Laporan Tutorial Skenario A Blok 27 2018
Laporan Tutorial Skenario A Blok 27 2018
Disusun oleh:
Kelompok 5
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena atas berkat,
rahmat, dan karunia-Nya lah kami dapat meyusun laporan tutorial ini sesuai dengan
waktu yang telah ditentukan.
Laporan ini merupakan tugas hasil kegiatan tutorial skenario A dalam blok 27
Pendidikan Dokter Umum Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya tahun 2018. Di
sini kami membahas sebuah kasus kemudian dipecahkan secara kelompok
berdasarkan sistematikanya mulai dari klarifikasi istilah, identifikasi masalah,
menganalisis, meninjau ulang dan menyusun keterkaitan antar masalah, serta
mengidentifikasi topik pembelajaran. Bahan laporan ini kami dapatkan dari hasil
diskusi antar anggota kelompok dan bahan ajar.
Akhir kata, kami mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Tuhan
Yang Maha Kuasa, tutor dan para anggota kelompok yang telah mendukung baik
moril maupun materil dalam pembuatan laporan ini. Kami mengakui dalam penulisan
laporan ini terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu, kami memohon maaf dan
mengharapkan kritik serta saran dari pembaca demi kesempurnaan laporan kami di
kesempatan mendatang. Semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.
Kelompok 5
2
DAFTAR ISI
BAB I
3
PENDAHULUAN
4
BAB II
PEMBAHASAN
2.2. Skenario Kasus
Tn. B, 40 tahun, pekerjaan pembersih selokan, dibawa ke IGD karena
penurunan kesadaran sejak 6 jam yang lalu. Sejak 5 hari yang lalu, Tn. Badu
menderita demam tinggi, terus menerus. Demam disertai sakit kepala, nyeri
otot-otot terutama otot betis, disertai mual, mata merah tanpa kotoran, dan
penglihatan silau. BAB dan BAK biasa.
Sejak 2 hari yang lalu mata dan seluruh badan berwarna kuning, BAB biasa,
BAK berkurang dan warnanya teh tua. Demam masih ada.
Sejak 6 jam yang lalu Tn. B tidak BAK, dan bicara meracau. Demam masih
ada, badan kuning masih ada.
Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum :
Tampak sakit berat, kesadaran delirium, tekanan darah 110/70 mmHg, nadi
110x/menit, pernafasan 2x/menit, suhu tubuh 39oC.
Keadaan Spesifik :
Hasil Laboratorium :
Urinalisa protein +2
5
I. Klarifikasi Istilah
No
Istilah Pengertian
.
Demam tinggi terus Suatu keadaan saat suhu badan melebihi 37oc terus
2.
menerus menerus
6
II. Identifikasi Masalah
No. Kenyataan Kesesuaian Konsen
Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum :
3. Penunjang
Tampak sakit berat, kesadaran delirium, III
diagnosa
tekanan darah 110/70 mmHg, nadi
110x/menit, pernafasan 2x/menit, suhu tubuh
39oC.
Keadaan Spesifik :
7
Kreatinin 2,8 mg/dl Bilirubin indirek
0,5mg/dl
Gangguan kesadaran disebabkan oleh berbagai faktor etiologi, baik yang bersifat
intrakranial maupun ekstrakranial / sistemik. Penjelasan singkat tentang faktor
etiologi gangguan kesadaran adalah sebagai berikut:
8
di Indonesia maka pada setiap gangguan kesadaran yang disertai suhu tubuh
meninggi perlu dicurigai adanya ensefalomeningitis.
f. Epilepsi - Gangguan kesadaran terjadi pada kasus epilepsi umum dan status
epileptikus
h. Gangguan elektrolit dan endokrin - Gangguan ini sering kali tidak menunjukkan
“identitas”nya secara jelas; dengan demikian memerlukan perhatian yang khusus
agar tidak terlupakan dalam setiap pencarian penyebab gangguan kesadaran.
9
No Tingkat Kesadaran Keterangan
Thalamus merupakan struktur simetris garis tengah otak yang terletak diantara
otak tengah dan kortek selebral. Ini merupakan struktur terbesar yang dimiliki
diencephalon, yaitu bagian otak yang terletak diantara otak tengan dan otak depan.
Thalamus dianggap sebagai pusat informasi diotak, karena ia bertindak sebagai
perantara atau penyampai antara subkortikal dengan kortek selebral. Fungsi
10
thalamus adalah mengatur kesadaran, kewaspadaan dan menyampaikan signal
sensorik dan motorik kepada kortek selebral.
Dampaknya adalah :
11
2. Sejak 5 hari yang lalu, Tn. Badu menderita demam tinggi, terus menerus. Demam
disertai sakit kepala, nyeri otot terutama otot betis, disertai mual, mata merah
tanpa kotoran, dan penglihatan silau. BAB dan BAK biasa.
Sejak 2 hari yang lalu mata dan seluruh badan berwarna kuning, BAB biasa, BAK
berkurang dan warnanya teh tua. Demam masih ada.
Sejak 6 jam yang lalu Tn. B tidak BAK, dan bicara meracau. Demam masih ada, badan
kuning masih ada
a. Sejak 5 hari yang lalu, Tn. Badu menderita demam tinggi, terus menerus lalu
demam turun perlahan setelah 2 hari, demam masih ada
I. Bagaimana klasifikasi demam terkait kasus?
Menurut Nelwan (2007), terdapat beberapa tipe demam yang mungkin dijumpai,
antara lain:
Pada tipe demam septik, suhu tubuh berangsur naik ke tingkat yang tinggi sekali pada
malam hari dan turun kembali ke tingkat di atas normal pada pagi hari. Demam sering
disertai keluhan menggigil dan berkeringat. Bila demam yang tinggi tersebut turun ke
tingkat yang normal dinamakan juga demam hektik (range ≥ 2 oC).
Pada tipe demam remiten, suhu tubuh dapat turun setiap hari tetapi tidak pernah
mencapai suhu normal. Perbedaan suhu yang mungkin tercatat dapat mencapai dua
derajat dan tidak sebesar perbedaan suhu yang dicatat pada demam septik.
Pada demam intermiten, suhu tubuh turun ke tingkat yang normal selama beberapa
jam dalam satu hari. Bila demam seperti ini terjadi dua hari sekali disebut tersiana
dan bila terjadi dua hari bebas demam diantara dua serangan demam disebut kuartana.
12
d. Demam kontinyu (range ≤ 1 oC)
Pada demam tipe kontinyu variasi suhu sepanjang hari tidak berbeda lebih dari satu
derajat.
Pada tipe demam siklik terjadi kenaikan suhu tubuh selama beberapa hari yang diikuti
oleh periode bebas demam untuk beberapa hari yang kemudian diikuti oleh kenaikan
suhu seperti semula.
Demam yang dialami Tn.B termasuk kedalam kategori demam kontinyu yaitu demam
yang tidak berfluktuasi lebih dari 10C selama 24 jam dan terus menerus.
