Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

PEMIKIRAN KALAM MODERN MENURUT HASAN


HANAFI dan AL FARUQI

Diajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Ilmu Kalam


Dosen Pengampu: R. mh. Zidni Ilman NZ, S.Fil.I, M.Pd

Disusun oleh:
NAYLA ISTIFAKHATI M. 4201101031
MUHAMMAD IZZUDDIN 4201101007
SITI NUR I’ANAH 4201101012

Manajemen Pendidikan Islam


SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH
BUNTET PESANTREN CIREBON
2021
KATA PENGANTAR

Puji serta syukur kami panjatkan kehadirat Allah swt. yang telah
memberikan rahmat dan taufiknya kepada kami semua sehingga pada akhirnya
mampu menyelesaikan makalah dengan lancar dan tanpa hambatan yang berarti.
Juga shalawat serta salam semoga selalu tercurah dan terlimpah kepada Nabi kita
semua Muhammad Sallallahu ‘alaihi wasallam.
Kami mengucapkan banyak terimakasih kepada R. mh. Zidni Ilman NZ, S.Fil.I,
M.Pd selaku dosen mata kuliah Ilmu Kalam yang telah memberikan banyak saran
dan ilmu dalam pembuatan Makalah ini, juga kepada semua pihak lainnya yang
telah memberikan saran dan pendapatnya. Semoga semua amal dan kebaikan
tersebut diterima oleh Allah swt. Aamiin.
Akhirnya, selaku manusia yang tidak luput dari segala kesalahan dan
kehilafan kami menyadari bahwa dalam pembuatan dan penyusunan Makalah ini
masih banyak kekurangannya. Untuk itu, kami mohon saran dan kritik guna
perbaikan Laporan ini.
Mudah-mudahan Makalah ini dapat bermanfaat bagi kami penulis maupun
bagi almamater serta masyarakat untuk menambah Ilmu pengetahuan.

Penulis

Cirebon, 15 Juni 2021

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ............................................................................................... i


Daftar isi ......................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .............................................................................. 1
C. Tujuan ................................................................................................ 1

BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Pemikiran Kalam Modern ................................................ 2
1. Hasan Hanafi ................................................................................ 4
2. Ismail Raji Al Faruqi .................................................................... 5
B. Epistemologi dan Problematikanya di dalam Pemikiran Islam ......... 5

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan ........................................................................................ 8

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Secara teologis Islam merupakan sistem nilai yang bersifat
ilahiyah, tetapi dari sudut sosiologis, ia merupakan fenomena peradaban,
kultural dan realitas sosial dalam kehidupan manusia.ia tidak dapat
menghindarkan diri dari kenyataan sosial lain, yaitu perubahan apalagi, di
lihat dari pandanganajaran islam sendiri, perubahan adalah sunnatullah
yang merupakan salah satu sifat asasi manusia dan alam raya secara
keseluruhan. Pandangan umat islam terhadap modernitas barat dapat
dipologikan menjadi 3 kelompok, yaitu modrnis (ashraniyyun
hadatsiyun), tradisionalis atau salafi (salafiyyun) dan kaum elektis
(tadzabdzub).
Sementara dalam islam, bermula dari kesadaran umat Islam
untuk bangkit dari ketepurukan pasca keruntuhan Bani Abbasiyah.
Periode modern ini terjadi sejak tahun 1800-an hingga sekarang. Pada
periode ini, muncul banyak tokoh yang menyerukan ide-ide sekaligus
gerakan pembaharuan yang bermuatan visi peradaban islam. Mereka ini
merupakan para pendakwah rasional.Berbicara tentang corak pemikiran
kalam modern, tentu saja akan sangat bervariasi, sesuai dengan situasi
dan kondisi masyarakanya. Pada masyarakat yang maju, barangkali
pemikiran kalamnya
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, rumusan masalah pada makalah ini
adalah:
1. Pengertian Kalam Modern
2. Epistemologi dan Problematkanya di dalam Pemikiran Islam
C. Tujuan
Tujuan dari makalah ini adalah:
1. Untuk mengetahui kalam modern dan mengetahui pandangan Hasan
Hanafi da Al Faruqi mengenai kalam modern

