Anda di halaman 1dari 54

Laporan Kasus

Guillain-Barré Syndrome

Oleh:

Wahyu Sandika Putra, S. Ked

1930912310037

Pembimbing:
dr. Fakhrurrazy, M.Kes, Sp.S

DEPARTEMEN/KSM NEUROLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN ULM/RSUD ULIN
BANJARMASIN
Juni, 2021

0
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL.............................................................................................. i

DAFTAR ISI..........................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN.......................................................................................1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi....................................................................................................3

B. Epidemiologi...........................................................................................3

C. Etiologi....................................................................................................3

D. Klasifikasi................................................................................................4

E. Faktor Risiko...........................................................................................5

F. Patogenesis..............................................................................................5

G. Manifestasi Klinis...................................................................................7

H. Diagnosis...............................................................................................11

I. Penatalaksanaan....................................................................................15

J. Komplikasi............................................................................................19

K. Prognosis...............................................................................................19

BAB III LAPORAN KASUS..............................................................................20

BAB IV PEMBAHASAN....................................................................................44

BAB V PENUTUP...............................................................................................51

DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................52

ii
BAB I

PENDAHULUAN

Guillain–Barré syndrome (GBS) merupakan sekumpulan gejala dengan

onset akut yang merupakan penyakit yang diperantarai oleh sistem kekebalan

tubuh yang menyerang sistem saraf perifer. Penyakit ini terdapat di seluruh dunia

pada setiap musim dan dapat menyerang semua umur. Angka kejadian tahunan

keseluruhan GBS di Amerika Serikat adalah 1,65-1,79 per 100.000 orang dengan

rasio kejadian pada laki-lakidan wanita 3 : 2. Beberapa infeksi terlibat dalam

perkembangan GBS. Sekitar dua-pertiga dari pasien dengan infeksi saluran napas

atau gejala gastrointestinal telah dilaporkan dalam tiga minggu sebelum timbulnya

gejala GBS. Bukti yang paling kuat adalah pada infeksi Campylobacter jejuni,

namun GBS juga dilaporkan pada infeksi berikut yaitu Mycoplasma pneumoniae,

Haemophilus influenzae, cytomegalovirus, dan Epstein-Barr.1

Guillain–Barré syndrome menyebabkan paralisis akut yang dimulai

dengan rasa baal, parestesia pada bagian distal dan diikuti secara cepat oleh

paralisis ke empat ekstremitas yang bersifat ascendens. Parestesia ini biasanya

bersifat bilateral. Refleks fisiologis akan menurun dan kemudian menghilang

sama sekali.2

Kerusakan saraf motorik biasanya dimulai dari ekstremitas bawah dan

menyebar secara progresif, dalam hitungan jam, hari maupun minggu ke

ekstremitas atas, tubuh dan saraf pusat. Kerusakan saraf sensoris yang terjadi

kurang signifikan dibandingkan dengan kelemahan pada otot. Saraf yang diserang

1
2

biasanya proprioseptif dan sensasi getar. Gejala yang dirasakan penderita biasanya

berupa parestesia dan disestesia pada ekstremitas bawah.3

Rasa sakit dan kram juga dapat menyertai terutama pada anak anak. Rasa

sakit ini biasanya merupakan manifestasi awal pada lebih dari 50% anak - anak

yang dapat menyebabkan kesalahan dalam mendiagnosis. Di samping itu,

kelainan saraf otonom tidak jarang terjadi dan dapat menimbulkan kematian.

Kelainan ini dapat menimbulkan takikardi, hipotensi atau hipertensi, aritmia

bahkan cardiac arrest, facial flushing, sfingter yang tidak terkontrol, dan kelainan

dalam berkeringat. Hipertensi terjadi pada 10 – 30 % pasien sedangkan aritmia

terjadi pada 30% dari pasien.4

Pada laporan kasus kali ini akan dibahas mengenai Guillain–Barré

syndrome pada pasien laki-laki yang dirawat di bangsal saraf RSUD Ulin

Banjarmasin.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Guillain–Barré syndrome (GBS) adalah sekumpulan gejala yang merupakan

suatu kelainan sistem kekebalan tubuh manusia yang menyerang bagian dari

susunan saraf tepi dirinya sendiri dengan karakterisasi berupa kelemahan atau

arefleksia dari saraf motorik yang sifatnya progresif.1

B. Etiologi

Pada sebagian besar kejadian Sindrom Guillain Barre, terdapat infeksi yang

mendahului beberapa minggu sebelumnya. Infeksi pada saluran pernafasan dan

saluran pencernaan adalah yang paling sering ditemui. Organisme yang paling

sering adalah Campylobacter jejuni,diikuti oleh Cytomegalovirus dan Epstein-

Barr Virus. Penyebab lain yang lebih jarang adalah HIV, Mycoplasma

pneumonia, dan varicella-zoster.2

C. Epidemiologi

Guillain-Barré syndrome (GBS) adalah penyakit pada sistem saraf tepi yang

insidensinya langka. Berdasarkan ringkasan dari American Academy of

Neurology (AAN) guideline on Guillain-Barré syndrome, GBS terjadi pada 1

sampai 4 penderita per 100.000 populasi di seluruh dunia per tahunnya,

menyebabkan 25% penderita gagal napas sehingga membutuhkan ventil ator, 4%-

15% kematian, 20% kecacatan, dan kelemahan persisten pada 67% penderita.

GBS dapat diderita baik pria maupun wanita, berbagai usia, dan tidak dipengaruhi

3
4

oleh ras. Akan tetapi, kejadian GBS sebelumnya menunjukkan bahwa penderita

pria lebih banyak 1,5 kali dibanding wanita, lebih sering terjadi pada pria

berwarna kulit putih, dan angka insiden tertinggi pada usia sekitar 30-50 tahun

(usia produktif).3,4

D. Klasifikasi

Guillain-Barré syndrome ini memiliki beberapa subtipe yaitu:5,6

1. Acute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy (AIDP) dengan

patologi klinis demielinisasi perifer multifaktoral yang dapat dipengaruhi

baik oleh mekanisme humoral ataupun imun seluler. Gejalanya bersifat

progresif dengan kelemahan tubuh yang simetris dan terdapat hiporefleksia

atau arefleksia.

2. Acute motor axonal neuropathy (AMAN) disebabkan oleh adanya antibodi

yang terbentuk dalam tubuh yang melawan gangliosida GM1, GD1a,

GalNAc-GD1a, dan GD1b pada akson saraf motorik perifer tanpa disertai

adanya proses demielinisasi. Berhubungan dengan infeksi Campylobacter

jejuni yang biasanya terjadi pada musim panas pada pasien muda.

3. Acute motor-sensory axonal neuropathy (AMSAN) memiliki mekanisme

yang sama dengan AMAN tetapi terdapat proses degenerasi aksonal

sensoris, sehingga pada kasus ini sering ditemukan gangguan pada sensoris.

4. Miller Fisher syndrome (MFS) terjadi proses demielinisasi, dimana antibodi

imunoglobulin G merusak gangliosida GQ1b, GD3, dan GT1a. Miller

Fisher syndrome merupakan kasus yang jarang terjadi, yang memiliki gejala

yang khas berupa oftalmoplegi bilateral, ataksia dan arefleksia. Selain itu
5

juga terdapat kelemahan pada wajah, bulbar, badan, dan ekstremitas yang

terjadi pada 50% kasus.

5. Acute autonomic neuropathy, mekanisme terjadinya belum jelas dimana

kasus ini sangat jarang terjadi. Gejalanya berupa gejala otonom khususnya

pada kardiovaskuler dan visual, kehilangan sensoris juga terjadi pada kasus

ini.

E. Faktor Resiko

Terdapat banyak faktor yang dapat meningkatkan risiko seseorang

mengalami penyakit ini, antara lain:6

1. Usia. Pada orang dengan usia lanjut lebih berisiko terkena penyakit ini.

2. Jenis kelamin. Pria lebih berisiko daripada wanita.

3. Mengalami Infeksi pernapasan atau pencernaan lainnya seperti flu,

gangguan pencernaan, dan radang paru-paru.

4. Mengidap infeksi HIV/AIDS.

5. Infeksi mononuklear.

6. Systemic Lupus Erythematosus (SLE).

7. Limfoma Hodgkin.

8. Pernah menjalankan operasi atau melakukan suntikan.

F. Patogenesis

Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang

mencetus terjadinya demielinisasi akut pada Sindrom Guillain Barre masih belum

diketahui dengan pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf
6

yang terjadi pada sindroma ini adalah melalui mekanisme imunlogi. Bukti- bukti

bahwa imunopatogenesa merupakan mekanisme yang menimbulkan jejas saraf

tepi pada sindroma ini adalah:7

1. Didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler

(celi mediated immunity) terhadap agen infeksious pada saraf tepi.

2. Adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi

3. Didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran

pada pembuluh darah saraf tepi yang menimbulkan proses demyelinisasi

saraf tepi.

Proses demyelinisasi saraf tepi pada Sindrom Guillain Barre dipengaruhi

oleh respon imunitas seluler dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai

peristiwa sebelumnya, yang paling sering adalah infeksi virus. Dalam sistem

kekebalan seluler, sel limfosit T memegang peranan penting disamping peran

makrofag. Prekursor sel limfosit berasal dari sumsum tulang (bone marrow)

steam cell yang mengalami pendewasaan sebelum dilepaskan kedalam

jaringan limfoid dan peredaran. Sebelum respon imunitas seluler ini terjadi

pada saraf tepi antigen harus dikenalkan pada limposit T (CD4) melalui

makrofag. Makrofag yang telah menelan (fagositosis) antigen/terangsang oleh

virus, allergen atau bahan imunogen lain akan memproses antigen tersebut

oleh penyaji antigen (antigen presenting cell= APC). Kemudian antigen

tersebut akan dikenalkan pada limfosit T (CD4). Setelah itu limfosit T

tersebut menjadi aktif karena aktivasi marker dan pelepasan substansi

interlekuin (IL2), gamma interferon serta alfa TNF. Kelarutan E selectin dan

adesi molekul (ICAM) yang dihasilkan oleh aktifasi sel endothelial akan
7

berperan dalam membuka sawar darah saraf, untuk mengaktifkan sel limfosit

T dan pengambilan makrofag. Makrofag akan mensekresikan protease yang

dapat merusak protein myelin disamping menghasilkan TNF dan komplemen.7,8

Pada pemeriksaan makroskopis tidak tampak jelas gambaran

pembengkakan saraf tepi. Dengan mikroskop sinar tampak perubahan pada saraf

tepi. Perubahan pertama berupa edema yang terjadi pada hari ke tiga atau ke

empat, kemudian timbul pembengkakan dan iregularitas selubung myelin pada

hari ke lima, terlihat beberapa limfosit pada hari ke sembilan dan makrofag pada

hari ke sebelas, poliferasi sel schwan pada hari ke tigabelas. Perubahan pada

myelin, akson, dan selubung schwan berjalan secara progresif, sehingga pada hari

ke enampuluh enam, sebagian radiks dan saraf tepi telah hancur. Asbury dkk

mengemukakan bahwa perubahan pertama yang terjadi adalah infiltrasi sel

limfosit yang ekstravasasi dari pembuluh darah kecil pada endo dan epineural.

