Anda di halaman 1dari 22

Skrining Kanker Cerviks dengan Tes IVA

Gregorius William Liu


102013426 / F10
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana
Jalan Arjuna Utara No.6 Jakarta Barat 11510
Email : Gregorius.2013fk426@civitas.ukrida.ac.id

Pendahuluan
Sampai saat ini kanker mulut rahim masih merupakan masalah kesehatan perempuan
di indonesia sehubungan dengan angka kejadian dan angka kematiannya yang tinggi.
Keterlambatan diagnosis pada stadium lanjut, keadaan umum yang lemah, status sosial
ekonomi yang rendah, keterbatasan sumber daya, keterbatasan sarana dan prasarana, jenis
histopatologi dan derajat pendidikan ikut serta dalam menentukan prognosis dari penderita.

Di negara maju, angka kejadian dan angka kematian kanker mulut rahim telah menurun
karenan suksesnya program deteksi dini. Akan tetapi, secara umum kanker mulut rahim
menempati posisi kedua terbanyak pada keganasan wanita (setelah kanker payudara)
diperkirakan diderita oleh 500.000 wanita tiap tahunnya.

Di indonesia, diperkirakan 40 ribu kasus baru kanker mulut rahin ditemukan setiap tahunnya.
Di rumah sakit Dr. Cipto mangunkusumo, frekuensi kanker serviks 76,2% di antara kanker
ginekologik. Dari data 17 rumah sakit di jakarta tahun 1977 kanker serviks menduduki urutan
pertama yaitu 432 kasus di antara 918 kanker pada perempuan.

Skrining adalah strategi yang digunakan dalam suatu populasi untuk mendeteksi suatu
penyakit pada individu tanpa tanda-tanda atau gejala penyakit itu. Tidak seperti apa yang
biasanya terjadi dalam kedokteran, tes skrining yang dilakukan pada orang tanpa tanda-tanda
klinis penyakit.2
Saat ini banyak penelitian tentang skrining dengan metode IVA dilakukan di berbagai
negara berkembang. Skrining dengan metode IVA dilakukan dengan cara yang sangat
sederhana, murah, nyaman, praktis, dan mudah. Sederhana, yaitu dengan hanya mengoleskan
asam asetat (cuka) 3-5% pada leher rahim lalu mengamati perubahannya, dimana lesi
prakanker dapat terdeteksi bila terlihat bercak putih pada leher rahim. Murah, karena biaya
yang diperlukan hanya sekitar Rp. 3000,- sampai Rp.5000,-/pasien. Nyaman, karena
prosedurnya tidak rumit, tidak memerlukan persiapan, dan tidak menyakitkan. Praktis, artinya

1
dapat dilakukan dimana saja, tidak memerlukan sarana khusus, cukup tempat tidur sederhana
yang representatif, spekulum dan lampu. Mudah, karena dapat dilakukan oleh bidan dan
perawat yang terlatih.1,2 Beberapa karakteristik metode ini sesuai dengan kondisi Indonesia
yang memiliki keterbatasan ekonomi dan keterbatasan sarana serta prasarana kesehatan.
Karenanya pengkajian penggunaan metode IVA sebagai cara skrining kanker leher rahim di
daerah-daerah yang memiliki sumber daya terbatas ini dilakukan sebagai salah satu masukan
dalam pembuatan kebijakan kesehatan nasional di Indonesia.2

Definisi
Kanker serviks (kanker leher rahim) adalah tumbuhnya sel-sel tidak normal pada
leher rahim. Kanker serviks merupakan kanker yang sering dijumpai di Indonesia baik di
antara kanker pada perempuan dan pada semua jenis kanker. 1

Penyebab kanker leher rahim yaitu virus HPV (Human Papiloma Virus) yang dapat
ditularkan melalui hubungan seksual. Penyakit ini dapat menyerang semua wanita, khususnya
wanita yang aktif secara seksual. Saat ini sudah terdapat vaksin untuk mencegah infeksi HPV
khususnya tipe 16 dan tipe 18 yang diperkirakan menjadi penyebab 70% kasus kanker serviks
di Asia. 1

Etiologi
Penyebab primer kanker leher rahim adalah infeksi kronik leher rahim oleh satu atau
lebih virus HPV (Human Papiloma Virus) tipe onkogenik yang beresiko tinggi menyebabkan
kanker leher rahim yang ditularkan melalui hubungan seksual (sexually transmitted disease).
Perempuan biasanya terinfeksi virus ini saat usia belasan tahun, sampai tiga puluhan,
walaupun kankernya sendiri baru akan muncul 10-20 tahun sesudahnya. Infeksi virus HPV
yang berisiko tinggi menjadi kanker adalah tipe 16, 18, 45, 5613 dimana HPV tipe 16 dan 18
ditemukan pada sekitar 70% kasus. Infeksi HPV tipe ini dapat mengakibatkan perubahan sel-
sel leher rahim menjadi lesi intra-epitel derajat tinggi (high-grade intraepithelial lesion/
LISDT) yang merupakan lesi prakanker. Sementara HPV yang berisiko sedang dan rendah
menyebabkan kanker (tipe non-onkogenik) berturut turut adalah tipe 30, 31, 33, 35, 39, 51,
52, 58, 66 dan 6, 11, 42, 43, 44, 53, 54,55.13. 1

Faktor predisposisi

2
Faktor risiko terjadinya infeksi HPV adalah hubungan seksual pada usia dini,
berhubungan seks dengan berganti-ganti pasangan, dan memiliki pasangan yang suka
berganti-ganti pasangan. Infeksi HPV sering terjadi pada usia muda, sekitar 25-30% nya
terjadi pada usia kurang dari 25 tahun. Beberapa ko-faktor yang memungkinkan infeksi HPV
berisiko menjadi kanker leher rahim adalah: 1
a. Faktor HPV :
- tipe virus
- infeksi beberapa tipe onkogenik HPV secara bersamaan
- jumlah virus (viral load)
b. Faktor host/ penjamu :
- status imunitas, dimana penderita imunodefisiensi (misalnya penderita HIV positif)
yang terinfeksi HPV lebih cepat mengalami regresi menjadi lesi prekanker dan
kanker.
- jumlah paritas, dimana paritas lebih banyak lebih berisiko mengalami kanker
c. Faktor eksogen
- merokok
- ko-infeksi dengan penyakit menular seksual lainnya
- penggunaan jangka panjang ( lebih dari 5 tahun) kontrasepsi oral 2