13
Fungsi hipotalamus adalah:
14
menyebabkan vasodilatasi. Sedangkan hipotalamus bagian posterior berespon
terhadap penurunan suhu dengan menyebabkan vasokontriksi.
15
menerus dengan kecepatan 12 – 16 kalori per jam. Evaporasi ini tidak
dapat dikendalikan karena evaporasi terjadi akibat difusi molekul air
secara terus menerus melalui kulit dan system pernafasan.
16
paling umum adalah meningitis limfositik aseptik yang terjadi pada 11-25%
pasien. Pasien biasanya datang dengan sakit kepala berat, fotofobia dan
kekakuan nuchal yang menyertai onset demam. leptospira dapat diisolasi dari
cairan serebrospinal (CSF) dalam 5 hari setelah onset demam. Temuan yang
biasa adalah tekanan pembukaan CSF, peningkatan protein dengan kadar
glukosa CSF normal dan pleocytosis limfositik. CSF adalah budaya negatif
untuk jamur atau bakteri aerobik lainnya. Jadi diagnosis diferensial utama
adalah meningitis viral. Kejang jarang terjadi dan biasanya terjadi terlambat
setelah timbulnya komplikasi lain. Manifestasi neurologi lain yang tidak
umum dilaporkan termasuk encephalomyelitis, polyneuropathies, sindrom
Guillain-Barré, mononeuritis multiplex, palsi saraf kranial atau perifer. Pasien
dapat hadir dengan sindrom psikiatrik yang ditandai oleh mania, atau mungkin
ketidakstabilan suasana hati sebagai komplikasi langka yang dapat bertahan
selama bertahun-tahun.
17
Tn. B mengalami nyeri kepala sekunder dikarenakan infeksi dari M.O
Leptospira
c. Demam disertai nyeri otot terutama otot betis sejak 5 hari yang lalu
I. Bagaimana mekanisme nyeri otot?
Mekanisme: Nyeri otot diduga terjadi karena adanya kerusakan otot
sehingga kreatinin fosfokinase (CPK) meningkat, dan pemeriksaan CPK ini
dapat membantu penegakan diagnosis klinis leptospirosis. Kerusakan otot
terjadi karena leptospira endotoksin masuk ke dalam darah dan alirannya
menimbulkan reaksi kimia kinin, bradikinin, dan prostaglandin dan reaksi
kimia tersebut menyebabkan mialgia atau nyeri pada otot.
18
e. Demam disertai mata merah tanpa kotoran sejak 5 hari yang lalu
I. Bagaimana etiologi dan mekanisme mata merah tanpa kotoran?
Virus
Bakteri (misalnya gonorrhea atau chlamydia)
Iritan seperti sampo, debu, asap, dan klorin pada kolam renang
Alergi, misalnya debu, serbuk sari, atau jenis alergi tertentu pada
pengguna lensa kontak
Mekanisme: Leptospira dapat masuk ruang anterior dari mata selama fase
leptospiremia walaupun antibodi yang terbentuk cukup tinggi. Leptospira
menginvasi pembuluh darah yang menuju mata sehingga terjadi peradangan
pada dinding pembuluh darah (vaskulitis) dan akhirnya menyebabkan
conjungtival injection. Hal ini lama- kelamaan akan menyebabkan uveitis.
g. Sejak 2 hari yang lalu mata dan seluruh badan berwarna kuning, BAB biasa,
BAK berwarna teh tua. Sejak 6 jam yang lalu, kuning masih ada dan bicara
meracau.
I. Apa makna klinis dari pernyataan diatas?
Pasien mengalami icterus hepatic. Warna urin teh tua menandakan
peningkatan bilirubin direct.
19
II. Apa etiologi jaundice terkait kasus?
Ikterus merupakan suatu keadaan dimana terjadi penimbunan pigmen
empedu pada tubuh menyebabkan perubahan warna jaringan menjadi kuning,
terutama pada jaringan tubuh yang banyak mengandung serabut elastin sperti
aorta dan sklera.Warna kuning ini disebabkan adanya akumulasi bilirubin
pada proses (hiperbilirubinemia).Adanya ikterus yang mengenai hampir
seluruh organ tubuh menunjukkan terjadinya gangguan sekresi bilirubin.
Ikterus pre-hepatik
Ikterus jenis ini terjadi karena adanya kerusakan RBC atau
intravaskularhemolisis, misalnya pada kasus anemia hemolitik
menyebabkan terjadinya pembentukan bilirubin yang
berlebih.Hemolisis dapat disebabkan oleh parasitdarah, contoh :
Babesia sp. dan Anaplasma sp. Bilirubin yang tidak terkonjugasi bersi-
at tidak larut dalam air sehingga tidak diekskresikan dalam urin dan
tidak terjadi bilirubinuria tetapi terjadi peningkatan urobilinogen.Hal
ini menyebabkan warna urin dan feses menjadi gelap. Ikterus yang
disebabkan oleh hiperbilirubinemia tak terkonjugasi bersifat ringan
dan berwarna kuning pucat.
III. Apa saja jenis jenis jaundice terkait kasus?
20
V. Apa hubungan jaundice dan bicara meracau?
Tidak ada hubungan antara jaundice dan bicara meracau. Jaundice disebabkan
akibat kerusakan sel-sel hati sedangkan bicara meracau sendiri akibat dari
penurunan kesadaran.
Leptospirosis harus dibedakan dengan demam yang lain dihubungkan dengan sakit
kepala dan nyeri otot,seperti dengue, malaria, demam enterik, hepatitis virus, dan
penyakit rickettsia.
* Hepatitis * Malaria
21
* Meningitis * Mononucleosis, influenza
3. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum :
Keadaan Spesifik
No
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal Interpretasi
.
TD: 110/70
3. Keadaan Umum 120/80 mmHg Hipotensi
mmHg
Terjadi peningkatan
Nadi: 60 – frekuensi nadi karena
4.
110x/menit 100x/menit adanya peningkatan
pada suhu tubuh
22
b. Apa saja kemungkinan penyakit dari hasil pemeriksaan fisik?
Demam v v v
Demam ≥ 38ºC v v v
Myalgia v v v
oligouri v
fotofobia v
epidemiological
Rainfall v
Contaminated v v v
environment
Pemeriksaan fisik
Conjunctival suffusion v v
Jaundice v v v
Pembesaran hepar v v
Nyeri tekan m. v
gastrocnemius
23
Hipotension v v
takikardi v v
4. Hasil Laboratorium
a. Bagaimana interpretasi dan mekanisme abnormalitas pada pemeriksaan
laboratorium?
No
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal Interpretasi
.
