BATUBARA
BATUBARA
Batubara adalah batuan yang mudah terbakar mengandung lebih dari 50% berat
dan 70% volume material karbonan, termasuk lengas bawaan(inherent
moisture). Secara umum, batubara dibedakan menjadi dua :
1 Humic (tumbuhan darat)
2 Sapropelic (tumbuhan air -> ganggang).
3 tumbuhan -> gambut : peatifikasi.
4 gambut -> lignit -> subbituminous -> bituminous -> antrasit : coalification
Authigenic Mineral adalah mineral yang tercampur kedalam gambut selama atau
setelah pengendapan, atau kedalam batubara selama coalification. Endapan
mineral biasanya terdapat sebagai sebaran atau agregat, sedangkan mineral-rich
fluids yang ada selama tahap akhir dari coalification cenderung mengendapkan
mineral pada joints dan celah lain di batubara. Produk umum dari mineralisasi
adalah mineral mineral calcium-iron, seperti calcite, ankerite, siderite dan pyrite,
dan silica dalam bentuk kuarsa.
Unsur sulphur biasanya hadir di setiap batubara, biasanya hadir dalam fraksi
organic, sedangkan fraksi anorganiknya hadir dalam bentuk pyrite. Pyrite dapat
hadir sebagai mineral detrital primer ataupun pyrite sekunder sebagai hasil dari
reduksi sulfur di air laut, jadi ada pemikiran yang kuat tentang hubungan antara
batubara dengan sulfur tinggi dan lingkungan pengendapan marine.
Mineral lempung rata-rata menyusun 60-80% dari jumlah mineral matter total
dalam batubara. Mineral lempung bisa berasal dari detrital ataupun sekunder,
terbentuk dari larutan aqueous. Kondisi kimia pada tempat pengendapan juga
mempengaruhi tipe dari mineral lempung yang berasosiasi dalam batubara.
Secara khusus, rawa air tawar dengan pH rendah akan cenderung menghasilkan
alterasi insitu dari smectites, illite dan mixed-layers clays to kaolinite. Umumnya,
illite merupakan mineral lempung yang dominant pada kondisi marine,
sementara pada kondisi nonmarine, mineral lempung yang dominant adalah
kaolinite.
Mineral lempung terjadi dalam batubara dengan 2 cara : tonsteins atau seagai
inclusi dalam litotipe maceral. Tonsteins terbentuk dari proses detrital atau
authigenic, berasosiasi dengan aktivitas vulkanik, biasanyan mengandung
kaolinite, smectite dan mixed-layer clays dengan mineral aksesoris.
Clay mineral dapat mengkontaminsasi seluruh microlitohtype. Mineral lempung
< 20% (by volume) disebut sebagai contaminated by clay, 20-60% carbargillite,
> 60% udah bukan batubara, tapi argillaceous shale.
Mineral halide separti klorida, sulfat dan nitrat hadir dalam batubara biasanya
sebagai produk infiltrasi diendapkan dari air asin yang bermigrasi melalui
sediment sequence. Mineral halide akan menjadi hal yang signifikan pada
operasi penambangan, contoh nitrate akan menyebabkan korosi yang serius,
clorin menyebabkan corosi juga pada boiler.
Coalification(Rank)
Coalification
Coalification adalah perubahan vegetasi membentuk gambut, diakhiri dengan
transformasi gambut menjadi lignit, subbituminus, bituminous, semi anthracite,
anthracite dan meta anthracite. Derajat transformasi tersebut dikenal dengan
istilah rank. Proses coalification pada dasarnya diawali dengan fasa biokimia
yang diikuti dangan fasa geokimia atau metamorfik.
Fasa biokimia mencakup proses-proses yang terjadi pada rawa gambut yang
mengikuti deposition dan burial, yaitu selama diagenesis. Proses ini ada sebelum
tahapan hardbrowncoal dicapai. Perubahan biokimia yang paling intensif terjadi
pada kedalaman yang sanagat dangkal dari rawa gambut. Pada kondisi ini
utamanya terjadi pembentukan aktivitas bakteri yang mendegradasi gambut,
dan yang dapat dibantu dengan kecpatan burial, pH dan level muka airtanah.
Dengan bertambahnya burial, aktivitas bakteri berakhir, dan diperkirakan
absent pada kedalaman lebih dari 10m. Kompinen yang kaya akan karbon dan
kandungan volatile dari gambut sedikit berpengaruh pada proses biokimia,
bagaimanapun, dengan bertambahnya kompaksi pada gambut, kandungan
lengas berkurang dan jumlah kalori bertambah.