Factor risiko Risiko relative

Usia pertama hubungan seks (tahun)

<16 16

16-19 3

>19 1

Jarak antara hubungan seks pertama


dengan menarche (tahun)

<1
26
1-5
7
6-10
3
>10
1

3
Jumlah pasangan seks 3,6

>4 pasangan (dibandingkan 0 atau 1


pasangan)

Jumlah pasangan seks sebelum usia 20 tahun

>1 pasangan (dibandingkan tanpa pasangan) 7

Genital wart

Ada (dibandingkan tidak ada) 3,2

Merokok >5 batang perhari

Selama >20 tahun (dibandingkan <1 tahun) 4

Cara penularan
1. Perilaku seksual
Banyak faktor yang disebut-sebut mempengaruhi terjadinya kanker serviks.
Pada berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan bahwa golongan wanita yang
mulai melakukan hubungan seksual pada usia < 20 tahun atau mempunyai pasangan
seksual yang berganti-ganti lebih berisiko untuk menderita kanker serviks. Faktor
risiko lain yang penting adalah hubungan seksual suami dengan wanita tuna susila
(WTS) dan dari sumber itu membawa penyebab kanker (karsinogen) kepada
isterinya.2
Data epidemiologi yang tersusun sampai akhir abad 20, menyingkap
kemungkinan adanya hubungan antara kanker serviks dengan agen yang dapat
menimbulkan infeksi. Keterlibatan peranan pria terlihat dari adanya korelasi antara
kejadian kanker serviks dengan kanker penis di wilayah tertentu. Lebih jauh
meningkatnya kejadian tumor pada wanita monogami yang suaminya sering
berhubungan seksual dengan banyak wanita lain menimbulkan konsep “Pria Berisiko
Tinggi” sebagai vektor dari agen yang dapat menimbulkan infeksi. Banyak penyebab
yang dapat menimbulkan kanker serviks, tetapi penyakit ini sebaiknya digolongkan ke
dalam penyakit akibat hubungan seksual (PHS). Penyakit kelamin dan keganasan
serviks keduanya saling berkaitan secara bebas, dan diduga terdapat korelasi non-
kausal antara beberapa penyakit akibat hubungan seksual dengan kanker serviks. 2
2. Merokok

4
Tembakau mengandung bahan-bahan karsinogen baik yang dihisap sebagai
rokok/sigaret atau dikunyah. Asap rokok menghasilkan polycyclic aromatic
hydrocarbon heterocyclic nitrosamines. Pada wanita perokok konsentrasi nikotin
pada getah serviks 56 kali lebih tinggi dibandingkan di dalam serum. Efek langsung
bahan-bahan tersebut pada serviks adalah menurunkan status imun lokal sehingga
dapat menjadi kokarsinogen infeksi virus. 2

3. Nutrisi
Antioksidan dapat melindungi DNA/RNA terhadap pengaruh buruk radikal
bebas yang terbentuk akibat oksidasi karsinogen bahan kimia. Banyak sayur dan buah
mengandung bahan-bahan antioksidan dan berkhasiat mencegah kanker misalnya
advokat, brokoli, kol, wortel, jeruk, anggur, bawang, bayam, tomat. Dari beberapa
penelitian ternyata defisiensi asam folat (folic acid), vitamin C, vitamin E, beta
karoten/retinol dihubungkan dengan peningkatan risiko kanker serviks. Vitamin E,
vitamin C dan beta karoten mempunyai khasiat antioksidan yang kuat. Vitamin E
banyak terdapat dalam minyak nabati (kedelai, jagung, biji-bijian dan
kacangkacangan). Vitamin C banyak terdapat dalam sayur-sayuran dan buah-buahan.2
4. Hygiene yang buruk
Ketika terdapat virus ini pada tangan seseorang, lalu menyentuh daerah
genital, virus ini akan berpindah dan dapat menginfeksi daerah serviks atau leher
rahim Anda. Cara penularan lain adalah di closet pada WC umum yang sudah
terkontaminasi virus ini. Seorang penderita kanker ini mungkin menggunakan closet,
virus HPV yang terdapat pada penderita berpindah ke closet. 2

Deteksi Dini Kanker Leher Rahim


Kanker leher rahim adalah penyakit yang diawali oleh infeksi virus HPV yang
merubah sel-sel leher rahim sehat menjadi displasia dan bila tidak diobati pada gilirannya
akan tubuh menjadi kanker leher leher rahim. Prinsip dasar kontrol penyakit ini adalah
memutus mata rantai infeksi, atau mencegah progresivitas lesi displasia sel-sel leher rahim
(disebut juga lesi prakanker) menjadi kanker. Bila lesi displasia ditemukan sejak dini dan
kemudian segera diobati, hal ini akan mencegah terjadinya kanker leher rahim dikemudian
hari.3
Perempuan yang terkena lesi prakanker diharapkan dapat sembuh hampir 100%,
sementara kanker yang ditemukan pada stadium dini memberikan harapan hidup 92%.

5
Karenanya deteksi sedini mungkin sangat penting untuk mencegah dan melindungi
perempuan dari kanker leher rahim.WHO menyebutkan 4 komponen penting yang menjadi
pilar dalam penanganan kanker leher rahim, yaitu : pencegahan infeksi HPV, deteksi dini
melalui peningkatan kewaspadaan dan program skrining yang terorganisasi, diagnosis dan
tatalaksana, serta perawatan paliatif untuk kasus lanjut. Deteksi dini kanker leher rahim
meliputi program skirining yang terorganisasi dengan sasaran perempuan kelompok usia
tertentu, pembentukan sistem rujukan yang efektif pada tiap tingkat pelayanan kesehatan, dan
edukasi bagi petugas kesehatan dan perempuan usia produktif. Beberapa hal penting yang
perlu direncanakan dalam melakukan deteksi dini kanker, supaya skrining yang dilaksanakan
terprogram dan terorganisasi dengan baik, tepat sasaran dan efektif, terutama berkaitan
dengan sumber daya yang terbatas.3

