Dosen Pembimbing :
Ns. Titi Astuti, S.Kep., M.Kep.,Sp.Mat
Disusun oleh :
RELY ALFINA
(1914301070)
Tingkat 2 Reguler 2
C. Patofisiologi
Pada preeklampsia terdapat penurunan aliran darah. Perubahan ini menyebabkan
prostaglandin plasenta menurun dan mengakibatkan iskemia uterus. Keadaan iskemia
pada uterus, merangsang pelepasan bahan tropoblastik yaitu akibat hiperoksidase
lemak dan pelepasan renin uterus. Bahan tropoblastik berperan dalam proses
terjadinya endotheliosis yang menyebabkan pelepasan tromboplastin. Tromboplastin
yang dilepaskan mengakibatkan pelepasan tomboksan dan aktivasi/ agregasi
trombosit deposisi fibrin. Pelepasan tromboksan akan menyebabkan terjadinya
vasospasme sedangkan aktivasi/agregasi trombosit deposisi fibrin akan menyebabkan
koagulasi intravaskular yang mengakibatkan perfusi darah menurun dan konsumtif
koagulapati. Konsumtif koagulapati mengakibatkan trombosit dan faktor pembekuan
darah menurun dan menyebabkan gangguan faal hemostasis. Renin uterus yang di
keluarkan akan mengalir bersama darah sampai organ hati dan bersama- sama
angiotensinogen menjadi angiotensin I dan selanjutnya menjadi angiotensin II.
Angiotensin II bersama tromboksan akan menyebabkan terjadinya vasospasme.
Vasospasme menyebabkan lumen arteriol menyempit. Lumen arteriol yang
menyempit menyebabkan lumen hanya dapat dilewati oleh satu sel darah merah.
Tekanan perifer akan meningkat agar oksigen mencukupi kebutuhan sehingga
menyebabkan terjadinya hipertensi. Selain menyebabkan vasospasme, angiotensin II
akan merangsang glandula suprarenal untuk mengeluarkan aldosteron. Vasospasme
bersama dengan koagulasi intravaskular akan menyebabkan gangguan perfusi darah
dan gangguan multi organ.
Gangguan multiorgan terjadi pada organ- oragan tubuh diantaranya otak,
darah, paru- paru, hati/ liver, renal dan plasenta. Pada otak akan dapat menyebabkan
terjadinya edema serebri dan selanjutnya terjadi peningkatan tekanan intrakranial.
Tekanan intrakranial yang meningkat menyebabkan terjadinya gangguan perfusi
serebral, nyeri dan terjadinya kejang sehingga menimbulkan diagnosa keperawatan
risiko cedera. Pada darah akan terjadi endotheliosis menyebabkan sel darah merah dan
pembuluh darah pecah. Pecahnya pembuluh darah akan menyebabkan terjadinya
pendarahan, sedangkan sel darah merah yang pecah akan menyebabkan terjadinya
anemia hemolitik. Pada paru-paru, LADEP akan meningkat menyebabkan terjadinya
kongesti vena pulmonal, perpindahan cairan sehingga akan mengakibatkan terjadinya
edema paru. Edema paru akan menyebabkan terjadinya gangguan pertukaran gas.
Pada hati, vasokontriksi pembuluh darah akan menyebabkan gangguan kontraktilitas
miokard sehingga menyebabkan payah jantung dan memunculkan diagnosa
keperawatan penurunan curah jantung. Pada ginjal, akibat pengaruh aldosteron, terjadi
peningkatan reabsorpsi natrium dan menyebabkan retensi cairan dan dapat
menyebabkan terjadinya edema sehingga dapat memunculkan diagnosa keperawatan
kelebihan volume cairan. Selin itu, vasospasme arteriol pada ginjal akan meyebabkan
penurunan GFR dan permeabilitas terhadap protein akan meningkat. Penurunan GFR
tidak diimbangi dengan peningkatan reabsorpsi oleh tubulus sehingga menyebabkan
diuresis menurun sehingga menyebabkan terjadinya oligouri dan anuri. Oligouri atau
anuri akan memunculkan diagnosa keperawatan gangguan eliminasi urin.
Permeabilitas terhadap protein yang meningkat akan menyebabkan banyak protein
akan lolos dari filtrasi glomerulus dan menyenabkan proteinuria. Pada mata, akan
terjadi spasmus arteriola selanjutnya menyebabkan edema diskus optikus dan retina.
