Oleh
dr. Andi Anggun Maharani
Pembimbing
dr. BaiqYuliana Andriani P.
DPJP
dr. Herpan Syafi’i Harahap, Sp.S
Pasien datang dibawa oleh keluarganya dengan keluhan lemah anggota gerak kiri
secara tiba-tiba sejak 8 jam yang lalu. Keluhan terjadi beberapa saat setelah bangun tidur.
Keluhan disertai dengan bicara pelo. Riwayat nyeri kepala sebelumnya (+), pasien
sempat sering mengeluh nyeri kepala 2 hari terakhir. Keluhan mual (+) dan muntah (+) 1
kali saat di rumah. Keluhan penurunan kesadaran sebelumnya disangkal. Riwayat trauma
sebelum ada keluhan disangkal. Riwayat demam dan batuk pilek 2 minggu terakhir
disangkal. Pasien belum mengkonsumsi obat untuk keluhannya dan belum pernah periksa
ke dokter.
Tanda Vital :
- Suhu : 36,7˚ C
- SpO2 : 98%
Status Generalis
Pemeriksaan Hasil
Kepala Normocephali, rambut hitam,
Mata Konjungtiva anemis -/-, refleks cahaya langsung +/+, refleks
cahaya tidak langsung +/+, sclera ikterik -/- nistagmus -/-
Telinga Normotia
Hidung Deformitas -, sekret -
Mulut & tenggorokan Bibir tidak kering, tonsil tenang T1/T1, hiperemis -
Leher KGB tidak teraba membesar, kaku kuduk (-)
Toraks Normochest, Simetris kiri dan kanan
Jantung S1S2 reguler, murmur -, gallop -
Paru Suara nafas vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-
Abdomen Supel (+), bising usus (+) 15x/menit,
nyeri tekan (-), Hepar tidak teraba membesar, Lien tidak teraba
membesar
Ekstremitas Akral hangat +, CRT <2”, edem -
+N/+N
SIRIRAJ SCORE
SS = (2,5 x Derajat Kesadaran) + (2 x muntah) + (2 x nyeri kepala) + (0,1 x Diastole) - (3 x
ateroma) - 12
= (2,5 x 0) + (2 x 1) + (2 x 1) + (0,1 x 108) - (3 x 0) - 12
= 2,8 (Stroke Haemorrargik)
HITUNG JENIS
Eosinofil 4.0 1,00-5,00 %
Basofil 0.9 0.00-2,00 %
Neutrofil 63.9 50.0-75.0 %
Limfosit 23.0 20-50 %
Monosit 8.2 2.0-9.0 %
IMUNOSEROLOGI
RT Antigen COVID-19 Negatif Negatif
KIMIA KLINIK
1. Medikamentosa
- IVFD PZ 20 tpm
- Citicholin 500 mg (IV)
- Getidin 50 mg (IV)
- Amlodipine 10 mg (PO)
- ISDN 5 mg (SL)
2. Non-Medikamentosa
- Konsul dokter spesialis Saraf :
a. IVFD RL 20 tpm
b. Citicholin 250 mg/12 jam (IV)
c. Omeprazole 40 mg/12 jam (IV)
d. Paracetamol 1 gr/8 jam (IV)
e. Ondancentron 8 mg/8jam (IV)
f. Amlodipine 10 mg (PO)
g. Valsartan 8 mg (PO)
h. Head up 30 derajat (tidak boleh duduk, miring kanan-kiri boleh)
i. Diit nasi RGRL (per oral bila perlu pasang NGT)
1.7 FOLLOW UP HARIAN
Rr : 20x/menit (IV)
S : 36oC (IV)
- Amlodipine 10 mg (PO)
An (-/-), Ik (-/-)
- Valsartan 8 mg (PO)
BP : Vesikuler
- Alprazolam 0 - 0- 0,5 mg
BT : Rh -/- , wh-/-
- Konsul dr. Didit, Sp.THT
BJ : I/II murni regular, BT
(Diagnosa tambahan : OED
(-)
sinistra, obat tambahan:
Abd : peristaltik (+) kesan
Cetirizine 10 mg/24 jam
normal, Nyeri tekan (-).