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Pemikiran Kalam modern


Secara teologis Islam merupakan sistem nilai yang bersifat ilahiyah,
tetapi dari sudut sosiologis, ia merupakan fenomena peradaban, kultural dan
realitas sosial dalam kehidupan manusia.ia tidak dapat menghindarkan diri
dari kenyataan sosial lain, yaitu perubahan apalagi, di lihat dari
pandanganajaran islam sendiri, perubahan adalah sunnatullahyang merupakan
salah satu sifat asasi manusia dan alam raya secara keseluruhan.Pandangan
umat islam terhadap modernitas barat dapat dipologikan menjadi 3 kelompok,
yaitu modrnis (ashraniyyun hadatsiyun), tradisionalis atau salafi (salafiyyun)
dan kaum elektis (tadzabdzub).Yang pertama menganjurkan adopsi
modernitas berat sebagai model yang tepat bagi masa kini. Artinya sebagai
model secara historis memaksakan dirinya sebagai paradigma peradaban
modern untuk masa kini dan masa depan. Sikap kaum salafi sebaliknya
berupaya mengembalikan kejayaan islam masa lalu sebelum terjadinya
penyimpangan dan kemunduran. Sedangkan yang terakhir (kaum elektif)
berupaya menghadapi unsur-unsur yang terbaik, baik yang terdapat dalam
model barat modern maupun dalam islam masa lalu , serta menyatukan
diantara keduanya dalam bentuk yang dianggap memenuhi kedua model
tersebut.Era modern secara umum dimulai ketika masyarakat Eropa
menyadari tentang pentingnya kembali berfikir filsafat. Para pemikir Eropa
kembali bergelut dalam dunia ide yang dikembangkan dalam tataran praktis
menjadi gerakan penciptaan alat-ala yang mampu memudahkan segala urusan
manusia. Mereka menyebutnya dengan „moda‟ atau „modern‟. Era ini terjadi
pada awal-awal abad ke-16, yang dikenal dengan istilah ‘renaissance’.
Sementara dalam islam, bermula dari kesadaran umat Islam untuk
bangkit dari ketepurukan pasca keruntuhan Bani Abbasiyah. Periode modern
ini terjadi sejak tahun 1800-an hingga sekarang. Pada periode ini, muncul
banak tokoh yang menyerukan ide-ide sekaligus gerakan pembaharuan yang
bermuatan visi peradaban islam. Mereka inimerupakan para pendakwah

2
rasional.Berbicara tentang corak
pemikiran kalam modern, tentu saja akan sangat bervariasi, sesuai
dengan situasi dan kondisi masyarakanya. Pada masyarakat yang maju,
barangkali pemikiran kalamnya cenderung ke arah rasional, yang
mengharuskan segala sesuatu dapat bersifat logis dan empiris. Pada
masyarakat berkembang, kemungkinan besar berada pada garis tengahnya.
Sementara pada masyarakat tertinggal, pemikiran kalam akan cenderung
mengarah pada konsep jabariyah yang pasrah pada segala sesuatu yang saat
itu ada dihadapannya.1
Hal ini dapat dilihat dari corak pemikiran kalam para tokoh muslim di
abad modern, seperti Muhammad Abduh, Sayyid Ahmad Khan, Ismail Raji
Al-Faruqi, Hasan Hanafi dan lain sebagainya. Masing-masing menunjukkan
corak yang berbeda dalam memahami teks-teks agama, yang kemudian
melahirkan paham kalamnya sendiri.Salah satu tokoh kunci yang namanya
tak pernah luput dari perhatian adalah Muhammad Abduh, yang
diperkenalkan oleh muridnya yang terkenal, yaitu Rasyid Ridha. Tokoh yang
satu itu, juga banyak disorot terkait dengan pemikiran kalamnya. Ajaran
Islam, yang kristalnya berupa Al-qur‟an dan sunnah Nabi, diyakini oleh umat
Islam dapat mengantisipasi segala kemungkinan yang diproduksi oleh kurun
zaman. Modernitas yang telah menjadi arus utama peradaban dunia di abad
19 dan seterusnya telah menawarkan berbagai jani-janji kebahagiaan. Namun
dalam praktikya modernitas justru banyak menimbulkan persoalan baru.
Peradaban modern justru banyak melakukan dehumanisasi kehidupan
manusia itu sendiri. Dengan cita- cita kemajuan, peradaban modern banyak
melakukan kerusakan dan bencana yang menyengsarakan orang banyak.
Manusia hanya dipandang sebagai entitas fisik yang tak berdimensi spritual,
maka peradaban modern justru menjadikan makhluk yang teralienasi, dilanda
klebingunagan dan kemapanan makna.akibat modernisasi yang lepas dari
1
Faizal Amin, Ilmu Kalam Sebuah Tawaran Pergeseran Paradigma Pengkajian
Teologi Islam (Pontianak: STAIN Pontianak Press, 2012), hlm. 89-90.

