Anda di halaman 1dari 8

PENERAPAN KOTA EKOLOGIS TERHADAP MITIGASI

BENCANA GEMPA BUMI


Elizabeth Henry Putri K. (315180038)
Jurusan Teknik Arsitektur, Universitas Tarumanagara, Jl. Let. Jend S. Parman No.1 Jakarta 11440
Email : elizabeth.315180038@stu.untar.ac.id
ABSTRAK
Kota ekologis merupakan perkembangan dari konsep kota berkelanjutan yang mempunyai
pandangan jauh ke depan, dimana pembangunan kota harus mempertimbangkan keberlanjutan atau
masa depan kota dengan memperhatikan keberlanjutan keberadaan lingkungan. Kota ekologis
mempunyai konsep yang sama dengan kota berkelanjutan, dimana keduanya menekankan
pentingnya keseimbangan antara ekonomi, sosial, dan lingkungan dalam pembangunan kota.
Indonesia merupakan daerah rawan bencana gempa bumi karena letaknya yang berada di atas tiga
lempeng; yakni Lempeng Eurasia, Lempeng Pasifik, dan Lempeng Indo-Australia. Hampir di
seluruh wilayah Indonesia sumber gempa bumi ditemukan, kecuali Kalimantan bagian barat,
tengah, dan selatan. Wilayah Sumatera bagian barat merupakan salah satu kawasan yang terletak
pada pinggiran lempeng aktif dunia, yaitu pertemuan Lempeng Indo-Australia dengan lempeng
Eurasia. Yang membuat wilayah ini lebih rawan bencana gempa bumi adalah wilayah ini tidak
hanya berada di pertemuan lempeng tektonik saja, tetapi juga adanya sesar Mentawai (Mentawai
Fault System) dan sesar Sumatera (Sumatera Fault System). Dengan adanya sumber-sumber gempa
bumi tersebut membuat wilayah Sumatera merupakan daerah yang rawan terhadap bencana gempa
bumi.
Kata kunci : kota ekologis, kota berkelanjutan, gempa bumi, Sumatera Barat

I. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Perencanaan suatu kota cenderung mempertimbangkan kebutuhan apa yang
dibutuhkan di masa depan dan bersifat berkelanjutan. Menurut Downton (1990)
konsep kota ekologis mempunyai kemiripan dengan konsep kota berkelanjutan,
yang menekankan pentingnya menyeimbangkan antara kepentingan ekonomi,
sosial, dan lingkungan dalam pembangunan kota[1]. Perencanaan kota ekologis
mengacu kepada kebutuhan suatu kota untuk generasi masa kini hingga generasi
berikutnya di masa depan. Konsep kota ekologis ini telah menjadi pilihan dalam
mengatasi berbagai masalah perkotaan yang salah satunya menjadi upaya mitigasi
bencana. Penerapannya pun tidak hanya berlaku bagi kota baru, melainkan berlaku
juga bagi kota lama.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana pengaplikasian kota ekologis dalam upaya mitigasi bencana gempa
bumi?
2. Bagaimana kota ekologis dapat mengurangi kerugian dari bencana gempa bumi?
1.3 Tujuan
1. Pembaca mengerti akan peran kota ekologis dalam upaya mitigasi bencana
gempa bumi.
2. Pembaca dapat mengetahui manfaat dari penerapan kota ekologis dalam
mengurangi kerugian bencana gempa bumi.

1.4 Manfaat
1. Meningkatkan pengetahuan pembaca akan peran kota ekologis terhadap
mitigasi bencana gempa bumi.
2. Meningkatkan pengetahuan pembaca akan pengaruh kota ekologis terhadap
bencana gempa bumi.

1.5 Metode Penelitian


Metode penelitian pada data ini menggunakan metode kualitatif dengan
pendekatan analisis. Denagn mengumpulkan data melalui studi literatur baik buku,
jurnal, maupun internet. Analisis menggunakan data sekunder, yaitu data yang
dikumpulkan dan disajikan oleh pihak lain.

II. Studi Pustaka


2.1 Konsep Kota Ekologis
Kota ekologis merupakan perkembangan dari konsep kota berkelanjutan
yang mempunyai pandangan jauh ke depan, dimana pembangunan kota harus
mempertimbangkan keberlanjutan atau masa depan kota dengan memperhatikan
keberlanjutan keberadaan lingkungan [1]. Sejalan dengan konsep kota ekologis
yang berwawasan lingkungan, McHarg (1969) mengajukan gagasan tema
merancang dengan alam (design with nature). Gagasan ini menunjukkan
pentingnya melibatkan alam dalam perencanaan kota sehingga unsur alam dapat
menjadi elemen yang menyatu dalam ruang kota dan hadir sebagai salah satu
identitas kota[1].
Pendekatan yang disampaikan McHarg menekankan pentingnya
memperhatikan kondisi ekologis lingkungan alami dalam rencana pengembangan
kota, juga harus ada upaya meminimalkan dampak yang merugikan lingkungan dari
pengembangan kota.

