas akut terjadi pada kurang lebih
8% pasien yang positif Covid-19 dan merupakan penyebab utama kematian pada penderita
infeksi virus corona.
Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS)
ARDS adalah salah satu komplikasi corona yang cukup umum terjadi. Menurut beberapa
penulisan yang dilakukan di Tiongkok, sekitar 15%
- 33% pasien mengalaminya. ARDS akan membuat paru-paru rusak parah karena penyakit ini
membuat paru-paru terisi oleh cairan. Akibatnya, oksigen akan susah masuk, sehingga
menyebabkan penderitanya kesulitan bernapas hingga perlu bantuan ventilator atau alat bantu
napas.
Disseminated intravascular coagulation (DIC)
Penyakit ini akan membuat proses pembekuan darah terganggu. Sehingga, tubuh akan
membentuk gumpalan-gumpalan darah yang tidak pada tempatnya. Hal ini bisa menyebabkan
perdarahan pada organ dalam atau gagal organ vital (gagal ginjal, gagal hati, gagal jantung, dan
lainnya). Di Tiongkok, penyakit ini umum dialami oleh pasien yang meninggal akibat infeksi
Covid-19.
Syok Septik
Syok septik terjadi ketika respons tubuh terhadap infeksi malah salah sasaran. Jadi, bukannya
menghancurkan virus penyebab penyakit, zat- zat kimia yang dibuat tubuh justru menghancurkan
organ yang sehat.
Jika proses ini tidak segera berhenti, tekanan darah akan turun drastis hingga pada tahap yang berbahaya
dan menyebabkan kematian.
Kematian
Pencegahan COVID 19
Tinggal di rumah
Hindari kumpul-kumpul, meskipun hanya di depan rumah. Anak-anak dihimbau untuk tinggal di dalam
rumah, jangan bermain di luar rumah.
Jaga jarak 2 meter
Jika terpaksa harus keluar rumah, jangan berdekatan dengan orang lain. Hindari tempat padat orang,
seperti pasar dan acara kondangan.
Gunakan masker ketika berpergian
Selalu pakai masker ketika berpergian sehat maupun sakit. Dianjurkan menggunakan masker kain yang
diganti 4 jam sekali.
Cuci tangan selalu
Cuci tangan sesering mungkin. Virus akan mati ketika kita cuci tangan dengan sabun, minimal selama 20
detik. Terutama setelah kontak langsung dengan pasien dan lingkungannya
Hindari menyentuh wajah
Hindari menyentuh area wajah, terutama ketika belum cuci tangan. Kita tidak tahu, apakah tangan kita
baru saja menyentuh permukaan benda dengan virus corona atau tidak.
Rutin mandi, terutama setelah berpergian
Mandi dapat membunuh virus corona yang ada di permukaan tubuh. Setelah berpergian dianjurkan untuk
langsung mandi.
Tetap beraktifitas fisik dan olahraga serta istirahat yang cukup
Tidak merokok dan minuman alkohol
Konsumsi makanan bergizi seimbang
Konsumsi suplemen daya tahan tubuh dan multivitamin
Kontrol ke dokter dan minum obat rutin jika memiliki penyakit kronis
Hindari kontak langsung dengan penderita infeksi saluran pernapasan akut
Pathway
Ansietas
Asuhan Keperawatan Teoritis pada Pasien dengan Pengawasan COVID-19
Pengkajian
Anamnesis
Pneumonia Coronavirus disease 2019 (COVID-19) adalah peradangan pada parenkim paru
yang disebabkan oleh Severe Acute Respiratory Syndrome Coronavirus 2 (SARS CoV-2). Sindrom gejala yang
muncul beragam, dari ringan sampai syok septik (berat) (PDPI, 2020).
Pada anamnesis gejala dapat ditemukan tiga gejala utama, diantaranya demam, batuk
kering (sebagian batuk berdahak) dan sulit bernapas atau sesak. Tetapi perlu diingat bahwa pada beberapa
kondisi, terutama pada geriatri atau mereka dengan imunokompromis biasanya tidak mengalami demam. Gejala
tambahan lainnya yaitu nyeri kepala, nyeri otot, lemas, diare dan batuk berdahak. Pada beberapa kondisi dengan
perburukan dapat muncul tanda dan gejala infeksi saluran napas akut berat (Severe Acute Respiratory Infection-
SARI). SARI adalah infeksi saluran napas akut dengan riwayat demam (suhu≥38oC) dan batuk dengan onset 10
Wawancara
Mengenai riwayat perjalanan pasien ataupun riwayat kontak dengan pasien terkonfirmasi
COVID-19.
