Anda di halaman 1dari 56

LAPORAN TUTORIAL

SKENARIO A BLOK 27 2018

Tutor : dr. Safyudin, M. Biomed

Disusun oleh:
Kelompok 5

Amardeep Kaur Singh 04011381520184


Alyssa Poh Jiawei 04011381520183
Andy Andrean 04011281520130
Bhagatdeep Kaur Singh 04011381520185
Inthiraa Siva 04011381520186
Kurniawan Onti 04011381520181
Levanya Anbalagan 04011381520188
Norlaila Binti Chahril 04011381520194
Rovania Yantinez Quardetta 04011381520171
Vedha Naayyagen 04011381520192

PENDIDIKAN DOKTER UMUM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2018
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena atas berkat,
rahmat, dan karunia-Nya lah kami dapat meyusun laporan tutorial ini sesuai dengan
waktu yang telah ditentukan.
Laporan ini merupakan tugas hasil kegiatan tutorial skenario A dalam blok 27
Pendidikan Dokter Umum Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya tahun 2018. Di
sini kami membahas sebuah kasus kemudian dipecahkan secara kelompok
berdasarkan sistematikanya mulai dari klarifikasi istilah, identifikasi masalah,
menganalisis, meninjau ulang dan menyusun keterkaitan antar masalah, serta
mengidentifikasi topik pembelajaran. Bahan laporan ini kami dapatkan dari hasil
diskusi antar anggota kelompok dan bahan ajar.
Akhir kata, kami mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Tuhan
Yang Maha Kuasa, tutor dan para anggota kelompok yang telah mendukung baik
moril maupun materil dalam pembuatan laporan ini. Kami mengakui dalam penulisan
laporan ini terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, kami memohon maaf dan
mengharapkan kritik serta saran dari pembaca demi kesempurnaan laporan kami di
kesempatan mendatang. Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.

Palembang, 16 Agustus 2018

Kelompok 5

2
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ………………………………………………………….............. ii


Daftar Isi .......................................................................................................... iii
BAB I : Pendahuluan
1.1 Latar Belakang………………………………………………….... 4
1.2 Maksud dan Tujuan……………………………………………… 4
BAB II : Pembahasan
2.1 Skenario Kasus ………………………………………………...... 5
2.2 Paparan
I. Klarifikasi Istilah. ................………………………………. 6
II. Identifikasi Masalah...........……………………………........ 7
III. Analisis Masalah ...............................……………………... 8
IV. Aspek Klinis.......................................................................... 27
V. Learning Issue...................................……………………... .37
VI. Tinjauan Pustaka……………………………………………38
VII. Kerangka Konsep…...................……………………………54
BAB III : Penutup
3.1 Kesimpulan .......................................................................................55
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................................55

BAB I

3
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Pada laporan tutorial kali ini, laporan membahas tentang Infeksi Tropis yang
berada dalam blok 27 pada semester 7 dari Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK)
Pendidikan Dokter Umum Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang.
Pada kesempatan ini, dilakukan tutorial studi kasus sebagai bahan pembelajaran
untuk menghadapi tutorial yang sebenarnya pada waktu yang akan datang.

1.2. Maksud Dan Tujuan


Adapun maksud dan tujuan dari materi praktikum tutorial ini, yaitu:
1. Sebagai laporan tugas kelompok tutorial yang merupakan bagian dari sistem
KBK di Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang.
2. Dapat menyelesaikan kasus yang diberikan pada skenario dengan metode analisis
dan pembelajaran diskusi kelompok.
3. Tercapainya tujuan dari metode pembelajaran tutorial dan memahami konsep dari
skenario ini.

4
BAB II
PEMBAHASAN
2.2. Skenario Kasus
Tn. B, 40 tahun, pekerjaan pembersih selokan, dibawa ke IGD karena
penurunan kesadaran sejak 6 jam yang lalu. Sejak 5 hari yang lalu, Tn. Badu
menderita demam tinggi, terus menerus. Demam disertai sakit kepala, nyeri
otot-otot terutama otot betis, disertai mual, mata merah tanpa kotoran, dan
penglihatan silau. BAB dan BAK biasa.

Sejak 2 hari yang lalu mata dan seluruh badan berwarna kuning, BAB biasa,
BAK berkurang dan warnanya teh tua. Demam masih ada.

Sejak 6 jam yang lalu Tn. B tidak BAK, dan bicara meracau. Demam masih
ada, badan kuning masih ada.

Keterangan : saat ini musim hujan

Pemeriksaan Fisik

Keadaan Umum :

Tampak sakit berat, kesadaran delirium, tekanan darah 110/70 mmHg, nadi
110x/menit, pernafasan 2x/menit, suhu tubuh 39oC.

Keadaan Spesifik :

Mata : Konjugtiva palpebral pucat, ikterik, tampak conjugtival


suffusion, fotofobia.

Abdomen : Hepar teraba 2 jari di bawah arcus costae.

Ekstremitas : Nyeri tekan musculus gastrocnemius dextra et sinistra.

Hasil Laboratorium :

Hb 9,8 mg/dl lekosit 13.000/mm3 Trombosit


250.000/mm3

Ureum 70 mg/dl Kreatinin 2,8 mg/dl Bilirubin indirek


0,5mg/dl

Enzim Creatinin Phospho Kinase (CPK) 60 Bilirubin direk


2,8mg/dl

Urinalisa protein +2

5
I. Klarifikasi Istilah
No
Istilah Pengertian
.

Suatu keadaan neurologi yang ditandai dengan


hilangnya kemampuan pasien untuk merespon
1. Penurunan Kesadaran
stimulasi dari dalam tubuh maupun lingkungan luar
tubuh.

Demam tinggi terus Suatu keadaan saat suhu badan melebihi 37oc terus
2.
menerus menerus

Rasa nyeri pada daerah kepala dan muncul di sekitar


3. Sakit kepala
kepala

4. Penglihatan silau Keadaan mata yang sensitif terhadap cahaya

5. Bicara meracau Bicara tidak karuan (waktu sakit/demam)

6. Delirium Gangguan mental yang ditandai oleh ilusi, halusinasi,


ketegangan otak, dan kegelisahan fisik.

7. Conjugtival suffusion Kemerahan pada konjugtiva yang merupakan tanda


khas pada leptospirosis

8. Fotofobia Pengalaman tidak nyaman di mata ketika melihat


cahaya yang terang

Marker dari kerusakan ck rich tissue contohnya


Creatinin Phospho
9. seperti myocardiac infection, rhabdomyolisis,
Kinase muscular dystrophy, autoimmune myocitidis, dan
acute kidney injury

6
II. Identifikasi Masalah
No. Kenyataan Kesesuaian Konsen

1. Tn. B (40 tahun) seorang pembersih selokan,


mengalami penurunan kesadaran sejak 6 jam Masalah I
yang lalu.

Sejak 5 hari yang lalu, Tn. Badu menderita


demam tinggi, terus menerus. Demam
disertai sakit kepala, nyeri otot-otot terutama
otot betis, disertai mual, mata merah tanpa
kotoran, dan penglihatan silau. BAB dan
BAK biasa.
2.
Sejak 2 hari yang lalu mata dan seluruh Masalah II
badan berwarna kuning, BAB biasa, BAK
berkurang dan warnanya teh tua. Demam
masih ada. Sejak 6 jam yang lalu Tn. B tidak
BAK, dan bicara meracau. Demam masih
ada, badan kuning masih ada

Keterangan : saat ini musim hujan

Pemeriksaan Fisik

Keadaan Umum :
3. Penunjang
Tampak sakit berat, kesadaran delirium, III
diagnosa
tekanan darah 110/70 mmHg, nadi
110x/menit, pernafasan 2x/menit, suhu tubuh
39oC.

Keadaan Spesifik :

Mata : Konjugtiva palpebral pucat, ikterik,


tampak conjugtival suffusion, fotofobia.
4. Penunjang
Abdomen : Hepar teraba 2 jari di bawah III
diagnosa
arcus costae.

Ekstremitas : Nyeri tekan musculus


gastrocnemius dextra et sinistra

5. Hasil Laboratorium : Penunjang III

Hb 9,8 mg/dl lekosit 13.000/mm3 diagnosa

Trombosit 250.000/mm3 Ureum 70 mg/dl

7
Kreatinin 2,8 mg/dl Bilirubin indirek
0,5mg/dl

Enzim Creatinin Phospho Kinase (CPK) 60


Bilirubin direk 2,8mg/dl Urinalisa protein +2

III. Analisis Masalah


1. Tn. B (40 tahun) seorang pembersih selokan, mengalami penurunan kesadaran
sejak 6 jam yang lalu. saat ini musim hujan
a. Apa hubungan usia, jenis kelamin, pekerjaan, dan musim hujan dengan
keadaan yang dialami Tn. B?
Pekerjaan merupakan faktor resiko yang penting pada manusia. Kelompok yang
beresiko adalah petani atau pekerja di sawah, perkebunan tebu, tambang, rumah
potong hewan, perawat hewan, dokter hewan atau orang-orang yang berhubungan
dengan perairan, lumpur dan hewan. Leptospira masuk ke dalarn tubuh melalui
kulit yang terluka atau membrana mukosa (Kusmiyati, Noor, & Supar, 2005).
Leptospirosis pada manusia dapat terjadi pada semua kelompok umur dan pada
kedua jenis kelamin (laki-laki atau perempuan). Tapi kebanyakkan terjadi pada
laki-laki karena berhubungan dengan pekerjaan mereka contohnya: pekerja
pembersih selokan, pekerja di peternakan, dan di segala tempat yang lingkungannya
terkontaminasi dengan urine hewan.

b. Bagaimana etiologi penurunan kesadaran?

 Gangguan kesadaran disebabkan oleh berbagai faktor etiologi, baik yang bersifat
intrakranial maupun ekstrakranial / sistemik. Penjelasan singkat tentang faktor
etiologi gangguan kesadaran adalah sebagai berikut:

a. Gangguan sirkulasi darah di otak (serebrum, serebellum, atau batang otak) -


Perdarahan, trombosis maupun emboli - Mengingat insidensi stroke cukup tinggi
maka kecurigaan terhadap stroke pada setiap kejadian gangguan kesadaran perlu
digarisbawahi.

b. Infeksi: ensefalomeningitis (meningitis, ensefalitis, serebritis/abses otak) -


Mengingat infeksi (bakteri, virus, jamur) merupakan penyakit yang sering dijumpai

8
di Indonesia maka pada setiap gangguan kesadaran yang disertai suhu tubuh
meninggi perlu dicurigai adanya ensefalomeningitis.

c. Gangguan metabolisme - Di Indonesia, penyakit hepar, gagal ginjal, dan diabetes


melitus sering dijumpai.

d. Neoplasma - Neoplasma otak, baik primer maupun metastatik, sering di jumpai


di Indonesia. - Neoplasma lebih sering dijumpai pada golongan usia dewasa dan
lanjut. - Kesadaran menurun umumnya timbul berangsur-angsur namun progresif/
tidak akut. e. Trauma kepala - Trauma kepala paling sering disebabkan oleh
kecelakaan lalu-lintas.

f. Epilepsi - Gangguan kesadaran terjadi pada kasus epilepsi umum dan status
epileptikus

g. Intoksikasi - Intoksikasi dapat disebabkan oleh obat, racun (percobaan bunuh


diri), makanan tertentu dan bahan kimia lainnya.

h. Gangguan elektrolit dan endokrin - Gangguan ini sering kali tidak menunjukkan
“identitas”nya secara jelas; dengan demikian memerlukan perhatian yang khusus
agar tidak terlupakan dalam setiap pencarian penyebab gangguan kesadaran.

c. Bagaimana mekanisme penurunan kesadaran?