Gambar 1. Perencanaan Kota Dengan Alam


Sumber : archikets.blogspot.com

2.2 Pembangunan Berkelanjutan


Pembangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai pembangunan yang
memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi
mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri (WCED, 1987). Tujuan dari
pembangunan berkelanjutan sendiri adalah untuk mencegah kerusakan lingkungan
tanpa mengorbankan kebutuhan pembangunan ekonomi dan keadilan sosial.
Pembangunan berkelanjutan mencakup tiga lingkup kebijakan: pembangunan
ekonomi, pembangunan sosial dan perlindungan lingkungan yang selanjutnya
disebut 3 Pilar Pembangunan Berkelanjutan[1].

Kota yang berkelanjutan menurut prinsip ini, antara lain adalah kota yang
mampu:
a. Merumuskan visi jangka panjang kota berdasarkan keadilan sosial, ekonomi
dan politik serta ciri khas lokal.
b. Melindungi keanekaragaman hayati dan ekosistem alami.
c. Memberdayakan komunitas agar dapat memperkecil tapak ekologisnya.
d. Memelihara kesehatan dan keberlanjutan kota.
e. Membangun karakteristik khas kota termasuk nilai-nilai kemanusiaan dan
budaya, serta sejarah dan sistem alaminya
f. Meningkatkan konsumsi dan produksi yang mendukung keberlanjutan melalui
penggunaan teknologi dan manajemen berwawasan lingkungan.
g. Melakukan perbaikan secara terus menerus.

Gambar 2. Pembangunan Berkelanjutan


Sumber : sim.ciptakarya.pu.go.id

2.3 Pengertian Gempa Bumi


Gempa Bumi adalah getaran dalam bumi yang terjadi sebagai akibat dari
terlepasnya energi yang terkumpul secara tiba - tiba dalam batuan yang mengalami
deformasi gempa bumi didefinisikan sebagai rambatan gelombang pada massa
batuan atau tanah yang berasal dari hasil pelepasan energi kinetik yang berasal dari
dalam bumi. Hampir seluruh kejadian gempa berkaitan dengan suatu patahan, yaitu
satu tahapan deformasi batuan atau aktivitas tektonik dan dikenal sebagai gempa
tektonik (Noor, 2006, p. 136) [2].

III. Pembahasan
Kota ekologis mempunyai konsep yang sama dengan kota berkelanjutan,
dimana keduanya menekankan pentingnya keseimbangan antara ekonomi, sosial,
dan lingkungan dalam pembangunan kota. Untuk mencegah hal yang buruk terjadi
pada warga kota, upaya mitigasi bencana harus direncanakan untuk mengurangi
kerugian akibat terjadinya bencana.
Salah satu contoh kasus diambil dari Gempa Sumatera Barat pada 30
September 2009. Gempa yang mengguncang kota yang ada di Sumatera Barat pada
2009 lalu berkekuatan 7,9 SR dan dengan kedalaman 71 km.

Gambar 3. Peta Pusat Gempa Sumatera Barat 2009


Sumber : geologi.co.id

Menurut data gempa kala itu memiliki intensitas VIII MMI, berdasarkan
skala Modified Mercalli Intensity merupakan kerusakan ringan pada bangunan
dengan konstruksi yang kuat. Retak-retak pada bangunan degan konstruksi kurang
baik, dinding dapat lepas dari rangka rumah, cerobong asap pabrik dan monumen-
monumen roboh, air menjadi keruh [3].

Gambar 4. Gempa Sumatera Barat 2009


Sumber : patronnews.co.id
Dampak gempa bumi terhadap permukiman di Sumatera Barat:
- Aspek Ekonomi
Gempa ini mengakibatkan kerugian materiil, 119.005 rumah rusak
berat, 73.733 rumah rusak sedang, dan 78.802 rumah rusak ringan, serta
merusak ratusan bangunan publik lainnya [4].
- Aspek Sosial
Kependudukan pada masa ini mengalami sebanyak 1.195 orang tewas,
korban luka berat mencapai 619 orang, luka ringan 1.179 orang [4].
Meskipun beberapa masyarakat cukup tanggap dalam menanggapi
gempa bumi ini, yakni dengan menjauhi daerah pantai dalam waktu
yang relatif pendek.
- Aspek Lingkungan
Menurut data, gempa kala itu juga terasa hingga Singapura, Malaysia,
Thailand, dan juga di Jakarta. Pasar, tempat ibadah, gedung kantor,
rumah sakit, sekolah, jembatan, jalan mengalami kerusakan paling parah
di sepanjang Pantai Barat Sumatera Barat. Gempa ini juga menyebabkan
jaringan listrik dan komunikasi terputus.

