Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PENDAHULUAN

IBU HAMIL DENGAN PREEKLAMSIA

Dosen Pembimbing :
Ns. Titi Astuti, S.Kep., M.Kep.,Sp.Mat
Disusun oleh :
RELY ALFINA
(1914301070)
Tingkat 2 Reguler 2

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN TANJUNGKARANG
JURUSAN KEPERAWATAN TANJUNGKARANG
PRODI SARJANA TERAPAN KEPERAWATAN
TAHUN AJARAN 2020/2021
LAPORAN PENDAHULUAN
IBU HAMIL DENGAN PREEKLAMSIA
A. Definisi
Preeklamsia merupakan penyakit khas akibat kehamilan yang memperlihatkan gejala
trias (hipertensi, edema, dan proteinuria), kadang-kadang hanya hipertensi dan edema
atau hipertensi dan proteinuria (dua gejala dari trias dan satu gejala yang harus ada
yaitu hipertensi).
Menurut Mansjoer (2000), preeklamsia merupakan timbulnya hipertensi disertai
proteinuria dan edema akibat kehamilan setelah usia kehamilan 20 minggu atau
segera setelah persalinan.
Preeklampsia merupakan suatu kondisi spesifik kehamilan dimana hipertensi terjadi
setelah minggu ke-20 pada wanita yang sebelumnya memiliki tekanan darah normal
dan diartikan juga sebagai penyakit vasospastik yang melibatkan banyak sistem dan
ditandai oleh hemokonsentrasi, hipertensi dan proteinuria (Bobak, Lowdermilk, &
Jensen, 2005).
Klasifikasi pre eklamsia dibagi menjadi 2 yaitu sebagai berikut:
a. Preeklamsia ringan
Preeklamsia ringan ditandai dengan:
1) Tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih yang diukur pada posisi berbaring
terlentang; kenaikan diastolik 15 mmHg atau lebih dari tensi baseline (tensi
sebelum kehamilan 20 minggu); dan kenaikan sistolik 30 mmHg atau lebih.
Cara pengukuran sekurang-kurangnya pada 2 kali pemeriksaan dengan jarak
periksa 1 jam, atau berada dalam interval 4-6 jam.
2) Edema umum, kaki, jari tangan, dan muka; kenaikan berat badan 1 kg atau
lebih dalam seminggu.
3) Proteinuria kuantatif 0,3 gr atau lebih per liter; kualitatif 1 + atau 2 + pada urin
kateter atau midstream (aliran tengah).
b. Preeklamsia berat
Preeklamsia berat ditandai dengan:
1) Tekanan darah 160/110 mmHg atau lebih.
2) Proteinuria 5 gr atau lebih per liter.
3) Oliguria, yaitu jumlah urin kurang dari 500 cc per 24 jam .
4) Adanya gangguan serebral atau kesadaran, gangguan visus atau penglihatan,
dan rasa nyeri pada epigastrium.
5) Terdapat edema paru dan sianosis
6) Kadar enzim hati (SGOT, SGPT) meningkat disertai ikterik.
7) Perdarahan pada retina.
8) Trombosit kurang dari 100.000/mm.
B. Etiologi
Penyebab pre-eklampsia belum diketahui secara jelas. Penyakit ini dianggap sebagai
"maladaptation syndrome" akibat penyempitan pembuluh darah secara umum yang
mengakibatkan iskemia plasenta (ari-ari) sehingga berakibat kurangnya pasokan darah
yang membawa nutrisi ke janin. Namun ada beberapa faktor predisposisi terjadinya
pre eklamsia, diantaranya yaitu:
a. Primigravida atau primipara mudab (85%).
b. Grand multigravida
c. Sosial ekonomi rendah.
d. Gizi buruk.
e. Faktor usia (remaja; < 20 tahun dan usia diatas 35 tahun)
f. Pernah pre eklamsia atau eklamsia sebelumnya.
g. Hipertensi kronik.
h. Diabetes mellitus.
i. Mola hidatidosa.
j. Pemuaian uterus yang berlebihan, biasanya akibat dari kehamilan ganda atau
polihidramnion (14-20%).
k. Riwayat keluarga dengan pre eklamsia dan eklamsia (ibu dan saudara
perempuan).
l. Hidrofetalis.
m. Penyakit ginjal kronik.
n. Hiperplasentosis: mola hidatidosa, kehamilan ganda, hidrops fetalis, bayi besar,
dan diabetes mellitus.
o. Obesitas.
p. Interval antar kehamilan yang jauh.

