Anda di halaman 1dari 17

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Fraktur Pergelangan kaki (Ankle Fracture)

2.1.1 Definisi

Ankle fracture atau fraktur pergelangan kaki secara klasik didefinisikan

sebagai adanya fraktur pada distal fibula atau lateral malleolus, distal medial tibia

atau medial malleolus, dan posterior distal tibia atau posterior malleolus (Hsu,

2013).

Fraktur pergelangan kaki  merupakan cedera yang umum ditemukan dalam

praktik ortopedi. Insiden cedera pergelangan kaki  terus meningkat dalam 30 tahun

terakhir, diderita oleh 1 dari 800 orang setiap tahunnya, dan mencakup 9% dari

seluruh fraktur (tingkat insiden persis dibawah fraktur femur proksimal yang

merupakan fraktur ekstremitas bawah paling umum (Hafiz, 2011).

Penyebab umum dari fraktur ini adalah trauma (kecelakaan lalu lintas),

cedera olahraga (sport injuries pada pemain football), dan osteoporosis pada

orang tua. Penanganan  bervariasi dari non operatif dengan immediate weight

bearing activities sampai tindakan operatif dengan 12 minggu non-weight bearing

activities tergantung dari kestabilan dari cederanya. Fraktur ini umumnya tidak

stabil sehingga membutuhkan open reduction dan internal fixation (Bugler,

2012).

2.1.2 Epidemiologi

Studi terakhir menunjukan peningkatan secara dramatis dari tingkat

insiden fraktur pergelangan kaki sejak tahun 1960-an. Studi berdasarkan National

Hospital Discharge Register di Finlandia menunjukan peningkatan insiden pada

4
pasien berusia diatas 60 tahun dari 57/100.000 pada tahun 1970 menjadi

130/100.000 di tahun 1994. Studi lanjutan pada populasi yang sama

memperlihatkan tingkat insiden menjadi 174 fraktur/100.000 di tahun 2000 dan

diestimasikan peningkatan dapat mencapai 3 kalinya pada tahun 2030.  Tingkat

insidensi paling tinggi terjadi pada wanita geriatrik (Hsu, 2013).

Fraktur pergelangan kaki  mencakup 9% dari seluruh fraktur (tingkat

insiden persis dibawah fraktur femur proksimal yang merupakan fraktur

ekstremitas bawah paling umum). Secara umum, fraktur pergelangan kaki paling

umum adalah isolated malleolar fracture yaitu mencakup 2/3 dari seluruh fraktur

tersebut, dan bimalleolar fracture pada 1/4 kasus, dan sisanya sebanyak 7%

pada trimalleolar fracture (Bugler, 2012).

2.1.3 Mekanisme Cedera

Mekanisme cedera pada fraktur malleolus pada pergelangan kaki

umumnya meliputi gerakan rotasi atau memutar pada sendi, termasuk low-

energy akibat terjatuh karena tersandung dengan gaya memutar atau high-

energy akibat kecelakaan lalu lintas atau terjatuh dari ketinggian. Pola fraktur

ditentukan oleh dua hal, antara lain posisi dari kaki dan arah gaya pada saat terjadi

cedera (deforming force) (Bowyer, 2010).

2.1.4 Klasifikasi fraktur pergelangan kaki

Fraktur pergelangan kaki dapat diklasifikasikan berdasarkan jumlah

malleolus yang mengalami fraktur (monomalleolar, bimalleolar atau trimalleolar),

berdasarkan mekanisme cedera yaitu klasifikasi Lauge-Hansen, dan berdasarkan

lokasi fraktur fibula yaitu klasifikasi Danis-Weber (AO/Orthopaedic Trauma

Association System). Klasifikasi Lauge-Hansen mengelompokan fraktur

pergelangan kaki menjadi, fraktur supinasi-aduksi, supinasi-eksternal rotasi, dan

5
pronasi-eksternal rotasi. Pada semua tipe tersebut, cedera inisial dapat terisolasi

pada hanya 1 bagian tertentu atau dapat terjadi cedera-cedera sekitar berikutnya

sesuai tahapan yang ada. Tipe cedera yang paling umum dalam klasifikasi ini

adalah:

a. Tipe supinasi-eksternal rotasi (SER). 