Creatinin Phospho
3. 60 5-35 Ug/ml Meningkat
Kinase
3200-
5. Leukosit 13.000/mm3 Meningkat
10.000/mm3
170-
7. Trombosit 250.000/mm3 Normal
380x103/mm3
24
Invasi otot rangka oleh leptospira pembengkakan, vakuolisasi miofibril,
nekrosis fokal, infiltrasi histiosit dan sel plasma kerusakan pada sel otot
kenaikan enzim CPK
Leptospira menghasilkan fosfolipase hemolisin menyebabkan
eritrosit lisis penurunan Hb
Pada leptosipirosis terdapat perbedaan antara derajat gangguan fungsi organ dengan
kerusakan secara histologik. Pada leptospirosis lesi histologi ringan ditemukan
ginjal dan hati mengalami kelainan fungsi organ. Pada kasus berat akan terjadi
kerusakan kapiler dengan perdarahan luas dan disfungsi hepatoseluler dengan
retensi bilier. Peningkatan yang ekstrim pada kadar kreatinin dan ureum
merupakan salah satu tanda sindrom Weil dan merupakan tanda keterlibatan organ
ginjal. Bilirubin direk meningkat merupakan tanda kelainan fungsi pada organ
hati.
Lesi inflamasi menunjukkan edema dan infiltrasi sel monosit, limfosit,, dan sel
plasma. Mediator inflamasi menyerang infeksi leptospira menyebabkan leukosit
meningkat (leukositosis).
Kerusakan pada ginjal terutama pada membran gloerular, atau defek reabsorpsi
tubular, atau terjadi nefropati diabetik merupakan penyebab ditemukannya protein
dalam urin Tn. Badu. Nilai enzim CPK atau saat ini dikenal dengan CK terdapat di
otot jantung, otot rangka. Otak dan beberapa organ lain. Sejak tahun 1970-an CK
dibagi menjadi CK-MM, CK-BB, CK-MB, dan isoenzim mitokondrial. Oleh karena
itu CK total tidak spesifik sebagai penanda miokard.
25
c. Apa saja kemungkinan penyakit dari hasil pemeriksaan penunjang?
Demam v v v v
Demam ≥ 38ºC v v v v
Myalgia v v v v
oligouri v
fotofobia v
epidemiological
Rainfall v
Contaminated v v v v
environment
Animal contact -/v v v
Pemeriksaan fisik
Conjunctival v v
suffusion
Jaundice v v v
Pembesaran hepar v v v
Nyeri tekan m. v
gastrocnemius
Kaku kuduk -/v
labolatoric
culture Leptospira sp PCR virus PCR yellow Brucella sp
hepatitis fever virus
Elisa IgM - /
meningkat
26
trombocytopeni -/ v -/v -/ V
a
pT apTT -/v -/v
ureum meningkat meningkat
kreatinin meningkat meningkat
27
1. Suspek : Bila ada gejala klinis tanpa dukungan laboratorium
2. Probable : Bila ada gejala klinis sesuai leptospirosis dan hasil
serologi penyaring yaitu dipstick, lateral flow atau dri dot positif
3. Definitif : Bila hasil pemeriksaan langsung positif atau gejala klinis
sesuai dengan leptospirosis dan hasil test MAT/ELISA serial
menunjukan adanya peningkatan serokonversi atau peningkatan titer 4
kali atau lebih.
Untuk menegakkan diagnosis Leptospira bisa menggunakan Faine’s criteria seperti tabel
dibawah ini:
28
Secara tidak langsung yaitu dengan mendeteksi antibodi spesifik dalam serum,
misalnya tes enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA). Imunofloresens indirek,
yaitu Microscopic Agglutination Test (MAT) merupakan metode yang tepat untuk
mengetahui serovar leptospira yang menginfeksi. Diagnosis pasti leptospirosis
berdasarkan pada isolasi organisme dari pasien atau adanya peningkatan titer antibodi
dalam tes aglutinasi mikroskopik (Microscopic Agglutination Test, MAT). Prosedur
serologis standar yaitu MAT, yang menggunakan strain leptospiral hidup, dan ELISA.
Tes ini biasanya hanya tersedia dalam laboratorium khusus dan digunakan untuk
penentuan titer antibodi dan untuk identifikasi tentatif dari serogrup tertentu.
b) DD
Malaria berat
Hepatitis
Demam Berdarah Dengue
c) INFORMASI TAMBAHAN
29
Berdasarkan kriteria di atas, leptospirosis dapat ditegakkan jika:
30
mikroskop fase kontras. Spesimen pemeriksaan dapat diambil dari darah atau
urin.
2. Kultur
Organisme dapat diisolasi dari darah atau cairan serebrospinal hanya pada 10
hari pertama penyakit. Bakteri tersebut biasanya dijumpai di dalam urin pada
10 hari pertama penyakit. Media Fletcher dan media Tween 80-albumin
merupakan media semisolid yang bermanfaat pada isolasi primer leptospira.
Pada media semisolid, leptospira tumbuh dalam lingkaran padat 0,5-1 cm
dibawah permukaan media dan biasanya tampak 6-14 hari setelah inokulasi.
Untuk kultur harus dilakukan biakan multipel, sedangkan jenis bahan yang
dibiakkan bergantung pada fase penyakit.
Baru- baru ini dideskripsikan suatu metode radiometrik untuk mendeteksi
organisme leptopira secar cepat dengan menggunakan sistem BACTEC 460
(Johnson Laboratories). Dengan sistem ini, leptospira dideteksi pada darah
manusia setelah inkubasi 2-5 hari.
3. Inokulasi hewan
Teknik yang sensitif untuk isolasi leptospira meliputi inokulasi intraperitoneal
pada marmot muda. Dalam beberapa hari dapat ditemukan leptospira di dalam
cairan peritoneal; setelah hewan ini mati (8-14 hari) ditemukan lesi hemoragik
pada banyak organ.
4. Serologi
Diagnosis laboratorium leptospirosis terutama didasarkan atas pemeriksaan
serologi. Macroscopic slide agglutination test merupakan pemeriksaan yang
paling berguna untuk rapid screening. Pemeriksaan gold standart untuk
mendeteksi antibodi terhadap Leptospia interrogans yaitu Microscopic
Agglutination Test (MAT) yang menggunakan organisme hidup. Pada
umumnya tes aglutinasi tersebut tidak positif sampai minggu pertama sejak
terjadi infeksi, kadar puncak antibodi 3-4 minggu setelah onset gejala dan
menetap selama beberapa tahun, walaupun konsentrasinya kemudian akan
menurun.
Tes MAT ini mendeteksi antibodi pada tingkat serovar sehingga dapat
digunakan untuk mengidentifikasi strain Leptospira pada manusia dan hewan
dan karena itu membutuhkan sejumlah strain (battery of strains) Leptospira
termasuk stock-culture, disamping sepasang sera dari pasien dalam periode
31
sakit akut dan 5-7 hari sesudahnya. Pemeriksaan MAT dikatakan positif jika
terjadi
serokonversi berupa kenaikan titer 4 kali atau ≥ 1:320 dengan satu atau lebih
antigen tanpa kenaikan titer (untuk daerah non endemik leptospirosis
digunakan nilai ≥ 1:160) .