C. Patofisiologi
Pada preeklampsia terdapat penurunan aliran darah. Perubahan ini menyebabkan
prostaglandin plasenta menurun dan mengakibatkan iskemia uterus. Keadaan iskemia
pada uterus, merangsang pelepasan bahan tropoblastik yaitu akibat hiperoksidase
lemak dan pelepasan renin uterus. Bahan tropoblastik berperan dalam proses
terjadinya endotheliosis yang menyebabkan pelepasan tromboplastin. Tromboplastin
yang dilepaskan mengakibatkan pelepasan tomboksan dan aktivasi/ agregasi
trombosit deposisi fibrin. Pelepasan tromboksan akan menyebabkan terjadinya
vasospasme sedangkan aktivasi/agregasi trombosit deposisi fibrin akan menyebabkan
koagulasi intravaskular yang mengakibatkan perfusi darah menurun dan konsumtif
koagulapati. Konsumtif koagulapati mengakibatkan trombosit dan faktor pembekuan
darah menurun dan menyebabkan gangguan faal hemostasis. Renin uterus yang di
keluarkan akan mengalir bersama darah sampai organ hati dan bersama- sama
angiotensinogen menjadi angiotensin I dan selanjutnya menjadi angiotensin II.
Angiotensin II bersama tromboksan akan menyebabkan terjadinya vasospasme.
Vasospasme menyebabkan lumen arteriol menyempit. Lumen arteriol yang
menyempit menyebabkan lumen hanya dapat dilewati oleh satu sel darah merah.
Tekanan perifer akan meningkat agar oksigen mencukupi kebutuhan sehingga
menyebabkan terjadinya hipertensi. Selain menyebabkan vasospasme, angiotensin II
akan merangsang glandula suprarenal untuk mengeluarkan aldosteron. Vasospasme
bersama dengan koagulasi intravaskular akan menyebabkan gangguan perfusi darah
dan gangguan multi organ.
Gangguan multiorgan terjadi pada organ- oragan tubuh diantaranya otak,
darah, paru- paru, hati/ liver, renal dan plasenta. Pada otak akan dapat menyebabkan
terjadinya edema serebri dan selanjutnya terjadi peningkatan tekanan intrakranial.
Tekanan intrakranial yang meningkat menyebabkan terjadinya gangguan perfusi
serebral, nyeri dan terjadinya kejang sehingga menimbulkan diagnosa keperawatan
risiko cedera. Pada darah akan terjadi endotheliosis menyebabkan sel darah merah dan
pembuluh darah pecah. Pecahnya pembuluh darah akan menyebabkan terjadinya
pendarahan, sedangkan sel darah merah yang pecah akan menyebabkan terjadinya
anemia hemolitik. Pada paru-paru, LADEP akan meningkat menyebabkan terjadinya
kongesti vena pulmonal, perpindahan cairan sehingga akan mengakibatkan terjadinya
edema paru. Edema paru akan menyebabkan terjadinya gangguan pertukaran gas.
Pada hati, vasokontriksi pembuluh darah akan menyebabkan gangguan kontraktilitas
miokard sehingga menyebabkan payah jantung dan memunculkan diagnosa
keperawatan penurunan curah jantung. Pada ginjal, akibat pengaruh aldosteron, terjadi
peningkatan reabsorpsi natrium dan menyebabkan retensi cairan dan dapat
menyebabkan terjadinya edema sehingga dapat memunculkan diagnosa keperawatan
kelebihan volume cairan. Selin itu, vasospasme arteriol pada ginjal akan meyebabkan
penurunan GFR dan permeabilitas terhadap protein akan meningkat. Penurunan GFR
tidak diimbangi dengan peningkatan reabsorpsi oleh tubulus sehingga menyebabkan
diuresis menurun sehingga menyebabkan terjadinya oligouri dan anuri. Oligouri atau
anuri akan memunculkan diagnosa keperawatan gangguan eliminasi urin.
Permeabilitas terhadap protein yang meningkat akan menyebabkan banyak protein
akan lolos dari filtrasi glomerulus dan menyenabkan proteinuria. Pada mata, akan
terjadi spasmus arteriola selanjutnya menyebabkan edema diskus optikus dan retina.
Keadaan ini dapat menyebabkan terjadinya diplopia dan memunculkan diagnosa
keperawatan risiko cedera. Pada plasenta penurunan perfusi akan menyebabkan
hipoksia/anoksia sebagai pemicu timbulnya gangguan pertumbuhan plasenta sehinga
dapat berakibat terjadinya Intra Uterin Growth Retardation serta memunculkan
diagnosa keperawatan risiko gawat janin.
Hipertensi akan merangsang medula oblongata dan sistem saraf parasimpatis
akan meningkat. Peningkatan saraf simpatis mempengaruhi traktus gastrointestinal
dan ekstrimitas. Pada traktus gastrointestinal dapat menyebabkan terjadinya hipoksia
duodenal dan penumpukan ion H menyebabkan HCl meningkat sehingga dapat
menyebabkan nyeri epigastrik. Selanjutnya akan terjadi akumulasi gas yang
meningkat, merangsang mual dan timbulnya muntah sehingga muncul diagnosa
keperawatan ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh. Pada ektremitas
dapat terjadi metabolisme anaerob yang menyebabkan ATP diproduksi dalam jumlah
yang sedikit yaitu 2 ATP dan pembentukan asam laktat. Terbentuknya asam laktat
dan sedikitnya ATP yang diproduksi akan menimbulkan keadaan cepat lelah, lemah
sehingga muncul diagnosa keperawatan intoleransi aktivitas. Keadaan hipertensi akan
mengakibatkan seseorang kurang terpajan informasi dan memunculkan diagnosa
keperawatan kurang pengetahuan.

