SAMPAI KE INDONESIA
A. Sejarah Islam
Sejarah Islam adalah sejarah agama Islam mulai turunnya wahyu pertama pada
tahun 622 yang diturunkan kepada rasul yang terakhir yaitu Muhammad bin Abdullah di
Gua Hira, Arab Saudi sampai dengan sekarang.
Sejarah Islam masa Khulafaur Rasyidin
632 M – Wafatnya Nabi Muhammad dan Abu Bakar diangkat menjadi khalifah. Usamah
bin Zaid memimpin ekspedisi ke Syria. Perang terhadap orang yang murtad yaitu Bani
Tamim dan Musailamah al-Kadzab.
633 M – Pengumpulan Al Quran dimulai.
634 M – Wafatnya Abu Bakar. Umar bin Khatab diangkat menjadi khalifah. Penaklukan
Damaskus.
636 M – Peperangan di Ajnadin atas tentara Romawi sehingga Syria, Mesopotamia, dan
Palestina dapat ditaklukkan. Peperangan dan penaklukan Kadisia atas tentara Persia.
638 M – Penaklukan Baitulmuqaddis oleh tentara Islam. Peperangan dan penkalukan
Jalula atas Persia.
639 M – Penaklukan Madain, kerajaan Persia.
640 M – Kerajaan Islam Madinah mulai membuat mata uang Islam. Tentara Islam
megepung kota Alfarma, Mesir dan menaklukkannya.
641 M – Penaklukan Mesir
642 M – Penaklukan Nahawand, kerajaan Persia dan Penaklukan Persia secara
keseluruhan.
644 M – Umar bin Khatab mati syahid akibat dibunuh. Utsman bin Affan menjadi
khalifah.
645 M – Cyprus ditaklukkan.
646 M – Penyerangan Byzantium di kota Iskandariyah Mesir.
647 M – Angkatan Tentara Laut Islam didirikan & diketuai oleh Muawiyah Abu Sufyan.
Perang di laut melawan angkatan laut Byzantium.
648 M – Pemberontakan menentang pemerintahan Utsman bin Affan.
656 M – Utsman mati akibat dibunuh. Ali bin Abi Talib dilantik menjadi khalifah.
Terjadinya Perang Jamal.
657 M – Ali bin Abi Thalib memindahkan pusat pemerintahan dari Madinah ke Kufah.
Perang Siffin meletus.
659 M – Ali bin Abi Thalib menyerang kembali Hijaz dan Yaman dari Muawiyah.
Muawiyah menyatakan dirinya sebagai khalifah Damaskus.
661 M – Ali bin Abi Thalib mati dibunuh. Pemerintahan Khulafaur Rasyidin berakhir.
Hasan (Cucu Nabi Muhammad) kemudian diangkat sebagai Khalifah ke-5 Umat Islam
menggantikan Ali bin Abi Thalib.
661 M – Setelah sekitar 6 bulan Khalifah Hasan memerintah, 2 kelompok besar pasukan
Islam yaitu Pasukan Khalifah Hasan di Kufah dan pasukan Muawiyah di Damsyik telah
siap untuk memulai suatu pertempuran besar. Ketika pertempuran akan pecah, Muawiyah
kemudian menawarkan rancangan perdamaian kepada Khalifah Hasan yang kemudian
dengan pertimbangan persatuan Umat Islam, rancangan perdamaian Muawiyah ini
diterima secara bersyarat oleh Khalifah Hasan dan kekhalifahan diserahkan oleh Khalifah
Hasan kepada Muawiyah. Tahun itu kemudian dikenal dengan nama Tahun
Perdamaian/Persatuan Umat (Aam Jamaah) dalam sejarah Umat Islam. Sejak saat itu
Muawiyah menjadi Khalifah Umat Islam yang kemudian dilanjutkan dengan sistem
Kerajaan Islam yang pertama yaitu pergantian pemimpin (Raja Islam) yang dilakukan
secara turun temurun (Daulah Umayyah) dari Daulah Umayyah ini kemudian berlanjut
kepada Kerajaan-Kerajaan Islam selanjutnya seperti Daulah Abbasiyah, Fatimiyyah,
Usmaniyah dan lain-lain.
