HEMOROID
PENDAHULUAN
Kata hemoroid berasal dari bahasa Yunani, haem yang berarti darah dan rhoos
berarti aliran sedangkan dalam bahasa Latin disebut pila yang artinya bola (Warusavitarne
& Phillips, 2007). Hemoroid adalah pelebaran dan inflamasi dari pleksus arteri-vena di
saluran anus yang berfungsi sebagai katup untuk mencegah inkontinensia flatus dan
cairan. Selain itu pleksus arteri-vena tersebut juga dapat mengalami perdarahan (Riwanto,
2010).
Prevalensi pasti dari hemoroid sangat sulit ditentukan, dikarenakan mayoritas dari
penderita tidak mencari pengobatan, atau hanya bergantung pada pengobatan diluar medis
( Kaidar, 2007; Madoff & Fleshman, 2004). Diperkirakan sekitar 4-5% penduduk Amerika
Serikat menderita hemoroid namun kebanyakan tidak berupaya mencari pengobatan secara
medis, karena menganggap hemoroid merupakan penyakit ringan dan bersifat sementara
(Chung & Kim, 2003). Lebih dari separuh dari pria dan wanita berusia 50 tahun akan
mengalami hemoroid selama masa hidupnya (Bailey, 2004). Di Amerika Serikat, tiga
perempat penduduknya menderita hemoroid pada kisaran usia yang sama, dan lebih dari
separuhnya membutuhkan terapi pada usia lebih dari 50 tahun, dan hanya sekitar 4% dari
penderita tersebut yang mencari pengobatan (Liebach & Cerda, 1991). Hasil studi
proktoskopi rumah sakit menunjukkan prevalensi dari hemoroid sebesar 86% dari seluruh
pasien (Madoff & Fleshman, 2004).
Tingginya prevalensi hemorrhoid disebabkan oleh beberapa faktor antara lain:
kurangnya konsumsi makanan berserat, konstipasi, usia, keturunan, kebiasaan duduk
terlalu lama, peningkatan tekanan abdominal karena tumor, pola buang air besar yang
salah, hubungan seks peranal, kurangnya intake cairan, kurang olah raga dan kehamilan
(Cintron & Abacarian, 2007).
Walaupun hemoroid merupakan penyakit yang tidak mematikan, tapi penyakit ini
sangat berpotensi mengurangi kualitas hidup seseorang. Rasa nyeri dan ketidaknyamanan
akibat bengkak pada anus bisa mengurangi produktivitas seseorang (Chung & Kim, 2003).
Perdarahan hemoroid sebagai penyebab yang paling sering perdarahan saluran makan
2
bagian bawah yaitu sekitar 76%, namun hanya 2-9% membutuhkan rawat inap
(Meshikhes, 2002).
Pencegahan merupakan pengelolaan hemoroid yang paling baik. Tindakan bedah
merupakan tindakan invasif yang akan meningkatkan morbiditas dan tidak populer dari
sudut pandang penderita. Sehingga tatalaksana medis yang efektif terhadap hemoroid
merupakan pilihan baik untuk penderita maupun untuk dokter. Untuk memahami
penatalaksaan hemoroid perlu dikemukakan patofisiologi hemoroid (Simadibrata , 2007).
