Anda di halaman 1dari 10

DILEMA PENEGAKAN HUKUM PIDANA

TERHADAP PRAJURIT TNI

Oleh :

Yudi Krismen1

Abstraction

Many have a general criminal cases committed by members of the military of this country,
but in law enforcement as if the members of the military as a criminal not touched by the
criminal law, as a general jurisdiction to try criminal offenses committed by members of the
TNI still under military justice. Moreover, the military justice system that are covered so
much of the sense of justice. It should be criminal offenses committed by members of the
military brought to the general court as mandated by the Constitution amendments 45 and
MPR Decree No. VII / 2000, which regulates the separation of the role of the National Police
Force constituted by the issuance of MPR NO.VI AND VII OF 2000 in Article 3, paragraph 4
of MPR Decree NO . VII / MPR / 2000, reads as follows: a) the Indonesian National Armed
Forces are subject to the authority of the military court in the case of violations of military law
and subject to the general judicial power in violation of the general criminal law, b) When the
authority of the general court referred to in subsection ( 4a ) this article does not work then
the soldiers subordinate judicial power which is regulated by law. This means that throughout
the criminal law for military materiel ( KUHPM ) has not changed, it is difficult to apply an
idea or a “political decision” contained in MPR Decree No. VII / 2000 , that the “soldiers are
subject to the authority of the general court in the case of violation of the general criminal
law”. So keep referring to Law No. 31/1997 about the existing military justice governing the
criminal justice common for soldiers, so that a wishful thinking will achieve “the principle of
equality before the law” against members of the military and members of the military will
continue to be the golden boy in this Republic.

Keywords : Members of the military, military justice, public justice, the principle
Aquality before the law

A. Latar Belakang menduga kelompok penyerang pos polisi di Bundaran


Baru-baru ini keluar pemberitaan media bahwa Senayan dan Trunojoyo berasal dari kesatuan Tentara
terjadi penyerangan pada pos polisi oleh orang tidak Nasional Indonesia (TNI)3.
dikenal, sesuai dengan keterangan pers yang diberikan Penyerangan seperti ini bukanlah sekali ini, namun
oleh Kombes Pol Rikwanto selaku Kabid Humas Polda berdasarkan beberapa catatan tentang tindakan
Metro Jaya, menyatakan bahwa; pada hari sabtu penyerangan yang dilakukan anggota TNI terhadap
tanggal 08 Februari 2014, pukul 01.30 WIB telah terjadi Markas Kepolisian di Indonesia, antara lain:.
penyerangan pos polisi di Bundaran Senayan dan 1. Pada hari Selasa tanggal 19 November 2013, telah
Trunojoyo oleh sekitar 20 orang bersepeda motor, tiga- terjadi penyerangan oleh puluhan anggota Yonif 305
empat orang dari mereka merusak pos polisi tersebut Telukjambe ke Polres Kerawang dengan membabi
dengan menggunakan batu 2. Selanjutnya Kabid buta.4
Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Rikwanto 2. Penyerangan Markas Polres Mempawah di
1
Kandidat Doktor Ilmu Hukum Program Doktor Universitas Padjadjaran Bandung/Anggota Polri/Dosen Luar Biasa pada Universitas Islam Riau,
Universitas Riau dan STIH Persada Bunda di Pekanbaru.
2
http://m.tempo.co/read/ (kertas posisi 11 pebruari 2014)
3
Ibid.
4
http://google.com, akibat penyerangan tersebut 5 orang anggota Polres Kerawang terluka. (kertas posisi tanggal 11 pebruari 2014)

146 JURNAL SELAT, OKTOBER 2014, VOL. 2 NO. 1


Kabupaten Pontianak, oleh anggota TNI dari Peradilan Militer sesuai dengan perbuatan pidana apa
Batalyon 643 Wanara Sakti di Anjungan di Pontianak, yang dilanggar oleh setiap prajurit TNI.
sehingga sejumlah kaca markas Polres rusak Namun peradilan umum tidak kunjung terwujud
terkena lemparan batu dan benda-benda keras dan bagi prajurit TNI yang telah melakukan tindak pidana
seorang anggota polisi terluka akibat terkena umum, seakan prajurit TNI kebal hukum dan juga
tembakan.5 seolah-olah anak emas/nomor satu di Republik ini.
3. Markas Kepolisian Ogan Komering Ilir, Sumatera Menyikapi permasalahan ini, hal apakah yang
Selatan diserang oleh Batalyon Armed 15, penye- menjadi dilema dalam penegakan hukum pidana
rangan tersebut disertai pembakaran, dan meng- terhadap prajurit TNI yang telah melakukan tindak
akibatkan 4 orang anggota polisi mengalami luka pidana umum, suatu tinjauan terhadap UU No. 31
tusuk.6 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer?