Keadaan ini dapat menyebabkan terjadinya diplopia dan memunculkan diagnosa
keperawatan risiko cedera. Pada plasenta penurunan perfusi akan menyebabkan
hipoksia/anoksia sebagai pemicu timbulnya gangguan pertumbuhan plasenta sehinga
dapat berakibat terjadinya Intra Uterin Growth Retardation serta memunculkan
diagnosa keperawatan risiko gawat janin.
Hipertensi akan merangsang medula oblongata dan sistem saraf parasimpatis
akan meningkat. Peningkatan saraf simpatis mempengaruhi traktus gastrointestinal
dan ekstrimitas. Pada traktus gastrointestinal dapat menyebabkan terjadinya hipoksia
duodenal dan penumpukan ion H menyebabkan HCl meningkat sehingga dapat
menyebabkan nyeri epigastrik. Selanjutnya akan terjadi akumulasi gas yang
meningkat, merangsang mual dan timbulnya muntah sehingga muncul diagnosa
keperawatan ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh. Pada ektremitas
dapat terjadi metabolisme anaerob yang menyebabkan ATP diproduksi dalam jumlah
yang sedikit yaitu 2 ATP dan pembentukan asam laktat. Terbentuknya asam laktat
dan sedikitnya ATP yang diproduksi akan menimbulkan keadaan cepat lelah, lemah
sehingga muncul diagnosa keperawatan intoleransi aktivitas. Keadaan hipertensi akan
mengakibatkan seseorang kurang terpajan informasi dan memunculkan diagnosa
keperawatan kurang pengetahuan.
D. Manifestasi Klinis
Biasanya tanda-tanda pre eklampsia timbul dengan urutan pertambahan berat badan
yang berlebihan, diikuti edema, hipertensi, dan akhirnya proteinuria. Pada pre
eklampsia ringan tidak ditemukan gejala-gejala subyektif. Sedangkan pada pre
eklampsia berat ditemukan gejala subjektif berupa sakit kepala di daerah frontal,
diplopia, penglihatan kabur, nyeri di daerah epigastrium, dan mual atau muntah.
Gejala- gejala ini sering ditemukan pada pre eklampsia yang meningkat dan
merupakan petunjuk bahwa eklampsia akan timbul. Penegakkan diagnosa
preeklampsia yaitu adanya 2 gejala di antara trias tanda utama, dimana tanda
utamanya yaitu hipertensi dan 2 tanda yang lain yaitu edema atau proteinuria. Tetapi
dalam praktik medis hanya hipertensi dan proteinuria saja yang dijadikan sebagai 2
tanda dalam penegakkan diagnosa pre eklamsia.
E. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada pasien dengan pre eklamsia yaitu
sebagai berikut:
a. Pemeriksaan Laboratorium
1) Pemeriksaan Darah Lengkap dan Apusan Darah
Penurunan hemoglobin (nilai rujukan atau kadar normal hemoglobin untuk
wanita hamil adalah 12-14 gr%).
Hematokrit meningkat (nilai rujukan 37-43 vol%).
Trombosit menurun (nilai rujukan 150.000-450.000/mm3)
2) Urinalisis
Ditemukan protein dalam urine.
3) Pemeriksaan Fungsi Hati
Bilirubin meningkat (N= < 1 mg/dL).
LDH (laktat dehidrogenase) meningkat.
Aspartat aminomtransferase (AST) > 60 uL.
Serum Glutamat Pirufat Transaminase (SGPT) meningkat (N= 15-45 u/ml)
Serum Glutamat Oxaloacetic transaminase (SGOT) meningkat (N= < 31 u/ml)
Total protein serum menurun (N= 6,7 – 8,7 g/dL)
4) Tes Kimia Darah
Asam urat meningkat > 2,7 mg/dL, dimana nilai normalnya yaitu 2,4 – 2,7 mg/dL
b. Pemeriksaan Radiologi
1) Ultrasonografi (USG).
Hasil USG menunjukan bahwa ditemukan retardasi perteumbuhan janin intra uterus.
Pernafasan intrauterus lambat, aktivitas janin lambat, dan volume cairan ketuban
sedikit.
2) Kardiotografi
Hasil pemeriksaan dengan menggunakan kardiotografi menunjukan bahwa denyut
jantung janin lemah.
F. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien dengan pre eklamsia tergantung pada
derajat pre eklamsia yang dialami. Namun yang termasuk komplikasi pre eklamsia
antara lain:
a. Komplikasi pada Ibu
1) Eklamsia.
2) Tekanan darah meningkat dan dapat menyebabkan perdarahan otak dan gagal
jantung mendadak yang berakibat pada kematian ibu.
3) Gangguan fungsi hati: Sindrom HELLP (Hemolisis, Elevated, Liver, Enzymes
and Low Plateleted) dan hemolisis yang dapat menyebabkan ikterik. Sindrom
HELLP merupakan singkatan dari hemolisis (pecahnya sel darah merah),
meningkatnya enzim hati, serta rendahnya jumlah platelet/trombosit darah.
HELLP syndrome dapat secara cepat mengancam kehamilan yang ditandai
dengan terjadinya hemolisis, peningkatan kadar enzim hati, dan hitung
trombosit rendah. Gejalanya yaitu mual, muntah, nyeri kepala, dan nyeri perut
bagian kanan atas.
4) Solutio plasenta.
5) Hipofebrinogemia yang berakibat perdarahan.
6) Gangguan fungsi ginjal: oligo sampai anuria.
7) Perdarahan atau ablasio retina yang dapat menyebabkan kehilangan
penglihatan untuk sementara.
8) Aspirasi dan edema paru-paru yang dapat mengganggu pernafasan.
9) Cedera fisik karena lidah tergigit, terbentur atau terjatuuh dari tempat tidur
saat serangan kejang.
10) DIC (Disseminated Intravascular Coagulation) atau kelainan pembekuan
darah.
b. Komplikasi pada Janin
1) Hipoksia karena solustio plasenta.
2) Terhambatnya pertumbuhan janin dalam uterus sehingga terjadi peningkatan
angka morbiditas dan mortalitas perinatal.
3) Asfiksia mendadak atau asfiksia neonatorum karena spasme pembuluh darah
dan dapat menyebabkan kematian janin (IUFD).
4) Lahir prematur dengan risiko HMD (Hyalin Membran Disease).
G. Penatalaksanaan
a. Pencegahan atau Tindakan preventif
Pemeriksaan antenatal yang teratur dan bermutu secara teliti, mengenali
tanda- tanda sedini mungkin (pre-eklamsi ringan), lalu diberikan pengobatan
yang cukup supaya penyakit tidak menjadi lebih berat.
Harus selalu waspada terhadap kemungkinan terjadinya pre-eklemsi kalau ada
faktor-faktor predisposisi.
Berikan penerangan tentang manfaat istirahat dan tidur, ketenangan, serta
pentingnya mengatur diet rendah garam, lemak, serta karbohidrat dan tinggi
protein, juga menjaga kenaikan berat badan yang berlebihan
b. Penatalaksanaan atau Tindakan kuratif
Tujuan utama penatalaksanaan atau penanganan adalah untuk mencegah
terjadinya pre-eklamsia berlanjut dan eklamsia, sehingga janin bisa lahir hidup
dan sehat serta mencegah trauma pada janin seminimal mungkin.
1. Penanganan pre eklamsia ringan
Pengobatan hanya bersifat simtomatis dan selain rawat inap, maka
penderita dapat dirawat jalan dengan skema periksa ulang yang lebih
sering, misalnya 2 kali seminggu. Penanganan pada penderita rawat
jalan atau rawat inap adalah dengan istirahat ditempat, diit rendah
garam, dan berikan obat-obatan seperti valium tablet 5 mg dosis 3 kali
sehari atau fenobarbital tablet 30 mg dengan dosis 3 kali 1 sehari.
Diuretika dan obat antihipertensi tidak dianjurkan, karena obat ini tidak
begitu bermanfaat, bahkan bisa menutupi tanda dan gejala pre-eklampsi
berat. Bila gejala masih menetap, penderita tetap dirawat inap.Monitor
keadaan janin : kadar estriol urin, lakukan aminoskopi, dan ultrasografi,
dan sebagainya.Bila keadaan mengizinkan, barulah dilakukan induksi
partus pada usia kehamilan minggu 37 ke atas.
2. Penanganan pre eklamsia berat
Pre eklamsia berat pada kehamilan kurang dari 37 minggu.