Pemeriksaan serodiagnosis leptospirosis yang lain adalah Macroscopic
Agglutination Test (MA Test), Microcapsule Agglutination Test (MCAT),
rapid latex agglutination assay (RLA assay), enzyme linked immune sorbent
assay (ELISA), immuno-fluorescent antibody test, dan immunoblot.
Selain uji serologi yang telah disebutkan di atas, terdapat pula uji serologis
penyaring yang lebih cepat dan praktis sebagai tes leptospirosis. Uji serologis
penyaring yang sering digunakan di Indonesia adalah Lepto Dipstick Assay,
LeptoTek Dri Dot, dan Leptotek Lateral Flow. Saat ini juga telah
dikembangkan pemeriksaan molekuler untuk diagnosis leptospirosis. DNA
leptospirosis dapat dideteksi dengan metode PCR (Polymerase Chain
Reaction) dengan menggunakan spesimen serum, urin, humor aqueous, cairan
serebrospinal, dan jaringan biopsy
d) WD
Weil’s disease
e) Definisi
f) Faktor risiko
32
Sedangkan faktor risiko lingkungan yang berhubungan dengan kejadian
leptospirosis antara lain kondisi lingkungan perumahan atau tempat kerja serta
sanitasi rumah. Beberapa faktor risiko penularan leptospirosis dari aspek ini
diantaranya keberadaan saluran pembuangan air limbah yang terbuka,
keberadaan tikus disekitar tempat tinggal dan lingkungan tempat kerja.
Menurut Handayani dan Ristiyanto (2008), sanitasi rumah merupakan faktor
risiko leptospirosis, kondisi rumah yang tidak memiliki plafon dan kondisi
bangunan yang tidak utuh memudahkan tikus masuk ke dalam rumah, dinding
rumah yang tidak permanen memudahkan tikus memanjat. Keberadaan
sampah disekitar rumah juga menjadikan populasi tikus di sekitar rumah
meningkat
g) Etiologi
h) Epidemiologi
Leptospirosis tersebar luas diseluruh dunia, antara lain : Rusia, Argentina, Brasilia,
Australia, Israel, Spanyol, Afghanistan, Malaysia, Amerika Serikat, Indonesia , dan
sebagainya.
Pada tahun 1970 an, kejadian pada manusia dilaporkan Fresh, di Sumatera Selatan,
Pulau Bangka serta beberapa rumah sakit di Jakarta. Tahun 1986, juga dilaporkan
33
hasil penyelidikan epidemiologi di Kuala Ci naku Riau, ditem u kan serovar
pyrogenes, semara nga, rachmati, icterohaemorrhagiae, hardjo, javanica, ballum dan
tarasovi.
Pada Tahun 2010 baru 7 provinsi yang melaporkan kasus suspek Leptospirosis yaitu
Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Bengkulu,
Kepulauan Riau dan Sulawesi Selatan.
Situasi Leptospirosis di Indonesia dari Tahun 2004 sampai tahun 2011 cenderung
meningkat, tahun 2011 terjadi 690 kasus Leptospirosis dengan 62 orang meninggal
(CFR 9%), mengalami kenaikan yang tajam bila dibandingkan 7 (tujuh) tahun
sebelumnya, hal tersebut dikarenakan terjadi KLB di Provinsi Yogyakarta
(Kabupaten Bantul dan Kulon Progo). Kasus terbanyak dilaporkan Provinsi
DI.Yogyakarta yaitu 539 kasus dengan 40 kematian (CFR 7,42%) dan Provinsi Jawa
Tengah dengan 143 kasus dengan 20 kematian (CFR 10,6%).
i) Patofisiologi
34
ditemukan pleocitosis. Pada infiltrasi pembuluh darah dapat merusak pembuluh
darah yang dapat menyebabkan vasculitis dengan terjadi kebocoran dan
ekstravasasi darah sehingga terjadi perdarahan. Setelah terjadi proses imun
leptospira dapat lenyap dari darah setelah terbentuk agglutinin. Setelah fase
leptospiremia 4-7 hari, mikroorganisme hanya dapat ditemukan dalam jaringan
ginjal dan okuler. Dalam perjalana pada fase leptospiremia, leptospira melepaskan
toksin yang bertanggung jawab atas terjadinya keadaan patologi pada beberapa
organ. Lesi yang muncul terjadi karena kerusakan pada endotel kapiler. Organ-
organ yang sering terkena leptospira adalah sebagai berikut :
1. Ginjal. Nefritis Interstisial dengan infiltrasi sel mononuclear merupakan
bentuk lesi yang dapat terjadi tanpa disertai gangguan fungsi ginjal. Sedangkan
jika terjadi gagal ginjal akibat nekrosis tubular akut.
2. Hati. Pada organ hati terjadi nekrosis sentilobuler fokal dengan infiltrasi sel
limfosit fokal dan proliferasi sel Kupfer.
3. Jantung. Kelainan miokradium dapat fokal ataupun difus berupa interstisial
edema dengan infiltrasi sel mononuclear dan plasma. Nekrosis berhubungan
dengan infiltrasi neutrofil. Dapat terjadi perdarahan fokal dan juga
endokarditis.
4. Otot rangka. Pada otot rangka terjadi nekrosis, vakuolisasi dan kehilangan
striata. Nyeri otot yang terjadi pada leptospira disebabkan oleh invasi langsung
leptospira.
5. Mata. Leptospira dapat masuk ke uvea anterior yang dapat menyebabkan
uveitis anterior pada saat fase leptospiremia.
6. Pembuluh darah. Bakteri yang menempel pada dinding pembuluh darah dapat
terjadi vaskulitis dengan manifetasi perdarahan termasuk pada mukosa, organ-
organ visceral dan perdarahan bawah kulit.
7. Susunan Saraf Pusat (SSP). Manifestasi masuknya bakteri ke dalam LCS
adalah meningitis. Meningitis terjadi sewaktu terbentuknya respon antibodi,
bukan pada saat masuk ke LCS. Terjadi penebalan meninges dengan
peningkatan sel mononuclear arakhnoid. Meningitis yang terjadi adalah
meningitis aseptic, biasanya paling sering disebabkan oleh L.canicola.
j) Manifestasi klinis
35
1. Ikterus, disfungsi ginjal, dan diathesis hemoragik (pada kebanyakan kasis
dengan keterlibatan paru)
2. Biasanya setelah 4-9 hari, ketiga gejal muncul :
Ikterus : jelas terlihat, hepatomegaly dan nyeri kuadran kanan atas,
splenomegaly (20%)
Gagal ginjal : nekrosis tubular akut, oliguria, anuria
Perdarahan : epistaksis, petekie, purpura, ekimosis. Apabila ada
keterlibatan paru, pasien mengalami batuk, sesak napas, nyeri dada,
dan sputum berdarah
k) Tatalaksana
Hal lain yang perlu diperhatikan dalam manajemen kasus leptospirosis adalah segera
merujuk penderita leptospirosis bila adanya indikasi pada disfungsi organ ginjal, hepar,
paru, terjadi perdarahan dan gangguan saraf.