Dari tahapan browncoal, perubahan material organic terjadi sangat kuat dan
dapat disebut sebagai metamorphism. Batubara lebih bereaksi untuk berubah
karena tempreatur dan tekanan lebih cepat dari mineral pada batuan, oleh
karenanya batubara dapat mengindikasikan derajat metamorfisme pada
sequence yang memperlihatkan perubahan mineralogic.
Pada tahapan geokimia atau metamorfik, perubahan pada batubara yang terjadi
adalah penambahan kandungan karbon, pengurangan kandungan hydrogen dan
oksigen dan menghasilkan hilangnya zat terbang. Hal ini diteruskan dengan
kehilangan air dan kompaksi, menghasilkan pengurangan volume batubara.
Produk dari tahap ini adalah methane, karbondioksida dan air, air sangat mudah
hilang, dan perbandingan methane : karbondioksida bertambang sesuai rank.
Perubahan sifat fisik dan kimia dari batubara ini dalam kenyataanya merupakan
perubahan kandungan bawaan batubara. Selama proses coalification, tiga group
maceral menjadi kaya akan karbon. Setiap group maceral yaitu exinite, vitrinie,
dan inertinite mengikuti jalan coalifikasi yang berbeda. Properti petrografik dari
vitrinite berubah seiring bertambahnya rank.
Pada cahaya yang dipantulkan reflektansi vitrinit makin bertambah, sebaliknya,
pada cahaya transmisi, material organic menjadi opak, dan struktur tumbuhan
makin sulit dikenali. Propeti optic dari vitrinit ini telah dapat digunakan sebagai
indicator rank.
Penyebab Coalification
Penyebab coalificasi yang paling utama adalah penambahan temperature dan
waktu selama proses ini terjadi.
Perubahan temperature
Perubahan temperature dapat dicapai dengan 2 jalan. Pertama dengan kontak
langsung batubara dengan material batuan beku, baik sebagai intrusi minor atau
deep seated intrusion. Dengan kondisi ini batubara akan memperlihatkan
kehilangan zat terbang, oksigen, metan, dan air, dan sediment disekelilingnya
akan memperlihatkan bukti metamorf kontak, seperti perkembangan rank yang
lebih tinggi di tempat tertentu.
Waktu
Temperatur coalification biasanya lebih rendah dari temperature eksperimen.
Untuk mencapai rank yang tinggi, temperature yang tinggi deperlukan dengan
kecepatan pemanansan yang tinggi (metamorf kontak) daripadan slower heating
rates(subsidence dan kedalaman burial)
Ketika temperatur sangat rendah terjadi selama waktu yang lama, coalifikasi
akan terjadi hanya sebagian kecil. Pengaruh temperature oleh karenanya akan
lebih besar pada temperature yang lebih tinggi. Time akan mempunyai efek yang
nyata ketika temperaturnya cukup tinggi untuk terjadinya reaksi kimia.
Tekanan
Pengaruh tekanan lebih besar selama proses kompaksi dan lebih berarti pada
tahapan gambut-subbituminous, pada saat pengurangan porositas dan reduksi
kandungan lemngas. Stach(1982) menyatakan bahwa tekanan mendorong
terjadinya “physico-structural coalification”, sebaliknya, penambahan
temperature mempercepat “coalificasi kimia”. Dengan berangsurnya penurunan
batubara, keduap pengaruh tersebut berjalan parallel, tapi kadang kadan physico
structural coalification mendahului checimal coalification. Chemical coalification
akan meningkat jika panas tambahan tersuplaikan. dengan bertambahnya
chemical coalification, tekanan mempunyai pengaruh yang kecil.
Radioactivity
Peningkatan rank oleh radioaktivitas jarang diamati, hanya secara microscopik
diseketiar uranium atau thorium.
Coal Quality
Kualitas batubara adalah sifat fisika dan kimia dari batubara yang
mempengaruhi potensi kegunaanya. Kualitas dari batubara ditentukan oleh
penyusun maceral dan mineral matternya, dan juga oleh derajat coalification
(rank).
Sifat kimia dari batubara
Dalam istilah sederhana, batubara dapat diutarakan tersusun dari moisture, pure
coal dan mineral matter. Moisture terdiri dari surface moisture dan chemically
bound moisture yang terdiri dari pure coal mencerminkan jumlah organic
matter yang hadir. Mineral matter merupakan jumlah fraksi anorganik yang
ketika terjadi pembakaran akan menjadi ash. Analisa batubara sering dilaporkan
sebagai analisa proksimat dan analisa ultimat.
Analisa proksimat adalah anlisa kasar yang menentukan jumlah :
• Moisture,
• Volatile matter,
• Karbon tertambat dan
• Ash.
Moisture (lengas)
1 Surface moisture :ini merupakan lengas tambahan (adventitious), tidak asli
berasal dari batubara, dan dapat dihilangkana dengan pengeringan udara
400 C. Tahap pengeringan ini biasanya merupakan tahap pertama dari
analisa apapun, dan moisture yang tersisa setelah pengeringan ini adalah
air-dried moisture.