Keadaan ini segera diikuti demyelinisasi segmental. Bila peradangannya berat

akan berkembang menjadi degenerasi Wallerian. Kerusakan myelin disebabkan

makrofag yang menembus membran basalis dan melepaskan selubung myelin dari

sel schwan dan akson.7

G. Manifestasi Klinis

Manifetasi klinis GBS tergantung pada lokasi dan keparahan inflamasi yang

terjadi. GBS dapat menimbulkan gejala-gejala di daerah multifokal dari infiltrasi

sel monuklear pada saraf perifer. Pada subtipe AIDP (Acute inflammatory

demyelinating polyradiculopathy), mielin lebih dominan mengalami kerusakan,

sedangkan pada AMAN (Acute motor axonal neuropathy), nodus ranvier

merupakan target inflamasi.8


8

Guillain–Barré syndrome menimbulkan paralisis akut yang dimulai dengan

rasa baal, parestesia pada bagian distal dan diikuti secara cepat oleh paralisis ke

empat ekstremitas yang bersifat ascendens. Parestesia ini biasanya bersifat

bilateral. Badan, bulbar, dan otot respirasi mungkin saja terkena. Pasien mungkin

tidak dapat berdiri atau berjalan. Refleks fisiologis akan menurun dan kemudian

menghilang sama sekali.9

Kerusakan saraf motorik biasanya dimulai dari ekstremitas bawah dan

menyebar secara progresif, dalam hitungan jam, hari maupun minggu, ke

ekstremitas atas, tubuh dan saraf pusat. Kerusakan saraf motoris ini bervariasi

pada masing-masing individu, mulai dari kelemahan sampai pada quadriplegia

flaksid.10

Kelemahan lanjut yang dapat terjadi yaitu melibatkan otot-otot respiratorik

dan sekitar 25% pasien yang dirawat membutuhkan ventilasi mekanik. Umumnya,

kegagalan respirasi terjadi pada pasien dengan progresi gejala yang cepat,

kelemahan anggota gerak atas, disfungsi otonom, atau kelumpuhan bulbar.

Kelemahan biasanya mencapai puncak pada minggu kedua, diikuti dengan fase

plateu dengan durasi yang bervariasi sebelum terjadinya resolusi atau stabilisasi

dengan gejala disabilitas sisa. Keterlibatan saraf pusat, muncul pada 50% kasus,

biasanya meliputi kelumpuhan otot fasial, orofaring dan okulomotor. Kerusakan

tersebut dapat menimbulkan gejala berupa disfagia, kesulitan dalam berbicara, dan

yang paling sering (50%) adalah bilateral facial palsy.9,10

Pada GBS juga terjadi kerusakan pada saraf sensoris namun kurang

signifikan dibandingkan dengan kelemahan pada otot. Saraf yang diserang

biasanya proprioseptif dan sensasi getar. Gejala yang dirasakan penderita biasanya
9

berupa parestesia dan disestesia pada ekstremitas distal. Gejala sensoris ini

umumnya ringan, kecuali pada pasien dengan GBS subtipe AMSAN (Acute

motor-sensory axonal neuropathy). Rasa nyeri dan kram juga dapat menyertai

kelemahan otot yang terjadi terutama pada anak. Nyeri dirasakan terutama saat

bergerak terjadi pada 50 – 89% pasien GBS. Nyeri yang dideskripsikan berupa

nyeri berat, dalam, seperti aching atau crampin/kaku pada otot yang terserang,

sering memburuk pada malam hari. Nyeri bersifat nosiseptif dan/atau neuropatik.

Rasa sakit ini biasanya merupakan manifestasi awal pada lebih dari 50% pasien

yang dapat menyebabkan diagnosis GBS menjadi tertunda. Kelainan saraf otonom

tidak jarang terjadi dan dapat menimbulkan kematian. Gejala otonom terjadi pada

dua per tiga pasien dan meliputi instabilitas tekanan darah (hipotensi atau

hipertensi), takikardia, aritmia jantung bahkan cardiac arrest, ortostasis, facial

flushing, retensi urin, gangguan hidrosis dan penurunan motilitas gastrointestinal.

Hipertensi terjadi pada 10–30 % pasien sedangkan aritmia terjadi pada 30 % dari

pasien.10

Gejala-gejala tambahan yang biasanya menyertai GBS adalah kesulitan

untuk mulai BAK, inkontinensia urin dan alvi, konstipasi, kesulitan menelan dan

bernapas, perasaan tidak dapat menarik napas dalam, dan penglihatan kabur

(blurred visions).6

Subtipe Gambaran Patologis Gambaran Klinis


AIDP Demielinisasi perifer  Subtipe yang paling sering
(Acute Inflamatory multifokal, terjadi (lebih dari 90% pasien
Demyelinating remielinisasi yang GBS di Amerika Serikat)
Polyradiculopathy) lambat, mekanisme  Kelumpuhan simetris dan
humoral dan seluler progresif
 Hiporefleksia atau arefleksia
10

AMAN Antibodi  AMAN meliputi sekitar 5-


(Acute Motor antigangliosida GM1, 10% kasus GBS.
Axonal Neuropathy) GD1a, Ga1Nac-GD1a,  Berhubungan erat dengan
GD1b pada aksonsaraf infeksi C.jejuni; lebih sering
motorik perifer; tidak terjadi saat musim panas,
ada demielinisasi pada pasien-pasien muda dan
China atau Jepang.
 Kelemahan tungkai dan
lengan yang bersifat simetris,
onset akut/subakut
 Hanya gejala motorik yang
hilang
 Refleks tendon dalam dapat
tidak muncul (arefleksia
difus)
 Kelemahan otot orofaringeal
dan fasial
 Insufisiensi respirasi
AMSAN Mekanisme menyerupai  Quadriparesis akut
(Acute Motor- neuropati  Arefleksia (kehilangan
Sensory Axonal axonalmotorik akut, refleks)
Neuropathy) namun dengan  Kehilangan fungsi sensoris
degenerasi aksonal bagian distal (lebih
sensorik. mendominasi dibandingkan
AMAN)
 Insufisiensi respirasi
Miller Fisher Demielinisasi, antibodi  Jarang (3% GBS di Amerika
Syndrome IgG melawan serikat)
gangliosida GQ1b,  Optalmoplegi bilateral
GD3, dan GT1a  Ataksia
 Arefleksia
 Kelemahan fasial, bulbar
11

(50% kasus)
 Kelemahan badan dan
ekstremitas (50% kasus)
Acute Autonomic Mekanisme tidak jelas  Subtipe yang paling jarang
Neuropathy  Gejala otonomik, terutama
kardiovaskuler dan visual
 Hilangnya sensoris
 Penyembuhan lama, dapat
inkomplit

H. Diagnosis

Diagnosis Sindrom Guillain Barre sebagian besar bergantung pada

gambaran klinis (paresis progresif ekstremitas bawah dan atas, kehilangan

sensasi, keterlibatan saraf kranial, terutama wajah, disfungsi otonom). analisis

cairan serebrospinal (peningkatan konsentrasi protein, peningkatan jumlah

leukosit mononuklear yang tidak melebihi 10 sel dalam 1 mm3), studi

elektrofisiologi (penurunan kecepatan konduksi pada motorik dan serabut

sensorik, serta perpanjangan latensi distal yang signifikan, dan adanya blok

konduksi- informatif tentang kerusakan saraf demielinasi). Sindrom Guillain

Barre harus dibedakan dari penyakit dan gangguan lain yang menyebabkan

kelemahan otot akut misalnya: myasthenia, paralisis periodik, myelitis transversa,

poliomyelitis, peradangan batang otak, porfiria dan neuropati lainnya.8

Pada pemeriksaan neurologis ditemukan adanya kelemahan otot yang

bersifat difus dan paralisis. Refleks tendon akan menurun atau bahkan

menghilang. Batuk yang lemah dan aspirasi mengindikasikan adanya kelemahan

pada otot otot interkostal. Tanda rangsang meningeal seperti tanda kernig dan
12

kaku kuduk mungkin dapat ditemukan. Refleks patologis seperti refleks Babinski

umumnya negatif.8,9

Pada pemeriksaan laboratorium, ditemukan laju endap darah (LED) hasil

umumnya normal atau sedikit meningkat, leukosit umumnya dalam batas normal,

haemoglobin dalam batas normal, pada darah tepi didapati leukositosis

polimorfonuklear sedang dengan pergeseran ke bentuk yang imatur, limfosit

cenderung rendah selama fase awal dan fase aktif penyakit. Pada fase lanjut, dapat

terjadi limfositosis; eosinofilia jarang ditemui. Dapat dijumpai respon

hipersensitivitas antibodi tipe lambat, dengan peningkatan immunoglobulin IgG,

IgA, dan IgM, akibat demielinasi saraf pada kultur jaringan.8

Pada pemeriksaan cairan serebrospinal paling khas ditemukan adanya

kenaikan kadar protein (1-1,5 g/dl) tanpa diikuti kenaikan jumlah sel. Keadaan ini

oleh Guillain, 1961, disebut sebagai disosiasi sitoalbumik. Disosiasi

sitoalbuminik, yakni meningkatnya jumlah protein tanpa disertai adanya

pleositosis. Pada kebanyakan kasus, pada hari pertama jumlah total protein CSS

normal; setelah beberapa hari, jumlah protein mulai naik, bahkan lebih lanjut saat

gejala klinis mulai stabil, jumlah protein CSS tetap naik dan menjadi sangat

tinggi. Puncaknya pada 4-6 minggu setelah mulainya gejala klinis. Derajat

penyakit tidak berhubungan dengan naiknya protein dalam CSS. Hitung jenis

umumnya di bawah 10 leukosit mononuklear/mm.10

Gambaran elektromiografi pada awal penyakit masih dalam batas normal,

kelumpuhan terjadi pada minggu pertama dan puncaknya pada akhir minggu

kedua dan pada akhir minggu ketiga mulai menunjukkan adanya perbaikan. Pada

minggu pertama serangan gejala, didapatkan perpanjangan respon (88%),


13

perpanjangan distal latensi (75%), konduksi blok (58%) dan penurunan kecepatan

konduksi motor (50%). Pada minggu kedua, potensi penurunan tindakan berbagai

otot (CMAP, 100%), perpanjangan distal latensi (92%) dan penurunan kecepatan

konduksi motor (84%). Manifestasi elektrofisiologis yang khas tersebut, yakni,

prolongasi masa laten motorik distal yang menandai blok konduksi distal dan

prolongasi atau absennya respon gelombang F yang menandakan keterlibatan

bagian proksimal saraf, blok hantar saraf motorik, serta berkurangnya KHS.

