Anda di halaman 1dari 18

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tuberkulosis Anak
A.1. Definisi
Tuberkulosis adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis yang mayoritas (> 95%) menyerang paru.
A.2. Penularan
Penularan tuberkulosis anak sebagian besar melalui udara sehingga fokus primer berada di
paru dengan kelenjar getah bening membengkak serta jaringan paru mudah terinfeksi kuman
tuberkulosis. Selain itu dapat melalui mulut saat minum susu yang mengandung kuman
Mycobacterium bovis dan melalui luka atau lecet di kulit.
A.3. Patogenesis
PATOGENESIS TUBERKULOSIS
Paru merupakan port d’entrée lebih dari 98% kasus infeksi TB. Karena ukurannya yang
sangat kecil, kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei) yang terhirup, dapat mencapai
alveolus. Masuknya kuman TB ini akan segera diatasi oleh mekanisme imunologis non
spesifik. Makrofag alveolus akan menfagosit kuman TB dan biasanya sanggup
menghancurkan sebagian besar kuman TB. Akan tetapi, pada sebagian kecil kasus, makrofag
tidak mampu menghancurkan kuman TB dan kuman akan bereplikasi dalam makrofag.
Kuman TB dalam makrofag yang terus berkembang biak, akhirnya akan membentuk koloni
di tempat tersebut. Lokasi pertama koloni kuman TB di jaringan paru disebut Fokus Primer
GOHN.
Dari focus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar limfe regional,
yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi focus primer. Penyebaran ini
menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di kelenjar limfe
(limfadenitis) yang terkena. Jika focus primer terletak di lobus paru bawah atau tengah,
kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus, sedangkan jika focus primer
terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar paratrakeal. Kompleks primer
merupakan gabungan antara focus primer, kelenjar limfe regional yang membesar
(limfadenitis) dan saluran limfe yang meradang (limfangitis).
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya kompleksprimer
secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi TB. Hal ini berbeda dengan pengertian masa
inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman hingga
timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi TB biasanya berlangsung dalam waktu 4-8 minggu
dengan rentang waktu antara 2-12 minggu.
Dalam masa inkubasi tersebut, kuman tumbuh hingga mencapai jumlah 103-104, yaitu
jumlah yang cukup untuk merangsang respons imunitas seluler. Selama berminggu-minggu
awal proses infeksi, terjadi pertumbuhan logaritmik kuman TB sehingga jaringan tubuh yang
awalnya belum tersensitisasi terhadap tuberculin, mengalami perkembangan sensitivitas.
Pada saat terbentuknya kompleks primer inilah, infeksi TB primer dinyatakan telah terjadi.
Hal tersebut ditandai oleh terbentuknya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu
timbulnya respons positif terhadap uji tuberculin. Selama masa inkubasi, uji tuberculin masih
negatif. Setelah kompleks primer terbentuk, imunitas seluluer tubuh terhadap TB telah
terbentuk. Pada sebagian besar individu dengan system imun yang berfungsi baik, begitu
system imun seluler berkembang, proliferasi kuman TB terhenti. Namun, sejumlah kecil
kuman TB dapat tetap hidup dalam granuloma. Bila imunitas seluler telah terbentuk, kuman
TB baru yang masuk ke dalam alveoli akan segera dimusnahkan. Setelah imunitas seluler
terbentuk, focus primer di jaringan paru biasanya mengalami resolusi secara sempurna
membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah mengalami nekrosis perkijuan dan enkapsulasi.
Kelenjar limfe regional juga akan mengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi
penyembuhannya biasanya tidak sesempurna focus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat
tetap hidup dan menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini.
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi. Komplikasi yang terjadi dapat
disebabkan oleh focus paru atau di kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat
membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan
yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan keluar melalui bronkus sehingga
meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas). Kelenjar limfe hilus atau paratrakea yang
mulanya berukuran normal saat awal infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang
berlanjut. Bronkus dapat terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal
dapat menyebabkan ateletaksis. Kelenjar yang mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan
dapat merusak dan menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB
endobronkial atau membentuk fistula. Massa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada
bronkus sehingga menyebabkan gabungan pneumonitis dan ateletaksis, yang sering disebut
sebagai lesi segmental kolaps-konsolidasi.
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat terjadi penyebaran
limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke kelenjar limfe
regional membentuk kompleks primer. Sedangkan pada penyebaran hematogen, kuman TB
masuk ke dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran
hematogen inilah yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik.
Penyebaran hamatogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk penyebaran
hematogenik tersamar (occult hamatogenic spread). Melalui cara ini, kuman TB menyebar
secara sporadic dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman
TB kemudian akan mencapai berbagai organ di seluruh tubuh. Organ yang biasanya dituju
adalah organ yang mempunyai vaskularisasi baik, misalnya otak, tulang, ginjal, dan paru
sendiri, terutama apeks paru atau lobus atas paru. Di berbagai lokasi tersebut, kuman TB akan
bereplikasi dan membentuk koloni kuman sebelum terbentuk imunitas seluler yang akan
membatasi pertumbuhannya.
Di dalam koloni yang sempat terbentuk dan kemudian dibatasi pertumbuhannya oleh
imunitas seluler, kuman tetap hidup dalam bentuk dormant. Fokus ini umumnya tidak
langsung berlanjut menjadi penyakit, tetapi berpotensi untuk menjadi focus reaktivasi. Fokus
potensial di apkes paru disebut sebagai Fokus SIMON. Bertahun-tahun kemudian, bila daya
tahan tubuh pejamu menurun, focus TB ini dapat mengalami reaktivasi dan menjadi penyakit
TB di organ terkait, misalnya meningitis, TB tulang, dan lain-lain.
Bentuk penyebaran hamatogen yang lain adalah penyebaran hematogenik generalisata akut
(acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini, sejumlah besar kuman TB masuk
dan beredar dalam darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini dapat menyebabkan timbulnya
manifestasi klinis penyakit TB secara akut, yang disebut TB diseminata. TB diseminata ini
timbul dalam waktu 2-6 bulan setelah terjadi infeksi. Timbulnya penyakit bergantung pada
jumlah dan virulensi kuman TB yang beredar serta frekuensi berulangnya penyebaran.
Tuberkulosis diseminata terjadi karena tidak adekuatnya system imun pejamu (host) dalam
mengatasi infeksi TB, misalnya pada balita.
Tuberkulosis milier merupakan hasil dari acute generalized hematogenic spread dengan
jumlah kuman yang besar. Semua tuberkel yang dihasilkan melalui cara ini akan mempunyai
ukuran yang lebih kurang sama. Istilih milier berasal dari gambaran lesi diseminata yang
menyerupai butur padi-padian/jewawut (millet seed). Secara patologi anatomik, lesi ini
berupa nodul kuning berukuran 1-3 mm, yang secara histologi merupakan granuloma.
Bentuk penyebaran hematogen yang jarang terjadi adalah protracted hematogenic spread.
Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu focus perkijuan menyebar ke saluran vascular di
dekatnya, sehingga sejumlah kuman TB akan masuk dan beredar di dalam darah. Secara
klinis, sakit TB akibat penyebaran tipe ini tidak dapat dibedakan dengan acute generalized
hematogenic spread. Hal ini dapat terjadi secara berulang.
Pada anak, 5 tahun pertama setelah infeksi (terutama 1 tahun pertama), biasanya sering
terjadi komplikasi. Menurut Wallgren, ada 3 bentuk dasar TB paru pada anak, yaitu
penyebaran limfohematogen, TB endobronkial, dan TB paru kronik. Sebanyak 0.5-3%
penyebaran limfohematogen akan menjadi TB milier atau meningitis TB, hal ini biasanya
terjadi 3-6 bulan setelah infeksi primer. Tuberkulosis endobronkial (lesi segmental yang
timbul akibat pembesaran kelenjar regional) dapat terjadi dalam waktu yang lebih lama (3-9
bulan). Terjadinya TB paru kronik sangat bervariasi, bergantung pada usia terjadinya infeksi
primer. TB paru kronik biasanya terjadi akibat reaktivasi kuman di dalam lesi yang tidak
mengalami resolusi sempurna. Reaktivasi ini jarang terjadi pada anak, tetapi sering pada
remaja dan dewasa muda.
Tuberkulosis ekstrapulmonal dapat terjadi pada 25-30% anak yang terinfeksi TB. TB tulang
dan sendi terjadi pada 5-10% anak yang terinfeksi, dan paling banyak terjadi dalam 1 tahun
tetapi dapat juga 2-3 tahun kemudian. TB ginjal biasanya terjadi 5-25 tahun setelah infeksi
primer.