Seperti menurut Krisnanto dan Busono (2009), konsep kota ekologis agar
adaptif terhadap bencana, salah satunya struktur bangunan dan sistem infrastruktur
perkotaan harus dikembangkan dengan sistem tahan terhadap gaya lateral atau
gempa bumi dan juga penyediaan ruang-ruang terbuka yang aman dan jauh dari
kemungkinan runtuhnya sebagai tempat berlindung dan tempat penyelamatan
ketika terjadi bencana [1].

Hal-hal yang menghambat proses evakuasi pada saat terjadinya bencana


pada masa ini adalah masyarakat yang panik dengan kurangnya pemahaman sistem
peringatan dini dan kemacetan lalu lintas yang parah. Dan menurut narasumber juga
bahwa terlambatnya informasi dan arahan dari pemerintah selama 30 menit.

Untuk menanggapi bencana gempa bumi ini, perlu diterapkannya kota


ekologis yang adaptif terhadap bencana karena kota ekologis sendiri mewujudkan
kota yang aman dan sehat (Platt, 1994). Dengan mengembangkan kota bukan hanya
dalam bidang sosial, ekonomi, politik dan kultural saja, namun kota juga
dikembangkan berdasarkan beberapa aspek kebijakan teknis, seperti struktur
bangunan dan sistem infrastruktur yang disesuaikan dengan gempa bumi, juga
penyediaan ruang terbuka dalam jarak aman dari kemungkinan runtuhnya
bangunan.

Mengingat juga wilayah Sumatera merupakan wilayah yang rawan akan


terjadinya bencana gempa bumi, perlunya meningkatkan kesadaran masyarakat
akan pentingnya pemahaman akan gempa bumi. Letaknya yang berada di atas tiga
lempeng; yakni Lempeng Eurasia, Lempeng Pasifik, dan Lempeng Indo-Australia
dan wilayah Sumatera bagian barat merupakan salah satu kawasan yang terletak
pada pinggiran lempeng aktif dunia, yaitu pertemuan Lempeng Indo-Australia
dengan lempeng Eurasia. Yang membuat wilayah ini lebih rawan bencana gempa
bumi adalah wilayah ini tidak hanya berada di pertemuan lempeng tektonik saja,
tetapi juga adanya sesar Mentawai (Mentawai Fault System) dan sesar Sumatera
(Sumatera Fault System). Sosialisasi dan simulasi proses evakuasi yang dilakukan
terus menerus terhadap masyarakat penting dilakukan agar tidak terjadi kerugian
sebanyak yang pernah terjadi sebelumnya.

Gambar 5. 3 Lempeng di Bawa Pulau Sumatera


Sumber : gempapadang.wordpress.com
IV. Kesimpulan dan Saran
Penerapan kota ekologis dalam upaya mitigasi bencana gempa bumi dapat
dilakukan dengan mengembangkan struktur bangunan dan sistem infrastruktur
perkotaan dengan sistem tahan terhadap gaya lateral atau gempa bumi dan juga
penyediaan ruang-ruang terbuka yang aman dan jauh dari kemungkinan runtuhnya
sebagai tempat berlindung dan tempat penyelamatan ketika terjadi bencana.
Meleakukan sosialisasi dan simulasi proses evakuasi gempa terus menerus pada
masyarakat juga dapat mencegah hal-hal yang tidak diinginkan terjadi. Oleh karena
itu meski wilayah Sumatera Barat rawan akan bencana gempa bumi, hal-hal
merugikan yang kemungkinan terjadi dapat dicegah, juga dengan meningkatan
kesadaran warna akan bahaya bencana gempa dapat membuat masyarakat lebih
tenang dan tidak panik dalam melakukan proses evakuasi.

V. Daftar Pustaka
[1] Fuady, Mirza. 2019. Ruang Terbuka Hijau Perkotaan Berbasis Mitigasi
Bencana. Banda Aceh : Graha Tria.
[2] Noor, D. 2006. Geologi Lingkungan. Yogyakarta: Graha Ilmu.
[3] BMKG. Skala MMI (Modified Mercalli Intensity). Diakses tanggal 25 Maret
2021. https://www.bmkg.go.id/gempabumi/skala-mmi.bmkg
[4] Hendra, Yose. 2020. Gempa Sumbar 2009, Pengalaman Tanpa Pembelajaran.
Diakses tanggal 25 Maret 2021. https://langgam.id/gempa-sumbar-2009-
pengalaman-tanpa-pembelajaran/

Anda mungkin juga menyukai