(PO), Chloramphenicol tetes
Hepar dan lien tidak teraba.
telinga 1 gtt/8jam AS)
Eks : Akral hangat, edema
- Head up 30 derajat (tidak
tungkai (-) kekuatan
boleh duduk, miring kanan-
motorik 555/444
kiri boleh)
555/444
- Diit nasi RGRL.
11-01-2021 S : Anggota gerak kiri masih P:
terasa lemah, masih susah bicara. - IVFD RL 20 tpm
Sudah bisa tidur lebih nyaman. - Citicholin 250 mg/12 jam
Sulit BAB (+) Keluhan telinga (IV)
berkurang. pusing (-), mual (-), - Omeprazole 40 mg/12 jam
muntah (-) (IV)
O : KU : Lemah GCS :CM - Paracetamol 1 gr/8 jam
TD : 140/90 mmhg (IV)
N : 90 x/m - Ondancentron 8 mg/8jam
Rr : 20x/menit (IV)
Rr : 20x/menit (IV)
S : 36 oC - Amlodipine 10 mg (PO)
- Valsartan 16 mg (PO)
An (-/-), Ik (-/-)
- Alprazolam 0 - 0- 0,5 mg
BP : Vesikuler
- Cetirizine 10 mg/24 jam
BT : Rh -/- , wh-/-
(PO)
BJ : I/II murni regular, BT
- Chloramphenicol tetes
(-)
telinga 1 gtt/8jam AS)
Abd : peristaltik (+) kesan
- Dulcolax Supp (k/p)
normal, Nyeri tekan (-).
- Head up 30 derajat (tidak
Hepar dan lien tidak teraba.
Eks : Akral hangat, edema boleh duduk, miring kanan-
tungkai (-) kekuatan kiri boleh)
motorik 555/444 - Diit nasi RGRL.
555/444
13-06-2021 S : Anggota gerak kiri masih P :
terasa lemah, masih susah bicara. - Amlodipine 10 mg/24 jam
Tidur kadang masih susah. Sudah (PO)
bisa BAB. Keluhan telinga - Valsartan 16 mg/24 jam
berkurang. pusing (-), mual (-), (PO)
muntah (-) - Citicholine 500 mg/8 jam
O : KU : sedang GCS :CM (PO)
TD : 160/100 mmhg - Alprazolam 0-0-0,5 mg
N : 84 x/m (PO)
Rr : 20x/menit - BLPL
S : 36 oC
An (-/-), Ik (-/-)
BP : Vesikuler
BT : Rh -/- , wh-/-
BJ : I/II murni regular, BT
(-)
Abd : peristaltik (+) kesan
normal, Nyeri tekan (-).
Hepar dan lien tidak teraba.