ketiga adalah jaringan ikat penunjang elastis akan melindungi pleksus hemorroid dari
peningkatan tekanan di daerah sfinkter ani. Dengan bertambah usia dan berbagai faktor
pemburuk (seperti bendungan sistim porta, kehamilan, PPOK, konstipasi kronik, keadaan
yang menimbulkan tekanan intrapelvis meningkat) maka jaringan penunjang tersebut
dapat menjadi rusak akibatnya pleksus akan menonjol dan turun dan memberikan
simptom. Teori lain menyatakan bahwa hemorroid ini mirip dengan suatu AV
malformation, ini dibuktikan dengan adanya perdarahan yang berwarna merah ( bukan
hitam ) seperti perdarahan arterial. Teori terakhir menyatakan bahwa defek utama
merupakan kombinasi dari lemahnya jaringan penyokong pleksus hemorroidalis –
hipertrofi dari otot sfinkter ani. Pada beberapa individu sfinkter ani interna hipertrofi
sehingga kanalis analis makin menyempit, sehingga pada saat mengejan terjadi kongesti,
bolus feses menekan pleksus kebawah melalui sfinkter yang hipertrofi, terjadi kongesti
dan menjadi simptomatik. Dalam hal ini akan terjadi sirkulus vitiosus yaitu penonjolan
pleksus submukosa akan menimbulkan kanalis analis menjadi kaku hal ini merangsang
sfinkter menjadi lebih kencang sehingga kongesti aliran darah menjadi semakin berat dan
akhirnya penonjolan semakin besar .Tidak ada bukti bahwa keturunan dan faktor geografi
turut berperan (Djumhana, 2011).
DIAGNOSA
Diagnosis hemoroid ditegakkan berdasarkan anamnesis keluhan klinis dari
hemoroid berdasarkan klasifikasi hemoroid (derajat 1 sampai dengan derajat 4) dan
pemeriksaan fisik (Simadibrata, 2007). Sebagian besar penderita mengeluh adanya
perdarahan perrektal, perdarahan berupa darah merah segar, menetes sewaktu atau setelah
buang air besar. Perdarahan ini tidak disertai rasa nyeri atau rasa mules. Pada sebagian
penderita perdarahan ini tidak diketahui, sehingga tidak jarang pasien ini datang dengan
keluhan anemia. Sebagian lagi penderita mengeluh rasa nyeri. Rasa nyeri ini timbul bila
ada trombosis atau strangulasi dari hemorroid. Sebagian kasus mungkin mengeluh adanya
benjolan pada anus, atau ada yang keluar (prolaps) dari anusnya. Keluhan lain dapat
berupa pruritus ani, atau rasa tidak enak daerah anus atau ada discharge. Kadang-kadang
hemorroid ditemukan secara kebetulan (asimptomatik). (Djumhana, 2011)
Terhadap penderita dengan keluhan seperti diatas hendaknya dilakukan
pemeriksaan fisik yang cermat. Penderita hemorroid derajat 3 dan 4 dengan mudah dapat
dilihat pada saat pemeriksaan, pada hemorroid derajat 2 penderita perlu disuruh mengejan
beberapa saat (Djumhana, 2011). Pemeriksaan dengan jari (digital examination)
nampaknya sudah hampir tidak pernah dilakukan (lost of art) bagi para klinisi, namun
mempunyai aspek yang sangat penting untuk evaluasi pada pasien dengan keluhan
anorektal (Di Palma, 2011). Pemeriksaan biasanya dilakukan dengan memposisikan pasien
dalam kondisi pronasi atau left lateral decubitus, namun yang paling banyak digunakan
adalah posisi left lateral decubitus karena dirasakan lebih nyaman untuk pasien ( Kann
&Whitlow, 2004; Alonso-Coello & Castillejo, 2003). Pemeriksaan dimulai dari introitus
anal kanal, dicari tanda-tanda inflamasi, lesi kulit, dan sfingter anus. Perlu diperhatikan
bahwa, kebanyakan pada pemeriksaan jari (digital examination) dimulai ketika jari sudah
mencapai rectum dan spingter interna hanya dilewati saja, dengan demikian bisa
diperkirakan bahwa pemeriksa tidak akan mampu untuk menilai tanda adanya bekas luka,
robekan kecil, asal fistula, dan sebagainya (Beck, 2004)
Selain pemeriksaan colok dubur atau digital examination, bisa dilakukan anoskopi
bahkan bila dianggap perlu (pada kasus perdarahan masip) dapat dilakukan colon inloop,
rektosigmoidoskopi atau kolonoskopi untuk menyingkirkan penyakit lain seperti
malignansi kolorektal atau inflammatory bowel diseases (Djumhana, 2011). Anoskopi
adalah teknik yang jarang diajarkan pada program Gastro-Intestinal Fellowship. Teknik
ini merupakan metode terakurat untuk mengevaluasi anal canal dan bagian paling distal
5
dari rectum. Tersedianya anoscope yang murah dan disposable, membuat prosedur teknik
ini bisa dilakukan pada pasien tanpa persiapan khusus dengan cepat, aman dan dengan
ketidaknyamanan minimal pada pasien. (Ganz, 2013)
PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan hemoroid terdiri dari penatalaksanaan medis dan
penatalaksaanaan bedah. Penatalaksanaan medis terdiri dari nonfarmakologis,
farmakologis, tindakan minimal invasive (Simadibrata, 2007). Penentuan penatalaksanaan
tersebut bergantung pada banyak faktor antra lain derajat hemoroid, usia, dan kondisi
medis yang lain (Sanchez & Chinn, 2011).