Tindak pidana kekerasan yang dilakukan oleh C. Pembahasan


prajurit TNI di atas tidak saja terhadap markas Indonesia adalah Negara berdasarkan hukum,
Kepolisian, Anggota Kepolisian, namun juga masya- (rechtstate), yang tercantum dalam pasal 1 ayat (3)
rakat sipil kerap jadi korban kekerasan dan penye- Undang-undang Dasar 1945 Amandemen ke-4. Hukum
rangan, seperti kejadian penganiayaan terhadap warga adalah prasarana mental masyarakat untuk meng-
di Distrik Tingginambut, Kabupaten Puncak Jaya, yang aktualisasikan potensi kemanusiaan dan naluri sosial
dilakukan oleh empat terdakwa dari prajurit TNI. 7 guna dapat berkehidupan secara aman dan ber-
Begitu juga dengan penyerangan lembaga pemasya- martabat9
rakatan Cebongan yang dilakukan oleh Yon Kopassus, Dalam pelaksanaannya hukum dapat berjalan
yang mengakibatkan beberapa orang masyarakat sipil secara efektif maupun tidak tergantung pada bagai-
yang berada di dalam rumah tahanan meninggal dunia mana masyarakat tersebut dapat menerima hukum dan
kena luka tembak. mengimplementasikannya dalam kehidupan mereka.
Apabila terjadi pelanggaran tindak pidana oleh Dalam rangka menegakkan aturan-aturan hukum,
Prajurit TNI penyelesaiannya melalui proses hukum maka Indonesia memerlukan adanya suatu institusi
mengacu kepada UU No. 31 Tahun 1997 tentang yang dinamakan kekuasaan kehakiman, yang bertugas
Peradilan militer 8, Pasal 8 ayat (1) berbunyi:” menegakkan dan mengawasi berlakunya peraturan
Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer perundang-undangan yang berlaku (ius constitutum).10
merupakan badan pelaksana kekuasaan kehakiman Indonesia merupakan negara hukum, dengan
di lingkungan Angkatan Bersenjata”. memiliki TNI (Tentara Nasional Indonesia) untuk
menjaga pertahanan dan keamananan negara (ranah
B. Masalah Pokok militer). Prajurit profesional memiliki ciri-ciri dasar yaitu,
Berdasarkan permasalahan-permasalahan tindak keahlian, tanggungjawab pada masyarakat atau
pidana umum yang dilakukan oleh prajurit TNI di atas negara, korporatisme, dan ideologi Prajurit TNI
selalu diadili melalui Peradilan Militer (UU 31 Tahun (Tentara Nasional Indonesia) adalah warga negara
1997) sedangkan semangat reformasi yang tertuang yang memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh
didalam TAP MPR No.VII/2000 sudah mengatur peraturan perundang-undangan dan diangkat oleh
tentang pemisahan Peradilan Umum dengan pejabat yang berwenang untuk mengabdikan diri

5
http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0312/10/UTAMA/733748.htm (kertas posisi tanggal 11 pebruari 2014)
6
http://m.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2013/03/130307_tni_serang_polisi_oku. (kertas posisi tangal 11 pebruari 2014)
7
Versi TNI orang yang diserang adalah pihak OPM, sedangkan dari versi LSM yang menjadi korban adalah masyarakat sipil. Murib selaku
Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Papua di Jayapura, empat terdakwa yang terlibat dalam kasus video penganiayaan dan
kekerasan terhadap warga di Distrik Tingginambut, Kabupaten Puncak Jaya, akan naik pangkat dan jadi pahlawan setelah disidang dan
menjalani hukuman. Murib berani mengatakan karena sesuai dengan pengalaman terdahulu, para pelaku pembunuhan terhadap Almarhum
Theys Eluay sejak itu diberi hukuman ringan. Seusai menajalani hukuman pangkatnya dinaikan.
8
Faisal Salam (I), Hukum Acara Pidana Militer, Bandung: Mandar Maju, 2006, hlm.31. Hukum Acara Pidana Militer adalah kumpulan peraturan
yang mengatur caranya pelaku dapat dihukum.
9
Artidjo Alkostar, Negara Tanpa Hukum : Catatan Pengacara Jalanan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000, hlm.62.
10
Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum Upaya Mewujudkan Hukum yang Pasti dan Berkeadilan, UII Press, Yogyakarta, 2006,
hlm.2.

JURNAL SELAT, OKTOBER 2014, VOL. 2 NO. 1 147


dalam dinas keprajuritan, memperjuangkan dan f. Menentukan perkara untuk diselesaikan menurut
mempertahankan kemerdekaan Negara. 11 Tetapi Hukum Disiplin Prajurit;
prajurit saat ini perlu memiliki kecakapan-kecakapan g. Menutup perkara demi kepentingan hukum atau
manajemen modern dan strategi12 sebagai seorang demi kepentingan umum.
prajurit TNI (Tentara Nasional Indonesia).
Sebagai seorang prajurit TNI yang terlatih dan Dalam hal ini, Atasan Yang Berhak Menghukum
dipersenjatai, mendapatkan kewenangan memperta- (Ankum) memiliki wewenang komando yang penuh
hankan Negara Kesatuan RI, semua itu diberikan terhadap bawahannya. seketika anggotanya melaku-
berdasarkan undang-undang. Namun jika prajurit TNI kan suatu tindak pidana, maka Atasan Yang Berhak
melakukan pelanggaran hukum pidana militer sesuai Menghukum (Ankum) sebagai Perwira Penyerah
dengan KUHPM akan diadili di Peradilan Militer sesuai Perkara berhak memutuskan apakah kasus tersebut
dengan UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, akan dilanjutkan ke persidangan Peradilan Militer atau
namun anehnya seketika prajurit TNI melakukan tindak tidak13. Untuk memutuskan hal tersebut, muncul peran
pidana umum tetap juga di adili di peradilan militer. teori dan asas dalam militer. Teori Kewenangan
Dari beberapa kasus di atas, sangat sulit membawa digunakan sebagai teori dasar segala tindakan
prajurit TNI ke peradilan umum terkait dengan didasarkan oleh hukum, dimana dalam hukum pidana
pelanggaran tindak pidana umum, hal ini tentu akan militer peran KUHPM dan perundangan militer lainnya
melukai rasa keadilan masyarakat. Sesuai dengan UU digunakan. Wewenang adalah kemampuan bertindak
No. 31 Tahun1997 tentang Peradilan Militer yang yang diberikan oleh Undang-Undang yang berlaku
berhak menyidik perkara terkait prajurit TNI adalah untuk melakukan hubungan dan perbuatan hukum.14
Polisi Militer (POM) TNI, baik itu pelanggaran pidana Dalam substansi UU No. 31 Tahun 1997 tentang
militer sesuai dengan KUHPM maupun Pidana Umum Peradilan Militer, memberikan perlindungan terhadap
sesuai dengan KUHP, dan proses Peradilan Militer prajurit TNI yang terlibat dengan pelanggaran tindak
tertutup buat umum, tidak transfaran dan jauh dari pidana umum dan berdasarkan UU No. 31 Tahun 1997
profesionalitas, sehingga melukai rasa keadilan tersebut, dimana prajurit TNI tidak tunduk ke peradilan
masyarakat (masyarakat sebagai korban). Umum.
Selanjutnya dalam proses pemeriksaan perkara Kasus pidana umum dalam penyimpangan dana
pidana yang dilakukan oleh prajurit TNI sesuai dengan dalam pengadaan alutsista (alat utama sistem
UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, persenjataan) untuk TNI yang sedang disidik oleh
pertama-tama perkara harus diserahkan terlebih komisi pemberantasan korupsi (selanjutnya disebut
dahulu kepada Atasan Yang Berhak Menghukum KPK), dimana KPK mengalami kesulitan untuk
(Ankum) sebagai Perwira Penyerah Perkara juga melakukan penyidikan terhadap Prajurit TNI, karena
memiliki wewenang yang lain. Pasal 123 Undang- prajurit TNI hanya tunduk kepada UU No. 31 Tahun
Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan 1997 tentang Peradilan Militer, disisi lain KPK adalah
Militer menyebutkan, bahwa wewenang Perwira sebuah lembaga yang superbody di Republik ini sesuai
Penyerah Perkara adalah: dengan kewenangan yang dimilikinya, juga tidak bisa
a. Memerintahkan Penyidik untuk melakukan berbuat banyak karena terbentur dengan UU No. 31
Penyidikan; Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
b. Memerintahkan dilakukannya upaya paksa; Sejalan dengan pendapat Pengamat Militer dari
c. Memperpanjang penahanan; Imparsial, Pungky Indarti, mengatakan : “KPK susah
d. Menerima atau meminta pendapat hukum dari memasuki peradilan militer, KPK sendiri bersifat sipil.
Oditur tentang penyelesaian perkara; selama ini dalam peradilan militer yang menahan oknum
e. Menyerahkan perkara kepada Pengadilan yang militer yang bermasalah yakni polisi militer dan dihukum-
berwenang untuk memeriksa dan mengadili; nya secara militer,” selanjutnya Pungky mengatakan “Untuk

