Resume
Resume
Religiositas kontemporer di Kotagede tampak tak lain dari sebuah kelembaman sebuah
agama bersejarah atau transisinya menuju sekulerisasi yang lebih komplit. Isi berbagai
komunikasi agama (atau komunikasi dakwah) setempat terdengar hanya sekedar memuat
berbagai kutipan ungkapan apologistik yang diulang-ulang dan distereotipkan dalam
kekhidmatan dan formalitas semu yang sarat gertakan. Namun di akhir penelitian lapangan
Mitsuo Nakamura, beliau mengungkapkan bahwa sebenarnya komunikasi agama setempat
sangatlah kaya, jelas, dna langsung ke pokok permasalahannya dengan di barengi dengan
idiom-idion kultural dan ungkapan agama di dalamnya. Benedict Anderson pernah
membandingkan antara cara berbahasa yang sering di diterapkan oleh masyarakat jawa
pada umumnya, yang berupa ragam formal, tidak langsung (krama), ngoko dan pentingnya
mempelajari ragam tersebut untuk komunikasi politik. Dan Mitsuo Nakamura juga
melakukan pendekatan etnografi dengan ragam komunikasi ngoko, dan beliau membai
kedalam empat bagian :
Ke-empat subbab tersebut akan membahas dan mengupas bahwasannya Islam reformis
adalah sebuah transformasi dari Islam tradisional dengan membahas hubungan antara dua
sisi dari pasangan-pasangan di atas.
Filosofi “Gado-Gado” tersebut sesuai dengan kutipan khotbah yang disampaikan oleh
seorang tokoh Muhammadiyah yang saat itu sebagai Khotib menyampaikan Khutbahnya
pada sidang sholat Jum’at di Masjid Agung Kota Gede.
“............Namun, memang benar bahwa terkadang mereka hanya terasa samar-samar saja
dan hanya sering kali hanya tinggal namanya saja sehingga amal perbuatan umat (Muslim)
muncul dalam bentuk gado-gado. (Seperti gado-gado) ada beberapa bahan yang matang,
namun beberapa diantaranya hanya setengah matang, dan sisanya masih
mentah....................................”. Sehingga diharapkan jika kita menganggap Rasulullah
sebagai suri tauladan yang paling benar maka sejatinya kita juga harus mengikutinya secara
mutlak.
Oleh karena itu, perlunya kesatuan umat Islam untuk melawan Islam gado-gado
tersebut, sesuai yang tertuang dalam Al-Qur’an :
Hai Nabi, kobarkanlah semangat para mukmin itu untuk berperang. Jika ada dua
puluh orang yang sabar diantara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan dua ratus orang
musuh. Dan, jika ada seratus orang yang sabar diantara kamu, mereka dapat mengalahkan
seribu daripada orang-orang kafir, disebabkan orang-orang kafir itu kaum yang tidak
mengerti (Q.S. Al-Anfaal [8]:65).
Tetapi ada sebagian kalangan reformis yang lebih mengerti masalah agama Islam terkesan
memandang rendah atau merendahkan kalangan yang belum mengerti. Diluar itu, Mitsuo
Nakamura mempelajari lebih dalam mengenai Islam reformis dari seorang aktivis
Muhammadiyah. Sebut saja Pak Ja’far, yang lahir pada 1992 di salah satu kampung tertua
di Kotagede. Beliau merupakan aktivis Muhammadiyah murni karena sejak duduk di
bangku Sekolah Dasar sampai Sekolah Menengah yang langsung dinaungi oleh
Muhammadiyah.
Kembali pada bahasan khotbah sebelumnya, sekali menjadi insyaf (sadar), orang
tidak bisa berpuas hati dengan status quo, namun sebaliknya ia harus berupaya mengubah
situasi gado-gado yang ada. Sejarah hidup Pak ja’far memuat teladan sosial bagaimana
seorang Muslim Jawa berjuang mengubah dirinya dari Muslim Gado-gado menjadi seorang
Muslim Sejati (Muslim yang sebenar-benarnya). Dan beliau yang lahir di keluarga priayi
rendahan juga belajar dari ayahnya mengenai tata cara,atau cara hidup Jawa yang tepat,
termasuk sastra tradisional Jawa, sopan santun, dan kesusilaan, serta estetika dan latihan
fisik, sehingga beliau agak sensitif mengenai tata cara tersebut. Sebab beliau cucu dari
seorang bekel yang bergelar raden, kemudian pamannya seorang lurah di desa baru, dan
ayahnya seorang guru yang juga boleh bergelar raden, jadi jangan heran jika beliau sangat
sensitif mengenai tata cara Jawa.
