Anda di halaman 1dari 8

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian
Sindrom Stevens-Johnson ( SSJ ) merupakan sindrom yang mengenai kulit,
selaput lender di orifisium, dan mata dengan keadaan umum berfariasi dari ringan sampai
berat. Kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel / bula, dapat disertai purpura.
Sindrom tersebut mengancam kondisi kulit yang mengakibatkan kematian sel – sel
epidermis mengelupas dan memisahkan dari dermis. Sindrom Stevens Johnson umumnya
terjadi pada anak anak dan dewasa muda terutama pada pria.
Sindrom Steven-Johnson adalah kelainan langka dan serius pada kulit serta
selaput lendir. Kondisi ini sering kali merupakan reaksi saat Anda menggunakan obat
atau mengalami infeksi, Steven-Johnson syndrome adalah kondisi darurat medis yang
biasanya memerlukan rawat inap.
Sindrom Stevens-Johnson adalah kelainan serius pada kulit, serta lapisan bola
mata, dalam mulut, dubur, dan alat kelamin. Lapisan tersebut dikenal dengan membran
mukosa di dunia kedokteran. Sindrom Stevens-Johnson tergolong kondisi yang jarang
terjadi, dan muncul akibat reaksi tubuh terhadap obat atau infeksi. Penderita sindrom ini
membutuhkan penanganan segera dengan menjalani rawat inap di rumah sakit, karena
berpotensi menyebabkan kematian.

B. Etiologi
Penyebab utamanya ialah alergi obat lebih dari 50%. Sebagian kecil karena infeksi,
vaksinasi, neoplasma dan radiasi. Beberapa faktor yang dapat menyebabkan sindrom ini
antara lain :
1. Infeksi
a) Virus
Sindrom Stevens Johnson dapat terjadi pada stadium permulaan dari
infeksi saluran nafas atas oleh virus Pneumonia. Hal ini dapat terjadi pada
asianflu, Lympho granuloma verenium, Measles, Mumps dan Vaksinasi
smallpox virus.
b) Beberapa bakteri yang mungkin dapat menyebabkan sindroma Stevens
Johnson ialah Brucelosis, Dyptheria, Erysipeloid, Glanders, Pneumonia,
Psitacosis, Tuberculosis, Tularemia, Lepromatousleprosy/ Typhoid fever.

c) Jamur
Cocidiodomycosis dan Histoplasmosis dapat menyebabkan eritema
multiforme bulosa, yang pada keadaan berat juga dikatakan sebagai
sindroma Stevens Johnson.

d) Parasit

Malaria dan Trichomoniasis juga dikatakan sebagai agen penyebab.

2. Obat
Berbagai obat yang di duga dapat menyebabkan sindroma Stevens
Johnson antara lain adalah Penisilin dan Derivatnya, Streptomysin, Sulfonamide,
Tetrasiklin, Analgesik atau anti piretik ( misalnya Pirazolon, Metamizol,
Metampiron dan Paracetamol ), Dan Jamu jamuan.