Diagnosis
Diagnosis paling tepat adalah dengan ditemukannya kuman TBC dari bahan yang diambil
dari penderita, misalnya: dahak, bilasan lambung, biopsi dan lain-lain. Pada anak, kesulitan
menegakkan diagnosis pasti disebabkan oleh 2 hal, yaitu

- sedikitnya jumlah kuman. Jumlah kuman TBC di sekret bronkus pasien anak lebih
sedikit daripada dewasa karena lokasi kerusakan jaringan TBC paru primer terletak
dikelenjar linfe hilus dan parenkim paru bagian perifer. Tingkat kerusakan parenkim
paru tidak seberat pada dewasa. Sulitnya pengambilan spesimen (sputum)
Pada anak , walaupun batuknya berdahak biasanya dahak akan ditelan sehingga
diperlukan bilasan lambung yang diambil melalui nasogastrik tube dan harus
dilakukan oleh petugas yang berpengalaman2. Karena berbagai alasan diatas,
sehingga sebagian besar diagnosis TBC anak didasarkan atas gambaran klinis,
gambaran foto röntgen dada dan uji tuberkulin. Untuk itu penting memikirkan adanya
TBC pada anak kalau terdapat tanda-tanda yang mencurigakan atau gejala gejala
seperti dibawah ini:
 Seorang anak harus dicurigai menderita TBC kalau:
Mempunyai sejarah kontak erat (serumah) dengan penderita TBC BTA positif
bila :
1. Terdapat reaksi kemerahan cepat setelah penyuntikan BCG. Terdapat
gejala umum TBC.
2. Gejala umum TBC pada anak: 
Berat badan turun selama 3 bulan berturut-turut tanpa sebab yang jelas,
dan tidak naik dalam 1 bulan meskipun sudah mendapatkan
penanganan gizi yang baik (failure to thrive), 
Nafsu makan turun/ tidak ada (anorexia) dengan gagal tumbuh dan
berat badan tidak naik (failure to thrive) dengan adekuat4. 
Demam tidak tinggi (sub febril) dan lama/ berulang tanpa sebab yang
jelas (bukan tifus, malaria atau infeksi saluran nafas akut), dapat
disertai keringat malam. Pembesaran kelenjar limfe superfisialis yang
tidak sakit. Biasanya multipel, paling sering didaerah leher, ketiak dan
lipatan paha (inguinal). Gejala-gejala dari saluran nafas, misalnya
batuk lama lebih dari 30 hari (setelah disingkirkan sebab lain dari
batuk), tanda cairan di dada dan nyeri dada. Gejala-gejala dari saluran
cerna, misalnya diare berulang yang tidak sembuh dengan pengobatan
diare, benjolan (massa) di abdomen, dan tanda-tanda cairan dalam
abdomen.
3).Gejala spesifik 
Gejala-gejala ini biasanya muncul tergantung dari bagian tubuh mana
yang terserang, misalnya: Kelenjar limfe. Kelenjar limfe superfisialis
sering dijumpai, kelenjar yang sering terkena adalah kelenjar limfe
kolli anterior atau posterior, juga dapat terjadi aksila, inguinal,
submandibula dan supra klavikula. Secara klinis kelenjar yang terkena
biasanya multipel, unilateral, tidak nyeri tekan, tidak panas pada
perabaan dan dapat saling melekat satu sama lain. Perlekatan ini terjadi
akibat adanya inflamasi pada kapsul kelenjar limfe .

Jenis TBC yang lain:

 TBC tulang dan sendi:  Gejala umum yang sering ditemukan


adalah adanya nyeri, bengkak disendi yang terkena dan gangguan
atau keterbatasan gerak. Pada bayi dan anak yang sedang tumbuh
epifisis tulang merupakan daerah dengan baskularisasi tinggi yang
disukai oleh kuman TBC. tulang punggung (spondilitis):
gibbus tulang panggul (koksitis): pincang, pembengkakan di
pinggul  tulang lutut: pincang dan/atau bengkak tulang kaki dan
tangan
 TBC otak dan saraf: Meningitis TBC
Merupakan penyakit yang berat dengan mortalitas dan kecacatan
yang tinggi, terjadi akibat penyebaran langsung kuman TBC ke
jaringan selaput saraf (meningens). Dengan gejala iritabel, kaku
kuduk, muntah-muntah dan kesadaran menurun
 TBC mata: Conjunctivitis phlyctenularis
Tuberkel koroid (hanya terlihat dengan funduskopi)
Lain-lain 
4).Uji tuberkulin (Mantoux)
Uji tuberkulin merupakan alat diagnosis TBC yang sudah sangat lama
dikenal, tetapi hingga saat ini masih mempunyai nilai diagnostik yang
tinggi terutama pada anak dengan sensitivitas dan spesifitas diatas
90%. Tuberkulin yang tersedia di Indonesia sekarang adalah PPD RT-
23 2TU. Uji tuberkulin dilakukan dengan cara Mantoux (penyuntikan
intrakutan 0,1 ml PPD RT-23 2TU dibagian volar lengan bawah).
Pembacaan dilakukan 48-72 jam setelah penyuntikan. Uji tuberkulin
positif bila indurasi > 10 mm (pada gizi baik), atau > 5 mm pada gizi
buruk. Interpretasi tes mantoux:
1. Pembengkakan (Indurasi) : 0–4mm, uji mantoux negatif.
Arti klinis : tidak ada infeksi Mycobacterium tuberculosis.
2. Pembengkakan (Indurasi) : 5–9mm, uji mantoux
meragukan.Hal ini bisa karena kesalahan teknik, reaksi
silang dengan Mycobacterium atypikal atau pasca vaksinasi
BCG.
3. Pembengkakan (Indurasi) : >= 10mm, uji mantoux positif.
Arti klinis : sedang atau pernah terinfeksi Mycobacterium
tuberculosis.
Jika uji tuberkulin meragukan dilakukan uji ulang.
5).Reaksi cepat BCG
Indikasi tes BCG dicurigai pada keadaan anergi yaitu malnutrisi berat,
TBC berat, (meningitis TBC, Milier TBC), menderita morbili, rubela,
vaicela, influenza, momonukleoisis infeksiosa, pneumonia atipik
primer, sarkoidosis, pertusis, setelah pemberian vaksin hidup, demam
typhoid, pemberian kortikosteroid, penyakit kegananasan.
0,1 cc vaksin BCG disuntikan intrakutan pada regio deltoid kiri. Bila
dalam penyuntikan BCG terjadi reaksi cepat (dalam 3-7 hari) berupa
kemerahan dan indurasi > 5 mm, maka anak tersebut dicurigai telah
terinfeksi Mycobacterium tuberculosis.

6). Foto rontgen dada


Umumnya diagnosis TBC Paru ditegakkan dengan pemeriksaan dahak
secara mikroskopis, namun pada kondisi tertentu perlu dilakukan
pemeriksaan röntgen10. Indikasi pemeriksaan rontgen dada adalah:
a. Suspek dengan BTA Negatif
Setelah diberikan antibiotik spektrum luas tanpa ada perubahan,
periksa ulang dahak SPS (sewaktu pagi sewaktu). Bila hasilnya
tetap negatif, lakukan pemeriksaan foto röntgen dada10. 
b. Penderita dengan BTA Positif 
Hanya pada sebagian kecil dari penderita dengan hasil pemeriksaan
BTA Positif, yang perlu dilakukan pemeriksaan foto röntgen dada
yaitu: 
1.Penderita tersebut diduga mengalami komplikasi, misalnya sesak
nafas berat yang memerlukan penanganan khusus contoh:
pneumotorak (adanya udara didalam rongga pleura), pleuritis
eksudativa. 
2.Penderita yang sering hemoptisis berat, untuk menyingkirkan
kemungkinan bronkiektasis (pelebaran bronkus setempat).
3.Hanya 1 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif. Pada
kasus ini pemeriksaan foto röntgen dada diperlukan untuk
mendukung diagnosis ‘TBC paru BTA positif.
Gambaran röntgen TBC paru pada anak tidak khas dan interpretasi
foto biasanya sulit, karenanya harus hati-hati dengan kemungkinan
overdiagnosis atau underdiagnosis. Paling mungkin jika ditemukan
infiltrat dengan pembesaran kelenjar hilus 3 atau kelenjar
paratrakeal atau gambaran cerobong asap. Gejala lain dari foto
röntgen yang mencurigai TBC adalah: milier, atelektasis/kolaps
konsolidasi, infiltrat dengan pembesaran kelenjar hilus atau
paratrakeal, konsolidasi (lobus), reaksi pleura dan atau efusi pleura,
kalsifikasi, bronkiektasis, kavitas, destroyed lung. Bila ada
diskongruensi antara gambaran klinis dan gambaran röntgen, harus
dicurigai TBC. Foto röntgen dada sebaiknya dilakukan PA
(Postero-Anterior) dan lateral, tetapi kalau tidak mungkin PA saja.