Berbagai observasi menunjukkan bahwa konsentrasi yang berlebihan dari gamma-
aminobutyic acid (GABA), suatu inhibitory neurotransmitter,
CNS sangat penting dalam menyebabkan penurunan kesadaran pada hepatic enceph
alopathy.

d. Apa jenis-jenis tingkat kesadaran?

9
No Tingkat Kesadaran Keterangan

Sadar sepenuhnya, baik terhadap dirinya maupun


1. Compos mentis lingkungannya. Pasien dapat menjawab
pertanyaan pemeriksa dengan baik.

Pasien tampak acuh tak acuh terhadap rangsangan


2. Apatis
yang diberikan.

Keadaan mengantuk yang masih dapat pulih bila


3. Somnolen (letargi) dirangsang, tapi bila rangsang berhenti, pasien
akan tidur kembali.

Penurunan kesadaran disertai kekacauan motorik


dan siklus tidur-bangun yang terganggu. Pasien
4. Delirium
tampak gaduh, gelisah, kacau, disorientasi, dan
meronta-ronta.

Keadaan mengantuk yang dalam. Bisa


dibangunkan dengan rangsang nyeri, tetapi pasien
5. Sopor (stupor)
tidak bangun sempurna dan tidak dapat
memberikan jawaban verbal dengan baik.

Penurunan kesadaran berat, tidak ada gerakan


7. Koma spontan dan tidak ada respon terhadap rangsangan
nyeri.

e. Bagaimana struktur fungsi otak dalam mengatur kesadaran?

Thalamus merupakan struktur simetris garis tengah otak yang terletak diantara
otak tengah dan kortek selebral. Ini merupakan struktur terbesar yang dimiliki
diencephalon, yaitu bagian otak yang terletak diantara otak tengan dan otak depan.
Thalamus dianggap sebagai pusat informasi diotak, karena ia bertindak sebagai
perantara atau penyampai antara subkortikal dengan kortek selebral. Fungsi

10
thalamus adalah mengatur kesadaran, kewaspadaan dan menyampaikan signal
sensorik dan motorik kepada kortek selebral.

f. Bagaimana dampak penurunan kesadaran selama 6 jam?

Dampaknya adalah :

 Pasien bisa coma.


 Pasien bisa mengalami kerosakan otak ( brain damage )
 Choking. Bisa terjadi kerana ada makanan atau minuman yang menutupi
saluran pernafasan.
 Gula darah rendah ( low blood sugar)
 Tekanan darah rendah (low bood pressure)
 Dehidrasi
 Sel-sel otak bias mati

11
2. Sejak 5 hari yang lalu, Tn. Badu menderita demam tinggi, terus menerus. Demam
disertai sakit kepala, nyeri otot terutama otot betis, disertai mual, mata merah
tanpa kotoran, dan penglihatan silau. BAB dan BAK biasa.

Sejak 2 hari yang lalu mata dan seluruh badan berwarna kuning, BAB biasa, BAK
berkurang dan warnanya teh tua. Demam masih ada.

Sejak 6 jam yang lalu Tn. B tidak BAK, dan bicara meracau. Demam masih ada, badan
kuning masih ada

Keterangan : saat ini musim hujan

a. Sejak 5 hari yang lalu, Tn. Badu menderita demam tinggi, terus menerus lalu
demam turun perlahan setelah 2 hari, demam masih ada
I. Bagaimana klasifikasi demam terkait kasus?

Menurut Nelwan (2007), terdapat beberapa tipe demam yang mungkin dijumpai,
antara lain:

a. Demam septic (range ≥ 2oC)

Pada tipe demam septik, suhu tubuh berangsur naik ke tingkat yang tinggi sekali pada
malam hari dan turun kembali ke tingkat di atas normal pada pagi hari. Demam sering
disertai keluhan menggigil dan berkeringat. Bila demam yang tinggi tersebut turun ke
tingkat yang normal dinamakan juga demam hektik (range ≥ 2 oC).

b. Demam remiten (range 1-2 oC)

Pada tipe demam remiten, suhu tubuh dapat turun setiap hari tetapi tidak pernah
mencapai suhu normal. Perbedaan suhu yang mungkin tercatat dapat mencapai dua
derajat dan tidak sebesar perbedaan suhu yang dicatat pada demam septik.

c. Demam intermiten (range <2 oC)

Pada demam intermiten, suhu tubuh turun ke tingkat yang normal selama beberapa
jam dalam satu hari. Bila demam seperti ini terjadi dua hari sekali disebut tersiana
dan bila terjadi dua hari bebas demam diantara dua serangan demam disebut kuartana.

12
d. Demam kontinyu (range ≤ 1 oC)

Pada demam tipe kontinyu variasi suhu sepanjang hari tidak berbeda lebih dari satu
derajat.

e. Demam siklik (siklus demam mingguan)

Pada tipe demam siklik terjadi kenaikan suhu tubuh selama beberapa hari yang diikuti
oleh periode bebas demam untuk beberapa hari yang kemudian diikuti oleh kenaikan
suhu seperti semula.

Demam yang dialami Tn.B termasuk kedalam kategori demam kontinyu yaitu demam
yang tidak berfluktuasi lebih dari 10C selama 24 jam dan terus menerus.

II. Bagaimana struktur fungsi otak dalam mengatur suhu?

Hipotalamus merupakan bagian otak yang tersusun atas sejumlah nukleus


yang memiliki berbagai macam fungsi yang peka terhadap suhu, glukosa,
steroid, serta glukokortikoid. Hipotalamus terletak di bagian batang otak, yaitu
di diencephalon. Hipotalamus bertindak sebagai pusat kontrol autonom,
dimana ia memiliki fungsi yang terkait dengan sistem saraf serta kelenjar
hipofisis. Selain itu, hipotalamus juga merupakan suatu bagian dari sistem
limfatik yang tidak pernah terpisahkan serta sebagai konektor signal yang
berasal dari bagian otak menuju korteks otak besar. Hipotalamus mengirim
signal berupa epinephrine serta neropinephrine ke kelenjar adrenal.

13
Fungsi hipotalamus adalah:

 Mengontrol serta mengatur hormon-hormon endokrin guna


memelihara homeostasis tekanan darah, suhu tubuh, denyut jantung,
emosi, cairan tubuh, nafsu makan, serta perilaku.
 Mengontrol serta memonitoring berbagai macam aktivitas tubuh.
 Mengatur fungsi sekretorik pada posterior dan anterior kelenjar
hipofisis

Sewaktu memasuki medulla spinalis, sinyal akan menjalar dalam traktus


lissaueri sebanyak beberapa segmen diatas atau dibawah dan selanjutnya akan
berakhir terutama pada lamina I, II, III radiks dorsalis sama seperti untuk rasa
nyeri. Selanjutnya, Sinyal akan menyilang ke traktus sensorik anterolateral
sesi berlawanan dan akan berakhir di (1) area reticular batang otak dan (2)
kompleks vetro basal thalamus. Setelah dari thalamus sinyal di hantarkan ke
hipotalamus. Hipotalamus mengandung dua pusat pengaturan suhu.
Hipotalamus bagian anterior berespon terhadap peningkatan suhu dengan

14
menyebabkan vasodilatasi. Sedangkan hipotalamus bagian posterior berespon
terhadap penurunan suhu dengan menyebabkan vasokontriksi.

III. Bagaimana patofisiologi demam?


Penderita kontak dengan air atau tanah yang terkontaminasi leptospira
pathogen  leptospira masuk ke aliran darah melalui lesi kulit atau mukosa
 leptospira menuju organ-organ  kekebalan tubuh aktif  Leptospira lisis
 endotoksin dilepaskan  merangsang makrofag untuk datang  lepasnya
sitokoin IL1, IL-6 – TNF alpha  Sitokin berikatan dengan reseptornya di
hipotalamus  mengaktivasi fosfolipase A2 melepaskan asam arakidonat 
leh enzim COX2 diubah menjadi PGE2  cAMP menaikkan set point 
respon tubuh dibuat untuk meningkatkan panas  suhu tubuh meningkat
IV. Bagaimana mekanisme penurunan suhu?
a. Radiasi
Radiasi adalah mekanisme kehilangan panas tubuh dalam bentuk
gelombang panas inframerah. Gelombang inframerah yang dipancarkan
dari tubuh memiliki panjang gelombang 5 – 20 mikrometer. Tubuh
manusia memancarkan gelombang panas ke segala penjuru tubuh. Radiasi
merupakan mekanisme kehilangan panas paling besar pada kulit (60%)
atau 15% seluruh mekanisme kehilangan panas. Panas adalah energi
kinetic pada gerakan molekul. Sebagian besar energi pada gerakan ini
dapat di pindahkan ke udara bila suhu udara lebih dingin dari kulit. Sekali
suhu udara bersentuhan dengan kulit, suhu udara menjadi sama dan tidak
terjadi lagi pertukaran panas, yang terjadi hanya proses pergerakan udara
sehingga udara baru yang suhunya lebih dingin dari suhu tubuh.
b. Konduksi
Konduksi adalah perpindahan panas akibat paparan langsung kulit dengan
benda-benda yang ada di sekitar tubuh. Biasanya proses kehilangan panas
dengan mekanisme konduksi sangat kecil. Sentuhan dengan benda
umumnya memberi dampak kehilangan suhu yang kecil karena dua
mekanisme, yaitu kecenderungan tubuh untuk terpapar langsung dengan
benda relative jauh lebih kecil dari pada paparan dengan udara, dan sifat
isolator benda menyebabkan proses perpindahan panas tidak dapat terjadi
secara efektif terus menerus.
c. Evaporasi
Evaporasi ( penguapan air dari kulit ) dapat memfasilitasi perpindahan
panas tubuh. Setiap satu gram air yang mengalami evaporasi akan
menyebabkan kehilangan panas tubuh sebesar 0,58 kilokalori. Pada
kondisi individu tidak berkeringat, mekanisme evaporasi berlangsung
sekitar 450 – 600 ml/hari. Hal ini menyebabkan kehilangan panas terus

15
menerus dengan kecepatan 12 – 16 kalori per jam. Evaporasi ini tidak
dapat dikendalikan karena evaporasi terjadi akibat difusi molekul air
secara terus menerus melalui kulit dan system pernafasan.

V. Mengapa setelah 2 hari, demam masih ada?


Penderita kontak dengan air atau tanah yang terkontaminasi leptospira
pathogen → leptospira masuk ke aliran darah melalui lesi kulit atau mukosa
→ leptospira menuju organ-organ → kekebalan tubuh aktif → Leptospira lisis
→ endotoksin dilepaskan → merangsang makrofag untuk datang → lepasnya
sitokoin IL1, IL-6 – TNF alpha → Sitokin berikatan dengan reseptornya di
hipotalamus → mengaktivasi fosfolipase A2 melepaskan asam arakidonat →
leh enzim COX2 diubah menjadi PGE2 → cAMP menaikkan set point →
respon tubuh dibuat untuk meningkatkan panas → suhu tubuh meningkat

b. Demam disertai sakit kepala sejak 5 hari yang lalu


I. Bagaimana mekanisme sakit kepala?

Pada fase leptosperolemia: leptospira virulen masuk ke tubuh melalui kulit


yang terluka atau mukosa (dibantu oleh hyaluronidase dan burrowing
motility)bakteri bermultifikasi (yang nonvirulen gagal bermultifikasi)
bakteri masuk ke LCS  respon meningitis terjadi sewaktu terbentuknya
respon antibody penebalan meninges dengan peningkatan sel mononuclear
arachnoid  sakit kepala terutama di bagian frontal dan kaku di leher juga.