11
Sianturi (I), Hukum Pidana Militer Di Indonesia, Alumni AHAEM-PETEHAEM, Jakarta, 1985, hlm.2.
12
Amos Perlmutter, Militer dan Politik, Rajawali, Jakarta, 1984, hlm.3.
13
Apabila masyarakat menjadi korban tindak pidana yang dilakukan prajurit TNI, tentu tidak akan bias berbuat apa lagi karena ketentuan dalam
UU No. 31/1997 tentang peradilan militer mengatur demikian.
14
SF. Marbun, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administrasi di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1997, hlm. 154.
15
http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=312568:kpk-sulit-tembus-tni-karena-peradilan-
militer&catid=59:kriminal-a-hukum&Itemid=91 (kertas posisi tangal 11 Februari 2014)

148 JURNAL SELAT, OKTOBER 2014, VOL. 2 NO. 1


itu perlu revisi UU Peradilan Militer, agar pihak TNI yang Belanda di Indonesia (Hindia Belanda) yaitu KNIL dan
terjerat korupsi diadili di peradilan sipil,”15. anggota Angkatan Laut Belanda. Anggota Angkatan
Selanjutnya Adnan Buyung Nasution berpendapat Darat Hindia Belanda (KNIL) di periksa dan di adili
bahwa penegakan hukum dilingkungan TNI dalam oleh “Krijgsraad” untuk tingkat pertama dan “Hoog
satu dasawarsa terakhir menjadi sorotan tajam. Militair Gerechtshof” untuk tingkat banding. Sedangkan
Persoalan ini muncul karena masyarakat menilai anggota-anggota Angkatan Laut Belanda diperiksa dan
dalam banyak kasus yang melibatkan anggota TNI diadili oleh “Zeekrijgsraad” dan “Hoog Militair
sering tidak tersentuh hukum dan tidak jelas ujungnya. Gerechtshof” , “Krijgsraad” terdapat di kota Cimahi,
ususnya dalam tindakan atau perbuatan yang tidak Padang, Ujung Pandang dengan daerah hukum
termasuk dalam tindak pidana umum diluar tindak masing-masing. Dengan demikian penguasa Belanda
pidana militer tidak terjadi dikemudian hari. di Jawa-Madura maupun di luar daerah mengadakan
“Temporaire Krijgsraad” yaitu Mahkamah Militer
Dilema sementara yang di beri wewenang pula mengadili
Definisi kata dilema 16 adalah situasi sulit yang tindak pidana yang oleh orang-orang bukan Militer
mengharuskan orang menentukan pilihan antara dua serta bukan di golongkan dalam bangsa Indonesia.
kepentingan yang sama-sama tidak menyenangkan Majelis Hakim terdiri dari 3 (tiga) orang, Oditur ialah
atau tidak menguntungkan, situasi yang sulit dan Jaksa landgerecht.
membingungkan. Sedangkan arti kata dilematik yang Mahkamah Militer Sementara (Belanda) itu
berkenaan dengan dilema, bersifat dilema, contohnya bersidang dengan Majelis Hakim. Mahkamah Agung
seseorang harus menentukan sebuah pilihan yang Indonesia dalam sejarahnya melakukan kelanjutan
dilematis, seperti : apakah tahun ini seseorang akan dari “Het Hooggerechtshof Ver Indonesie” (Mahkamah
menikah atau melanjutkan studi. Agung pemerintah Hindia Hindia Belanda di Indonesia)
Dilematik penegakan hukum pidana terhadap yang didirikan berdasarkan R.0 tahun 1842 dan Het
prajurit TNI di Indonesia, seperti sebuah masalah yang Hooggerechtshof (HGH) merupakan hakim kasasi
masih perlu diselesaikan secara tuntas dan jelas, terhadap putusan-putusan Raad Van Justitie (RV) yaitu
supaya ada kepastian hukum guna menjamin peradilan-peradilan sehari-hari bagi orang-orang
kenyamanan hidup berbangsa dan bernegara dengan Eropa dan yang disamakan dengan mereka. Het
menjunjung asas equality before the law (persamaan Hooggerechtshof berkedudukan di Jakarta.
derajat dihadapan hukum) bagi setiap warga Negara
yang melanggar hukum. Masa Sesudah Kemerdekaan RI (1945 s/d 1970)
Adanya UU No.31 Tahun 1997 tentang Peradilan Kemerdekaan Negara Republik Indonesia, meru-
Militer, bahwa sulit bagi prajurit TNI yang melakukan pakan titik awal penegakan hukum oleh Bangsa
pelanggaran tindak pidana untuk dituntut diperadilan Indonesia. Tanggal 18 Agustus 1945 disahkan
umum, padahal sesuai dengan amanat reformasi Pancasila dan UUD 1945 sebagai dasar Negara RI
tertuang dalam TAP MPR No. VII Tahun 2000 sudah yang di dalamnya terkandung nilai-nilai dasar dan
ditegaskan bahwa bagi prajurit TNI yang melakukan kaedah yang fundamental berdasarkan atas hukum
tindak pidana umum akan diadili di peradilan umum bukan kekuasaan.
dan apabila prajurit TNI melakukan pelanggaran Setelah berdirinya Negara Republik Indonesia,
pidana militer sesuai KUHPM, maka akan diadili pada pemerintah tetap mempertahankan badan-badan
peradilan militer. Namun amanat TAP MPR No. VII Peradilan serta Peraturan-Peraturan dari Jaman
Tahun 2000 tersebut tidak kunjung terealisasikan. Pendudukan Jepang dengan perubahan-perubahan /
penambahan-penambahan berdasarkan UUD 1945
Sejarah Peradilan Militer di Indonesia masa guna mengisis kekosongan hukum. Tertuang d idalam
pejajahan Belanda UUD 1945 diadakanlah Ketentuan Peralihan (Pasal
Sebelum perang Dunia ke-II, Peradilan Militer II): “Segala Badan Negara dan Peraturan yang ada
Belanda di Indonesia dikenal dengan “Krijgsraad” dan masih langsung berlaku selama belum diadakan yang
“Hoog Militair Gerechtshof”. Peradilan ini ruang baru menurut Undang-Undang Dasar ini.”
lingkupnya meliputi perbuatan pidana militer dan Ketentuan inilah yang menjadi dasar hukum dalam
anggota-anggotanya terdiri dari Angkatan Darat praktek Peradilan di Indonesia setelah proklamasi.