Sehingga suatu ketika Mitsuo Nakamura mendapatkan sebuah surat dari Pak Ja’far
yang isinya mengkritik kesalahan Mitsuo Nakamura setelah beliau membagikan makanan
berkat kepada tetangga dan kenalannya di Kotagede saat merayakan kelahiran putranya
yang lahir di Yogyakarta. Yang dalam suratnya mengemukakan bahwa di Kotageda ada
tiga golongan masyarakat, dari yang hanya mengikuti ajaran Islam, ada yang menjalankan
tata cara Jawa dan ada pula yang berada di antara keduanya. Dan beliau juga pernah
mengkritik kesalahan Mitsuo Nakamura tentang sebuah esai yang beliau sumbangkan pada
sebuah publikasi Muhammadiyah (Nakamura, 1971). Dari sejarah hidup Pak ja’far kita
tahu bahwa beliau beralih dari situasi gado-gado menjadi Islam sejati. Dan arogansi yang
tampak pada Pak ja’far maupun aktivis Muslim Reformis bahwa mereka meyakini bahwa
mereka lebih paham dari masyarakat lainnya. Seorang yang tahu bahwa ia masih gado-gado
maka ia sendirilah yang bertanggung jawab atas dan mampu membersihkan jiwanya sesuai
kutipan Al-Qur’an (Q.S.Ar-Ra’d {13}:11. Sehingga jika ingin menjadi Islam sejati, maka
hiduplah sesuai perintah Tuhan dan berperilakulah seperti apa yang telah dicontohkan oleh
Rasulullah, srta meninggalkan Islam yang setengah-setengah. Dan dalam istilah Jawa yaitu
dados tiyang Islam ingkang sa-estu-estu-nipun, yang artinya jadilah orang islam yang
sebenar-benarnya.
Dan semua cara hidup kita harus sesuai dengan cara muslim sejati yaitu dengan
menjalankan apa yang telah diwajibkan kepada kita, baik dalam bekerja, ketiaka menikah,
cara mengurus rumah tangga dll.. Beliau juga menuturkan, jangan sampai menjadi muslim
tetapi masih berperilaku seperti orang kafir. Sebab segala perbuatan kita di dunia kan ada
pertanggungjawabannya. Sehingga untuk menjadi seorang Muslim yang sempurna kita
harus mengimani dan melaksanakan apa yang disebut dengan Rukun Iman dan Rukun
Islam. Lalu kita harus dapat menguasai hawa nafsu dan hidup rukun dengan sesama
makhluk serta menyempurnakan akhlaknya dalam segala aspek kehidupan. Dan beliau juga
menyampaikan kewajiban politik seorang muslim sejati yaitu dengan memilih atau
mendukung golongan yang berad di jalan Allah. Dan beliau di sini menggunakan Bahasa
Jawa krama, yang mengindikasikan kesopanan, keformalan antara dirinya dengan audiens.
Lahir vs Batin
Pak Asy’ari menjelaskan bahwa rukun iman dan rukun Islam diekspresikan dalam
dua cara, lahir dan batin. Secara batiniah, seorang percaya kepada tuhan dan sifat-sifatnya
serta tindakan-tindakannya. Secara lahiriah, seseorang menjalankan berbagai ritual yang
diperintahkan Tuhan dan dicontohkan oleh Rasulullah. Dan konsep lahir dan batin itu
banyak sekali digunakan dalam berbagai macam kesempatan, sebagai contoh saat perayaan
Idul Fitri. Namun, adalah hal menarik untuk menunjukkan konsp yang sama, lahir dan
batin, bisa digunakan dalam berbagai cara oleh individu-individu dengan orientasi religio-
politik yang berbeda. Seperti apa yang telah disampaikan oleh Pak Mantri Anom (wakil
kepala) Kemantren Kotagede, beliau menuturkan bahwa “........Prinsip kami adalah
membela kepentingan rakyat dalam situasi apapun.................Batinnya, kami terus-menerus
konsisten. Kami setia kepada peranan kami:yakni untuk momong (mengasuh) rakyat.