II. Apa saja penyebab sakit kepala terkait kasus?

Potensi penyebab hipertensi intrakranial termasuk gagal hati akut, hiperkarbia,


krisis hipertensi akut, sindrom hepatocerebral Reye dan gagal jantung. Fenomena
lain yang telah terlibat dalam kegagalan hati akut adalah peningkatan volume
intracranial adan aliran darah otak. Peningkatan hasil aliran darah otak karena
gangguan autoreglasi serebral. Gangguan autoregulasi serebral dianggap
dimediasi oleh peningkatan konsenrasi sistemik NO.

Peningkatan konsentrasi serum dari endotoksin bakteri,tumor necrosis factor-


alpha (TNF-a), dan interleukin-1 (IL-1) dan -6 (IL-6) Beberapa bentuk
keterlibatan sistem saraf pusat telah dilaporkan. Komplikasi neurologis yang

16
paling umum adalah meningitis limfositik aseptik yang terjadi pada 11-25%
pasien. Pasien biasanya datang dengan sakit kepala berat, fotofobia dan
kekakuan nuchal yang menyertai onset demam. leptospira dapat diisolasi dari
cairan serebrospinal (CSF) dalam 5 hari setelah onset demam. Temuan yang
biasa adalah tekanan pembukaan CSF, peningkatan protein dengan kadar
glukosa CSF normal dan pleocytosis limfositik. CSF adalah budaya negatif
untuk jamur atau bakteri aerobik lainnya. Jadi diagnosis diferensial utama
adalah meningitis viral. Kejang jarang terjadi dan biasanya terjadi terlambat
setelah timbulnya komplikasi lain. Manifestasi neurologi lain yang tidak
umum dilaporkan termasuk encephalomyelitis, polyneuropathies, sindrom
Guillain-Barré, mononeuritis multiplex, palsi saraf kranial atau perifer. Pasien
dapat hadir dengan sindrom psikiatrik yang ditandai oleh mania, atau mungkin
ketidakstabilan suasana hati sebagai komplikasi langka yang dapat bertahan
selama bertahun-tahun.

III. Apa saja jenis sakit kepala terkait kasus?


Nyeri Kepala Primer
a. Migraine
b. Tension Type Headache
c. Nyeri kepala kluster dan hemicrania paroksismal kronik
d. Nyeri kepala lain yang tidak berhubungan dengan lesi struktural
Nyeri Kepala Sekunder
a. Nyeri kepala karena trauma kepala
b. Nyeri kepala karena kelainan vaskular
c. Nyeri kepala karena kelainan intrakranial nonvaskular
d. Nyeri kepala karena penggunaan suatu zat
e. Nyeri kepala karena infeksi
f. Nyeri kepala karena kelainan metabolik
g. Nyeri kepala atau nyeri wajah karena kelainan wajah atau struktur
kranial
h. Nyeri kepala atau wajah karena kelainan saraf
(Neil H. Raskin, Harrison’s, Principles of Internal Medicine, 16th
edition)

17
Tn. B mengalami nyeri kepala sekunder dikarenakan infeksi dari M.O
Leptospira

c. Demam disertai nyeri otot terutama otot betis sejak 5 hari yang lalu
I. Bagaimana mekanisme nyeri otot?
 Mekanisme: Nyeri otot diduga terjadi karena adanya kerusakan otot
sehingga kreatinin fosfokinase (CPK) meningkat, dan pemeriksaan CPK ini
dapat membantu penegakan diagnosis klinis leptospirosis. Kerusakan otot
terjadi karena leptospira endotoksin masuk ke dalam darah dan alirannya
menimbulkan reaksi kimia kinin, bradikinin, dan prostaglandin dan reaksi
kimia tersebut menyebabkan mialgia atau nyeri pada otot.

II. Mengapa nyeri lebih dirasakan pada otot betis?


 Karena otot betis paling sering digerakkan/digunakan dan leptospirosis
sukanaya pada otot-otot besar terutama betis.Nyeri otot diduga terjadi karena
adanya kerusakan otot sehingga kreatinin fosfokinase (CPK) pada sebagian
besar kasus meningkat, dan pemeriksaan CPK ini dapat membantu penegakan
diagnosis klinis leptospirosis. Kerusakan otot terjadi karena leptospira
endotoksin masuk ke dalam darah dan alirannya menimbulkan reaksi kimia
kinin, bradikinin, dan prostaglandin dan reaksi kimia tersebut menyebabkan
mialgia atau nyeri pada otot.

d. Demam disertai mual sejak 5 hari yang lalu


I. Bagaimana etiologi dan mekanisme mual?

  M.O. Leptospira  masuk melalui lesi di kulit atau mukosa  multiplikasi


kuman dan menyebar ke pembuluh darah  kerusakan endotel, ekstravasasi
sel  nekrosis hepar dan kolestasis  hepatomegali  mual, muntah

 Kerusakan pada saluran gastrointestinal  impuls iritatif yang merangsang


pusat muntah di batang otak  memerintahkan otot abdomen serta diafragma
untuk berkontraksi  mual ataupun muntah.

18
e. Demam disertai mata merah tanpa kotoran sejak 5 hari yang lalu
I. Bagaimana etiologi dan mekanisme mata merah tanpa kotoran?

 Etiologi: Mata merah memiliki beberapa penyebab, di antaranya:

 Virus
 Bakteri (misalnya gonorrhea atau chlamydia)
 Iritan seperti sampo, debu, asap, dan klorin pada kolam renang
 Alergi, misalnya debu, serbuk sari, atau jenis alergi tertentu pada
pengguna lensa kontak

 Mekanisme: Leptospira dapat masuk ruang anterior dari mata selama fase
leptospiremia walaupun antibodi yang terbentuk cukup tinggi. Leptospira
menginvasi pembuluh darah yang menuju mata sehingga terjadi peradangan
pada dinding pembuluh darah (vaskulitis) dan akhirnya menyebabkan
conjungtival injection. Hal ini lama- kelamaan akan menyebabkan uveitis.

f. Demam disertai penglihatan silau sejak 5 hari yang lalu


I. Bagaimana etiologi dan mekanisme penglihatan silau?
 Leptospira menginvasi ruang anterior mata pada fase leptospiremia 
terjadi uveitis  fotofobia
 Leptospira beradar dalam darah dan LCS masuk ke mata dalam bilik
anterior dan timbul respon imun perdadangan pada bilik anterior sehingga
menjadi uveitis yang bagiannya badan sillier, iris , dan koriod atau disebut
bagian mata uvea

g. Sejak 2 hari yang lalu mata dan seluruh badan berwarna kuning, BAB biasa,
BAK berwarna teh tua. Sejak 6 jam yang lalu, kuning masih ada dan bicara
meracau.
I. Apa makna klinis dari pernyataan diatas?
Pasien mengalami icterus hepatic. Warna urin teh tua menandakan
peningkatan bilirubin direct.

19
II. Apa etiologi jaundice terkait kasus?
Ikterus merupakan suatu keadaan dimana terjadi penimbunan pigmen
empedu pada tubuh menyebabkan perubahan warna jaringan menjadi kuning,
terutama pada jaringan tubuh yang banyak mengandung serabut elastin sperti
aorta dan sklera.Warna kuning ini disebabkan adanya akumulasi bilirubin
pada proses (hiperbilirubinemia).Adanya ikterus yang mengenai hampir
seluruh organ tubuh menunjukkan terjadinya gangguan sekresi bilirubin.
 Ikterus pre-hepatik 
Ikterus jenis ini terjadi karena adanya kerusakan RBC atau
intravaskularhemolisis, misalnya pada kasus anemia hemolitik
menyebabkan terjadinya pembentukan bilirubin yang
berlebih.Hemolisis dapat disebabkan oleh parasitdarah, contoh :
Babesia sp. dan Anaplasma sp. Bilirubin yang tidak terkonjugasi bersi-
at tidak larut dalam air sehingga tidak diekskresikan dalam urin dan
tidak terjadi bilirubinuria tetapi terjadi peningkatan urobilinogen.Hal
ini menyebabkan warna urin dan feses menjadi gelap. Ikterus yang
disebabkan oleh hiperbilirubinemia tak terkonjugasi bersifat ringan
dan berwarna kuning pucat.
III. Apa saja jenis jenis jaundice terkait kasus?

Jenis – jenis jaundice :


 Icterus obstructive
o Icterus hepatic  icterus yang terjadi karena gangguan dari
dalam hati
o Icterus post hepatic icterus yang terjadi karena adanya
sumbatan atau gangguan di organ biliary duct
 Icterus non obstructive

IV. Bagaimana patofisiologi jaundice pada kasus?


Jaundice terjadi karena nekrosis hepatoseluler, kolestasis intrahepatik dan
peningkatan beban billirubin dari absorbsi perdarahan jaringan

20
V. Apa hubungan jaundice dan bicara meracau?
Tidak ada hubungan antara jaundice dan bicara meracau. Jaundice disebabkan
akibat kerusakan sel-sel hati sedangkan bicara meracau sendiri akibat dari
penurunan kesadaran.

h. Sejak 2 hari yang lalu BAK berkurang


Sejak 6 jam yang lalu Tn. B tidak BAK,
I. Mengapa sejak 6 jam yang lalu Tn.B tidak BAK?
Leptospira virulen masuk ke tubuh melalui kulit yang terluka atau mukosa
(dibantu oleh hyaluronidase dan burrowing motility) bakteri bermultifikasi
(yang nonvirulen gagal bermultifikasi) dinding endotel pembuluh darah
rusak dan timbul vaskulitis, sel darah merah lisis akibat enzim fosfolipase,
bakteri bermigrasi ke lumen dan interstisium tubulus ginjal vaskulitis
menghambat sirkulasi mikro dan peningkatan permeabilitas kapiler
kebocoran cairan ginjal hipovolemia  gagal ginjal edema dan
pendarahan subkapsular, serta nekrosis tubulus ginjal. (Gangguan gagal ginjal
renal).  berkurangnya jumlah produksi urin sehingga lama-kelamaan
menyebabkan gangguan BAK.

II. Mengapa BAK mulai berkurang sejak 2 hari yang lalu?


BAK mulai berkurang berarti terdapat gangguan aliran darah ke ginjal bisa
dikarenakan darah yang tidak adekuat atau karena terjadi kerusakan pembuluh
darah ke ginjal sehingga urin yang keluar berkurang.

III. Apa saja kemungkinan penyakit dari hasil anamnesis?

Leptospirosis harus dibedakan dengan demam yang lain dihubungkan dengan sakit
kepala dan nyeri otot,seperti dengue, malaria, demam enterik, hepatitis virus, dan
penyakit rickettsia.

* Dengue Fever * Hantavirus Cardiopulmonary Syndrome

* Hepatitis * Malaria

21
* Meningitis * Mononucleosis, influenza

* Enteric fever * Rickettsial disease

3. Pemeriksaan Fisik

Keadaan umum :

Keadaan Spesifik

a. Bagaimana interpretasi dan mekanisme abnormalitas pada pemeriksaan


fisik?

No
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal Interpretasi
.

Tampak sakit Tidak tampak


1. Abnormal
berat sakit

Invasi leptospirosis pada


cairan serebrospinal
Compos
2. Delirium sehingga menyebabkan
mentis
gangguan pada system
saraf pusat

TD: 110/70
3. Keadaan Umum 120/80 mmHg Hipotensi
mmHg

Terjadi peningkatan
Nadi: 60 – frekuensi nadi karena
4.
110x/menit 100x/menit adanya peningkatan
pada suhu tubuh

Masih dalam batas


5. RR: 22x/menit 18-24x/menit
normal

6. Suhu: 39oC 36,5-37,2oC Febris

22
b. Apa saja kemungkinan penyakit dari hasil pemeriksaan fisik?