7). Pemeriksaan mikrobiologi dan serologi


Pemeriksaan BTA secara mikroskopis langsung pada anak biasanya
dilakukan dari bilasan lambung (pada anak usia kurang dari 7
tahun) karena dahak sulit didapat. Pemeriksaan BTA secara biakan
(kultur) memerlukan waktu yang lama. Namun cara baru untuk
mendeteksi kuman TBC dengan PCR (Polymery Chain Reaction)
atau Bactec masih belum dapat dipakai dalam klinis praktis.
Demikian juga pemeriksaan serologis seperti ELISA, PAP,
Mycodot dan lain-lain, masih memerlukan penelitian lebih lanjut
untuk pemakaian dalam klinis praktis. Penjaringan Tersangka
Penderita TBC Anak bisa berasal dari keluarga penderita BTA
positif (kontak serumah), masyarakat (kunjungan Posyandu), atau
dari penderita-penderita yang berkunjung ke Puskesmas maupun
yang langsung ke Rumah Sakit

8). Respon terhadap pengobatan OAT


Jika dalam dua bulan menggunakan OAT terdapat perbaikan klinis,
maka akan menunjang atau memperkuat diagnosis TBC. 
Bila dijumpai tiga atau lebih dari hal-hal yang mencurigakan atau
gejala-gejala klinis umum, maka anak harus dianggap TBC dan
diberikan pengobatan dengan OAT sambil diobservasi selama dua
bulan. Bila menunjukan perbaikan, maka diagnosis TBC dapat
dipastikan dan OAT diteruskan sampai penderita sembuh. Bila
dalam observasi dengan pemberian OAT selama dua bulan tersebut
keadaan anak memburuk atau tetap, maka anak tersebut tidak
menderita TBC atau mungkin mungkin menderita TBC dengan
kekebalan obat ganda (Multiple Drug Resistent/ MDR). Anak yang
tersangka MDR perlu dirujuk ke Rumah Sakit untuk mendapat
penatalaksanaan spesialistik. 
Penting diperhatikan bahwa bila pada anak dijumpai gejala-gejala
berupa kejang, kesadaran menurun, kaku kuduk dan benjolan
dipunggung, maka anak tersebut harus segera dirujuk ke Rumah
Sakit untuk penatalaksanaan selanjutnya. 

Diagnosis TBC Ekstra Paru

Untuk sebagian besar TBC ekstra paru , manifestasi klinis anak


sama dengan dewasa. Gejala TBC Ekstra Paru tergantung organ
yang terkena, misalnya nyeri dada terdapat pada TBC pleura
(Pleuritis), pembesaran kelenjar limfe superfisialis pada
Lymphadenitis TBC dan pembengkakan tulang belakang pada
Spondilitis TBC. Diagnosis pasti sulit ditegakkan sedangkan
diagnosis kerja dapat ditegakkan dengan menyingkirkan
kemungkinan penyakit lain. Ketepatan diagnosis tergantung
ketersediaan alat-alat diagnostik, misalnya peralatan rontgen,
biopsi, sarana pemeriksaan patologi anatomi. Seorang penderita
TBC Ekstra Paru kemungkinan besar juga menderita TBC Paru,
oleh karena itu perlu dilakukan pemeriksaan dahak dan foto
röntgen dada. Pemeriksaan ini penting untuk penentuan paduan
obat yang tepat

Laboratorium

LED meninggi, sering tinggi sekali. Mungkin liositosis,


monositosis, anemia, leukositosis ringan, bila ditemui hasil
demikian (bila tidak ada faktor lain) akan menyokong diagnosis.
Gambaran darah normal tidak menyingkirkan TBC.
Gambaran darah tepi dan laju enap darah hanya mempunyai
korelasi dengan aktivitas penyakit.
Pemeriksaan cairan spinal dilakukan atas indikasi kecurigaan
meningitis dan pada setiap TBC milier

