Anda di halaman 1dari 7

Agustus

Oleh : Amatullah Noor Hanifah


“Ak...ak...ak..”, Aku menoleh. Mataku mengerjap, sedikit kaget dengan
perbedaan pencahayaan kemudian fokus menilik ke arah sumber suara. Posisiku yang
duduk tegak menghadap jendela sejenak terusik. Mejaku yang terlihat berantakan hasil
begadang membawa semua tugas kantor sejenak terlupakan. Aku beranjak berdiri
membuka pintu yang sebenarnya hanya tertutup, tidak terkunci. Terlihat sosok tinggi
besar menepuk patah patah pundakku dengan tangan satunya yang menggapai gapai
udara kosong layak anak kecil yang meminta mainan baru. Aku tersenyum, mengerti
maksudnya, mengangguk.
“Iya mas, bentar ya, akak masak dulu”, waktu sudah menunjukkan pukul enam pagi.
Selepas subuh aku memang berdiam diri di kamar deadline kerjaan kantro yang tak ada
habisnya meamksaku membawa semuanya hingga kerumah. Padahal sebelumnya pun
aku selalu pulang larut. Hingga tanpa sadar kulupakan bahwa ada penghuni rumah satu
lagi yang luput dari prioritasku. Aku melenggang dari kamar. Menarik Dani, kakakku
ke bawah. Terasa tubuhnya lompat lompat kegirangan mendapat makan. Aku tertawa
simpul. Sungguh kakak selalu punya cara meredakan suntukku.
Sejurus kemudian aku telah sampai di dapur. Mengambil nasi satu mangkok,
menumiskannya dengan bawang merah, daun bawang, dan cabai mengaduknya sebentar
dengan garam dan kecap. Kemudian menyajikannya dengan orak-arik telur. kakak
berseru-seru riang. Diambilnya mangkok dan sendok. Langsung duduk terdiam di salah
satu kursi makan. Tak lupa, ku pasang celemek kering ke lehernya. Aku tersenyum,
lihatlah, kakak begitu riang mendapat makanan setelah satu jam lamanya menunggu.
Akupun ikut duduk di seberang meja mengambil porsi tak terlalu banyak. Setelah
begadang nafsu makanku selalu buruk.
Jam dinding kini menunjukkan pukul tujuh pagi. Hawanya begitu indah. Aku
tersedak, teringat mendadak. Mataku membulat terburu aku berdiri melihat tanggalan
yang tergantung di tembok dapur. Mataku menyendu. Sekarang tepat tanggal delapan
Agustus. Tanggal yang sama. Aku mendesis lirih. Sebelum mataku menggenang, suara
handphone-ku terdengar nyaring. Ada yang menelpon.
“Deeen... lihat berita Den,,”, Tsara, sepupu dekatu yang rumahnya tak jauh dari sini
terdengar berteriak. Nafasnya terdengar menggebu. Aku mengernyitkan dahi. Anak ini
bisa jadi hanya ngerjain. Suka main-main. Aku pun menanggapi malas.
“Apaan si Tar, baru juga masih pagi udah buat drama”, sahutku sembari menyendokkan
nasi goreng sarapanku.
“Ih, seriusan buruan liat berita, noh, beritanya udah aku kirim gambarnya lewat chat.
Udah buru liat.”, aku masih malas menanggapi.
“Iih ga percaya, ini tentang om Deden, diin...!”, mataku membesar. Aku sontak
membuka pesan yang dikirimkan Tsara. Tepat pukul lima dini hari. Tepat pada tanggal
delapan Agustus 2020.
“Om Deden... om Deden masih hidup.”, aku menutup mulutku. Air mata yang tadi
menggenang langsung tumpah ruah. Kakak yang ternyata sudah selesai makan hendak
meminta tambahan porsi menatap bingung. Air mataku satu dua turun. Kian deras.
Lihatlah, itu bukanlah berita bencana, bukan berita kejahatan, hanya berita seorang
reporter yang mewawancarai saksi terkait isu politik dua kubu calon presiden. Kakak
yang sedari tadi bengong melihatku bangkit melepas celemeknya yang sudah blepotan
kecap dari nasi goreng, hendak menyeka mataku yang sudah berair deras. Isakku makin
keras mengingat begitu susahnya kami bertahan. Sungguh tidak mudah. Kakak makin
erat memelukku. Kami saling menguatkan selama ini. Selama lima tahun lamanya
berjuang. Mencari informasi kesana kemari akhirnya pencarian ini telah sampai pada
hilalnya.
“Ayah mas... ayah masih hidup”, kurasakan bahu kakak juga sedikit bergetar. Aku tau,
ia juga menahan haru.