Lahirnya, kami berubah warna; sebelumnya PNI. Kini Golkar, misalnya. Namun prinsip
kami tetap sama.” Dan situasi yang sama dipandang dengan berbeda oleh seorang santri
dalam kacamata lahir dan batin yang sama. Berbicara perihal taktik yang digunakan oleh
Golkar dalam kampanye Pemilu, tindakan yang paling berdosa ialah memaksa masyarakat
lewat tekanan-tekanan sosial. Jika seorang yakin sebagai komunis itu bukan maslah. Jika
seorang yakin sebagai marhaenis (ideologi PNI), juga tidak masalah. Akan tetapi tekanan
ekonomi seperti monoloyo (prinsip monoloyalitas yang dipaksakan Golkar kepada semua
pegawai pemerintahan) adalah sesuatu yang salah. Ketidaksesuaian antara lahir dan batin
akan menggiring pada hancurnya akhlak. Monoloyo mendorong tersebarluasnya
kemunafikan,(Pak Ja’far).
Bagi seorang muslim sejati, ketidaksesuain antara lahir dan batin pada diri
seseorang merupakan sesuatu yang paling buruk. Berlawanan dengan priayi abangan pada
batin dan kegigihannya dalam mempertahankannya, Muslim reformis tampaknya
menganggap lahir, atau lebih tepatnya eksternalisasi batin sejati seseorang jauh lebih
penting. Kategorisasi diri menjadi lahir dan batin juga dipakai Muhammadiyah untuk
mendorong perwujudan nyata amal di sisi lahir di dunia ini guna memperoleh pahala di
akhirat.
Kasar vs Halus
Ideologi Muhammadiyah diekspresikan dalam Bahasa Jawa melalui struktur
linguistik dan idiom-idiom kultural. Namun, sebagaimana sudah kita lihat, ada sejumlah
perubahan halus dalam makna dan pergeseran penekanan untuk mengadopsi ide-ide kaum
reformis. Dari sini, konsep sasrawungan ingkang sae sebagai cara yang diperintahkan
tuhan dalam hubungan interpersonal di dunia ini menduduki posisi sentral dalam ideologi
Muhammadiyah.Dalam sebuah pidato yang disampaikan oleh Bapak A.R. Fakhruddin pada
acara syawalan di Muhammadiyah cabang Kotagede pada November 1971(1391 H). Beliau
merupakan ketua umum kesembilan dan ketua umum pimpinan pusat Muhammadiyah saat
ini, berasal dari keluarga ulama (alim)di Kulon Progo, Yogyakarta. Sama seperti saat Pak
Asy’ari yang menekankan tata krama hubungan sosial, Pak A.R. amat mengindahkan
signifikasi cara berhubungan sosial yang harmonisndan menekankan bahwa pemenuhan
rukun Islam saja tidaklah cukup, yang penting adalah memperbaiki karakter(akhlaq, budi
pekerti) seseorang sehingga bisa menjadi Muslim yang lebih sempurna. Pidato beliau
menjelaskan bahwa Muhammadiyah dan masyarakat Jawa lainnya sama-sama
mengindahkan etika dasar Jawa tentang hubungan sosial yang harmonis. Etika merupakan
perintah Tuhan kepada manusia. Hubungan sosial yang harmonis memiliki sebuah nilai,
lantaran itu adalah perintah yang harus dilaksanakan, dan mengikuti perintahnya berarti
mengabdi kepadanya.
Hawa nafsu yang tidak dikendalikan akan membuat manusia tersesat dari jalan yang
ditentukan Tuhan. Akan tetapi, hawa nafsu merupakan unsur yang diberiakn Tuhan dalam
sifat manusia, dan manusia tidak dapat memberantasnya sepenuhnya.Dan berlebih-lebihan
merupakan hasil perbuatan nafsu yang tidak dibatasi. Dalam rangka menggambarkan lebih
jaun ide-ide Muhammadiyah menyangkut hawa nafsu,mungkin di sini perlu secara singkat
dijleaskan tentang ketoprak, sandiwara rakyat yang dianggap oleh Muhammadiyah sebagai
ekspresi dari hawa nafsu yang tak dibatasi dan ketoprak sendiri merupakan sandiwara khas
Jawa Tengah selatan. Wayang kulit dan ketoprak sangatlah berbeda, wayang pada dasarnya
merupakan seni hiburan halus, baik bagi priayi (aristokrat) maupun wong cilik (orang biasa.