Degenerasi aksonal dengan potensial fibrilasi yang dapat dijumpai 2-4 minggu

setelah awitan gejala telah terbukti berhubungan dengan tingkat mortalitas yang

tinggi serta disabilitas jangka panjang pada pasien GBS, akibat fase penyembuhan

yang lambat dan tidak sempurna. Sekitar 10% penderita menunjukkan

penyembuhan yang tidak sempurna, dengan periode penyembuhan yang lebih

panjang (lebih dari 3 minggu) serta berkurangnya KHS dan denervasi EMG.6,8

Umumnya didapati pola dan bentuk yang relatif konsisten; yakni adanya

infiltrat limfositik mononuklear perivaskuler serta demielinasi multifokal. Pada

fase lanjut, infiltrasi sel-sel radang dan demielinasi ini akan muncul bersama

dengan demielinasi segmental dan degenerasi wallerian dalam berbagai derajat.

Saraf perifer dapat terkena pada semua tingkat, mulai dari akar hingga ujung saraf

motorik intramuskuler, meskipun lesi yang terberat bila terjadi pada ventral root,

saraf spinal proksimal, dan saraf kranial.Infiltrat sel-sel limfosit dan sel

mononuklear lain juga didapati pada pembuluh limfe, hati, limpa, jantung, dan

organ lainnya.8

Pemeriksaan MRI akan memberikan hasil yang bermakna jika dilakukan

pada hari ke 13 setelah timbulnya gejala. MRI lumbosacral akan memperlihatkan


14

penebalan pada radiks kauda equina dengan peningkatan pada gadolinium.

Adanya penebalan radiks kauda equina mengindikasikan kerusakan pada barier

darahsaraf. Halini dapat terlihat pada 95% kasus GBS dan hasil sensitif sampai

83% untuk GBS akut. Akan tetapi, pasien dengan tanda dan gejala yang sangat

sugestif mengarah ke GBS sebenarnya tidak perlu pemeriksaan MRI lumbosakral.

MRI lumbosakral dapat digunakan sebagai modalitas diagnostic tambahan,

terutama bila temuan klinis dan elektrodiagnostik memberikan hasil yang samar.8

Gambar 1. Gambaran MRI lumbosakral pada pasien perempuan 39 tahun dengan


GBS dan SLE, potongan sagital dan aksial menunjukkan herniasi diskus T12-
L1yang menyebabkan kompresi minimal pada conus medullaris

Beberapa pemeriksaan lain yang boleh dilakukan adalah Elektrokardiografi

(EKG) yang biasanya memperlihatkan hasil normal atau kebanyakan kelainan

yang ditemukan tidak diakibatkan oleh GBS sendiri. Pemeriksaan serum Kreatinin

Kinase biasanya normal atau meningkat sedikit. Tes fungsi respirasi atau

pengukuran kapasitas vital paru biasanya menunjukkan adanya insufisiensi

respiratorik yang sedang berjalan (impending). Intubasi dan mekanisme ventilasi

harus dipertimbangkan ketika kapasitas vital berada dibawah 15 mL/kg/BB atau


15

tekanan oksigen pada arteri berada dibawah 70 mmHg. Biopsi otot tidak

diperlukan dan biasanya normal pada stadium awal. Pada stadium lanjut terlihat

adanya denervation atrophy.10

I. Tatalaksana

Saat ini, diketahui tidak ada terapi khusus yang dapat menyembuhkan

penyakit GBS. Penyakit ini pada sebagian besar penderita dapat sembuh dengan

sendirinya. Pengobatan yang diberikan lebih bersifat simptomatis. Tujuan dari

terapi adalah untuk mengurangi tingkat keparahan penyakit dan untuk

mempercepat proses penyembuhan penderita. Meskipun dikatakan sebagian besar

dapat sembuh sendiri, perlu dipikirkan mengenai waktu perawatan yang lama dan

juga masih tingginya angka kecacatan / gejala sisa pada penderita, sehingga terapi

tetap harus diberikan.9,10,11

1. Kortikosteroid

Kebanyakan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya mengatakan

bahwa preparat steroid tidak memberikan manfaat sebagai monoterapi.

Pemberian kortikosteroid sebagai monoterapi tidak mempercepat

penyembuhan secara signifikan. Selain itu, pemberian metylprednisolone

secara intravena yang berkombinasi dengan imunoterapi juga tidak

memberikan manfaat secara signifikan dalam waktu jangka panjang. Sebuah

studi awal mengemukakan pasien yang diberikan kortikosteroid oral

menunjukkan hasil yang lebih buruk daripada kelompok kontrol. Selain itu,

sebuah studi randomisasi di Inggris dengan 124 pasien GBS menerima

metylprednisone 500 mg setiap hari selama 15 hari dan 118 pasien


16

mendapatkan placebo. Dalam studi ini tidak didapatkan pernedaan antara

kedua kelompok dalam derajat perbaikan maupun outcome yang lainnya.

2. Plasmaparesis

Plasmaparesis secara langsung mengeluarkan faktor-faktor humoral, seperti

autoantibody, kompleks imum, complement, sitokin, dan mediator inflamasi

nonspesifik lainnya. Plasmaparesis merupakan terapi pertama pada GBS

yang menunjukkan efektivitasnya, berupa adanya perbaikan klinis yang

lebih cepat, minimal penggunaan alat bantu napas, dan lama perawatan yang

lebih singkat. Dalam studi tersebut, plasmaparesis yang diberikan dalam dua

minggu pada pasien GBS menunjukkan penurunan waktu penggunaan

ventilator (alat bantu napas). Terapi ini melibatkan penghilangan plasma

dari darah dan menggunakancentrifugal blood separators untuk

menghilangkan kompleks imun dan autoantibody yang mungkin ada.

Plasma kemudian dimasukan kembali ke tubuh pasien dengan larutan yang

berisis 5% albumin untuk mengkompensasi konsentrasi protein yang hilang.

Terapi ini dilakukan dengan menghilangkan 200-250 ml plasma/kgBB

dalam 7-14 hari. Dikatakan terapi plasmaparesis ini lebih memberikan

manfaat bila dilakukan pada awal onset gejala (minggu pertama

GBS).Keterbatasan plasmaparesis yaitu akses intravena memerlukan kateter

double-lumen besar melalui vena femoral atau vena subklavia internal.

Selain itu, perlu juga dilakukan monitoring CBC, elektrolit, PT, APTT, dan

INR satu atau dua hari bila ditemukan parameter koagulasi abnormal.

3. Imunoglobulin Intravena
17

Pengobatan dengn immunoglobulin intravena (IVIg) lebih menguntungkan

dibandingkan dengan terapi plasmaparesis karena efek samping dan

komplikasi yang sifatnya lebih ringan. Penggunaan IVIg dapat memodulasi

respon humoral dalam menghambat autoantibody dan menekan produksi

autoantibody dalam tubuh, sehingga kerusakan yang dimediasi oleh

komplemen dalam diredam. IVIg juga memblok ikatan reseptor Fc dan

mencegah kerusakan fagositik oleh makrofag. Studi awal untuk

menunjukkan respon IVIg pada GBS pertama kali dilakukan oleh Dutch

Guillai-Barre Syndrome Group dua decade silam. Dalam studi ini, mereka

membandingkan efikasi IVIg dan plasmaparesis dalam 147 pasien dan tidak

ada kelompok kontrol. Hasil studi ini menunjukkan bahwa IVIg tidak hanya

efektif dalam GBS tetapi juga jauh lebih efektif dibandingkan

plasmaparesis.Pada penelitian tentang terapi IVIg pada kasus GBS pada

anak yang dilakukan oleh Korinthenberg et al ditemukan bahwa pengobatan

dengan IVIg pada kasus GBS ringan tidak mengubah tingkat keparahan

penyakit tetapi dapat mempercepat perbaikan klinis penderita. Dosis optimal

yang dapat diberikan pada penderita GBS adalah 400 mg/kg yang diberikan

selama 6 hari. Efek samping yang muncul dalam penggunaan IVIg

dikatakan ringan dan jarang terjadi. Meskipun efek samping dikatakan

ringan dan jarang terjadi, pemberian pertama biasanya dimulai dengan

kecepatan rencah yaitu 25-50 cc/jam selama 30 menit dan ditingkatkan

secara progresif 50cc/jam setiap 15-20 menit hingga 150-200 cc/jam. Efek

samping ringan berupa nyeri kepala, mual, menggigil, rasa tidak nyaman

pada dada, dan nyeri punggung muncul pada 10% kasus dan mengalami
18

perbaikan dengan penurunan kecepatan infuse serta dapat dicegah dengan

premedikasi berupa acetaminophen, benadryl dan bila perlu

methylprednisone intravena. Reaksi moderate yang jarang terjadi meliputi

meningitis neutropenia, macular hiperemis pada telapak tangan, telapak

kaki, dan badan dengan adanya deskuaminasi. Sementara itu, reaksi berat

dan jarang sekali muncul berupa anafilaksis, stroke, infark miokardial akibat

sindrom hiperviskositas.

4. Terapi Suportif

Sebanyak 30% kasus GBS dapat mengalami gagal pernapasan, sehingga

terapi suportif yang baik menjadi elemen penting dalam terapi GBS.

Umumnya pasien GBS dimasukkan ke ruang intensif ataupun ruang

pelayanan intermediet untuk memungkinkan monitoring pernapasan dan

fungsi otonom yang lebih intensif. Penurunan expiratory forced vital

capacities < 15 cc/kgBB ideal atau tekanan inspirasi negative dibawah 60

cmHO2 mengindikasikan bahwa pasien memerlukan intubasi dan ventilator

mekanik sebelum terjadi hipoksemia. Setelah duaminggu penggunaan

intubasi, perlu dipertimbangan dilakukannya trakeostomi. Pasien dengan

bed-ridden perlu diberikan profilaksis DVT berupa kaos kaki kompres atau

antikoagulan berupa heparin atau enoxaprin subkutan. Apabila terjadi

kelompuhan otot wajah dan otot menelan, maka perlu dipasang selang NGT

untuk dapat memenuhi kebutuhan nutrisi dan cairan penderita. Fisioterapi

aktif juga diperlukan menjelang masa penyembuhan untuk mengembalikan

lagi fungsi alat gerak penderita, menjaga fleksibilitas otot, berjalan dan
19

melatih keseimbangan penderita. Fisioterapi pasif dilakukan setelah terjadi

masa penyembuhan untuk memulihkan kekuatan otot penderita.