Setelah kabar yang kudapat dari Tara pagi itu kami segera mengontak siaran
televisi yang menayangkan berita tersebut. Beruntungnya kami berhasil mendapat
alamat reporter yang berhasil meliput berita itu. Alamat yang kami terima ternyata
berada di sudut kota besar. Hal ini bisa berarti dua hal. Pertama, kami tak perlu susah
payah dalam mencari transportasi. Dan yang kedua, aku harus menyelesaikan semua
pekerjaan satu minggu sekaligus demi mendapat cuti panjang akhir pekan. Ini masih
hari sabtu. Masih ada beberapa hari untuk merencanakan perjalanan. Ku lingkari
kalender besar-besar. Tanggal tiga belas, kami berangkat. Seharusnya ini merupakan
rencana sempurna. Tentu saja segala sesuatu yang berhubungan dengan angan tak
seindah kenyataan. Lalu, disinilah aku berada, teronggok di meja kerja layaknya
pesakitan. Hidup segan mati tak mau. Aku menghembuskan nafas karas keras. Sudah
pukul empat sore. Sekarang baru hari senin, setelah kemarin seharian membooking tiket
dan belanja keperluan perjalanan dengan kakak. Awalnya kurasakan semangat lembur
di pagi hari, semua berubah runyam setelah menjelang ashar. Berkas-berkas pekerjaan
masih beebentuk gunung.
Kawan samping mejaku berdiri. Ia mengambil kopi dari pastry dan menaruhnya
di mejaku. Melihatku dengan tatapan iba.
“seriusan lo mau ambil cuti dari Kamis?”, aku menoleh, mengangguk mantap.
“lo tau sendiri, disini kalau cuti kudu lemburan sehari semalem penuh.”, aku melirik
jam, sudah hampir menunjukkan waktu jam pulang. Untuk lemburan aku tak terlalu
khawatir, kakak bisa mandiri mengurus diri. Sedari pagi aku sudah menyiapkan makan
pagi hingga malam. Untuk urusan mandi dan berberes, kakak adalah jagonya. Melihat
aku terdiam, kawan kantor ku itu mendekat padaku dan berbisik.
“kenapa sih? Ntar sendirian lo, gak horor?”, aku tersenyum dan menimpali.
“insya Allah gak papa mel, udah sering ini aku begadang disini”, Melia, kawanku itu
hanya mengangkat bahunya.
“yasudah,, tapi hati-hati lo, deket sini sering ada kasus orang ilang”, aku yang terlanjur
fokus pada kerjaan tidak terlalu memperhatikan kalimat Melia barusan. Setelah sadar
dan ingin mengkonfirmasi lebih lanjut, Melia sudah terlihat menjauh, melenggang
untuk checklog. Pulang. Menyisakan aku yang tertegun. Orang ilang, eh?
Maka otomatis hanya aku seorang yang berada dalam ruangan itu. Pekerjaanku
adalah pelayanan publik dalam suatu departement store bagian operator. Bukan, aku
bukanlah operator yang seringkali didengar dalam telepon-telepon pengaduan, tapi aku
berada dalam bagian pemberkasan. Atau bagian pengarsipan seluruh aktivitas yang
berada dalam departement store tersebut. Maka permsalahan semakin kompleks, mulai
dari sistem keuangan, penjualan, pemasaran, hingga pelayanan konsumen semua operasi
berpusat dalam divisiku dalam hal publikasi ke stake holder dan media. Setiap divisi
butuh rekam jejak dari setiap aktivitas yang dilakukannya. Dan itulah tugas
kami.sederhana tapi merepotkan karena berkaitan dengan beragam sisi dalam
perusahaan. Dari data yang kami olah lah, baru tindakan action dilakukan oleh divisi
quality control untuk tetap menjaga citra dan produk departemen store.
Seharusnya pekerjaan ini mudah, tapi aku semakin tertarik dengan topik yang
dibawa Melia sebelum pulang tadi. Ah, penculikan ya. Mana ada penculik tertarik
denganku, secara aku yang telah berumur 27 tahun ini sudah terlihat begitu tua layaknya
ibu-ibu 40 tahun. Dan berlalulah malam itu aku sendirian dalam ruangan. Sebenarnya
ada beberapa staff yang juga memilih lembur untuk menghabiskan akhir pekan namun,
aku tak tahu di divisi mana lampu masih menyala. Aku menghembuskan nafas panjang.
Pekerjaan sudah selesai 90 persen. Mungkin aku akan mengulangi lembur seperti ini
tiga hari berturut turur sebelum ke kota ayah hari Kamis.
“Dena....”, aku menoleh cepat. Situasi sepi seperti ini membuat ucapan selirih apapun
terdengar jelas. Tak ada siapapun. Aku menoleh ke jam dinding. Sudah pukul sepuluh
malam. Aku seketika berdiri. Selain pekerjaan yang sudah selesai, suara tadi cukup
membuat parno.