Sasaran yang akan menjalani skrining

WHO mengindikasikan skrining dilakukan pada kelompok berikut :4

a. Setiap perempuan yang berusia antara 25-35 tahun, yang belum pernah menjalani tes
Pap sebelumnya, atau pernah mengalami tes Pap 3 tahun sebelumnya atau lebih.
b. Perempuan yang ditemukan lesi abnormal pada pemeriksaan tes Pap sebelumnya
c. Perempuan yang mengalami perdarahan abnormal pervaginam, perdarahan pasca
sanggama atau perdarahan pasca menopause atau mengalami tanda dan gejala
abnormal lainnya
d. Perempuan yang ditemukan ketidak normalan pada leher rahimnya

Keunggulan Tes IVA4,5

a. Hasil segera diketahui saat itu juga.


b. Efektif karena tidak membutuhkan banyak waktu dalam pemeriksaan, aman
karena pemeriksaan IVA tidak memiliki efek samping bagi ibu yang memeriksa, dan
praktis.
c. Teknik pemeriksaan sederhana, karena hanya memerlukan alat-alat kesehatan yang
sederhana, dan dapat dilakukan dimana saja.
d. Butuh bahan dan alat yang sederhana dan murah.
e. Sensivitas dan spesifikasitas cukup tinggi.
f. Dapat dilakukan oleh semua tenaga medis terlatih

6
Dalam penerapan skrining kanker leher rahim di Indonesia, usia target saat ini adalah antara
usia 30-50 tahun, meskipun begitu pada perempuan usia 50-70 tahun yang belum pernah
diskrining sebelumnya masih perlu diskrining untuk menghindari lolosnya kasus kanker leher
rahim. Selain sasaran diatas, semua perempuan yang pernah melakukan aktivitas seksual
perlu menjalani skrining kanker leher rahim. WHO tidak merekomendasikan perempuan
yang sudah menopause menjalani skrining dengan metode IVA karena zona transisional leher
rahim pada kelompok ini biasanya berada pada endoleher rahim dalam kanalis servikalis
sehingga tidak bisa dilihat dengan inspeksi spekulum.5 Namun untuk pelaksanaan di
Indonesia, perempuan yang sudah mengalami menopause tetap dapat diikut sertakan dalam
program skrining, untuk menghindari terlewatnya penemuan kasus kanker leher rahim. Perlu
disertakan informed consent pada perempuan golongan ini, mengingat alasan di atas. Tidak
ditemukannya lesi prekanker tidak berarti tidak ada lesi prakanker pada golongan perempuan
ini.4

Program IVA di Puskesmas

Di negara maju, skrining secara luas dengan metode pemeriksaan sitologi tes Pap
telah menunjukkan hasil yang efektif dalam menurunkan insidens kanker leher rahim. Namun
di negara-negara berkembang yang hanya memiliki sumber daya terbatas, skrining hanya
menjangkau sebagian kecil perempuan saja, terutama di daerah perkotaan.6

Ada beberapa kelemahan tes Pap diantaranya keterbatasan jumlah laboratorium


sitologi dan tenaga sitoteknologi terlatih, sehingga menyebabkan hasil tes Pap baru didapat
dalam rentang waktu yang relatif lama (berkisar 1 hari- 1 bulan). Skrining dengan metode tes
Pap memerlukan tenaga ahli, sistem transportasi, komunikasi dan tindak lanjut (follow-up)
yang belum dapat dipenuhi oleh negara-negara berkembang. Hanya sebagian kecil dari
perempuan yang menjalani dan mendapatkan hasil tes Pap juga menjalani evaluasi dan
pengobatan yang semestinya bila ditemukan abnormalitas. Sebagai konsekuensinya, angka
insidens kanker leher rahim tetap tinggi dan kebanyakan pasien datang pada stadium lanjut. 6
Masalah yang berkembang akibat keterbatasan metode tes Pap inilah yang mendorong
banyak penelitian untuk mencari metode alternatif skrining kanker leher rahim. Salah satu
metode yang dianggap dapat dijadikan alternatif adalah metode inspeksi visual dengan asam
asetat (IVA). Efektivitas IVA sudah di teliti oleh banyak peneliti. Walaupun demikian
perbandingan masing-masing penelitian tentang IVA sepertinya sulit dievaluasi karena
perbedaan protokol dan populasi. 6

7
Pertimbangan metode alternatif didasarkan oleh pemikiran, bahwa metode skrining IVA
itu. Mudah, praktis dan sangat mampu laksana. Dapat dilaksanakan oleh tenaga kesehatan bukan
dokter ginekologi, dapat dilakukan oleh bidan di setiap tempat pemeriksaan kesehatan ibu. Alat-
alat yang dibutuhkan sangat sederhana. Metode skrining IVA sesuai untuk pusat pelayanan
sederhana. 6

Metode IVA memberi peluang dilakukannya skrining secara luas di tempat-tempat


yang memiliki sumberdaya terbatas, karena metode ini memungkinkan diketahuinya hasil
dengan segera dan terutama karena hasil skrining dapat segera ditindaklanjuti. Metode satu
kali kunjungan (single visit approach) dengan melakukan skrining metode IVA dan tindakan
bedah krio untuk temuan lesi prakanker (see and treat) memberikan peluang untuk
peningkatan cakupan deteksi dini kanker leher rahim, sekaligus mengobati lesi prakanker. 6