Penatalaksanaan medis hemoroid ditujukan untuk hemoroid interna derajat I
sampai dengan III atau semua derajat hemoroid yang ada kontraindikasi operasi atau
pasien menolak operasi (Simadibrata, 2007).
Penatalaksanaan medis nonfarmakologis bertujuan untuk mencegah semakin
memburuknya hemoroid dengan cara memperbaiki defekasi. Penatalaksanaan ini berupa
perbaikan pola hidup, perbaikan pola makan dan minum, perbaikan pola/cara defekasi.
(Simadibrata, 2007).
Perbaikan pola hidup diusahakan dengan tidak banyak duduk atau tidur, banyak
bergerak, dan banyak jalan,sehingga pola defekasi menjadi membaik. Perbaikan pola
makan dan minum diharuskan banyak minum 30-40 ml/kgBB/hari untuk melembekkan
tinja. Pasien harus banyak makan serat antara lain buah-buahan, sayur-sayuran, sereal dan
suplementasi serat komersial bila kurang serat dalam makanannya. Tujuan pemberian diit
tinggi serat pada penderita hemoroid untuk meningkatkan gerakan usus sehingga
menghindari konstipasi. Dosis serat yang dianjurkan 20-30 g/hari yang bisa didapatkan
dari buah-buahan, sayur-sayuran, gandum, kacang-kacangan. Diit tinggi serat baik untuk
hemoroid derajat 1 dan 2. (Meshikhes, 2002; Paonessa, 2009). Pada penderita yang
mengalami gatal pada anus disarankan untuk menghindari makanan yang menyebabkan
pH tinja alkali seperti kopi, teh, keju, coklat, jeruk, bir, tomat, bawang dan kacang
(Paonessa N. 2009). Memperbaiki defekasi merupakan pengobatan yang harus selalu ada
dalam setiap bentuk dan derajat hemorrhoid. Perbaikan defekasi disebut bowel
management program (BMP) yang terdiri dari diet, cairan, serat tambahan, pelicin feses,
dan perubahan perilaku buang air besar. Untuk memperbaiki defekasi dianjurkan
menggunakan posisi jongkok (squatting) sewaktu defekasi. Pada posisi jongkok ternyata
6
sudut anorektal pada orang menjadi lurus ke bawah sehingga hanya diperlukan usaha yang
lebih ringan untuk mendorong tinja ke bawah atau ke luar rektum. Mengejan dan
konstipasi akan meningkatkan tekanan vena hemoroid, dan akan memperparah timbulnya
hemoroid. Bersamaan dengan program BMP di atas, biasanya juga dilakukan tindakan
kebersihan lokal dengan cara merendam anus dalam air selama 10- 15 menit, 2-4 kali
sehari. Dengan perendaman ini maka eksudat yang lengket atau sisa tinja yang lengket
dapat dibersihkan. Eksudat atau sisa tinja yang lengket dapat menimbulkan iritasi dan rasa
gatal bila dibiarkan (Simadibrata, 2007). Perendaman dengan air hangat juga bisa
dilakukan untuk mengurangi keluhan. Meningkatkan suhu air yang digunakan berendam
akan menimbulkan reflek termospingter yang secara bermakna menurunkan tekanan
lumen rektum dan spingter intema. Pada penderita hemoroid eksterna yang mengalami
trombosis nyeri berkurang akibat relaksasi spingter (Kondylis & Lieberth, 2007).