D. Manifestasi Klinis
Biasanya tanda-tanda pre eklampsia timbul dengan urutan pertambahan berat badan
yang berlebihan, diikuti edema, hipertensi, dan akhirnya proteinuria. Pada pre
eklampsia ringan tidak ditemukan gejala-gejala subyektif. Sedangkan pada pre
eklampsia berat ditemukan gejala subjektif berupa sakit kepala di daerah frontal,
diplopia, penglihatan kabur, nyeri di daerah epigastrium, dan mual atau muntah.
Gejala- gejala ini sering ditemukan pada pre eklampsia yang meningkat dan
merupakan petunjuk bahwa eklampsia akan timbul. Penegakkan diagnosa
preeklampsia yaitu adanya 2 gejala di antara trias tanda utama, dimana tanda
utamanya yaitu hipertensi dan 2 tanda yang lain yaitu edema atau proteinuria. Tetapi
dalam praktik medis hanya hipertensi dan proteinuria saja yang dijadikan sebagai 2
tanda dalam penegakkan diagnosa pre eklamsia.

E. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada pasien dengan pre eklamsia yaitu
sebagai berikut:
a. Pemeriksaan Laboratorium
1) Pemeriksaan Darah Lengkap dan Apusan Darah
 Penurunan hemoglobin (nilai rujukan atau kadar normal hemoglobin untuk
wanita hamil adalah 12-14 gr%).
 Hematokrit meningkat (nilai rujukan 37-43 vol%).
 Trombosit menurun (nilai rujukan 150.000-450.000/mm3)
2) Urinalisis
Ditemukan protein dalam urine.
3) Pemeriksaan Fungsi Hati
 Bilirubin meningkat (N= < 1 mg/dL).
 LDH (laktat dehidrogenase) meningkat.
 Aspartat aminomtransferase (AST) > 60 uL.
 Serum Glutamat Pirufat Transaminase (SGPT) meningkat (N= 15-45 u/ml)
 Serum Glutamat Oxaloacetic transaminase (SGOT) meningkat (N= < 31 u/ml)
 Total protein serum menurun (N= 6,7 – 8,7 g/dL)
4) Tes Kimia Darah
Asam urat meningkat > 2,7 mg/dL, dimana nilai normalnya yaitu 2,4 – 2,7 mg/dL
b. Pemeriksaan Radiologi
1) Ultrasonografi (USG).
Hasil USG menunjukan bahwa ditemukan retardasi perteumbuhan janin intra uterus.
Pernafasan intrauterus lambat, aktivitas janin lambat, dan volume cairan ketuban
sedikit.
2) Kardiotografi
Hasil pemeriksaan dengan menggunakan kardiotografi menunjukan bahwa denyut
jantung janin lemah.

F. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien dengan pre eklamsia tergantung pada
derajat pre eklamsia yang dialami. Namun yang termasuk komplikasi pre eklamsia
antara lain:
a. Komplikasi pada Ibu
1) Eklamsia.
2) Tekanan darah meningkat dan dapat menyebabkan perdarahan otak dan gagal
jantung mendadak yang berakibat pada kematian ibu.
3) Gangguan fungsi hati: Sindrom HELLP (Hemolisis, Elevated, Liver, Enzymes
and Low Plateleted) dan hemolisis yang dapat menyebabkan ikterik. Sindrom
HELLP merupakan singkatan dari hemolisis (pecahnya sel darah merah),
meningkatnya enzim hati, serta rendahnya jumlah platelet/trombosit darah.
HELLP syndrome dapat secara cepat mengancam kehamilan yang ditandai
dengan terjadinya hemolisis, peningkatan kadar enzim hati, dan hitung
trombosit rendah. Gejalanya yaitu mual, muntah, nyeri kepala, dan nyeri perut
bagian kanan atas.
4) Solutio plasenta.
5) Hipofebrinogemia yang berakibat perdarahan.
6) Gangguan fungsi ginjal: oligo sampai anuria.
7) Perdarahan atau ablasio retina yang dapat menyebabkan kehilangan
penglihatan untuk sementara.
8) Aspirasi dan edema paru-paru yang dapat mengganggu pernafasan.
9) Cedera fisik karena lidah tergigit, terbentur atau terjatuuh dari tempat tidur
saat serangan kejang.
10) DIC (Disseminated Intravascular Coagulation) atau kelainan pembekuan
darah.
b. Komplikasi pada Janin
1) Hipoksia karena solustio plasenta.
2) Terhambatnya pertumbuhan janin dalam uterus sehingga terjadi peningkatan
angka morbiditas dan mortalitas perinatal.
3) Asfiksia mendadak atau asfiksia neonatorum karena spasme pembuluh darah
dan dapat menyebabkan kematian janin (IUFD).
4) Lahir prematur dengan risiko HMD (Hyalin Membran Disease).

