(Sebuah tinjauan atas buku Sacred and Secular, Religion and Politics Worldwide)1
Proses sekularisasi yang merupakan bagian dari invansi pemikiran Barat terhadap Islam,
telah berlangsung hampir 5 abad, jika dihitung dari masa pencerahan Barat (renaissance).
Dibalik kegemilangan peradaban barat dewasa ini, juga diramalkan oleh para pemikir Muslim
sebagai sesuatu yang terus menuju pada kehancuran. Semula bahasan mengenai kehancuran
peradaban Barat ini ditelaah dalam berbagai kajian tentang akar sejarah Peradaban Barat, baik
melalui dimensi liberal ataupun sekuler. Padahal keduanya, merupakan terminologi yang sulit
dipisahkan untuk menggambarkan wajah tantangan pemikiran kontemporer yang menggempur
dunia Islam, sebagaimana pernah disampaikan seorang Occidentalis, Dr. Adian Husaini dalam
Wajah Peradaban Barat, bahwa jalan hidup yang dipilih Barat adalah sekuler – liberal.
Hegemoni keduanya cukup eksis dengan berkedok Globalisasi atau berpayung Modernisasi.
Namun, kemudian akar sejarah peradaban Barat yang bersandar pada rasionalitas, relativitas dan
pencarian kebenaran yang tidak mengenal finalitas, telah mengantarkan perjalanannya menuju
fase kehancuran (an occurring). Sandaran terhadap relativitas merupakan salah satu faktor yang
mengindikasikan rapuhnya peradaban Barat.
Penulis kemudian akan mengulas bagaimana masa Sekularisasi ini suatu hari akan
hancur, dan di saat yang bersamaan ia menghancurkan sendi-sendi keagamaan masyarakat dunia.
Kalaulah istilah agama dipandang eksklusif dan sensitif, kiranya tidak berlebihan jika
diistilahkan pada kehidupan masyarakat. Sebab penulis berpandangan bahwa dimensi keagamaan
yang sejatinya harus dimaknai manusia, ialah kehidupan itu sendiri. Semoga penulis tidak
termasuk orang yang tergesa-gesa menampakan keberpihakan di awal tulisan, karena menyadari
pentingnya menentukan posisi berdiri, sekaligus jenis kacamata yang digunakan ketika membaca
dan memandang sesuatu. Hal ini juga menjadi wajar ketika kita memandang bagimana spirit
sekularisasi itu dibangun di atas sikap optimis akan kepunahan agama di masa depan. Dalam
1
Pippa Norris dan Renald Inglehart, Sacred and Seculer; Religion and Politics Worldwide. (Tangerang: Pustaka
Alvabet, 2009)
1
buku ini ditulis Teori Sekuler Klasik (TSK), dimana para pengasuhnya (Marx, Durkheim, dan
Weber) meramalkan dengan insting teori sosial modernnya bahwa era agama akan lewat, tamat
riwayat. Sejalan dengan rumusan awal yang diberikan Saint-Simon dan Auguste Comte yang
memandang bahwa modernitas dan agama tidak mungkin bersatu – they just don’t mix!2
Buku yang penulis maksud dalam pembahasan mengenai Sekularisme kali ini ialah karya
“istimewa” dari dua orang pakar ilmu sosial nomor satu di kalangannya. Ia adalah Pippa Noris
dan Ronald Inglehart dari Harvard dan Michigan University, dua kampus terbaik dunia dalam
bidang sosial abad ini. Buku dengan judul asli Sacred and Secular (Religion and Politics
Worldwide) ini, dikenalkan oleh Ali Fauzi dan Rizal Panggabean 3 sebagai tesis mengenai
Sekulerisasi yang haram dilewatkan oleh siapapun, terlepas dari perdebatan akan kesimpulan
yang dikandung di dalamnya. Komentar positif ini ia sampaikan dengan alasan metodologis
mengenai struktur serta pendekatan paling ilmiah, dalam arti dirancang dengan desain riset yang
sangat ketat dan teliti sehingga sangat bertanggung jawab terhadap kajian Sekularisasi yang
dibedah oleh penulisnya. Meskipun tidak lepas perdebatan yang mengitari perjalanan
Sekularisasi sepanjang sejarahnya di Eropa.
2
Ibid., hlm. xv
3
Penerjemah buku ke dalam edisi Bahasa Indonesia
4
Ibid., hlm. 3
2
Pada fase pembahasan tentang perdebatan Sekularisasi, penulis buku berupaya
mendamaikan suatu kondisi dunia, antara yang tidak dapat tercerai dari agama, dengan bagian
dunia lain yang menyatakan kebutuhannya akan Sekularisasi. Ia beralasan bahwa Sekularisasi
yang dimaksud merupakan sebuah kebutuhan untuk diperbaharui guna menjaga keamanan
eksistensial seseorang (existencial security), yang dianggap sebagai alasan Sekularisasi gaya
baru. Oleh karenanya dalam hal ini, Sekularisasi bagi masyarakat modern ini merupakan sebuah
keniscayaan terlepas dari bagaimana eksistensi agama di saat yang sama. Namun kemudian buku
ini menampakan keragu-raguan mengenai pengaruh Sekularisasi terhadap kehidupan keagamaan.
Buku itu mengungkap,
“Jelas bahwa tesis Sekularisasi yang lama perlu diperbarui. Jelas juga bahwa agama tidak
menghilang. Namun konsep Sekularisasi itu menangkap satu hal penting menyangkut apa
yang sedang terjadi. Buku ini mengembangkan suatu versi teori sekularisasi yang
diperbarui yang menenkankan tingkat dimana orang –orang mempunyai suatu rasa aman
eksistensial – yakni, perasaan bahwa kehidupan cukup aman sehingga ia bisa dijalani
begitu saja.”5
Ungkapan ini terlihat ambigu, sebab tesis Sekularisasi dalam temuan Noris dan Inglehart
tersebut, dibayang-bayangi oleh kenyataan agama yang tidak dapat ditinggalakan masyarakat
bahkan cenderung didekati. Fakta bahwa religiusitas lahir dari berbagai risiko yang mengancam
kehidupan personal, baik seacara fisik ataupun aspek-aspek kehidupan lainnya, seperti sosial dan
ekonomi. Sementara bagi mereka yang berada di atas garis kemapanan, di kelompok-kelompok
sosial yang paling makmur yang hidup dalam tatanan masyarakat pasca industry yang kaya dana
man, menjadi sarana atau tempat dimana proses Sekularisasi itu berjalan.
5
Ibid., hlm. 5