Pemeriksaan fisik
Menurut PDPI (2020), pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan beberapa manifestasi klinis
tergantung dengan ringan atau beratnya kondisi pasien. Fokus pemeriksaan pada pemeriksaan fisik diantaranya:
Tanda vital : frekuensi nadi meningkat, frekuensi napas meningkat, tekanan darah normal atau menurun,
Pemeriksaan fisis paru didapatkan inspeksi dapat tidak simetris statis dan dinamis, fremitus raba
mengeras, redup pada daerah konsolidasi, suara napas bronkovesikuler atau bronkial dan ronki kasar
Pemeriksaan penunjang
Menurut PDPI (2020), pemeriksaan penunjang yang dilakukan guna memperkuat diagnosa
Saluran napas bawah (sputum, bilasan bronkus, BAL, bila menggunakan endotrakeal tube dapat berupa
Bronkoskopi
Biakan mikroorganisme
Pemeriksaan feses dan urin
BERSIHAN JALAN NAFAS TIDAK EFEKTIF berhubungan dengan (b.d) PENYEBAB dibuktikan
Tanda dan Gejala : Batuk tidak efektif; Tidak Mampu Batuk; Sputum Berlebih; Mengi; Whezing;
Ronkhi
Bersihan Jalan Nafas Tidak Efektif → Ketidakmampuan membersihkan secret atau obstruksi jalan nafas
GANGGUAN PERTUKARAN GAS berhubungan dengan (b.d) PENYEBAB dibuktikan dengan (d.d)
Gangguan Pertukaran Gas → Kelebihan atau kekurangan oksigenasi dan atau eliminasi karbondioksida
ANSIETAS berhubungan dengan (b.d) PENYEBAB dibuktikan dengan (d.d) TANDA DAN GEJALA
Tanda dan Gejala : Merasa bingung ; Merasa khawatir; Tampak gelisah ; Tampak tegang ; Sulit tidur
Ansietas → Kondisi emosi dan pengalaman subyektif individu terhadap obyek yang tidak jelas dan
spesifik akibat antisipasi bahaya yang memungkinkan individu melakukan Tindakan untuk menghadapi
ancaman
Luaran Keperawatan
Definisi : kemampuan membersihkan secret atau obstruksi jalan nafas untuk mempertahankan jalan nafas tetap
paten
kriteria hasil:
Definisi: oksigenasi dan/ atau eliminasi karbondioksida pada membrane alveolus-kapiler dalam batas normal
Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 4 Jam maka pertukaran gas meningkat dengan kriteria hasil:
Dispnea menurun
Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 4 Jam maka pertukaran gas meningkat dengan kriteria
hasil:
antisipasi bahaya yang memungkinkan individu melakukan tindakan untuk menghadapi ancaman.
Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 1x14 jam maka tingkat ansietas menurun dengan kriteria
hasil:
Setelah dilakukan intervensi keperawatan selama 1x24 Jam maka tingkat ansietas menurun dengan kriteria
hasil:
dihadapi
3. Perilaku gelisah 2 5
4. Perilaku tegang 2 5
Intervensi Keperawatan (SIKI)
Definisi : melatih pasien yang tidak memiliki kemampuan batuk secara efektif untuk membersihkan laring,
trakea, dan bronkiolus dari secret atau benda asing di jalan nafas.
Observasi:
Teraupetik:
Atur posisi semifowler atau fowler
Edukasi:
Anjurkan tarik nafas dalam melalui hidung selama 4 detik, ditahan selama 2 detik, kemudian keluarkan dari
Anjurkan batuk dengan kuat langsung setelah Tarik nafas dalam yang ke 3
Kolaborasi:
Observasi:
Teraupetik
Edukasi
Kolaborasi
Kolaborasikan pemberian terapi mukolitik atau ekspektoran atau bronkodilator → Jika perlu
Manajemen Isolasi
Definisi: mengindentifikasi dan mengelola pasien yang beresiko menularkan penyakit, menciderai, atau
merugikan orang lain.
Observasi
Teraupetik
Pemantauan Respirasi
Definisi : Mengumpulkan dan menganalisa data untuk memastikan kepatenan jalan nafas dari kefektifan
pertukaran gas
Observasi
Monitor pola nafas (seperti bradypnea, takipnea, hiperventilasi, kussmaul, Cheyne-stokes, biot, ataksik)
Teraupetik
Edukasi
Definisi : memberikan tambahan oksigen untuk mencegah dan mengatasi kondisi kekurangan oksigen jaringan
Obervasi
Teraupetik
Kolaborasi
Definisi : Mengidentifikasi, mengelola, dan mencegah komplikasi akibat ketidakseimbangan asam basa
Observasi
Teraupetik
Kolaborasi
Definisi: Meminimalkan kondisi individu dan pengalaman subyektif terhadap obyek yang tidak jelas dan
spesifik, akibat antisipasi bahaya yang memungkinkan individu melakukan Tindakan untuk menghadapi
ancaman.
Observasi
Teraupetik
Edukasi
A R T I C L E IN F O
A B S T R A C T
Article history:
Received 14 February 2020 Introduction: Several recent case reports have described common early chest imaging findings of lung
Received in revised form 19 February 2020 pathology caused by 2019 novel Coronavirus (SARS-COV2) which appear to be similar to those seen
Accepted 20 February 2020 previously in SARS-CoV and MERS-CoV infected patients.
Objective: We present some remarkable imaging findings of the first two patients identified in Italy with
Keywords: COVID-19 infection travelling from Wuhan, China. The follow-up with chest X-Rays and CT scans was also
COVID-19 included, showing a progressive adult respiratory distress syndrome (ARDS).
SARS-COV2
Results: Moderate to severe progression of the lung infiltrates, with increasing percentage of high-density
CT-scan
infiltrates sustained by a bilateral and multi-segmental extension of lung opacities, were seen. During the
Ground glass opacities
Crazy-paving
follow-up, apart from pleural effusions, a tubular and enlarged appearance of pulmonary vessels with a
Enlarged pulmonary vessels sudden caliber reduction was seen, mainly found in the dichotomic tracts, where the center of a new
insurgent pulmonary lesion was seen. It could be an early alert radiological sign to predict initial lung
deterioration. Another uncommon element was the presence of mediastinal lymphadenopathy with
short-axis oval nodes.
Conclusions: Although only two patients have been studied, these findings are consistent with the
radiological pattern described in literature. Finally, the pulmonary vessels enlargement in areas where
new lung infiltrates develop in the follow-up CT scan, could describe an early predictor radiological sign
of lung impairment.
