Anda di halaman 1dari 12

HAJI

A. HAKEKAT HAJI
1. Pengertian Haji
Secara bahasa, haji berasal dari kata Al-Hajju yang berarti menyengaja atau menuju
atau mengunjungi. Dan secara istilah Al-Hajju berarti mengunjungi atau berziarah ke Ka’bah
untuk beribadah kepada Allah SWT, dengan syarat-syarat dan rukun-rukunnya, serta
beberapa kewajiban tertentu dan dilaksanakan dalam waktu tertentu dan beribadah dengan
melakukan ihram, thawaf, sa’i, wukuf di Arafah, mabit di Muzdalifah dan Mina, melontar
jamarat dan tahalul.
Ibadah menurut pendapat para ulama terbagi menjadi tiga. Pertama adalah ibadah
badaniah yang bersifat mahdhah, seperti shalat dan puasa. Kedua, ibadah maliah yang
bersifat mahdhah yaitu seperti zakat. Ketiga, ibadah yang terdiri dari ibadah badaniah dan
maliah yaitu seperti haji.
Ibadah Haji adalah rukun (tiang agama) islam yang kelima setelah syahadat, shalat,
zakat dan puasa, menunaikan ibadah haji adalah bentuk ritual tahunan yang dilaksanakan
kaum muslimin sedunia yang mampu (material, fisik, dan keilmuan) dengan berkunjung dan
melaksanakan beberapa kegiatan di beberapa tempat di arab saudi pada suatu waktu yang
dikenal sebagai musim haji (bulan Dzulhijah). Hal ini berbeda dengan ibadah umrah yang
biasa dilaksanakan sewaktu – waktu.
Menunaikan ibadah haji diwajibkan atas setiap muslim yang mampu mengerjakannya
dan seumur hidup sekali. Bagi mereka yang mengerjakan haji lebih dari satu, hukumnya
sunah. Allah SWT. berfirman dalam Surah Ali Imran Ayat 97 yaitu:

"Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim barangsiapa
memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah Dia; mengerjakan haji adalah kewajiban
manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke
Baitullah. barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), Maka Sesungguhnya Allah Maha
Kaya (Tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam".(Q.S. Al Imran : 97)

Kegiatan inti ibadah haji dimulai pada tanggal 8 dzulhijjah ketika umat islam
bermalam di mina, wukuf (berdiam diri) dipadang arafah pada tanggal 9 dzulhijjah, dan
berakhir setelah melempar jumrah (melempar batu simbolisasi setan) pada tanggal 10
dzulhijjah, warga Indonesia biasa menyebut juga Hari Raya Idul Adha sebagai Hari Raya
Haji kerena bersamaan dengan perayaan ibadah haji ini.
[Lubis, Nabilah, “Menyingkap Rahasia Ibadah Haji”, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada,1999), Hal. 31]
2. Syarat-syarat Haji
Hal yang dimaksud dengan syarat ibadah haji adalah sesuatu yang apabila seseorang telah
memenuhi atau memiliki sesuatu tersebut, maka wajiblah baginya untuk melakukan haji satu
kali dalam seumur hidupnya. Berikut persyaratan yang menyebabkan seseorang wajib
melaksanakan ibadah haji.
a. Beragama Islam
Syarat wajib yang pertama adalah Islam. Artinya, seseorang yang beragama Islam dan telah
memenuhi syarat wajib haji yang lainnya serta belum pernah melaksanakan haji, maka ia
terkena wajib haji, ia harus menunaikan ibadah haji. Akan tetapi jika seseorang yang telah
menunaikan syarat wajib haji tetapi ia bukan orang Islam, maka ia tidaklah wajib untuk
menunaikan ibadah haji.

b. Baligh (Dewasa)
Syarat wajib haji yang kedua adalah baligh. Akan tetapi, jika ada seseorang muslim yang
melakukan ibadah haji namun belom baligh, maka hajinya tidak sah. Hanya saja, ketika ia
dewasananti, maka haji masih tetap menjadi kewajiban baginya jika syarat lainya terpenuhi.
Artinya, ibadah haji yang dilakukan semasa belum baligh tidak menggugurkan kewajibanya
untuk menunaikan ibadah haji saat ia dewasa nanti.