Weil disease hepatitis Yellow fever

Sakit kepala mendadak V v

Demam v v v

Demam ≥ 38ºC v v v

Myalgia v v v

oligouri v

fotofobia v

epidemiological

Rainfall v

Contaminated v v v
environment

Animal contact -/v v

Pemeriksaan fisik

Conjunctival suffusion v v

Jaundice v v v

Pembesaran hepar v v

Nyeri tekan m. v
gastrocnemius

Kaku kuduk -/v

23
Hipotension v v

takikardi v v

4. Hasil Laboratorium
a. Bagaimana interpretasi dan mekanisme abnormalitas pada pemeriksaan
laboratorium?

No
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal Interpretasi
.

1. Hemoglobin 9,8 mg/dl Pria: 13-18 g/dl Anemia

2. Ureum 70 mg/dl 7-20 mg/dl Meningkat

Creatinin Phospho
3. 60 5-35 Ug/ml Meningkat
Kinase

4. Urinalisa Protein +2 Negatif Meningkat

3200-
5. Leukosit 13.000/mm3 Meningkat
10.000/mm3

6. Kreatinin 2,8 mg/dl 0,6-1,3 mg/dl Meningkat

170-
7. Trombosit 250.000/mm3 Normal
380x103/mm3

8. Bilirubin Indirek 0,5 mg/dl 0,2-0,9 mg/dl Normal

9. Bilirubin Direk 2,8 mg/dl 0,1-0,4 mg/dl Meningkat

 Invasi leptospira di hati  kerusakan sel-sel hati  kolestasis intrahepatic


 bilirubin direk tidak dapat diekskresikan ke dalam saluran empedu 
difusi bilirubin direk ke dalam darah  kenaikan kadar bilirubin direk
dalam darah

24
 Invasi otot rangka oleh leptospira  pembengkakan, vakuolisasi miofibril,
nekrosis fokal, infiltrasi histiosit dan sel plasma  kerusakan pada sel otot
 kenaikan enzim CPK
 Leptospira menghasilkan fosfolipase  hemolisin  menyebabkan
eritrosit lisis  penurunan Hb

b. Apa indikasi pemeriksaan laboratorium terkait kasus?

Dalam perjalanan faste leptospiremia, leptospira melepaskan toksin yang


bertanggung jawab atas terjadinya keadaan patologi pada beberapa organ. Lesi
yang muncul terjadi karena kerusakan pada lapisan endotel kapiler
menyebabkan terjadi anemia pada Tn. Badu.

Pada leptosipirosis terdapat perbedaan antara derajat gangguan fungsi organ dengan
kerusakan secara histologik. Pada leptospirosis lesi histologi ringan ditemukan
ginjal dan hati mengalami kelainan fungsi organ. Pada kasus berat akan terjadi
kerusakan kapiler dengan perdarahan luas dan disfungsi hepatoseluler dengan
retensi bilier. Peningkatan yang ekstrim pada kadar kreatinin dan ureum
merupakan salah satu tanda sindrom Weil dan merupakan tanda keterlibatan organ
ginjal. Bilirubin direk meningkat merupakan tanda kelainan fungsi pada organ
hati.

Lesi inflamasi menunjukkan edema dan infiltrasi sel monosit, limfosit,, dan sel
plasma. Mediator inflamasi menyerang infeksi leptospira menyebabkan leukosit
meningkat (leukositosis).

Kerusakan pada ginjal terutama pada membran gloerular, atau defek reabsorpsi
tubular, atau terjadi nefropati diabetik merupakan penyebab ditemukannya protein
dalam urin Tn. Badu. Nilai enzim CPK atau saat ini dikenal dengan CK terdapat di
otot jantung, otot rangka. Otak dan beberapa organ lain. Sejak tahun 1970-an CK
dibagi menjadi CK-MM, CK-BB, CK-MB, dan isoenzim mitokondrial. Oleh karena
itu CK total tidak spesifik sebagai penanda miokard.

25
c. Apa saja kemungkinan penyakit dari hasil pemeriksaan penunjang?

Weil disease hepatitis Yellow Brucellosis


fever
Sakit kepala V v v
mendadak

Demam v v v v

Demam ≥ 38ºC v v v v

Myalgia v v v v
oligouri v
fotofobia v
epidemiological
Rainfall v
Contaminated v v v v
environment
Animal contact -/v v v
Pemeriksaan fisik
Conjunctival v v
suffusion

Jaundice v v v
Pembesaran hepar v v v
Nyeri tekan m. v
gastrocnemius
Kaku kuduk -/v
labolatoric
culture Leptospira sp PCR virus PCR yellow Brucella sp
hepatitis fever virus
Elisa IgM - /
meningkat

MSAT MAT - / meningkat


MAT single -/ meningkat
positive high
titer
MaT paired sera -/ meningkat
CPK meningkat
Billirubin direct meningkat Meningkat
Billirubin Normal / Meningkat
indirect meningkat
Albuminuria v
leucocitosis v v lecucopenia neutropenia
anemia v v v

26
trombocytopeni -/ v -/v -/ V
a
pT apTT -/v -/v
ureum meningkat meningkat
kreatinin meningkat meningkat

IV. Aspek Klinis


a) How to diagnose

- Anamnesis : riwayat kontak dengan air yang tergenang, musim hujan,


keluhan sesuai dengan gejala leptospirosis
- Pemeriksaan fisik : Demam, bradikardia, nyeri tekan otot, ruam kulit,
hepatomegali
- Laboratorium
 Darah lengkap: leukositosis/normal, neutrofilia, peningkatan laju endap
darah
 Urinalisis: proteinuria, leukosituria, dan sedimen sel toraks
 Kimia darah: bila terdapat hepatomegali, bilirubin darah dan transaminase
meningkat, apabila terdapat komplikasi di ginjal dapat terjadi peningkatan
BUN, ureum, dan kreatinin
 Kultur: spesimen darah atau cairan serebrospinal pada fase leptospiremia
 Serologi: microscopic agglutination test (MAT) seperti uji carik celup,
macroscopic slide agglutination test (MSAT), polymerase chain reaction
(PCR), silver stain, fluorescent antibody stain, dan mikroskopik lapang
pandang gelap
- Faine modified score : 25 (A+B) atau 26 (A+B+C) yaitu skor utk menegakkan
leptospirosis
- Bila ada MAT score cukup 25 (periksa ini nanti)
- Pada pasien Skor modifikasi fainenya bernilai 26 dengan rincian (Sakit kepala,
Demam, Injeksi konjungtiva, gajala meningitis, nyeri otot, ikterik,
albuminuria, musim hujan, kontak dengan hewan)
Diagnosis Leptospira dibagi menjadi 3 bagian, yaitu suspek, probable, dan definitif.

27
1. Suspek : Bila ada gejala klinis tanpa dukungan laboratorium
2. Probable : Bila ada gejala klinis sesuai leptospirosis dan hasil
serologi penyaring yaitu dipstick, lateral flow atau dri dot positif
3. Definitif : Bila hasil pemeriksaan langsung positif atau gejala klinis
sesuai dengan leptospirosis dan hasil test MAT/ELISA serial
menunjukan adanya peningkatan serokonversi atau peningkatan titer 4
kali atau lebih.

Untuk menegakkan diagnosis Leptospira bisa menggunakan Faine’s criteria seperti tabel
dibawah ini:

Berdasarkan kriteria di atas, leptospirosis dapat ditegakkan jika: Presumptive leptospirosis,


bila A atau A+B>26 atau A+B+C>25 Sugestive leptospirosis, bila A+B antara 20-25.

Leptospirosis dapat diketahui dengan pemeriksaan laboratorium secara langsung,


maupun tidak langsung. Secara langsung, dilakukan isolasi dari agen kausatif dan
identifikasi antigen Leptospira spp. dalam jaringan dan cairan tubuh dengan
menggunakan kultur, imunofloresens, maupun Polymerase Chain Reaction (PCR).

28
Secara tidak langsung yaitu dengan mendeteksi antibodi spesifik dalam serum,
misalnya tes enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA). Imunofloresens indirek,
yaitu Microscopic Agglutination Test (MAT) merupakan metode yang tepat untuk
mengetahui serovar leptospira yang menginfeksi. Diagnosis pasti leptospirosis
berdasarkan pada isolasi organisme dari pasien atau adanya peningkatan titer antibodi
dalam tes aglutinasi mikroskopik (Microscopic Agglutination Test, MAT). Prosedur
serologis standar yaitu MAT, yang menggunakan strain leptospiral hidup, dan ELISA.
Tes ini biasanya hanya tersedia dalam laboratorium khusus dan digunakan untuk
penentuan titer antibodi dan untuk identifikasi tentatif dari serogrup tertentu.

b) DD

 Malaria berat
 Hepatitis
 Demam Berdarah Dengue

c) INFORMASI TAMBAHAN

 Anamnesis tambahan & Pemeriksaan Fisik tambahan


Untuk diagnos leptorpisosis bisa digunkan KRITERIA DIAGNOS

29
Berdasarkan kriteria di atas, leptospirosis dapat ditegakkan jika:

Presumptive leptospirosis, bila A atau A+B>26 atau A+B+C>25

Sugestive leptospirosis, bila A+B antara 20-25.

 Pemeriksaan Penunjang tambahan


Pemeriksaan laboratorium untuk leptospirosis terdiri dari: pemeriksaan
mikroskopik, kultur, inokulasi hewan, dan serologi.
1. Pemeriksaan mikrobiologik
Bakteri Leptospira sp. terlalu halus untuk dapat dilihat di mikroskop lapangan
terang, tetapi dapat dilihat jelas dengan mikroskop lapangan gelap atau

30
mikroskop fase kontras. Spesimen pemeriksaan dapat diambil dari darah atau
urin.
2. Kultur
Organisme dapat diisolasi dari darah atau cairan serebrospinal hanya pada 10
hari pertama penyakit. Bakteri tersebut biasanya dijumpai di dalam urin pada
10 hari pertama penyakit. Media Fletcher dan media Tween 80-albumin
merupakan media semisolid yang bermanfaat pada isolasi primer leptospira.
Pada media semisolid, leptospira tumbuh dalam lingkaran padat 0,5-1 cm
dibawah permukaan media dan biasanya tampak 6-14 hari setelah inokulasi.
Untuk kultur harus dilakukan biakan multipel, sedangkan jenis bahan yang
dibiakkan bergantung pada fase penyakit.
Baru- baru ini dideskripsikan suatu metode radiometrik untuk mendeteksi
organisme leptopira secar cepat dengan menggunakan sistem BACTEC 460
(Johnson Laboratories). Dengan sistem ini, leptospira dideteksi pada darah
manusia setelah inkubasi 2-5 hari.
3. Inokulasi hewan
Teknik yang sensitif untuk isolasi leptospira meliputi inokulasi intraperitoneal
pada marmot muda. Dalam beberapa hari dapat ditemukan leptospira di dalam
cairan peritoneal; setelah hewan ini mati (8-14 hari) ditemukan lesi hemoragik
pada banyak organ.
4. Serologi
Diagnosis laboratorium leptospirosis terutama didasarkan atas pemeriksaan
serologi. Macroscopic slide agglutination test merupakan pemeriksaan yang
paling berguna untuk rapid screening. Pemeriksaan gold standart untuk
mendeteksi antibodi terhadap Leptospia interrogans yaitu Microscopic
Agglutination Test (MAT) yang menggunakan organisme hidup. Pada
umumnya tes aglutinasi tersebut tidak positif sampai minggu pertama sejak
terjadi infeksi, kadar puncak antibodi 3-4 minggu setelah onset gejala dan
menetap selama beberapa tahun, walaupun konsentrasinya kemudian akan
menurun.
Tes MAT ini mendeteksi antibodi pada tingkat serovar sehingga dapat
digunakan untuk mengidentifikasi strain Leptospira pada manusia dan hewan
dan karena itu membutuhkan sejumlah strain (battery of strains) Leptospira
termasuk stock-culture, disamping sepasang sera dari pasien dalam periode