Dasar Pemeriksaan IVA


Pemeriksaan inspeksi visual dengan asam asetat (IVA) adalah pemeriksaan yang
pemeriksanya (dokter/bidan/paramedis) mengamati leher rahim yang telah diberi asam
asetat/asam cuka 3-5% secara inspekulo dan dilihat dengan penglihatan mata telanjang.
Pemeriksaan IVA pertama kali diperkenalkan oleh Hinselman (1925) dengan cara memulas
leher rahim dengan kapas yang telah dicelupkan dalam asam asetat 3-5%. Pemberian asam
asetat itu akan mempengaruhi epitel abnormal, bahkan juga akan meningkatkan osmolaritas
cairan ekstraseluler. Cairan ekstraseluler yang bersifat hipertonik ini akan menarik cairan dari
intraseluler sehingga membran akan kolaps dan jarak antar sel akan semakin dekat. Sebagai
akibatnya, jika permukaan epitel mendapat sinar, sinar tersebut tidak akan diteruskan ke
stroma, tetapi dipantulkan keluar sehingga permukaan epitel abnormal akan berwarna putih,
disebut juga epitel putih (acetowhite). 4,5
Daerah metaplasia yang merupakan daerah peralihan akan berwarna putih juga setelah
pemulasan dengan asam asetat tetapi dengan intensitas yang kurang dan cepat menghilang.
Hal ini membedakannya dengan proses prakanker yang epitel putihnya lebih tajam dan lebih
lama menghilang karena asam asetat berpenetrasi lebih dalam sehingga terjadi koagulasi
protein lebih banyak. 4,5
Jika makin putih dan makin jelas, makin tinggi derajat kelainan jaringannya.
Dibutuhkan 1-2 menit untuk dapat melihat perubahan-perubahan pada epitel. Leher rahim
yang diberi 5% larutan asam asetat akan berespons lebih cepat daripada 3% larutan tersebut.
Efek akan menghilang sekitar 50-60 detik sehingga dengan pemberian asam asetat akan
didapatkan hasil gambaran leher rahim yang normal (merah homogen) dan bercak putih
8
(mencurigakan displasia). Lesi yang tampak sebelum aplikasi larutan asam asetat bukan
merupakan epitel putih, tetapi disebut leukoplakia; biasanya disebabkan oleh proses
keratosis.4,5

Teknik Pemeriksaan IVA dan Interpretasi


warna menjadi putih (acetowhite) pada lesi prakanker jaringan ektoserviks rahim yang diolesi
larutan asam asetoasetat (asam cuka). Bila ditemukan lesi makroskopis yang dicurigai
kanker, pengolesan asam asetat tidak dilakukan namun segera dirujuk ke sarana yang lebih
lengkap. 6,7
Untuk melaksanakan skrining dengan metode IVA, dibutuhkan tempat dan alat sebagai
berikut: 6,7
- Ruang tertutup, karena pasien diperiksa dengan posisi litotomi.
- Meja/tempat tidur periksa yang memungkinkan pasien berada pada posisi litotomi.
- Speculum vagina
- Asam asetat (3-5%)
- Swab-lidi berkapas
- Sarung tangan
Dengan speculum melihat leher rahim yang dipulas dengan asam asetat 3-5%. Pada
lesi prakanker akan menampilkan warna berkankerk putih yang disebut aceto white
epithelium. Dengan tampilnya portio dan berkankerk putih dapat disimpulkan bahwa tes IVA
positif, sebagai tindak lanjut dapat dilakukan biopsi. Andai kata penemuan tes IVA positif
oleh bidan, maka beberapa negara bidan tersebut dapat langsung melakukan terapi dengan
cryosergury. Hal ini tentu mengandung kelemahan-kelemahn dalam menyingkirkan lesi
invasive. 5

Tabel 1. Kategori temuan IVA sumber: wira-swastika.blogspot.com

9
Skrining

Skrining merupakan suatu pemeriksaan asimptomatik pada satu atau seklompok orang
untuk mengklasifikasikan mereka dalam kategori yang diperkirakan mengidap atau tidak
mengidap penyakit. Tes skrining merupakan salah satu cara yang dipergunakan pada
epidemiolodi untuk mengetahui prevalensi suatu oenyakit yang tidaj didiagnosis atau keadaan
ketika angka kesakitan tinggi pada sekelompok individu atau masyarajat beresiko tinggi serta
pada keadaan yang kritis dan serius memerlukan penanganan segera. Namun demikan, harus
dilengkapi dengan pemeriksaan lain untuk menentukan diagnosis definitif. Tujuan skrining :2

a. Menentukan orang yang terdeteksi menderita suatu penyakit sedini mungkin sehingga
dapat segera memperoleh pengobatan.
b. Mencegah meluasnya penyakit dalam masyarakat
c. Mendidik dan membiasakan masyarakat untuk memeriksakan diri sedini mungkin.
d. Mendapatkan keterangan epidemiologis yang berguna bagi klinis dan peneliti.

Untuk dapat menyusun suatu program penyaringan, diharuskan memenuhi beberapa kriteria
atau ketentuan-ketentuan khusus yang merupakan persyaratan suatu tes penyaringan : 2

1. Penyakit atau kondisi yang sedang diskrining harus merupakan masalah medis utama
2. Pengobatan yang dapat diterima harus tersedia untuk individu berpenyakit yang
terungkap saat proses skrining dilakukan.
3. Harus tersedia akses ke fasilitas dan pelayanan perawatan kesehatan untuk diagnosis
dan pengobatan lanjut penyakit yang ditemukan
4. Penyakit harus memiliki perjalanan yang dapat dikenali, dengan keadaan awal dan
lanjutannya yang dapat diidentifikasi
5. Harus tersedia tes atau pemeriksaan yang tepat dan efektif untuk penyakit
6. Tes dan proses uji harus dapat diterima oleh masyaraka tumum
7. Riwayat alami penyakit atau kondisi harus cukup dipahami, termasuk fase reguler dan
perjalanan penyakit, dengan periode awal yang dapat diidentifikasi melalui uji
8. Kebijakan, prosedur, dan tingkatan uji harus ditentukan untuk menentukan siapa yang
harus dirujuk untuk pemeriksaan, diagnosis dan tindakan lebih lanjut.
9. Proses harus cukup sederhana sehingga sebagian besar kelompok mau berpartisipasi
10. Skrining jangan dijadikan kegiatan sesekali saja, tetapi harus dilakukan dalam proses
yang teratur dan berkelanjutan

10
Macam-macam skrining2

1. Mass screening adalah screening secara masal pada masyarakat tertentu


2. Selective screening adalah screening secara selektif berdasarkan kriteria tertentu,
contoh pemeriksaan ca paru pada perokok; pemeriksaan ca servik pada wanita yang
sudah menikah
3. Case finding screening adalah upaya dokter/tenaga kesehatan untuk menyelidiki suatu
kelainan yang tidak berhubungan dengan keluhan pasien yang datang untuk
kepentingan pemeriksaan kesehatan
4. Single disease screening adalah screening yang dilakukan untuk satu jenis penyakit
5. Multiphasic screening adalah screening yang dilakukan untuk lebih dari satu jenis
penyakit contoh pemeriksaan IMS; penyakit sesak nafas