36
pencegahan sekunder yang sasarannya adalah orang yang sudah sakit
leptospirosis, dicegah agar orang tersebut terhindar dari komplikasi yang
nantinya dapat menyebabkan kematian.
Komunikasi, Informasi, Edukasi:
Hindari terpapar air yang terkontaminasi urin tikus : ke sawah pakai
sepatu boot
Hindari tepapar air yang tergenang (banjir, kolam, kubangan, got)
Antibiotika profilaksis : Doksisiklin tablet 200 mg perminggu.
m) Komplikasi
n) Prognosis
Komplikasi
Kematian dapat terjadi sebagai komplikasi faktor pemberat seperti gagal ginjal
atau perdarahan, dan terlambatnya tatalaksana pasien
Tanpa Komplikasi
Dubia ad vitam: dubia ad bonam
Dubia ad functionam:dubia ad bonam
Dubia ad sanationam:dubia ad bonam
o) SKDI
V. Learning Issue:
37
Pokok What I What I Don’t What I Have to
How I Learn
Bahasan Know Know Prove
Text book, e-
Gejala Klinis,
Definisi, Patogenesis dan book,
How to
Jaundice Etiologi patofisiologi internet,
Diagnose
jurnal
38
VI. Tinjauan Pustaka
I. LEPTOSPIROSIS
A. Definisi
Leptospirosis merupakan penyakit yang disebabkan Leptospira sp yang ditularkan
dari hewan ke manusia atau sebaliknya (zoonosis). Leptospirosis dikenal juga
dengan nama:
Penyakit Weil
Demam Icterohemorrhage
Penyakit Swineherd's
Demam pesawah (Ricefield fever)
Demam Pemotong tebu (Cane-cutter fever),
Demam Lumpur,
Jaundis berdarah,
Penyakit Stuttgart,
Demam Canicola
Penyakit kuning non-virus,
Penyakit air merah pada anak sapi,
Tifus anjing
Leptospirosis adalah penyakit infeksi. Penyakit ini disebabkan oleh leptospira
patogenik dan memiliki manifestasi klinis yang luas, bervariasi mulai dari infeksi
yang tiak jelas sampai fulminan dan fatal. Pada jenis yang ringan, leptospirosis
dapat muncul seperti influenza dengan sakit kepala dan myalgia. Leptospirosis
yang berat, ditandai oleh jaundice, disfungsi renal dan diatesis hemoragik, dikenal
dengan Weil’s syndrome.
39
2. Fisiologi Sirkulasi Darah
2.1 Fisiologi sirkulasi darah
Fungsi sirkulasi adalah memenuhi kebutuhan jaringan tubuh, mentranspor zat
makanan ke jaringan tubuh, untuk mentranspor produk-produk yang tidak
berguna, menghantarkan hormon dari bagian tubuh ke bagian tubuh lain, dan
secara umum untuk memelihara lingkungan yang sesuai di dalam seluruh cairan
jaringan tubuh agar sel bisa bertahan hidup dan berfungsi secara optimal.
2.2 Bagian fungsional sirkulasi
Arteri adalan untuk mentranspor darah ke jaringan dibawah tekanan yang tinggi.
Arteriol adalah cabang-cabang kecil yang terakhir dari sistem arteri, dan berfungsi
sebagai kendali untuk menentukan darah yang akan di lepaskan ke kapiler. Fungsi
kapiler adalah untuk pertukaran zat makanan, cairan, elektrolit, hormon dan
bahan-bahan lainnya antara darah dengan cairan intersisal. Venula mengumpulkan
darah dari kapiler dan secara bertahap bergabung menjadi vena yang semakin
besar. Vena berfungsi sebagai saluran untuk mengangkut darah dari venula
kembali ke jantung yang sama pentingnya juga, vena sebagai penampung darah
ekstra.
C. Epidemiologi
Di negara subtropik, infeksi leptospira jarang ditemukan, iklim yang sesuai
untuk perkembangan leptospira adalah udara yang hangat, tanah yang basah dan
pH alkalis. Keadaan yang demikian dapat dijumpai di Negara tropik sepanjang
tahun. Di negara beriklim tropik, kejadian leptospirosis lebih banyak 1000 kali
dibandingkan dengan negara subtropik dengan risiko penyakit lebih berat. Angka
insiden leptospirosis di negara tropik basah 5- 20/100.000 penduduk per tahun.
Leptospirosis tersebar di seluruh dunia termasuk Indonesia.
40
renang, di lubuk sungai dan di tanah lembab, tanah rawa dan lumpur di
pertambangan dan pertanian/perkebunan.
Selain itu, berdasarkan hasil penelitian lama surutnya banjir juga memberikan
peluang pada bakteri leptospira untuk menginfeksi manusia. Hal ini sesuai pendapat
Gindo (2008) yang menyebutkan bahwa kecenderungan jumlah penderita
leptospirosis meningkat setelah banjir terlebih lama surutnya air sampai 3 hari atau
lebih. Pada pasca banjir perlu diwaspadai terutama sehabis membersihkan sisa-sisa
banjir atau mencebur air genangan tanpa alas kaki, air genangan tersebut telah
tercemar air kencing binatang terutama tikus yang mengandung bakteri leptospira
yang merupakan sumber penularan.
41
terdapat pada manusia dan hewan. Kelompok yang patogen atau L.interrogans
terdiri dari sub grup yang masing-masingnya terbagi lagi atas berbagai serotype
(serovar) yang jumlahnya sangat banyak. Saat ini telah ditemukan 240 serotipe
yang tergabung dalam 23 serogrup. Sub grup yang dapat menginfeksi manusia di
antaranya adalah L. icterohaemorrhagiae, L. javanica, L. celledoni, L. canicola, L
ballum, L. pyrogenes, L. cynopteri, L. automnalis, L. australis, L. pomona, L.
grippothyphosa, L. hebdomadis, L. bataviae, L. tarassovi, L. panama, L. bufonis,
L. andamana, L. shermani, L. ranarum, L. copenhageni.
42
12) Tempat rekreasi di air tawar : berenang, arum jeram dan olah raga air lain,
trilomba juang (triathlon), memasuki gua, mendaki gunung. Infeksi
leptospirosis di Indonesia umumnya dengan perantara tikus jenis Rattus
norvegicus (tikus selokan), Rattus diardii (tikus ladang), dan Rattus exulans
Suncu murinus (cecurt).
3. Penularan
Menurut Saroso (2003) penularan leptospirosis dapat secara langsung dan tidak
langsung yaitu :
a. Penularan secara langsung dapat terjadi :
1) Melalui darah, urin atau cairan tubuh lain yang mengandung kuman
leptospira masuk kedalam tubuh pejamu.
2) Dari hewan ke manusia merupakan peyakit akibat pekerjaan, terjadi pada
orang yang merawat hewan atau menangani organ 18 tubuh hewan
misalnya pekerja potong hewan, atau seseorang yang tertular dari hewan
peliharaan.