2 As received atau as delivered moisture : ini merupakan moisture total dari
sample batubara ketika diterima atau dikirim ke laboratorium. Biasanya
lab akan mengeringkan batubara dengan udara, dan dengan begitu akan
diperoleh “loss on air drying”. Hasil ini kemudian ditambah dengan air
dried moisture mengahasilkan as delivered moisture.
3 Total moisture. Ini semua moisture yang dapat dihilangkan dengan
pengeringan (1500 C pada vakum atau nitrogen atmosfer).
Ash
Kandungan ash dari batubara berarti residue anorganik yang tersisa setelah
pembakaran. mesti diingat bahwa menentukan kandungan ash tidak sama
dengan kandungan mineral matter pada batubara. Pada steam coal, kandungan
ash yang tinggi akan mengurangi jumlah kalor. Kandungan ash yang
direkomendasikan untuk steam coal yang digunakan sebagai pulverized fuel
adalah sekitar 20% (air dried), tapi untuk stoker-fired boilers bisa lebih rendah.
Untuk coking coals, maksimum 10-20% (air-dried). Konsentrasi ash yang lebih
tinggi akan mengurangi efisiensi tungku pembakaran.
Analisa ultimate
Analisa ultimate dari batubara terdiri dari penentuan karbon dan hydrogen
sebagai produk gas, dari pembakaran sempurna, penentuan sulfur, nitrogen dan
ash dalam material secara keseluruahan, dan perhitungan oksigen dari
selisihnya.
Carbon dan hydrogen. Dibebaskan sebagai CO2 dan H2O ketika batubara
dibakar. CO2 bisa berasal dari mineral karbonat yang ada, dan H2O bisa berasal
dari mineral lempung atau inherent moisture pada air-dried coal atau pada
keduanya.
Nitrogen. kandungan nitrogen dari batubara merupakan hal yang signifikan,
khususnya dengan hubungan polusi udara. jadi batubara dengan nitrogen yang
rendah lebih diharapkan pada industri. Batubara tidak boleh mengandung
nitrogen lebih dari 1.5-2.0% (d.a.f.)
stilah batubara merupakan istilah yang luas untuk keseluruhan bahan yang
bersifat karbon yang terjadi secara alamiah. Batubara dapat pula didefinisikan
sebagai batuan yang bersifat karbon berbentuk padat, rapuh, berwarna coklat
tua sampai hitam, dapat terbakar, yang terjadi akibat perubahan atau pelapukan
tumbuhan secara kimia dan fisika (dalam “Kamus Pertambangan, Teknologi dan
Pemanfaatan Batuabara”, Silalahi, 2002). Sedangkan dalam pengertian geologi
batubara oleh Schoft (1956) dan Bustin, dkk (1983) (dikutip dari Rahmad, B.,
2001) lebih spesifik mendefinisikan batubara sebagai bahan atau batuan yang
mudah terbakar, mengandung lebih dari 50% hingga 70% volume kandungan
karbon yang berasal dari sisa-sisa material tumbuhan yang terakumulasi dalam
cekungan sedimentasi dan mengalami proses perubahan kimia dan fisika,
sebagai reaksi terhadap pengaruh pembusukan bakteri, temperatur, tekanan dan
waktu geologi.
Tempat Pembentukan Batubara
Dalam geologi batubara dikenal dua macam teori untuk menjelaskan tempat
terbentuknya batubara (Sukandarrumidi, 1995), yaitu :
Teori Insitu
Teori ini mengatakan bahwa bahan-bahan pembentuk lapisan batubara,
terbentuknya di tempat dimana tumbuh-tumbuhan asal itu berada. Pada saat
tumbuhan tersebut mati sebelum mengalami proses transportasi segera tertutup
oleh lapisan sedimen dan mengalami proses pembatubaraan (coalification). Jenis
batubara yang terbentuk dengan cara ini mempunyai penyebaran luas dan
merata, kualitasnya relatif baik karena kadar abunya relatif kecil.
Teori Drift
Teori ini menyebutkan bahwa bahan bahan pembentuk lapisan batubara
terjadinya ditempat yang berbeda dengan tempat tumbuhan semula hidup dan
berkembang, dengan demikian tumbuhan yang telah mati diangkut oleh media
air dan berakumulasi disuatu tempat, tertutup oleh batuan sedimen dan
mengalami proses pembatubaraan. Batubara ini mempunyai penyebaran tidak
luas, tetapi dijumpai di beberapa tempat, kualitas kurang baik.