16
Menurut kamus besar bahasa Indonesia.

JURNAL SELAT, OKTOBER 2014, VOL. 2 NO. 1 149


Dengan adanya ketentuan tersebut Peradilan- kiman. Terlihat dalam ketentuan pasal 11 No 14 Tahun
Peradilan (terutama Peradilan Umum dan Peradilan 1970 yang menimbulkan dualisme dalam pelaksanaan
Agama) yang telah ada di jaman pendudukan Jepang kekuasaan kehakiman, yaitu satu sisi teknis peradilan
tetap berjalan seperti keadaan sebelumnya. Se- berada di bawah Mahkamah Agung dan sisi Admi-
dangkan Peradilan Ketentaraan tidak mewarisinya baik nistrasi. Kemudian menurut Pasal 6 UU No. 19 Tahun
dari Belanda maupun Jepang. Sesuai dengan 1948. Dalam Negara Republik Indonesia dikenal
pernyataan Pemerintahan RI pada waktu itu prakteknya adanya 3 (tiga) lingkungan peradilan, yaitu : Lingkungan
tidak mengoper Peradilan Ketentaraan dari jaman Peradilan Umum, Lingkungan Peradilan Tata Usaha
sebelumnya. Pemerintahan, Lingkungan Tata Usaha Ketentaraan.
Setelah dibentuk Angkatan Perang RI pada tanggal Namun Peradilan Agama tidak disebutkan dalam
5 Oktober 1945, Peradilan Militer belum juga diadakan. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1948, hanya dalam
Peradilan Militer ini baru dibentuk setelah dikeluar- Pasal 35 Ayat 2 ditetapkan bahwa perkara-perkara
kannya Undang-Undang No. 7 Tahun 1946 pada perdata antara orang Islam yang menurut hukum yang
tanggal 8 Juni 1946. Namun demikian ini tidak berarti hidup harus diperiksa dan diputus menurut hukum
bahwa pada masa diantara 5 Oktober 1945 dan 8 Juni agamanya.
1946 dalam Iingkungan Angkatan Bersenjata tidak ada
hukum dan keadilan. Masa Reformasi Kekuasaan Lembaga Peradilan
Untuk melengkapinya pemerintah mengeluarkan (1970-1998)
Undang-Undang No. 7 Tahun 1946 tentang Peraturan Pada Tahun 1970 lahirlah UU No 14 Tahun 1970
mengadakan Pengadilan Tentara disamping Peng- tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
adilan Biasa. Pengadilan Tentara pada waktu itu terdiri Kehakiman sebagai pengganti UU No 19 Tahun 1964.
dari 2 (dua) badan (tingkat) yakni : Mahkamah Tentara Sesuai dengan perkembangan istilah dalam bidang
dan Mahkamah Tentara Agung. Peradilan, yang terdapat dalam berbagai Perundang-
Sejak dikeluarkannya Undang-Undang Darurat No. Undangan, antara lain Undang-Undang No. 14 Tahun
16 Tahun 1950 maka peraturan tentang susunan dan 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan
kekuasaan dalam Lingkungan Peradilan Ketentaraan Kehakiman, maka terhadap nama Pengadilan
di Indonesia dapat dikatakan sudah mantap su- Ketentaraan perlu diadakan penyesuaian, yaitu
sunannya sama dengan PP. No. 37 Tahun 1948. menjadi: Mahkamah Militer (Mahmil), Mahkamah
Ketentuan Pasal 2 Undang-Undang No. 5 Tahun 1950 Militer Tinggi (Mahmilti), Mahkamah Militer Agung
tentang kekuasaan kehakiman dalam Peradilan (Mahmilgung).
Ketentaraan dilakukan oleh, yaitu Pengadilan Tentara, Kekuasaan lembaga peradilan yang merdeka telah
Pengadilan Tentara Tinggi dan Mahkamah Tentara disebutkan dalam Pasal 11 Ayat (1) ketetapan MPR RI
Agung. No. 111 / MPR/ 1978 yang berbunyi “ Mahkamah Agung
Sesuai dengan perkembangan politik Revolusioner adalah Badan yang melaksanakan kekuasaan
orde lama, pemerintah telah memasuki UU. No 19 kehakiman yang dalam pelaksanaan tugasnya,
tahun 1964, yang memberikan kekuasaan kepada terlepas dari pengaruh pihak lain ekstrayudisial. Maka
Presiden untuk melakukan Interversi dengan mem- di sahkanlah Undang-undang tentang Peradilan Militer
berikan status menteri kepada Ketua Mahkamah berdasarkan UU. No. 31 Tahun 1997 Peradilan Militer
Agung. Otomatis Presiden menjadikan Ketua Mahka- yang berada dibawah Mahkamah Agung RI. Pemikiran
mah Agung sebagai unsur kekuasaan pemerintah yang reformatif dalam bidang hukum adalah berkenaan
membantu Presiden (UUD 1945 Pasal 17), hal dengan peran kekuasaan kehakiman yang muncul
kebijakan ini sangat bertentangan dengan konsep- dalam era reformasi pada pertengahan dan akhir tahun
konsep UUD 1945. 1990-an adalah bahwa organisasi, administrasi dan
Pada masa pemerintahan Orde Baru Presiden keuangan lembaga kekuasaan kehakiman harus
Soeharto menghambat pelaksanaan kekuasaan ditangani oleh kekuasaan kehakiman sendiri, yaitu
lembaga peradilan yang Independen melalui UU. No oleh Badan Peradilan.
14 tahun 1970, tentang Pokok-pokok Kekuasaan
Kehakiman. Kekuasaan Kehakiman yang bebas tidak Peradilan Militer menurut UU No. 31/1997
dapat dilaksanakan secara utuh karena pengaturan Sebagaimana bunyi Pasal 184 Ayat 1 UU No. 31
administrasi, Organisasi dan Finansial lembaga Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, berbunyi : “tindak
peradilan diletakkan di bawah Departemen Keha- pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka

150 JURNAL SELAT, OKTOBER 2014, VOL. 2 NO. 1


yang termasuk yustisiabel Peradilan Militer oleh dari pihak yang ditimbukan oleh tindak pidana yang
pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum kecuali menjadi dasar dakwaan, dan sekaligus memutus
apabila menurut keputusan Menteri dengan perse- kedua perkara tersebut dalam satu putusan.
tujuan Menteri Kehakiman perkara itu harus diperiksa
dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan militer”. Perubahan setelah Amandemen UUD 45
Maksud dari ketentuan di atas, bahwa kewenangan Perubahan (Amandemen) UUD 1945 membawa
Peradilan Militer meliputi: perubahan mendasar mengenai penyelengaraan
1. Mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh kekuasaan kehakiman, dan diatur lebih lanjut dengan
prajurit atau orang yang dipersamakan dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
prajurit, dan “non prajurit” atau sipil yang ditentukan Kekuasaan Kehakiman. Konsekuensi dari perubahan
oleh keputusan Panglima dengan persetujuan ini adalah pengalihan organisasi, administrasi, dan
Menteri Kehakiman; finansial badan peradilan di bawah Mahkamah Agung.
2. Menyelesaikan sengketa Tata Usaha Angkatan Dahulunya, pembinaan Peradilan Militer berada di
Bersenjata; bawah Markas Besar Tentara Nasional Indonesia.
3. Menggabungkan perkara gugatan ganti rugi dalam Terhitung sejak 1 September 2004, secara organisasi,
perkara pidana; administrasi, dan finansial Peradilan Militer dialihkan
4. Mengadili perkara koneksitas (apabila ditentukan dari TNI ke Mahkamah Agung. Akibat peralihan ini,
oleh Menhankam dengan persetujuan Menkeh) seluruh prajurit TNI dan PNS yang bertugas pada
pengadilan dalam lingkup peradilan militer akan
beralih menjadi personel organik Mahkamah Agung,
Kewenangan Peradilan Militer dalam mengadili meski pembinaan keprajuritan bagi personel militer
tindak pidana yang dilakukan prajurit, didasarkan pada tetap dilaksanakan oleh Mabes TNI.
ketentuan hukum pidana material yang tertuang di Dikeluarkannya TAP MPR No. VII/2000, yang
dalam KUHPM, KUHP dan perundang-undangan mengatur tentang pemisahaan peranan TNI-POLRI
lainnya diluar KUHP. didasari dengan dikeluarkannya TAP MPR NO.VI DAN
Prajurit menurut Pasal 1 sub-42 UU No. 31/ Tahun VII TAHUN 2000 , menurur pasal 3 ayat 4 TAP MPR
1997 adalah “warga negara yang menenuhi NO. VII/MPR/2000:
persyaratan yang ditentukan dalam peraturan a. Prajurit Tentara Nasional Indonesia tunduk kepada
perundang-undangan yang berlaku saat ini. Dan Pasal kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran
1 sub-13 UU No. 31 Tahun1997 berbunyi “prajurit hukum militer dan tunduk kepada kekuasan
adalah anggota TNI” peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum
Pasal 9 UU No. 31/1997 berbunyi: “pengadilan pidana umum
dalam lingkungan peradilan militer berwenang: b. Apabila kekuasaan peradilan umum sebagaimana
1) Mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh dimaksud pada ayat (4a) pasal ini tidak berfungsi
seseorang yang pada waktu melakukan tindak maka pranjurit TNI tunduk dibawah kekuasaan
pidana adalah: peradilan yang diatur dengan undang-undang
a. Prajurit;
b. Yang berdasarkan undang-undang dipersa- Berdasarkan TAP MPR VII/2000 ini, kompetensi
makan dengan prajurit; peradilan militer dibatasi hanya mengadili prajurit TNI
c. Anggota suatu golongan atau jawatan atau yang melakukan pelanggaran hukum militer. Bertolak
badan atau yang dipersamakan atau dianggap dari TAP MPR VII/2000 tersebut, keluarlah beberapa
sebagai prajurit berdasarkan undang-undang; peraturan yang berkaitan dengan kompetensi peradilan
d. Seseorang yang tidak masuk golongan pada sebagai berikut:
huruf a, huruf b, dan huruf c tetapi atas keputusan 1. Pasal 24 UU No. 4/2004 (kekuasaan kehakiman)
Panglima dengan persetujuan Menteri Keha- yang menjadi pasal 16 UU No. 48/2009, berbunyi:
kiman harus diadili oleh suatu Pengadilan dalam Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh
lingkungan Peradilan Militer mereka yang termasuk lingkungan peradilan umum
2) Memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan dan lingkungan peradilan militer, diperiksa dan
sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan
3) Menggabungkan perkara gugatan ganti rugi dalam umum, kecuali dalam keadaan tertentu menurut
perkara pidana yang bersangkutan atas permintaan keputusan ketua Mahkamah Agung perkara itu