Sepeninggalan nabi agung Muhammad SAW tepatnya pada 632 M silam, kepemimpinan
agama Islam tidak berhenti begitu saja. Kepemimpinan Islam diteruskan oleh para
khalifah dan disebarkan ke seluruh penjuru dunia termasuk Indonesia. Hebatnya baru
sampai abad ke 8 Islam telah menyebar hingga ke seluruh afrika, timur tengah, dan benua
eropa. Baru pada dinasti Ummayah perkembangan islam masuk ke nusantara.
B. Proses Masuknya Islam ke Nusantara
Masuknya islam di Indonesia berlangsung secara damai dan menyesuaikan
dengan adat serta istiadat penduduk lokal. Ajaran islam yang tidak mengenal perbedaan
kasta membuat ajaran ini sangat diterima penduduk lokal. Proses masuknya islam
dilakukan melalui cara berikut ini.
1. Melalui Perdagangan
Pedagang-pedagang muslim yang berasal dari Arab, Persia, dan India telah ikut
ambil bagian dalam jalan lalu lintas perdagangan yang menghubungkan Asia Barat,
Asia Timur, dan Asia Tenggara, pada abad ke-7 sampai abad ke-16. Para pedagang
muslim yang akhirnya juga singgah di Indonesia ini, ternyata tidak hanya semata-
mata melakukan kegiatan dagang.
Melalui hubungan perdagangan tersebut, agama dan kebudayaan Islam masuk ke
wilayah Indonesia. Pada abad kesembilan, orang-orang Islam mulai bergerak
mendirikan perkampungan Islam di Kedah (Malaka), Aceh, dan Palembang. Pada
akhir abad ke-12, kekuasaan politik dan ekonomi Kerajaan Sriwijaya mulai merosot
karena didesak oleh kekuasaan Kertanegara dari Singasari. Seiring dengan
kemunduran Sriwijaya, para pedagang Islam beserta para mubalignya semakin giat
melakukan peran politik dalam mendukung daerah pantai yang ingin melepaskan diri
dari kekuasaan Sriwijaya. Menjelang berakhirnya kerajaan Hindu-Buddha abad ke-13
berdiri kerajaan kecil yang bercorak Islam, yaitu Samudra Pasai yang terletak di
pesisir timur laut wilayah Aceh. Kemudian pada awal abad ke-15 telah berdiri
Kerajaan Malaka. Sejak saat itu, Aceh dan Malaka berkembang menjadi pusat
perdagangan dan pelayaran yang ramai dan banyak dikunjungi oleh para pedagang
Islam dan penduduk dari berbagai daerah terjadi interaksi yang akhirnya banyak yang
masuk Islam. Setelah pulang ke daerah asal, mereka menyebarkan agama Islam ke
daerahnya. Agama dan kebudayaan Islam dari Malaka menyebar ke wilayah Sumatra
Selatan, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku. Dalam suasana demikian, banyak
raja daerah dan adipati pesisir yang masuk Islam. Contohnya, Demak (abad ke-15),
Ternate (abad ke-15), Gowa (abad ke-16), dan Banjar (abad ke-16).
2. Melalui Perkawinan
Para pedagang muslim yang datang di Indonesia, ada sebagian di antara mereka
yang kemudian menetap di kota-kota pelabuhan dan membentuk perkampungan yang
disebut Pekojan. Perkawinan antara putri bangsawan dan pedagang muslim akhirnya
berlangsung. Perkawinan ini dilakukan secara Islam, yaitu dengan mengucapkan
(menirukan) dua kalimat syahadat. Upacara perkawinan berjalan dengan mudah
karena tanpa pentasbihan atau upacara-upacara yang panjang, lebar, dan mendalam.
