PKI merupakan partai yang telah berdiri sebelum proklamasi tepatnya pada tahun 1914,
tetapi sempat dibekukan oleh pemerintah Hindia Belanda karena memberontak pada
tahun 1926. Setelah era kemerdekaan PKI kembali aktif dan sangat mendukung
pemerintah karena masih menjadi bagian dari golongan kiri yang memegang kekuasaan.
Setelah golongan kiri tidak mempunyai kuasa atas pemerintahan, maka PKI mengubah
haluan politiknya menjadi pihak oposisi. Saat itu, tampuk kekuasaan PKI dikendalikan
oleh Musso yang kemudian membawa partai tersebut dalam pemberontakan bersenjata
di Madiun pada 18 September 1948.
Adanya pergolakan ini disebabkan oleh tujuan ideologis PKI yang menginginkan
Indonesia menjadi Negara komunis. Pemberontakan PKI ini cukup sukses karena mampu
menggaet partai dari golongan kiri, selain itu berhasil menambah pasukan bersenjatanya
karena menjadi provokator demonstrasi buruh dan petani terhadap pemerintah.
2. Pemberontakan DI/TII
Konflik ini bermula dari keputusan Renville yang mengharuskan pasukan tentara RI
berpindah dari daerah yang diklaim sebagai milik Belanda. Divisi Siliwangi yang harusnya
pindah dari Jawa Barat ke Jawa Tengah menolak pindah dan memilih untuk membentuk
Tentara Islam Indonesia (TII) dan bertujuan untuk peran melawan Belanda tetapi akhirnya
berambisi untuk menjadikan Indonesia menjadi Negara Islam.
Pada Agustus 1948 di Jawa Barat, Karosuwiryo menyatakan pembentukan Darus Islam
(Negara Islam/DI) bersama dengan TII dan menolak mengakui adanya RI. Demi menjaga
keutuhan bangsa maka pemerintah melakukan operasi “pagar betis” untuk membatasi
ruang gerak DI/TII. Pada tahun 1962 Kartosuwiryo berhasil ditangkap dan dijatuhi
hukuman mati.
Gerakan ini merupakan biang dari aksi kudeta yang dilakukan oleh PKI. Terlepas dari
pemberontakan yang dilakukan di Madiun, PKI kembali membangun diri dan terus
berkembang sebagai sebuah partai oposisi di tengah masyarakat. Bahkan PKI menjadi
dekat dengan Presiden Soekarno setelah dirangkul untuk menghindari konflik dengan
tentara.
Peristiwa G30S/PKI dilatarbelakangi adanya isu Dewan Jenderal ditubuh angkatan darat
yang akan menggulingkan pemerintahan Soekarno. Hingga akhirnya pasukan
pemberontakan PKI yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Untung yang merupakan perwira
angkatan darat yang dekat dengan PKI melaksanakan aksi “Gerakan 30 September”
dengan menculik dan membunuh 7 Jenderal dan perwira kemudian memasukannya
kedalam sumur tua di daerah Lubang Buaya.
Dalam situasu ini, Panglima Komando Strategis Angkatan Darat Mayor Jenderal Soeharto
mengambil alih pimpinan di tubuh angkatan darat dan melaksanakan aksi pemberantasan
dan penumpasan PKI baik di pusat maupun daerah.
1. Pemberontakan APRA
Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) dibentuk oleh Kapten Raymond Westerling pada
tahun 1949. Ini adalah milisi bersenjata yang anggotanya terutama berasal dari tentara
Belanda: KNIL, yang tidak setuju dengan pembentukan Angkatan Perang Republik
Indonesia Serikat (APRIS) di Jawa Barat, yang saat itu masih berbentuk negara bagian
Pasundan. Basis pasukan APRIS di Jawa Barat adalah Divisi Siliwangi dalam Konflik Dan
Pergolakan Yang Berkait Dengan Kepentingan. APRA ingin agar keberadaan negara
Pasundan dipertahankan sekaligus menjadikan mereka sebagai tentara negara federal di
Jawa Barat. Karena itu, pada Januari 1950 Westerling mengultimatum pemerintah RIS.
Ultimatum ini segera dijawab Perdana Menteri Hatta dengan memerintahkan
penangkapan terhadap Westerling.
2. Peristiwa Andi Aziz
Seperti halnya pemberontakan APRA di Bandung, peristiwa Andi Aziz berawal dari
tuntutan Kapten Andi Aziz dan pasukannya yang berasal dari KNIL (pasukan Belanda di
Indonesia) terhadap pemerintah Indonesia agar hanya mereka yang dijadikan pasukan
APRIS di Negara Indonesia Timur (NIT) dalam Konflik Dan Pergolakan Yang Berkait
Dengan Kepentingan. Ketika akhirnya tentara Indonesia benar-benar didatangkan ke
Sulawesi Selatan dengan tujuan memelihara keamanan, hal ini menyulut ketidakpuasan di
kalangan pasukan Andi Aziz. Ada kekhawatiran dari kalangan tentara KNIL bahwa
mereka akan diperlakukan secara diskriminatif oleh pimpinan APRIS/TNI.
Dewan Banteng di Sumatera Barat yang dipimpin oleh Letkol Ahmad Husein
Dewan Gajah di Sumatera Utara yang dipimpin oleh Kolonel Maludin Simbolon
Dewan Garuda di Sumatera Selatan yang dipimpin oleh Letkol Barlian
Dewan Manguni di Sulawesi Utara yang dipimpin oleh Kolonel Ventje Sumual
BFO Negara Federal maupun BFO prinsipnya sama, yakni suatu negara yang secara
resmi merdeka dan diakui kedaulatannya namun secara de-facto berada di bawah kontrol
negara lainnya. Konsep negara federal atau dikenal juga dengan “persekutuan” Negara
Bagian Bijeenkomst Federal Overleg (BFO) menimbulkan perpecahan di Indonesia
setelah kemerdekaan.
Perpecahan ini terjadi antara pihak federalis yang mendukung adanya negara
persekutuan dengan pihak unitaris yang lebih condong ke dalam negara berbentuk
kesatuan. Setelah terjadinya Konfrensi Meja Bundar (KMB), konflik antara pihak federalis
dan unitaris semakin memanas dan mengarah dalam pertikaian senjata. Hal ini ditandai
dengan adanya aksi bersitegang antara Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat
(APRIS) yang menjadi bagian dari TNI dengan KNIL yang saat itu menjadi bekas musuh
TNI.
Pada akhirnya perpecahan yang terjadi ini menjadi pemersatu bangsa karena negara
bagian yang ingin keluar setelah konferensi Meja Bundar (KMB) ditentang oleh rakyatnya
sendiri dan didesak untuk bergabung ke RI.