J. Komplikasi

Komplikasi yang dapat terjadi adalah gagal napas, aspirasi makanan atau

cairan ke dalam paru, pneumonia, meningkatkan resiko terjadinya infeksi,

trombosis vena dalam, paralisis permanen pada bagian tubuh tertentu, dan

kontraktur pada sendi.11

K. Prognosis

Pada umumnya penderita mempunyai prognosis yang baik, tetapi pada

sebagian kecil penderita dapat meninggal atau mempunyai gejala sisa.10


BAB III

LAPORAN KASUS

A. Identitas

Nama pasien : Tn. RS

Umur : 44 tahun

Alamat : Balangan

Jenis kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Status perkawinan : Sudah menikah

Pekerjaan : Ibu rumah tangga

Masuk RS : 06 Juni 2021

No. RM : 1-47-43-54

B. Anamnesis

Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis dengan pasien dan Istri pasien

pada tanggal 19 Juni 2021 pukul 10.00 WITA.

Keluhan Utama : Kelemahan di empat anggota gerak

Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien datang ke IGD RSUD Ulin pada tanggal 06 Juni 2021 (sekitar 13

hari yang lalu) datang dengan keluhan kelemahan di keempat anggota gerak pada

anggota gerak atas dan bawah. Pasien merupakan rujukan dari RS Suaka Insan

yang datang ke RS Suaka Insan pada tanggal 28 Mei 2021 (sekitar 22 hari yang

lalu), dengan suspect GBS dengan keluhan awal berupa kelemahan di kedua

anggota gerak bawah, yang ditandai dengan gaya berjalan pasien yang mulai

20
21

sempoyongan 1 hari SMRS setelah masuk RS (29/05/2021). Keluhan disertai

dengan rasa kebas dari perut-tungkai bawah dan kesemutan dari bahu-telapak

tangan. Kurang lebih 4-5 bulan yang lalu (Beberapa bulan lalu setelah pasien +

covid) pasien mulai mengeluhkan kram otot di kedua anggota gerak atas dan

bawahnya, yang semakin dirasakan apabila pasien kelelahan. Dalam sehari pasti

pasien ada merasakan kram. Untuk mengurangi keluhan, pasien mulai

mengonsumsi neurobion warna putih. Riwayat trauma (-), demam (-). Selama

dirawat di Suaka Insan pasien mendapat IVIG Gamaras sebanyak 8 botol.

Saat di rawat di IGD RSUD ulin (20.00 WITA), tanda vital pasien : TD

173/103 mmHg, RR 20 x/menit, T 36.8 C, HR 75x/ menit, SpO2 92% tanpa O2.

Pasien sempat drop pada tanggal 07/06/2021 pukul 03.30 WITA dengan tanda

Vital TD 78/47 mmHg, HR 58x/menit, RR 20x/menit, T 36 C, SpO2 94% dengan

NRM 15 lpm. Setelah dimasukkan loading NS 500 cc, tanda vital membaik. TD

122/81 mmHg, HR 68x/menit, RR 19x/menit, SpO2 98% 15 lpm.

Pasien naik ke ICU pukul 04.00 WITA setelah tersedia ruangan dan dirawat

selama 12 malam. Diet nutrisi yang didapatkan selama di ICU adalah peptibren

6x100 cc via NGT dan mulai makan bubur, habis ½ porsi dengan lauk pauknya

dihabiskan. Selama di RSUD ulin Banjarmasin pasien sempat tidak bisa BAB

selama 12 hari. Setelah di cek, pasien ada hemoroid sejak 2 bulan yang lalu.

Hemoroidnya bisa kembali sendiri. Pasien sering mengejaan keras saat BAB, dan

sekarang sudah bsa BAB tetapi BAB keluar darah segar. Bisa BAB semenjak

minum obat laxarex gel tinjanya berwarna kuning campur darah segar. Darah

menetes dari anus pasien. BAB terasa sakit dengan sakitnya kira kira nilainya 6.
22

Riwayat Penyakit Dahulu :

Pasien sempat didagnosis terkena infeksi Covid-19 6 bulan yang lalu.

Hipertensi (+), Diabetes mellitus (+), diare setelah pemberian diavet keluhan

hilang, ISPA (oktober 2020)

Riwayat Penyakit Keluarga :

Ayah pasien menderita diabetes mellitus. Ibu menderita Hipertensi

Riwayat Kebiasaan :

Pasien tinggal dengan istri dan anaknya di balangan. bekerja sebagai buruh

bangunan dan kadang supir truk. Suka mengangkat barang-barang yang berat.

Pasien pernah merokok saat SMA (1994) dan berhenti di tahun 2004 dan bukan

perokok aktif.

Riwayat Alergi dan Intoksikasi Obat :

Pasien tidak memiliki alergi terhadap makanan ataupun obat-obatan.

Pasien masuk seruni 18/06/2021

C. Pemeriksaan (Dilakukan pada tanggal 19 Juni 2021)

1. Status Generalis

Keadaan Umum : Tampak sakit Sedang

Kesadaran : Compos mentis / GCS E4V5M6

Bentuk badan : Normal

Tanda Vital : Tekanan darah : 140/90 mmHg

Nadi : 70 x/menit

Respirasi : 30 x/menit

Suhu : 36,5°C

SpO2 : 98 % room air


23

VAS :-

Kepala : Normosefali, massa/tumor (-), ptosis (-), konjungtiva pucat (-),

sklera ikterik (-), pupil isokor diameter 3 mm/3 mm, refleks

cahaya langsung (+/+), refleks cahaya tidak langsung (+/+),

refleks kornea (+/+), bibir pucat (-), bibir asimetris.

Leher : Pembesaran KGB (-), peningkatan JVP (-)

Dada: Paru: Inspeksi: bentuk normal, pectus carinatum/exavatum (-)

Palpasi: fremitus vokal simetris

Perkusi: sonor

Auskultasi: suara nafas dasar vesikuler, wheezing - ,

rhonki -
-
-

-
Jantung : Inspeksi: iktus -kordis tidak terlihat
-
Palpasi: iktus kordis teraba -
-
-
Perkusi: batas jantung kanan ICS IV linea parasternalis dextra,
-
batas pinggang- jantung ICS II parasternalis sinistra, batas apex

jantung ICS V axillaris anterior sinistra

Auskultasi: SI dan SII normal, gallop (-) murmur (-)

Abdomen : Inspeksi: tampak datar

Auskultasi: bising usus (+) 5x permenit

Perkusi: timpani semua regio abdomen

Palpasi supel, nyeri tekan (-), hepar, lien dan massa tidak teraba,

shifting dullness (-), undulasi (-)

Ekstremitas : Akral hangat, atrofi (-/-), klonus (-/-), edema (-/-).


24

2. Status Neurologis

Meningeal sign : Kaku kuduk (-) Laseque sign (-/-) Brudzinski 1 (-/-)

Brudzinski 2 (-/-) Brudzinski 3 (-/-) Brudzinski 4 (-/-)

Refleks fisiologis : Biceps (-/-), triceps (-/-), achilles (-/-), patella

(-/-)

Refleks patologis : Babinski(-/-), Chaddock(-/-), Gonda(-/-), Oppenheim (-/-),

Hoffman (-/-), Tromner (-/-), Gordon (-/-), Schaeffer (-/-)

2/3/3 2/3/3
Motori
k BT BT Eutoni Eutoni
2 2 Gerak Tonus
BT BT Eutoni Eutoni

↓ ↓
Sensibilita - -
s ↓ ↓ Atrofi
- - Klonus (-)

3. Pemeriksaan nervus cranialis

Nervus Cranialis Kanan Kiri


N. I Daya Penghidu + +
Daya Penglihatan + +
N. II Medan Penglihatan + +
Pengenalan warna + +
Ptosis - -
Gerakan Mata + +
Ukuran Pupil 2 mm 2 mm
N. III Bentuk Pupil Bulat Bulat
Refleks Cahaya + +
Refleks Akomodasi + +
N. IV Strabismus Divergen - -
Gerakan Mata Ke Medial Bawah + +
Strabismus Konvergen - -
Menggigit + +
Membuka Mulut + +
Sensibilitas Muka + +
N. V
Refleks Kornea + +
25

Trismus - -
Gerakan Mata Ke Lateral + +
N. VI Strabismus Konvergen - -
Diplopia - -
Kedipan Mata + +
Lipatan Nasolabial simetris
Sudut Mulut simetris
Mengerutkan Dahi + +
N. VII Mengerutkan Alis Simetris Simetris
Menutup Mata Simetris Simetris
Meringis + +
Bersiul + +
Daya Kecap Lidah 2/3 Depan Tdl tdl
Mendengar Suara Berbisik + +
N. VIII Mendengar Detik Arloji + +
Arkus Faring N N
Daya Kecap Lidah 1/3 Belakang Tdl Tdl
Refleks Muntah + +
N. IX
Suara Sengau - -
Tersedak - -
N. X Arkus Faring SDE SDE
Bersuara + +
Menelan +
Memalingkan Kepala + +
N. XI Sikap Bahu N N
Mengangkat Bahu + +
Sikap Lidah Tidak ada deviasi
N. XII Tremor Lidah -
Menjulurkan Lidah Tidak ada deviasi
4. Pemeriksaan penunjang

a. Pemeriksaan rapid antigen SARS COV-2 (06/06/2021)

Parameter Hasil Nilai Rujukan


Rapid Antigen SARS COV-2 Negatif Negatif
Kesimpulan Negatif

b. Pemeriksaan laboratorium darah

29 Mei 2021 (RS Suaka Insan)

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan


HEMATOLOGI
Hemoglobin 13.5 14,0 - 18,0 g/dL
Leukosit 11.9 4,0 - 10,5 ribu/uL
Eritrosit 5.43 4,10 - 6,00 juta/uL
Hematokrit 37.9 42,0 - 52,0 vol%
Trombosit 349 150 – 450 rb/ul
MCV 80 75,0 - 96,0 Fl
MCH 28 28,0 - 32,0 Pg
MCHC 35.6 33,0 - 37,0 %
DIFF COUNT
Basofil% 0,0 0,0 – 1,0 %
Eosinofil% 0.0 1,0 – 3,0 %
Stab Cell 2.0 2-6 %
Segmen 63 50-70 %
Limfosit 33 20-35 %
Monosit 2 2-6 %
KIMIA
DIABETES
Glukosa Darah
205 <200.00 mg/dl
Sewaktu
HBA1C 8.3 4-6 %
HATI DAN PANKREAS
SGOT 22 5 – 34 U/L
SGPT 18 0 – 55 U/L
Albumin 2 3.5-5 Gr/dl
FAAL LEMAK DAN JANTUNG
Kolesterol total 306 <200 mg/dl
HDL 64 >35 mg/dl
LDL 142 <150 mg/dl
Trigliserida 502 <150 mg/dl
GINJAL
Ureum 30 0 – 50 mg/dl
Kreatinin 0.9 0,72 - 1,25 mg/dl