JURNAL SELAT, OKTOBER 2014, VOL. 2 NO. 1 151


harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam transparansi dan akuntabilitas, sehingga dapat
lingkungan peradilan militer. dikontrol oleh publik, dengan tetap mempertahankan
2. Pasal 65 UU No. 34/2004 tentang TNI: kewibawaannya sebagai alat kontrol prajurit TNI.
(1) Prajurit siswa tunduk pada ketentuan hukum Barda Nawawi Arif17dengan memberikan ide dasar
yang berlaku bagi prajurit pemikiran reformatif dan arah/garis politik hukum yang
(2) Prajurit unduk pada peradilan militer dalam hal tertuang dalam TAP MPR/VII/2000, UU No. 4 Tahun
pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk 2004 tentang TNI, memang seharusnya menjadi
pada kekuasaan peradilan umum dalam hal landasan dalam melakukan perubahan terhadap
pelanggaran hukum pidana umum yang diatur perundang-undangan, termasuk perubahan perun-
dengan undang-undang dang-undangan peradilan militer. Selanjutnya Barda
(3) Apabila kekuasaan peradilan umum sebagai- Nawawi Arif melihat dari sudut kebijakan pembaharuan
mana dimaksud pada ayat 1 (seharusnya ditulis atau penataan ulang keseluruhan tatanan (sistem)
pada ayat 2) tidak berfungsi, maka prajurit hukum pidana militer, masih patut dikaji ulang apakah
tunduk di bawah kekuasaan peradilan yang tepat saat ini yang diperbaharui hanya RUU Peradilan
diatur dengan undang-undang. Militer? Atas permasalahan tersebut, dengan
Dengan melihat signifikansi reformasi peradilan memberikan solusi, yakni pemba-haruan hukum
militer yang merupakan bagian krusial dalam reformasi pidana militer seyogyanya mencakup pembaharuan
di bidang pertahanan dan keamanan untuk mem- integral (sistemik) yaitu pembaharuan keseluruhan
bangun TNI yang profesional dan modern, serta sub-sistem yang meliputi:
kompleksitas persoalan peradilan militer di Indonesia, (1) Aspek substansi hukum; hukum pidana militer
maka IMPARSIAL, the Indonesian Human Rights substantif dan hukum acara pidana militer
Monitor, merekomendasikan beberapa hal sebagai (2) Aspek struktur hukum; berkaitan dengan lembaga/
berikut: aparat penegak hukum
1. RUU Perubahan terhadap UU No. 31 Tahun 1997 (3) Aspek budaya hukum.
hendaknya hanya mengatur hal-hal yang berkaitan
dengan struktur, organisasi, serta fungsi peradilan Barda Nawawi Arif18 mengatakan bahwa apabila
militer. diubah hanya UU Peradilan militer (UU No. 31/1997)
2. Pemerintah dan DPR harus membuat agenda yang mengatur aspek struktur/kelembagaan peradilan
bersama untuk membuka dan mengembangkan (kompetensi/jurisdiksi) dan hukum acaranya saja,
wacana publik tentang Sistem peradilan militer yang berarti baru melakukan perubahan parsial, hal ini akan
demokratis dan modern serta perlunya revisi UU/ menimbulkan masalah, mengingat hal-hal sebagai
RUU peradilan militer. berikut:
3. Keterlibatan masyarakat sipil harus diperkuat dalam 1. TAP MPR No. VII/2004, menyatakan (pasal 3 : 4a),
proses perumusan dan pembahasan RUU menyatakan: “prajurit TNI:
peradilan militer dengan membuka dan mengem- a. tunduk pada kekuasaan peradilan umum
bangkan wacana publik tentang Sistem peradilan b. dalam hal pelanggaran hukum pidana umum.
militer yang demokratis dan modern agar tetap Dalam Tap MPR No. VII/2004 menghendaki/
dalam koridor demokrasi dan hak asasi manusia. mengamatkan adanya 2 (dua) norma bagi
4. Pemerintah dan DPR harus segera melakukan revisi prajurit TNI, yaitu:
terhadap KUHPM dan KUHDM. a. norma struktural/institusional : yaitu “norma
5. Akan lebih baik apabila hukum acara Pidana militer tentang kekuasaan (lembaga) peradilan
dikeluarkan dari dari Undang-undang No. 31 Tahun umum bagi prajurit TNI”; dan
1997 tentang peradilan militer. Konsekuensinya, b. Norma substantif : Yaitu “norma tentang
Pemerintah dan DPR harus membuat Kitab pelanggaran hukum pidana umum oleh
Undang-Undang hukum acara militer secara Prajurit TNI”
tersendiri. 2. Keputusan Politik dalam TAP MPR No. VII/2004
tentu harus di wujudkan dalam Undang-undang
Peradilan militer harus pula memenuhi prinsip (pasal 3 TAP MPR NO. VII/2004), intinya harus ada
17
Barda Nawawi Atif, Kapita Selekta Hukum Pidana tentang Sistem Peradilan Pidana Terpadu (integrated criminal justice system), Penerbit
Universitas Diponegoro, Semarang, 2011, hlm.72
18
Ibid. hlm 72-73