Reliabilitas dan Validitas

Reliabilitas dan Validitas merupakan suatu hal yang umum pada semua instumen
pengukukuran. Masalah ini berhubungan dengan pertanyaan tentang tingkat kemampuan
kuesioner dan wawancara dalam mengukur kepuasan pasien yang akurat. 6,7

1. Reliabilitas
Reliabilitas dari suatu pengukuran adalah suatu indikator tingkat, seberapa
jauh pengukuran dapat direplikasi, artinya apakah hasilnya selalu sama, jika
pengukuran oleh siapa pun, kapan pun dan dalam lingkungan yang berbeda sekalipun.
Reliabilitas berhubungan dengan kesalahan acak yang terjadi dalam segala bentuk
pengukuran. Pengukuran yang semakin reliable, kesalahan acak yang terjadi semakin
kecil. Reliabilitas adalah sangat mendasar bagi setiap keperluan pengukuran mutu
layanan kesehatan, karena jika pengukuran tidak reliable, hasil pengukuran menjadi
tidak bermanfaat. Namun, demikian, banyak pengukurn mutu layanan kesehatan tidak
di ujicoba reliabilitasnya dengan tepat. 7
2. Validitas

Sensitivitas adalah kemampuan suatu uji untuk mengidentifikasi dnegan benar mereka
yang terkena penyakit- presentase mereka yang terkena penyakit dan terbukti terkena
penyakit seperti yang diperhatikan melalui uji. Sensitivitas memperlihatkan proporsi

11
orang yang benar-benar sakit dalam suatu populasi yang menjalani skrining dan
teridentifikasi secara tepat terkena penyakit melalui tes skrining

Spesifisitas adalah kemampuan suatu uji untuk mengidentifikasi dengan benar


presentase mereka yang tidak terkena penyakit- orang yang tidak terkena penyakit dan
terbukti tidak terkena penyakit seperti yang ditujukkan melalui suatu uji. Spesifisitas
menunjukkan proporsi orang yang tidak terkena penyakit dalam populasi yang
menjalani skrining dan mereka yang diidentifikasi dengan benar sebagai orang yang
tidak terkena penyakit melalui uji skrining.

Sensitivitas dan spesifisitas bukan nilai yang mutlak, setiap uji perorangan akan
menghasilkan respons yang berbeda. Sensitivitas dan spesifisitas terbentuk untuk
setiap tes melalui penggunaan tes yang berulang kali dalam satu rentang waktu.
Penggunaan tes dalam jangka panjang dapat menetapkan reliabilitas, validitas dan
mengungkat kelemahan tes tersebut. Ahli epidemiologi harus mengetahui seberapa
baik tes dapat berfungsi dan apakah tes itu cukup efektif untuk menskrining orang
yang sakit dari orang yang sehat dalam populasi umum. Ahli epidemiologi juga ingin
mengetahui kemampuan uji untuk mengetahui positif palsu (positives false) dan
negatif palsu (false negatif). Bagaimana uji sensitifitas tersebut? Hasil tes skrining
dapat dibandingkan dnegan diagnosis yang dibuat oleh dokter, yang akan membantu
menetapkan validitas, sensitivitas dan spesifisitas uji sekaligus membantu
standardisasi tes tersebut.

Disebut positif palsu jika tes skrining memperlihatkan bahwa individu terkena
penyakit, tetapi sebenernya dia tidak terkena penyakit. Tes itu keliru dalam
mengidikasikan bahwa seseorang terkena penyakit sementara pada kenyataanya dia

12
sehat dan tidak berpenyakit. Hasil tes telah keliru mengatakannya terkena penyakit,
mencap orang yang sehat terkena penyakit.

Negatif palsu adalah kebalikan dari positif palsu. Negatif palsu adalah ketika uji
skrining mengindikasikan bahwa seseorang tidak terkena penyakit, tetapi pada
kenyataanya orang itu terkena penyakit. Tes telah keliru dalam mengindikasikan
bahwa seseorang sehat sementara dia sakit atau terkena penyakit. Tes telah keliru
mengatakan tidak terkena penyakit, mencap orang yang sakit sebagai orang yang
sehat.

Dikatakan positif benar, jika uji menyatakan seseorang terkena penyakit dan orang itu
memang benar terkena penyakit. Negatif benar adalah jika uji menyatakan seseorang
sehat dan tidak terkena penyakit sementara pada kenyataanya memang sehat dan
bebas dari penyakit.

Standardisasi uji adalah istilah yang digunakan untuk menunjukkan bahwa suatu tes
telah digunakan selama waktu yang lama, sudah banyak digunakan, batasan nilainya
sudah pasti, dan tes itu memiliki bukti catatan pemakaian yang ditunjukan dalam data
normatif. Program skrinning harus menggunakan uji terstandarisasikan karena penting
untuk melakukan uji yang memiliki prediktabilitas, relibialitas validitas yang tinggi,
dan fungsi jangka panjang. Ini biasanya berarti bahwa tes telah diperbaiki dan di uji-
ulangkan untuk membuatnya seelektid dan seakurat mungkin.

Pemahaman hasil skrining, sensitifitas dan spesifisitas

Dari setiap program skrining, setiap orang diklasifikasikan sebagai negatif (mereka
yang tidak terkena penyakit) atau positif (mereka yang terkena penyakit). Akan tetapi,
karena sensitivitas dan spesifisitas suatu uji sering kali kurang dari 100%, negatif
palsu dann positif palsu akan terjadi. Dengan demikian, ahli epidemiologi
mengklasifikasikan partisipasi ke dalam 4 kategori

Negatif palsu (NP) negatif benar (NB)

Positif palsu (PP) positif benar (PB)

Keempat kategori itu digunakan untuk memahami dan mengevaluasi hasil program
skrining. Kategori itu juga digunakan untuk mengkaji hasil uji dan untuk analisis data
populasi studi. Agar lebih mudah memahami keempat kategori itu, sebaiknya
13
digunakan presentasi grafik dari proses skrining dan letakkan masing-masing dari
keempat hasil yang mungkin dari suatu uji pada posisi yang sesuai.