3
dimensi spiritual, maka seperti yang dikatakan oleh Doni Gahral Adian,
manusia dihadapkan pada kenyataan bahwa ia kehilangan kontrol atas
hidupnya di mana ia terdeterminasi oleh hukum-hukum biorkasi, mekanisme
pasar, hukum besi sejarah dan lain sebagainya.
1. Hasan Hanafi
Hasan Hanafi, yang terkenal dengan Teologi Tradisional. Untuk
mengatasi kekurangan, teologi kalasik yang dianggap tidak berkaitan
dengan realitas sosial, Hanafi menawarkan 2 teeori, yaitu: peratama,
bahsa-bahasa istilah dalam teologi klasik adalah warisan nenek moyang
dalam bidang teologi. Warisan ini dianalisis ulang, sehingga mampu
menghasilkan teologi yang relavan dengan perubahan zaaman, kedua,
realitas teologi masa lalu harus dianalisi kembali, untuk mengetahui latar
belakang historis dan sosiologis munculnya teologi di masa lalu itu dan
bagaimna pengaruh bagi kehidupan masyarakat ataupun para
penganutnya.Gagasan tentang teologi tradisional Hanafi menegaskan
perlunya mengubah orientasi konseptual kepercayaan (teologi). Sesuai
dengan perubahan konteks politik yang terjadi, hal ini didasarkan pada
kenyataan bahwa teologitradisional, lahir dalam konteks sejarah ketika
itu. Teologi laahir sebagai inti keislaman yang bertujuan untuk
memelihara kemurniannya.Hanafi memandang bahwa teologi bukanlah,
pemikiran murni yang hadir, dalam kehampaan sejarah, melainkan
merelefleksikan konflik sosial politik. Oleh karena itu kritik teologi
merupakan tindakan yang sah dan dibenarkan karena sebagai produk
pemikiran manusia yang terbuka untuk dikritik. Hal ini sesuai dengan
pendefinisiaannya tentang definisi itu sendiri. Menurutnya teologi
bukanlah ilmu tentang Tuhan, karena tuhan tidak tunduk pada ilmu.Hanafi
menganggap bahwa teologi Islam tidak ilmiah dan tidaak membumi.
Itulah sebabnya ia mengajukan teologi yang bukan sekadar dogma
keagamaan yang kosong, melainkan menjelma, sebagai ilmu tentang
pejuangan sosial, menjadikan keimanan berfungsi secara aktual. Tauhid,
bagi Hanafi, bukan berarti sifat dan Zat Tuhan, deskripsi atau sekedar
konsep kosong yang hanya ada dalam angan belaka, tetapi lebih

4
mengarah kepada tindakan konkrit, baik dari sisi penafsiran maupun
penetapan.2
2. Ismail Raji Al Faruqi
Kemudian Ismail Raji Al-Faruqi. Lahir di Jaffa, Palestina, 1
januari 1921 dan meninggal dunia pada tanggal 27 Mei 1986. Ia adalah
seorang pendiri Pusat Pengkajian Islam di Tempel University,
Philadelphia, Amerika Serikat, `tokoh Pan- Islamisme. Ia juga seorang
pembaharu yang menginginkan teraktualitasnya ajaran Islam dalam dunia
modern. Gagasan tentang Khilafah Islamiyah yang belakangan ini
dikembangkan umat Islam tertentu di berbagai belahan dunia, pada
dasarnya merupakan hasil pemikiran Faruqi. Baginya, Khilafah adalah
prasyarat mutlak bagi tegaknya paradigm Islam di muka bumi.Ada
beberapa gagasan yang dibangun oleh Faruqi, yaitu: pertama, Tauhid
sebagai pandanngan dunia. Tauhid merupakan pandangan umum tentang
realitas, kebenaran, dunia, ruang dan waktu sejarah