31
sakit akut dan 5-7 hari sesudahnya. Pemeriksaan MAT dikatakan positif jika
terjadi
serokonversi berupa kenaikan titer 4 kali atau ≥ 1:320 dengan satu atau lebih
antigen tanpa kenaikan titer (untuk daerah non endemik leptospirosis
digunakan nilai ≥ 1:160) .
Pemeriksaan serodiagnosis leptospirosis yang lain adalah Macroscopic
Agglutination Test (MA Test), Microcapsule Agglutination Test (MCAT),
rapid latex agglutination assay (RLA assay), enzyme linked immune sorbent
assay (ELISA), immuno-fluorescent antibody test, dan immunoblot.
Selain uji serologi yang telah disebutkan di atas, terdapat pula uji serologis
penyaring yang lebih cepat dan praktis sebagai tes leptospirosis. Uji serologis
penyaring yang sering digunakan di Indonesia adalah Lepto Dipstick Assay,
LeptoTek Dri Dot, dan Leptotek Lateral Flow. Saat ini juga telah
dikembangkan pemeriksaan molekuler untuk diagnosis leptospirosis. DNA
leptospirosis dapat dideteksi dengan metode PCR (Polymerase Chain
Reaction) dengan menggunakan spesimen serum, urin, humor aqueous, cairan
serebrospinal, dan jaringan biopsy

d) WD

 Weil’s disease

e) Definisi

 Weil disease merupakan leptopsirosis yang berat ditandai dengan ikterus


biasanya disertai dengan perdarahan, anemia, azotemia, gangguan kesadaran
dan demam tipe continue. Serotype leptospira yang menyebabkan weil disease
adalah serotype icterohaemorrhagica. Gambaran klinis bervariasi berupa
gangguan renal, hepatic dan disfungsi vascular.

f) Faktor risiko

32
Sedangkan faktor risiko lingkungan yang berhubungan dengan kejadian
leptospirosis antara lain kondisi lingkungan perumahan atau tempat kerja serta
sanitasi rumah. Beberapa faktor risiko penularan leptospirosis dari aspek ini
diantaranya keberadaan saluran pembuangan air limbah yang terbuka,
keberadaan tikus disekitar tempat tinggal dan lingkungan tempat kerja.
Menurut Handayani dan Ristiyanto (2008), sanitasi rumah merupakan faktor
risiko leptospirosis, kondisi rumah yang tidak memiliki plafon dan kondisi
bangunan yang tidak utuh memudahkan tikus masuk ke dalam rumah, dinding
rumah yang tidak permanen memudahkan tikus memanjat. Keberadaan
sampah disekitar rumah juga menjadikan populasi tikus di sekitar rumah
meningkat

g) Etiologi

Leptospirosis disebabkan oleh genus leptospira, family treponemataceae,


suatu mikroorganisme spirochaeta. Leptospira dibagi menjadi dua spesies, L.
interrogans, yang merupakan strain patogen, dan L. biflexa strain saprofit
yang dapat diisolasi dari lingkungan

h) Epidemiologi

Leptospirosis tersebar luas diseluruh dunia, antara lain : Rusia, Argentina, Brasilia,
Australia, Israel, Spanyol, Afghanistan, Malaysia, Amerika Serikat, Indonesia , dan
sebagainya.

Di Indonesia sejak tahun 1936 telah dilaporkan leptospirosis dengan mengisolasi


serovar leptospira, baik dari hewan liar maupun hewan peliharaan. Secara klinis
leptospirosis pada manusia telah dikenal sejak tahun 1892 di Jakarta oleh Van der
Scheer. Namun isolasi baru berhasil dilakukan oleh Vervoort pada tahun 1922.

Pada tahun 1970 an, kejadian pada manusia dilaporkan Fresh, di Sumatera Selatan,
Pulau Bangka serta beberapa rumah sakit di Jakarta. Tahun 1986, juga dilaporkan

33
hasil penyelidikan epidemiologi di Kuala Ci naku Riau, ditem u kan serovar
pyrogenes, semara nga, rachmati, icterohaemorrhagiae, hardjo, javanica, ballum dan
tarasovi.

Pada Tahun 2010 baru 7 provinsi yang melaporkan kasus suspek Leptospirosis yaitu
Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Bengkulu,
Kepulauan Riau dan Sulawesi Selatan.

Situasi Leptospirosis di Indonesia dari Tahun 2004 sampai tahun 2011 cenderung
meningkat, tahun 2011 terjadi 690 kasus Leptospirosis dengan 62 orang meninggal
(CFR 9%), mengalami kenaikan yang tajam bila dibandingkan 7 (tujuh) tahun
sebelumnya, hal tersebut dikarenakan terjadi KLB di Provinsi Yogyakarta
(Kabupaten Bantul dan Kulon Progo). Kasus terbanyak dilaporkan Provinsi
DI.Yogyakarta yaitu 539 kasus dengan 40 kematian (CFR 7,42%) dan Provinsi Jawa
Tengah dengan 143 kasus dengan 20 kematian (CFR 10,6%).

Umumnya menyerang petani, pekerja perkebunan, pekerja tambang / selokan, pekerja


rumah potong hewan dan militer. Daerah yang rawan banjir, pasang surut dan areal
persawahan, perkebunan, peternakan memerlukan pengamatan intensif untuk
mengontrol kejadian Leptospirosis di masyarakat.

i) Patofisiologi

Leptospira masuk kedalam tubuh manusia melalui kulit dan membrane


mukosa yang terluka kemudian masuk kedalam aliran darah dan berkembang
khususnya pada konjungtiva dan batas oro-nasofaring. Kemudian terjadi respon
imun seluler dan humoral sehingga infeksi ini dapat ditekan dan terbentuk
antibody spesifik. Leptospira dapat bertahan sampai ke ginjal dan sampai ke
tubulus konvoluntus sehingga dapat berkembang biak di ginjal. Leptospira dapat
mencapai ke pembuluh darah dan jaringan sehingga dapat diisolasi dalam darah
dan LCS pada hari ke 4-10 dari perjalanan penyakit. Pada pemeriksaan LCS

34
ditemukan pleocitosis. Pada infiltrasi pembuluh darah dapat merusak pembuluh
darah yang dapat menyebabkan vasculitis dengan terjadi kebocoran dan
ekstravasasi darah sehingga terjadi perdarahan. Setelah terjadi proses imun
leptospira dapat lenyap dari darah setelah terbentuk agglutinin. Setelah fase
leptospiremia 4-7 hari, mikroorganisme hanya dapat ditemukan dalam jaringan
ginjal dan okuler. Dalam perjalana pada fase leptospiremia, leptospira melepaskan
toksin yang bertanggung jawab atas terjadinya keadaan patologi pada beberapa
organ. Lesi yang muncul terjadi karena kerusakan pada endotel kapiler. Organ-
organ yang sering terkena leptospira adalah sebagai berikut :
1. Ginjal. Nefritis Interstisial dengan infiltrasi sel mononuclear merupakan
bentuk lesi yang dapat terjadi tanpa disertai gangguan fungsi ginjal. Sedangkan
jika terjadi gagal ginjal akibat nekrosis tubular akut.
2. Hati. Pada organ hati terjadi nekrosis sentilobuler fokal dengan infiltrasi sel
limfosit fokal dan proliferasi sel Kupfer.
3. Jantung. Kelainan miokradium dapat fokal ataupun difus berupa interstisial
edema dengan infiltrasi sel mononuclear dan plasma. Nekrosis berhubungan
dengan infiltrasi neutrofil. Dapat terjadi perdarahan fokal dan juga
endokarditis.
4. Otot rangka. Pada otot rangka terjadi nekrosis, vakuolisasi dan kehilangan
striata. Nyeri otot yang terjadi pada leptospira disebabkan oleh invasi langsung
leptospira.
5. Mata. Leptospira dapat masuk ke uvea anterior yang dapat menyebabkan
uveitis anterior pada saat fase leptospiremia.
6. Pembuluh darah. Bakteri yang menempel pada dinding pembuluh darah dapat
terjadi vaskulitis dengan manifetasi perdarahan termasuk pada mukosa, organ-
organ visceral dan perdarahan bawah kulit.
7. Susunan Saraf Pusat (SSP). Manifestasi masuknya bakteri ke dalam LCS
adalah meningitis. Meningitis terjadi sewaktu terbentuknya respon antibodi,
bukan pada saat masuk ke LCS. Terjadi penebalan meninges dengan
peningkatan sel mononuclear arakhnoid. Meningitis yang terjadi adalah
meningitis aseptic, biasanya paling sering disebabkan oleh L.canicola.

j) Manifestasi klinis

35
1. Ikterus, disfungsi ginjal, dan diathesis hemoragik (pada kebanyakan kasis
dengan keterlibatan paru)
2. Biasanya setelah 4-9 hari, ketiga gejal muncul :
 Ikterus : jelas terlihat, hepatomegaly dan nyeri kuadran kanan atas,
splenomegaly (20%)
 Gagal ginjal : nekrosis tubular akut, oliguria, anuria
 Perdarahan : epistaksis, petekie, purpura, ekimosis. Apabila ada
keterlibatan paru, pasien mengalami batuk, sesak napas, nyeri dada,
dan sputum berdarah

k) Tatalaksana

Manajemen kasus dan kemoprofilaksis leptospirosis berdasarkan Kriteria Diagnosis


WHO SEARO 2009

Hal lain yang perlu diperhatikan dalam manajemen kasus leptospirosis adalah segera
merujuk penderita leptospirosis bila adanya indikasi pada disfungsi organ ginjal, hepar,
paru, terjadi perdarahan dan gangguan saraf.

l) Edukasi dan pencegahan

 Pencegahan: Pengendalian leptospirosis di masyarakat sangat terkait dengan


hasil studi faktor-faktor risiko terjadinya leptospirosis. Oleh karena itu
pengendalian leptospirosis terdiri dari pencegahan primer dan pencegahan
sekunder. Pencegahan primer adalah bagaimana agar orang sehat sebagai
sasaran bisa terhindar dari leptospirosis, sehingga kegiatannya bersifat
promotif, termasuk disini proteksi spesifik dengan cara vaksinasi. Sedangkan

36
pencegahan sekunder yang sasarannya adalah orang yang sudah sakit
leptospirosis, dicegah agar orang tersebut terhindar dari komplikasi yang
nantinya dapat menyebabkan kematian.
 Komunikasi, Informasi, Edukasi:
 Hindari terpapar air yang terkontaminasi urin tikus : ke sawah pakai
sepatu boot
 Hindari tepapar air yang tergenang (banjir, kolam, kubangan, got)
Antibiotika profilaksis : Doksisiklin tablet 200 mg perminggu.

m) Komplikasi

 Pada hati: kekuningan yang terjadi pada hari ke 4 dan ke 6


 Pada ginjal: gagal ginjal yang dapat menyebabkan kematian
 Pada jantung : berdebar tidak teratur jantung membengkak dan gagal
jantung
 Pada paru-paru : batuk darah, nyeri dada, sesak nafas
 Pada kehamilan : keguguran, prematur, bayi lahir cacat.