Diagnosis TB anak sulit sehingga sering terjadi misdiagnosis baik overdiagnosis


maupun underdiagnosis. Pada anak batuk bukan merupakan gejala utama.
Pengambilan dahak pada anak biasanya sulit, maka diagnosis tuberkulosis
menggunakan sistim skoring.
A.4. Pengobatan
Pengobatan secara umum dilakukan dengan meningkatkan gizi anak untuk daya tahan
tubuh dan istirahat. Hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian obat tuberkulosis pada
anak yaitu pemberian obat tahap intensif atau lanjutan diberikan setiap hari, dosis obat
disesuaikan dengan berat badan anak, pengobatan tidak boleh terputus dijalan. Untuk terapi
tuberkulosis terdiri dari dua fase yaitu fase intensif (awal) dengan panduan 3-5 OAT selama 2
bulan awal dan fase lanjutan dengan panduan 2 OAT (INH-Rifampisin) hingga 6-12 bulan.
Fase intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perlu diawasi secara langsung
untuk mencegah terjadinya resistensi obat, bila pengobatan fase intensif diberikan secara
tepat biasannya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun waktu 2 minggu,
sebagian besar pasien tuberkulosis BTA positif menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2 bulan
sedangkan untuk fase lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit namun dalam jangka
waktu yang lebih lama, tahap ini penting untuk membunuh kuman persister sehingga
mencegah terjadinya kekambuhan.
Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yang biasa digunakan yaitu Isoniazid, Rifampisin,
Piranizamid, Etambutol dan Streptomisin. Terapi OAT untuk tuberkulosis paru yaitu INH,
Rifampisisn, Pirazinamid selama 2 bulan fase intensif dilanjutkan INH dan Rifampisin
hingga 6 bulan terapi (2HRZ-4HR). Efek samping OAT jarang dijumpai pada anak jika dosis
dan cara pemberiannya benar. Efek samping yang biasa muncul yaitu hepatotoksisitas dengan
gejala ikterik, keluhan ini biasa muncul pada fase intensif (awal).
Cara pengobatan INH diberikan selama 6 bulan, Rifampisin selama 6 bulan,
Piranizamid selama 2 bulan pertama. Pada kasus-kasus berat dapat ditambahkan Etambutol
selama 2 bulan pertama. Untuk mengurangi angka drop out dibuat dalam bentuk FCD (Fixed
Dose Combination) untuk 2 bulan pertama digunakan FDC yang berisi
Rifampisin/Isoniazid/Piranizamid dengan dosis 75 mg/50mg/150mg sedangkan untuk 4 bulan
berikutnya digunakan FDC yang berisi Rifampisin/Isoniazid dengan dosis 75 mg/50mg.
Untuk kategori anak (2RHZ/4RH) , prinsip dasar pengobatan tuberkulosis minimal 3
macam obat dan diberikan dalam waktu 6 bulan. OAT pada anak diberikan setiap hari baik
pada fase intensif (awal) maupun fase lanjutan, dosis obat harus disesuaikan dengan berat
badan anak.Pada sebagian besar kasus tuberkulosis anak pengobatan selama 6 bulan cukup
adekuat. Setelah pemberian obat 6 bulan, lakukan evaluasi baik klinis maupun pemeriksaan
penunjang. Evaluasi klinis pada tuberkulosis anak merupakan parameter terbaik untuk
menilai keberhasilan pengobatan. Bila dijumpai perbaikian klinis yang nyata walaupun
gambaran radiologik tidak menunjukkan perubahan yang berarti maka OAT dihentikan.14
A.5. Pencegahan
Pencegahan tuberkulosis anak dapat dilakukan dengan Imunisasi BCG (dapat
meningkatkan daya tahan tubuh terhadap infeksi tuberkulosis, perbaikan lingkungan (dicari
sumber penularannya), makanan bergizi (bila anak dengan gizi kurang akan mudah terinfeksi
kuman tuberkulosis, sedangkan anak dengan gizi baik dapat meningkatkan daya tahan tubuh
sehingga anak tersebut tidak mudah terinfeksi kuman tuberkulosis), kemoprofilaksis
( kemoprofilaksis primer untuk anak yang belum pernah terinfeksi tuberkulosis dengan tujuan
untuk mencegah anak dengan kontak tuberkulosis dan uji tuberculin negatif sedangkan
kemoprofilaksis sekunder untuk anak yang sudah terinfeksi kuman tuberkulosis diberikan
dengan tujuan mencegah berkembangnya infeksi menjadi penyakit).
A.6. Faktor yang mempengaruhi tuberkulosis
A.6.1. Riwayat kontak
Sumber penularan tuberkulosis anak adalah orang dewasa yang sudah menderita
tuberkulosis aktif (tuberkulosis positif) sedangkan anak-anak masih sangat rentan tertular
tuberkulosis dari orang dewasa karena daya tahan dan kekebalan tubuh anak yang lemah.
A.6.2. Status gizi
Pada anak status gizi sangatlah penting, anak yang memiliki gizi baik tidak mudah
terkena infeksi karena tubuh memiliki kemampuan yang cukup untuk mempertahankan diri
(daya tahan tubuh meningkat) sedangkan bagi anak yang memiliki gizi buruk akan sangat
mudah terkena infeksi karena reaksi kekebalan tubuh menurun yang berarti kemampuan
tubuh untuk mempertahankan diri terhadap serangan infeksi menurun.
A.6.3. Umur
Penyakit tuberkulosis sering ditemukan pada usia muda atau produktif karena sejak
lama seseorang tersebut sudah tertular kuman Mycobacterium tuberculosis yang
mengakibatkan kondisi tubuhnya menurun.
A.6.4. Jenis kelamin
Menurut penelitian Islamiyati cenderung lebih banyak pada anak perempuan ,
perbandingannya 1:4 (laki-laki : perempuan) karena pada anak laki-laki porsi makan lebih
besar sehingga cenderung memiliki status gizi lebih baik yang memungkinkan memiliki
pertahanan tubuh lebih baik dalam melawan penyakit.
A.6.5. Status imunisasi
Pemberian imunisasi BCG pada bayi dapat memberikan perlindungan terhadap
penyakit tuberkulosis karena dengan imunisasi BCG ini akan memberikan kekebalan aktif
terhadap penyakit tuberkulosis sehingga anak tersebut tidak mudah terkena penyakit
tuberkulosis.
A.6.6. Faktor toksik
Faktor toksik yang dapat mempengaruhi yaitu asap rokok karena asap rokok dapat
menurunkan respon terhadap antigen sehingga benda asing yang masuk dalam paru tidak
langsung bisa dikenali atau dilawan oleh tubuh selain itu juga dapat menjadi salah satu
penyebab anak mudah terkena tuberkulosis, anak selain dari asupan gizi juga memerlukan
lingkungan yang bebas rokok sehingga dapat menurunkan jumlah tuberkulosis anak.
A.6.7. Kondisi rumah
Kondisi rumah ikut berpengaruh karena pada kondisi rumah yang buruk atau tidak
layak untuk dihuni akan mempermudah terkena penyakit tuberkulosis.
A.6.8. Kepadatan hunian
Merupakan proses penularan penyakit karena jika semakin padat maka perpindahan
penyakit (khusus penyakit menular) melalui udara akan semakin mudah dan cepat, apalagi
jika dalam satu rumah terdapat anggota keluarga yang terkena tuberkulosis.