Eks : Akral hangat, edema
tungkai (-) kekuatan
motorik 555/444
555/444
3.6 PROGNOSIS
Ad vitam : Ad bonam
Ad functionam : Dubia ad malam
Ad sanationam : Dubia ad malam
TINJAUAN PUSTAKA
DEFINISI STROKE
Stroke adalah suatu gangguan fungsi saraf akut yang disebabkan oleh karena gangguan
peredaran darah otak, dimana secara mendadak (dalam beberapa detik atau menit) dapat
menimbulkan gejala dan tanda yang sesuai dengan daerah fokal di otak yang mengalami
kerusakan.4,5 Menurut WHO, stroke didefinisikan sebagai manifestasi klinis dari gangguan fungsi
otak, baik fokal maupun global (menyeluruh), yang berlangsung cepat, berlangsung lebih dari 24
jam atau sampai menyebabkan kematian, tanpa penyebab lain selain gangguan vaskuler.4,5
Pada umumnya gangguan fungsional otak fokal dapat berupa hemiparesis yang disertai
dengan defisit sensorik, parese nervus kraniales dan gangguan fungsi luhur. Manifestasi klinis
yang muncul sangat bergantung kepada area otak yang diperdarahi oleh pembuluh darah yang
mengalami oklusi ataupun ruptur. 5,6
EPIDEMIOLOGI STROKE
KLASIFIKASI STROKE
Terdapat beberapa pengelompokkan stroke. Klasifikasi stroke telah banyak dikemukakan
oleh beberapa institusi, seperti yang dibuat oleh Stroke Data Bank, World Health Organization
(WHO,1989) dan National Institute of Neurological Disease and Stroke (NINDS,1990). Pada
dasarnya klasifikasi tersebut dikelompokan atas dasar manifestasi klinik, proses patologi yang
terjadi di otak dan area lesinya. Hal ini berkaitan dengan pendekatan diagnosis neurologis untuk
menetapkan diagnosis klinis, diagnosis topik dan diagnosis etiologi.4,5 Lebih jauh, stroke dapat
diklasifikasikan berdasarkan gambaran klinik, patologi anatomi, sistem darah dan stadiumnya.
Pengelompokkan yang berbeda-beda ini menjadi landasan untuk menentukan terapi dan usaha
pencegahan stroke.5,6,7
1. Berdasarkan Patalogi Anatomi dan penyebabnya
a. Stroke iskemik
i. Transient Ischemic Attack (TIA)
ii. Trombosis serebri
iii. Embolia serebri
b. Stroke hemoragik
i. Perdarahan intraserebral
ii. Perdarahan subarachnoid
2. Berdasarkan stadium/ pertimbangan waktu
a. TIA
b. Stroke-in-evolution
c. Completed stroke
d. Reversible Ischemic Neurological Deficit (RIND)
3. Berdasarkan sistem pembuluh darah
a. Sistem karotis
b. Sistem vertebra-basiler
Stroke memiliki tanda klinik yang spesifik, tergantung dengan daerah otak yang
mengalami inskemik atau infark. Walaupun telah terdapat pngelompokkan stroke berdasarkan
patologi anatominya, yaitu stroke iskemik dan stroke hemoragik, namun penegakkan klinis
stroke (hemoragik maupun non-hemoragik) tidak dapat semata-mata ditegakkan berdasarkan
manifestasi klinis saja, karena semua gejala pada kedua kelompok stroke ini hampir sama. Untuk
itu diperlukan pemeriksaan tambahan yang lebih komprehensif untuk menegakkan diagnosis
stroke, seperti CT-scan.8
FAKTOR RISIKO
DIAGNOSIS STROKE
Diagnosis stroke dibuat berdasarkan adanya gejala klinis neurologik mendadak yang
beraneka ragam mulai dari gejala motorik fokal, gejala sensorik, gangguan fungsi luhur hingga
gangguan kesadaran. Gejala tersebut dapat disertai nyeri kepala, mual muntah, kejang, kaku
kuduk dan lain sebagainya. Diagnosis stroke seperti juga diagnosis lain di bidang Ilmu Penyakit
Saraf mencakup diagnosis klinis, topis dan etiologis. Pemahaman ilmu dasar mengenai anatomi
otak dan bangunan intrakranial di sekitarnya, sistem perdarahan otak serta fisiologi dan
metabolisme otak diperlukan dalam menentukan diagnosis stroke. Selain itu, anamnesis,
pemeriksaan fisik neurologis, dan pemeriksaan psikoneurologis perlu dicari dan disimpulkan
dalam sindrom-sindroma klinik yang dapat memberikan arah diagnosis topis dalam pengelolaan
pasien. Diagnosis etiologis menempati tempat utama yang harus segera disimpulkan untuk dapat
memberikan terapi yang cepat dan tepat.