c. Berakal
Syarat yang ketiga adalah berakal. Artinya, meskipun seseorang telah mencapai usia baligh
dan mampu secara materi untuk melaksanakan haji, tetapi ia mengalami masalah dengan
batin dan akalnya, maka kewajiban ini sudah sirna darinya. Karena, sudah pasti orang yang
mengalami gangguan jiwa akan susah, bahkan tidak bisa sama sekali, untuk melaksanakan
rukun dan kewajiban haji.

d. Merdeka
Syarat keempat adalah merdeka. Artinya memiliki kuasa atas dirinya sendiri, tidak berada
kekuasaan seseorang (tuan), seperti budak dan hamba sahaya. Bagi orang yang tidak merdeka
tetapi ia memiliki kesempatan untuk menunaikan ibadah haji maka hukum hajinya sama
dengan anak yang belum baligh, tetapi sah tapi harus mengulangi kembali ketika ia sudah
merdeka dan mencukupi syarat untuk melaksanakannya.

e. Mampu
Syarat kelima adalah mampu. Artinya jika empat syarat telah terpenuhi, tetapi ia belum
mampu, maka menunaikan ibadah haji tidak wajib baginya.
[Mulyono, Edi dan Harun Rofi’i. Panduan Praktis dan Terlengkap Ibadah Hajidan
Umrah (cet.ket-1). (Jogjakarta: Safira, 2013),Hal.27-32]
3. Rukun Haji
Rukun haji menurut jumhur ulama (mayoritas ulama), ada enam untuk rukun ibadah haji,
diantaranya:
a. Ihram disertai dengan niat
b. Wukuf di Arafah
c. Thawaf di Baitullah
d. Sa'i antara Shafa dan Marwah
e. Bercukur untuk tahallul
f. Tertib
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa rukun-rukun tersebut harus dikerjakan dan
tidak boleh digantikan orang untuk mengerjakannya. Karena rukun ini tidak bisa ditebus
dengan membayar dam.
[Mulyono, Edi dan Harun Rofi’i. Panduan Praktis dan Terlengkap Ibadah Hajidan
Umrah (cet.ket-1). (Jogjakarta: Safira, 2013),Hal.33-34]