Cedera dimulai secara lateral pada bagian ATFL, menuju eksternal,

malleolus lateral atau fraktur oblik spiral dari fibula distal, PTFL atau

posterior malleolus, dan terakhir struktur medial yaitu fraktur malleolus

medial atau ruptur ligamen deltoid.

b. Tipe supinasi-aduksi (SA)

Tipe SA dikarakteristikan dengan adanya fraktur transverse dari distal

fibula dan fraktur vertikal relatif dari malleolus medial.

c. Tipe pronasi-eksternal rotasi (PER)

Cedera pronasi-eksternal rotasi (PER) dikarakteristikan dengan

adanya robekan pada ligamen deltoid atau fraktur pada malleolus medial

dan fraktur oblik spiral pada fibula yang letaknya relatif tinggi dari sendi

pergelangan kaki (Whittle, 1992).

Klasifikasi yang paling sederhana adalah klasifikasi Danis-Weber yang

mengklasifikasikan fraktur pergelangan kaki menjadi :

a. Tipe A

Termasuk tipe A bila fraktur fibula terjadi dibawah tingkat

sindesmosis tibia-fibula distal. Tipe A umumnya tidak membutuhkan

pembedahan.

b. Tipe B

6
Termasuk tipe B bila fraktur terjadi pada tingkat sindesmosis. Tipe B

membutuhkan stabiliasi dari malleolus lateral.

c. Tipe C

Termasuk tipe C bila fraktur terjadi pada tingkat di atas sindesmosis

tibia-fibula distal. Tipe C membutuhkan stabilisasi dari malleoulus lateral

dan ditambah dengan fiksasi dari sindesmosis.

2.1.5 Manifestasi Klinis

Adanya riwayat terjatuh dengan gaya memutar (rotasional) pada daerah

pergelangan kaki baik karena tersandung pada aktivitas sehari-hari maupun pada

atlit-atlit olahraga, atau adanya kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan cedera

pada daerah pergelangan kaki disertai adanya nyeri hebat dan ketidakmampuan

untuk menumpu dengan kaki tersebut harus mengarahkan klinisi terhadap

kemungkinan terjadinya fraktur pergelangan kaki (Bowyer, 2010).

Mekanisme terjadinya trauma yang spesifik umumnya menolong klinisi

untuk menentukan tingkat keparahan dari cedera pergelangan kaki dan pola

fraktur yang mungkin terjadi (sesuai klasifikasi Laugen-Hansen), namun

seringkali pasien tidak ingat posisi kaki dan arah dari deforming energy.

Kadangkala pasien menyatakan adanya deformitas pada kakinya yang kembali

baik atau lebih baik ketika dalam perjalanan menuju rumah sakit. Pada

pemeriksaan harus dilihat apakah terdapat ekimosis (hematom), deformitas

(displacement ke lateral, medial, atau posterior), pembengkakan, luka terbuka

(kemungkinan terjadinya fraktur terbuka atau minimal dapat memberikan

gambaran daerah kemungkinan terjadinya fraktur), nyeri tekan tulang pada

malleolus medial atau lateral (pada daerah distal tibia dan fibula), dan

pemeriksaan neurovaskular distal (palpasi arteri dorsalis pedis, tibialis posterior,

7
dan capillary refill time  serta pemeriksaan motorik) untuk menentukan ada-

tidaknya cedera neurovaskular yang terasosiasi dengan fraktur tersebut (Marsh,

2010).