152 JURNAL SELAT, OKTOBER 2014, VOL. 2 NO. 1


terlebih dahulu: jo. Pasal 2 KUHPM)
a. UU Struktural/institusional : yaitu “UU tentang e. Apabila ketentuan Pasal 9 UU No. 31/1997
Institusi/lembaga peradilan bagi prajurit TNI peradilan militer, khususnya kewenangan
yang melanggar hukum pidana umum”; dan peradilan terhadap prajurit TNI yang melakukan
b. UU (Norma) subtantif : yaitu “UU tentang hukum pelangggaran prajurit TNI yang melakukan
pidana materiel bagi prajurit TNI yang melang- pelanggaran hukum pidana umum, DIUBAH
gar hukum pidana umum” atau DITIADAKAN/DIHAPUS, maka akan terjadi
Melihat kedua undang-undang tersebut harus ada, ‘KEVAKUMAN PERADILAN”, karena:
terlihat dari pasal 65 (2) UU No. 34/2004 tentang TNI e.1. ketentuan/amanat dalam pasal 3 (4b) TAP
yang menegaskan : MPR No. VII/2000 tidak dapat dilaksana-
“Prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan kan, dan
militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer e.2. UU No. 4/2004 (menjadi UU No. 48/2009)
dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam TIDAK atau BELUM MENGATUR tentang
hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur kekuasaan peradilan umum sebagaimana
dengan undang-undang. dimaksud Pasal 3 (4a) TAP MPR No. VII/
1. Aspek struktural / lembaga peradilan : 2000, khususnya peradilan bagi prajurit
a. Kondisi saat ini, aspek struktural itu diatur dalam: TNI yang melakukan pelanggaran hukum
a.1 UU No. 48/2009 tentang kekuasaan pidana umum secara pribadi (individual).
kehakiman; dan 2. Aspek Substantif (hukum pidana materiel) :
a.2 UU No. 31/1997 tentang Peradilan militer. a. Aspek substantif (hukum pidana materiel)
b. UU No. 48/2009 tentang kekuasaan kehakiman tentang pelanggaran hukum pidana umum oleh
hanya mengatur “peradilan koneksitas” (pasal prajurit TNI, selama diatur dalam KUHPM
16) tidak mengatur peradilan individual” b. KUHP (WvS) hanya mengatur subjek orang (atau
terhadap prajurit TNI. Artinya, UU ini TIDAK warga negara) pada umumnya, tidak mengatur
MENGATUR tentang kekuasaan peradilan subjek militer (prajurit TNI)
umum sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 c. Jadi belum ada perubahan KUHPM dan belum
(4a) TAP MPR No. VII/2000, yaitu peradilan ada UU yang secara khusus mengatur tentang
pidana terhadap anggota TNI yang melakukan prajurit TNI yang melanggar hukum pidana
pelanggaran hukum pidana umum secara umum, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
pribadi (individual) (4a) TAP MPR No. VII/2000
c. Didalam UU No. 31/1997 diatur tentang d. Dengan belum adanya perubahan KUHPM atau
“peradilan koneksitas” (Pasal 198) dan belum adanya UU Khusus itu, berarti masih
“peradilan umum” bagi prajurit TNI yang berlaku ketentuan dalam pasal 2 KUHPM yang
melakukan pelanggaran hukum pidana militer menyatakan: “Terhadap tindak pidana yang
mapun hukum pidana umum secara pribadi tidak tercantum dalam UU ini, yang dilakukan
(pasal 9 UU No. 3/1997) jo. Pasal 2 KUHPM). oleh orang-orang yang tunduk pada badan
d. Dengan BELUM DIATURNYA (belum berfungsi) kekuasaan peradilan militer, diterapkan hukum
kekuasaan peradilan umum bagi prajurit TNI pidana umum, kecuali ada penyimpangan-
yang melakukan pelanggaran hukum pidana penyimpangan yang ditetapkan dangan UU”.
umum secara pribadi (belum diaturnya e. Ini berarti norma hukum pidana materiel yang
“peradilan individual”) oleh UU Kekuasaan saat ini berlaku bagi prajurit TNI yang melakukan
Kehakiman No. 4/2004 (sudah menjadi UU No. tindak pidana umum (pelanggaran hukum
48/2009), sebagaimana dimaksud pasal 3 (4a) pidana umum) seperti tersebut dalam pasal 3
TAP MPR No. VII/2000, maka bertolak dari pasal (4a) TAP MPR No. VII/2000, diatur dalam
3 (4b) TAP MPR No. VII/2000, prajurit TNI itu KUHPM. Ini berarti, Peradilan Militer lah yang
harus “tunduk di bawah kekuasaan peradilan menerapkan ketentuan dalam Pasal 2 KUHPM
yang diatur dengan UU”. Hal ini ditegaskan itu. Tidak mungkin norma hukum pidana materiel
dalam pasal 65 (3) UU No. 34/2004 tentang TNI untuk militer/prajurit TNI yang ada di dalam
seperti dikemukakan diatas. Ini berarti, masih KUHPM, diterapkan oleh PU (peradilan).
tunduk kepada “peradialn individual” yang diatur Akhirnya Barda Nawawi Arif, memberikan kesim-
dalam UU No. 31/1997 (pasal 9 UU No. 31/1997 pulan (Resume) sepanjang hukum pidana materiel