Gangguan pada sistem karotis menyebabkan: gangguan penglihatan, gangguan bicara, disafasia
atau afasia bila mengenai hemisfer serebri dominan, gangguan motorik, hemiplegi/ hemiparesis
kontra lateral, dan gangguan sensorik. Gangguan pada sistim vertebrobasilar menyebabkan:
gangguan penglihatan, pandangan kabur atau buta bila gangguan pada lobus oksipital, gangguan
nervi kranalis bila mengenai batang otak, gangguan motorik, gangguan koordinasi, drop attack,
gangguan sensorik, gangguan kesadaran, dan kombinasi. Pada beberapa keadaan didapat
gangguan neurobehaviour, hemineglect, afasia, aleksia, anomia maupun amnesia. 1,2
Penegakan diagnosis stroke iskemik yang lain yakni dengan menggunakan Algoritma Stroke
Gajah Mada dan Perhitungan Sirriraj Score :
Keterangan :
PIS=Perdarahan Intraserebral
TATALAKSANA PASIEN TERDUGA STROKE
STROKE HEMORAGIK
Klasifikasi Stroke Hemoragik
Pembagian stroke hemorgaik dapat dibedakan berdasarkan penyebab perdarahannya1,2,
yaitu:
1. Perdarahan Intraserberal
Perdarahan intaserebral dibagi menjadi dua, yaitu perdarahan intaserebral primer dan
perdarahan intraserebral sekunder. Perdarahan intraserbral primer disebabkan oleh
hipertensi kronik yang menyebabkan vaskulopati serebral dengan akibta pecahnya
pembuluh darah otak. Sedangkan perdarahan sekunder terjadi aakibat adanya anomaly
vaskular congenital, koagulopati, tumor otak, vaskulitis, maupun akibat obat-obat
antikoagulan. Diperkirakan sekitar 50% dari penyebab perdarahan intraserebral adalah
hipertensi kronik. 4
2. Perdarahan Subarachnoid
Perdarahan subarachnoid terjadi bila keluarnya darah ke ruang subarachnoid sehingga
menyebakan reaksi yang cukup hebat berupa sakit keapala yang hebat dan bahkan
penurunan kesadaran. Perdarahan subarachnoid dapat terjadi akibat pecahnya aneurisma
sakuler.
2. Pemeriksaan Fisik
Pada pasien stroke perlu dilakukan pemeriksaan fisik neurologi seperti tingkat kesadaran,
ketangkasan gerakan, kekuatan otot, refleks patologis dan fungsi saraf kranial.
Pemeriksaan tingkat kesadaran dengan Glasgow Coma Scale (GCS).
3. Pemeriksaan Penunjang
CT scan
Pada intracranial hemorrhage, pada fase akut (<24 jam), gambaran radiologi akan
terlihat hyperdense, sedangkan jika fase subakut (24 jam – 5 hari) akan terlihat isodense,
sedangkan pada fase kronik (> 5hari) akan terlihat gambaran hypodense. Perdarahan terjadi di
intracerebral sehingga gambaran CSF akan terlihat jernih.
Subarachnoid Hemorrhage
Pemeriksaan Angiografi
Pemeriksaan ini digunakan untuk menentukan apakah lokasi pada sistem karotis atau
vertebrobasiler, menentukan ada tidaknya penyempitan, oklusi atau aneurisma pada
pembuluh darah.
Pemeriksaan ini digunakan apabila tidak ada CT scan atau MRI. Pada stroke perdarahan
intraserebral didapatkan gambaran LCS seperti cucian daging atau berwarna kekuningan.
Pada perdarahan subaraknoid didapatkan LCS yang gross hemorragik. Pada stroke infark
tidak didapatkan perdarahan (jernih).
Pemeriksaan untuk menetukan faktor risiko seperti darah rutin, komponen kimia darah
(ureum, kreatinin, asam urat, profil lipid, gula darah, fungsi hepar), elektrolit darah, foto
toraks, EKG, echocardiografi.