2.1.6 Terapi

Tatalaksana dari fraktur pergelangan kaki sangat tergantung dari tingkat

kestabilannya. Secara umum fraktur tanpa dislokasi (dan subluksasi) dan stabil

dapat ditangani secara konservatif sedangkan yang tidak stabil membutuhkan

penanganan operatif. Pada bagian tatalaksana ini, akan dijelaskan tipe penanganan

berdasarkan ada atau tidaknya displacement  pada fraktur pergelangan kaki  dan

berdasarkan klasifikasi Danis-Weber (Bowyer, 2010).

a. Fraktur Danis-Weber Tipe A

Fraktur undisplaced Weber tipe A adalah fraktur yang stabil dan hanya

membutuhkan splinting yang minimal (menggunakan elastic verband) sampai

fraktur sembuh (terapi konservatif). Walking boot dapat digunakan untuk

mengurangi nyeri selama mobilisasi. Penggunaan ankle support seperti walking

boot dan brace dapat digunakan selama 4-6 minggu dan weight bearing dapat

dimulai setelah gejala membaik. Apabila ditemukan adanya fraktur pada

malleolus medial, umumnya cedera tidak stabil, dan membutuhkan open

reduction internal fixation. Penggunaan fiksasi interna pada malleolus medial

dengan satu atau dua screw hampir parallel dengan sendi pergelangan kaki

direkomendasikan, sedangkan fraktur malleolus lateral difiksasi

dengan plate and screw atau tension-band wiring (Bowyer,2010).

b. Fraktur Danis-Weber Tipe B

Fraktur Danis-Weber Tipe B yang undisplaced memiliki potensi tidak

stabil apabila terdapat robekan dari tibiofibular ligamen atau adanya cedera pada

8
daerah medial (fraktur malleolus medial atau robekan ligamen deltoid). Apabila

stabil, dapat dilakukan terapi konservatif dengan penggunaan gips selama 6-8

minggu. Fraktur Pola fraktur Danis-Weber Tipe B yang displaced umumnya yaitu

fraktur spiral fibula disertai fraktur oblik dari malleolus medial yang disebabkan

oleh supinasi-eksternal rotasi (SER). Walaupun penggunaan  close

reduction dengan penggunaan gips dapat dilakukan, namun cedera ini lebih umum

ditangani dengan open reduction internal fixation (Bowyer,2010).

c. Fraktur Danis-Weber Tipe C

Fraktur Danis-Weber Tipe C yang undisplaced  seringkali menipu dan

ternyata diikuti dengan adanya disrupsi pada struktur medial dari sendi,

sindesmosis tibiofibular, dan interosseous membrane. Hampir seluruh fraktur

Danis-Weber tipe C tidak stabil, oleh karena itu fraktur ini umumnya ditangani

dengan open reduction internal fixation. Langkah awal adalah mereduksi fibula

dan distabilisasi dengan plate and screw, kemudian (apabila terdapat fraktur

malleolus medial) malleolus medial juga difiksasi dengan screw. Sindesmosis

diperiksa dengan cara menggunakan hook untuk menarik fibula ke arah lateral,

apabila terjadi robekan ligamen maka sendi ankle akan membuka. Sindesmosis

distabilisasi dengan menggunakan screw seperti dijelaskan sebelumnya (dengan

keadaan dorsifleksi 10o ketika screw dimasukan) (Bowyer,2010).

2.2 Diabetes Melitus

2.2.1 Definisi

Diabetes melitus adalah suatu keadaan kelebihan kadar glukosa dalam

tubuh disertai dengan kelainan metabolik akibat gangguan hormonal dan dapat

9
menimbulkan berbagai komplikasi kronik. Diabetes melitus juga merupakan

penyakit yang menahun atau tidak dapat disembuhkan (Mansjoer, dkk., 2000).

Diabetes Melitus (DM) atau yang lebih dikenal masyarakat dengan

penyakit kencing manis adalah salah satu penyakit degeneratif yang mendapat

perhatian khusus dunia medis. World Health Organization (WHO)

mengestimasikan bahwa lebih dari 346 juta orang di seluruh dunia menderita DM.