Sebaliknya, ketoprak merupakan sebuah hiburan dari, untuk, dan oleh wong cilik. Dan
tidak pernah merambah ke keraton, ataupun lingkungan istana.
Dunia ketoprak adalah dunia yang penuh keliaran dan kekacauan, dunia edan-
edanan (‘kebodohan dan kegilaan’), menggunakan ungkapan Jawa yang lazim dan
sebagian ceritanya diambil dari sejarah maupun dari versi-versi rakyat. Dalam pertunjukan
sendiri terdapat banyak sekali pelanggaran dengan norma agama, seperti ungkapan kotor,
umpatan, kontak fisik dengan lawan jenis dengan sedikit liar oleh pelakon maupun
penonton. Dan konon, para anggota kelompok ketoprak acap terlibat dalam hubungan seks
bebas, baik heteroseksual dan homoseksual, menggunakan narkotika dan alkohol produksi
lokal. Berbeda dengan pertunjukan wayang semalam suntuk yang pada akhir
pertunjukannya diiringi oleh cahaya redup matahari pagi dan udara segar yang dingin,
penonton merasakan kelegaan emosional dan katarsis. Namun, pada pertunjukan ketoprak
(biasanya berakhir tengah malam), setelah berjam-jam dengan emosi yang naik turun,
berteriak dengan suara paling keras dan tertawa ringan gembira, orang merasakan keletihan
fisik tetapi kegemparan emosi belum diredam.
Kebangkitan ketoprak baru-baru ini (setelah kematian PKI dan Lekra, organisasi budaya
PKI) dengan kedatangan Pemilu 1971 dengan dorongan otoritas pemerintah diterima oleh
para aktivis Muhammadiyah dengan kecemasan. Pasalnya, sesepuh Muhammadiyah
menuturkan bahwa selama pertunjukan ketoprak yang berlangsung maraton selama empat
minggu baru-baru ini - yang tujuannya disamarkan sebagai pengumpulan dana untuk
asosiasi petani muda – pencurian kecil-kecilan marak terjadi di lingkungan di sekitar
gedung pertunjukan ketoprak (ini di konfirmasi oleh relasi-relasi sosial polisi). Mitsuo
Nakamura kemudian kepada Pak marto (seorang aktivis sepuh Muhammadiyah yang
mengalami benturan bersejarah dengan PKI pada 1924). Pak Marto menuturkan bahwa PKI
memperoleh banyak pendukung di Kotagede dikarenakan orang PKI pintar menipu, mereka
menjanjikan jika mereka berkuasa masyarakat akan mendapatkan apa yang mereka
inginkan. PKI tidak menyerang agam Islam secara langsung, tetapi hanya berkata
“.....Kalau perutnya kosong, apa gunanya sholat?........” janji-janji kosong hanya akan
membuat masyarakat jadi malas dan melepaskan hawa nafsu. Ekspresi-ekspresi hawa nafsu
secara bebas yang dianjurkan PKI akan melahirkan anarki, tirani, dan tindakan dosa yang
tersesat dari perintah Tuhan:Muhammadiyah berpendapat seperti ini dan secara moral
mengambil posisi yang bersebrangan terhadap PKI sekaligus kelompok apapun yang
mereka anggap mendorong dilepasnya hawa nafsu.