B. Status Gizi
B.1. Pengertian
Status gizi adalah suatu kondisi atau keadaan tubuh sebagai akibat dari makanan yang
dikonsumsi, penyerapan dan penggunaan zat-zat gizi dalam makanan oleh tubuh.
B.2. Faktor yang mempengaruhi status gizi
Masalah gizi dipengaruhi oleh beberapa faktor baik faktor eksternal maupun faktor
internal. Adapun faktor-faktornya antara lain :
B.2.1 Faktor eksternal

 Pendapatan

Tingkat penghasilan sangat ikut berpengaruh dalam faktor status gizi


karena ikut menentukan jenis makanan apa yang akan dimakan oleh anak
tersebut dan ikut pula dalam pengaruh perbaikan kesehatan dan kondisi
keluarga.

 Pengetahuan

Tingkat pengetahuan ikut berpengaruh karena dengan mempunyai


pengetahuan gizi yang baik maka dapat menentukan jenis dan jumlah makanan
yang akan dikonsumsi, kandungan makanan, cara pengolahan makanan dan
kebersihan makanannya.

 Pekerjaan

Ibu yang bekerja biasanya tidak lagi memberikan perhatian yang penuh
kepada anak-anaknya akibatnya anaknya jatuh sakit dan makanan yang
diberikan tidak semestinya.
B.2.2 Faktor internal

 Usia

Usia sangat berpengaruh dalam kemampuan atau pengalaman orangtua


terhadap pemberian nutrisi kepada anaknya.

 Kondisi fisik

Kondisi fisik sangat berpengaruh karena bila anak tersebut sakit akan
mudah sekali rentan terkena penyakit, dalam masa ini kebutuhan zat gizi
sangat dibutuhkan untuk masa pertumbuhan.