Jumlah ini kemungkinan akan meningkat lebih dari dua kali lipat pada tahun 2030

tanpa intervensi apapun (Shrivastava, 2013).

Menurut Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (2011), seseorang dapat

didiagnosa diabetes melitus apabila mempunyai gejala klasik diabetes melitus

seperti poliuria, polidipsi dan polifagi serta dengan kadar gula darah sewaktu

≥200 mg/dl dan gula darah puasa ≥126mg/dl.

2.2.2 Klasifikasi Diabetes Melitus

American Diabetes Association (ADA) mengklasifikasikan DM berdasarkan

etiologinya menjadi empat tipe:

a. Diabetes melitus tipe 1

Terjadinya DM tipe 1 diakibatkan karena kerusakan sel beta pankreas

yang menyebabkan kekurangan insulin absolut. Kerusakan sel beta pankreas dapat

disebabkan oleh sistem imun (immune-mediated diabetes). Diabetes melitus yang

dipengaruhi oleh sistem imun dikenal dengan istilah Insulin Dependent Diabetes

Melitus (IDDM). DM ini terjadi pada 5-10 % dari kasus DM. Immune-mediated

diabetes biasanya terjadi pada masa kanak-kanak dan remaja, tetapi tidak menutup

kemungkinan terjadi pada berbagai tingkat usia. Penderita juga rentan terhadap

gangguan autoimun lain seperti Grave’s disease, tiroiditis Hashimoto, dan

Addison’s disease (ADA, 2010).

10
b. Diabetes melitus tipe 2

DM tipe 2 atau yang dikenal dengan Non Insulin Dependent Diabetes

Melitus (NIDDM) terjadi pada 90-95% kasus diabetes dan ditandai dengan

resistensi insulin ataupun defisiensi insulin. Sebagian besar pasien DM tipe 2

mengalami obesitas yang akan memicu resistensi insulin. DM tipe ini sering kali

tidak terdiagnosis selama bertahun-tahun karena hiperglikemia berkembang secara

bertahap dan dalam tahap awal gejala yang ditimbulkan tidak cukup berat

dirasakan oleh pasien sehingga pasien kurang peka terhadap kemungkinan

terjadinya diabetes (ADA, 2010).

c. Diabetes melitus tipe spesifik

Beberapa kasus diabetes terkait dengan penurunan fungsi sel beta. Tipe

diabetes ini dikarakterisasi dengan onset hiperglikemia pada usia dini (kurang dari

25 tahun). Beberapa penyebab DM tipe spesifik diantaranya:

1. Penyakit pankreas eksokrin

Gangguan pada pankreas dapat menjadi penyebab terjadinya diabetes,

misalnya pankreatitis, trauma, infeksi, pankreatektomi, dan kanker

pankreas (ADA, 2010).

2. Paparan kimia atau obat

Obat atau senyawa kimia dapat menyebabkan diabetes pada individu

yang mengalami resistensi insulin. Contoh obat dan senyawa kimia yang

menginduksi DM antara lain glukokortikoid, agonis β-adrenergik, thiazid,

asam nikotinik (ADA, 2010).

d. Diabetes melitus gestasional

11
Diabetes melitus gestasional didefinisikan sebagai intoleransi glukosa

dimana onset atau deteksi awal terjadinya DM pada masa kehamilan. Sebanyak

7% dari seluruh kehamilan terjadi komplikasi DM gestasional (ADA, 2010).

2.2.3 Etiologi

Dokter dan para ahli belum mengetahui secara pasti penyebab diabetes

melitus tipe I, namun yang pasti penyebab utamanya adalah faktor genetik atau

ketururnan oleh orangtua kepada anak. beberapa faktor pendukung yang lain di

lingkungan dapat memicu sistem imun untuk mengganggu produksi hormon

insulin.