Pada dasarnya proses pembentukan batubara dapat dibagi menjadi dua tahap
(Diessel, 1986), yaitu :
1. Tahap Biokimia (Biochemical Stage)
Merupakan tahap pertama dalam proses pembentukan batubara. Pada tahap ini
terjadi proses pembusukan sisa-sisa material tumbuhan dan penggambutan
(peatification), yang disebabkan oleh bakteri ataupun organisme tingkat rendah
lainnya. Oleh karena proses tersebut maka terjadi pelepasan kandungan
hidrokarbon, zat terbang dan oksigen disertai penyusunan kembali molekul-
molekul bahan tersisa, dan sebagai akibatnya terjadi penambahan kandungan
karbon pada maseral batubara.
3. Temperatur
Temperatur panas terbentuk oleh timbunan sedimen diatas lapisan batubara
dan gradien panas bumi. Efek panas dari faktor ini menimbulkan proses kimia
dinamis (geokimia) yang mampu manghasilkan perubahan fisik dan kimia, dalam
hal ini merubah gambut menjadi berbagai jenis dan peringkat batubara. Proses
ini merupakan tahap kedua pada proses pembatubaraan (coalification). Selain
panas yang dihasilkan karena timbunan sedimen diatas lapisan batubara dan
gradien panas bumi, juga dapat dihasilkan oleh adanya intrusi batuan beku,
sirkulasi larutan hidrotermal dan struktrur geologi.
4. Tekanan
Tekanan sangat penting sebagai penghasil panas, namun juga dapat membantu
melepaskan unsur-unsur zat terbang dari lapisan batubara, yang dikenal sebagai
proses devolatilisasi. Proses ini akan lebih efektif apabila lapisan batuan
diatasnya bersifat permeabel dan porous, sehingga batubara yang berada pada
lapisan batupasir akan mengalami proses devolatilisasi yang lebih efektif
dibandingkan lapisan batulempung.
5. Waktu Geologi
Pengaruh pembentukkan batubara tidak terlepas dari lamanya waktu
pemanasan dalam cekungan. Pemanasan dalam waktu yang lama, pada
temperatur yang sama akan menghasilkan batubara yang lebih tinggi
peringkatnya. Jadi harus ada keseimbangan yang baik antara panas, tekanan dan
waktu geologi.
• Formasi Berai; diendapkan selaras diatas Formasi Tanjung pada kala Oligosen
hingga Miosen Bawah, terdiri dari Anggota Berai Bawah yang disusun
oleh napal, batulanau, batugamping dan sisipan batubara; Anggota Berai
Tengah dicirikan oleh batugamping masif dengan interklas napal; dan
Anggota Berai Atas tersusun oleh serpih dengan sisipan batugamping
berselingan dengan napal, batulempung napalan dan sedikit batubara.
• Formasi Warukin; diendapkan selaras diatas Formasi Berai pada kala Miosen
Tengah hingga Miosen Atas, terdiri dari Anggota Warukin Bawah yang
disusun oleh napal, batulempung dan sisipan batupasir; Anggota Warukin
Tengah relatif sama dengan Warukin Bawah, hanya pada batupasirnya
menjadi tebal dan banyak dijumpai lapisan tipis batubara; dan Anggota
Warukin Atas dicirikan lapisan batubara yang tebal hingga 20 meter dan
juga batupasir dan batulempung karbonan. Formasi ini dfiendapakan
pada lingkungan paralik hingga delta pada fase regresi.
• Formasi Dahor; diendapkan tidak selaras diatas Formasi Warukin pada Mio-
Pliosen, terdiri dari batupasir, batulempung, batubara dan lensa-lensa
konglomerat. Formasi ini diendapkan di lingkungan paralik-lagunal.
• Endapan Kuarter; terdiri dari hasil rombakan batuan yang lebih tua, berupa
material berukuran kerakal hingga lempung, menumpang tidak selaras di
atas Formasi Dahor.
Secara keseluruhan, sistem sedimentasi yang berlangsung di cekungan ini
melalui siklus transgresi dan regresi serta beberapa sub siklus yang bersifat
lokal. Turunnya bagian tengah cekungan dan erosi yang aktif di bagian Tinggian
Meratus menyebabkan pengendapan sedimen yang banyak, membentuk urutan
endapan paralik hingga delta. Hal tersebut juga tercermin endapan batubara
yang relatif tebal pada Formasi Warukin.
Kualitas endapan batubara di cekungan ini termasuk pada batubara peringkat
rendah (lignit) dengan nilai kalori rendah (<5000 kcal/kg), kandungan sulfur
hingga 0,2%, karbon padat 31,4%, zat terbang 37,6%, kadar abu 3,3%,
kandungan air lembab bawaan 27,7% dan air lembab keseluruhan mencapai
34,5% (dalam Koesoemadinata, 2000). Untuk mewakili cekungan ini dipakai
Prinsip UBC
Pada prinsipnya proses UBC dirancang untuk menghasilkan produk batubara
dengan nilai kalor 6000 – 6500 kkal/kg dari batubara peringkat rendah yang
mempunyai nilai kalor 3500 – 4500 kkal/kg, melalui teknik pengurangan
kandungan air total dari 25 – 45% menjadi <5% .