3) Dari manusia ke manusia meskipun jarang, dapat terjadi melalui hubungan
seksual pada masa konvalesen atau dari ibu penderita leptospirosis ke janin
melalui sawar plasenta dan air susu ibu.
b. Penularan tidak langsung dapat terjadi melalui :
1) Genangan air.
2) Sungai atau badan air.
3) Danau.
4) Selokan saluran air dan lumpur yang tercemar urin hewan.
5) Jarak rumah dengan tempat pengumpulan sampah.
E. Gambaran Klinis
Gambaran klinis leptospirosis dibagi atas 3 fase yaitu : fase leptospiremia, fase
imun dan fase penyembuhan.
a. Fase Leptospiremia Demam mendadak tinggi sampai menggigil disertai sakit
kepala, nyeri otot, hiperaestesia pada kulit, mual muntah, diare, bradikardi
relatif, ikterus, injeksi silier mata. Fase ini berlangsung 4-9 hari dan berakhir
dengan menghilangnya gejala klinis untuk sementara.
43
b. Fase Imun Dengan terbentuknya IgM dalam sirkulasi darah, sehingga gambaran
klinis bervariasi dari demam tidak terlalu tinggi, gangguan fungsi 14 ginjal dan
hati, serta gangguan hemostatis dengan manifestasi perdarahan spontan.
c. Fase Penyembuhan Fase ini terjadi pada minggu ke 2 - 4 dengan patogenesis yang
belum jelas. Gejala klinis pada penelitian ditemukan berupa demam dengan atau
tanpa muntah, nyeri otot, ikterik, sakit kepala, batuk, hepatomegali, perdarahan dan
menggigil serta splenomegali.
Menurut berat ringannya, leptospirosis dibagi menjadi ringan dan berat, tetapi
untuk pendekatan diagnosis klinis dan penanganannya, para ahli lebih senang
membagi penyakit ini menjadi leptospirosis anikterik (non ikterik) dan
leptospirosis ikterik.
1) Leptospirosis anikterik Onset leptospirosis ini mendadak dan ditandai dengan
demam ringan atau tinggi yang umumnya bersifat remiten, nyeri kepala dan
menggigil serta mialgia. Nyeri kepala bisa berat, mirip yang terjadi pada infeksi
dengue, disertai nyeri retro-orbital dan photopobia. Nyeri otot terutama di daerah
betis, punggung dan paha. Nyeri ini diduga akibat kerusakan otot sehingga
creatinin phosphokinase pada sebagian besar kasus akan meningkat, dan
pemeriksaan cretinin phosphokinase ini dapat untuk membantu diagnosis klinis
leptospirosis. Akibat nyeri betis yang menyolok ini, pasien kadangkadang
mengeluh sukar berjalan. Mual, muntah dan anoreksia dilaporkan oleh sebagian
besar pasien. Pemeriksaan fisik yang khas adalah conjunctival suffusion dan nyeri
tekan di daerah betis. Limpadenopati, splenomegali, hepatomegali dan rash
macupapular bisa ditemukan, meskipun jarang. Kelainan mata berupa uveitis dan
iridosiklis dapat dijumpai pada pasien leptospirosis anikterik maupun ikterik.
Gambaran klinik terpenting leptospirosis anikterik adalah meningitis aseptik yang
tidak spesifik sehingga sering terlewatkan diagnosisnya. 15 Dalam fase
leptospiremia, bakteri leptospira bisa ditemukan di dalam cairan serebrospinal,
tetapi dalam minggu kedua bakteri ini menghilang setelah munculnya antibodi
( fase imun ). Pasien dengan Leptospirosis anikterik pada umumnya tidak berobat
karena keluhannya bisa sangat ringan. Pada sebagian pasien, penyakit ini dapat
sembuh sendiri ( self - limited ) dan biasanya gejala kliniknya akan menghilang
dalam waktu 2-3 minggu. Karena gambaran kliniknya mirip penyakit-penyakit
demam akut lain, maka pada setiap kasus dengan keluhan demam, leptospirosis
44
anikterik harus dipikirkan sebagai salah satu diagnosis bandingnya, apalagi yang di
daerah endemik. Leptospirosis anikterik merupakan penyebab utama Fever of
unknown origin di beberapa negara Asia seperti Thailand dan Malaysia. Diagnosis
banding leptospirosis anikterik harus mencakup penyakit-penyakit infeksi virus
seperti influenza, HIV serocon version, infeksi dengue, infeksi hanta virus,
hepatitis virus, infeksi mononukleosis dan juga infeksi bakterial atau parasitik
seperti demam tifoid, bruselosis, riketsiosis dan malaria.
2) Leptospirosis ikterik Ikterus umumnya dianggap sebagai indikator utama
leptospirosis berat. Gagal ginjal akut, ikterus dan manifestasi perdarahan
merupakan gambaran klinik khas penyakit Weil. Pada leptospirosis ikterik, demam
dapat persisten sehingga fase imun menjadi tidak jelas atau nampak overlapping
dengan fase leptospiremia. Ada tidaknya fase imun juga dipengaruhi oleh jenis
serovar dan jumlah bakteri leptospira yang menginfeksi, status imunologik dan
nutrisi penderita serta kecepatanmemperoleh terapi yang tepat. Leptospirosis
adalah penyebab tersering gagal ginjal akut.
F. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium mutlak diperlukan untuk memastikan diagnosa
leptospirosis, terdiri dari pemeriksaan secara langsung untuk mendeteksi keberadaan
kuman leptospira atau antigennya (kultur, mikroskopik, inokulasi hewan,
immunostaining, reaksi polimerase berantai), dan pemeriksaan secara tidak langsung
melalui pemeriksaan antibodi terhadap kuman leptospira ( MAT, ELISA, tes
penyaring).
Golden standar pemeriksaan serologi adalah MAT, suatu pemeriksaan
aglutinasi secara mikroskopik untuk mendeteksi titer antibodi aglutinasi, dan dapat
mengidentifikasi jenis serovar. Pemeriksaan penyaring yang sering dilakukan di
Indonesia adalah Lepto Tek Dri Dot dan LeptoTek Lateral Flow.
Diagnosis leptospirosis dapat dibagi dalam 3 klasifikasi yaitu : Suspek, bila
ada gejala klinis, tanpa dukungan tes laboratorium. Probable, bila gejala klinis sesuai
leptospirosis dan hasil tes serologi penyaring yaitu dipstick, lateral flow, atau dri dot
positif. Definitif , bila hasil pemeriksaan laboratorium secara langsung positip, atau
gejala klinis sesuai dengan leptospirosis dan hasil tes MAT / ELISA serial
menunjukkan adanya serokonversi atau peningkatan titer 4 kali atau lebih
45
G. Penatalaksanaan dan Pencegahan
1. Penatalaksanaan
a. Non Farmakologi
Tirah baring
Atasi dehidrasi
Pemberian nutrisi yang seimbang
b. Farmakologi
Antibiotik, Golongan tetrasiklin contoh obat doksisiklin
Mekanisme Kerja: Bersifat bakteriostatik dengan cara menghambat
sintesis protein yang diperlukan bagi pertumbuhan bakteri.