Menurut Smeltzer dan Bare (2001) DM tipe II disebabkan sel β tidak

cukup menghasilkan insulin dan resisten insulin. Resisten insulin adalah turunnya

kemampuan insulin untuk merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan perifer

dan untuk menghambat produksi glukosa oleh hati. Sel β tidak mampu

mengimbangi resistensi insulin ini sepenuhnya, artinya terjadi defisiensi relatif

insulin. Ketidakmampuan ini terlihat dari berkurangnya sekresi insulin pada

rangsangan glukosa, maupun pada rangsangan glukosa bersama bahan perangsang

sekresi insulin lain. Dengan demikian, sel β pankreas mengalami desensitisasi

terhadap glukosa.

2.2.4 Faktor Resiko

Diabetes melitus tipe I tidak bisa menular melainkan diturunkan oleh

orangtua kepada anak. Anggota keluarga yang menderita DM tipe I memiliki

kemungkinan lebih besar terserang DM dibandingkan dengan keluarga yang tidak

pernah terserang DM.

12
Diabetes melitus tipe II lebih banyak dijumpai di Indonesia. Faktor risiko

diabetes melitus tipe II antara lain gaya hidup, usia, ras atau suku bangsa, riwayat

keluarga dengan diabetes melitus tipe II dan obesitas (Soegondo, 2005).

a. Gaya Hidup

Gaya hidup menjadi salah satu penyebab utama terjadinya diabetes

melitus. Diet dan olahraga yang tidak baik berperan besar terhadap timbulnya

diabetes melitus yang dihubungkan dengan minimnya aktivitas sehingga

meningkatkan jumlah kalori dalam tubuh.

b. Usia

Peningkatan usia juga merupakan salah satu faktor risiko yang penting.

Kadar gula darah yang normal cenderung meningkat secara ringan tetapi progresif

setelah usia 50 tahun, terutama pada orang-orang yang tidak aktif.

c. Ras atau suku bangsa

Suku bangsa Amerika Afrika, Amerika Meksiko, Indian Amerika, Hawai,

dan sebagian Amerika Asia memiliki resiko diabetes dan penyakit jantung yang

lebih tinggi. Hal itu sebagian disebabkan oleh tingginya angka tekanan darah

tinggi, obesitas, dan diabetes pada populasi tersebut.

d. Riwayat keluarga

Meskipun penyakit ini terjadi dalam keluarga, cara pewarisan tidak

diketahui kecuali untuk jenis yang dikenal sebagai diabetes pada usia muda

dengan dewasa. Jika terdapat salah seorang anggota keluarga yang menyandang

diabetes maka kesempatan untuk menyandang diabetes akan meningkat. Ada

empat bukti yang menunjukkan transmisi penyakit sebagai ciri dominal

autosomal. Pertama transmisi langsung tiga generasi terlihat pada lebih dari 20

keluarga. Kedua didapatkan perbandingan anak diabetes dan tidak diabetes 1:1

13
jika satu orang tua menderita diabetes. Pengaruh genetik sangat kuat, karena

angka konkordansi diabetes tipe 2 pada kembar monozigot mencapai 100%.

Risiko keturunan dan saudara kandung pasien penderita NIDDM lebih tinggi

dibanding diabetes tipe I. Hampir empat persepuluh saudara kandung dan

sepertiga keturunan akhirnya mengalami toleransi glukosa abnormal atau diabetes

yang jelas.

e. Obesitas

Overweight atau obesitas erat hubungannya dengan peningkatan risiko

sejumlah komplikasi yang dapat terjadi sendiri-sendiri atau secara bersamaan.

Seperti yang telah disebutkan di awal, komorbiditas itu dapat berupa hipertensi,

dislipidemia, stroke, diabetes tipe II, disfungsi pernafasan, gout, osteoartritis dan

jenis kanker tertentu. Penyakit kronik yang paling sering menyertai obesitas

adalah DM tipe II, hipertensi dan hiperkolesterolemia. NHANES III menyebutkan

bahwa kurang lebih 12% orang dengan BMI 27 menderita diabetes tipe II.