Dalam Babad Tanah Jawi, misalnya, diceritakan perkawinan antara Maulana
Iskhak dan putri Raja Blambangan yang kemudian melahirkan Sunan Giri, sedangkan
dalam Babad Cirebon diceritakan perkawinan putri Kawunganten dengan Sunan
Gunung Jati.
3. Melalui Tasawuf
Tasawuf adalah ajaran ketuhanan yang telah bercampur dengan mistik dan hal-hal
yang bersifat magis. Ahli-ahli tasawuf yang memberikan ajaran yang mengandung
persamaan alam pikiran seperti pada mistik Indonesia–Hindu, antara lain, Hamzah
Fansuri, Nuruddin ar Raniri, dan Syeikh Siti Jenar.
4. Melalui Pendidikan
Pendidikan dalam Islam dilakukan dalam pondok-pondok pesantren yang dise-
lenggarakan oleh guru-guru agama, kiai-kiai, atau ulama-ulama. Pesantren ini
merupakan lembaga yang penting dalam penyebaran agama Islam karena merupakan
tempat pembinaan calon guru-guru agama, kiai-kiai, atau ulama-ulama. Setelah
menamatkan pelajarannya di pesantren, murid-murid (para santri) akan kembali ke
kampung halamannya.
6. Melalui Dakwah
Penyebaran Islam di Nusantara, terutama di Jawa, sangat berkaitan dengan
pengaruh para wali yang kita kenal dengan sebutan wali sanga. Mereka inilah yang
berperan paling besar dalam penyebaran agama Islam melalui metode dakwah.
C. Perkembangan Tradisi Islam di Berbagai Daerah dari Abad ke-15 sampai ke-18
Pada masa sebelum datangnya Islam, pusat-pusat pemerintahan kerajaan di
Indonesia umumnya memiliki tanah lapang yang luas (alun-alun). Di empat penjuru
tanah lapang itu terdapat bangunan-bangunan penting, seperti keraton, tempat pemujaan,
dan pasar. Jika dilihat dari sudut arsitektur, masjid kuno beratap tingkat (meru) misalnya
beratap dua yaitu masjid Agung Cirebon, masjid Katangka di Sulawesi, masjid Muara
Angke, Tambora dan Marunda di Jakarta; masjid beratap tiga yaitu masjid Demak,
Baiturrahman Aceh, masjid Jepara; dan masjid beratap lima yaitu masjid Agung Banten.
Masjid kuno Indonesia yang mempunyai atap bertingkat telah mengundang pendapat
beberapa ahli yang mengatakan bahwa hal itu merupakan kelanjutan dari seni bangunan
tradisional Indonesia lama. Ada beberapa bukti yang mendukung pendapat itu, di
antaranya sebagai berikut.
Bangunan-bangunan Hindu di Bali yang disebut Wantilan atapnya juga
bertingkat.
Relief yang ada di candi-candi pada masa Majapahit juga terdapat ukiran yang
meng- gambarkan bangunan atap bertingkat.
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa telah terjadi akulturasi antara seni
bangun tradisional Indonesia dengan seni bangun. Dalam seni ukir dan lukis terjadi
akulturasi antara seni ukir dan seni lukis Islam dengan seni lukis dan seni ukir tradisional
Indonesia yang dapat kita jumpai pada bangunan masjid-masjid kuno dan keraton. Ukir-
ukiran yang biasa dipahatkan pada tiang-tiang, tembok, atap, mihrab, dan mimbarnya
dibuat dengan pola makara dan teratai.
Dalam perkembangan selanjutnya, muncul pula seni kaligrafi, yaitu seni melukis
indah dengan huruf Arab. Dalam seni tari dan seni musik juga terjadi akulturasi yakni
beberapa upacara dan tarian rakyat. Di beberapa daerah ada jenis tarian yang
berhubungan dengan nyanyian atau pembacaan tertentu yang berupa selawat atau slawat
kompang. Bentuk-bentuk tarian itu misalnya permainan dabus dan seudati.