26
27

ELEKTROLIT
Natrium 135 136 – 145 mmol/l
Kalium 4.1 3,5 - 5,1 mmol/l
Clorida 109 98 – 107 mmol/l

30 Mei 2021 (RS Suaka Insan)

URINALISA
MAKROSKOPIS
Warna Kuning Kuning mg/dL
Kejernihan Agak Keruh Jernih mg/dL
Berat Jenis 1.025 1.005 - 1.030 -
pH 6.0 5.0 - 6.5 -
Keton Negatif Negatif -
Protein-Albumin +++ Negatif -
Glukosa Negatif Negatif -
Bilirubin Negatif Negatif -
Nitrit Negatif Negatif -
Urobilinogen + Positif -
SEDIMEN URIN
Leukosit 0-1 0–3 /LPB
Eritrosit 0-1 0–2 /LPB
Epithel Negatif Positif -
Kristal Negatif Negatif -
Silinder Negatif Negatif -
Bakteri Negatif Negatif -

06 Juni 2021

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan


HEMATOLOGI
Hemoglobin 15,3 14,0 - 18,0 g/dL
Leukosit 18.3 4,0 - 10,5 ribu/uL
Eritrosit 5.43 4,10 - 6,00 juta/uL
Hematokrit 46.2 42,0 - 52,0 vol%
Trombosit 362 150 – 450 rb/ul
RDW-CV 14.8 12,1 - 14,0 %
MCV, MCH, MCHC
MCV 85.1 75,0 - 96,0 Fl
MCH 28.2 28,0 - 32,0 Pg
MCHC 33.1 33,0 - 37,0 %
HITUNG JENIS
Basofil% 0,0 0,0 – 1,0 %
Eosinofil% 0.0 1,0 – 3,0 %
Neutrofil% 90.1 50,0 - 81,0 %
28

Limfosit% 7.6 20,0 - 40,0 %


Monosit% 2.3 2,0 – 8,0 %
Basofil# 0,00 <1,00 ribu/ul
Eosinofil# 0,00 <3,00 ribu/ul
Neutrofil# 10.21 2,50 - 7,00 ribu/ul
Limfosit# 0.86 1,25 - 4,00 ribu/ul
Monosit# 0,26 0,30 – 1.00 ribu/ul
KIMIA
DIABETES
Glukosa Darah
183 <200.00 mg/dl
Sewaktu
HATI DAN PANKREAS
SGOT 15 5 – 34 U/L
SGPT 21 0 – 55 U/L
GINJAL
Ureum 71 0 – 50 mg/dl
Kreatinin 0.81 0,72 - 1,25 mg/dl
ELEKTROLIT
Natrium 135 136 – 145 mmol/l
Kalium 4.1 3,5 - 5,1 mmol/l
Clorida 109 98 – 107 mmol/l

07 Juni 2021
KIMIA
DIABETES
Glukosa Darah
216 <200.00 mg/dl
Sewaktu
FAAL LEMAK DAN JANTUNG
Kolesterol Total 319 0 – 200 Mg/dl
Trigliserida 367 0 – 150 Mg/dl
CKMB 31 0-25 U/L
HATI DAN PANKREAS
Bilirubbin total 0.38 0.20-1.20 mg/dl
Bilirubin direk 0.20 0,00 – 0.20 mg/dl
Bilirubin Indirek 0.18 0.20 – 0.80 mmol/l
IMUNO-SEROLOGI
Troponin I 18.80 8.00-29.00 Ng/L
Rematik
CRP 2.7 <5.00 mg/l

KIMIA
Gas Darah
Suhu 36.6 Celcius
pH 7.406 7.350-7.450
PCO2 35.0 35.0-45.0 mmHg
TCO2 23.0 22.0-29.0 mEq/L
29

PO2 87.0 80.0-100.0 mmHg


HCO3 22.1 22.0-26.0 mEq/L
O2 saturasi 97.0 75.0-99.0 %
Base Excess (BE) -3.0 -2.0-3.0 mEq/L
%FIO2 73 %

08 Juni 2021
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan
HATI DAN PANKREAS
Albumin 2.9 3.5-5.2 g/dL

09 Juni 2021
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan
CAIRAN TUBUH
ANALISA CAIRAN OTAK
MAKROSKOPIS
Tidak
Warna Tidak berwarna
berwarna
Kejernihan Jernih jernih
Tidak
Bau
berbau
Tidak ada
Bakteri Tidak ada bekuan
bekuan
MIKROSKOPIS
Dewasa : <5
Anak 5-18 tahun :
<10
Jumlah sel leukosit 1 /ul
Anak 1-4 tahun :
<20
Bayi< 1 tahun : <30
HITUNG JENIS LEUKOSIT
Sel polimorfonuklear 0 0,0 – 1,0 %
Sel mononuklear 100 1,0 – 3,0 %
Jumlah Sel /Ul
0 50,0 - 81,0
polimorfonuklear
Jumlah Sel
1 20,0 - 40,0 /Ul
Mononuklear
Tidak
BTA 2,0 – 8,0
ditemukan
Tidak
Gram <1,00
ditemukan
KIMIA
Total protein cairan
186* 15-45 Mg/dl
otak
Total protein Serum 5 g/dl
30

Albumin cairan otak 0 g/dl


Albumin cairan serum 3 g/dl
Glukosa cairan otak 116* 50-80 Mg/dl
Glukosa serum 184 Mg/dl
LDH cairan otak 38 0-40 U/L
LDH cairan serum 784 U/L

14 Juni 2021
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan
HEMATOLOGI
Hemoglobin 14.1 14,0 - 18,0 g/dL
Leukosit 11.5 4,0 - 10,5 ribu/uL
Eritrosit 4.81 4,10 - 6,00 juta/uL
Hematokrit 40.3 42,0 - 52,0 vol%
Trombosit 145 150 – 450 rb/ul
RDW-CV 14.1 12,1 - 14,0 %
MCV, MCH, MCHC
MCV 83.8 75,0 - 96,0 Fl
MCH 29.3 28,0 - 32,0 Pg
MCHC 35.0 33,0 - 37,0 %
HITUNG JENIS
Basofil% 0,1 0,0 – 1,0 %
Eosinofil% 0.0 1,0 – 3,0 %
Neutrofil% 92.2 50,0 - 81,0 %
Limfosit% 4.6 20,0 - 40,0 %
Monosit% 3.1 2,0 – 8,0 %
Basofil# 0,01 <1,00 ribu/ul
Eosinofil# 0,00 <3,00 ribu/ul
Neutrofil# 10.62 2,50 - 7,00 ribu/ul
Limfosit# 0.53 1,25 - 4,00 ribu/ul
Monosit# 0,36 0,30 – 1.00 ribu/ul
KIMIA
DIABETES
Glukosa Darah
94 <200.00 mg/dl
Sewaktu
HATI DAN PANKREAS
SGOT 12 5 – 34 U/L
SGPT 21 0 – 55 U/L
GINJAL
Ureum 58 0 – 50 mg/dl
Kreatinin 0.46 0,72 - 1,25 mg/dl
ELEKTROLIT
Natrium 137 136 – 145 mmol/l
Kalium 3.9 3,5 - 5,1 mmol/l
Clorida 106 98 – 107 mmol/l
31

HATI DAN PANKREAS


Albumin 2.9 3.5-5.2 g/dL

17 Juni 2021
KIMIA
DIABETES
HBA1C 8.5 4.0-6.9 %

22 Juni 2021
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan
HEMATOLOGI
Hemoglobin 14.7 14,0 - 18,0 g/dL
Leukosit 21.1 4,0 - 10,5 ribu/uL
Eritrosit 5.13 4,10 - 6,00 juta/uL
Hematokrit 43.5 42,0 - 52,0 vol%
Trombosit 225 150 – 450 rb/ul
RDW-CV 14.9 12,1 - 14,0 %
MCV, MCH, MCHC
MCV 84.8 75,0 - 96,0 Fl
MCH 28.7 28,0 - 32,0 Pg
MCHC 33.8 33,0 - 37,0 %
HITUNG JENIS
Basofil% 0,1 0,0 – 1,0 %
Eosinofil% 0.5 1,0 – 3,0 %
Neutrofil% 95 50,0 - 81,0 %
Limfosit% 2.3 20,0 - 40,0 %
Monosit% 1.1 2,0 – 8,0 %
Basofil# 0,03 <1,00 ribu/ul
Eosinofil# 0,10 <3,00 ribu/ul
Neutrofil# 19.99 2,50 - 7,00 ribu/ul
Limfosit# 0.49 1,25 - 4,00 ribu/ul
Monosit# 0.45 0,30 – 1.00 ribu/ul
KIMIA
DIABETES
HBA1C 6.7 4.0-6.9 %
FAAL LEMAK DAN JANTUNG
Kolesterol total 256 0-200 mg/dl
HDL 62 0-100 mg/dl
LDL 219 0-150 mg/dl
Trigliserida 172 0-150 mg/dl
HATI DAN PANKREAS
SGOT 56 5 – 34 U/L
32

SGPT 60 0 – 55 U/L
Albumin 2.7 3.5-5.2 g/dL
GINJAL
Ureum 34 0 – 50 mg/dl
Kreatinin 0.43 0,72 - 1,25 mg/dl
ELEKTROLIT
Natrium 136 136 – 145 mmol/l
Kalium 3.7 3,5 - 5,1 mmol/l
Clorida 105 98 – 107 mmol/l

c. EKG (18 Juni 2021)

- Kesimpulan : Sinus rythem, frekuensi 75 bpm, normoaxis,

d. Pemeriksaan biakkan bakteri (12 Juni 2021)


33

e. USG Abdomen

Kesimpulan :

 Susp. choleecystitis akut

 Simple Cyst. Multiple Ginjal Kanan uk 18 mm

 Secara Radiologi, liver lien pancreas, VU, prostat dalam batas normal

f. ENMG
34

Kesimpulan : GBS tipe acute motor sensory neuropaty (AMSAN)

D. Diagnosis

Diagnosis Klinis : Tetraparesis dan tetrahipoastesia

Diagnosis Topis : Lesi aksonal pada serabut saraf motorik dan sensorik

Diagnosis Etiologi : GBS tipe AMSAN

E. Penatalaksanaan

Terapi yang telah diberikan di IGD (12 Mei 2021)