Dosis: 2x200mg
Sedian: 100 mg tablet
Efek Samping Obat: Gangguan GIT
Antipirerik (paracetamol)
Mekanisme Kerja: Mengurangi pembentukan enzim siklooksigenase
sehingga dapat menghambat terbentuknya prastaglandin
2. Pencegahan
Yang pekerjaannya menyangkut binatang
• Tutupilah luka dan lecet dengan balut kedap air.
• Pakailah pakaian pelindung misalnya sarung tangan, pelindung atau
perisai mata, jubah kain dan sepatu bila menangani binatang yang
mungkin terkena, terutama jika ada kemungkinan menyentuh air seninya.
• Pakailah sarung tangan jika menangani ari-ari hewan, janinnya yang mati di
dalam maupun digugurkan atau dagingnya.
• Mandilah sesudah bekerja dan cucilah serta keringkan tangan sesudah
menangani apa pun yang mungkin terkena.
• Jangan makan sambil menangani binatang yang mungkin terkena. Cuci dan
keringkan tangan sebelum makan.
• Ikutilah anjuran dokter hewan kalau memberi vaksin kepada hewan
46
Edukasi kepada para petani untuk menggunakan alas kaki (sepatu bot) saat
bekerja di genangan air.
Hindarkanlah berenang di dalam air yang mungkin dicemari dengan air
seni binatang.
Berantas tikus
Pada hewan : vaksin leptospira
Pencegahan dengan pemberian doksisiklin 200mg/ minggu
G. Komplikasi
Gejala dini Leptospirosis umumnya adalah demam, sakit kepala parah, nyeri otot,
gerah, muntah dan mata merah. Aneka gejala ini bisa meniru gejala penyakit lain
seperti selesma, sehingga menyulitkan diagnosa. Beberapa penderita Leptospirosis
yang lebih lanjut mendapat penyakit parah, termasuk penyakit Weil yakni kegagalan
ginjal, sakit kuning (menguningnya kulit yang menandakan penyakit hati) dan
perdarahan masuk ke kulit dan selaput lendir. Pembengkakan selaput otak atau
Meningitis dan perdarahan di paru-paru pun dapat terjadi. Kebanyakan penderita yang
sakit parah memerlukan rawat inap dan Leptospirosis yang parah malah ada kalanya
merenggut nyawa.
H. Prognosis
Tingkat kematian rata-rata pada leptospirosis berat sekitar 10%. Sebagian besar
kematian terjadi karena komplikasi gagal ginjal, perdarahan masif, atau sindrom
gangguan pernapasan akut. Secara umum, pasien yang sembuh dari leptospirosis
fungsi hati dan ginjal kembali normal.
47
II. JAUNDICE
A. DEFINISI
Jaundice adalah perubahan warna kulit, sclera mata atau jaringan lainnya
(membrane mukosa) yang menjadi kuning karena pewarnaan oleh bilirubin yang
meningkat konsentrasinya dalam sirkulasi darah. Kata Jaundice berasal dari kata
Perancis “jaune” yang berarti kuning.Jaundice merupakan tanda bahwa hati atau system
empedu tidak berjalan normal 1
B. SINONIM
C. EPIDEMIOLOGI
Jaundice dapat menyerang pada laki-laki dan wanita di segala usia, tergantung
faktor penyebabnya. Pada usia dibawah 30 tahun biasanya jaundice timbul karena kasus
penyakit parenkim. Di atas 50 tahun disebabkan batu/tumor. Sedangkan antara 30-50
tahun disebabkan karena penyakit hati kronik. Sebagian besar Jaundice terdapat pada
60% bayi cukup bulan dan pada bayi 80% bayi kurang bulan dan dapat terjadi pada bayi
dengan warna kulit apapun. Jaundice sebagian bersifat patologik yang dapat
menimbulkan gangguan yang menetap atau menyebabkan kematian.
D. ETIOLOGI
Jaundice disebabkan karena jumlah bilirubin yang tinggi (berlebihan) dalam darah.
Kadar bilirubin yang tinggi dalam darah dapat terjadi karena 2 :
1. hati bayi yang baru lahir belum dewasa (immature), sehingga tidak dapat
memproses bilirubin dengan cepat. Proses yang lambat ini tidak ada
hubungannya dengan penyakit pada hati. Ini lebih karena hati bayi belum
48
berkembang sempurna, sehingga proses pembuangan bilirubin menjadi lebih
lambat.
2. kondisi ABO incompatibility dan Rh incompatibility. Kedua kondisi ini
menyebabkan pemecahan sel darah merah yang sangat cepat.
3. diabetes selama kehamilan,
4. penggunaan oksitoksin pada saat proses kelahiran
5. riwayat neonatal jaundice dalam keluarga, dan
6. bayi lahir kurang bulan (kurang dari 38minggu)
E. PATOFISIOLOGI
1. Fase Prahepatik
a. Pembentukan bilirubin.
Setiap harinya, terjadi pembentukan bilirubin sekitar 250-350 mg
bilirubin atau sekitar 4mg per kg berat badan. Sekitar 70-80% berasal dari
pemecahan sel darah merah yang matang. Sedangkan sisanya 20-30% (early
labelled bilirubin) datang dari protein hem lainnya yang berada dalam
sumsum tulang dan hati.
b. Transport Plasma.
Bilirubin tak terkonjugasi transportnya dalam plasma terikat dengan
albumin dan tidak dapat melalui membrane glomerulus karena bilirubin
tidak larut dalam air,sehingga bilirubin tidak muncul dalam air seni. Ikatan
bilirubin melemah dalam beberapa keadaan seperti asidosis. Beberapa bahan
antibiotika tertentu, seperti salisilat berlomba pada tempat ikatan dengan
albumin.
2. Fase Intrahepatik
a. Liver Uptake.
Proses pengambilan bilirubin tak terkonjugasi oleh hati secara rinci dan
pentingnya protein pengikat seperti ligandin atau protein Y, belum jelas.
49
Pengambilan bilirubin melalui transport yang aktif dan berjalan cepat,
namun tidak termasuk pengambilan albumin.
b. Konjugasi.
Bilirubin bebas yang terkonsentrasi dalam sel hati mengalami konjugasi
dengan asam glukuronik membentuk bilirubin di glukorinida atau bilirubin
konjugasi atau bilirubin direk.
3. Fase Pascahepatik
a. Ekskresi bilirubin.
Bilirubin konjugasi dikeluarkan kedalam kanalikulus bersama bahan
lainnya. Anion organic lainnya atau obat dapat mempengaruhi proses ini.