JURNAL SELAT, OKTOBER 2014, VOL. 2 NO. 1 153


untuk militer (KUHPM) belum diubah, sulit untuk yang mengatur perkara koneksitas.
mengaplikasi ide atau “putusan politik” yang tertuang 8. Yurisdiksi tata usaha militer harus dihapuskan dari
dalam TAP MPR No. VII/2000, bahwa terhadap “prajurit sistem peradilan militer.
TNI tunduk kepada kekuasaan peradilan umum dalam
hal pelanggaran hukum,pidana umum” Sekaligus dirumuskan tentang organisasi dan
Namun kesepakatan yang sudah dicapai antara struktut peradilan militer, antara lain:
DPR dengan Pemerintah dalam hal yurisdiksi baru 1. Untuk menghindari pengaruh komando (command
terbatas pada dua hal, yaitu prajurit TNI yang melakukan influence) Personil Korps hukum militer harus
tindak pidana umum diadili di peradilan umum; dan dimasukkan di bawah Babinkum, dengan memin-
penghapusan pengadilan koneksitas. Untuk melengkapi dahkan Babinkum ke bawah Departemen Perta-
kesepakatan tersebut, merekomendasikan beberapa hal hanan.
berkaitan dengan yurisdiksi peradilan militer: 2. Fungsi-fungsi pembinaan personel militer serta
1. Yurisdiksi peradilan militer berdasarkan tindak pembinaan organisasi, prosedur, administrasi, dan
pidana yang disangkakan tersebut (ratione finansial di lingkungan peradilan militer harus
materiae) hanya terbatas pada tindak pidana militer dilepaskan dari Mabes TNI dan diserahkan
yang diatur dalam Kitab Undang-undang hukum sepenuhnya kepada Departemen Pertahanan.
Pidana (KUHP) militer. 3. Dalam penanganan kasus, peradilan militer masih
2. Tindak pidana pelanggaran berat HAM dan tetap di bawah Mahkamah Agung. Namun demikian
kejahatan perang tidak boleh menjadi yurisdiksi di tingkat MA, Hakim Agung mesti berstatus sipil.
peradilan militer.
3. Yurisdiksi peradilan militer berdasarkan pelaku D. Penutup
tindak pidana (ratione personae) hanya terbatas Untuk mengatasi tindak pidana umum yang
pada mereka yang menjadi anggota militer serta dilakukan oleh prajurit TNI harus segera dilakukan
yang dipersamakan. perubahan-perubahan dalam KUHPM yang peng-
4. Yurisdiksi peradilan militer berdasarkan tempat aturan tentang prajurit TNI sebagai subjek hukum
terjadinya tindak pidana (ratione loci) hanya terbatas pidana yang dapat dimintakan pertanggungjawaban
pada medan pertempuran ketika Indonesia sedang pidana secara hukum pidana umum. Sebagaimana
dalam situasi perang. Dalam hal Operasi militer resume Barda Nawawi Arief, mengatakan sepanjang
Selain Perang, hal ini tidak termasuk sebagai hukum pidana materiel untuk militer (KUHPM) belum
“situasi perang”. diubah, sulit untuk mengaplikasi ide atau “putusan
5. Yurisdiksi materiae, personae dan loci di atas berlaku politik” yang tertuang dalam TAP MPR No. VII/2000,
dalam situasi damai. Dalam situasi perang, bahwa terhadap “prajurit TNI tunduk kepada kekuasaan
yurisdiksi materiae, personae dan loci di atas dapat peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum,
diperluas jika dan hanya jika ada keputusan/ pidana umum”.
persetujuan dari DPR. Sejalan dengan itu, untuk melaksanakan hukum
6. Pada prinsipnya di masa damai yurisdiksi peradilan pidana materiel diatas, harus juga dilakukan pem-
militer harus dibatasi. Namun perlu juga bentukan hukum pidana formil, atau dilakukan revisi
dipertimbangkan untuk menghapus yurisdiksi terhadap UU No. 31/1997 tentang peradilan militer
peradilan militer di masa damai. yang sudah ada mengatur tentang peradilan pidana
7. Seluruh ketentuan-ketentuan perihal penggunaan umum bagi prajurit TNI, supaya tercapai asas Equality
perkara koneksitas di seluruh peraturan perundang- Before The Law “persamaan derajat dihadapan hukum”
undangan harus dihapus, termasuk seluruh untuk menghilangkan image militer itu sebagai warga
ketentuan-ketentuan yang bersifat internal dari TNI Negara kelas satu (anak emas) di Negeri ini.

154 JURNAL SELAT, OKTOBER 2014, VOL. 2 NO. 1


Daftar Pustaka

A. Buku-buku Sianturi (I), Hukum Pidana Militer Di Indonesia, (Jakarta:


Artidjo Alkostar, Negara Tanpa Hukum : Catatan Alumni AHAEM-PETEHAEM, 1985).
Pengacara Jalanan, Pustaka Pelajar, Kamus Besar Bahasa Indonesia
Yogyakarta: 2000.
Amos Perlmutter, Militer dan Politik, Rajawali, Jakarta, B. Internet
1984. http://m.tempo.co/read/.
Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum Upaya http://google.com.
Mewujudkan Hukum yang Pasti dan http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0312/10/
Berkeadilan, UII Press, Yogyakarta 2006. UTAMA/733748.htm
Barda Nawawi Arif, Kapita Selekta Hukum Pidana http://m.bbc.co.uk/indonesia/berita_indonesia/2013/
tentang Sistem Peradilan Pidana Terpadu 03/130307_tni_serang_polisi_oku.
(integrated criminal justice system), Penerbit h t t p : / / w w w. w a s p a d a . c o . i d /
Universitas Diponegoro, Semarang, 2011. index.php?option=com_content&view=article&id=312568:kpk-
Faisal Salam (I), Hukum Acara Pidana Militer, Mandar sulit-tembus-tni-karena-peradilan-
Maju, Bandung, 2006. militer&catid=59:kriminal-a-hukum&Itemid=91

JURNAL SELAT, OKTOBER 2014, VOL. 2 NO. 1 155

Anda mungkin juga menyukai