1. Stadium Hiperakut
Tindakan pada stadium ini dilakukan di Instalasi Rawat Darurat dan merupakan tindakan
resusitasi serebro-kardio-pulmonal bertujuan agar kerusakan jaringan otak tidak meluas. Pada
stadium ini, pasien diberi oksigen 2 L/menit dan cairan kristaloid/koloid; hindari pemberian
cairan dekstrosa atau salin dalam H2O. Dilakukan pemeriksaan CT scan otak,
elektrokardiografi, foto toraks, darah perifer lengkap dan jumlah trombosit, protrombin
time/INR, APTT, glukosa darah, kimia darah (termasuk elektrolit); jika hipoksia, dilakukan
analisis gas darah. Tindakan lain di Instalasi Rawat Darurat adalah memberikan dukungan
mental kepada pasien serta memberikan penjelasan pada keluarganya agar tetap tenang.
2. Stadium Akut
Pasien stroke hemoragik harus dirawat di ICU jika volume hematoma >30 mL, perdarahan
intraventrikuler dengan hidrosefalus, dan keadaan klinis cenderung memburuk. Tekanan
darah harus diturunkan sampai tekanan darah premorbid atau 15-20% bila tekanan sistolik
>180 mmHg, diastolik >120 mmHg, MAP >130 mmHg, dan volume hematoma bertambah.
Bila terdapat gagal jantung, tekanan darah harus segera diturunkan dengan labetalol iv 10 mg
(pemberian dalam 2 menit) sampai 20 mg (pemberian dalam 10 menit) maksimum 300 mg;
enalapril iv 0,625-1.25 mg per 6 jam; kaptopril 3 kali 6,25-25 mg per oral. Jika didapatkan
tanda tekanan intracranial meningkat, posisi kepala dinaikkan 30º, posisi kepala dan dada di
satu bidang, pemberian manitol (lihat penanganan stroke iskemik), dan hiperventilasi (pCO2
4,5,16
20-35 mmHg). Agen yang disarankan untuk digunakan pada keadaan akut adalah
penghambat beta (misalnya, labetalol) dan penghambat enzim pengubah angiotensin (ACEI)
(misalnya, enalapril). Untuk hipertensi yang lebih refrakter, agen seperti nicardipine dan
hydralazine digunakan. Hindari nitroprusside karena dapat meningkatkan tekanan
intrakranial.
Pedoman AHA / ASA 2010 mengakui bahwa bukti kemanjuran pengelolaan BP pada stroke
hemoragik saat ini tidak lengkap. Dengan peringatan itu, rekomendasi AHA / ASA untuk
mengobati BP yang meningkat adalah sebagai berikut20:
Jika TD sistolik lebih dari 200 mm Hg atau tekanan arteri rata-rata (MAP) lebih dari
150 mmHg, pertimbangkan penurunan TD agresif dengan infus IV kontinu; periksa BP
setiap 5 menit
Jika TD sistolik lebih dari 180 mm Hg atau MAP lebih dari 130 mm Hg dan tekanan
intrakranial mungkin meningkat, maka pertimbangkan untuk memantau tekanan
intrakranial dan mengurangi TD menggunakan obat intravena intermiten atau kontinu,
sambil mempertahankan tekanan perfusi serebral 60 mm Hg atau lebih tinggi
Jika TD sistolik lebih dari 180 atau MAP lebih dari 130 mm Hg dan tidak ada bukti
peningkatan tekanan intrakranial, maka pertimbangkan penurunan TD yang sederhana
(target MAP 110 mm Hg atau target BP 160/90 mm Hg) menggunakan intermiten atau
kontinu. obat intravena untuk mengontrolnya, dan melakukan pemeriksaan ulang klinis
pasien setiap 15 menit
Pada pasien dengan tekanan darah sistolik 150 sampai 220 mm Hg, penurunan TD
sistolik akut hingga 140 mmHg mungkin aman.