2.2.5 Patofisiologi

Insulin adalah suatu zat atau hormon yang dikeluarkan oleh sel β pankreas.

Insulin yang dikeluarkan oleh sel β ini dapat diibaratkan sebagai anak kunci yang

dapat membuka pintu masuknya glukosa kedalam sel, untuk kemudian di dalam

sel glukosa itu dimetabolismekan menjadi energi. Bila insulin tidak ada, maka

glukosa akan tetap berada dalam pembuluh darah yang artinya kadarnya di dalam

darah meningkat. Dalam keadaan seperti ini badan akan lemah karena tidak ada

sumber energi (Soegondo, 2005).

Penyebab resistensi insulin pada DM tipe II sebenarnya tidak begitu jelas,

tetapi faktor-faktor risiko seperti yang dijelaskan sebelumnya diduga berperan

14
penting terjadinya resistensi insulin. Pada DM tipe II jumlah sel β berkurang

sampai 50-60% dari normal dan jumlah sel alfa meningkat (Soegondo, 2005).

2.2.6 Kriteria Diagnostik Diabetes Mellitus

1. Gejala klasik DM + Glukosa plasma sewaktu ≥ 200mg/dl

2. Gejala klasik DM + Glukosa plasma puasa ≥ 126 mg/dl atau

3. Glukosa plasma 2 jam pada TTGO (Test Toleransi Glukosa Oral) ≥ 200

mg dl, menggunakan beban glukosa 75 g anhidrus yang dilarutkan dalam

air (Perkeni, 2015).

2.2.7 Terapi Diabetes Melitus

Gambar 2.1 Algoritma pengelolaan DM tipe 2 (Seogondo, 2005).

Terapi diabetes mellitus (DM) terdiri dari:

a. Terapi Antidiabetes Oral

Ada lima golongan terapi antidiabetes oral, yaitu:

1. Sulfonilurea

15
Golongan obat ini sering disebut sebagai insulin secretagogues, kerjanya

merangsang sekresi insulin dari granul sel-sel β langerhans pankreas. Pada

penggunaan dosis yang besar menyebabkan hipoglikemia. Dikenal ada 2 generasi,

generasi pertama yaitu tolbutamid, tolazamid, asetoheksimid, dan klorpropamid.

Generasi kedua yang potensi hipoglikemik lebih besar yaitu gliburid /

glibenklamid, glipizid, glimepirid. Karena sulfonilurea dimetabolisme di hepar

dan diekskresi melalui ginjal, sediaan ini tidak boleh diberikan pada pasien

gangguan fungsi hepar atau ginjal yang berat. Sulfonilurea tidak boleh diberikan

sebagai obat tunggal pada pasien DM juvenile, pasien yang kebutuhan insulinnya

tidak stabil, DM berat, DM dengan kehamilan dan keadaan gawat (Suharti dkk,

2007).

2. Meglitinid

Repaglinid dan nateglinid merupakan golongan meglitinid, mekanisme

kerjanya sama dengan sulfonilurea tetapi struktur kimianya sangat berbeda.

Golongan ini merangsang insulin dengan menutup kanal K yang ATP-

Independent di sel β pankreas. Pada pemberian oral absorbsinya cepat dengan

kadar puncaknya dicapai dalam waktu 1 jam. Masa paruhnya 1 jam, karenanya

harus diberikan beberapa kali sehari, sebelum makan. Metabolisme utamanya di

hepar dan metabolitnya tidak aktif. Sekitar 10% dimetabolisme di ginjal. Pada

pasien dengan gangguan fungsi hepar atau ginjal harus diberikan secara hati-hati.

Efek samping utamanya hipoglikemia dan gangguan saluran cerna. Reaksi alergi

juga pernah dilaporkan (Suharti dkk, 2007).

3. Biguanida

Fenformin, buformin dan metformin merupakan golongan biguanida,

tetapi yang pertama telah ditarik karena sering menyebabkan asidosis laktat.