Proses UBC
Proses UBC dilakukan dengan cara mencampurkan antara batubara asal dan
minyak residu kemudian dipanaskan pada suhu 150°C dengan tekanan hanya
350 kPa (35 atm) seperti pada Gambar 2.6. Penambahan minyak residu adalah
untuk menjaga kestabilan kadar air. Keunggulan proses ini selain suhu dan
tekanan yang cukup rendah, juga batubara yang dihasilkan cukup bersih karena
minyak residu yang ditambahkan pada saat proses dipisahkan dan dapat
digunakan kembali. Batubara produk proses UBC dapat berupa serbuk ataupun
bongkah (aglomerat) yang kemudian dibuat briket atau dalam bentuk slurry.
Polusi pada air buangan akan sangat minimum karena proses yang berlangsung
adalah secara fisika, sehingga tidak terjadi reaksi kimia atau pirolisa
Hasil UBC
Dengan berhasilnya penelitian pilot plant ini, diharapkan batubara peringkat
rendah yang merupakan cadangan terbesar dimiliki Indonesia (± 70% dari total
cadangan 39 milyar ton) dapat ditingkatkan kualitasnya sehingga mempunyai
sifat menyerupai batubara peringkat tinggi (bituminous), yaitu jenis batubara
yang ideal untuk diekspor. Dengan kata lain proses UBC dapat menyiapkan
batubara yang sesuai dengan spesifikasi pasar, sehingga industri pertambangan
batubara di Indonesia dapat terus tumbuh memberikan kontribusinya sebagai
pemasok energi dalam negeri dan untuk meningkatkan ekspor di masa
mendatang.
Petrografi Batubara
Petrografi batubara adalah ilmu yang mempelajari komponen-komponen
organik (maceral) dan anorganik (mineral matter) secara mikroskopik. Seperti
pada petrografi mineral, petrografi batubara memerikan komponen-komponen
penyusun batubara secara kualitatif dan kuantitatif untuk mengetahui asal mula
dan genesa pembentukkan batubara.
Gambaran Sejarah
Lahirnya ilmu petrografi batubara sering dihubungkan dengan dua nama tokoh
penting yaitu M. Stope (1919) dan Thiessen (1920) (dikutip dari Nining, N.S.,
2001). Keduanya adalah ahli paleobotani. Selain mereka juga ada dua ahli dari
Jerman yaitu H. Potonie (1920) dan yang banyak memberikan pemikiran penting
dalam ilmu ini.
Stope dan Thiessen mengembangkan ide-ide dalam hal terminalogi dan
klasifikasi batubara dengan menggunakan mikroskop cahaya tembus, tetapi
kemudian Stope lebih lanjut memperdalam pengamatannya menggunakan
cahaya pantul. Pemikiran Thiessen menganai klasifikasi batubara berdasarkan
sistem U.S. Bureau of Mines. Salah satu hasil penelitian mereka yang sangat
penting adalah informasi mengenai tanaman asal pembentuk batubara.
Awal tahun 1930, Thiessen, Stopes dan beberapa peneliti dari Perancis dan
Jerman, yang tergabung dalam ahli-ahli mineral dan tanaman, menyelidiki
komponen-komponen batubara dengan metoda petrografi. Untuk memadukan
pemikiran-pemikiran yang berbeda latar belakang keahlian maka diadakan
konferensi di Heerlen – Netherland pada tahun 1935. Salah satu keputusan
penting konferensi tersebut adalah terbentuknya susatu sistem penamaan
sistem Stope-Heerlen.
Dua teknik terbaru yang dipakai dalam petrografi batubara ditemukan pada
tahun 1970-an, yaitu teknik penggunaan mikroskop otomatis dan pemakaian
sinar fluorence untuk mengidentifikasi meseral tertentu, terutama kelompok
maseral liptinit/eksinit.
Konsep Maseral
Secara mikroskopis bahan-bahan organik pembentuk batubara disebut maseral
(maceral), analog dengan mineral dalam batuan. Istilah ini pada awalnya
diperkenalkan oleh M. Stopes (1935) (dalam buku Stach dkk, 1982) untuk
menunjukkan material terkecil penyusun batubara yang hanya dapat diamati
dibawah mikroskop sinar pantul.