4. Wajib Haji
Wajib secara syar'i adalah sesuatu hal atau perbuatan yang harus dikerjakan. Seandainya
tidak dikerjakan maka ibadahnya tidak sah. Akan tetapi, dalam haji jika terpaksa tidak
melakukan kewajiban haji, ibadahnya tetap sah, tetapi harus membayar dam (denda) yang
telah ditentukan. Haji memiliki lima kewajiban diantaranya:
1) Berpakaian ihram dari miqat
Miqat dalam berihram terdapat 2 (macam), yaitu miqat zamani dan miqot makani. Miqat
zamani adalah batas waktu para jama’ah mengerjakan haji ( 1 syawawal sampai terbitnya
fajar pada tanggal 10 Dzulhijjah). Jadi, bagi orang yang berihram selain pada hari yang
ditentukan, maka ihramnya tidak sah. Ini dikhususkan bagi para jama’ah haji, karena waktu
umrah tidak ditentukan atau dapat dilaksanakan kapan saja sesuai waktu yang diinginkan.
Oleh karena itu, miqot zamani ini bukanlah merupakan bagian dari kewajiban haji, tetapi
merupakan syarat mutlak bagi para jama’ah haji. Jadi, tidak boleh tidak harus dikerjakan
karena hal ini tidak bisa dibayar dengan dam (denda).
Adapun miqot makani adalah suatu tempat dimana para jama’ah menggunakan pakaian ihram
berserta niatnya ketika hendak mengerjakan ibadah haji. Tempatnya pun berbeda-beda, sesuai
denganarah daerah masing-masing para jama’ah.
2) Bermalam di Mudzalifah
Mudzalifah adalah antara Arafah dan Mina. Mabid di Mudzalifah adalah berada di
Mudzalifah mulai dari tenggah malam tanggal 10 Dzulhijjah hingga terbit fajar. Yang
dimaksud mabid disini adalah bermalam (menginap), atau menginjakkan kaki di area
Mudzalifah, atau cukup di atas mobil, seseorang dapat saja memasuki mulai magrib. Dalam
keadaan demikian ini ia melakukan shlat fardhu dalam keadaan jama’ qosor. dan harus
meninggalkan Mudzalifah sebelum terbit matahari pada tanggal 10 Dhulhijjah.
3) Melontar jumroh Aqabah
Melempar jumrah aqobah ini hanya dilakukan pada tanggal 10 dzulhijjah dan mulai tenggah
malam dan sampai subuh saja.
4) Bermalam di Mina
Wilayah mina terletak di Mudzalifah dan mekkah al-mukkarromah. Waktu mabit di mina
yaitu antara malam tanggal 11, 12, dan 13 dzulhijjah.
5) Melontar jumrah Ula, Wustha, dan Aqabah
Molantar jumrah merupakan wajib haji. Jama’ah yang tidak melontar selama tiga hari wajib
membayar dengan dam dan apabila meninggalkan sebagaian lontaran, maka harus membayar
fidiyah. Pelaksanaan lontar jumrah ini dilaksanakan pada hari-hari tasriq yaitu pada tanggal
11, 12, dan 13 dzulhijjah.
6) Thowaf Wada
Thowaf wada bagi yang akan meninggalkan mekkah. Thowaf wada merupakan pengormatan
akhir kebaitullah.

5. Sunat Haji
 Ifrad, yaitu mendahulukan urusan haji terlebih dahulu baru mengerjakan atas ‘umrah.
 Membaca Talbiyah yaitu :

“Labbaika Allahumma Labbaika Laa Syarikalaka Labbaika Innalhamda Wanni’mata


Laka Walmulka Laa Syarika Laka”.
 Tawaf Qudum, yatiu tawaaf yang dilakukan ketika permulaan datang di tanah ihram,
dikerjakan sebelum wukuf di ‘Arafah.
 Shalat sunat ihram 2 raka’at sesudah selesai wukuf, utamanya dikerjakan dibelakang
makam nabi Ibrahim.
 Bermalam di Mina pada tanggal 10 Dzulhijjah
o Thawaf wada’, yakni tawaf yang dikerjakan setelah selesai ibadah haji untuk
memberi selamat tinggal bagi mereka yang keluar Mekkah.
o Berpakaian ihram dan serba putih.
o Berhenti di Mesjid Haram pada tanggal 10 Dzulhijjah.
[K.H Imam Jazuli,MA. Buku Pintar Haji dan Umrah, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media,
2014),Hal.58-59]

B. SEJARAH HAJI
Sejarah Haji tidak bisa terlepas dari sejarah pembangunan Ka’bah seperti yang
diperintahkan Allah SWT kepada Nabi Ibrahim as. Ketika Nabi Ibrahim as. selesai
membangun Ka’bah, Allah SWT memerintahkannya untuk menyeru manusia agar
melaksanakan haji. Dalam hal ini, Allah SWT berfirman,