1. IVFD NS 20 tpm

2. Inj. Metilprednisolon 3x125 mg

3. Inj. Mecobalamin 2x1

4. Inj. Lansoprazol 2x30 mg

5. Inj. ceftriaxone 2x1 gram


35

6. Sc lantus 0-0-4

7. Sc Novorapid 4-4-4

8. Po. Amlodipin 1x10 mg

9. Po. Candesartan 1 x 16 mg

10. Po. Atorvastatin 1x20 mg

11. VIP albumin 3x1

12. Sucralfat syr 3x1

13. Laksadin syr 3x1

F. Prognosis

Ad vitam : dubia ad bonam

Ad Fungsionam : dubia ad bonam

Ad Sanationam : dubia ad bonam

G. Follow up
Tanggal S O A P
19 Juni Kebas Kesadaran : Compos mentis K: - IVFD NS 20
2021 bagian GCS : E4V5M6 Tetraparesis tpm
perut ke TD : 140/90 mmHg +hipoastesia+p - Inj.
bawah HR : 70 x/menit arastesia Metilprednisol
RR : 30 x/menit on 3x125 mg
Sulit tidur SpO2 : 98 % room air
T: - Inj.
Suhu : 36.5˚C,
BAB ada Pemeriksaan fisik
Lesi aksonal Mecobalamin
Cuma harus - - pada serabut 2x1
mengedan Rh - - saraf motoric - Inj.
kuat. dan sensorik Lansoprazol
36

2x30 mg
- - E: - Inj.
Wh GBS tipe
- - ceftriaxone
Amsan 2x1 gram
Rangsang meningeal : (-) - Sc lantus 0-0-4
N.I : DBN - Sc Novorapid
N.II : DBN 4-4-4
N.III : DBN - Po. Amlodipin
N.IV : DBN 1x10 mg
N.VI : DBN
- Po.
N.V : DBN
N.VII : Parese wajah (-) Candesartan 1
N.VIII : DBN x 16 mg
N.IX, X : refleks menelan, - Po.
refleks muntah DBN Atorvastatin
N.XI : DBN 1x20 mg
N.XII : Tidak ada deviasi - VIP albumin
RCL : +/+ 3x1
RCTL : +/+ - Sucralfat syr
Isokor : 3 mm/3 mm 3x1
Reflex Fisiologis - Laksadin syr
BPR - APR -
3x1
TPR -KPR -
Reflex Patologis : -
M 2/3/3 2/3/3
2 2
G BT BT
BT BT

T Eutoni Eutoni
Eutoni Eutoni
Sensibilitas ↓ ↓
↓ ↓
A - -
- -

Tanggal S O A P
20 Juni Kebas Kesadaran : Compos mentis K: - IVFD NS 20
2021 bagian GCS : E4V5M6 Tetraparesis tpm
perut ke TD : 135/90 mmHg +hipoastesia+p - Inj.
bawah HR :77 x/menit arastesia Metilprednisol
RR : 24 x/menit
on 3x125 mg
Sulit tidur SpO2 : 98 % room air T: - Inj.
Suhu : 36.5˚C,
Lesi aksonal Mecobalamin
BAB ada Pemeriksaan fisik
Cuma harus - - pada serabut 2x1
mengedan Rh - - saraf motorik - Inj.
37

dan disertai dan sensorik Lansoprazol


darah. - - 2x30 mg
Wh E:
- - - Inj.
GBS tipe ceftriaxone
Rangsang meningeal : (-) Amsan 2x1 gram
N.I : DBN - Sc lantus 0-0-4
N.II : DBN - Sc Novorapid
N.III : DBN 4-4-4
N.IV : DBN - Po. Amlodipin
N.VI : DBN
1x10 mg
N.V : DBN
N.VII : Parese wajah (-) - Po.
N.VIII : DBN Candesartan 1
N.IX, X : refleks menelan, x 16 mg
refleks muntah DBN - Po.
N.XI : DBN Atorvastatin
N.XII : Tidak ada deviasi 1x20 mg
RCL : +/+ - VIP albumin
RCTL : +/+ 3x1
Isokor : 3 mm/3 mm - Sucralfat syr
Reflex Fisiologis 3x1
BPR - APR -
- Laksadin syr
TPR -KPR -
Reflex Patologis : - 3x1
M 2/3/3 2/3/3
2 2
G BT BT
BT BT

T Eutoni Eutoni
Eutoni Eutoni
Sensibilitas ↓ ↓
↓ ↓
A - -
- -

Tanggal S O A P
21 Juni Kebas Kesadaran : Compos mentis K: - IVFD NS 20
2021 bagian GCS : E4V5M6 Tetraparesis tpm
perut ke TD : 130/90 mmHg dan - Inj.
bawah dan HR : 77 x/menit tetrahipoastesia Metilprednisol
masih sulit RR : 30 x/menit on 3x125 mg
untuk SpO2 : 99 % room air T: - Inj.
menggerak Suhu : 36.6˚C,
Lesi aksonal Mecobalamin
an Pemeriksaan fisik
ekstremitas - - pada serabut 2x1
Rh - - saraf motorik - Inj.
Sulit tidur dan sensorik Lansoprazol
38

2x30 mg
BAB darah - - E: - Sc lantus 0-0-4
Wh GBS tipe
- - - Sc Novorapid
BAK terasa Amsan 4-4-4
nyeri. Rangsang meningeal : (-) - Po. Amlodipin
N.I : DBN 1x10 mg
N.II : DBN - Po.
N.III : DBN Candesartan 1
N.IV : DBN x 16 mg
N.VI : DBN
- Po.
N.V : DBN
N.VII : Parese wajah (-) Atorvastatin
N.VIII : DBN 1x20 mg
N.IX, X : refleks menelan, - VIP albumin
refleks muntah DBN 3x1
N.XI : DBN - Sucralfat syr
N.XII : Tidak ada deviasi 3x1
RCL : +/+ - Laksadin syr
RCTL : +/+ 3x1
Isokor : 3 mm/3 mm
Reflex Fisiologis
BPR - APR -
TPR -KPR -
Reflex Patologis : -
M 2/3/3 2/3/3
2 2
G BT BT
BT BT

T Eutoni Eutoni
Eutoni Eutoni
Sensibilitas ↓ ↓
↓ ↓
A - -
- -

Tanggal S O A P
22 Juni Kebas Kesadaran : Compos mentis K: - IVFD NS 20
2021 bagian GCS : E4V5M6 Tetraparesis tpm
perut ke TD : 140/80 mmHg dan - Inj.
bawah HR : 87 x/menit tetrahipoastesia Metilprednisol
RR : 24 x/menit
on 3x125 mg
Sulit tidur SpO2 : 99 % room air T:
Suhu : 36.5˚C,
- Inj.
Lesi aksonal Mecobalamin
Pusing Pemeriksaan fisik
- - pada serabut 2x1
Susah BAB Rh - - saraf motorik - Inj.
39

dan BAK dan sensorik Omeprazole


nyeri sudah - - 2x40 mg
tidak ada Wh E:
- - - Sc lantus 0-0-4
GBS tipe - Sc Novorapid
Susah Amsan
Rangsang meningeal : (-) 4-4-5
menggerak N.I : DBN
an badan N.II : DBN - Po. Amlodipin
N.III : DBN 1x10 mg
N.IV : DBN - Po.
N.VI : DBN
N.V : DBN Candesartan 1
N.VII : Parese wajah (-) x 16 mg
N.VIII : DBN - Po.
N.IX, X : refleks menelan, refleks
muntah DBN Atorvastatin
N.XI : DBN 1x20 mg
N.XII : Tidak ada deviasi - VIP albumin
RCL : +/+
RCTL : +/+ 3x1
Isokor : 3 mm/3 mm - Sucralfat syr
Reflex Fisiologis 3x1
BPR - APR -
TPR -KPR - - Laksadin syr
Reflex Patologis : - 3x1
M 2/3/3 2/3/3 - Dulcolac supp
2 2
G BT BT
BT BT

T Eutoni Eutoni
Eutoni Eutoni
Sensibilitas ↓ ↓
↓ ↓
A - -
- -

Tanggal S O A P
23 Juni Masih Kesadaran : Compos mentis K: - IVFD NS 20
2021 terasa kebas GCS : E4V5M6 Tetraparesis tpm
dan sulit TD : 130/90 mmHg dan - Inj.
menggerak HR : 71x/menit tetrahipoastesia Metilprednisol
an RR : 24 x/menit
on 3x125 mg
ekstremitas. SpO2 : 97 % room air T:
BAB cair Suhu : 36.5˚C,
- Inj.
Lesi aksonal Mecobalamin
5-6 kali VAS : 5-6
dalam Pemeriksaan fisik pada serabut 2x1
sehari , - - saraf motoric - Inj.
tekstur tinja Rh - - dan sensorik Omeprazole
hanya air 2x40 mg
tidak ada E: - Sc lantus 0-0-4
- -
ampas GBS tipe - Sc Novorapid
40

berwaarna - - Amsan 4-4-5


kuning. Wh
- Po. Amlodipin
BAK nyeri 1x10 mg
sudah tidak Rangsang meningeal : (-) - Po.
ada N.I : DBN
N.II : DBN Candesartan 1
Nyeri N.III : DBN x 16 mg
N.IV : DBN - Po.
kepala N.VI : DBN
N.V : DBN Atorvastatin
Muntah dan N.VII : Parese wajah (-) 1x20 mg
sesak serta N.VIII : DBN - VIP albumin
N.IX, X : refleks menelan, refleks
pasien muntah DBN 3x1
merasa N.XI : DBN - Sucralfat syr
haus dan N.XII : Tidak ada deviasi 3x1
lemas. RCL : +/+
RCTL : +/+ - Laksadin syr
Isokor : 3 mm/3 mm 3x1
Tadi malam Reflex Fisiologis - Dulcolac sup
ada BPR - APR -
keringat TPR -KPR - - Oralit tiap kali
dingin Reflex Patologis : - BAB
M 2/3/3 2/3/3
2 2

G BT BT
BT BT

T Eutoni Eutoni
Eutoni Eutoni

Sensibilitas ↓ ↓
↓ ↓

A - -
- -

Tanggal S O A P
24 Juni Kesadaran : Compos mentis K: - IVFD NS 20
2021 GCS : E4V5M6 Tetraparesis tpm
BAB cair TD : 135/87 mmHg dan - Inj.
sudah mulai HR : 87 x/menit tetrahipoastesia Metilprednisol
berkurang. RR : 24 x/menit on 3x125 mg
SpO2 : 99 % room air T: - Inj.
BAK dalam Suhu : 36.5˚C,
Lesi aksonal Mecobalamin
batas Pemeriksaan fisik
normal - - pada serabut 2x1
Rh - - saraf motorik - Inj.
Pusing dan sensorik Omeprazole
sudah tidak - - 2x40 mg
ada Wh E: - Sc lantus 0-0-4
- -
41