G. Penatalaksanaan
a. Pencegahan atau Tindakan preventif
 Pemeriksaan antenatal yang teratur dan bermutu secara teliti, mengenali
tanda- tanda sedini mungkin (pre-eklamsi ringan), lalu diberikan pengobatan
yang cukup supaya penyakit tidak menjadi lebih berat.
 Harus selalu waspada terhadap kemungkinan terjadinya pre-eklemsi kalau ada
faktor-faktor predisposisi.
 Berikan penerangan tentang manfaat istirahat dan tidur, ketenangan, serta
pentingnya mengatur diet rendah garam, lemak, serta karbohidrat dan tinggi
protein, juga menjaga kenaikan berat badan yang berlebihan
b. Penatalaksanaan atau Tindakan kuratif
Tujuan utama penatalaksanaan atau penanganan adalah untuk mencegah
terjadinya pre-eklamsia berlanjut dan eklamsia, sehingga janin bisa lahir hidup
dan sehat serta mencegah trauma pada janin seminimal mungkin.
1. Penanganan pre eklamsia ringan
Pengobatan hanya bersifat simtomatis dan selain rawat inap, maka
penderita dapat dirawat jalan dengan skema periksa ulang yang lebih
sering, misalnya 2 kali seminggu. Penanganan pada penderita rawat
jalan atau rawat inap adalah dengan istirahat ditempat, diit rendah
garam, dan berikan obat-obatan seperti valium tablet 5 mg dosis 3 kali
sehari atau fenobarbital tablet 30 mg dengan dosis 3 kali 1 sehari.
Diuretika dan obat antihipertensi tidak dianjurkan, karena obat ini tidak
begitu bermanfaat, bahkan bisa menutupi tanda dan gejala pre-eklampsi
berat. Bila gejala masih menetap, penderita tetap dirawat inap.Monitor
keadaan janin : kadar estriol urin, lakukan aminoskopi, dan ultrasografi,
dan sebagainya.Bila keadaan mengizinkan, barulah dilakukan induksi
partus pada usia kehamilan minggu 37 ke atas.
2. Penanganan pre eklamsia berat
 Pre eklamsia berat pada kehamilan kurang dari 37 minggu.
Jika janin belum menunjukan tanda-tanda maturitas paru-paru dengan
uji kocok dan rasio L/S, maka penanganannya adalah sebagai berikut:
a. Berikan suntikan sulfas magnesikus dengan dosis 8 gr
intramuskular kemudian disusul dengan injeksi tambahan 4 gr
itramuskular selama tidak ada kontraindikasi.
b. Jika ada perbaikan jalannya penyakit, pemberian sulfas
magnesikus dapat diteruskan lagi selama 24 jam sampai dicapai
kriteria pre-eklamsia ringan kecuali ada kontraindikasi.
c. Selanjutnya ibu dirawat, diperiksa, dan keadaan janin dimonitor,
serta berat badan ditimbang seperti pada pre eklamsia ringan,
sambil mengawasi timbulnya lagi gejala.
d. Jika dengan terapi diatas tidak ada perbaikan dilakukan terminasi
kehamilan dengan induksi partus atau tindakan lain tergantung
keadaan.
Jika pada pemeriksaan telah dijumpai tanda-tanda
kematangan paru janin, maka penatalaksanaan kasus sama
seperti pada kehamilan diatas 37 minggu.

 Pre eklamsia berat pada kehamilan lebih dari 37 minggu.


a. Penderita dirawat inap
b. Istirahat mutlak dan ditempatkan dalam kamar isolasi.
c. Berikan diet rendah garam dan tinggi protein.
d. Berikan suntikan sulfas magnesikus 8 gr intramuskular, digluteus
kanan dan 4 gr digluteus kiri.
e. Suntikan dapat diulang dengan dosis 4 gr setiap 4 jam.
f. Syarat pemberian MgSO4 adalah refleks patella positif; diuresis
100 cc dalam 4 jam terakhir; respirasi 16 kali per menit, dan
harus tersedia antidotumnya yaitu kalsium glukonas 10% dalam
ampul 10 cc.
g. Infus dekstrosa 5% dan ringer laktat.
h. Berikan obat anti hipertensif : injeksi katapres 1 ampul IM dan
selanjutnya dapat diberikan tablet katapres 3 kali ½ tablet atau 2
kali ½ tablet sehari.
i. Diuretika tida diberikan kecuali bila terdapat edema umum,
edema paru dan kegagalan jantung kongestif. Untuk itu dapat
disuntikan 1 ampul IV lasix.
j. Segera setelah pemberian sulfas magnesikus kedua, dilakukan
induksi partus dengan atau tanpa amniotomi. Untuk induksi
dipakai oksitosin (pitosin atau sintosinon) 10 satuan dalam infus
tetes.
k. Kala II harus dipersingkat dengan ekstraksi vakum atau forceps,
jadi ibu dilarang mengedan.
l. Jangan diberikan methergin postpartum, kecuali bila terjadi
perdarahan yang disebabkan atonia uteri.
m. Pemberian sulfas magnesikus, kalau tidak ada kontraindikasi,
kemudian diteruskan dengan dosis 4 gr setiap 4 jam dalam 24
jam post partum.
n. Bila ada indikasi obstetrik dilakukan seksio sesarea.