Permainan dabus adalah suatu jenis tarian atau pertunjukan kekebalan terhadap
senjata tajam dengan cara menusukkan benda tajam tersebut pada tubuhnya. Tarian ini
diawali dengan nyanyian atau pembacaan Alquran atau selawat nabi. Permainan ini
berkembang di bekas-bekas pusat kerajaan seperti Banten, Minangkabau, Aceh. Adapun
seudati adalah seni tradisional rakyat Aceh yang berupa tarian atau nyanyian.
Pertunjukan dilakukan oleh sembilan atau sepuluh orang pemuda dengan memukul-
mukulkan telapak tangan ke bagian dada. Dalam seudati pemain juga menyanyikan lagu-
lagu tertentu yang isinya berupa selawat (pujian) kepada nabi. Selain seni tari, juga
berkembang seni musik yang berupa pertunjukan gamelan. Pertunjukan ini biasa
dilakukan pada upacara Maulud, yaitu peringatan untuk menghormati kelahiran Nabi
Muhammad saw. Pada peringatan ini, selain dinyanyikan pujian-pujian kepada Nabi
Muhammad saw. juga diadakan pertunjukan gamelan dan pencucian benda-benda
keramat. Upacara ini biasanya dilakukan di bekas pusat kerajaan, seperti Yogyakarta dan
Surakarta yang disebut Gerebeg Maulud. Upacara semacam ini di Cirebon biasa disebut
Pajang Jimat. Upacara ini biasa disampaikan dengan gemelan yang disebut Sekaten.
Masuknya kebudayaan Islam juga berpengaruh besar terhadap seni bangunan
makam. Bangunan makam pada orang yang meninggal terbuat dari batu bata tembok
yang disebut jirat atau kijing. Di atas jirat itu, khususnya bagi orang-orang penting
didirikan sebuah rumah yang disebut bangunan makam berupa jirat dan cungkup yang
biasanya dihiasi dengan seni kaligrafi (seni tulisan Arab) yang indah. Makam tertua di
Indonesia yang bercorak Islam ialah makam Fatimah binti Maimun di Leran (tahun 1082)
dan diberi cungkup. Dinding cungkup diberi hiasan bingkai-bingkai mendatar mirip
model hiasan candi. Makam lain yang penting, antara lain makam Sultan Malik al Saleh
di Samudra Pasai, makam Maulana Malik Ibrahim, dan makam para wali dan sultan yang
lain.
1. Hikayat
Hikayat adalah cerita atau dongeng yang berisi berbagai macam peristiwa sejarah.
Keajaiban dan peristiwa yang tidak masuk akal bahkan menjadi bagian terpenting
walaupun sering berpangkal pada seorang tokoh sejarah ataupun berkisar pada
peristiwa sejarah. Misalnya, Panji Inu Kertapati, Hikayat Amir Hamzah, Hikayat
Bayan Budiman, Hikayat Si Miskin, Hikayat Bahtiar, dan Hikayat Hang Tuah.
2. Babad
Babad ialah cerita sejarah yang biasanya lebih berupa cerita daripada uraian
sejarah walaupun yang menjadi pola memang peristiwa sejarah. Di daerah Melayu,
babad dikenal dengan nama sejarah, silsilah (salasilah), dan tambo. Beberapa kitab
babad diberi judul Hikayat, misalnya Hikayat Raja-Raja Pasai, Hikayat Salasilah
Perak, Sejarah Melayu, Babad Giyanti, Babad Tanah Jawi, dan Sejarah Negeri
Kedah.
3. Suluk
Suluk adalah kitab yang membentangkan soal tasawuf. Sifatnya panteis (manusia
bersatu dengan Tuhan atau masyarakat Jawa mengenal sebagai manunggaling
kawula Gusti). Suluk merupakan hasil kesusastraan tertua dari zaman madya yang
berasal dari atau berhubungan erat dengan para wali.