C. Patofisiologi
Patogenesisnya belum jelas, diperkirakan karena reaksi alergi tipe III dan IV.
Reaksi tipe III terjadi akibat terbentuknya kompleks antigen antibodi yang membentuk
mikropresitipasi sehingga terjadi aktivasi sistem komplemen. Akibatnya terjadi
akumulasi neutrofil yang kemudian melepaskan lisozim dan menyebabkan kerusakan
jaringan pada organ sasaran. Reaksi tipe IV terjadi akibat limfosit T yang tersensitisasi
berkontak kembali dengan antigen yang sama, kemudian limfokin dilepaskan sehingga
terjadi reaksi radang.
Pada beberapa kasus yang dilakukan biopsi kulit dapat ditemukan endapan IgM,
IgA, C3, dan fibrin, serta kompleks imun beredar dalam sirkulasi. Antigen penyebab
berupa hapten akan berikatan dengan karier yang dapat merangsang respons imun
spesifik sehingga terbentuk kompleks imun beredar. Hapten atau karier tersebut dapat
berupa faktor penyebab (misalnya virus, partikel obat atau metabolitnya) atau produk
yang timbul akibat aktivitas faktor penyebab tersebut (struktur sel atau jaringan sel yang
rusak dan terbebas akibat infeksi, inflamasi, atau proses metabolik). Kompleks imun
beredar dapat mengendap di daerah kulit dan mukosa, serta menimbulkan kerusakan
jaringan akibat aktivasi komplemen dan reaksi inflamasi yang terjadi.
Kerusakan jaringan dapat pula terjadi akibat aktivitas sel T serta mediator yang
dihasilkannya. Kerusakan jaringan yang terlihat sebagai kelainan klinis lokal di kulit dan
mukosa dapat pula disertai gejala sistemik akibat aktivitas mediator serta produk
inflamasi lainnya. Adanya reaksi imun sitotoksik juga mengakibatkan apoptosis
keratinosit yang akhirnya menyebabkan kerusakan epidermis.

D. Tanda dan gejala

Awalnya, gejala yang muncul pada sindrom Stevens-Johnson menyerupai gejala flu,
yaitu:

 Demam
 Tubuh terasa lelah
 Perih di mulut dan tenggorokan
 Mata terasa panas
 Batuk

Kemudian, setelah beberapa hari akan muncul gejala lanjutan berupa:

 Luka lepuh di kulit, terutama di hidung, mata, mulut dan kelamin.


 Ruam dan bercak kemerahan kemerahan atau keunguan yang menyebar luas di
kulit (eritema).
 Kulit mengelupas beberapa hari setelah luka lepuh terbentuk.
 Kelainan kulit dan mukosa ini menimbulkan rasa perih.

E. Klasifikasi

Terdapat 3 derajat klasifikasi Sindrom Stevens Johnsons :

1) Derajat 1 : erosi mukosa SJS dan pelepasan epidermis kurang dari 10%.
2) Derajat 2 : lepasnya lapisan epidermis antara 10-30%.
3) Derajat 3 : lepasnya lapisan epidermis lebih dari 30%

F. Manifestasi Klinis

Perjalanan penyakit sangat akut dan mendadak dapat disertai gejala prodormal berupa
demam tinggi (30ºC - 40ºC), mulai nyeri kepala, batuk, pilek dan nyeri tenggorokan yang
dapat berlangsung 2 minggu. Gejala-gejala ini dengan segera akan menjadi berat yang
ditandai meningkatnya kecepatan nadi dan pernafasan, denyut nadi melemah, kelemahan
yang hebat serta menurunnya kesadaran, soporous sampai koma.

Gejala prodromal berkisar antara 1-14 hari berupa demam, malaise, batuk, koriza, sakit
menelan, nyeri dada, muntah, pegal otot dan atralgia yang sangat bervariasi dalam derajat
berat dan kombinasi gejala tersebut. Kulit berupa eritema, papel, vesikel, atau bula secara
simetris pada hampir seluruh tubuh. Mukosa berupa vesikel, bula, erosi, ekskoriasi,
perdarahan dan kusta berwarna merah. Bula terjadi mendadak dalam 1-14 hari gejala
prodormal, muncul pada membran mukosa, membran hidung, mulut, anorektal, daerah
vulvovaginal, dan meatus uretra. Stomatitis ulseratif dan krusta hemoragis merupakan
gambaran utama.