artinya, “Serukanlah kepada seluruh manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka
akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, mengendarai unta yang kurus yang datang
dari segenap penjuru yang jauh“.
Nabi Ibrahim as berkata kepada Allah SWT, “Wahai Tuhan ! Bagaimana suaraku akan
sampai kepada manusia yang jauh ?“, Allah SWT berfirman, “Serulah ! Aku yang akan
membuat suaramu sampai“.
Kemudian Nabi Ibrahim as naik ke Jabal Qubays (sebuah bukit di selatan Ka’bah) dan
memasukkan jari tangannya ke telinganya sambil menghadapkan wajahnya ke Timur dan
Barat beliau berseru, “Wahai sekalian manusia telah diwajibkan kepadamu menunaikan
ibadah haji ke Baitul Atiq, maka sambutlah perintah Tuhanmu Yang Maha Agung“. Seruan
tersebut telah didengar oleh setiap yang berada dalam sulbi laki-laki dan rahim wanita.
Seruan itu disambut oleh orang yang telah ditetapkan dalam ilmu Allah SWT bahwa ia akan
melaksanakan haji, sampai hari Kiamat mereka berkata, “LABBAIK ALLAAHUMMA
LABBAIK”, artinya, “Telah saya penuhi panggilan-Mu, Ya Allah! Telah saya penuhi
panggilan-Mu“.
Seusai Nabi Ibrahim as menyeru manusia untuk melaksanakan haji, malaikat Jibril as
mengajaknya pergi. Kepada beliau diperlihatkan bukit Safa, Marwah dan perbatasan tanah
Haram, lalu diperintahkan untuk menancapkan batu-batu pertanda. Ibrahim as adalah orang
yang pertama menegakkan batasan tanah Haram setelah ditunjukkan oleh malaikat Jibril as.
Pada tanggal 7 Zulhijah, Nabi Ibrahim as berkhutbah di Mekah ketika matahari condong ke
Barat (tergelincir), sementara Nabi Ismail as duduk mendengarkan. Pada esok harinya,
keduanya keluar berjalan kaki sambil bertalbiyah dalam keadaan berihram. Masing-masing
membawa bekal makanan dan tongkat untuk bersandar. Hari itu dinamakan hari Tarwiah.
Di Mina, keduanya melaksanakan salat Zuhur, Asar, Magrib, Isya dan Subuh. Mereka
tinggal di sebelah kanan Mina sampai terbit matahari dari gunung Tsubair (waktu Dhuha),
kemudian keduanya keluar Mina menuju Arafah. Malaikat Jibril as menyertai mereka berdua
sambil menunjukkan tanda-tanda batas sampai akhirnya mereka tiba di Namirah. Malaikat
Jibril as menunjukkan pula tanda-tanda batas Arafah. Nabi Ibrahim as sudah mengetahui
ُ ‫ َر ْف‬LLَ‫ ع‬,artinya: “Aku sudah mengetahui”, maka daerah itu
sebelumnya lalu berkata, : ‫ت‬
dinamakan Arafah.
Ketika tergelincir matahari, malaikat Jibril as bersama keduanya menuju suatu tempat
(sekarang tempat berdirinya Masjid Namirah), kemudian Nabi Ibrahim as berkhutbah dan
Nabi Ismail as duduk mendengarkan, lalu mereka salat jamak taqdim Zuhur dan Asar.
Kemudian malaikat Jibril as mengangkat keduanya ke bukit dan mereka berdua berdiri
sambil berdoa hingga terbenam matahari dan hilang cahaya merah. Kemudian mereka
meninggalkan Arafah berjalan kaki hingga tiba di Juma‘ (daerah Muzdalifah sekarang).
Mereka salat Maghrib dan Isya di sana, sekarang tempat jamaah haji melaksanakan salat.
Mereka bermalam di sana hingga terbit fajar keduanya diam di Quzah. Sebelum terbit
matahari, mereka berjalan kaki hingga tiba di Muhassir. Di tempat ini mereka mempercepat
langkahnya. Ketika sudah melewati Muhassir, mereka berjalan seperti sebelumnya. Ketika
tiba di tempat jumrah, mereka melontar jumrah Aqabah tujuh kerikil yang dibawa dari Juma’.
Kemudian mereka tinggal di Mina pada sebelah kanannya, lalu keduanya menyembelih
hewan kurban di tempat sembelihan. Setelah itu memotong rambut dan tinggal beberapa hari
di Mina untuk melontar tiga jumrah pulang bali saat matahari mulai naik. Pada hari Shadr,
mereka keluar untuk salat Zuhur di Abthah. Itulah ritual ibadah haji yang ditunjukkan oleh
malaikat Jibril as sesuai permintaan Nabi Ibrahim as, “…..tunjukkanlah kepada kami cara-
cara dan tempat-tempat ibadah haji kami….” (QS Al Baqarah : 128).