© 2020 The Authors. Published by Elsevier Ltd on behalf of International Society for Infectious Diseases. This
is an open access article under the CC BY-NC-ND license (http://creativecommons.org/licenses/by-nc-
nd/4.0/).
Introduction
Health Organization with 1104 deaths (Organization WH, 2020a).
Outside China there have been 441 confirmedcasesreportedfrom 24
On December 31, 2019, aggregate cases of an apparently new
countries (Organization WH, 2020a; Organization WH, 2020b). The
respiratory syndrome were reported in the city of Wuhan, China by
first two cases detected in Italy were on January 29, 2020, when a
Chinesenationalhealthauthoritiestothe World Health Organization
couple from the city of Wuhan who travelled to Italy were admitted
(WHO) (Huang et al., 2020; Organization WH, 2020a). As of 13h
tothe Lazzaro Spallanzani National Instituteof Infectious Diseases, in
February 2020, there have been 45 171 cases reported to the World
Rome, after becoming ill, presenting with respiratory tract
* Corresponding author at: Via Portuense, 292, cap 00148, Rome, Italy.
E-mail address: vincenzo.schinina@inmi.it (V. Schininà ).
1
Members of COVID 19 INMI Study Group are listed in Appendix A.
https://doi.org/10.1016/j.ijid.2020.02.043
1201-9712/© 2020 The Authors. Published by Elsevier Ltd on behalf of International Society for Infectious Diseases. This is an open access article under the CC BY-NC-ND
license (http://creativecommons.org/licenses/by-nc-nd/4.0/).
F. Albarello et al. / International Journal of Infectious Diseases 93 (2020) 192–197
193
symptoms and fever. Laboratory on respiratory samples tests
Systems, Milwaukee, WI) using 120 kV pp, 250 mA, pitch of 1.375,
confirmed infection with SARS-COV2 infection.
gantry rotation time of 0,6 s and time of scan 13 s. The non- contrast
Several recent case reports (Chan et al., 2020; Chen et al., 2020; Chung
scans were reconstructed with slice thicknesses of 0.625 mm and
et al., 2020; Kanne, 2020; Koo et al., 2018; Lei et al., 2020; Liu and
spacing of 0.625 mm with high-resolution lung algorithm. The images
Tan, 2020; Pan and Guan, 2020; Song et al., 2020; Wang et al., 2020)
obtained on lung (window width, 1,000–1,500 H; level, 700 H) and
have described common early chest imaging findings of lung
pathology caused by SARS-COV2. These changes appear to be similar
—mediastinal (window width, 350 H; level, 35–40 H) settings were
reviewed on a picture archiving and communication system
to those seen previously in patients with SARS (Ooi et al., 2004; Nestor
workstation (Impax ver. 6.6.0.145, AGFA Gevaert SpA,
et al., 2004; Nicolaou et al., 2003) and MERS (Das et al., 2015a; Das
Mortsel, Belgium).
et al., 2015b).
Two experienced radiologists in thorax imaging reviewed the
The Hubei health commission has express its intention to change the
radiographs and all CT scans obtained and reached a consensus on
case definition for including “clinically diagnosed cases,” in addition
findings. The radiographs and CT scans were assessed for the
to those confirmed by a test, stating that CT scan results will be
presence and distribution of abnormalities.
considered a diagnostic tool for confirmation of suspected cases
Chest X-ray evaluation included: (A) presence of interstitial
(Organization WH, 2020c).
involvement (reticular, nodular o mixed pattern), (B) presence of lung
We present imaging findings of our two cases of laboratory confirmed
opacities, (C) presence of pleural effusion, (D) presence of pleural
COVID-19 in Italy, who progressed to develop adult respiratory
calcification, (E) hilar enlargement, (F) mediastinal lines,
distress syndrome (ARDS).
(G) cardiac silhouette.
CT scan evaluation included: (Huang et al., 2020) Ground-glass
Patient details and clinical presentation
opacities and consolidation (GGO): 1.1 absence of both ground- glass
opacities and consolidation; 1.2 presence of pure ground- glass; 1.3
A female and male couple in their 60 s both residents of the city of
presence of ground glass opacities; 1.4 presence of consolidation; 1.5
Wuhan, China, travelled to Italy for holidays. The 66-year-old female
presence of ground-glass opacities with consolidation; 1.6 crazy
patient was under oral hypertension treatment, and the 67- year-old
paving. Data (Huang et al., 2020) were assessed for any segment of the
male patient was apparently healthy. On January 28, whilst in Rome,
five lung lobes. (Organization WH, 2020a) Pleura: 2.1 presence of focal
they simultaneously fell ill with respiratory symptoms and fever and
thickening; 2.2 pleural effusion (presence and thickness); 2.3 presence
were admitted the following day, on January 29, to the high level
of calcifications. (Organi- zation WH, 2020b) Mediastinum: 3.1
isolation unit at the Lazzaro Spallanzani National Institute of
presence of lymphadenopa- thy (defined as lymph node size of 10 mm
Infectious Diseases, in Rome, Italy. nasopharyngeal and
oropharyngeal swabs from both patients were positive for SARS-COV2 ≥
in short-axis dimension); 3.2 presence of pericardial effusion; 3.3
ascending thoracic aorta diameter. (Chan et al., 2020) Pulmonary
infection when tested using the SARS-COV2 Real-Time Reverse
vessels: 4.1 perilesional vessels diameter; 4.2 pulmonary artery trunk
Transcriptase (RT)-PCR (Corman et al., 2020). Both patients
diame- ter. Other lung findings (e.g. cavitation, calcification, and
developed progressive respiratory failure on day 4 and clinical
bronchi- ectasis) were noted. Follow-up lung CT were acquired in both
evidence of ARDS with mechanical ventilation support in intensive
patients and these scans were also evaluated to assess the residual
care unit was reported on day 6 in the male patient, and, after 12 h on
pulmonary volume in a preliminary quantitative setting using a
day 7, in the female patient. At the time of submission on February 9
thoracic Volume Computer Assisted Reading imaging software (VCAR,
(day 12 since symptom onset), both patients are still mechanically
GE Medical Systems, Milwaukee, Wis) (Figure 1a, b, c).
ventilated in Intensive Care Unit in critical but stable clinical
conditions.