“Dena.. “ suara itu terdengar lagi. Aku menoleh ke sumber suara. Masih kosong. Lampu
yang belum padam menambah hororr. Hei, bukankah sebenarnya ruangan terang dan
kosong lebih menakutkan dibanding ruangan gelap. Tiba-tiba saat aku asyik penasaran
mencari sumber suara, sebuah tepukan mengagetkanku.
“Aaaaargh...!”, saat kulihat ternyata Jony, si tukang ghibah nomor satu se perusahaan.
Nyengir. Aku mendengus kesal, mempercepat langkah meninggalkannya.
“Hei hei tunggu Den... lo lemburan juga?”, aku berbalik memasang wajah ketus. Dia
makin nyengir.
“Aku juga mau lemburan ini, dapet tugas jaga. Lo tau gak, rumor yang beredar,” Jony
mengecilkan suaranya.
“Banyak cewek pulang malem. Sering ilang. Kabarnya terakhir si Melia, baru aja rame
di grup chat. Gak pulang-pulang, padahal kan baru tadi maghriban kan ya, kali aja dia
mlipir ke manaaa gitu”, Jony mengakhiri kalimatnya dengan tawa simpul. Aku
membulatkan mata. Melia kan udah pulang dari tadi jam 4, kok maghrib sih? Segera
kubuka gurp chat, sudah ramai orang-orang mengabarkan hilangnya Melia. Sudah dicari
ke tempat biasa dia nongkrong, semua tak ada. Aku menelan ludah. Dan tetiba teringat
sesuatu.
“eh, lo tadi kesini manggil manggil gua ya” aku bertanya penuh selidik. Jony
menagangkat bahu. Mana ada, seperti itu maksudnya. Aku begidik. Segera menarik
tangan Jony keluar ruangan.
“Eh.. eh ngapain narik-narik... gak mukhrim”, aku melotot segera mengajak nya berlari
hingga keluar gedung. Beanar apa kata orang. Gak baik wanita pulang malam malam.
Tapi nyatanya dua hari berikutknya aku tetap melanjutkan lemburku. Sungguh
tak ada yang bisa menghalangi semangat mengebu-ngebu ini untuk bertemu ayah.
Rumor penculik itu benar adanya. Hingga saat ini Melia belum jelas dimana rimbanya.
Dan hingga saat ini pun, penjagaan ketat melibatkan pihak kepolisian. Aku
memejamkan mata sejenak. Hari ini adalah hari Kamis. Hari dimana pencarian Ayah
akan bermula. Kami terpisah dari ayah lima tahun lalu. Bukan karema bencana alam
atau kecelakaan. Tapi karena aku.
Kami adalah keluarga kecil bahagia. Ayah kerja sebagai seorang mandor sebuah
proyek. Ibu yang umur sudah terpaut begitu jauh dari ayah sudah berkepala enam dan
sakit sakitan. Saat itu ekonomi kami tidaklah begitu baik. Namun aku yang percaya diri
karena pujian beberapa guru saat SMA keukeuh ingin melanjutkan kuliah di ibukota.
Ibu, Ayah, bahkan kakak tak bisa mendebat tekadku. Ekonomi yang tak begitu baik
menjadikan ayah akhirnya bekerja ke luar negeri. Menjadi TKI di negeri Arab Saudi.
Awalnya baik-baik saja. Aku bisa menyelesaikan pendidikan dengan sempurna. Hingga
bencana itu datang. Di tahun ke empat, ibu yang sudah sepuh wafat. Disusul dengan
kerusuhan TKI luar negeri pada tahun 2015 menjadikan ayah tak jelas rimbanya.
Akhirnya aku lulus dengan sisa sisa semangat serta belas kasihan dosen. Dan akhirnya
aku kerja berusaha bertahan. Menjaga kakak yang sebenarnya memiliki penyakit
turunan dari ibu.
Aku terbangun dari tudur singkatku. Pukul delapan pagi adalah jadwal
keberangkatan kami. Padahal kakak sudah mengingatkanku berkali-kali dengan gaya
khasnya mengetuk ngetuk kamarku menyuruhku tidur. Tapi pekerjaan ini tak mudah
ditinggalkan. Mulai cuti hari kamis, maka hari rabu pekerjaan merangkap satu munggu
itu juga harus selesai. Aku meringis melihat jam, sudah pukul enam pagi dan aku
kelelahan begadang. Aku menguap lebar dan turun ke dapur memulai rutinitas pagi
sebelum packing untuk mengejar jadwal kereta.