Decision tree yang menyajikan visualisasi penempatan empat hasil yang mungkin
(NP<, PP, NB, PB) . informasi dalam decision tree digunakan bersamaan dengan
matriks empat sel 2 X 2 sehingga ahli epidemiologi dapat menentukan tempat dan
efek keempat hasil skrining. Baik decision tree maupun matriks memungkinkan
dilakukannya penyajian keempat efek dalam bentuk gambar guna membantu
memahami hasil analisis.

Sensitivitas dan spesifisitas merupakan ukuran yang sebanding sehingga dapat


dinyatakan dalam presentase. Idealnya, ahli epidemiologi ingin melihat suatu uji yang
berfungsi sangat baik yangs ensitivitas maupun spesifisitasnya mencapai 100%.

%sensitivitas= % orang dengan penyakit yang terdeteksi melalui tes uji

% negatif palsu= % orang dnegan penyakit yang tidak terdeteksi uji

% spesifisitas+ % orang tanpa penyakit yang dengan benar dinyatakan tidak terkena
penyakit melalui uji

%positif palsu= % orang tanpa penyakit yang saat uji keliru dinyatakan terkena
penyakit

Untuk membantu analisis, beberapa observasi tentang sensitivitas dan spesifisitas


akan sangat membantu. Jika presentase negatif benar (NB) dan positif benar (PB)
meningkat, sensitivitas dan spesifisitasnya pun meningkat. Jika presentase negatif
palus (NP) dan positif palsu (PP) meningkat, sensitivitas dan spesifisitas menurun.

14
Singkatnya sensitivitas adalah kemampuan untuk mengidentifikasi dengan benar
mereka yang terkena penyakit. Spesifisitas adalah kemampuan untuk mengidentifikasi
dengan benar mereka yang tidak terkena penyakit.

Hubungan berbanding terbalik terbentuk antara positif benar dan positif palsu. Selain
itu, hubungan berbanding terbalik terbentuk antara negatif palsu dan negatif benar.

Presentase negatif palsu adalah pelengkap sensitivitas. Sebaliknya, presentase positif


palsu adalah pelengkap spesifisitas. Ahli epidemiologi menginginkan sebuah uji yang
sensitif sehingga uji itu dapat mengidentigikasi jumlah yang cukup tinggi dari mereka
yang terkena penyakit, dan juga sebuah uji yang dapat menghasilkan beberapa negatif
palsu. Selain itu, ahli epidemiologi juga menginginkan uji yang cukup spesifik untuk
mendeteksi penyakit, sehingga dihasilkan respons yang terbatas hanya pada kelompok
studi yang memang terkena penyakit dan beberapa positif palsu. Begitu proses
skrining selesai, sebuah diagnosis diperlukan untuk menegakkan penyakit diantara
mereka yang diduga memiliki penyakit dan mengeluarkan mereka yang diduga
terkena penyakit tetapi sebenarnya tidak.

Nilai prediktif suatu tes

Nilai prediktig tes skrining merupakan aspek terpenting suatu uji. Kemampuan suatu
uji untuk memprediksi ada atau tidaknya penyakit merupakan penentu kelayakan
suatu tes. Semakin tinggi angka prevalensi suatu penyakit dalam populasi, semakin
tinggi pengaruh sensitivitas dan spesifisitas uji tersebut terhadap nilai prediktifnya.
Semakin tinggi angka prevalensi suatu penyakit dalam populasi, semakin besar
kemungkinan terjadinya positif benar. Semakin sensitif suatu uji, semakin tinggi nilai
prediktif dan semakin rendah jumlah positif palsu dan negatif palsu yang dihasilkan
uji tersebut, yang juga menentukan nilai prediktifnya. Ketika melakukan sebuah uji
negatif, nilai prediktif adalah presentasi orang yang tidak sakit diantara partisipan
yang memiliki hasil uji negatif.

Nilai prediktif uji positif adalah presentase positif benar diantara individu yang hasil
ujinya positif. Nilai prediktif dari uji negatif adalah presentase orang yang tidak sakit
diantara mereka yang hasil ujinya negatif. Suatu penyakit harus mencapai tingkat 15%
sampai 20% dalam popilasi sebelum nilai prediktif yang berguna tercapai. Informasi

15
prevalensi digunakan untuk menghitung dan membagi kelompok studi menjadi
mereka yang terkena penyakit dan mereka yang tidak terkena penyakit.

Rumus nilai prediktif uji positif

Rumus nilai prediktif uji negatif

Timmreck TC. Epidemiologi: suatu pengantar. Edisi 2. Jakarta: EGC;2004.h. 337-345

Contoh :

Tes skrining Prosedut diagnosa (pemeriksaan lab) Total


(radiologis BTA (+) BTA (-)

Positif 75 50 125

Negatif 15 850 865

Total 90 900 990

Perhitungan

1. Sensitivitas dan spesifisitas


 Sensitivitas = 75/90 x 100= 83%
 Negatif palsu= 15/90 x 100 = 17%
 Spesifisitas = 850/900 x 100= 94%
 Positif palsu = 50/900 x 100= 6%
2. Nilai prediksi
 Nilai prediksi tes (+) = 75/125 = 60%
 Nilai prediksi tes (-)= 850/865= 93%

Interpretasi data

16
1. Sensitivitas dan spesifisitas
 Sensitivitas
Sensitivitas dari orang yang positif menderita sakit TBC yang dideteksi oleh tes
skrining adalah 83%
 Negatif palsu
Presentase dari orang yang negatif, tetapi sebenarnya menderita sakit TBC adalah
17%
 Spesifisitas
Spesifisitas dari orang yang tidak atau negatif menderita sakit yang dideteksi dengan
tes skrining adalah 94%
 Positif palsu
Presentase dari orang yang dinyatakan positif tetapi tidak menderita sakit TBC adalah
6%
2. Nilai prediksi
Menurut perkiraan secara sederhana tanpa melakukan tes skrining maka yang
dinyatakan positif hanya sekitar 60% sedangkan negatif sebesar 93%.