Imaging findings
Imaging studies: chest X-Ray and CT imaging
In the male patient, a chest X-Ray was performed two days after
symptom onset and the chest X-Ray was not consistent with lung
Chest X-Ray with conventional plain films by using anteropos- terior
alterations. However, one day later, the chest CT scan showed ground-
projection at bedside were performed. Baseline volumetric CT scan in
glass opacities and crazy paving (Figures 2a, 3 a) in the right upper
the supine position at full inspiration was performed on day 2. Follow-
lobe, in the lateral segment of the middle lobe, and in the superior and
up CT scans on both patients were done on days 3 and 5 to assess for
posterior-basal segments of the right lower lobe. On the left side, the
progressive lung impairment. All baseline and follow-up CT scans
lesions involved the superior and posterior- basal segments of the
were performed on a multi-detector row helical CT system scanner
lower lobe. Moreover, we found there was
(Bright Speed, General Electric Medical
Figure 1. a,b,c. (a, b) Lung VCAR imaging displaying baseline CT and follow-up CT with progressive impairment of the lung parenchyma. (c) lung sparing analysis.
Figure 2. a,b. (a) Baseline chest CT images in a 66 years old man displaying multiple patchy ground glass opacities with reticular and interlobular septal thickening: crazy
paving. The lesions are mostly distributed in the upper segment of right lower lobe and focal ground glass opacities in the superior segment of left inferior lobe. (b)
Mediastinal lymphadenopathies the biggest with short axis of 12 mm.
Figure 3. a,b. (a) Follow-up CT in a 66 years old man after 5 days, shows severe progression of pneumonia with increased of extension of ground glass opacities and
consolidation. (b) Appearance of bilateral pleural effusion.
Figure 4. a,b. (a) Baseline CT images in a 65 years old woman shows patchy ground-glass opacities in the posterior segment of upper right lobe, with pleural contact.(b)
Mediastinal lymphadenopathy with short axis of 10 mm.
Figure 5. a,b. (a) Follow-up CT after 3 days in a 65 years old woman shows increase size and density of the lesions (b) with bilateral pleural effusion.
Figure 6. a,b. (a) Baseline chest CT shows tubular size increase of segmental vessel with normally ventilated adjacent lung parenchyma, (b) where after 3 days there is a
ground-glass opacities.
Table 2
Findings of Chest CT patient 2 (age 65, gender F).
1/6/10R calcific
CPA trunk diameter (mm) 28 30 30
Pericardial effusion N N N COVID 19 INMI Study Group
Maria Alessandra Abbonizio, Chiara Agrati, Fabrizio Albarello, Gioia
GGO: Ground Glass Opacity; I–V: Intralesional Vessels; CPA: Common Pulmonary
Artery. Amadei, Alessandra Amendola, Mario Antonini, Raffaella Barbaro,
Barbara Bartolini, Martina Benigni, Nazario Bevilacqua, Licia Bordi,
Veronica Bordoni, Marta Branca, Paolo Campioni, Maria Rosaria
This sign is likely to be related to the hyperemia induced by the viral Capobianchi, Cinzia Caporale, Ilaria Caravella, Fabrizio Carletti,
infection, and if consistent and validated by further observations, Concetta Castilletti, Roberta Chiappini, Carmine Ciaralli, Francesca
could be described as an early alert radiological sign to predict Colavita, Angela Corpolongo, Massimo Cristofaro, Salvatore Curiale,
initial lung deterioration. Other findings of interest reported Alessandra D’Abramo, Cristina Dantimi, Alessia De Angelis, Giada
previously (Chung et al., 2020) were the presence in all scan De Angelis, Rachele Di Lorenzo, Federica Di Stefano, Federica
examinations of mediastinal lymphadenopathy with short- axis oval Ferraro, Lorena Fiorentini, Andrea Frustaci, Paola Gallì, Gabriele
nodes up to 1 cm and the presence of pleural effusion, first as Garotto, Maria Letizia Giancola, Filippo Giansante, Emanuela
unilateral and then subsequently bilateral; as it increased with the Giombini, Maria Cristina Greci, Giuseppe Ippolito, Eleonora Lalle,
worsening of the symptoms. Simone Lanini, Daniele Lapa, Luciana Lepore, Andrea Lucia, Franco
Lufrani, Manuela Macchione, Alessandra Marani, Luisa Marchioni,
Limitations of our findings Andrea Mariano, Maria Cristina Marini, Micaela Maritti, Giulia
Matusali, Silvia Meschi, Francesco Messina, Chiara Montaldo, Silvia
Our findings are specific only to two patients with a very short time Murachelli, Emanuele Nicastri, Roberto Noto, Claudia Palazzolo,
interval between the follow-up CT scans, thus further studies are Emanuele Pallini, Virgilio Passeri, Federico Pelliccioni, Antonella
required to define the specific nature and importance of our Petrecchia, Ada Petrone, Nicola Petrosillo, Elisa Pianura, Maria
findings. One of the patients presented radiological signs such as Pisciotta, Silvia Pittalis, Costanza Proietti, Vincenzo Puro, Gabriele
calcific nodules and lymphnodes of a possible previous infectious Rinonapoli, Martina Rueca, Alessandra Sacchi, Francesco Sanasi,
disease (i.e., tuberculosis). Finally, the unenhanced CT scan allows a Carmen Santagata, Silvana Scarcia, Vincenzo Schininà , Paola
limited evaluation of the pulmonary vascularity. Scognamiglio, Laura Scorzolini, Giulia Stazi, Francesco Vaia,
Francesco Vairo, Maria Beatrice Valli.