Saat turun di ruang bawah, tiba-tiba kakak menderap naik ke atas tangga dan
memelukku erat. Aku yang baru terbangun sontak terkaget kaget. Menjerit kecil. Ada
apa?, kakak menggeleng keras. Aku sedikit melongok, tampak dua orang pria
berseragam polisi lengkap dengan bedge dan rambut klimis santai melihat-lihat foto-
foto keluarga kami. Kakak adalah seorang perasa tingkat dewa. Dia pasti tau, ada yang
tak beres. Aku berdehem sebentar. Seketika kedua polisi itu menengok ke atas.
Tersenyum ramah. Setelah turun, aku menyalimnya kikuk. Kakak sudah menarik-narik
bajuku, menguntitku dari belakang.
“Ah ya.. maaf kan kami dek, kami datang hanya untuk suatu prosedur.” Wajahku
mengernyit, sebelum pertanyaanku muncul polisi yang satunya menunjukkan foto.
Mataku yang belum sempurna terbangun dari lemburan semalam menyipit.
“Apakah adek ini keluarga dari bapak Deden?”, aku mengangguk. Ah ini sudah biasa.
Selama dua tahun setelah keergian ayah polisi selalu datang sekedar mengecek kami
terkait wali dan hak asuh karena saat itu aku belum cukup umur. Tapi itu tiga tahun
yang lalu. Saat kukira ini hanya sebuah prosedur kepolisian.
“Kenapa ya pak?”, pertanyaanku langsung di jawab dengan pertanyaan kembali.
“Maaf dek, ini putra dan putri bapak Deden dari istri yang mana ya?,”. aku kembai
mengernyit. Kakak semakin erat memeras lenganku.
“Istri yang mana?”, aku mengkonfirmasi, hei, satu satunya istri ayah ya ibu.
“Nama ibu saya Dinar.,” petugas itu mengangguk-angguk dan mencatat sesuatu. Aku
kembali bertanya, “Maksud istri yang mana itu apa ya pak?”, kedua polisi itu saling
pandang.
“Apakah adek tau,? Bapak Deden ini sekarang adalah buron. Sulit sekali mencarinya.
Adek ini adalah keluarga ‘D’ yang dibuatnya,” aku menggeleng, tak mengerti.
“Bapak Deden ini punya 26 nama sesuai huruf abjad, membentuk keluarga. Baru saja
kami dari keluarga huruf ‘F’, beliau memakai nama Firman, menikahi wanita berhuruf
F dan mempunyai anak dengan huruf ‘F’ Pula. Susah sekali menangkapnya. Dan baru
baru ini, dikabarkan dia sudah membuat keluarga dengan huruf ‘M’, penculikan anak
gadis dengan huruf abjad ini sudah meresahkan dan menjadi teror setiap tiga tahun.
Sepertinya keluarga adek yang bertahan paling lama, apakah ayah adek sering keluar
pergi setiap tiga bulan sekali?”, tubuhku limbung, berita tak masuk akal. Jelas jelas ini
hanya karangan.
Sebelum aku marah-marah dan mengusir kedua petugas itu pergi, salah satu
polisi menyerahkan artikel berita. Dengan headline “Siklus Penculikan Wanita telah
sampai Pada Huruf S, Karyawan salah satu perusahaan menghilang, inikah artinya?”
kemudian berita yang lain. “Teror: Penculik Gila terobsesi dengan huruf Abjad”,
kemudian menyusul berita-berita lain. “Wajah Psikopat terungkap, Reporter mengaku
‘Kami sungguh tak mengira’
“Berita ini jadi trending topic dimana-mana dek, justru saya heran adek gak tau apa
apa”, aku menutup mulut yang sempat menganga.
“Adek dua ini bahkan pernah masuk berita nasional lho, makanya kami disini.”, aku
menggeleng, sungguh waktu itu kami tak punya televisi, dan kini pun aku tak sempat
menontonnya.
“Tiga bulan sekali ayah selalu mengaku selalu pulang kampung, kami tak pernah diajak.
Bahkan ibu”, aku mengucap lirih. Satu satu puzzel terangkai. Penculik di sekitar
perusahaan, suara-suara yang bermunculan tiap kali ia lemburan, Melia... detik saat
polisi itu mulai penjelasan bahwa aku dan kakak sebenarnya diawasi kepolisian sejak
lama demi menangkap ayah, saat itu pula aku tumbang dengan sempurna. Angin
Agustus bertiup kencang, sekencang rindu ini menguap tak bersisa. Bukankah rasa
pedih sebenarnya berasal dari seorang yang benar-benar kita rindu?

Madiun, 01 Mei 2021.

Bionarasi
Amatullah Noor Hanifah adalah seorang penulis asal Madiun. Berlatar belakang
ilmu pendidikan Akuntansi, Amatullah memulai kembali aktif untuk menulis semenjak
vakum dari semsasa SMK. Karya yang diterbitkan baru berupa cerita pendek yang
dimuat di beberapa majaah pesantren.

Anda mungkin juga menyukai