Mata : konjungtivitas kataralis, blefarokonjungtivitis, iritis, iridosiklitis, kelopak mata


edema dan sulit dibuka, pada kasus berat terjadi erosi dan perforasi kornea yang dapat
menyebabkan kebutaan. Cedera mukosa okuler merupakan faktor pencetus yang
menyebabkan terjadinya ocular cicatricial pemphigoid, merupakan inflamasi kronik dari
mukosa okuler yang menyebabkan kebutaan. Waktu yang diperlukan mulai onset sampai
terjadinya ocular cicatricial pemphigoid bervariasi mulai dari beberapa bulan sampai 31
tahun. Pada sindroma ini terlihat adanya trias kelainan berupa :

1) Kelainan kulit
Kelainan pada kulit dapat berupa eritema, vesikal, dan bulla. Eritema berbentuk
cincin (pinggir eritema tengahnya relatif hiperpigmentasi) yang berkembang menjadi
urtikari atau lesipapuler berbentuk target dengan pusat ungu atau lesi sejenis dengan
vesikel kecil. Vesikel kecil dan bulla kemudian memecah sehingga terjadi erosi yang
luas. Disamping itu dapat juga terjadi erupsi hemorrhagis berupa ptechiae atau
purpura. Bila disertai purpura, prognosisnya menjadi lebih buruk. Pada keadaan yang
berat kelainannya menjadi Generalisata.

2) Kelainan selaput lendir di orifisium


Kelainan selaput lendir di orifisium yang tersering ialah pada mukosa mulut/bibir
(100%), kemudian disusul dengan kelainan di lubang alat genetalia (50%), sedangkan
dilubang hidung dan anus jarang (masing-masing 8% - 4%). Kelainan yang terjadi
berupa stomatitis dengan vesikel pada bibir, lidah, mukosa mulut bagian buccal
stomatitis merupakan gejala yang dini dan menyolok. Stomatitis ini kemudian
menjadi lebih berat dengan pecahnya vesikel dan bulla sehingga terjadi erosi,
excoriasi, pendarahan, ulcerasi dan berbentuk krusta kehitaman. Juga dapat terbentuk
pseudomembran. Di bibir kelainan yang sering tampak ialah krusta berwarna hitam
yang tebal. Adanya stomatitis ini dapat menyebabkan penderita sukar menelan.
Kelainan di mukosa dapat juga terjadi di faring, traktus respiratorius bagian atas dan
esophagus. Terbentuknya pseudomembran di faring dapat memberikan keluhan sukar
bernafas dan penderita tidak dapat makan dan minum.

3) Kelainan mata
Kelainan pada mata merupakan 80% diantara semua kasus, yang sering terjadi
ialah conjunctivitis kataralis. Selain itu dapat terjadi conjunctivities purulen,
pendarahan, simblefaron, ulcus kornea, iritis/iridosiklitis yang pada akhirnya dapat
terjadi kebutaan sehingga dikenal trias yaitu stomatitis, conjunctivities, balantis
uretritis.

G. Komplikasi Steven Johnson Sindrom

Sindrom Steven Johnsons sering sering menimbulkan komplikasi, antara lain :

 Kehilangan cairan dan darah.


 Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, shock.
 Oftalmologi – ulserasi kornea, uveitis anterior, panophthalmitis, kebutaan.
 Gastroenterologi – Esophageal strictures.
 Genitourinaria – nekrosis tubular ginjal, gagal ginjal, penile scarring, stenosis
vagina.
 Pulmonari – pneumonia, bronchopneumonia.
 Kutaneus – timbulnya jaringan parut dan kerusakan kulit permanen, infeksi kulit
sekunder.
 Infeksi sitemik, sepsis

H. Pemeriksaan Penunjang
1) Laboratorium : biasanya dijumpai leukositosis atau eosinofilia. Bila disangka
penyebabnya infeksi dapat dilakukan kultur darah.
2) Histopatologi : kelainan berupa infiltrat sel mononuklear, oedema dan
ekstravasasi sel darah merah, degenarasi lapisan basalis. Nekrosis sel epidermal
dan spongiosis dan edema intrasel di epidermis.
3) Imunologi : dijumpai deposis IgM dan C3 di pembuluh darah dermal superficial
serta terdapat komplek imun yang mengandung IgG, IgM, IgA.