Conclusions
References
Although only two patients have been studied, these findings are
consistent with the radiological pattern described in literature. Chan JF, Yuan S, Kok KH, To KK, Chu H, Yang J, et al. A familial cluster of pneumonia
associated with the 2019 novel coronavirus indicating person-to-person
Consistently with a previous report only (Chung et al., 2020), in
transmission: a study of a family cluster. Lancet 2020;.
both patients, pleural effusion and lymphadenopathy have been
Chen N, Zhou M, Dong X, Qu J, Gong F, Han Y, et al. Epidemiological and clinical characteristics of 99 cases of 2019 novel coronavirus pneumonia in Wuhan, China: a descriptive
study. Lancet 2020;.
Chung M, Bernheim A, Mei X, Zhang N, Huang M, Zeng X, et al. CT imaging features of 2019 novel coronavirus (SARS-COV2). Radiology 2020;200230.
Corman VM, Landt O, Kaiser M, Molenkamp R, Meijer A, Chu DK, et al. Detection of 2019 novel coronavirus (SARS-COV2) by real-time RT-PCR. Euro Surveill 2020;25(3).
Das KM, Lee EY, Al Jawder SE, Enani MA, Singh R, Skakni L, et al. Acute middle east respiratory syndrome coronavirus: temporal lung changes observed on the chest
radiographs of 55 patients. AJR Am J Roentgenol 2015a;205(3):W267–74. Das KM, Lee EY, Enani MA, AlJawder SE, Singh R, Bashir S, et al. CT correlation with outcomes in 15
patients with acute Middle East respiratory syndrome
coronavirus. AJR Am J Roentgenol 2015b;204(4):736–42.
Huang C, Wang Y, Li X, Ren L, Zhao J, Hu Y, et al. Clinical features of patients infected with 2019 novel coronavirus in Wuhan, China. Lancet 2020;.
Kanne JP. Chest CT findings in 2019 novel coronavirus (SARS-COV2) infections from Wuhan, China: key points for the radiologist. Radiology 2020;200241.
Koo HJ, Lim S, Choe J, Choi SH, Sung H, Do KH. Radiographic and CT features of viral pneumonia. Radiographics 2018;38(3):719–39.
Lei J, Li J, Li X, Qi X. CT Imaging of the 2019 Novel Coronavirus (SARS-COV2) Pneumonia. Radiology 2020;200236.
Liu P, Tan XZ. 2019 Novel coronavirus (SARS-COV2) pneumonia. Radiology 2020;200257.
Nestor L, Mü ller GCO, Khong Pek Lan, Zhou Lin J, Tsang Kenneth WT, Nicolaou Savvas. High-resolution CT findings of severe acute respiratory syndrome at presentation and after
admission. Am J Roentgenol 2004;182(1):39–44.
Nicolaou S, Al-Nakshabandi NA, Muller NL. SARS: imaging of severe acute respiratory syndrome. AJR Am J Roentgenol 2003;180(5):1247–9.
Ooi Gaik C, Khong PL, Mü ller Nestor L, Yiu Wai C, Zhou Lin J, Ho James CM, et al. Severe acute respiratory syndrome: temporal lung changes at thin-section CT in 30 Patients.
Radiology 2004;230(3):836–44.
Organization WH. Novel Coronavirus(SARS-COV2) Situation Report – 19 2020. [Available from]:. 2020. https://www.who.int/docs/default-source/coronavir- use/situation-
reports/20200208-sitrep-19-ncov.pdf?sfvrsn=6e091ce6_2.
Organization WH. Laboratory testing for 2019 novel coronavirus (SARS-COV2) in suspected human cases. Interim guidance. 2020.
Organization WH. World experts and funders set priorities for COVID-19 research. [Available from]:. 2020. https://www.who.int/news-room/detail/12-02-2020- world-experts-
and-funders-set-priorities-for-covid-19-research.
Pan Y, Guan H. Imaging changes in patients with SARS-COV2. Eur Radiol 2020;.
Song F, Shi N, Shan F, Zhang Z, Shen J, Lu H, et al. Emerging coronavirus SARS-COV2 pneumonia. Radiology 2020;200274.
Wang C, Horby PW, Hayden FG, Gao GF. A novel coronavirus outbreak of global health concern. Lancet 2020;.
Wenhui Li MJM, Vasilieva Natalya, Sui Jianhua, Wong Swee Kee, Berne Michael A, Somasundaran Mohan, et al. Thomas C Greenough, Hyeryun Choe, Michael Farzan.
Angiotensin-converting enzyme 2 is a functional receptor for the SARS coronavirus. Nature 2003;426(6965):450–4.