n) Prognosis

 Komplikasi
Kematian dapat terjadi sebagai komplikasi faktor pemberat seperti gagal ginjal
atau perdarahan, dan terlambatnya tatalaksana pasien

 Tanpa Komplikasi
 Dubia ad vitam: dubia ad bonam
 Dubia ad functionam:dubia ad bonam
 Dubia ad sanationam:dubia ad bonam

o) SKDI

Untuk Leptospirosis berat dengan komplikasi 3A, sedangkan untuk


Leptospirosis tanpa komplikasi 4A

V. Learning Issue:

37
Pokok What I What I Don’t What I Have to
How I Learn
Bahasan Know Know Prove

Leptospirosi Gejala Klinis,


Definisi, Patogenesis dan
s How to
Etiologi patofisiologi
Diagnose

Text book, e-
Gejala Klinis,
Definisi, Patogenesis dan book,
How to
Jaundice Etiologi patofisiologi internet,
Diagnose
jurnal

Gagal ginjal Gejala Klinis,


Definisi, Patogenesis dan
akut How to
Etiologi patofisiologi
Diagnose

38
VI. Tinjauan Pustaka

I. LEPTOSPIROSIS

A. Definisi
Leptospirosis merupakan penyakit yang disebabkan Leptospira sp yang ditularkan
dari hewan ke manusia atau sebaliknya (zoonosis). Leptospirosis dikenal juga
dengan nama:
 Penyakit Weil
 Demam Icterohemorrhage
 Penyakit Swineherd's
 Demam pesawah (Ricefield fever)
 Demam Pemotong tebu (Cane-cutter fever),
 Demam Lumpur,
 Jaundis berdarah,
 Penyakit Stuttgart,
 Demam Canicola
 Penyakit kuning non-virus,
 Penyakit air merah pada anak sapi,
 Tifus anjing
Leptospirosis adalah penyakit infeksi. Penyakit ini disebabkan oleh leptospira
patogenik dan memiliki manifestasi klinis yang luas, bervariasi mulai dari infeksi
yang tiak jelas sampai fulminan dan fatal. Pada jenis yang ringan, leptospirosis
dapat muncul seperti influenza dengan sakit kepala dan myalgia. Leptospirosis
yang berat, ditandai oleh jaundice, disfungsi renal dan diatesis hemoragik, dikenal
dengan Weil’s syndrome.

B. Ilmu Kedokteran Dasar


1. Histologi Kapiler
Pembuluh kapiler memiliki diameter 7-9 mikrometer. Menghubungkan
arteriola & venula. Berfungsi untuk pertukaran air, O2, CO2, nutrient, zat kimia
antara darah & jaringan sekitar. Dinding dilapisi oleh endotel selapis tipis.
Mempunyai struktur membrane basal dan endotel. Bagian tubuh yang
mengandung banyak kapiler adalah hepar, ginjal, paru-paru, mata, otot.

39
2. Fisiologi Sirkulasi Darah
2.1 Fisiologi sirkulasi darah
Fungsi sirkulasi adalah memenuhi kebutuhan jaringan tubuh, mentranspor zat
makanan ke jaringan tubuh, untuk mentranspor produk-produk yang tidak
berguna, menghantarkan hormon dari bagian tubuh ke bagian tubuh lain, dan
secara umum untuk memelihara lingkungan yang sesuai di dalam seluruh cairan
jaringan tubuh agar sel bisa bertahan hidup dan berfungsi secara optimal.
2.2 Bagian fungsional sirkulasi
Arteri adalan untuk mentranspor darah ke jaringan dibawah tekanan yang tinggi.
Arteriol adalah cabang-cabang kecil yang terakhir dari sistem arteri, dan berfungsi
sebagai kendali untuk menentukan darah yang akan di lepaskan ke kapiler. Fungsi
kapiler adalah untuk pertukaran zat makanan, cairan, elektrolit, hormon dan
bahan-bahan lainnya antara darah dengan cairan intersisal. Venula mengumpulkan
darah dari kapiler dan secara bertahap bergabung menjadi vena yang semakin
besar. Vena berfungsi sebagai saluran untuk mengangkut darah dari venula
kembali ke jantung yang sama pentingnya juga, vena sebagai penampung darah
ekstra.

C. Epidemiologi
Di negara subtropik, infeksi leptospira jarang ditemukan, iklim yang sesuai
untuk perkembangan leptospira adalah udara yang hangat, tanah yang basah dan
pH alkalis. Keadaan yang demikian dapat dijumpai di Negara tropik sepanjang
tahun. Di negara beriklim tropik, kejadian leptospirosis lebih banyak 1000 kali
dibandingkan dengan negara subtropik dengan risiko penyakit lebih berat. Angka
insiden leptospirosis di negara tropik basah 5- 20/100.000 penduduk per tahun.
Leptospirosis tersebar di seluruh dunia termasuk Indonesia.

Di Indonesia leptospirosis tersebar antara lain di Propinsi Jawa Barat, Jawa


Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Lampung, Sumatera Selatan, Bengkulu,
Riau, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Bali, NTB, Sulawesi Selatan, Sulawesi
Utara, Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat. Menurut teori Faisal, bakteri
leptospira mampu bertahan hidup lama pada air tergenang seperti di kolam

40
renang, di lubuk sungai dan di tanah lembab, tanah rawa dan lumpur di
pertambangan dan pertanian/perkebunan.

Selain itu, berdasarkan hasil penelitian lama surutnya banjir juga memberikan
peluang pada bakteri leptospira untuk menginfeksi manusia. Hal ini sesuai pendapat
Gindo (2008) yang menyebutkan bahwa kecenderungan jumlah penderita
leptospirosis meningkat setelah banjir terlebih lama surutnya air sampai 3 hari atau
lebih. Pada pasca banjir perlu diwaspadai terutama sehabis membersihkan sisa-sisa
banjir atau mencebur air genangan tanpa alas kaki, air genangan tersebut telah
tercemar air kencing binatang terutama tikus yang mengandung bakteri leptospira
yang merupakan sumber penularan.

D. Etiologi dan Faktor Risiko


1. Etiologi
Penyakit yang terdapat di semua negara dan terbanyak ditemukan di negara
beriklim tropis ini, disebabkan oleh Leptospira interrogans dengan berbagai
subgrup yang masing-masing terbagi lagi atas serotipe bisa terdapat pada ginjal
atau air kemih binatang piaraan seperti anjing, lembu, babi, kerbau dan lain-lain,
maupun binatang liar seperti tikus, musang, tupai dan sebagainya. Manusia bisa
terinfeksi jika terjadi kontak pada kulit atau selaput lendir yang luka atau erosi
dengan air, tanah, lumpur dan sebagainya yang telah terjemar oleh air kemih
binatang yang terinfeksi leptospira.

Genus leptospira terdiri dari 2 kelompok atau kompleks, yang patogen


L.interrogans, dan yang non pathogen atau saprofit L.biflexs kelompok patogen

41
terdapat pada manusia dan hewan. Kelompok yang patogen atau L.interrogans
terdiri dari sub grup yang masing-masingnya terbagi lagi atas berbagai serotype
(serovar) yang jumlahnya sangat banyak. Saat ini telah ditemukan 240 serotipe
yang tergabung dalam 23 serogrup. Sub grup yang dapat menginfeksi manusia di
antaranya adalah L. icterohaemorrhagiae, L. javanica, L. celledoni, L. canicola, L
ballum, L. pyrogenes, L. cynopteri, L. automnalis, L. australis, L. pomona, L.
grippothyphosa, L. hebdomadis, L. bataviae, L. tarassovi, L. panama, L. bufonis,
L. andamana, L. shermani, L. ranarum, L. copenhageni.

Beberapa seropati menyebabkan panyakit dengan gejala yang berat, bahkan


dapat berakhir fatal seperti L.icterohaemorrhagiae, tetapi ada serogrup atau
seropati dengan gejala yang ringan, misalnya infeksi L. automnalis, L. bataviae, L.
pyrogenes, dan sebagainya. Menurut beberapa peneliti yang tersering menginfeksi
manusia adalah L.icterohaemorrhagiae, dengan reservoir tikus, L.canicola, dengan
reservoirnya anjing dan L. pomona dengan reservoirnya sapi dan babi.
2. Faktor Risiko
Apabila terjadi kontak langsung atau terpajan air atau rawa yang terkontaminasi
yaitu :
1) Kontak dengan air yang terkonaminasi kuman leptospira atau urin tikus saat
banjir.
2) Pekerjaan tukang perahu, rakit bambu, pemulung.
3) Mencuci atau mandi disungai atau danau.
4) Tukang kebun atau pekerjaan di perkebunan.
5) Petani tanpa alas kaki di sawah.
6) Pembersih selokan.
7) Pekerja potong hewan, ukang daging yang terpajan saat memotong hewan.
8) Peternak, pemeliharaan hewan dan dorter hewan yang terpajan karena
menangani ternak atau hewan, terutama saat memerah susu, menyentuh hewan
mati, menolong hewan melahirkan, atau kontak dengan bahan lain seperti
plasenta, cairan amnion dan bila kontak dengan percikan infeksius saat hewan
berkemih.
9) Pekerja tambang.
10) Pemancing ikan, pekerja tambak udang atau ikan tawar.
11) Anak-anak yang bermain di taman, genangan air hujan atau kubangan.

42
12) Tempat rekreasi di air tawar : berenang, arum jeram dan olah raga air lain,
trilomba juang (triathlon), memasuki gua, mendaki gunung. Infeksi
leptospirosis di Indonesia umumnya dengan perantara tikus jenis Rattus
norvegicus (tikus selokan), Rattus diardii (tikus ladang), dan Rattus exulans
Suncu murinus (cecurt).

3. Penularan
Menurut Saroso (2003) penularan leptospirosis dapat secara langsung dan tidak
langsung yaitu :
a. Penularan secara langsung dapat terjadi :
1) Melalui darah, urin atau cairan tubuh lain yang mengandung kuman
leptospira masuk kedalam tubuh pejamu.
2) Dari hewan ke manusia merupakan peyakit akibat pekerjaan, terjadi pada
orang yang merawat hewan atau menangani organ 18 tubuh hewan
misalnya pekerja potong hewan, atau seseorang yang tertular dari hewan
peliharaan.
3) Dari manusia ke manusia meskipun jarang, dapat terjadi melalui hubungan
seksual pada masa konvalesen atau dari ibu penderita leptospirosis ke janin
melalui sawar plasenta dan air susu ibu.
b. Penularan tidak langsung dapat terjadi melalui :
1) Genangan air.
2) Sungai atau badan air.
3) Danau.
4) Selokan saluran air dan lumpur yang tercemar urin hewan.
5) Jarak rumah dengan tempat pengumpulan sampah.

E. Gambaran Klinis
Gambaran klinis leptospirosis dibagi atas 3 fase yaitu : fase leptospiremia, fase
imun dan fase penyembuhan.
a. Fase Leptospiremia Demam mendadak tinggi sampai menggigil disertai sakit
kepala, nyeri otot, hiperaestesia pada kulit, mual muntah, diare, bradikardi
relatif, ikterus, injeksi silier mata. Fase ini berlangsung 4-9 hari dan berakhir
dengan menghilangnya gejala klinis untuk sementara.

43
b. Fase Imun Dengan terbentuknya IgM dalam sirkulasi darah, sehingga gambaran
klinis bervariasi dari demam tidak terlalu tinggi, gangguan fungsi 14 ginjal dan
hati, serta gangguan hemostatis dengan manifestasi perdarahan spontan.
c. Fase Penyembuhan Fase ini terjadi pada minggu ke 2 - 4 dengan patogenesis yang
belum jelas. Gejala klinis pada penelitian ditemukan berupa demam dengan atau
tanpa muntah, nyeri otot, ikterik, sakit kepala, batuk, hepatomegali, perdarahan dan
menggigil serta splenomegali.