Mual GBS tipe - Sc Novorapid


muntah Amsan 4-4-5
tidak ada. - Po. Amlodipin
Rangsang meningeal : (-) 1x10 mg
Masih N.I : DBN
N.II : DBN
- Po.
merasa
haus N.III : DBN Candesartan 1
N.IV : DBN x 16 mg
N.VI : DBN
Sesak N.V : DBN
- Po.
sudah tidak N.VII : Parese wajah (-) Atorvastatin
ada. N.VIII : DBN 1x20 mg
N.IX, X : refleks menelan, refleks
muntah DBN
- VIP albumin
N.XI : DBN 3x1
N.XII : Tidak ada deviasi - Oralit tiap kali
RCL : +/+
RCTL : +/+
BAB
Isokor : 2 mm/2 mm
Reflex Fisiologis
BPR - APR -
TPR -KPR -
Reflex Patologis : -

M 2/3/3 2/3/3
2 2

G BT BT
BT BT

T Eutoni Eutoni
Eutoni Eutoni

Sensibilitas ↓ ↓
↓ ↓

A - -
- -

Tanggal S O A P
25 Juni Masih Kesadaran : Compos mentis K: - IVFD NS 20
2021 terasa kebas GCS : E4V5M6 Tetraparesis tpm
dan sulit TD : 140/90 mmHg dan - Inj.
menggerak HR : 90 x/menit tetrahipoastesia Metilprednisol
an RR : 26 x/menit on 3x125 mg
ekstremitas SpO2 : 99 % room air T: - Inj.
tetapi saat Suhu : 36.5˚C,
Lesi aksonal Mecobalamin
ini pasien Pemeriksaan fisik
sudah dapat - - pada serabut 2x1
duduk di Rh - - saraf motoric - Inj.
42

kursi roda. dan sensorik Omeprazole


- - 2x40 mg
Kalau Wh E:
- - - Sc lantus 0-0-4
duduk Rangsang meningeal : (-) GBS tipe - Sc Novorapid
sedikit N.I : DBN Amsan 4-4-5
pusing N.II : DBN
tetapi tidak N.III : DBN - Po. Amlodipin
nyeri dan
N.IV : DBN 1x10 mg
N.VI : DBN
berputar. N.V : DBN
- Po.
N.VII : Parese wajah (-) Candesartan 1
Mual N.VIII : DBN x 16 mg
N.IX, X : refleks menelan, refleks
muntah muntah DBN
- Po.
tidak ada. N.XI : DBN Atorvastatin
N.XII : Tidak ada deviasi 1x20 mg
BAB cair RCL : +/+
- VIP albumin
tidak ada. RCTL : +/+
Isokor : 3 mm/3 mm 3x1
BAK dalam Reflex Fisiologis - Oralit tiap kali
batas BPR - APR -
normal. TPR -KPR -
BAB
Reflex Patologis : -

M 4/3/3 4/3/3
2 2

G BT BT
BT BT

T Eutoni Eutoni
Eutoni Eutoni

Sensibilitas ↓ ↓
↓ ↓

A - -
- -
BAB IV

PEMBAHASAN

Telah dilakukan anamnesis kepada pasien dan Suaminy Tn.R usia 44 tahun

dengan keluhan utama kelemahan keempat anggota gerak. Berdasarkan

anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, didapatkan diagnosis

klinis yaitu tetraparesis dan tetrahipoestesia, diagnosis topis yaitu lesi aksobal

pada serabut saraf motorik dan sensorik serta diagnosis etiologi yaitu GBS tipe

AMSAN.

Pasien datang ke IGD RSUD Ulin pada tanggal 06 Juni 2021 (sekitar 13

hari yang lalu) datang dengan keluhan kelemahan di keempat anggota gerak pada

anggota gerak atas dan bawah. Pasien merupakan rujukan dari RS Suaka Insan

yang datang ke RS Suaka Insan pada tanggal 28 Mei 2021 (sekitar 22 hari yang

lalu), dengan suspect GBS dengan keluhan awal berupa kelemahan di kedua

anggota gerak bawah, yang ditandai dengan gaya berjalan pasien yang mulai

sempoyongan 1 hari SMRS setelah masuk RS (29/05/2021). Keluhan disertai

dengan rasa kebas dari perut-tungkai bawah dan kesemutan dari bahu-telapak

tangan. Kurang lebih 4-5 bulan yang lalu (Beberapa bulan lalu setelah pasien +

covid) pasien mulai mengeluhkan kram otot di kedua anggota gerak atas dan

bawahnya, yang semakin dirasakan apabila pasien kelelahan. Dalam sehari pasti

pasien ada merasakan kram. Untuk mengurangi keluhan, pasien mulai

mengonsumsi neurobion warna putih. Riwayat trauma (-), demam (-). Selama

dirawat di Suaka Insan pasien mendapat IVIG Gamaras sebanyak 8 botol.

Saat di rawat di IGD RSUD ulin (20.00 WITA), tanda vital pasien : TD

173/103 mmHg, RR 20 x/menit, T 36.8 C, HR 75x/ menit, SpO2 92% tanpa O2.

44
45

Pasien sempat drop pada tanggal 07/06/2021 pukul 03.30 WITA dengan tanda

Vital TD 78/47 mmHg, HR 58x/menit, RR 20x/menit, T 36 C, SpO2 94% dengan

NRM 15 lpm. Setelah dimasukkan loading NS 500 cc, tanda vital membaik. TD

122/81 mmHg, HR 68x/menit, RR 19x/menit, SpO2 98% 15 lpm.

Pasien naik ke ICU pukul 04.00 WITA setelah tersedia ruangan dan dirawat

selama 12 malam. Diet nutrisi yang didapatkan selama di ICU adalah peptibren

6x100 cc via NGT dan mulai makan bubur, habis ½ porsi dengan lauk pauknya

dihabiskan. Selama di RSUD ulin Banjarmasin pasien sempat tidak bisa BAB

selama 12 hari. Setelah di cek, pasien ada hemoroid sejak 2 bulan yang lalu.

Hemoroidnya bisa kembali sendiri. Pasien sering mengejaan keras saat BAB, dan

sekarang sudah bsa BAB tetapi BAB keluar darah segar. Bisa BAB semenjak

minum obat laxarex gel tinjanya berwarna kuning campur darah segar. Darah

menetes dari anus pasien. BAB terasa sakit dengan sakitnya kira kira nilainya 6.

Pasien sempat didagnosis terkena infeksi Covid-19 6 bulan yang lalu.

Hipertensi (+), Diabetes mellitus (+), diare setelah pemberian diavet keluhan

hilang, ISPA (oktober 2020)

Ayah pasien menderita diabetes mellitus. Ibu menderita Hipertensi. Pasien

tinggal dengan istri dan anaknya di balangan. bekerja sebagai buruh bangunan dan

kadang supir truk. Suka mengangkat barang-barang yang berat. Pasien pernah

merokok saat SMA (1994) dan berhenti di tahun 2004 dan bukan perokok aktif.

Berdasarkan anamnesis, didapatkan gejala berupa kelamahan yang bersifat

ascending yang didahului anggota gerak bawah sejak 1 hari SMRS kemudian

secara progresif menjalar ke pinggang hingga ke anggota gerak atas. Awal mula

keluhan terjadi sekitar 4 bulan yang lalu dengan gejala kram otot di anggota gerak
46

atas dan bawah. Pada pemeriksaan fisik motorik ditemukan kekuatan motorik

anggota gerak atas kiri dan kanan dari proksimal-medial-distal +2/+3/+3 dan

aggota gerak bawah +2/+2 serta sensibilitas sensorik menurun di keempat anggota

gerak. Pada kasus ini, gejala neurodefisiensi yang terjad biasanya muncul dalam

2-28 hari pertama dari perjalanan penyakit. Gambaran klinis yang klasik adalah

kelemahan yang ascending dan simetris secara natural. Anggota tubuh bagian

bawah biasanya terkena duluan sebelum tungkai atas. Otot-otot proksimal

mungkin terlibat lebih awal daripada yang lebih distal. Tubuh, bulbar, dan otot

pernapasan dapat terpengaruh juga. Kelemahan otot pernapasan dengan sesak

napas mungkin ditemukan, berkembang secara akut dan berlangsung selama

beberapa hari sampai minggu. Keparahan dapat berkisar dari kelemahan ringan

sampai tetraplegia dengan kegagalan ventilasi. Pasien sempat dirawat di ICU

karena saturasi oksigen pasien 92%.6

Pada pasien ini, beberapa penyebab yang dicurigai adalah infeksi dari

COVID-19, penyakit diare dan ISPA. Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi,

trauma, atau faktor lain yang memencetus terjadinya demielinisasi akut pada

Sindrom Guillain Barre masih belum diketahui dengan pasti. Banyak ahli

membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang terjadi pada sindroma ini

adalah melalui mekanisme imunlogi. Bukti- bukti bahwa imunopatogenesa

merupakan mekanisme yang menimbulkan jejas saraf tepi pada sindroma ini

adalah:6

1. Didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (celi mediated

immunity) terhadap agen infeksious pada saraf tepi.

2. Adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi


47

3. Didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran pada

pembuluh darah saraf tepi yang menimbulkan proses demyelinisasi saraf

tepi.

Proses demyelinisasi saraf tepi pada Sindrom Guillain Barre dipengaruhi

oleh respon imunitas seluler dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai

peristiwa sebelumnya, yang paling sering adalah infeksi virus. Makrofag yang

telah menelan (fagositosis) antigen/terangsang oleh virus, allergen atau bahan

imunogen lain akan memproses antigen tersebut oleh penyaji antigen (antigen

presenting cell= APC). Kemudian antigen tersebut akan dikenalkan pada limfosit

T (CD4). Setelah itu limfosit T tersebut menjadi aktif karena aktivasi marker

dan pelepasan substansi interlekuin (IL2), gamma interferon serta alfa TNF.