Untuk pasien dengan perdarahan subarachnoid aneurysmal, pedoman AHA / ASA 2012
merekomendasikan penurunan TD di bawah 160 mm Hg secara akut untuk mengurangi
perdarahan ulang.
Terapi umum:
a. Letakkan kepala pasien pada posisi 30º, kepala dan dada pada satu bidang; ubah
posisi tidur setiap 2 jam; mobilisasi dimulai bertahap bila hemodinamik sudah stabil.
Selanjutnya, bebaskan jalan napas, beri oksigen 1-2 liter/menit sampai didapatkan hasil
analisis gas darah. Jika perlu, dilakukan intubasi. Demam diatasi dengan kompres dan
antipiretik, kemudian dicari penyebabnya; jika kandung kemih penuh, dikosongkan
(sebaiknya dengan kateter intermiten).
b. Pemberian nutrisi dengan cairan isotonik, kristaloid atau koloid 1500-2000 mL dan
elektrolit sesuai kebutuhan, hindari cairan mengandung glukosa atau salin isotonik.
Pemberian nutrisi per oral hanya jika fungsi menelannya baik; jika didapatkan
gangguan menelan atau kesadaran menurun, dianjurkan melalui selang nasogastrik.
c. Kadar gula darah >150 mg% harus dikoreksi sampai batas gula darah sewaktu 150
mg% dengan insulin drip intravena kontinu selama 2-3 hari pertama. Hipoglikemia
(kadar gula darah < 60 mg% atau < 80 mg% dengan gejala) diatasi segera dengan
dekstrosa 40% iv sampai kembali normal dan harus dicari penyebabnya.
d. Nyeri kepala atau mual dan muntah diatasi dengan pemberian obat-obatan sesuai
gejala. Tekanan darah tidak perlu segera diturunkan, kecuali bila tekanan sistolik ≥220
mmHg, diastolik ≥120 mmHg, Mean Arterial Blood Pressure (MAP) ≥ 130 mmHg
(pada 2 kali pengukuran dengan selang waktu 30 menit), atau didapatkan infark
miokard akut, gagal jantung kongestif serta gagal ginjal. Penurunan tekanan darah
maksimal adalah 20%, dan obat yang direkomendasikan: natrium nitroprusid, penyekat
reseptor alfa-beta, penyekat ACE, atau antagonis kalsium. Jika terjadi hipotensi, yaitu
tekanan sistolik ≤ 90 mm Hg, diastolik ≤70 mmHg, diberi NaCl 0,9% 250 mL selama 1
jam, dilanjutkan 500 mL selama 4 jam dan 500 mL selama 8 jam atau sampai hipotensi
dapat diatasi. Jika belum terkoreksi, yaitu tekanan darah sistolik masih < 90 mmHg,
dapat diberi dopamin 2-20 μg/kg/menit sampai tekanan darah sistolik ≥ 110 mmHg.
e. Jika kejang, diberi diazepam 5-20 mg iv pelan-pelan selama 3 menit, maksimal 100
mg per hari; dilanjutkan pemberian antikonvulsan per oral (fenitoin, karbamazepin).
Jika kejang muncul setelah 2 minggu, diberikan antikonvulsan peroral jangka panjang.
f. Jika didapatkan tekanan intrakranial meningkat, diberi manitol bolus intravena 0,25
sampai 1 g/ kgBB per 30 menit, dan jika dicurigai fenomena rebound atau keadaan
umum memburuk, dilanjutkan 0,25g/kgBB per 30 menit setiap 6 jam selama 3-5 hari.
Harus dilakukan pemantauan osmolalitas (<320 mmol); sebagai alternatif, dapat
diberikan larutan hipertonik (NaCl 3%) atau furosemid.