Jika janin belum menunjukan tanda-tanda maturitas paru-paru dengan
uji kocok dan rasio L/S, maka penanganannya adalah sebagai berikut:
a. Berikan suntikan sulfas magnesikus dengan dosis 8 gr
intramuskular kemudian disusul dengan injeksi tambahan 4 gr
itramuskular selama tidak ada kontraindikasi.
b. Jika ada perbaikan jalannya penyakit, pemberian sulfas
magnesikus dapat diteruskan lagi selama 24 jam sampai dicapai
kriteria pre-eklamsia ringan kecuali ada kontraindikasi.
c. Selanjutnya ibu dirawat, diperiksa, dan keadaan janin dimonitor,
serta berat badan ditimbang seperti pada pre eklamsia ringan,
sambil mengawasi timbulnya lagi gejala.
d. Jika dengan terapi diatas tidak ada perbaikan dilakukan terminasi
kehamilan dengan induksi partus atau tindakan lain tergantung
keadaan.
Jika pada pemeriksaan telah dijumpai tanda-tanda
kematangan paru janin, maka penatalaksanaan kasus sama
seperti pada kehamilan diatas 37 minggu.
H. Diagnosa Keperawatan
1. Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak berhubungan dengan pre eklamsia
berat.
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ventilasi-perfusi akibat
penimbunan cairan paru : adanya edema paru.
3. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan gangguan mekanisme regulasi.
4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum.
5. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh b.d faktor psikologis dan
ketidakmampuan untuk mencerna, menelan, dan mengabsorpsi makanan.
6. Risiko cedera berhubungan dengan diplopia, dan peningkatan intrakranial: kejang.
I. Rencana Keperawatan
1. Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak berhubungan dengan pre
eklamsia berat.
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 jam diharapkan status neurologi
membaik dan ketidakefektifan perfusi jaringan serebral teratasi dengan indikator:
NOC: Management neurology
- syaraf sensorik dan motorik dbn
- Ukuran pupil membaik
- Pulil reaktif membaik
- Pola pergerakan membaik
- Mata normal
- Pola nafas membaik
- TTV dalam batas normal
- Pola istirahat dan tidur normal
- Tidak muntah
- Tidak gelisah
Intervensi :
1. Monitor ukuran pupil, bentuk, simetris dan reaktifitas pupil
2. Monitor keadaan klien dengan GCS
3. Monitor TTV
4. Monitor status respirasi: ABClevels, pola nafas, kedalaman nafas, RR
5. Monitor reflek muntah
6. Monitor pergerakan otot
7. Monitor tremor
8. Monitor reflek babinski
9. Identifikasi kondisi gawat darurat pada pasien.
10. Monitor tanda peningkatan tekanan intrakranial
11. Kolaborasi dengan dokter jika terjadi perubahan kondisi pada klien
Raional :
1. Klien dengan cedera kepala akan mempengaruhi reaktivitas pupil karena pupil
diatur oleh syaraf cranialis
2. Mengetahui penurunan kesadaran klien
3. Memantau kondisi hemodinamik klien
4. Mengetahui kondisi pernafasan klien
5. Peningkatan TIK
6. Memonitor kelemahan
7. Memonitor persyarafan di perifer
8. Reflek babinsky (+) menunjukan adanya perdarahan otak
9. Peningkatan TIK dengan tanda muntah proyektil, kejang, penurunan
kesadaran
Arif, M. (2002). Kapita Selekta Kedokteran Jilid 1 Edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius.
Bobak, I.M., Deitra L.L., & Margaret D. J. (2005). Buku ajar keperawatan maternitas, Edisi
4. Jakarta: EGC
Febriani, Ferra (2013). Laporan Pendahuluan Keperawatan Maternitas Peb (Pre Eklamsi
Berat) Di Ruang Anggrek Rumah Sakit Umum Daerah Banyuma. Kementerian
Pendidikan Nasional Universitas Jenderal Soedirman Fakultas Kedokteran Dan Ilmu-
Ilmu Kesehatan Jurusan Keperawatan Program Profesi Ners Purwokerto.
Mosby. McCloskey & Gloria M.B. (1996). Nursing Intervention Clasification. USA:
Mosby.
Sumiati & Dwi F. (2012). “Hubungan obesitas terhadap pre eklamsia pada kehamilan di
RSU Haji Surabaya”. Embrio, Jurnal Kebidanan, Vol 1, No.2, Hal. 21-24.