International Journal of Infectious Diseases 95 (2020) 288–293
A R T I C L E IN F O
A B S T R A C T
Article history:
Received 18 February 2020 Objectives: Since January 23rd 2020, stringent measures for controlling the novel coronavirus epidemics
Received in revised form 4 March 2020 have been gradually enforced and strengthened in mainland China. The detection and diagnosis have
Accepted 6 March 2020 been improved as well. However, the daily reported cases staying in a high level make the epidemics
trend prediction difficult.
Keywords: Methods: Since the traditional SEIR model does not evaluate the effectiveness of control strategies, a novel
Coronavirus model in line with the current epidemics process and control measures was proposed, utilizing
Multi-source data multisource datasets including cumulative number of reported, death, quarantined and suspected cases.
Mathematical model Results: Results show that the trend of the epidemics mainly depends on quarantined and suspected
SEIR model cases. The predicted cumulative numbers of quarantined and suspected cases nearly reached static states and
their inflection points have already been achieved, with the epidemics peak coming soon. The estimated
effective reproduction numbers using model-free and model-based methods are decreasing, as well as
new infections, while new reported cases are increasing. Most infected cases have been quarantined or
put in suspected class, which has been ignored in existing models.
Conclusions: The uncertainty analyses reveal that the epidemics is still uncertain and it is important to
continue enhancing the quarantine and isolation strategy and improving the detection rate in mainland
China.
© 2020 The Author(s). Published by Elsevier Ltd on behalf of International Society for Infectious Diseases.
This is an open access article under the CC BY-NC-ND license (http://creativecommons.org/licenses/by-nc-
nd/4.0/).
* Corresponding authors at: The Interdisplinary Research Center for Mathematics and Life Sciences, Xi'an Jiaotong University, Xi'an 710049, People’s Republic of China.
E-mail addresses: yxiao@mail.xjtu.edu.cn (Y. Xiao), wujh@yorku.ca (J. Wu).
1
The first four authors made the same contributions.
https://doi.org/10.1016/j.ijid.2020.03.018
1201-9712/© 2020 The Author(s). Published by Elsevier Ltd on behalf of International Society for Infectious Diseases. This is an open access article under the CC BY-NC-ND license
(http://creativecommons.org/licenses/by-nc-nd/4.0/).
B. Tang et al. / International Journal of Infectious Diseases 95 (2020) 288–293 289
Fig. 1. The datasets related to the COVID-19 epidemics including newly reported cases, cumulative number of reported cases, cumulative number of cured cases, cumulative
number of death cases, cumulative quarantined cases and cumulative suspected cases.
Fig. 2. Diagram of the model adopted in the study for simulating the COVID-19 infection. Interventions including intensive contact tracing followed by quarantine and isolation are
indicated. The gray compartment means suspected case compartment consisting of contact tracing Eq and fever clinics.
290 B. Tang et al. / International Journal of Infectious Diseases 95 (2020) 288–293
Fig. 3. (A) Cumulative number of confirmed reported cases for mainland China, Hubei province and Wuhan city, (B) Estimated number of illness onset cases for mainland China,
Hubei province and Wuhan city, (C) Estimated basic reproduction number R0.
B. Tang et al. / International Journal of Infectious Diseases 95 (2020) 288–293 291
Fig. 4. Estimated effective reproduction number R t for mainland China in (A) and for Hubei province in (B). The timings of strategies implemented are as follows: (C1):
Huanan Seafood Wholesale Market closed on January 1st 2020; (C2): Detection kits for COVID-19 firstly used on January 16th 2020; (C3): The Chinese government
amended the Law on the Prevention and Treatment of Infectious Diseases to include the COVID-19 as class-B infection but manage it as a class-A infection due to its
severity on January 20 th 2020; (C4): Lock-down strategy in Wuhan implemented on January 23 rd 2020; (C5): Spring festival holiday extended and self-quarantine
Fig. 5. Goodness of fit (black curve) and variation in cumulative number of reported cases, cumulative number of death cases, cumulative quarantined cases and cumulative
suspected cases with the minimum contact rate (cb), detection rate (b) and the confirmation ratio (f).
Fig. 6. Goodness of fit (black curve) and variation in cumulative number of reported cases, cumulative number of death cases, and cumulative quarantined cases with the
minimum contact rate (cb), detection rate (b) and the confirmation ratio (f) for Hubei Province.
Biblio Couns : Jurnal Kajian Konseling dan Pendidikan
reproduction numbers, and estimated contact rate, quarantined rate and diagnose rate
B. Tang et al. / International Journal of
curves for mainland China (A-C) and the Hubei province (D-F)
Infectious Diseases 95 (2020) 288–293
Abstract
The variety of stressors in lectures online for a pandemic
COVID-19 as an internet connection is not tasty, complete
the task that much in a short time, to respond to instructions
quickly, as well as the need to adapt rapidly to the situation
of learning from home is a condition that can cause stress
on students. Ideally, the learning process carried out
remotely can enhance the learning process. This change will
certainly not be easy for students, including students. This
study aims to determine the level of academic stress on
students. This research uses a descriptive quantitative
approach. The sample of this research is 300 students. Data
were analyzed using descriptive formulas. Data collection is
done using a Likert type scale that has been tested for
validity and reliability. Based on data analysis, the results
show that, on average, students experience stress in the
medium category.