Terapi khusus
Neuroprotektor dapat diberikan kecuali yang bersifat vasodilator. Tindakan bedah
mempertimbangkan usia dan letak perdarahan yaitu pada pasien yang kondisinya kian
memburuk dengan perdarahan serebelum berdiameter >3 cm3, hidrosefalus akut akibat
perdarahan intraventrikel atau serebelum, dilakukan VP-shunting, dan perdarahan lobar >60
mL dengan tanda peningkatan tekanan intrakranial akut dan ancaman herniasi. Pada
perdarahan subaraknoid, dapat digunakan antagonis Kalsium (nimodipin) atau tindakan
bedah (ligasi, embolisasi, ekstirpasi, maupun gamma knife) jika penyebabnya adalah
aneurisma atau malformasi arteri-vena (arteriovenous malformation, AVM). 1,2,15
3. Stadium Subakut
Tindakan medis dapat berupa terapi kognitif, tingkah laku, menelan, terapi wicara, dan
bladder training (termasuk terapi fisik). Mengingat perjalanan penyakit yang panjang,
dibutuhkan penatalaksanaan khusus intensif pasca stroke di rumah sakit dengan tujuan
kemandirian pasien, mengerti, memahami dan melaksanakan program preventif primer dan
sekunder.
Terapi fase subakut:
a. Melanjutkan terapi sesuai kondisi akut sebelumnya,
b. Penatalaksanaan komplikasi,
c. Restorasi/rehabilitasi (sesuai kebutuhan pasien), yaitu fisioterapi, terapi wicara, terapi
kognitif, dan terapi okupasi,
d. Prevensi sekunder
e. Edukasi keluarga dan Discharge Planning
PROGNOSIS4,5
1. Perdarahan Intraserebral
Prediktor terpenting untuk menilai outcome perdarahan intra serebri (PIS) adalah volume
PIS, tingkat kesadaran penderita (menggunakan skor Glasgow Coma Scale (GCS), dan
adanya darah intraventrikel. Volume PIS dan skor GCS dapat digunakan untuk memprediksi
tingkat kematian dalam 30 hari dengan sensitivitas sebesar 96% dan spesifitas 98%.
Prognosis buruk biasanya terjadi pada pasien dengan volume perdarahan (>30mL), lokasi
perdarahan di fossa posterior, usia lanjut dan MAP >130 mmHg pada saat serangan. GCS <4
saat serangan juga bisa memberi prognosis buruk.
Suatu PIS dengan volume >60 mL dan skor GCS ≤ 8 memiliki tingkat mortalitas
sebesar 91% dalam 30 hari, dibanding dengan tingkat kematian 19% pada PIS dengan
volume <30 mL dan GCS skor ≥ 9. Perluasan PIS ke intraventrikel meningkatkan mortalitas
secara umum menjadi 45% hingga 75%, tanpa memperhatikan lokasi PIS, sebagai bagian
dari adanya hidrosefalus obstruktif akibat gangguan sirkulasi liquor cerebrospinal (LCS).
Pengukuran volume hematom dapat dilakukan secara akurat dengan CT scan. Secara klinis,
edema berperan dalam efek massa dari hematom, meningkatkan tekanan intrakranial dan
pergeseran otak intrakranial. Secara paradoks, volume relatif edema yang tinggi berhubungan
dengan outcome fungsional yang lebih baik, yang menimbulkan suatu kerancuan apakah
edema harus dijadikan target terapi atau hanya merupakan variabel prognostik.
2. Perdarahan Subarachnoid
Tingkat mortalitas pada tahun pertama dari serangan stroke hemoragik perdarahan
subarachnoid sangat tinggi, yaitu 60%. Sekitar 10% penderita perdarahan subarachnoid
meninggal sebelum tiba di RS dan 40% meninggal tanpa sempat membaik sejak awitan.
Perdarahan ulang juga sangat mungkin terjadi. Rata-rata waktu antara perdarahan pertama
dan perdarahan ulang adalah sekitar 5 tahun.
