Nim : 15334119
Mata Kuliah : Kimia Analis/ L
Dosen : Lia Puspitasari, S.Farm., M.Farm., Apt
Pendahuluan
Terapi farmakologi untuk pasien covid19 secara umum adalah dengan terapi anti virus dan akan ada
terapi pendukung yang lain. Sampai saat ini belum ada terapi yang resmi rekomendasikan dan terbukti
efektif untuk terapi covid19. Sementara ini anti virus yang digunakan dibanyak tempat pelayanan
kesehatan adalah mengacu pada terapi antivirus saat epidemi SARS dan MARS atau jenis flu lainnya.
Saat ini setiap negara masih berlomba lomba mencari pengobatan terbaik, dan memiliki panduan
tersendiri berdasarkan pertimbangan masing – masing (pengalaman dan ketersediaan obat). Di
indonesia, beberapa RS memiliki panduan sendiri walaupun sudah ada panduan dari asosiasi, tetapi
beberapa RS mungkin masih ada yang mengembangkan nya sendiri tergantung dari pengalaman dan
ketersediaan obat. Sekitar 300an uji klinik di seluruh dunia saat ini dilakukan dengan berbagai obat,
yang sebagian besar adalah drug repurposing , adalah menggunakan obat yang sudah ada untuk
indikasi lain sebagai terapi covid19 sebagai antivirus, anti inflamasi, atau imunomodulator.
Review jurnal from JAMA, published online april 13, 2020. Dengan judul Pharmacologic treatments
for corona disease 2019 (covid-19 review). Dari potongan jurnal tersebut disebutkan bahwa belum
ada terapi yang efektif. Tetapi pada jurnal ini tertulis terapi yang menjanjikan adalah remdesivir.
Pembahasan
-
dari table diatas dihasilkan, Interferon memilikin efek antiviral, ribavirin juga
memiliki efek antivirtal walaupun ada beberapa keterbatasan terkait adanya efek
samping, disini oseltamivil tidak memiliki aktifitas invitro terhadap SARS-CoV dan
ini yang menghasil kan kenapa osoltamivir tidak begitu efektif.
- Mengapa oseltamivir kurang poten terhadap covuid19? Karena oseltamivir
mekanisme kerjanya adalah neurominidase inhibitor yang dibutuhkan oleh virus
untuk melepaskan virions baru, ketika dihambat dengan neuroaminidase maka tidak
akan terjadi pelepasan virion sehingga akan menghambat replikasi virus. Masalahnya
adalah? Influenza virus memang memiliki neuroaminidase, sementasa SARS-CoV2
tidak memiliki neuroaminidase sehingga tidak ada target aksi untuk oseltamivir
dalam menghambat replikasi virus.
- Dosis
B. Investigational drugs
6. Remdesivir
- Adalah analog dari nukleotida adenosin, mekanisme nya adalah menghambat sintesis
RNA virus.
- Memilik antiviral spektrum luas dan telah diuji pada SARS, MERS, dan Ebola
- In vitro pada SARS-CoV dan MERS-CoV adalah aktif.
- Saat ini WHO sedang melakukan uji klinik remdesivir untuk covid dibeberapa
negara, dan sejauh ini remdesivir adalah yang paling menjanjikan.
- Studi in vitro
. Remdesivir memilik E6 cells 1.76 μM dan chloroquine memiliki 6.90 μM ,
secara potensi nampak remdesivir lebih poten dari chloroquine.
. Sudah banyak clinical studies yang berjalan mengenai remdesivir:
7. Avigan (Favipiravir)
- Avigar/favipiravir dikelompokan dengan remdesivir sebagai investigational drug.
Adalah antiviral yang bekerja menghambat sintesis RNA virus
- Berasal dar jepang, sebagai obat influenza dan sebagai obat alternatif dari tamiflu.
Influenza yang tidak bisa diatasi dengan obat lain maka dikembangkan lah obat ini.
- Favipirafir memiliki aktifitas invitro terhadap SAR-CoV2 dan membutuhkan loading
dose 2400mg sampai 3000mg setiap 12jam sebanyak 2kali dosis, dilanjutkan dengan
maintenance dose: 1200mg sampai 1800mg setiap 12 jam (di indonesia menggunakan
panduan ini)
- Feb 2020, dipakai untuk terapi experimental pada covid19 dan simpulkan cukup
efektif.
- Uji klinik di shenzhen, dikombinasi dengan interferon-alpha, menghasilkan
pembersihan yang lebih cepat dari kelompok LVP/RTV dengan perbandingan 4hari
vs 11hari dan juga perbaikan paru (cai et al,2020. artikel ditarik)
- Target favipirapir adalah menghambat sintesis protein virus
- Di italy digunakan sebagai drug for experimental use terhadap covid19 dan di uji
klinik di 3 daerah yg terkena wabah
- Uji klinik, membandingkan favipinapir denga arbidol hasilnya adalah clinical
recovery rate pada hari ke 7 tidak berbeda signifikan antara favipiravir dengan
arbidol, tetapi favipirapir memberikan durasi yang pendek dari panas dan cough, efek
samping favipiravir meningkatkan asam urat.
C. Adjuctive therapy
8. Kortikosteroid
- Masih menjadi kontroversi karena dipanduan sebagaian besar tidak
merekomendasikan penggunaan kortikosteroid.
- Tetapi pernah ada penelitian di China, uji klinik studi restrospektif pada 201 pasien
covid19 yang mengalami ARDS, treatments dengan methylprednisolone ternyata bisa
mengurangi resiko kematian dibandingkan dengan tanpa steroid.
- Evidence yang telah ada pada terapi kortikosteroid untuk virus terdahulu. Justru tidak
mendukung terapi covid karena mengurangi clearence RNA, beberapa menyebabkan
kompikasi phychosis, kompikasi diabetes, increased mortality dan no clnical benefit
in childern. sehingga bisa dikatakan kortikostroid belum bisa mendapat dukungan
sebagai terapi adjuctive untuk covid19.
9. Anticytokine: Tocilizumab (Actemra)
- Pada gejala covid19 yang parah, terjadi cytokine storms yang melibatkan pelepasan
sitokin besar-besaran, yang akan merusak jaringan paru, salah satunya adalah
interleukin-6(IL-6).
- IL-6 biasanya dijumpai pada penyakit rhematoid artritis sehingga tocilizumab
asalnya dikembangkan untuk rhematoid artritis drug.
- Beberapa peniliti melakukan uji klinik dengan tocilizumab, menggunakan 20 pasien
covid19 dengan gejala berat di China dan hasilnya menunjukkan perbaikan klinis
pada 91% pasien.
- FDA menyetujui klinik fase III dari tocilizumab secara intravena untuk pasien
covid19 dengan kondisi yang parah.
10. Immunoglobulin therapy
- Laporan tentang terapi dengan plasma convalescent adalah dari China dengan 5 orang
pasien covid19 berat. Dari 5 pasien 3 sembuh, dan 2 dalam keadaan stabil setelah
menerima transfusi plasm (shen et al, 2020)
- Kemudian ada 3 case series yang lain, 3 orang pasien covid di Wuhan China berhasil
setelah mendapatkan intravenous immunoglobulin pada dosis 0.3 sampai 0.5 g/kg/d
dalam 5 hari (cao et al, 2020) dan mulai dikembangkan protocol untuk penggunaan
plasma convalescent sebagai salah satu adjuctive therapy.