16
Sekarang yang banyak digunakan adalah metformin. Metformin menurunkan

produksi glukosa di hepar dan meningkatkan sensitivitas jaringan otot dan adiposa

terhadap insulin. Pasien DM yang tidak memberikan respon dengan sulfonilurea

dapat di atasi dengan metformin atau dapat pula diberikan sebagai terapi

kombinasi dengan insulin atau sulfonilurea. Hampir 20% pasien dengan

metformin mengalami mual, muntah, dan diare, tetapi dengan menurunkan dosis

keluhan-keluhan tersebut segera hilang (Suharti dkk, 2007).

4. Tiazolidinedion

Tiazolidinedion dapat mengurangi resistensi insulin. Pioglitazon dan

rosiglitazon dapat menurunkan HbA1c (1,0-1,5%) dan cenderung meningkatkan

HDL, sedangkan efeknya pada trigliserida dan LDL bervariasi. Efek sampingnya

antara lain peningkatan berat badan, edema, menambah volume plasma dan

memperburuk gagal jantung kongestif. Edema sering terjadi pada penggunaannya

bersama insulin (Suharti dkk, 2007).

5. Penghambat Enzim α-Glukosidase

Golongan ini dapat memperlambat absorpsi polisakarida, dekstrin, dan

disakarida di intestin. Dengan menghambat kerja enzim α-glukosidase dapat

mencegah peningkatan glukosa plasma pada orang normal dan pasien DM.

Akarbose merupakan obat golongan ini, karena kerjanya tidak mempengaruhi

sekresi insulin, maka tidak akan menyebabkan efek samping hipoglikemia.

Akarbose dapat digunakan sebagai monoterapi pada DM usia lanjut atau DM yang

glukosa postprandialnya sangat tinggi (Suharti dkk, 2007).

6. Inkretin Mimetik dan Penghambat DPP-4

Golongan ini bekerja sebagai perangsang pengelepasan insulin tanpa

menimbulkan hipoglikemia dan menghambat pengelepasan glucagon. Tidak

17
meningkatkan berat badan. Efek samping antara lain gangguan saluran cerna

seperti mual dan muntah (Suharti dkk, 2007).

b. Terapi Insulin

Preparat insulin dapat dibedakan berdasarkan lama kerja yaitu insulin kerja

cepat, kerja sedang, dan kerja panjang (Suharti dkk, 2007).

2.3 Tinjauan Umum Obat

2.3.1 IVFD NaCl 0,9%

Infus NaCl merupakan cairan infus yang mengandung elektrolit elektrolit

yang merupakan bahan utama dalam terapi penggantian elektrolit atau terapi yang

penting untuk menjaga keseimbangan cairan dan elektrolit tubuh (Dianne, 2005).

2.3.2 Meropenem

Antibiotik ini diindikasikan pada pasien dengan infeksi berat oleh kuman

gram negatif yang resisten terhadap antibiotik turunan penisilin dan sefalosporin

generasi ketiga serta resisten terhadap bakteri yang memproduksi extended

spectrum beta lactamase (ESBL). Antibiotik ini dikontraindikasikan pada pasien

dengan gangguan fungsi ginjal dan riwayat kejang. Dosis yang diberikan untuk

infeksi standar adalah IV 20 mg/kgBB/dosis, sedangkan untuk infeksi berat

adalah IV 40 mg/kgBB/dosis pada meningitis yang disebabkan Pseusomonas sp

(IDAI, 2012).