2) Sindrom Rotor
Pada banyak hal keadaan ini serupa dengan sindroma Dubin-
Johnson. Akan tetapi, tidak terdapat pigmen dalam sel hati, dan bilirubin
konjugasi dalam serum memiliki lebih banyak bentuk monokonjugasi
daripada konjugasi diglukuronida.
b. Kolestasis
1) Kolestasis Intrahepatik
2) Kolestasis Ekstrahepatik
50
G. DIAGNOSIS
Riwayat penyakit yang rinci dan pemeriksaan jasmani sangat penting dalam
diagnosis, karena kesalahan diagnosis terutama dikarenakan penilaian klinis yang
kurang atau penilaian gangguan laboratorium yang terlalu berlebihan. Kolestasis
ekstrahepatik dapat diduga dengan adanya keluhan sakit bilier atau kandung empedu
yang teraba. Jika sumbatan karena keganasan pancreas (bagian kepala atau kaput)
sering timbul kuning yang tidak disertai gejala keluhan sakit perut (painless jaundice).
Kadang-kadang bila bilirubin telah mencapai konsentrasi yang lebih tinggi sering
warna kuning sclera mata memberi kesan berbeda dimana ikterus lebih memberi
kesan kehijauan (greenish jaundice) pada kolestasis ekstrahepatik dan kekuningan
(yellowish jaundice) pada kolestasis intrahepatik 1
H. BIOPSI HATI
51
I. PEMERIKSAAN PENCITRAAN
J. PENGOBATAN
52
III. GAGAL GINJAL AKUT
Gagal ginjal akut ditandai dengan gejala yang timbul secara tiba-tiba dan
penurunan volume urin secara cepat. Laju filtrasi glomerulus dapat menurun
secara tiba-tiba sampai dibawah 15 mL/menit. Penyakit ini mengakibatkan
peningkatan kadar serum urea, kreatinin, dan bahan lain. Gagal ginjal akut bersifat
reversibel, namun secara umum tingkat kematian pasien tinggi (Kenward & Tan,
2003).
1). Patofisiologi gagal ginjal akut
Terdapat tiga kategori ARF (Acute Renal Failure) atau gagal ginjal akut, yaitu
prerenal, renal dan postrenal dengan mekanisme patofisiologi berbeda.
a). Prerenal
Prerenal ditandai dengan berkurangnya pasokan darah ke ginjal. Penyebab
umumnya yaitu terjadinya penurunan volume intravaskular karena kondisi seperti
perdarahan, dehidrasi, atau hilangnya cairan gastrointestinal. Kondisi
berkurangnya curah jantung misalnya gagal jantung kongestif atau infark miokard
dan hipotensi juga dapat mengurangi aliran darah ginjal yang mengakibatkan
penurunan perfusi glomerulus dan prerenal ARF (Stamatakis, 2008).
Penurunan aliran darah ginjal ringan sampai sedang mengakibatkan tekanan
intraglomerular yang disebabkan oleh pelebaran arteriola aferen (arteri yang
memasok darah ke glomerulus), penyempitan arteriola eferen (arteri yang
membawa darah dari glomerulus), dan redistribusi aliran darah ginjal ke medulla
ginjal. Fungsional ARF terjadi ketika mekanisme adaptif terganggu dan hal
tersebut sering disebabkan oleh obat-obatan, antara lain: NSAID (Non Steroid
Anti Inflammatory Drug) merusak dilasi mediator prostaglandin dari arteriola
aferen. ACEI (Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor) dan ARB (Angiotensin
Receptor Blocker) menghambat angiotensin II dimediasi oleh penyempitan
arteriola eferen. Siklosporin dan takrolimus terutama dalam dosis tinggi
merupakan vasokonstriktor ginjal yang poten. Semua agen tersebut dapat
mengurangi tekanan intraglomerular dengan penurunan GFR (Glomerular
Filtration Rate) (Stamatakis, 2008).
b). Renal
Gagal ginjal intrinsik, disebut juga sebagai intrarenal ARF disebabkan oleh
penyakit yang dapat mempengaruhi integritas tubulus, pembuluh glomerulus,
53
interstitium, atau darah. ATN (Acute Tubular Necrosis) merupakan kondisi
patofisiologi yang dihasilkan dari obat (aminoglikosida atau amfoterisin B) atau
iskemik terhadap ginjal (Stamatakis, 2008).
c). Postrenal
Postrenal terjadi karena obstruksi aliran kemih oleh beberapa sebab, antara
lain: hipertrofi prostat jinak, tumor panggul, dan pengendapan batu ginjal
(Stamatakis, 2008).
2). Penyebab gagal ginjal akut:
a). Penyebab prerenal, misalnya septicaemia, hypovolaemia, cardiogenic shock,
dan hipotensi akibat obat.
b). Penyebab renal, misalnya glomerulonephritis, myoglobinuria, obstruksi
intrarenal, obat yang bersifat nefrotoksik, dan hipertensi yang meningkat.
c). Penyebab postrenal, misalnya obstruksi saluran kemih akibat hipertrofi prostat,
batu ginjal, dan batu pada saluran kemih (Kenward & Tan, 2003).
3). Gambaran klinis
Gambaran klinis gagal ginjal akut meliputi perubahan volume urin (oliguria,
poliuria), kelainan neurologis (lemah, letih, gangguan mental), gangguan pada
kulit (gatal-gatal, pigmentasi), tanda pada kardiopulmoner (sesak, perikarditis),
dan gejala pada saluran cerna (mual, nafsu makan menurun, muntah) (Kenward &
Tan, 2003).
4). Pengobatan gagal ginjal akut (ARF)
a). Terapi Non Farmakologi
Transplantasi ginjal mungkin diperlukan pada pasien ARF untuk kelebihan
volume yang menghasilkan respon terhadap diuretik, untuk meminimalkan
akumulasi produk limbah nitrogen, dan untuk memperbaiki abnormalitas elektrolit
dan asam basa sementara menunggu fungsi ginjal pulih. Gizi yang cukup,
manajemen cairan, dan koreksi kelainan hematologi merupakan terapi suportif
pada ARF (Stamatakis, 2008).
b). Terapi Farmakologi
Terapi dengan loop diuretik (furosemid), fenoldopam dan dopamin.
Dopamin dosis rendah dalam dosis mulai 0,5-3 mcg/kg/menit, terutama
merangsang reseptor dopamin-1, menyebabkan vasodilatasi pembuluh darah
ginjal dan meningkatkan aliran darah ginjal (Stamatakis, 2008).
54
VII. Kerangka Konsep
55
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Tn. B, 40 tahun , pekerjaan pembersih selokan mengalami weil’s disease et causa
lectospira
DAFTAR PUSTAKA
Kozier, B., et al. (2004) Fundamental of Nursing: Concept, process, and practice. New
Jersey : Prentice Hall
Muliawan, Sylvia Y. 2008. Bakteri Spiral Patogen (Treponema, Leptospira, dan Borrelia).
Jakarta: Penerbit Erlangga
Sumber: Francesco, Elizabeth De, Krasnalhia Livia Soares de Abreu, dan Geraldo Bezerra da
Silva Junior. 2010. J Bras Nefrol. 32 (4): 400-407.
56