Abstrak
Bervariasinya stresor dalam perkuliahan daring selama pandemic
covid-19 seperti koneksi internet yang kurang baik, menyelesaikan
tugas yang banyak dalam waktu yang cepat, merespon instruksi
dengan cepat, serta perlu beradaptasi cepat dengan situasi belajar
dari rumah merupakan kondisi yang dapat menimbulkan stres pada
mahasiswa. Idealnya, Proses pembelajaran dilakukan secara jarak
jauh dapat mempermuda proses pembelajaran. Perubahan ini tentu
menjadi hal yang tidak mudah bagi para pelajar termasuk
mahasiswa. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkatan
stres akademik pada mahasisw. Penelitian ini menggunakan
pendekatan kuantitatif deskriptif. Sampel berjumlah 300
mahasiswa. Data dianalisis menggunakan rumus deskriptif.
Pengumpulan data dilakukan menggunakan Skala berjenis Likert
yang telah diuji validitas dan reliabilitasnya. Berdasarkan analisis
data, diperoleh hasil bahwa secara rata-rata mahasiswa mengalami
stres dalam kategori sedang.
PENDAHULUAN
1
0
Biblio Couns : Jurnal Kajian Konseling dan Pendidikan | Vol. 3 No. 1 Maret 2020
COVID-19. Hal ini membuat pemerintahan dari berbagai negara melakukan lock down. Lock down
adalah kondisi dimana seluruh aktifitas yang ada dihentikan untuk sementara agar penyebaran virus
corona dapat diminimalisir. Sehingga pada akhirnya setiap negara memberlakukan stay at home (tetap
berada di rumah) bagi seluruh masyarakat.
Ditetapkannya COVID-19 sebagai pandemi global membuat pemerintah Indonesia membuat beberapa
kebijakan strategis agar menghindari penularan virus ini. Pemerintah mengambil kebijakan dan
menghimbau masyarakat untuk melakukan physical distancing. Hal ini juga diperkuat dengan data
jumlah Orang Dengan Pantauan dan Pasien Dalam Pantauan yang jumlahnya semakin meningkat setiap
hari. Hingga bulan April 2020, jumlah PDP sebanyak 10.482 dan ODP sebanyak 139.137. Pada 13
April 2020, Presiden Indonesia mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 12 Tahun 2020
tentang Penetapan Bencana Non Alam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) sebagai
Bencana Nasional.
Negara Indonesia juga melakukan lock down dengan memberlakukan PSBB (pembatasan sosial
berskala besar). Pemerintah melalui surat edarannya juga memerintahkan seluruh aktifitas pembelajaran
dilakukan di rumah (sekolah dari rumah/daring) dan bekerja dari rumah (WFH). Institusi pendidikan
mulai dari tingkat prasekolah hingga perguruan tinggi ditutup untuk sementara waktu. Aktivitas
pembelajaran dilakukan secara jarak jauh. Mahasiswa di perguruan tinggi juga merasakan dampak dan
akibat dari COVID-
19. Kegiatan perkuliahan dilakukan secara jarak jauh melalui aplikasi-aplikasi yang mendukung
kegiatan perkuliahan. Berbagai platform dapat digunakan oleh mahasiswa untuk membantunya dalam
mengerjakan tugas, menjalani proses perkuliahan, melaporkan aktifitas perkuliahan secara daring.
Namun tidak dipungkiri bahwa adanya hambatan-hambatan yang terjadi selama proses perkuliahan
dilakukan secara daring.
Kendala-kendala yang dihadapi oleh mahasiswa seperti jaringan yang tidak ada, paket internet yang
habis, pekerjaan rumah yang harus dikerjakan juga, dan tugas perkuliahan yang menumpuk. Berbagai
tuntutan akademik yang harus diselesaikan oleh mahasiswa menyebabkan mereka mengalami stres
akademik. Ketidakmampuan mahasiswa untuk beradaptasi dengan keadaan tersebut membuat mereka
mengalami stres. Stres akademik diartikan sebagai keadaan dimana seseorang tidak dapat menghadapi
tuntutan akademik dan mempersepsi tuntutan akademik yang diterima sebagai gangguan (Barseli, dkk,
2017). Alvin (dalam Eryanti, 2012) menjelaskan bahwa stres akademik merupakan tekanan yang terjadi
pada diri mahasiswa yang disebabkan oleh adanya persaingan ataupun tuntutan akademik.
Stres akademik disebabkan oleh adanya academic stressor (Sayekti dalam Barseli, 2017). Academic
stressor merupakan yaitu penyebab stres yang bermula dari proses pembelajaran seperti tekanan untuk
mendapatkan nilai yang baik, lamanya belajar, banyaknya tugas, rendahnya nilai/prestasi dan cemas
dalam menghadapi ujian (Rahmawati dalam Barseli, dkk, 2017). Barseli, dkk., (2017) menjelaskan
bahwa stres akademik merupakan tekanan yang diakibatkan adanya perspektif subjektif terhadap suatu
kondisi akademik. Oon (2007) menjelaskan bahwa stres akademik yang dialami oleh mahasiswa yang
secara terus menerus menimbulkan penurunan daya tahan tubuh mahasiswa sehingga mudah
mengalami penurunan daya tahan tubuh. Hasil penelitian Siregar dan Putri (2019) menjelaskan bahwa
stress akademik dipengaruhi oleh Self-Efficacy dengan korelasi negative. Hasil penelitian Liu (2011)
mendapatkan hasil bahwa 90% subjek penelitian mengajlami stres akademik yang disebabkan oleh
ujian, kurangnya prestasi, penundaan tugas, pekerjaan rumah, iklim sekolah yang kurang mendukung,
serta keyakinan dan kemauan belajar. Sagita (2017) menjelaskan bahwa mahasiswa yang mengalami
stres akademik cenderung dipengaruhi oleh keterampilan dalam manajemen waktu antara belajar dan
kegiatan lainnya.