2.3.3 Ketorolak

Ketorolak adalah obat dengan fungsi mengatasi nyeri sedang hingga nyeri

berat untuk sementara. Biasanya obat ini digunakan sebelum atau sesudah

prosedur medis, atau setelah operasi. Ketorolak adalah golongan obat

nonsteroidal anti-inflammatory drug (NSAID) yang bekerja dengan memblok

produksi substansi alami tubuh yang menyebabkan inflamasi. Efek ini membantu

18
mengurangi bengkak, nyeri, atau demam. Ketorolak tidak boleh digunakan untuk

nyeri ringan atau kondisi nyeri jangka panjang (seperti radang sendi). Indikasi

penggunan ketorolak adalah untuk inflamasi akut dalam jangka waktu

penggunaan maksimal selama 5 hari. Ketorolak selain digunakan sebagai

antiinflamasi juga memiliki efek analgesik yang bisa digunakan sebagai pengganti

morfin pada keadaan pasca operasi ringan dan sedang.

Efeknya menghambat biosintesis prostaglandin. Kerjanya menghambat

siklooksigenase (prostaglandin sintesa). Selain itu juga menghambat tromboksan

A2. Efek sampingnya dapat menyebabkan ulcerasi peptic, pendarahan dan

perlubangan lambung, juga dapat menyebabkan gangguan atau kegagalan depresi

volume pada ginjal (Anonim, 2018).

2.3.4 Ranitidin

Masalah terkait asam lambung yang dapat diobati oleh obat ranitidin

adalah tukak pada lambung dan duodenum (usus 12 jari) dan mencegah, penyakit

gastroesophageal reflux (GERD), gastritis atau sakit maag, perut kembung, sering

bersendawa dan sebagainya. Tidak hanya mengurangi gejala yang muncul tetapi

juga berfungsi mencegah timbulnya kembali gejala-gejala asam lambung.

Mengobati ulkus lambung dan duodenum. Melindungi lambung dan duodenum

agar tidak sampai teradi ulkus Mengobati masalah yang disebabkan oleh asam

pada kerongkongan, contohnya pada GERD Mencegah tukak lambung agar tidak

berdarah.. Digunakan sebelum operasi bedah, supaya asam datang tidak tinggi

selama pasien tidak sadar (Anonim, 2018).

2.3.5 Novorapid (Insulin aspart)

Novorapid termasuk insulin kerja sangat cepat. Insulin kerja sangat cepat

memiliki onset kerja dan puncak kerja yang memungkinkan terpai insulin yang

19
menyerupai fisiologi sekresi insulin post-prandial. Insulin kerja sangat cepat dapat

digunakan sesaat sebelum pasien makan. Durasi kerja insulin kerja sangat cepat

tidak lebih dari 4-5 jam, dengan demikian memiliki risiko hipoglikemik pasca

makan (late postmeal hypoglycemia) yang lebih kecil (Nolte, 2009).

2.3.6 Levemir (Insulin detemir)

Insulin detemir adalah insulin kerja panjang yang tidak memliki puncak

masa kerja (peakless). Insulin detemir memiliki onset kerja yang lambat (1-1,5

jam) dan mencapai kerja maksimum dalam 4-6 jam. Kerja maksimum bertahan

selama 11-24 jam. Detemir diberikan dalam suntikan sekali sehari, atau dapat

dibagi dalam 2 dosis untuk pasien dengan resistensi insulin ataupun

hipersensitivitas terhadap insulin (Nolte, 2009).

2.3.7 Dulcolax Supp (Bisakodil)

Bisakodil merupakan obat derivat difenilmetan yang bekerja dengan cara

merangsang sekresi cairan dan saraf pada mukosa kolon sehingga terjadi

pergerakan usus (peristaltik) dalam waktu 6-12 jam setelah diminum atau 15-60

menit setelah diberikan melal rektal (Medscape, 2018).

Dulcolax mengandung bisakodil yaitu laksatif yang bekerja lokal sebagai

laksatif perangsang. Bisakodil mengiritasi otot polos usus sehingga merangsang

gerakan peristaltik usus. (Anonim, 2018).

Bisakodil diindikasikan untuk pengobatan konstipasi, persiapan prosedur

diagnostik terapi sebelum dan sesudah operasi, mempercepat defekasi (ISO,

2016).

20

Anda mungkin juga menyukai