Pencegahan

Pencegahan adalah upaya-upaya yang dilakukan untuk mengurangi angka kesakitan


dan angka kematian akibat kanker serviks. Pencegahan terdiri dari beberapa tahap yaitu
pencegahan primimodial, pencegahan primer, pencegahan sekunder, dan pencegahan tertier. 8

1. Pencegahan primodial
Tujuan pencegahan primodial adalah mencegah timbulnya faktor resiko
kanker serviks bagi perempua yang belum mempunyai faktor resiko dengan cara
seperti pendidikan seks bagi remaja, menunda hubungan seks remaja sampai pada
usia yang matang yaitu lebih dari 20 tahun. 8
2. Pencegahan primer
Pencegahan tingkat primer bertujuan untuk mengurangi atau menghilangkan
faktor resiko bagi perempuan yang mempunyai faktor resiko, untuk mengetahui
bagaimana pencegahan primer dapat dilakukan oada kanker srviks. Maka perlu
diketahui karsiogenesisnya yaitu bagaimana kanker dapat timbul.pencegahan
dilakukan dengan menghindari diri dari bahan karsinogenik atau penyebab kanker
berikut adalah beberapa cara yang dapat dilakukan. 8
17
a. Segi kebiasaan

Hindari hubungan seks terlalu dini
Hubungan seks idealnya dilakukan setelah seorang perempuan yang sudah
benar-benar matang. Ukuran kematangan bukan hanya dilihat ia sudah
menstruasi atau belum, tetapi juga bergantung pada kematangan sel-sel
mukosa yang terdapat diselput kulit bgian dalam rongga tubuhn. Umumnya
sel-sel muikosa baru marang setelah perempuan berusia 20 tahun ke atas.
Terutama untuk perempuan yang masih dibawah 16 tahun mempunyai resiko
kanker serviks lebih tinggi bila telah melakukan hubungan seks. Hal ini
berkaitan dengan kematangan sel-sel mukosa pada serviks perempuan. Pada
usia muda, sel-sel mukosa pada serviks belum matang. Artinya, masih rentan
terhadap rangsangan sehingga belum siap menerima rangsangan dari luar
termasuk zat-zat kimia yang dibawa sperma sehingga sel ini bisa berubah
sifanya menjadi kanker. 8

Hindari berganti-ganti pasangan seks
Resiko terkena kanker serviks lebih tinggi pada perempuan yang berganti-
ganti pasangan seks daripada yang tidak. Hal ini berkaitan dengan
kemungkinan tertularnya penyakit kelaimin salah satunya HPV. Virus ini
mengubah sel di permukaan mukosa sehingga memebelah menjadi lebih
banyak, bila terlalu banyak dan tidak sesuai dengan kebutuhan akan menjadi
kanker. 8

Hindari kebiasaan pencucian vagina
Kebiasaan mencuci vagina dengan obat-obatan antiseptik bisa menimbulkan
kanker serviks. Douching atau cuci vagina menyebabkan iritasi di serviks
seperti penggunaan betadine untuk pencucian vagina. Iritasi berlebihan dan
terlalu sering akan merangsang terjadinya perubahan sel, yang akhirnya
menjadi kaner. Sebainya pencucia vaginan dengan bahan-abahan kimia tidak
dilakukan secara rutin. Kecuali bila ada indikasinya misalkan infeksi yang
memerlukan pencucian dengan zat-zat kimia dan atas saran dokter. Terlebih
lagi pembersih tersebut umumnya akan membunuh kuman termasuk Basillus
doderlain di vagina yang memproduksi asam laktat untuk mempertahanlkan
pH vagina, bila pH vagina tidak seimbang maka kuman patogen seperti jamur
dan bakteri mempunyai kesempatan untuk hidup di vagina. 8

18

Hindari kebiasaan menaburi talk
Ketika vagina terasa agak dan merah-merah sering sekali seorang perempuan
menaburkan talk disekitarnya. Pemakaian talk pad vagian perempuan usia
subir bisa memicu terjadinya kanker di daerah serviks dan ovarium, kaena
pada usia subur sering ovulasi dan saat ovulasi dipastikan terjadi perlukaan di
ovarium. Bila partikel talk masuk dan menempel di atas permukaan luka akan
merangsang luka untuk berubah sifat menjadi kanker, dan kanker di ovarium
akan menyebaab ke area lainnya termasuk serviks. Apabila talk tersebut
menumpuk dan mengendap makan akan menjadi benda asing dalam tubuh
yang dapat merangsang sel normal menjadi kanker. 8

Upayaka hidup sehat dan periksa kesehatan secara berkala dan teratur. 8

b. Segi makanan
Pengaturan pola makan sehari-hari juga diperlukan agar tubuh mempunyai
cadangan antioksidan yang cukup sebagai penangkal radikal bebas yang
merusak tubuh. 8

Perbanyak makan buah dan sayuran berwarna kuning atau hijau karena banyak
mengandung vitamin seperti betakarotein, vitamin C, mineral, klorofil dan
fitonutrein;ainnya, klorofil bersifat radio protektif, antimutagenik, dan
antikarsinogenik. 8

Kurangi makanan yang diasinkan, dibakar, diasap, atau diawetkan dengan
nitrit karena dapat menghasilkam senyawa kimia yang dapat merubah menjadi
kasinogen aktif. 8

Konsumsi makanan golongan kubis seperti kubis bunga, kubis tunas, kubis
rabi, brokoli karena dapat melindungi tubuh dari sinar radiasi dan
menghasilkan suatu enzim yang daoat menguraikan dan membuang zat
beracun yang beredar dalam tubuh. 8
3. Penceganan sekunder
Pencegahan sekunder adalah upaya yang dilakukan untuk menentukan kasus
dini sehingga kemungkinan penyembuhan dapat ditingkatka, temasuk skrining,
deteksi dini (Pap’s smear) dan pengobatan. 8
Deteksi dini penyakit kanker dengan program skrining, dimana dengan
program skrining dapat memperoleh beberapa keuntungan yaitu : memperbaiki