Dalam petrografi batubara, maseral dikelompokan menjadi 3 (tiga) kelompok
(group) yang didasarkan pada bentuk morfologi, ukuran, relief, struktur dalam,
komposisi kimia warna pantul, intensitas refleksi dan tingkat pembatubaraannya
(dalam “Coal Petrology” oleh Stach dkk, 1982), yaitu :
1. Kelompok Vitrinit
Vitrinit berasal dari tumbuh-tumbuhan yang mengandung serat kayu (woody
tissue) seperti batang, akar, dahan dan serat daun, umumnya merupakan bahan
pembentuk utama batubara (>50%), melalui pengamatan mikroskop refleksi,
kelompok ini berwarna coklat kemerahan hingga gelap, tergantung dari tingkat
ubahan maseralnya .
Klasifikasi
Banyak klasifikasi kelompok maseral, sub-maseral dan jenis maseral dalam
petrografi batubara, tetapi yang sering dipakai oleh peneliti di Indonesia adalah
Australian Standart (AS 2856-1986) (Tabel 2.1). Kelebihan sistem ini yaitu
pembagiannya berlaku untuk semua peringkat batubara, baik untuk hard coal
maupun brown coal, selain itu juga cukup sederhana dibandingkan sistem yang
lain : International Organisation for Standardisation (ISO); American Society for
Testing Materials (ASTM); dan British Standards Institution (BSI) classifications.
Mineral Pengotor
Mineral pengotor dalam batubara terdapat baik sebagai butiran halus yang
menyebar maupun sebagai butiran kasar yang mempunyai ciri-ciri sendiri dan
dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yaitu :
• Mineral pengotor yang terdapat dalam sel tanaman asal,
• Mineral pengotor utama yang terbentuk selama atau segera setelah
pengendapan batubara dan,
• Mineral pengotor yang terbentuk setelah pengendapan batubara,
Mineral pengotor kelompok pertama pada umumnya tidak dapat diketahui
secara petrografi kecuali dengan SEM (Scanning Electron Microscope) karena
sangat kecil. Mineral pengotor kelompok kedua dan ketiga dengan mudah dapat
diidentifikasi dengan mikroskop. Mineral utama berbentuk bersamaan dengan
pembentukna batubara, sedangkan mineral pengotor lainnya cenderung kasar
dan bergabung dalam lubang, celah dan rongga.
Mineral-mineral pengotor yang banyak terdapat dalam batubara adalah
lempung, karbonat, besi sulfida dan kuarsa. Mineral lain yang terdapat pada
batubara dalam jumlah kecil adalah oksida-oksida, hidroksida-hidroksida,
sulfida-sulfida yang lainnya, fosfat dan sulfat.
Mineral lempung adalah mineral yang paling banyak terdapat dan tersebar luas
di dalam batubara serta berukuran butir sangat kecil antara 1-2 μm. Sekitar 60
– 80% dari mineral pengotor dalam batubara adalah lempung berupa kaonit, illit
dan smektit. Komposisi kimia pada saat pengendapan berpengaruh terhadap
tipe lempung yang mengendapan dalam batubara. Pada umumnya mineral
lempung illit terdapat dalam batubara yang diendapkan dengan adanya
pengaruh air laut, sedangkan kaolinit tidak dipengaruhi oleh air laut. Dibawah
sinar refleksi, lempung mempunyai lempung bermacam-macam warna mulai
dari yang hampir putih sampai sampai orange kecoklat-coklatan. Dibawah sinar
fluorescent mineral lempung tidak berwarna sampai oranye.
Karbonat dalam batubara terdapat sebagai masa dasar atau pengisi lubang-
lubang kecil/celahan, diantaranya adalah siderit, kalsit, ankerit dan dolomit.
Dibawah sinar refleksi, karbonat tersebut berwarna abu-abu kecoklatan dan
sangat anisotop. Di bawah sinar fluorescent karbonat menunjukkan warna hijau
sampai oranye kehijauan.
Sulfida besi didominasi oleh pirit termasuk markasit dan melnikovit. Mineral-
mineral tersebut terjadi sebagi butiran kristal yang halus dan butiran-butiran
halus, dan kadang-kadang mengisi lubang yang terbuka, terutama terdapat
dalam lapisan batubara yang dipengaruhi oleh air laut. Dalam sinar refleksi,
pirit terlihat sangat terang kekuning-kuningan.
Mineral kuarsa dalam batubara terdapat dalam jumlah kecil, berukuran butir
antara 5-20 μm. Dibawah sinar refleksi, kuarsa terlihat hitam terang. Batubara
yang mempunyai mineral dalam ukuran butir besar dapat dengan mudah
dipisahkan dengan penggerusan atau dengan proses pengolahan. Mineral
tersebut dinamakan “adventitious”. Sedangkan mineral-mineral yang tidak
terlepas dari batubara baik dengan penggerusan maupun dengan proses
pengolahan yang disebut “inherant”.