B. Epistemologi dan Problematkanya di dalam Pemikiran Islam


Ilmu kalam merupakan salah satu dari empat disiplin keilmuan yang
telah tumbuh dan menjadi bagian dari tradisi kajian tentang Islam. Ilmu ini
menempati posoisi yang cukup terhormat dalam tradisi ilmiah kaum
Muslimin. Hal ini terbukti dari banyaknya jenis-jenis penyebutan (nama-
nama lain) dari ilmu Kalam, antara lain: Ilmu Tauhid (Tawhid), ilmu yang
membahas tentang kemaha-Esaan (Tuhan); Ilmu Akidah (Aqa’id), ilmu yang
membahas akidah-akidah (simpul- simpul kepercayaan atau keyakinan); dan
Ilmu Ushlul al-Din, ilmu yang membahas tentang pokok-pokok agama, dan
Teologi Islam, ilmu yang membahas tentang Tuhan dan segala hal yang
berkaitan dengan-Nya yang dilakukan ulama Islam.
Dalam perkembangannya, Ilmu kalam baru menjadi disiplin ilmu
yang berdiri sendiri setelah tokoh-tokoh Mu’tazilah mempelajari buku-buku
filsafat yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab yang selanjutnya

2
Elamansyah, Kuliah Ilmu Kalam Formula Meluruskan Keyakinan Umat di Era Digital (Pontianak:
IAIN Pontianak Press, 2017), hlm. 167-168.

5
disinergikan dengan nalar keislaman. Momen ini terjadi pada masa Khalifah
al-Ma’mun (w. 218 H). Tahap penamaan Kalam sebagai ilmu dapat juga
dirujuk dari fakta sejarah ketika Ibnu Sa’ad (288 H/845 M) menggunakan
istilah mutakallimun untuk mereka yang terlibat dalam diskusi pelaku dosa
besar yang diangkat oleh kaum Murjiah. Namun, istilah kalam yang merujuk
kepada disiplin ilmu pemikiran spekulatif muncul pada akhir abad ke-4 H di
dalam karya Ibn Nadim, Kitab al- Fihrits.
Terkait dengan persoalan epistemologi kalam, kajian ilmiah yang
marak dalam disiplin ilmu ini, telah melahirkan banyak aliran epistemologi.
3
Mengutip penjelasan Wardani. Ia menjelaskan bahwa aliran epistemologi
dalam Islam dapat dipetakan kepada empat varian:
Pertama, pendekatan konservatif. Model pendekatan terhadap
epistemologi ini mengasumsikan adanya dua domain kebenaran: (1)
kebenaran melalui teks-teks; dan (2) kebenaran melalui nalar logika terhadap
terks tersebut. Kebenaran pertama merupakan kebenaran absolut karena
bertolak dari anggapan bahwa ada kebenaran-kebenaran yang tak mungkin
terjangkau (elevated thruts) yang hanya menjadi wikayah keyakinan.
Kebenaran kedua, karenanya, hanya merupakan kebenaran ‘pinggiran’.
Produk keilmuan yang menerapkan pendekatan ini oleh Ibn Khaldun
dikategorikan sebagai kelompok ‘ilmu-ilmu yang ditransmisikan’ (al-‘ulum
al-naqliyah), seperti tafsir, fiqh, ushul fiqh dan bahasa. Pendekatan seperti
ini menjadi mainstream dan mendominasi pemikiran epistemologi di dunia
Islam.
Kedua, pendekatan dialektis yang diterapkan oleh mutakallimin.
Meski masih terpusat pada teks sebagai kerangka rujukan (frame of
reference), nalar deduktif kalam mampu mengajukan persoalan-persoalan
sekitar teks yang sudah merambah pada diskusi teologis dan filosofis (yang
tidak dilakukan oleh pendekatan pertama). Dialektika kalam dalam
mendekati isu-isu epistemologi mendasarkan diri atas logika dan merupakan
pergeseran secara perlahan dari teks ke nalar. Namun teks masih ditempatkan
3
Wardani, Epistemologi Kalam Abad Pertengahan, (Yogyakarta: LKiS, 2003), hlm.