 Infeksi

Anak yang mendapatkan makanan cukup baik juga dapat terkena


demam atau diare akhirnya menderita kurang gizi sebaliknya jika anak tersebut
mendapatkan makanan yang tidak baik akan mudah sekali terserang infeksi
akibat daya tahan tubuh yang melemah akibatnya anak tersebut kurang nafsu
makan dan akhirnya menderita kurang gizi.
B.3. Penilaian status gizi
Untuk mengetahui pertumbuhan anak maka dilakukan pengukuran berat badan dan
tinggi badan secara teratur, cara menilai status gizi pada anak dibawah umur lima tahun
(balita) dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung. Penilaian status gizi secara
langsung terdiri dari empat penilaian yaitu penilaian antropometri, penilaian klinis, penilaian
biokimia dan penilaian biofisik, sedangkan penilaian secara tidak langsung meliputi survei
konsumsi makanan, statistika vital dan faktor ekologi.
Penilaian antropometri merupakan ukuran tubuh manusia, ditinjau dari sudut pandang
gizi antropometri gizi berhubungan dengan ukuran dimensi tubuh, komposisi tubuh berbagai
tingkat umur dan gizi.
Penilaian antropometri paling sering dilakukan karena mudah, prosedurnya sederhana,
dapat dilakukan berulang untuk mengetahui perubahan pertimbuhan tertentu pada anak balita.
Indeks yang digunakan dalam antropometri adalah berat badan menurut umur, tinggi badan
menurut umur dan berat badan menurut tinggi badan.
Berat Badan menurut Umur (BB/U), berat badan merupakan salah satu parameter yang
memberikan gambaran massa tubuh, massa tubuh itu sangat sensitif terhadap perubahan yang
mendadak, misalnya karena terserang penyakit infeksi, menurunnya nafsu makan atau jumlah
makanan yang dikonsumsi. Berat badan merupakan parameter yang sangat labil. Dalam
keadaan normal, dimana keadaan kesehatan baik dan keseimbangan antara konsumsi dan
kebutuhan zat gizi terjamin, maka berat badan berkembangmengikuti pertambahan umur.
Sebaliknya dalam keadaan abnormal terdapat 2 kemungkinan perkembangan berat badan
yaitu berkembang cepat atau lebih lambat dari keadaan normal. Berdasarkan karakteristik
berat badan ini, maka indeks BB/U digunakan sebagai salah satu cara pengukuran status gizi.
Tinggi Badan menurut Umur (TB/U), tinggi badan merupakan antropometri yang
menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal. Pada keadaan normal, tinggi badan tumbuh
seiring dengan pertambahan umur.
Pertumbuhan tinggi badan tidak seperti berat badan, relatif kurang sensitif terhadap
masalah kekurangan gizi dalam waktu yang pendek. Pengaruh defisiensi zat gizi terhadap
tinggi badan akan nampak dalam waktu yang relatif lama. Berdasarkan karakteristik diatas
indeks TB/U menggambarkan status gizi masa lampau dan erat kaitannya dengan status sosial
ekonomi.
Berat Badan menurut Tinggi Badan (BB/TB), berat badan memiliki hubungan yang
linier dengan tinggi badan. Dalam keadaan normal, perkembangan berat badan akan searah
dengan pertumbuhan tinggi badan dengan kecepatan tertentu. Indeks BB/TB merupakan
indikator yang baik untuk menilai status gizi saat ini (sekarang) selain itu juga merupakan
indeks yang independen terhadap umur.
Dari penjelasan diatas penelitian ini menggunakan indeks antropometri BB/U karena didalam
data rekam medis hanya terdapat data Berat badan dan Umur sedangkan untuk Tinggi Badan
tidak ada.
Daftar Pustaka

1. Rahajoe N, Basir D, Makmuri MS, Kartasasmita GB, edistors. Pedoman Nasional


Tuberkulosis Anak. Edisi ke-2. Jakarta: UKK Respiratologi PP IDAI; 2007.
2. Pokja TB Anak. Diagnosis dan Tatalaksana Tuberkulosis Anak. Jakarta: Depkes
IDAI; Jakarta; 2008.
3. WHO. Tuberkulosis. Dalam: Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah
Sakit. Edisi ke-1. Jakarta: WHO; 2009.p. 113-4.
4. Supriyantno B. Tuberkulosis Anak. Proceeding Seminar Tuberkulosis; Jakarta;
2006.

Anda mungkin juga menyukai