C. MENCAPAI HAJI MABRUR


Setiap jemaah haji pasti berharap dapat meraih predikat haji mabrur. Hal itu karena
Rasulullah SAW bersabda,

ُّ‫ْس و ُر ْال َم ْب ُر ْال َحج‬


َ ‫ْال َجنَّةُ إِاَّل ا ٌء َجزَ لَهُ لَي‬
“Tidak ada ganjaran lain bagi haji yang mabrur kecuali surga.” (HR.Imam Bukhari)
Banyak ulama yang berpendapat bahwa ketika haji seseorang mabrur maka segala sifat dan
perbuatannya akan lebih baik daripada sebelum ia pergi haji. Diantara ciri-ciri haji mabrur
yang terlihat dari sikap dan perbuatan orang yang mendapatkannya adalah :
 Meningkatnya ketaatan dan ketakwaan kepada Allah SWT.
 Memiliki sifat-sifat terpuji seperti jujur, qonaah, tawadu’, sabar, berkata baik kepada
orang lain, dan sifat-sifat mulia lainnya.
 Kepekaan sosial yang semakin meningkat, seperti suka berinfak, membantu anak yatim,
dan suka menolong orang lain.
 Dalam meraih haji mabrur memang tidak semudah membalik telapak tangan, tetapi
membutuhkan kesungguhan dan usaha keras.
Imbalan haji mabrur tentu tidak sebanding dengan apa pun di dunia ini, yakni sebuah
kebahagiaan abadi di Surga.
Kiat Meraih Haji Mabrur
1. Luruskan niat sebelum berangkat haji dan perbaharuilah niat selama dalam perjalanan.
Pergi haji harus dengan niat karena Allah SWT, bukan karena hal lain.
2. Pendanaan haji dan bekal dalam perjalanan harus halal. Artinya, dana tersebut diperoleh
dengan cara yang halal.
3. Adanya komitmen yang kuat di dalam hati untuk selalu taat dan patuh kepada Allah
dimana pun berada, baik ketika berada di Tanah Suci atau setelah pulang ke Tanah Air.
4. Menyelesaikan manasik haji dengan benar dan sempurna.
[H.M.ABDURACHMAN ROCHIMI,LC, SEGALA HAL TENTANG HAJI DAN
UMRAH, (PENERBIT ERLANGGA), HAL 24-25]

D. HIKMAH HAJI DALAM BERBAGAI ASPEK


1. Untuk saling mengenal dan tukar-menukar informasi dan pengalaman di antara umat
Islam sedunia yang berguna untuk meningkatkan kesejahteraan umat, baik dalam bidang
agama/spiritual, mau pun dalam bidang material.
2. Untuk menggalang persatuan umat dan dan kerja sama antar negara Islam yang saling
menguntungkan dalam berbagai bidang. Misalnya: ekonomi, pendidikan, penelitian,
kebudayaan, politik, keamanan dan pertahanan.
3. Untuk mendidik disiplin, persamaan derajat, ketahanan mental, dalam menjalankan tugas
kewajiban bagaimana pun beratnya (seperti ibadah haji), bersikap kasih sayang terhadap
sesama manusia, terutama kepada orang-orang yang lemah/miskin, rendah hati, gotong-
royong, dan ikhlas beramal.
4. Untuk mendapat keridhaan dan pengampunan dari Allah, karena telah menjalankan
perintah-Nya dan telah menunaikan ibadah haji itu.

[DRS.MASJFUK ZUHDI, STUDI ISLAM JILID II : IBADAH, (JAKARTA:


RAJAWALI, 1988), CET.1, HAL. 69]
Hikmah Haji bagi Umat Islam
Beberapa hikmah haji yang dapat kita catat adalah :
1. Solidaritas sesama umat Islam sedunia.
2. Persamaan dan perwujudan yang sama dan sebanding.
3. Jaringan ekonomi, budaya, pendidikan, sosial, pertahanan, keamanan, dan politik.
4. Revaluasi doktrin Islam secara berkelanjutan, dll.