Teori In-situ : Batubara terbentuk dari tumbuhan atau pohon yang berasal dari
hutan dimana batubara tersebut terbentuk. Batubara yang terbentuk sesuai
dengan teori in-situ biasanya terjadi di hutan basah dan berawa, sehingga
pohon-pohon di hutan tersebut pada saat mati dan roboh, langsung tenggelam ke
dalam rawa tersebut, dan sisa tumbuhan tersebut tidak mengalami pembusukan
secara sempurna, dan akhirnya menjadi fosil tumbuhan yang membentuk
sedimen organik.
Teori Drift : Batubara terbentuk dari tumbuhan atau pohon yang berasal dari
hutan yang bukan di tempat dimana batubara tersebut terbentuk. Batubara yang
terbentuk sesuai dengan teori drift biasanya terjadi di delta-delta, mempunyai
ciri-ciri lapisan batubara tipis, tidak menerus (splitting), banyak lapisannya
(multiple seam), banyak pengotor (kandungan abu cenderung tinggi). Proses
pembentukan batubara terdiri dari dua tahap yaitu tahap biokimia
(penggambutan) dan tahap geokimia (pembatubaraan).
Setelah mendapat pengaruh suhu dan tekanan yang terus menerus selama jutaan
tahun, maka batubara muda akan mengalami perubahan yang secara bertahap
menambah maturitas organiknya dan mengubah batubara muda menjadi
batubara sub-bituminus (sub-bituminous). Perubahan kimiawi dan fisika terus
berlangsung hingga batubara menjadi lebih keras dan warnanya lebih hitam
sehingga membentuk bituminus (bituminous) atau antrasit (anthracite). Dalam
kondisi yang tepat, peningkatan maturitas organik yang semakin tinggi terus
berlangsung hingga membentuk antrasit.
Disamping itu semakin tinggi peringkat batubara, maka kadar karbon akan
meningkat, sedangkan hidrogen dan oksigen akan berkurang. Karena tingkat
pembatubaraan secara umum dapat diasosiasikan dengan mutu atau mutu
batubara, maka batubara dengan tingkat pembatubaraan rendah disebut pula
batubara bermutu rendah seperti lignite dan sub-bituminus biasanya lebih
lembut dengan materi yang rapuh dan berwarna suram seperti tanah, memiliki
tingkat kelembaban (moisture) yang tinggi dan kadar karbon yang rendah,
sehingga kandungan energinya juga rendah. Semakin tinggi mutu batubara,
umumnya akan semakin keras dan kompak, serta warnanya akan semakin hitam
mengkilat. Selain itu, kelembabannya pun akan berkurang sedangkan kadar
karbonnya akan meningkat, sehingga kandungan energinya juga semakin besar.
Batubara berasal dari tumbuh-tumbuhan yang telah mati. Proses terjadinya batu
bara disebut proses inkolen (air yang ada di dalamnya dan bahan-bahan yang
mudah menguap, Nitrogen makin kecil sedangkan kadar zat arang atau karbon
bertambah presentasenya).
2. Stadium 2: Proses Metamorfosa, sush dan tekanan bertambah tinggi dan
waktu lama maka Turf berubah menjadi batu bara muda atau Lignit.
3. Stadium 3: Pembentukan batuan berharga yaitu terjadinya batu bara, yang
dapat dilihat struktur tumbuhannya. Jika temperatur tekanan meningkat terus,
maka akan terjadi Antrasit dan Stradium yang akhirnya menjadi Granit.
1. Nilai (value) daripada endapan mineral per unit berat (P). dan biasanya
dinyatakan dengan ($/ton) atau (Rp/ton)
2. Ongkos produksi (C), yaitu ongkos yang diperlukan sampai mendapatkan
produknya diluar ongkos stripping.
3. Ongkos stripping of overburden (Cob),
4. Cut Off Grade, akan menentukan batas-batas cadangan sehingga menentukan
bentuk akhir penambangan.