Menurut berat ringannya, leptospirosis dibagi menjadi ringan dan berat, tetapi
untuk pendekatan diagnosis klinis dan penanganannya, para ahli lebih senang
membagi penyakit ini menjadi leptospirosis anikterik (non ikterik) dan
leptospirosis ikterik.
1) Leptospirosis anikterik Onset leptospirosis ini mendadak dan ditandai dengan
demam ringan atau tinggi yang umumnya bersifat remiten, nyeri kepala dan
menggigil serta mialgia. Nyeri kepala bisa berat, mirip yang terjadi pada infeksi
dengue, disertai nyeri retro-orbital dan photopobia. Nyeri otot terutama di daerah
betis, punggung dan paha. Nyeri ini diduga akibat kerusakan otot sehingga
creatinin phosphokinase pada sebagian besar kasus akan meningkat, dan
pemeriksaan cretinin phosphokinase ini dapat untuk membantu diagnosis klinis
leptospirosis. Akibat nyeri betis yang menyolok ini, pasien kadangkadang
mengeluh sukar berjalan. Mual, muntah dan anoreksia dilaporkan oleh sebagian
besar pasien. Pemeriksaan fisik yang khas adalah conjunctival suffusion dan nyeri
tekan di daerah betis. Limpadenopati, splenomegali, hepatomegali dan rash
macupapular bisa ditemukan, meskipun jarang. Kelainan mata berupa uveitis dan
iridosiklis dapat dijumpai pada pasien leptospirosis anikterik maupun ikterik.
Gambaran klinik terpenting leptospirosis anikterik adalah meningitis aseptik yang
tidak spesifik sehingga sering terlewatkan diagnosisnya. 15 Dalam fase
leptospiremia, bakteri leptospira bisa ditemukan di dalam cairan serebrospinal,
tetapi dalam minggu kedua bakteri ini menghilang setelah munculnya antibodi
( fase imun ). Pasien dengan Leptospirosis anikterik pada umumnya tidak berobat
karena keluhannya bisa sangat ringan. Pada sebagian pasien, penyakit ini dapat
sembuh sendiri ( self - limited ) dan biasanya gejala kliniknya akan menghilang
dalam waktu 2-3 minggu. Karena gambaran kliniknya mirip penyakit-penyakit
demam akut lain, maka pada setiap kasus dengan keluhan demam, leptospirosis

44
anikterik harus dipikirkan sebagai salah satu diagnosis bandingnya, apalagi yang di
daerah endemik. Leptospirosis anikterik merupakan penyebab utama Fever of
unknown origin di beberapa negara Asia seperti Thailand dan Malaysia. Diagnosis
banding leptospirosis anikterik harus mencakup penyakit-penyakit infeksi virus
seperti influenza, HIV serocon version, infeksi dengue, infeksi hanta virus,
hepatitis virus, infeksi mononukleosis dan juga infeksi bakterial atau parasitik
seperti demam tifoid, bruselosis, riketsiosis dan malaria.
2) Leptospirosis ikterik Ikterus umumnya dianggap sebagai indikator utama
leptospirosis berat. Gagal ginjal akut, ikterus dan manifestasi perdarahan
merupakan gambaran klinik khas penyakit Weil. Pada leptospirosis ikterik, demam
dapat persisten sehingga fase imun menjadi tidak jelas atau nampak overlapping
dengan fase leptospiremia. Ada tidaknya fase imun juga dipengaruhi oleh jenis
serovar dan jumlah bakteri leptospira yang menginfeksi, status imunologik dan
nutrisi penderita serta kecepatanmemperoleh terapi yang tepat. Leptospirosis
adalah penyebab tersering gagal ginjal akut.

F. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium mutlak diperlukan untuk memastikan diagnosa
leptospirosis, terdiri dari pemeriksaan secara langsung untuk mendeteksi keberadaan
kuman leptospira atau antigennya (kultur, mikroskopik, inokulasi hewan,
immunostaining, reaksi polimerase berantai), dan pemeriksaan secara tidak langsung
melalui pemeriksaan antibodi terhadap kuman leptospira ( MAT, ELISA, tes
penyaring).
Golden standar pemeriksaan serologi adalah MAT, suatu pemeriksaan
aglutinasi secara mikroskopik untuk mendeteksi titer antibodi aglutinasi, dan dapat
mengidentifikasi jenis serovar. Pemeriksaan penyaring yang sering dilakukan di
Indonesia adalah Lepto Tek Dri Dot dan LeptoTek Lateral Flow.
Diagnosis leptospirosis dapat dibagi dalam 3 klasifikasi yaitu : Suspek, bila
ada gejala klinis, tanpa dukungan tes laboratorium. Probable, bila gejala klinis sesuai
leptospirosis dan hasil tes serologi penyaring yaitu dipstick, lateral flow, atau dri dot
positif. Definitif , bila hasil pemeriksaan laboratorium secara langsung positip, atau
gejala klinis sesuai dengan leptospirosis dan hasil tes MAT / ELISA serial
menunjukkan adanya serokonversi atau peningkatan titer 4 kali atau lebih

45
G. Penatalaksanaan dan Pencegahan
1. Penatalaksanaan
a. Non Farmakologi
 Tirah baring
 Atasi dehidrasi
 Pemberian nutrisi yang seimbang
b. Farmakologi
 Antibiotik, Golongan tetrasiklin contoh obat doksisiklin
Mekanisme Kerja: Bersifat bakteriostatik dengan cara menghambat
sintesis protein yang diperlukan bagi pertumbuhan bakteri.
Dosis: 2x200mg
Sedian: 100 mg tablet
Efek Samping Obat: Gangguan GIT
 Antipirerik (paracetamol)
Mekanisme Kerja: Mengurangi pembentukan enzim siklooksigenase
sehingga dapat menghambat terbentuknya prastaglandin
2. Pencegahan
 Yang pekerjaannya menyangkut binatang
• Tutupilah luka dan lecet dengan balut kedap air.
• Pakailah pakaian pelindung misalnya sarung tangan, pelindung atau
perisai mata, jubah kain dan sepatu bila menangani binatang yang
mungkin terkena, terutama jika ada kemungkinan menyentuh air seninya.
• Pakailah sarung tangan jika menangani ari-ari hewan, janinnya yang mati di
dalam maupun digugurkan atau dagingnya.
• Mandilah sesudah bekerja dan cucilah serta keringkan tangan sesudah
menangani apa pun yang mungkin terkena.
• Jangan makan sambil menangani binatang yang mungkin terkena. Cuci dan
keringkan tangan sebelum makan.
• Ikutilah anjuran dokter hewan kalau memberi vaksin kepada hewan

46
 Edukasi kepada para petani untuk menggunakan alas kaki (sepatu bot) saat
bekerja di genangan air.
 Hindarkanlah berenang di dalam air yang mungkin dicemari dengan air
seni binatang.
 Berantas tikus
 Pada hewan : vaksin leptospira
 Pencegahan dengan pemberian doksisiklin 200mg/ minggu

G. Komplikasi
Gejala dini Leptospirosis umumnya adalah demam, sakit kepala parah, nyeri otot,
gerah, muntah dan mata merah. Aneka gejala ini bisa meniru gejala penyakit lain
seperti selesma, sehingga menyulitkan diagnosa. Beberapa penderita Leptospirosis
yang lebih lanjut mendapat penyakit parah, termasuk penyakit Weil yakni kegagalan
ginjal, sakit kuning (menguningnya kulit yang menandakan penyakit hati) dan
perdarahan masuk ke kulit dan selaput lendir. Pembengkakan selaput otak atau
Meningitis dan perdarahan di paru-paru pun dapat terjadi. Kebanyakan penderita yang
sakit parah memerlukan rawat inap dan Leptospirosis yang parah malah ada kalanya
merenggut nyawa.

H. Prognosis
Tingkat kematian rata-rata pada leptospirosis berat sekitar 10%. Sebagian besar
kematian terjadi karena komplikasi gagal ginjal, perdarahan masif, atau sindrom
gangguan pernapasan akut. Secara umum, pasien yang sembuh dari leptospirosis
fungsi hati dan ginjal kembali normal.

47
II. JAUNDICE

A. DEFINISI

Jaundice adalah perubahan warna kulit, sclera mata atau jaringan lainnya
(membrane mukosa) yang menjadi kuning karena pewarnaan oleh bilirubin yang
meningkat konsentrasinya dalam sirkulasi darah. Kata Jaundice berasal dari kata
Perancis “jaune” yang berarti kuning.Jaundice merupakan tanda bahwa hati atau system
empedu tidak berjalan normal 1

B. SINONIM

Ikterus, Ikterik, Sakit Kuning.

C. EPIDEMIOLOGI

Jaundice dapat menyerang pada laki-laki dan wanita di segala usia, tergantung
faktor penyebabnya. Pada usia dibawah 30 tahun biasanya jaundice timbul karena kasus
penyakit parenkim. Di atas 50 tahun disebabkan batu/tumor. Sedangkan antara 30-50
tahun disebabkan karena penyakit hati kronik. Sebagian besar Jaundice terdapat pada
60% bayi cukup bulan dan pada bayi 80% bayi kurang bulan dan dapat terjadi pada bayi
dengan warna kulit apapun. Jaundice sebagian bersifat patologik yang dapat
menimbulkan gangguan yang menetap atau menyebabkan kematian.

D. ETIOLOGI

Jaundice disebabkan karena jumlah bilirubin yang tinggi (berlebihan) dalam darah.
Kadar bilirubin yang tinggi dalam darah dapat terjadi karena 2 :

1. peradangan atau adanya kelainan pada hati yang mengganggu proses


pembuangan ke empedu
2. penyumbatan saluran empedu di luar hati oleh batu empedu atau tumor
3. pemecahan sejumlah besar sel darah merah
Pada bayi, umumnya jaundice disebabkan karena 3 :

1. hati bayi yang baru lahir belum dewasa (immature), sehingga tidak dapat
memproses bilirubin dengan cepat. Proses yang lambat ini tidak ada
hubungannya dengan penyakit pada hati. Ini lebih karena hati bayi belum

48
berkembang sempurna, sehingga proses pembuangan bilirubin menjadi lebih
lambat.
2. kondisi ABO incompatibility dan Rh incompatibility. Kedua kondisi ini
menyebabkan pemecahan sel darah merah yang sangat cepat.
3. diabetes selama kehamilan,
4. penggunaan oksitoksin pada saat proses kelahiran
5. riwayat neonatal jaundice dalam keluarga, dan
6. bayi lahir kurang bulan (kurang dari 38minggu)

E. PATOFISIOLOGI

Pembagian metabolisme bilirubin berlangsung dalam 3 fase, yaitu fase Prahepatik,


fase Intrahepatik dan fase Pascahepatik 1.

1. Fase Prahepatik
a. Pembentukan bilirubin.
Setiap harinya, terjadi pembentukan bilirubin sekitar 250-350 mg
bilirubin atau sekitar 4mg per kg berat badan. Sekitar 70-80% berasal dari
pemecahan sel darah merah yang matang. Sedangkan sisanya 20-30% (early
labelled bilirubin) datang dari protein hem lainnya yang berada dalam
sumsum tulang dan hati.

b. Transport Plasma.
Bilirubin tak terkonjugasi transportnya dalam plasma terikat dengan
albumin dan tidak dapat melalui membrane glomerulus karena bilirubin
tidak larut dalam air,sehingga bilirubin tidak muncul dalam air seni. Ikatan
bilirubin melemah dalam beberapa keadaan seperti asidosis. Beberapa bahan
antibiotika tertentu, seperti salisilat berlomba pada tempat ikatan dengan
albumin.