Islam telah membuat beberapa aturan guna menguatkan rasa persatuan dan menanamkan
semangat suka bekerja sama untuk kepentingan bersama. Di antaranya adalah dengan
menyuruh shalat berjamaah, shalat jumat seminggu sekali, dan shalat hari raya dua kali
setahun. Semua itu untuk menguatkan rasa persatuan antara beberapa golongan yang
berdekatan.
Dalam Al-Qur’an Allah SWT berfirman :
Artinya : “Dan serulah manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang
kepadamu dengan berjalan kaki, atau mengendarai setiap unta yang kurus, mereka datang
dari segenap penjuru yang jauh” (Q.S Al-Hajj : 27)
[M.YUDHIE HARYONO,DKK, HAJI MISTIK SEPERTINYA TIADA HAJI MABRUR
DI INDONESIA, (BEKASI: INTIMEDIA DAN NALAR 2002), HAL. 132-134]

E. MAKNA SPIRITUAL HAJI BAGI KEHIDUPAN SOSIAL

Ketika melaksanakan ibadah haji, seseorang mestinya menyadari bahwa haji merupakan
sebuah panggilan untuk merendahkan hati di hadapan Allah. Penghambaan kepada Allah,
menolah penghambaan kepada selain-Nya, jelas termanifestasikan dalam ritual-ritual Haji.
Bagaimana ibadah ini dikombinasikan dengan shalat-shalat dan doa-doa, membuatnya
menjadi ibadah yang mensyaratkan penghambaan kepada Allah dalam bentuknya yang paling
utama.

Haji adalah bentuk kerendahan hati di hadapan Allah Yang Maha Kuasa. Haji merupakan
bentuk penelusuran dan ekspresi terhadap tanda-tanda Allah dalam bentuknya yang paling
dalam. Haji adalah ibadah yang beragam manusia dari jenis yang berbeda datang bersama-
sama untuk menyatakan pengabdian, penghambaan dan kerendahan hati dihadapan Allah.
Kesucian, kebebasan dari nafsu, keterpisahan dari materi secara penuh dapat disaksikan di
sana.

Mengunjungi rumah Allah (Ka’bah) dengan mengenakan dua helai pakaian sederhana,
menunjukkan kemerdekaan mereka dari objek-objek material dan berusaha untuk melupakan
segala sesuatu bahkan anak-anak, keluarga, dan tanah air mereka. Dan satu-satunya hal yang
terlintas dalam pikiran mereka adalah perkataan “ya” untuk menyambut proklamasi Allah.
Inilah mengapa haji dipandang sebagai salah satu bentuk terpenting dari penghambaan dan
bimbingan spiritual. Lebih lanjut, sebuah pertanyaan muncul, apakah haji memiliki aspek
politik dan sosial, ataukah ia hanya dapat direduksi dalam penghambaan kepada Allah,
seperti halnya shalat di waktu malam, tidak memiliki hubungan apapun dengan persoalan-
persoalan Islam yang telah berhubungan dengan sesama Muslim?

Dengan kata lain, apakah Haji dimaksudkan Allah semata-mata sebagai penghambaan
kepada-Nya oleh seluruh Muslim, tua dan muda, dan tidak ada aspek politik dan sosial yang
dapat disematkan ke dalam ibadah ini? Atau apakah ajaran ini titik temu antara aspek
penghambaan dan politik; sebuah pusat bersatunya bentuk penghambaan dengan aspek-aspek
ekonomi dan sosial? Al Quran, hadis dan sunah-sunah para pendahulu yang saleh ternyata
membenarkan pandangan yang kedua.
UMROH
A. HAKEKAT UMROH