Penatalaksanaan medis farmakologis bertujuan memperbaiki defekasi dan
meredakan atau menghilangkan keluhan dan gejala. Obat-obat farmakologis hemoroid
dapat dibagi atas empat, yaitu pertama: memperbaiki defekasi, kedua: meredakan keluhan
subyektif, ketiga: menghentikan perdarahan, dan keempat: menekan atau mencegah
timbulnya keluhan dan gejala (Simadibrata, 2007).
Untuk memperbaiki defekasi ada dua obat yang diikutkan dalam BMP yaitu
suplemen serat dan pelincir atau pelicin tinja. Suplemen serat komersial yang banyak
dipakai antara lain psyllium atau isphagula Husk yang berasal dari kulit biji Plantago ovata
yang dikeringkan dan digiling menjadi bubuk. Contohnya psyllium (misal Vegeta®,
Metamucil®, Konsyl®), inulin (Fibe-sure®), gandum dekstran (Benefiber®) dan
metilselulosa (Citrucel®). Obat kedua yaitu obat laksan/pencahar. Contohnya natrium
dioktil sulfosuksinat (laxadin sirup) dosis 300 mg/hari, kastroli, kaskara, dan bisakodil.
(Simadibrata, 2007).
Pengobatan simtomatik bertujuan menghilangkan atau mengurangi keluhan rasa
gatal, nyeri, atau karena kerusakan kulit didaerah anus. Obat pengurang keluhan seringkali
dicampur pelumas (lubricant), vasokonstriktor, dan antiseptik lemah. Untuk
menghilangkan nyeri, tersedia sediaan yang mengandung anestesi lokal. Sediaan penenang
keluhan yang ada di pasar dalam bentuk ointment atau suppositoria missal Anusol,
Boraginol N/S, Faktu. Sediaan yang mengandung kortikosteroid untuk mengurangi radang
daerah hemoroid atau anus missal Ultraproct, Anusol HC, Scheriproct. Sediaan berbentuk
7
lalu mengikatkan simpul pada batang vascular paling atas. Namun, potensi komplikasi
masih bisa terjadi seperti perdarahan dan nyeri pada pelvis.
Doppler-guided hemorrhoidal artery ligation (DGHAL) sebuah teknik baru yang
mengacu pada ligasi cabang terminal arteri hemoroidalis superior dengan dopler-guided
diperkenalkan pada tahun 1995 sebagai alternative hemoroidektomi. DGHAL kemudian
menjadi popular di eropa. Cara ini paling efektif untuk hemoroid derajat 2 atau 3.
Stapled hemorrhoidopexy (SH) diperkenalakan sejak 1998. Alat stapling
berbentuk melingkar digunakan untuk memotong cincin penonjolan mukosa proksimal
hemoroid, dan memasukkannya kembali kedalam anal kanal. SH umumnya digunakan
untuk pasien dengan hemoroid prolaps yang melingkar dan mempunyai ≥ 3 lesi hemoroid
interna yang lanjut. Sebuah studi retrokspektif menunjukkan teknik ini aman dan efektif
untuk hemoroid derajat 3. (Lohsiriwat, 2012)
PENCEGAHAN
Pencegahan dapat dilakukan dengan mencegah faktor yang dapat menyebabkan
terjadinya hemorrhoid dengan minum yang cukup, makan cukup sayuran, dan buah-
buahan, sehingga kotoran kita tidak mengeras. Usahakan minum yang cukup, imbangi
dengan olah raga, sehingga perut tidak mual saat minum air putih. Makan makanan yang
banyak mengandung serat, seperti buah dan sayuran. Makanan yang banyak mengandung
10
serat juga akan memberikan manfaat mengurangi penyerapan lemak sehingga kadar
kolesterol dalam darah menjadi stabil. Banyak melakukan olah raga, seperti jalan kaki,
tidak duduk terlalu lama dan tidak berdiri terlalu lama (Suprijono, 2009).