35-38

6
pada posisi fundamental sehingga produk pendekatan ini masih bersifat
eksplanatif, bukan eksploratif.
Ketiga, pendekatan filsafat. Pendekatan epistemologi ini mendasarkan
‘bangunan pengetahuannya’ atas sejumlah ide-ide filsafat sebagai kerangka
rujukan. Oleh karena itu, ilmu merupakan objek petualangan rasio sehingga
aktivitasnya bersifat eksploratif. Di kalangan filosof muslim terdapat
perbedaan konsep epistemologi. Tetapi secara umum ada dua arus utama
pemikiran epistemologi filsafat yang dipresentasikan oleh al-Farabi dan Ibn
Sina. Epistemologi al-Farabi lwbih dekat dengan sistem neo-platonik,
sedangkan epistemologi Ibn Sina lebih dekat dengan epistemologi kalam.
Keempat, pendekatan mistis. Pendekatan epistemologi ini
mendasarkan pada pengetahuan intuitif yang individual, yang menghasilkan
ilmu hudhuri, bukan al-‘ilm al-hushuli al-irtisam (pengetahuan yang
diupayakan melalui pengalaman tentang dunia eksternal yang
representasional melalui nalar diskursif. Karena tidak dapat dideskripsikan
atau diverifikasi secara ilmiah, pengetahuan yang lahir melalui pendekatan
ini sering dianggap sebagai penyimpangan, terutam jika dilihat dari
perspektif epistemologi umum (Barat).
Pemetaan tentang epistemologi Islam yang dilakukan oleh Nusibeh
memiliki persamaan dan perbedaan dengan pemetaan al-Jabiri. Pendekatan
konservatif, yang menurut Nasibeh, lebih banyak diterapkan pada wilayah
ilmu- ilmu naqliyah dan pendekatan dialektis pada disiplin kalam adalah apa
yang diistilahkan oleh al-Jabiri dengan ‘épistemologi bayani’, yang titik
tolaknya adalah teks keagamaan. Pendekatan filsafat adalah sama dengan
‘epistemologi burhani’, sedangkan pendekatan mistis semakna dengan
‘epistemologi ‘irfani’.
Menurut al-Jabiri, wacana-wacana bayani yang berkembang dalam
sejarah Islam pada substansinya berpusat pada dua domain; kaidah-kaidah
interpretasi wacana (yang fundamennya dirintis sejak masa Rasulullah dan
para shahabatnya, seperti dasar-dasar penafsiran al-Qur’an), dan syarat
produksi wacana, yang baru muncul ketika terjadi polarisasi kaum muslimin
menjadi kubu-kubu politik dan aliran teologis.

7
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Ilmu kalam merupakan ilmu yang mempelajari tentang ketuhanan
dari segala sesuatu yang berhubungan dengan-Nya yang dapat
memperkuat keyakinan terhadap-Nya dan mampu memberikan hujjah
dan argumentasi.Ilmu kalam klasik adalah teologi islam yang lebih
cenderung kepada pembahasan tentang teosentris atau ketuhanan yang
menjadi pokok pembahasannya.Ilmu kalam modern secara teologis islam
merupakan sistem nilai yang bersifat ilahiyah, tetapi dari sudut
sosiologis, ia merupakan fenomena peradaban, kultural, dan realitas
sosial dalam kehidupan manusia.

8
DAFTAR PUSTAKA

Faizal Amin, Ilmu Kalam Sebuah Tawaran Pergeseran Paradigma


Pengkajian Teologi Islam (Pontianak: STAIN Pontianak Press, 2012), hlm. 89-
90.
Elamansyah, Kuliah Ilmu Kalam Formula Meluruskan Keyakinan Umat di Era
Digital (Pontianak: IAIN Pontianak Press, 2017), hlm. 167-168.
Wardani, Epistemologi Kalam Abad Pertengahan, (Yogyakarta: LKiS,
2003), hlm.
35-38

Anda mungkin juga menyukai