Pada zaman madya, muncul kepandaian pahat memahat menjadi terbatas pada
seni ukir hias. Untuk seni hias, orang mengambil pola berupa daun-daunan, bunga-
bungaan (teratai), bukit-bukit karang, pemandangan dan garis geometri. Sering juga
terdapat pada kalamakara dan kalamarga (yaitu kijang menjadi pengganti makara).
Hal itu sebenarnya kurang sesuai dengan peraturan Islam, namun dapat juga diterima
karena tidak dirasakan sebagai pelanggaran. Begitu juga dengan gambar-gambar ular
naga yang terdapat di sana-sini. Kedatangan Islam menambah lagi satu pola, yaitu
huruf-huruf Arab. Pola itu seringkali digunakan untuk menyamarkan lukisan
makhluk hidup, biasanya binatang dan bahkan juga untuk gambar wayang.
Sebelum kebudayaan Islam memasuki wilayah Indonesia, sistem pemerintahan
pada kerajaan di Indonesia mendapat pengaruh budaya Hindu-Buddha. Setelah
agama Islam beserta kebudayaannya masuk dan berkembang di Indonesia, lambat
laun berpengaruh terhadap sistem pemerintahan. Pada saat kedatangan Islam, di
Indonesia sudah berkembang bandar-bandar perdagangan. Agama Islam mengalami
perkembangan yang cepat melalui cara perdagangan sehingga terbentuk masyarakat
Islam. Semakin pesatnya pusat-pusat perdagangan dengan masyarakatnya yang
beragama Islam, berdirilah kerajaan-kerajaan yang bercorak Islam.
J. Hukum Islam pada Masa Kemerdekaan Periode Revolusi Hingga Keluarnya Dekrit
Presiden 5 Juli 1950
Selama hampir lima tahun setelah proklamasi kemerdekaan, Indonesia memasuki
masa-masa revolusi (1945-1950). Menyusul kekalahan Jepang oleh tentara-tentara
sekutu, Belanda ingin kembali menduduki kepulauan Nusantara. Dari beberapa
pertempuran, Belanda berhasil menguasai beberapa wilayah Indonesia, dimana ia
kemudian mendirikan negara-negara kecil yang dimaksudkan untuk mengepung
Republik Indonesia. Berbagai perundingan dan perjanjian kemudian dilakukan, hingga
akhirnya tidak lama setelah Linggarjati, lahirlah apa yang disebut dengan Konstitusi
Indonesia Serikat pada tanggal 27 Desember 1949.
Dengan berlakunya Konstitusi RIS tersebut, maka UUD 1945 dinyatakan berlaku
sebagai konstitusi Republik Indonesia yang merupakan satu dari 16 bagian negara
Republik Indonesia Serikat. Konstitusi RIS sendiri jika ditelaah, sangat sulit untuk
dikatakan sebagai konstitusi yang menampung aspirasi hukum Islam. Mukaddimah
Konstitusi ini misalnya, samasekali tidak menegaskan posisi hukum Islam sebagaimana
rancangan UUD’45 yang disepakati oleh BPUPKI. Demikian pula dengan batang
tubuhnya, yang bahkan dipengaruhi oleh faham liberal yang berkembang di Amerika dan
Eropa Barat, serta rumusan Deklarasi HAM versi PBB.
Namun saat negara bagian RIS pada awal tahun 1950 hanya tersisa tiga negara
saja RI, negara Sumatera Timur, dan negara Indonesia Timur, salah seorang tokoh umat
Islam, Muhammad Natsir, mengajukan apa yang kemudian dikenal sebagai “Mosi
Integral Natsir” sebagai upaya untuk melebur ketiga negara bagian tersebut. Akhirnya,
pada tanggal 19 Mei 1950, semuanya sepakat membentuk kembali Negara Kesatuan
Republik Indonesia berdasarkan Proklamasi 1945. Dan dengan demikian, Konstitusi RIS
dinyatakan tidak berlaku, digantikan dengan UUD Sementara 1950.
