Anda di halaman 1dari 1

Di beberapa daerah di Indonesia juga memiliki inovasi dalam penyemprotan

disinfektan. Namun, menurut jurnal yang dikeluarkan The Lancet Infectious Diseases,
Penyemprotan disinfektan ke tubuh manusia, udara, dan jalan raya dipandang tidak efektif.
Selain itu, penggunaan berlebihan disinfektan berpotensi menimbulkan bahaya bagi
kesehatan dan lingkungan. Beranjak dari permasalahan tersebut, maka KKN tematik
COVID-19 Universitas Diponegoro membentuk sebuah divisi khusus untuk
mengembangkan bilik yang disebut bilik dekontaminan. Pergeseran kata ‘disinfektan’
menjadi ‘dekontaminan’ disebabkan karena perbedaan arti keduanya, dimana disinfektan
mengarah ke senyawa yang bersifat sebagai pembunuh mikroba dan virus, sedangkan
dekontaminan lebih bersifat sebagai pembersih (removal). Bilik dekontaminan ini
bertujuan untuk membersihkan APD yang digunakan oleh tenaga medis sebelum
dilepaskan, agar saat proses pelepasan kemungkinan tenaga medis tertular sisa virus yang
menempel di APD bisa diminimalisir. Namun, meski sudah menggunakan APD, bukan hal
yang tidak mungkin jika cairan dekontaminan ini mengenai tubuh manusia (misal APD
rusak, atau pasca pembersihan belum benar-benar kering dan sudah dilepaskan).
Penyebutan bilik ‘dekontaminan’ memungkinkan penggunaan golongan senyawa
selain golongan disinfektan yang tentu harapannya lebih aman jika secara tidak sengaja
terkena tubuh manusia, karena pada dasarnya disinfektan sendiri bukan senyawa yang
layak digunakan secara langsung di tubuh manusia, misalnya golongan antiseptik.

Perlu studi lebih lanjut dalam pemilihan dekontaminan yang aman dan efektif
untuk bilik disinfeksi, mengingat dengan cara ini memungkinkan terjadinya kontak antara
cairan dekontaminan dengan kulit, mata dan dapat terhirup.

Anda mungkin juga menyukai