Ikhlas vs Pamrih
Konsep ikhlas sebenarnya juga bukanlah monopoli Muhammadiyah. Konsep itu,
sekali lagi merupakan konsep nilai yang amat jamak dikemal ileh orang Jawa. Ikhlas sediri
menurut Gerrtz yaitu “ melepaskan diri dari hal-hal yang mungkin bersifat lahiriah agar
tidak terganggu ketika situasinya serba salah di sana, sekiranya sesuatu yang tidak terduga
terjadi”. Mungkin bias psiko-filosofis ini berhubungan dengan kealpaan Geertz untuk
menyebutkan sebuah surat pendek dalam Al-Qur’an yang bejudul “Al-Ikhlas” (QS. Al-
Ikhlas [112]:1-4). Dan contoh inti dari konsep ala Muhammadiyah tampaknya menunjuk
pada tindakan Nabi Ibrahim yang diperintahkan Tuhan untuk mengobankan Nabi Ismail,
putra tercintanya. Tema pengorbanan ini diungkapkan dengan paling jelas pada hari Raya
Idul Adha (Idul Qurban). Dan berikut sebagian kutipan Khotbah Pak Ja’far dalam sholat
Jum’at yang dilaksanakan beberapa hari sebelum hari raya Idul Adha pada Apri 1965
(Dzulhijjah 1384 H):
Pak Ja’far kemudian memandang sejarah Indonesia modern dari sudut pandang
yang sama, dan menyatakan bahwa dalam sejarah Indonesia – baik sebelum dan sesudah
kemerdekaan – kamum muslimin mengorbankan diri mereka sendiri demi kemenangan
Islam dan negara Indonesia. Lalu ia mengutip Al-Qur’an :
Pak Ja’far kemudian bertanya kepada hadirin : “Sudahkah kita percaya kepada
Allah tanpa keraguan, dengan terus terang tanpa inkonsistensi? Sudahkah kita benar-benar
berjihad guna kepentingan Islam”. Konsep ikhlas dalam ideologi Muhammadiyah
degeneralisasikan untuk bermakna positif, kerelaan meninggalkan urusan duniawi dalam
bentuk tindakan yang konkret. Kita harus melihat bahwa keagamaan merupakan hal yang
sangat esensial, sine qua non dalam gerakan Muhammadiyah, dan sosial serta pendidikan
merupakan ekspresi perwujudan dari kesadaran keagamaan Muhammadiyah, dan secara
tepat dipahami hanya ketika dijelaskan berdasrkan istilah itu. Dalam sebuah pidato
kampanye politik Pak Asy’ari mengajak untuk melupakan segala intimidasi yang dialami
saat pemilu, pilihlah partai Allah. Ikhlas. Karena keikhlasan sejatinya untuk memenuhi
perintah Allah. Dan Ideologi Muhammadiyah pada dasarnya merupakan sebuah ajaran
etika, sebuah dotrin yang mengatur agar tingkah laku individual berdasarkan Islam. Sosok
Muslim Muhammadiyh yang ideal adalah seseorang yang beriman kepada Tuhan, yang
tidak pernah berhenti belajar dari kitab Suci, yang dengan taat menjalankan rukun Islam,
yang independen dan rela mengambil tanggung jawab bagi tindakanya-tindakannya
sendiri, Yng hidup dengan harta yang sederhana dan menghindari kemewahan yang
berpandangan antitradisionaldan egaliter namun rendah hati, yang bisa dan lebih suka
berbicara dengan bahasa yang sopan dan berperilaku harmonis dengan orang lain, ayng
jujur dan rela membantu orang lain, menilai dan mampu mengendalikan hawa nafsunya dan
menghindari tingkah laku instingtif, dan yang siap sedia mengorbankan dirinya sendiri
demi kepentingan Islam dan umat Islam. Dapat disimpulkan bahwa kepribadian itu memilik
banyak kesamaan dengan konsep tradisional Jawa tentang satrya, atau kesatria. Bagi
anggota Muhammadiyah di Kotagede, yang lahir di dunia Jawa dan berjuang mendekati
apa yang mereka pahami sebagai esensi Islam yang lebih murni di dalam tradisi mereka,
menjadi seorang Jawa yang baik dan menjadi seorang Muslim yang baik merupakan hal
yang sama. Yang juga menarik, dari sudut pandang abangan, seorang santri tipe
Muhammadiyahdipandang sebagai seorang jawa yang ganjil. Bagi seorang abangan, santri
yang taat dan aktif secara sosial serta yang sebenarnya menjalankan kewajiban-kewajiban
Islam – yang menurut abangan itu dibutuhkan teori namun ia sendiri merasa tidak sampai
memiliki – tampak memiliki kekuatan spiritual yang luar biasa (kesekten).