c. Perawatan Mandiri untuk Kasus Pre Eklamsia


1. Aromatherapy : penelitian membuktikan bahwa minyak tertentu dapat
menimbulkan efek pada penurunan tekanan darah dan membantu relaksasi
seperti : levender, kamomile, kenanga, neroli dan cendana. Tetapi ada juga
aromatehrapy yang dapat meningkatkan tekanan darah diantaranya rosemary,
fenel, hyssop dan sage.
2. Pijat : pijat bagian punggung, leher, bahu, kaki, bisa memberikan ketenangan
dan kenyamanan.
3. Shiatsu, tai chi, yoga, dan latihan relaksasi
4. Terapi nutrisi : spesialis nutrisi menganjurkan penggunaan vitamin dan
suplemen mineral, khususnya zinc dan vitamin B6.

H. Diagnosa Keperawatan
1. Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak berhubungan dengan pre eklamsia
berat.
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ventilasi-perfusi akibat
penimbunan cairan paru : adanya edema paru.
3. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan gangguan mekanisme regulasi.
4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum.
5. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh b.d faktor psikologis dan
ketidakmampuan untuk mencerna, menelan, dan mengabsorpsi makanan.
6. Risiko cedera berhubungan dengan diplopia, dan peningkatan intrakranial: kejang.

I. Rencana Keperawatan
1. Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak berhubungan dengan pre
eklamsia berat.
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 jam diharapkan status neurologi
membaik dan ketidakefektifan perfusi jaringan serebral teratasi dengan indikator:
NOC: Management neurology
- syaraf sensorik dan motorik dbn
- Ukuran pupil membaik
- Pulil reaktif membaik
- Pola pergerakan membaik
- Mata normal
- Pola nafas membaik
- TTV dalam batas normal
- Pola istirahat dan tidur normal
- Tidak muntah
- Tidak gelisah
Intervensi :
1. Monitor ukuran pupil, bentuk, simetris dan reaktifitas pupil
2. Monitor keadaan klien dengan GCS
3. Monitor TTV
4. Monitor status respirasi: ABClevels, pola nafas, kedalaman nafas, RR
5. Monitor reflek muntah
6. Monitor pergerakan otot
7. Monitor tremor
8. Monitor reflek babinski
9. Identifikasi kondisi gawat darurat pada pasien.
10. Monitor tanda peningkatan tekanan intrakranial
11. Kolaborasi dengan dokter jika terjadi perubahan kondisi pada klien
Raional :
1. Klien dengan cedera kepala akan mempengaruhi reaktivitas pupil karena pupil
diatur oleh syaraf cranialis
2. Mengetahui penurunan kesadaran klien
3. Memantau kondisi hemodinamik klien
4. Mengetahui kondisi pernafasan klien
5. Peningkatan TIK
6. Memonitor kelemahan
7. Memonitor persyarafan di perifer
8. Reflek babinsky (+) menunjukan adanya perdarahan otak
9. Peningkatan TIK dengan tanda muntah proyektil, kejang, penurunan
kesadaran

2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ventilasi- perfusi akibat


penimbunan cairan paru : adanya edema paru.
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam, status respiratori: pertukaran
gas dengan indikator:
1. Status mental dalam batas normal
2. Dapat melakukan napas dalam
3. Tidak terlihat sianosis
4. Tidak mengalami somnolen
5. PaO2 dalam rentang normal
6. pH arteri normal
7. ventilasi-perfusi dalam kondisi seimbang
Intervensi :
a. Posisikan klien untuk memaksimalkan potensi ventilasinya.
b. Identifikasi kebutuhan klien akan insersi jalan nafas baik aktual maupun
potensial.
c. Lakukan terapi fisik dada
d. Auskultasi suara nafas, tandai area penurunan atau hilangnya ventilasi dan
adanya bunyi tambahan
e. Monitor status pernafasan dan oksigenasi, sesuai kebutuhan
Rasional :
a. Untuk mempermudah pertukaran gas
b. Untuk memantau kondisi jalan nafas klien
c. Untuk mengeluarkan sputum
d. Memantau kondisi pernafasan klien
e. Memantau kondisi klien

3. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan gangguan mekanisme regulasi.


Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, diharapkan volume
cairan pasien stabil dengan kriteria hasil:
1. Keseimbangan intake dan output cairan
2. TTV normal
3. BB stabil dan tidak terdapat edema
4. Menyatakan pemahaman tentang pembatasan cairan individual
Intervensi :
1. Monitor pengeluaran urin, catat jumlah dan warna saat dimana diuresis terjadi.
2. Monitor dan hitung intake dan output cairan selama 24 jam.
3. Pertahankan duduk atau tirah baring dengan posisi semifowler atau posisi yang
nyaman bagi pasien selama fase akut.
4. Monitor TTV terutama TD dan CVP (bila ada).
5. Monitor rehidrasi cairan dan batasi asupan cairan.
6. imbang berat badan setiap hari jika memungkinkan dan amati turgor kulit serta
adanya edema.
7. Kolaborasi pemberian medikasi seperti pemberian diuretik: furosemid,
spironolacton, dan hidronolacton.
Rasional :
1. Pengeluaran urin mungkin sedikit dan pekat karena penurunan perfusi
ginjal. Pemantauan urin dengan memperhatikan jumlah dan warna urin akan
membantu dalam proses penentuan
2. Pemantauan intake dan output cairan membantu dalam proses penentuan
keseimbangan cairan dan elektrolit pasien.
3. Posisi duduk atau tirah baring dengan posisi semifowler dapat meningkatkan
filtrasi ginjal dan menurunkan produksi ADH sehingga meningkatkan diuresis.
4. Hipertensi dan peningkatan CVP menunjukkan kelebihan cairan dan dapat
menunjukkan kongesti paru serta gagal jantung.
5. Pemantauan dan pembatasan cairan akan menentukan BB ideal, keluaran
urin, dan respon terhadap terapi.
6. Berat badan, turgor kulit, dan adanya edema mempengaruhi kondisi cairan
dalam tubuh.
7. Diuretik bertujuan untuk menurunkan volume plasma dan menurunkan retensi
cairan dijaringan