Akan tetapi, jika dikaitkan dengan hukum Islam, perubahan ini tidaklah membawa
dampak yang signifikan. Sebab ketidakjelasan posisinya masih ditemukan, baik dalam
Mukaddimah maupun batang tubuh UUD Sementara 1950, kecuali pada pasal 34 yang
rumusannya sama dengan pasal 29 UUD 1945, bahwa “Negara berdasar Ketuhanan yang
Maha Esa” dan jaminan negara terhadap kebebasan setiap penduduk menjalankan
agamanya masing-masing. Juga pada pasal 43 yang menunjukkan keterlibatan negara
dalam urusan-urusan keagamaan. “Kelebihan” lain dari UUD Sementara 1950 ini adalah
terbukanya peluang untuk merumuskan hukum Islam dalam wujud peraturan dan
undang-undang. Peluang ini ditemukan dalam ketentuan pasal 102 UUD sementara 1950.
Peluang inipun sempat dimanfaatkan oleh wakil-wakil umat Islam saat mengajukan
rancangan undang-undang tentang Perkawinan Umat Islam pada tahun 1954. Meskipun
upaya ini kemudian gagal akibat “hadangan” kaum nasionalis yang juga mengajukan
rancangan undang-undang Perkawinan Nasional. Dan setelah itu, semua tokoh politik
kemudian nyaris tidak lagi memikirkan pembuatan materi undang-undang baru, karena
konsentrasi mereka tertuju pada bagaimana mengganti UUD Sementara 1950 itu dengan
undang-undang yang bersifat tetap.
Perjuangan mengganti UUD Sementara itu kemudian diwujudkan dalam
Pemilihan Umum untuk memilih dan membentuk Majlis Konstituante pada akhir tahun
1955. Majlis yang terdiri dari 514 orang itu kemudian dilantik oleh Presiden Soekarno
pada 10 November 1956. Namun delapan bulan sebelum batas akhir masa kerjanya,
Majlis ini dibubarkan melalui Dekrit Presiden yang dikeluarkan pada tanggal 5 Juli 1959.
Hal penting terkait dengan hukum Islam dalam peristiwa Dekrit ini adalah konsiderannya
yang menyatakan bahwa “Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni menjiwai UUD 1945” dan
merupakan “suatu kesatuan dengan konstitusi tersebut”. Hal ini tentu saja mengangkat
dan memperjelas posisi hukum Islam dalam UUD, bahkan menurut Anwar Harjono lebih
dari sekedar sebuah “dokumen historis”. Namun bagaiamana dalam tataran aplikasi?
Lagi-lagi faktor-faktor politik adalah penentu utama dalam hal ini. Pengejawantahan
kesimpulan akademis ini hanya sekedar menjadi wacana jika tidak didukung oleh daya
tawar politik yang kuat dan meyakinkan.
Hal lain yang patut dicatat di sini adalah terjadinya beberapa pemberontakan yang
diantaranya “bernuansakan” Islam dalam fase ini. Yang paling fenomenal adalah gerakan
DI/TII yang dipelopori oleh Kartosuwirjo dari Jawa Barat. Kartosuwirjo sesungguhnya
telah memproklamirkan negara Islam-nya pada tanggal 14 Agustus 1945, atau dua hari
sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Namun ia
melepaskan aspirasinya untuk kemudian bergabung dengan Republik Indonesia. Tetapi
ketika kontrol RI terhadap wilayahnya semakin merosot akibat agresi Belanda, terutama
setelah diproklamirkannya negara-boneka Pasundan di bawah kontrol Belanda, ia pun
memproklamirkan berdirinya Negara Islam Indonesia pada tahun 1948. Namun pemicu
konflik yang berakhir di tahun 1962 dan mencatat 25.000 korban tewas itu, menurut
sebagian peneliti, lebih banyak diakibatkan oleh kekecewaan Kartosuwirjo terhadap
strategi para pemimpin pusat dalam mempertahankan diri dari upaya pendudukan
Belanda kembali, dan bukan atas dasar –apa yang mereka sebut dengan- “kesadaran
teologis-politis”nya.