2. Pembersihan Lahan
Pekerjaan ini dilakukan sebelum tahap pengupasan lapisan tanah penutup
dimulai. Pekerjaan ini meliputi pembabatan dan pengumpulan pohon yang
tumbuh pada permukaan daerah yang akan ditambang dengan tujuan untuk
membersihkan daerah tambang tersebut sehingga kegiatan penambangan dapat
dilakukan dengan mudah tanpa harus terganggu dengan adanya gangguan
tetumbuhan yang ada didaerah penambangan. Kegiatan pembersihan ini
dilakukan dengan menggunakan Bulldozer.
c. Letak Kantor
Sarana perkantoran digunakan sebagai pusat pengaturan dan pelaksanaan
kegiatan kerja penambangan dan direncanakan berada pada daerah yang mudah
dicapai dan dekat dengan jalan masuk. Bangunan ini dibuat permanen karena
dipakai dalam jangka waktu yang sangat lama sesuai dengan umur proyek.
e. Penerangan
Sarana penerangan dimaksudkan untuk memberikan penerangan disekitar
bangunan, jalan, dan terutama sekali didalam kegiatan penunjang kerja. Sumber
listrik untuk penerangan ini tidak menjadi satu dengan listrik untuk pabrik,
sehingga khusus untuk sarana penerangan ini diperlukan sebuah generator.
f. SumberAir
Air merupakan sumber sarana yang sangat vital bagi sebuah proyek yang
melibatkan banyak tenaga kerja. Disamping air digunakan sebagai kebutuhan
sehari – hari, air juga dipakai dalam kegiatan penambangan yang didapat dari air
tanah dengan melakukan pemboran.
D. Operasi Penambangan
Tujuan utama dari kegiatan penambangan adalah pengambilan endapan dari
batuan induknya, sehingga mudah untuk diangkut dan di proses pada proses
selanjutnya selanjutnya.
Setelah operasi persiapan penambangan selesai dan pengupasan lapisan tanah
penutup pada bagian atas cadangan batugamping terlaksana (arah kemajuan
penambangan dari kontur atas ke bawah). Maka dapat dimulai kegiatan operasi
penambangan.
Kegiatan penambangan terbagi atas tiga kegiatan, yaitu pembongkaran,
pemuatan dan pengangkutan.
2. Pemuatan
Pemuatan adalah kegiatan yang dilakukan untuk memasukkan atau mengisikan
material atau endapan bahan galian hasil pembongkaran ke dalam alat angkut.
Kegiatan pemuatan dilakukan setelah kegiatan penggusuran, pemuatan
dilakukan dengan menggunakan alat muat Wheel Loader dan diisikan ke dalam
alat angkut.
Kegiatan pemuatan bertujuan untuk memindahkan batugamping hasil
pembongkaran kedalam alat angkut. Pengangkutan dilakukan dengan sistem
siklus, artinya truck yang telah dimuati langsung berangkat tanpa harus
menunggu truck yang lain dan setelah membongkar muatan langsung kembali ke
lokasi penambangan untuk dimuati kembali
3. Pengangkutan
Pengangkutan adalah kegiatan yang dilakukan untuk mengangkut atau
membawa material atau endapan bahan galian dari front penambangan dibawa
ke tempat pengolahan untuk proses lebih lanjut.
Proses pengolahan batu bara pada umumnya diawali oleh pemisahan limbah dan
batuan secara mekanis diikuti dengan pencucian batu bara untuk menghasilkan
batubara berkualitas lebih tinggi. Dampak potensial akibat proses ini adalah
pembuangan batuan limbah dan batubara tak terpakai, timbulnya debu dan
pembuangan air pencuci.
Studi AMDAL juga harus mengevaluasi resiko yang disebabkan oleh kegagalan
penampungan tailing dan pemrakarsa harus menyiapkan rencana tanggap
darurat yang memadai. Pihak yang bertanggungjawab dalam pelaksanaan
tanggap darurat ini harus dinyatakan secara jelas.
Dampak lingkungan, sosial dan kesehatan yang ditimbulkan oleh kegiatan ini
dapat bersifat sangat penting dan dipengaruhi oleh faktor-faktor sebagai
berikut :
1. Letak dan lokasi tambang terhadap akses infrastruktur dan sumber energi.
2. Jumlah kegiatan konstruksi dan tenaga kerja yang diperlukan serta tingkat
migrasi pendatang.
3. Letak kawasan konsensi terhadap kawasan lindung dan habitat alamiah,
sumber air bersih dan badan air, pemukiman penduduk setempat dan tanah
yang digunakan oleh masyarakat adat.
4. Tingkat kerawanan kesehatan penduduk setempat dan pekerja terhadap
penyakit menular seperti malaria, AIDS, schistosomiasis.
Penggunaan batubara yang luas pada banyak industri merupakan salah satu hal
yang sangat menguntungkan. Batubara juga digunakan untuk menghasilkan
kokas, produk ini sangat berguna karena kokas adalah bahan utama yang
digunakan sebagai bahan bakar berkarbon tinggi untuk pemrosesan logam dan
juga dalam industri baja. Residu batubara yang dihasilkan pada saat batubara
dipanaskan dalam kondisi yang terkendali dan hampa udara akan
mengkonsentrasikan kandungan karbon batubara.
Batubara adalah produk yang banyak digunakan di seluruh dunia untuk berbagai
macam kegunaan dan karena itulah industri batubara sangat sukses.