1. Pengertian Umroh
            Umroh secara bahasa berasal dari kata i’timar yang berarti ‘ziarah’ atau ‘berkunjung’.
Umroh di sini adalah menziarahi Ka’bah, thawaf di sekelilingnya, sa’i antara Shafa dan
Marwah, serta bercukur atau bergunting rambut. Atau dengan kata lain datang
ke Baitullah  untuk melaksanakan umroh dengan syarat-syarat yang telah ditentukan.
            Dengan demikian, dalam definisi ibadah umroh ada 4 unsur penting. Yaitu
berpergian, baitullah, rukun umroh (serangkaian ibadah umroh), dan syarat umroh.
(Rachimi, M. Abdurachman. Segala Hal Tentang Haji dan Umroh. Jakarta: Erlangga.
2012, Hal: 26)

B. HUKUM UMROH
Ada dua pendapat tentang hukum umroh, yaitu :
1. Hukum umroh wajib/fardhu
Ulama yang mewajibkan hukum umroh adalah imam Syafi’I dan imam Hambali. Adapun
dalil-dalil yang dijadikan dasarnya adalah :

            Artinya : “Dan sempurnakanlah ibadah haji dan umroh karena Allah” (Qs. Al-
Baqaroh;169)
Bersandar kepada dalil tersebut imam Syafi’i dan Hambali berpendapat bahwa kedudukan
umroh itu bersifat wajib dan minimal dilakukan seumur hidup sekali bbagi yang mampu.
Rujukan fardhunya tersebut terdapat disurat Al-Baqaroh yang disebutkan diatas yang
menegaskan tentang “sempunakanlah” itulah yang menjelaskan pendapat bahwa umroh
mempunyai hukum fardhu ‘ain.
2. Hukum Umroh Sunnah
Imam Maliki dan Imam Hanafi berpendapat bahwa ibadah umroh hukumnya sunnah. Karena
yang dimaksud ‘ammar dalam ayat(Al-baqaroh;196) tersebut adalah untuk sunnah mu’akkad
(sunah yang dipentinngkan).
(Sayyid Sabiq juz 1, Fiqh al-Sunnah, (Beirut; Dar al-Fikr, 2008), hal: 436)
 Syarat Wajib, Rukun, Wajib dan Sunnah Umroh
1) Syarat Wajib Umroh
Syarat-syarat wajib umroh sama seperti syarat-syarat haji, yaitu :
a. Islam : Bagi orang yang bukan beragama Islam tidak wajib umroh atau tidak sah.
b. BerakaL: Tidak wajib umroh atas orang gila dan orang bodoh.
c. Baligh: Tidak wajib umroh atas anak-anak, dan diwajibkan sampai umur 15 tahun
atau balig dengan tanda-tanda lain.
d. Kuasa/Mampu: Tidak wajib umroh atas orang yang tidak mampu.

2) Rukun Umroh
Rukun umroh ada lima, yaitu :
a) Ihram serta berniat: Berniat memulai mengerjakan umrah.

b) Tawaf (berkeliling) ka’bah


Syarat thawaf
Dari Jabir “bahwasannya Nabi besar SAW ketika sampai di Mekkah, telah mendekat
ke hajar aswad, kemudian beliau sapu hajar aswad itu dengan tangan beliau, kemudia
beliau berjalan ke sebelah kanan beliau; berjalan cepat tiga kali berkeliling dan berjalan
biasa empat kali berkeliling” Riwayat Muslim dan Nasai
Disimpulkan bahwa syarat thawaf ialah :
 Tertutup aurat
 Suci dari hadas dan najis
 Ka’bah hendaknya disebelah kiri orang yang thowaf
 Hendaknya thowaf dimulai dari hajar aswad
 Hendaknya thowaf dikerjakan sebanyak tujuh kali
 Thowaf hendaknya di dalam masjid, karena Rasulullah SAW melakukan thowaf
dalam masjid.

c) Sa’i : Ialah berlari-lari kecil di antara dua bukit Shafa dan Marwah
Syarat Sa’i :
 Dimulai dari bukit Shofa dan disudahi di bukit Marwah.
 Dilakukan tujuh kali.
 Dilakukan sesudah thowaf.