4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum


Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, pasien mempunyai
cukup energi untuk beraktivitas sehingga toleran terhadap aktivitas, dengan
kriteria hasil:
1. TTV normal
2. EKG normal
3. Koordinasi otot, tulang, dan anggota gerak lainnya baik
4. Pasien melaporkan kemampuan dalam ADL
Intervensi :
1. Kaji aktivitas dan periode istirahat pasien, rencanakan dan jadwalkan periode
istirahat dan tirah baring yang cukup dan adekuat.
2. Berikan latihan aktivitas fisik secara bertahap (ROM, ambulasi dini, cara
berpindah, dan pemenuhan kebutuhan dasar).
3. Bantu pasien dalam memenuhi kebutuhan dasar.
4. Lakukan terapi komponen darah sesuai resep bila pasien menderita anemia
berat.
5. Kaji aktivitas dan respon pasien setelah latihan aktivitas (Monitor TTV).
Rasional :
1. Mengetahui aktivitas dan periode istirahat pasien serta upaya untuk
menurunkan keletihan dan kelemahan pasien.
2. Tahapan-tahapan yang diberikan membantu proses aktivitas secara perlahan
dengan menghemat tenaga namun tujuan tepat.
3. Mengurangi pemakaian enargi sampai kekuatan pasien pulih kembali.
4. Mencegah dan mengurangi anemia berat yang berakibat pada kelemahan.
5. Menjaga kemungkinan adanya respon abnormal dari tubuh sebagai akibat dari
latihan.
5. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh b.d faktor psikologis dan
ketidakmampuan untuk mencerna, menelan, dan mengabsorpsi makanan
Tujuan :
Setelah dilakukan tidakan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan kebutuhan
nutrisi pasien terpenuhi dengan kriteria hasil:
a. Masukan per oral meningkat
b. Porsi makan yang disediakan habis
c. Masa dan tonus otot baik
d. Tidak terjadi penurunan BB.
e. Mual dan muntah tidak ada
Intervensi :
1. Kaji pola makan, kebiasaan makan, dan makanan yang disukai pasien.
2. Kaji TTV pasien secara rutin, status
mual, muntah, dan bising usus.
3. Berikan makanan sesuai diet dan berikan selagi hangat.
4. Jelaskan pentingnya makanan untuk kesembuhan.
5. Anjurkan pasien makan sedikit tetapi sering.
6. Anjurkan pasien untuk meningkatkan asupan nutrisi yang adekuat terutama
makanan yang banyak mengandung karbohidrat atau glukosa, protein, dan
makanan berserat
7. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk pemberian diet sesuai indikasi.
Rasional :
1. Meningkatkan nafsu makan pasien dan menghindari makanan yang alergi.
2. Monitor KU pasien, mengetahui kemampuan pasien dalam memenuhi
kebutuhan nutrisi.
3. Meminimalkan anoreksia dan mengurangi iritasi gaster.
4. Pasien termotivasi untuk makan.
5. Meningkatkan kenyamanan saat makan.
6. Glukosa dalam karbohidrat cukup efektif untuk pemenuhan energi, sedangka
lemak sulit untuk diserap sehingga akan membebani hepar, protein baik untuk
meningkatkan dan mempercepat kesembuhan pasien,makanan berserat
membantumencegah terjadinya konstipasi.
7. Meningkatkan proses penyembuhan
6. Risiko cedera berhubungan dengan diplopia, dan peningkatan intrakranial: kejang.
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam, diharapkan tidak
terjadi cedera, dengan kriteria hasil:
1. Pasien tidak mengeluh pusing
2. Pasien tidak mengalami cedera
3. Pasien mampu menjelaskan cara mencegah terjadinya cedera
Intervensi :
1. Identifikasi keterbatasan fisik dan kognitif pasien yang dapat meningkatkan
risiko cedera.
2. Ajarkan pasien untuk meminimalkan cedera, misalnya ketika ditempat tidur
maka gunakan side rail, ketika mobilitas dari tempat tidur anjurkan untuk dibantu
oleh keluarga atau gunakan tongkat sebagai pegangan dan jika pasien pusing
anjurkan untuk istirahat terlebih dahulu.
3. Dampingi pasien dalam melakukan pemenuhan kebutuhan ADL.
4. Anjurkan pasien untuk banyak mengkonsumsi makanan yang dapat
menambah darah seperti sayur-sayuran hijau dan diet rendah garam untuk
menurunkan tekanan darah, sehingga bisa mengurango pusing.
Rasional :
1. Mengetahui penyebab pasien mengalami risiko cedera.
2. Memberikan pengetahuan kepada pasien sehinggapasien bisa terhindar dari
cedera.
3. Mengantisipasi hal- hal yang dapat menyebabkan terjadinya cedera.
4. Sayuran hijau dapat menambah darah dan mengobati anemia serta diet rendah
garam dapat mengurangi kekambuhan penyakit hipertensi.
DAFTAR PUSTAKA

Arif, M. (2002). Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1 Edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius.

Bobak, I.M., Deitra L.L., & Margaret D. J. (2005). Buku ajar keperawatan maternitas, Edisi
4. Jakarta: EGC

Febriani, Ferra (2013). Laporan Pendahuluan Keperawatan Maternitas Peb (Pre Eklamsi
Berat) Di Ruang Anggrek Rumah Sakit Umum Daerah Banyuma. Kementerian
Pendidikan Nasional Universitas Jenderal Soedirman Fakultas Kedokteran Dan Ilmu-
Ilmu Kesehatan Jurusan Keperawatan Program Profesi Ners Purwokerto.

Herdman, T. H. (2012). Diagnosis keperawatan: definisi dan klasifikasi 2012-2014.


Jakarta: EGC.

Johnson, M. M., & Sue M. (2000). Nursing outcame clasification. Philadelphia:

Mosby. McCloskey & Gloria M.B. (1996). Nursing Intervention Clasification. USA:

Mosby.

Prawirohardjo, S. (2006). Ilmu Kebidanan. Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono


Prawirohardjo.

Sumiati & Dwi F. (2012). “Hubungan obesitas terhadap pre eklamsia pada kehamilan di
RSU Haji Surabaya”. Embrio, Jurnal Kebidanan, Vol 1, No.2, Hal. 21-24.

Anda mungkin juga menyukai