19
prognosis ada sebagian penderita sehingga terhinda dari kematian akibat kanker, tidak
diperlukan pengobatan radikal untuk mencapau kesembuhan, adanya perasaan
tentram bagi mereka yang menunjukan hasil negatif dan penghematan biaya karena
pengibatan yang relatif murah. Kanker serviks mengenal stadium pra-kanker yang
dapat ditemukan dengan skrining sitologi yang relatif murah, tidak sakit, cukup akurat
dan dengan bantuan koloskopi, satdium ini dapat diobatai dengan cara konservatif
seperti krioterapi, kauterisasi atau sinar laser dengan memperhatikan fungsi
reproduksi. Adapun pengobatan yang dilakukan untuk penderita kanker serviks
sebagai pencegahan tingkat kedua adalah : 8
 Operasi (bedah)
Pada prinsipnya operasi sebagai pengobatan apabila kanker belum menyebar
yang tujuannya agar kanker tidak kambuh lagi. Operasi terutama dilakukan
untuk kuratif disamping tujuan paliatif (meringankan). Operasi dilakukan pada
karsinoma in situ dan mikrovasif, dalam operasi tumor dibuang dengan
konisasi, koagulasi, ataupun histerektomi. Khusus karsinoma mikrovasif
banyak ahli ginekoligik memilih tindakan histerektomi radikal (seluruh rahim
diangkat berikut sepertiga vagina, serta penggantung rahim akan dipotong
hingga sedekat mungkin dengan dinding panggul). Pada perempuan yang
masih menginginkan anak atau penderita yang menolak histerektomi dapat
dipertimbangkan konisasi atau elektrokoagulasi. 8
Pada karsinoma invasif stadium IB dan IIA, lebih banyak dipilih tindakan
operasi pengangkatan rahim secara total berikut kelenjer getah bening
sekitarnya (histerektomi radikal). 8
 Radioterapi
Radioterapi adalah terapi untuk menghancurkan kanker dengan sinar ionisasi.
Kerusakan yang terjadi akibat sinar tidak terbatas pada sel-sel kanker saja
tetapi juga pada sel-sel normal disekitarnya, tetapi kerusakan pada sel kanker
umumnya lebih besar dari pada sel normal, karena itu perlu diatur dosis radiasi
sehingga kerusakan jaringan yang normal minimal dan dapat pulih kembali.
Radioterapi dilakukan pada karsinoma invasif stadium lanjut (IIB, III, IV).
Terapi biasanya hanya bersifat paliatif (mengurangi atau mengatasi keluhan
penderita), dititik beratkan pada radisi eksternal dan internal. Kemajuan
teknologi radioterapi pada saai ini dimana radiasi dapat diarahkan pada massa

20
tumor secara akurat, sehingga pemberian dosis tinggi tidak memberikan
penyulit yang berarti. Pada stadium IV lebih banyak memilih mutilasi
eksentaris total yaitu mengangkat kantong kemih, rektum dan dibuat uretra
dan anus tiruan (Praeter naturalis). 8
 Kemoterapi
Khemoterapi ialah terapi untuk membunuh sel-sel kanker dengan obat-obat
anti kanker yang disebut sitostatika. Pada umumnya sitostatika hanya
merupakan terapi anjuvant (terapi tambahan yaitu : terapi yang bertujuan
untuk menghancurkan sisa-sisa sel kanker yang mikroskopik yang mungkin
masih ada) setelah terapi utama dilakukan. Khemoterapi yang sering
dipergunakan pada karsinoma serviks adalah Methotrexate,
Cyclophospahanimide, Adiamycin dan Mitomicin-C. Sitostatika biasanya
diberi kombinasi. 8
4. Pencegahan tertier
Pencegahan tertier biasanya diarahkan pada individu yang telah positif
menderita kanker serviks. Penderita yang menjadi cacat karena komplikasi
penyakitnya atau karena pengobatan perlu direhabilitasi untuk mengembalikan bentuk
dan/atau fungsi organ yang cacat itu supaya penderita dapat hidup dengan layak dan
wajar di masyarakat. Rehabilitasi yang dapat dilakukan untuk penderita kanker
serviks yang baru menjalani operasi contohnya seperti melakukan gerakan-gerakan
untuk membantu mengembalikan fungsi gerak dan untuk mengurangi pembengkakan,
bagi penderita yang mengalami alopesia (rambut gugur) akibat khemoterapi dan
radioterapi bisa diatasi dengan memakai wig untuk sementara karena umumnya
rambut akan tumbuh kembali. 8
Kesimpulan

Skrining adalah strategi yang digunakan dalam suatu populasi untuk mendeteksi suatu
penyakit individu tanpa tanda-tanda atau gejala penyakit itu. Tes Pap smear merupakan
pilihan utama metode skrining kanker cerviks. Namun dalam penerapan di pelayanan primer
yang lebih luas, metode IVA direkomendasikan menjadi metode alternatif pada kondisi yang
tidak memungkinkan dilakukan untuk pemeriksaan sitologi. Skrining yang sering dilakukan
di Puskesmas adalah skrining Ca cerviks dengan tes IVA karena skrining ini mudah, praktis.
Skrining kanker serviks telah memberikan dampak yang baik terhadap masalah kanker
serviks yang. Penurunan jumlah penderita kanker serviks dikarenakan skrining yang

21
dilakukan pada wanita yang memiliki faktor resiko. Skrining memiliki nilai sensitivitas dan
spesifisitas yang berguna untuk menentukan nilai prediksi uji positif dan nilai prediksi uji
negatif.

Daftar Pustaka

1. Kampono N. Kanker serviks. Dalam: Anwar M, Baziad A, Prabowo P. Ilmu


kandungan. Edisi 3. Jakarta: Bina pustaka sarwono prawirohardjo; 2005.h. 263-9.
2. Nursalam. Konsep dan penerapan metodologi penelitian. Jakarta : Salemba Medika;
2003.
3. Sastroasmoro S. Dasar-dasar metodologi penelitian klinis. Jakarta: Sagung
Seto;2011.h.228-30.
4. Rajab W. Buku ajar Epidemiologi untuk mahasiswa. Jakarta : EGC, 2009.h.155-8.
5. Sankaranarayanan R, Budukh AM, Rajkumar R, Effective Screening programmes for
cervical cancer in low- and middle-income developing countries. Bulletin of the
World Health Organization, 2001; 79:954-962.
6. Melianti M. Skining Kanker Serviks dengan Metode Inspeksi Visual dengan Asam
Asetat (IVA) test. Departmen Kesehatan Republik Indonesia; Jakarta; 2008.
7. Pohan I. Jaminan mutu layanan kesehatan: dasar-dasar pengertian dan penerapan.
Jakarta: EGC; 2007.h.148-50.
8. Gede MAA. Manajemen kesehatan. Jakarta: EGC; 1999 .h. 10-1.

22

Anda mungkin juga menyukai