KESIMPULAN
Hemoroid adalah pelebaran dan inflamasi dari pleksus arteri-vena di saluran anus
yang berfungsi sebagai katup untuk mencegah inkontinensia flatus dan cairan. Hemoroid
dapat diklasifikasikan atas hemoroid eksterna dan interna. Diagnosis hemoroid ditegakkan
berdasarkan anamnesis keluhan klinis dari hemoroid, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang bila diperlukan. Penatalaksanaan hemoroid terdiri dari penatalaksanaan medis
dan penatalaksaanaan bedah. Penatalaksanaan medis terdiri dari nonfarmakologis,
farmakologis, tindakan minimal invasive. Mayoritas kasus hemoroid akan sembuh secara
spontan atau dengan terapi medis konservatif saja, namun komplikasi masih bisa terjadi
walaupun insidennya rendah.Pencegahan dapat dilakukan dengan mencegah faktor yang
dapat menyebabkan terjadinya hemorrhoid dengan minum yang cukup, Makan makanan
yang banyak mengandung serat, seperti buah dan sayuran , sehingga kotoran kita tidak
mengeras, imbangi dengan olah raga, seperti jalan kaki, tidak duduk terlalu lama dan tidak
berdiri terlalu lama.
DAFTAR PUSTAKA
Alonso-Coello P, Castillejo MM. 2003. Office evaluation and treatment of hemorrhoids. J
Fam Pract. 52:366–374.
Arinton IG. 2011. Penatalaksanaan Medis Hemoroid. Updated 21 January 2011. Available
at: http://interna-topik.blogspot.com/2011_01_01_archive.html[Acsessed October
19,2014]
American Gastroenterological Association. 2004. American Gastroenterological
Association medical position statement: Diagnosis and treatment of hemorrhoids.
Gastroenterology. 126:1461-1462
Bailey HR. 2004. Innovations for age-old problem: hemorrhoids in the female patient.
Female Patient. 29: 17-23.
Beck DE. 2004. Evaluation of the anorectum during endoscopic examinations. Tech
Gastrointest Endosc. 6: 2-5.
11
Meshikhes AW. 2002. Efficacy of Daflon in the treatment of hemorrhoids. Saudi Med J.
23(12): 1496-8.
Paonessa N. 2009. Conservative/NonoperativeTherapy. In: Paonessa I, Azimuddin K,
editors Surgical Treatment of Hemorrhoids. 2nd ed. Springer-Verlag London
Limited. London : 41-42.
Riwanto Ign. 2010. Usus halus, apendiks, kolon, dan anorektum. Dalam: Sjamsuhidajat R,
Jong WD, penyunting. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi ke-3. EGC. Jakarta: 788-792.
Sanchez, C., Chinn, B.T. (2011). Hemorrhoids. Clinics In Colon And Rectal Surgery. Vol.
24. No.1. Thieme Medical Publishers. New York :5-13
Simadibrata M. 2007. Hemoroid. In: al. SAe, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.4th
ed. Pusat Penerbit IImu Penyakit Dalam FKUI. Jakarta :587-590.
Suprijono MA. 2009. Hemorrhoid. Sultan Agung. Bagian Patologi Anatomi Fakultas
Kedokteran Universitas Islam Sultan Agung. 44(118): 23-38.
Thornton SC. 2012. Hemorrhoids. Eds. BJ Daley. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/775407-overview#aw2aab6b2b5 [Acsessed
October 19,2014].
Warusavitarne J , Phillips R. 2007. Hemorrhoids Throughout History - A Historical
Perspective. Semin Colon Rectal Surgery. 18:140-146
-------o0o-------