2. Fase Intrahepatik
a. Liver Uptake.
Proses pengambilan bilirubin tak terkonjugasi oleh hati secara rinci dan
pentingnya protein pengikat seperti ligandin atau protein Y, belum jelas.

49
Pengambilan bilirubin melalui transport yang aktif dan berjalan cepat,
namun tidak termasuk pengambilan albumin.

b. Konjugasi.
Bilirubin bebas yang terkonsentrasi dalam sel hati mengalami konjugasi
dengan asam glukuronik membentuk bilirubin di glukorinida atau bilirubin
konjugasi atau bilirubin direk.

3. Fase Pascahepatik
a. Ekskresi bilirubin.
Bilirubin konjugasi dikeluarkan kedalam kanalikulus bersama bahan
lainnya. Anion organic lainnya atau obat dapat mempengaruhi proses ini.

F. PENYAKIT GANGGUAN METABOLISME BILIRUBIN

1. Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi


a. Hemolisis
b. Sindrom Gilbert.
c. Sindrom Crigler-Najjar.
2. Hiperbilirubinemia konjugasi 2
a. Nonkolestasis
1) Sindrom Dubin Johnson
Penyakit ini, yang juga disebut ikterus idiopatik kronik, adalah
hiperbilirubinemia jinak yang diwariskan secara autosom dan dicirikan
oleh terdapatnya pigmen gelap pada daerah sentrilobuler hati.

2) Sindrom Rotor
Pada banyak hal keadaan ini serupa dengan sindroma Dubin-
Johnson. Akan tetapi, tidak terdapat pigmen dalam sel hati, dan bilirubin
konjugasi dalam serum memiliki lebih banyak bentuk monokonjugasi
daripada konjugasi diglukuronida.

b. Kolestasis
1) Kolestasis Intrahepatik
2) Kolestasis Ekstrahepatik

50
G. DIAGNOSIS

Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala.Gejala pada jaundice yaitu kulit dan


bagian putih mata akan tampak berwarna kuning. Air kemih umumnya berwarna
gelap karena bilirubin dibuang melalui ginjal. Gejala lain dapat muncul tergantung
pada penyebabnya, misalnya :

1. peradangan hati (hepatitis) bisa menyebabkan hilangnya nafsu makan,


mual muntah, dan demam
2. penyumbatan empedu bisa menyebabkan gejala kolestasis

Riwayat penyakit yang rinci dan pemeriksaan jasmani sangat penting dalam
diagnosis, karena kesalahan diagnosis terutama dikarenakan penilaian klinis yang
kurang atau penilaian gangguan laboratorium yang terlalu berlebihan. Kolestasis
ekstrahepatik dapat diduga dengan adanya keluhan sakit bilier atau kandung empedu
yang teraba. Jika sumbatan karena keganasan pancreas (bagian kepala atau kaput)
sering timbul kuning yang tidak disertai gejala keluhan sakit perut (painless jaundice).
Kadang-kadang bila bilirubin telah mencapai konsentrasi yang lebih tinggi sering
warna kuning sclera mata memberi kesan berbeda dimana ikterus lebih memberi
kesan kehijauan (greenish jaundice) pada kolestasis ekstrahepatik dan kekuningan
(yellowish jaundice) pada kolestasis intrahepatik 1

H. BIOPSI HATI

Biopsi hati akan menjelaskan diagnosis pada kolestasis intrahepatik. Namun


demikian, bisa timbul juga kesalahan, terutama jika penilaian dilakukan oleh orang
yang kurang berpengalaman. Umumnya, biopsy aman pada kasus dengan kolestasis,
namun berbahaya pada keadaan obstruksi ekstrahepatik yang berkepanjangan,
karenanya harus disingkirkan dahulu dengan pemeriksaan pencitraan sebelum biopsy
dilakukan 1.

51
I. PEMERIKSAAN PENCITRAAN

Pemeriksaan pencitraan (imaging) sangat diperlukan untuk


mendiagnosis penyakit infiltratif dan kolestatik. Pemeriksaan sonografi perut,
CT dan MRI sering bisa menemukan metastatik dan penyakit fokal pada hati
dan telah menggantikan pemeriksaan nuklir scan untuk maksud tersebut.
Namun pemeriksaan ini kurang bermanfaat dalam mendiagnosis penyakit
hepatoselular (seperti sirosis) sebab penemuannya bersifat tidak spesifik.1

J. PENGOBATAN

Pengobatan ikterus sangat tergantung penyakit dasar penyebabnya. Bila


penyebabnya adalah penyakit hati (misalnya hepatitis virus), biasanya
jaundice akan menghilang seiring dengan perbaikan penyakit tersebut. Namun
bila penyebabnya adalah penyumbatan pada saluran empedu, biasanya
dilakukan pembedahan atau endoskopi ssecepatnya untuk membuka saluran
yang tersumbat tersebut.

52
III. GAGAL GINJAL AKUT

Gagal ginjal akut ditandai dengan gejala yang timbul secara tiba-tiba dan
penurunan volume urin secara cepat. Laju filtrasi glomerulus dapat menurun
secara tiba-tiba sampai dibawah 15 mL/menit. Penyakit ini mengakibatkan
peningkatan kadar serum urea, kreatinin, dan bahan lain. Gagal ginjal akut bersifat
reversibel, namun secara umum tingkat kematian pasien tinggi (Kenward & Tan,
2003).
1). Patofisiologi gagal ginjal akut
Terdapat tiga kategori ARF (Acute Renal Failure) atau gagal ginjal akut, yaitu
prerenal, renal dan postrenal dengan mekanisme patofisiologi berbeda.
a). Prerenal
Prerenal ditandai dengan berkurangnya pasokan darah ke ginjal. Penyebab
umumnya yaitu terjadinya penurunan volume intravaskular karena kondisi seperti
perdarahan, dehidrasi, atau hilangnya cairan gastrointestinal. Kondisi
berkurangnya curah jantung misalnya gagal jantung kongestif atau infark miokard
dan hipotensi juga dapat mengurangi aliran darah ginjal yang mengakibatkan
penurunan perfusi glomerulus dan prerenal ARF (Stamatakis, 2008).
Penurunan aliran darah ginjal ringan sampai sedang mengakibatkan tekanan
intraglomerular yang disebabkan oleh pelebaran arteriola aferen (arteri yang
memasok darah ke glomerulus), penyempitan arteriola eferen (arteri yang
membawa darah dari glomerulus), dan redistribusi aliran darah ginjal ke medulla
ginjal. Fungsional ARF terjadi ketika mekanisme adaptif terganggu dan hal
tersebut sering disebabkan oleh obat-obatan, antara lain: NSAID (Non Steroid
Anti Inflammatory Drug) merusak dilasi mediator prostaglandin dari arteriola
aferen. ACEI (Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor) dan ARB (Angiotensin
Receptor Blocker) menghambat angiotensin II dimediasi oleh penyempitan
arteriola eferen. Siklosporin dan takrolimus terutama dalam dosis tinggi
merupakan vasokonstriktor ginjal yang poten. Semua agen tersebut dapat
mengurangi tekanan intraglomerular dengan penurunan GFR (Glomerular
Filtration Rate) (Stamatakis, 2008).
b). Renal
Gagal ginjal intrinsik, disebut juga sebagai intrarenal ARF disebabkan oleh
penyakit yang dapat mempengaruhi integritas tubulus, pembuluh glomerulus,

53
interstitium, atau darah. ATN (Acute Tubular Necrosis) merupakan kondisi
patofisiologi yang dihasilkan dari obat (aminoglikosida atau amfoterisin B) atau
iskemik terhadap ginjal (Stamatakis, 2008).
c). Postrenal
Postrenal terjadi karena obstruksi aliran kemih oleh beberapa sebab, antara
lain: hipertrofi prostat jinak, tumor panggul, dan pengendapan batu ginjal
(Stamatakis, 2008).
2). Penyebab gagal ginjal akut:
a). Penyebab prerenal, misalnya septicaemia, hypovolaemia, cardiogenic shock,
dan hipotensi akibat obat.
b). Penyebab renal, misalnya glomerulonephritis, myoglobinuria, obstruksi
intrarenal, obat yang bersifat nefrotoksik, dan hipertensi yang meningkat.
c). Penyebab postrenal, misalnya obstruksi saluran kemih akibat hipertrofi prostat,
batu ginjal, dan batu pada saluran kemih (Kenward & Tan, 2003).
3). Gambaran klinis
Gambaran klinis gagal ginjal akut meliputi perubahan volume urin (oliguria,
poliuria), kelainan neurologis (lemah, letih, gangguan mental), gangguan pada
kulit (gatal-gatal, pigmentasi), tanda pada kardiopulmoner (sesak, perikarditis),
dan gejala pada saluran cerna (mual, nafsu makan menurun, muntah) (Kenward &
Tan, 2003).
4). Pengobatan gagal ginjal akut (ARF)
a). Terapi Non Farmakologi
Transplantasi ginjal mungkin diperlukan pada pasien ARF untuk kelebihan
volume yang menghasilkan respon terhadap diuretik, untuk meminimalkan
akumulasi produk limbah nitrogen, dan untuk memperbaiki abnormalitas elektrolit
dan asam basa sementara menunggu fungsi ginjal pulih. Gizi yang cukup,
manajemen cairan, dan koreksi kelainan hematologi merupakan terapi suportif
pada ARF (Stamatakis, 2008).
b). Terapi Farmakologi
Terapi dengan loop diuretik (furosemid), fenoldopam dan dopamin.
Dopamin dosis rendah dalam dosis mulai 0,5-3 mcg/kg/menit, terutama
merangsang reseptor dopamin-1, menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah
ginjal dan meningkatkan aliran darah ginjal (Stamatakis, 2008).

54
VII. Kerangka Konsep

55
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Tn. B, 40 tahun , pekerjaan pembersih selokan mengalami weil’s disease et causa
lectospira

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. Leptospirosis, diunduh dari http://en.wikipedia.org/wiki pada tanggal 13-08-2018


pukul 07.00 WIB

Anonim. Leptopsirosis,diunduh dari http://medicastore.com/penyakit/Leptospirosis.html pada


tanggal 13-08-2018 pukul 07.00 WIB

Cunha, John P. Leptospirosis. http://www.medicinenet.com/leptospirosis/page2.htm pada


tanggal 14-08-208 pukul 07.00 WIB

Dugdale, David C. Leptospirosis. http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article pada


tanggal 14-08-2018 pukul 07.00 WIB

Kozier, B., et al. (2004) Fundamental of Nursing: Concept, process, and practice. New
Jersey : Prentice Hall

Muliawan, Sylvia Y. 2008. Bakteri Spiral Patogen (Treponema, Leptospira, dan Borrelia).
Jakarta: Penerbit Erlangga

Setiawan, I Made. 2008. Clinical and Laboratory Aspect of Leptospirosis in Humans


volume.27- No.28. Universa Medicina

Shakinah, Sharifah. 2015. Leptospirosis dan Penyakit Weil’s. 25 (2): 49-52

Sumber: Francesco, Elizabeth De, Krasnalhia Livia Soares de Abreu, dan Geraldo Bezerra da
Silva Junior. 2010. J Bras Nefrol. 32 (4): 400-407.

World Health Organization. 2003. Human leptospirosis: guidance for diagnosis,


surveillance, and control [internet]. Available from:
http://whqlibdoc.who.int/hq/2003/WHO_CDS_CSR_EPH_2002.23.pdf

56

Anda mungkin juga menyukai