Kajian Arsitektur Kota
Kajian Arsitektur Kota
I. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Perencanaan suatu kota cenderung mempertimbangkan kebutuhan apa yang
dibutuhkan di masa depan dan bersifat berkelanjutan. Menurut Downton (1990)
konsep kota ekologis mempunyai kemiripan dengan konsep kota berkelanjutan,
yang menekankan pentingnya menyeimbangkan antara kepentingan ekonomi,
sosial, dan lingkungan dalam pembangunan kota[1]. Perencanaan kota ekologis
mengacu kepada kebutuhan suatu kota untuk generasi masa kini hingga generasi
berikutnya di masa depan. Konsep kota ekologis ini telah menjadi pilihan dalam
mengatasi berbagai masalah perkotaan yang salah satunya menjadi upaya mitigasi
bencana. Penerapannya pun tidak hanya berlaku bagi kota baru, melainkan berlaku
juga bagi kota lama.
1.4 Manfaat
1. Meningkatkan pengetahuan pembaca akan peran kota ekologis terhadap
mitigasi bencana gempa bumi.
2. Meningkatkan pengetahuan pembaca akan pengaruh kota ekologis terhadap
bencana gempa bumi.
Kota yang berkelanjutan menurut prinsip ini, antara lain adalah kota yang
mampu:
a. Merumuskan visi jangka panjang kota berdasarkan keadilan sosial, ekonomi
dan politik serta ciri khas lokal.
b. Melindungi keanekaragaman hayati dan ekosistem alami.
c. Memberdayakan komunitas agar dapat memperkecil tapak ekologisnya.
d. Memelihara kesehatan dan keberlanjutan kota.
e. Membangun karakteristik khas kota termasuk nilai-nilai kemanusiaan dan
budaya, serta sejarah dan sistem alaminya
f. Meningkatkan konsumsi dan produksi yang mendukung keberlanjutan melalui
penggunaan teknologi dan manajemen berwawasan lingkungan.
g. Melakukan perbaikan secara terus menerus.
III. Pembahasan
Kota ekologis mempunyai konsep yang sama dengan kota berkelanjutan,
dimana keduanya menekankan pentingnya keseimbangan antara ekonomi, sosial,
dan lingkungan dalam pembangunan kota. Untuk mencegah hal yang buruk terjadi
pada warga kota, upaya mitigasi bencana harus direncanakan untuk mengurangi
kerugian akibat terjadinya bencana.
Salah satu contoh kasus diambil dari Gempa Sumatera Barat pada 30
September 2009. Gempa yang mengguncang kota yang ada di Sumatera Barat pada
2009 lalu berkekuatan 7,9 SR dan dengan kedalaman 71 km.
Menurut data gempa kala itu memiliki intensitas VIII MMI, berdasarkan
skala Modified Mercalli Intensity merupakan kerusakan ringan pada bangunan
dengan konstruksi yang kuat. Retak-retak pada bangunan degan konstruksi kurang
baik, dinding dapat lepas dari rangka rumah, cerobong asap pabrik dan monumen-
monumen roboh, air menjadi keruh [3].
Seperti menurut Krisnanto dan Busono (2009), konsep kota ekologis agar
adaptif terhadap bencana, salah satunya struktur bangunan dan sistem infrastruktur
perkotaan harus dikembangkan dengan sistem tahan terhadap gaya lateral atau
gempa bumi dan juga penyediaan ruang-ruang terbuka yang aman dan jauh dari
kemungkinan runtuhnya sebagai tempat berlindung dan tempat penyelamatan
ketika terjadi bencana [1].
V. Daftar Pustaka
[1] Fuady, Mirza. 2019. Ruang Terbuka Hijau Perkotaan Berbasis Mitigasi
Bencana. Banda Aceh : Graha Tria.
[2] Noor, D. 2006. Geologi Lingkungan. Yogyakarta: Graha Ilmu.
[3] BMKG. Skala MMI (Modified Mercalli Intensity). Diakses tanggal 25 Maret
2021. https://www.bmkg.go.id/gempabumi/skala-mmi.bmkg
[4] Hendra, Yose. 2020. Gempa Sumbar 2009, Pengalaman Tanpa Pembelajaran.
Diakses tanggal 25 Maret 2021. https://langgam.id/gempa-sumbar-2009-
pengalaman-tanpa-pembelajaran/