11
Hasil penelitian terakhir dari Sagita (2017) menggambarkan bahwa stres akademik mahasiswa BK FIP
UNP tergolong masih pada kategori rendah. Berdasarkan berbagai literatur mengenai penyebab stres
akdemik pada mahasiswa, penelitian ini juga ingin melihat gambaran stres akademik selama masa
pembelajaran jarak jauh di tengah-tengah pandemik COVID-19. Hal ini dikarenakan mahasiswa perlu
melakukan penyesuaian dengan kondisi baru di tengah-tengah pandemik.
METODE
Jenis penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif dengan menggunakan metode deskriptif. Menurut
Lehman (dalam Yusuf, 2014) penelitian deskriptif kuantitatif adalah salah satu jenis penelitian yang
bertujuan untuk mendesripsikan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta dan sifat tertentu,
atau mencoba menggambarkan fenomena secara detail.
Adapun subjek penelitian ini adalah mahasiswa BKI Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UINSU
Medan sebanyak 300 orang yang pengambilan sampelnya menggunakan random sampling. Pada
penelitian ini alat yang digunakan adalah kuesioner skala stres akademik yang penulis susun untuk
digunakan sebagai alat ukur. Alat ukur stres akademik ini menggunakan skala Likert. Penelitian ini
menggunakan format deskriptif survei yang memungkinkan peneliti untuk melakukan generalisasi
suatu variabel tertentu pada populasi yang besar (Bungin, 2005). Gambaran stres akademik tersebut
akan menjelaskan secara menyeluruh aspek-aspek dari stres akademik dalam bentuk presentase. Skala
stres akademik terdiri dari 22 item pernyataan mengenai kondisi stres akademik yang dialami
mahasiswa selama perkuliahan jarak jauh.
Data dianalisis menggunakan bantuan software SPSS. Berdasarkan hasil analisis yang dilakukan
terhadap stres akademik mahasiswa UINSU diperoleh hasil sebagai berikut:
Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa nilai rata-rata variabel stres akademik diperoleh nilai
sebesar 74,83 dan memiliki deviasi standar sebesar 14,831. Peneliti melakukan kategorisasi terhadap
skor total yang diperoleh responden dengan menggunakan rumus berikut:
Berdasarkan rumus tersebut, data kemudian dikelompokkan menjadi tiga kategori yakni tingkat stres
rendah, sedang, dan tinggi yang frekuensinya dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 3. Frekuensi dan Persentase Stres Akademik
Berdasarkan tabel di atas, dapat diketahui bahwa dari 300 orang mahasiswa yang dijadikan sampel
penelitian, terdapat sebanyak 39 mahasiswa (13%) yang memiliki tingkat stres akademik kategori
tinggi, sebanyak 225 mahasiswa (75%) memiliki tingkat stres akademik pada kategori sedang, dan
sebanyak 36 mahasiswa (12%) memiliki tingkat stres akademik yang berada pada kategori rendah.
Tingkat presentasi stres akademik yang dialami mahasiswa dapat dilihat pada gambar berikut:
Stres Akademik
TinggiSedangRendah
Berdasarkan tabel dan gambar di atas, dapat disimpulkan bahwa Hal ini bahwa mayoritas mahasiswa
mengalami stress akademik selama belajar jarak jauh di tengah-tengah kondisi pandemi COVID-19.
REFERENSI
Barseli, dkk. (2017). Konsep Stres Akademik Siswa. Jurnal Konseling dan Pendidikan, 5 (03): 143-
148.
Bungin, B. (2005). Metode Penelitian Kuantitatif: Komunikasi, Ekonomi, dan Kebijakan Publik
serta Ilmu-ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana.
Eryanti, F. (2012). Perbedaan Stres Akademik antara kelompok Siswa Minoritas dengan Mayoritas di
SMP WR Supratman 2 medan. Jurnal USU, 7 (06): 145-162.
Liu, Y., & Lu, Z. (2011). The Chinese high school student's stress in the school and academic
achievement. Educational Psychology: An International Journal of Experimental Educational
Psychology, 31(1), 27– 35.
Oon, A.N. (2007). Handling Study Stress. Jakarta: Alex Media Komputindo.
Sagita, dkk. (2017). Hubungan Self Efficacy, Motivasi Berprestasi, Prokrastinasi
Akademik dan Stres Akademik Mahasiswa. Jurnal Bikotetik, 1 (02): 37-72.
Siregar, I. K., & Putri, S. R. (2020). Hubungan Self-Efficacy dan Stres Akademik
Mahasiswa. Consilium: Berkala Kajian Konseling dan Ilmu Keagamaan, 6(2), 91-95.
DAFTAR PUSTAKA
https://covid19.elsevierpure.com/en/publications/issues-of-pathology-of-a-new-
coronavirus-infection-covid-19
https://www.sciencedirect.com/journal/international-journal-of-infectious-diseases/special-
issue/10R2ZJ009QD
https://www.alomedika.com/penyakit/penyakit-infeksi/coronavirus-disease-2019-covid-
19/patofisiologi
https://www.nerslicious.com/asuhan-keperawatan-covid-19/
http://repository.poltekkesjakarta3.ac.id/index.php?p=show_detail&id=3026
https://www.perawatkitasatu.com/2021/05/lp-asuhan-keperawatan-askep-covid-19.html
https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S1201971220301016
https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S1201971220301375
http://jurnal.umsu.ac.id/index.php/biblio/article/view/4804