DAFTAR PUSTAKA
1. Aho K, Harmsen P, Hatano S, Marquardsen J, Smirnov VE, Strasser T. Cerebrovascular
disease in the community: results of a WHO collaborative study. Bull World Health
Organ. 1980; 58:113–30.
2. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), 2013. Jakarta: Badan Litbangkes, Depkes RI.
3. Misbach J, Jannis J, Soertidewi L. 2011. Epidemiologi Stroke, dan Anatomi Pembuluh Darah
Otak dan Patofisiologi Stroke dalam Stroke Aspek Diagnostik, Patofisiologi,
Manajemen. Kelompok Studi Stroke Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia.
4. Kelompok Studi Stroke Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. 2007. Guideline Stroke
2007. Edisi Revisi. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia: Jakarta.
5. Morgenstern, Lewis B., Hemphill J.C., et al. 2010.Guidelines for the Management of
Spontaneous Intracerebral Hemorrhage: A Guideline for Healthcare Professionals From
the American Heart Association / American Stroke Association. Journal of the
American Heart Association.
6. Misbach, dr.H. Jusuf. 1999. Stroke: Aspek Diagnotik, Patofisiologi, Manajemen. Balai Penerbit
FKUI, Jakarta, Indonesia.
7. Mardjono, Prof. dr. Mahar. Prof. dr. Priguna Sidharta. 2008. Neurologi Klinis Dasar cetakan
ke-13. Dian Rakyat, Jakarta, Indonesia.
8. Magistris, Fabio. Stephanie Bazak, Jason Martin. 2013. Intracerebral Hemmorhage:
Pathophysiology, Diagnosis and Management (Clinical Review). MUMJ. Vol 10 No.1
halaman 15-22.
9. Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. 2008. Buku Ajar Neurologi Klinis cetakan ke-4.
Gadjah Mada University Press. Yogyakarta, Indonesia.
10. Ropper AH, Brown RH. 2005. Adams and Victor’s Principles of Neurology.Edisi 8. BAB 4.
Major Categories of Neurological Disease:Cerebrovascular Disease. McGraw Hill: New
York.
11. Nasissi, Denise. 2010. Hemorrhagic Stroke Emedicine. Medscape.
12. Price, S. A., L. M. Wilson. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, E/6.
Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
13. Snell, R. S. 2006. Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran, Ed. 6. Penerbit Buku
Kedokteran EGC, Jakarta.
14. Ropper AH, Brown RH. 2005. Adams dan Victor’s Principles of Neurology. Edisi 8. BAB 4.
Major Categories of Neurological Disease: Cerebrovascular Disease. McGraw Hill:
New York.
15. MERCK, 2007. Hemorrhagic Stroke. (Http://www.merck.com/
mmhe/sec06/ch086/ch086d.html.)
16. Samino. 2006. Perjalanan Penyakit Peredaran Darah Otak. FK UI/RSCM.
(Http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/13PerjalananPenyakitPeredaranDarahOtak021.p
df/13PerjalananPenyakitPeredaranDarahOtak021.html.)
17. Mesiano, Taufik. 2007. Perdarahan Subarakhnoid Traumatik. FK UI/RSCM.
18. Poungvarin, N. Skor Siriraj stroke dan studi validasi untuk membedakan perdarahan
intraserebral supratentorial dari infark.
(Http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1670347/)
19. Basuki, Andi dan Dian Sofiati (ed.). Neurology in Daily Practice. 2010. Bandung: Bagian Ilmu
Pena Saraf Fakultas Kedokteran UNPAD
Swartz, MH. 2002. Buku Ajar Diagnostik Fisik. Jakarta :EGC
20. [Guideline] Morgenstern LB, Hemphill JC 3rd, Anderson C, Becker K, Broderick JP, Connolly
ES Jr, et al. Guidelines for the management of spontaneous intracerebral hemorrhage: a
guideline for healthcare professionals from the American Heart Association/American
Stroke Association. Stroke. 2010 Sep. 41(9):2108-29.