Kelarutan E selectin dan adesi molekul (ICAM) yang dihasilkan oleh aktifasi sel

endothelial akan berperan dalam membuka sawar darah saraf, untuk mengaktifkan

sel limfosit T dan pengambilan makrofag. Makrofag akan mensekresikan protease

yang dapat merusak protein myelin disamping menghasilkan TNF dan

komplemen.6

Pada infeksi COVID-19, walaupun dari beberapa penelitian belum ada yang

membuktikan secara pasti GBS disebabkan oleh infeksi COVID-19. Baru-baru ini

juga telah dilakukan pengamatan pada rangkaian asam amino virus SARS-CoV-2

yang berpotensi mengakibatkan kerusakan pada sistem saraf perifer. Pada

pengamatan tersebut didapatkan mimikri molekuler antara virus dan human heat

shock protein (HSP) 90 dan 60, yang dihubungkan dengan GBS. 14 Mekanisme

mimikri molecular ini juga ditemukan pada agen infeksi lain yang menyebabkan

SGB, salah satunya yang paling sering pada Campylobacter jejuni, dinding selnya
48

mengekspresikan lipo-oligosakarida yang secara struktur mirip terhadap

gangliosida dari saraf.15

Reaksi inflamasi yang berat pada pasien COVID-19 di laporkan mengalami

peningkatan plasma konsentrasi dari sitokin proinflamasi, termasuk IL6, IL-10,

Granulocyte-Colony Stimulating Factor (GCSF), Monocyte Chemotractant

Protein 1 (MCP1), Macrophage Inflammatory Protein (MIP)1α, TNF-α. Semakin

parah kondisi pasien, semakin tinggi IL-6 mereka. Sel Th dan T supresor

diaktifkan oleh karena ekspresi CD69, CD38, dan CD44 yang tinggi. Ekspresi

yang tinggi dari Tm3+ PD-1+ pada sel T menunjukkan bahwa sel T mengalami

kelelahan. Kelelahan pada sel T dapat memicu progresifitas dari penyakit.16,17

Temuan lain pada pasien dengan kondisi yang berat, terjadi penyimpangan

pada sel Th, dimana sel Th mengekspresikan IFN-γ dan GM-CSF. GM-CSF dapat

membantu membedakan sel imun bawaan dan meningkatkan fungsi sel T, tetapi

juga dapat memicu kerusakan jaringan secara berlebihan. GM-CSF+, IFN-γ+,

sebelumnya juga ditemukan pada respons sel T terhadap percobaan

ensefalomielitis autoimun. Kondisi ini disebut sebagai badai sitokin. Dengan

adanya intoleransi imun dan badai sitokin, pada pasien COVID-19 sudah berada

dalam kondisi inflamasi berlebihan. Dengan virus SARS-CoV2 menyebabkan

terjadinya mimikri molekuler, maka kemungkinan terjadinya GBS meningkat.16,18

Namun tidak dapat dipungkiri, hal ini masih memerlukan penelitian lebih

lanjut. Pada pasien ini juga terjadi ISPA dan diare sebelum mengalami gejala

GBS. Hal ini bisa menjadi pertimbangan untuk memastikan etiologi dari GBS

pada pasien. Pada sebagian besar kejadian Sindrom Guillain Barre, terdapat

infeksi yang mendahului beberapa minggu sebelumnya. Infeksi pada saluran


49

pernafasan dan saluran pencernaan adalah yang paling sering ditemui. Organisme

yang paling sering adalah Campylobacter jejuni,diikuti oleh Cytomegalovirus

dan Epstein-Barr Virus. Penyebab lain yang lebih jarang adalah HIV,

Mycoplasma pneumonia, dan varicella-zoster.7

Pada pemeriksaan penunjang ENMG didapatkan GBS tipe acute motor

sensory axonal neuropaty (AMSAN). Pada tipe AMSAN terjadi mekanisme

menyerupai neuropati axonal motorik akut, namun dengan degenerasi aksonal

sensorik. Gejala yang bisa terjadi ialah tetraparesis akut, arefleksia (kehilangan

refleks), kehilangan fungsi sensoris bagian distal (lebih mendominasi

dibandingkan AMAN) dan insufisiensi respirasi.6

Pada pasien ditemukan riwayat penyakit hipertensi dengan tekanan darah

140/90 mmHg , diabetes mellitus dengan HBA1C 8.5% dan dislipidemia dengan

kolesterol total 256 mg/dl, HDL 62 mg/dl, LDL mg/dl, Trigliserida 172 mg/dl.

Sehingga dilakukan kontrol tekanan darah, gula darah dan kolesterol agar tidak

mengarah ke komplikasi stroke. Pada pasien ini diberikan kombinasi candesartan

dan amlodipin, kombinasi insulin long acting dan novorapid short acting serta

atorvastatin untuk mengontrol nilai kolesterol dalam darah pasien.19

Pasien ini diberikan pengobatan IVFD NS 20 tpm, inj. Metilprednisolon

3x125 mg, inj. Mecobalamin 2x1, inj. Lansoprazol 2x30 mg, inj. ceftriaxone 2x1

gram, sc lantus 0-0-4, sc Novorapid 4-4-4, po. Amlodipin 1x10 mg, po.

Candesartan 1 x 16 mg, po. Atorvastatin 1x20 mg, VIP albumin 3x1, sucralfat syr

3x1, laksadin syr 3x1.

Pemberian infus normal saline berguna untuk menjaga keseimbangan cairan

dan elektrolit. Kemudian, Pemberian metoprednisolon sebagai imunosupresan


50

pada efek inflamasi yang terjadi, sehingga gejala yang muncul berkurang.

Pemberian mecobalamin merupakan salah satu bentuk vitamin B12 yang memiliki

peran penting terhadap pembentukan sel darah merah, metabolisme sel tubuh dan

sel saraf. Inj. Ceftriaxon sebagai antibiotik spektrum luas, lantus merupakan

golongan insulin analog kerja panjang (Long-Acting) dan novorapid merupakan

golongan insulin analog kerja cepat (Rapid-Acting). Amlodipin dan candesartan

sebagai antihipertensi pasien. Pemberian VIP albumin untuk menangani

hipoalbuminemia pasien, sucralfat sebegai gastroprotektor dan laksadin obat yang

digunakan untuk mengatasi susah buang air besar pada pasien.

Sampai saat ini belum ada pengobatan spesifik untuk GBS, pengobatan

terutama secara simptomatis. Tujuan utama penatalaksanaan adalah mengurangi

gejala, mengobati komplikasi, mempercepat penyembuhan dan memperbaiki

prognosisnya. Intravenous inffusion of human Immunoglobulin (IVIg) dapat

menetralisasi autoantibodi patologis yang ada atau menekan produksi auto

antibodi tersebut. Pengobatan dengan gamma globulin intravena lebih

menguntungkan dibandingkan plasmaparesis karena efek samping/komplikasi

lebih ringan. Pemberian IVIg ini dilakukan dalam 2 minggu setelah gejala

muncul dengan dosis 0,4 g I kgBB /hari selama 5 hari. Fisioterapi dada secara

teratur untuk mencegah retensi sputum dan kolaps paru. Gerakan pasif pada

kaki yang lumpuh mencegah kekakuan sendi. Segera setelah penyembuhan mulai

(fase rekonvalesen), maka fisioterapi aktif dimulai untuk melatih dan

meningkatkan kekuatan otot.6


BAB V

PENUTUP

Telah dilaporkan sebuah kasus Tn. R usia 44 tahun dengan diagnosis

Guillain-Barré Syndrome. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,

pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Didapatkan gejala klinis yaitu

tetraparesis dan tetrahipoestesia. Pasien ini diberikan pengobatan IVFD NS 20

tpm, inj. Metilprednisolon 3x125 mg, inj. Mecobalamin 2x1, inj. Lansoprazol

2x30 mg, inj. ceftriaxone 2x1 gram, sc lantus 0-0-4, sc Novorapid 4-4-4, po.

Amlodipin 1x10 mg, po. Candesartan 1 x 16 mg, po. Atorvastatin 1x20 mg, VIP

albumin 3x1, sucralfat syr 3x1, laksadin syr 3x1. Pasien diperbolehkan pulang

pada tanggal 25 Juni 2021.

51
DAFTAR PUSTAKA

1. Willison HJ, Jacobs BC, Doorn PA. Guillain-Barré syndrome. The Lancet.
2016; 388:717-27.

2. Wijdicks EF, Klein CJ. Guillain-Barré syndrome. Mayo Clinic Proceeding.


2017; 92: 467-79.

3. Esposito S, Longo MR. Guillain-Barré syndrome. Autoimmunity Reviews.


2017; 16(1): 96-101.

4. Donofrio PD. Guillain-Barré syndrome. Peripheral nerve and motor neuron


disorder. 2017; 23(5): 1295-309.

5. Shahrizaila N, Lehmann HC, Kuwabara S. Guillain-Barré syndrome. The


Lancet. 2021; 397 (1): 1214-28.

6. Fitriany J, Heriyani N. Sindrome guillain barre. J Ked N Med. 2018; 1(1):


54-62.

7. Jasti AK, Selmi C, Sarmiento-Monroy JC, Vega DA, Anaya JM, Gershwin
ME. Guillain-Barré syndrome: causes, immunopathogenic mechanisms and
treatment. Expert review of clinical immunology. 2016; 12:1175-89.

8. Leonhard SE, Mandarakas MR, Gondim FA, Bateman K, Ferreira ML,


Cornblath DR. Diagnosis and management of Guillain–Barré syndrome in
ten steps.Nature Reviews Neurology. 2019;15(1): 671-83.

9. Hughes R, Brassington R, Gunn AA, Doorn PA. Corticosteroids for


Guillain‐Barré syndrome. 2016.

10. Wijayanti S. Aspek klinis dan penatalaksanaan: guillain barre syndrome.


2016.

11. Alex Y, Bart C, Doorn V. Advances in management of Guillain–Barré


syndrome. Current opinion in neurology. 2018; 31: 541-50.

12. Andrasall J. Sindrom guillain-barre pada pasien dengan infeksi severe acute
respiratory syndrome-corona virus-2 selamam masa pandemi. Callosum
Neurology Journal. 2020; 3(3): 122-32.

52
53

13. Manteferdo B, Gube AA, Awlachew E, Sisay G. Novel Coronavirus


(COVID-19)-Associated Guillain–Barre’ Syndrome: Case Report.
International medical case report journal. 2021; 14:251-53.

14. Lucchese, Guglielmo, and Agnes Flöel. “SARSCoV-2 and Guillain-Barré


Syndrome: Molecular Mimicry with Human Heat Shock Proteins as
Potential Pathogenic Mechanism.”Cell Stress and Chaperones. 2020.

15. Esposito, Susanna, and Maria Roberta Longo. “Guillain–Barré Syndrome.”


Autoimmunity Reviews. 2017;16: 96–101.

16. Yuki, Koichi, Miho Fujiogi, and Sophia Koutsogiannaki. “COVID-19


Pathophysiology: A Review.” Clinical Immunology. 2020;215:108427.

17. Stuti, Indwiani, and Ysrafil. “Severe Acute Respiratory Syndrome


Coronavirus 2 (SARSCoV-2): An Overview of Viral Structure and Host
Response.” Diabetes & Metabolic Syndrome: Clinical Research & Reviews.
2020;14: 407–12.

18. Shiomi, Aoi, and Takashi Usui. “Pivotal Rolesof GM-CSF in Autoimmunity
and Inflammation.” Mediators of Inflammation. 2015:1–13.

19. Handayani F, Kusumaningrum NS, Hastuti YD, Utami RS, Suhartini, et al.
Penatalaksanaan hipertensi dan diabetes mellitus untuk mencegah stroke.
FK UNDIP. 2020.

Anda mungkin juga menyukai