I. Penatalaksanaan
1) Kortikosteroid
Penggunaan obat kortikosteroid merupakan tindakan life-saving. Pada
sindrom stevens johnson yang ringan cukup diobati dengan prednison dengan
dosis 30 - 40 mg/hari. Pada bentuk yang berat, ditandai dengan kesadaran yang
menurun dan kelainan yang menyeluruh, digunakan dexametason intravena
dengan dosis awal 4 – 6 x 5mg/hari. Setelah beberapa hari (2-3 hari) biasanya
mulai tampak perbaikan (masa kritis telah teratasi), ditandai dengan keadaan
umum yang membaik, lesi kulit yang baru tidak timbul sedangkan lesi yang lama
mengalami involusi. Pada saat ini dosis dexametason diturunkan secara cepat,
setiap hari diturunkan sebanyak 5mg. Setelah dosis mencapai 5mg sehari lalu
diganti dengan tablet prednison yang diberikan pada keesokan harinya dengan
dosis 20mg sehari. Pada hari berikutnya dosis diturunkan menjadi 10mg,
kemudian obat tersebut dihentikan. Jadi lama pengobtan kira-kira 10 hari.
2) Antibiotika
Penggunaan antibiotika dimaksudkan untuk mencegah terjadinya infeksi
akibat efek imunosupresif kortikosteroid yang dipakai pada dosis tinnggi.
Antibiotika yang dipilih hendaknya yang jarang menyebabkan alergi, berspektrum
luas dan bersifat bakterisidal. Dahulu biasa digunakan gentamisin dengan dosis 2
x 60-80 mg/hari. Sekarang dipakai netilmisin sulfat dengan dosis 6 mg/kg
BB/hari, dosis dibagi dua. Alasan menggunakan obat ini karena pada beberapa
kasus mulai resisten terhadap gentamisin, selain itu efek sampingnya lebih kecil
dibandingkan gentamisin.
3) Menjaga Keseimbangan Cairan, Elektrolit dan Nutrisi
Hal ini perlu diperhatikan karena penderita mengalami kesukaran atau
bahkan tidak dapat menelan akibat lesi di mulut dan ditenggorokan serta
kesadaran yang menurun. Untuk ini dapat diberikan infus yang berupa glukosa
5% atau larutan darrow. Pada pemberian kortikosteroid terjadi retensi natrium ,
kehilangan kalium dan efek katabolik. Untuk mengurangi efek samping ini perlu
diberikan diet tinggi protein dan rendah garam, KCl 3x500mg/hari dan obat-obat
anabolik. Untuk mencegah penekanan korteks kelenjar adrenal diberikan ACTH
(Synacthen depot) dengan dosis 1mg/hari setiap minggu dimulai setelah
pemberian kortikosteroid.
4) Transfusi Darah
Bila dengan terapi di atas belum tampak tanda-tanda perbaikan dalam 2-3
hari, maka dapat diberikan transfusi darah sebanyak 300-500 cc setiap hari selama
2 hari berturut-turut. Tujuan pemberian darah ini untuk memperbaiki keadaan
umum dan menggantikan kehilangan darah pada kasus dengan purpura yang luas.
Pada kasus purpura yang luas dapat ditambahkan vitamin C 500 mg atau 1000 mg
sehari intravena dan obat-obat hemostatik.
5) Perawatan Topikal
Untuk lesi kulit yang erosif dapat diberikan sofratulle yang bersifat
sebagai protektif dan antiseptic atau krem sulfadiazin perak. Sedangkan untuk lesi
dimulut/bibir dapat diolesi dengan kenalog in obrase. Selain pengobatan diatas,
perlu dilakukan konsultasi pada beberapa bagian yaitu ke bagian THT untuk
mengetahui apakah ada kelainan difaring, karena kadang-kadang terbentuk
pseudomembran yang dapat menyulitkan penderita bernafas.

Anda mungkin juga menyukai