d) Bercukur atau bergunting : Sekurang-kurangnya tiga helai rambut


e)  Tertib : Melaksanakan rukun-rukun yang empat diatas dengan tertib.
3) Wajib Umroh
a. Ihram dari miqot-nya : Tempat yang ditentukan dan masa tertentu.
b. Thawaf wada’ : Thawaf sewaktu akan meninggalkan Mekkah
(Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Bandung; Sinar Baru Algensindo,2013) hal 252)
4) Sunnah Umroh

1. Membaca Talbiyah : Membaca dengan suara yang keras bagi laki-laki, terkecuali
perempuan, hendaklah diucapkan sekedar terdengar oleh telinganya sendiri.
Lafal Talbiyah :

“labbaikallahumma labbaika, labbaikala syarika laka labbaika, innal hamda wan ni`mata
laka wal mulka la syarika laka”.
2. Membaca do’a setelah membaca talbiyah
Berdo’a meminta keridaan Allah, dan supaya diberi surga dan minta perlindungan kepada-
Nya dari siksa api neraka.
3. Membaca dzikir sewaktu thowaf
Dari Abdullah bin Said, katanya : Saya dan Rasulullah SAW berkata di antara pojok kanan
ka’bah.
4. Shalat sunnah dua rakaat setelah thawaf

 Macam Umroh

 Ifrad : adalah menunaikan ibadah haji dengan cara mendahulukan haji dari pada
umroh. Dalam hal ini seseorang mengerjakan haji sendiri dengan berihram di
miqatnya dan mengerjakan umroh sendiri pula.
 Qiran : adalah mengerjakan ibadah haji dan umroh dahulu, kemudian sebelum
bertawaf memasukan haji kedalam umroh itu.
 Tamattu’ : adalah melaksanakan ibadah haji dengan mendahulukan umroh daripada
haji. Artinya, setelah selesai umroh barulah mengerjakan haji

 Tata Cara Umroh

 Menuju tempat miqat (tempat mulai niat umroh dan berpakaian ihram) di Bir Ali.
Boleh juga sejak di Madinah mulai memakai pakaian ihrom, tetapi niatnya tetap
dimulai di Bir Ali. Setelah berganti pakaian, shalat sunnah ihram 2 rakaat.
 Sejak memakai pakaian ihrom, tidak boleh menggunakan wangi-wangian, mandi
memakai sabun, sikat gigi pakai odol, memakai peci atau pakaian lain, dan
berhubungan suami isteri.
 Sepanjang perjalanan menuju ke Makkah, membaca kalimat talbiyah sebanyak-
banyaknya
 Sesampai di Masjidil Haram, tawaf mengelilingi Ka'bah sebanyak 7 kali.
 Putaran 1-3 berlari-lari kecil.
 Putaran 4-7 berjalan kecil.
 Tempat awal mulai tawaf : garis lurus (tapi garisnya tidak ada) antara pintu
Ka'bah dan tanda lampu yang di pasang di sisi masjid.
 Pada batas ini, sambil melihat ke Ka'bah, kita melambaikan tangan 3 kali sambil
mengucapkan : "Bismillah, Allahu Akbar".
 Sepanjang tawaf membaca do'a. Untuk mudahnya bisa membaca do'a
 Shalat 2 rakaat di depan makam Ibrahim.
 Minum air zam-zam. Sebelumnya berdoa terlebih dahulu.
 Sa'i antara Shofa dan Marwa, 7 kali bolak balik.
 Cara menghitungnya : dari Shofa ke Marwa 1, Marwa ke Shofa 2, dan seterusnya,
berakhir di Marwa.
 Sa’i dilakukan dengan berjalan, tapi pada batas antara 2 lampu, berlari-lari kecil.
 Cukur rambut.
 Boleh cukur sebagian.
 Lebih afdhol, cukur semua. (Biasanya, saat sampai di Marwa pada putaran
terakhir, cukur sebagian dulu tanda selesai umroh. Pada saat keluar masjid,
ketemu tukang cukur, baru cukur semua).
(Abdul Aziz Muhammad Azzam & Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fiqh
Ibadah. (Jakarta; Amzah, 2010), hal. 604)

Anda mungkin juga menyukai