Anda di halaman 1dari 41

LAPORAN

ASUHAN KEPERAWATAN ANESTESI PADA TN. R


DENGAN RUPTUR ARTERI RADIALIS SINISTRA YANG DILAKUKAN
GENERAL ANASTESI TEKNIK ENDOTRACHEAL TUBE (ETT) DI
INSTALASI BEDAH SENTRAL (IBS) RSUD HJ. ANNA LASMANAH
BANJARNEGARA
Disusun untuk Memenuhi Tugas Praktik Klinik Keperawatan Anetesi IV

Oleh :

Ninda Ega Yuniar P07120216041

Jihan Sajidah P07120216057

Sera Adhe Anantigas Timor P07120216074

Muhammad Abdul Aziz P07120216077

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLITEKNIK KESEHATAN YOGYAKARTA

JURUSAN KEPERAWATAN

2020
LEMBAR PENGESAHAN

Asuhan Keperawatan Anestesi pada Tn. R dengan Ruptur Arteri Radialis Sinistra yang
Dilakukan General Anastesi Teknik Endotracheal Tube (ETT) di Instalasi Bedah
Sentral (IBS) RSUD Hj. Anna Lasmanah Banjarnegara

Oleh :

Ninda Ega Yuniar P07120216041

Jihan Sajidah P07120216057

Sera Adhe Anantigas Timor P07120216074

Muhammad Abdul Aziz P07120216077

Telah diperiksa dan disetujui pada Maret 2020

Mengetahui,

Pembimbing Pendidikan Pembimbing Lapangan

Bondan Palestin, SKM.,M.Kep.,Sp.Kom. Imam Yulianto, S.ST


BAB I
PENDAHULUAN
Anestesi merupakan suatu tindakan untuk menghilangkan rasa sakit ketika dilakukan
pembedahan dan berbagai prosedur lain yang menimbulkan rasa sakit, dalam hal ini rasa takut
perlu ikut dihilangkan untuk menciptakan kondisi optimal bagi pelaksanaan pembedahan
(Sabiston, 2011). General anestesi merupakan tindakan menghilangkan rasa sakit secara sentral
disertai hilangnya kesadaran (reversible). Tindakan general anestesi terdapat beberapa teknik
yang dapat dilakukan adalah general anestesi denggan teknik intravena anestesi dan general
anestesi dengan inhalasi yaitu dengan face mask (sungkup muka) dan dengan teknik intubasi
yaitu pemasangan endotrecheal tube atau gabungan keduanya inhalasi dan intravena (Latief,
2007).
Teknik General Anestesi General anestesi menurut Mangku dan Senapathi (2010),
dapat dilakukan dengan 3 teknik, yaitu: a) General Anestesi Intravena Teknik general anestesi
yang dilakukan dengan jalan menyuntikkan obat anestesi parenteral langsung ke dalam
pembuluh darah vena. b) General Anestesi Inhalasi Teknik general anestesi yang dilakukan
dengan jalan memberikan kombinasi obat anestesi inhalasi yang berupa gas dan atau cairan
yang mudah menguap melalui alat atau mesin anestesi langsung ke udara inspirasi. c) Anestesi
Imbang Merupakan teknik anestesi dengan mempergunakan kombinasi obat-obatan baik obat
anestesi intravena maupun obat anestesi inhalasi atau kombinasi teknik general anestesi dengan
analgesia regional untuk mencapai trias anestesi secara optimal dan berimbang.
Tata laksana cedera arteri merupakan tantangan tersendiri. Adanya resiko tinggi
terhadap keselamatan ekstremitas bawah dan jiwa pasien serta margin for error yang sempit
mengharuskan diagnosis dan tindakan harus ditentukan dengan cepat. Presentasi klinis
bervariasi mulai dari perdarahan eksternal yang mengancam nyawa sampai iskemia ekstremitas
bawah asimptomatis pada pasien tidak sadar dengan cedera multi organ. Pendekatan sistematis
dengan perencanaan matang akan memberikan kesempatan dilakukan penatalaksaaan yang
efektif untuk menyelamatkan ekstremitas bawah dan nyawa pasien. Perencanaan dan persiapan
sangat penting dalam kesuksesan tatalaksana cedera arteri oleh karena banyak kasus yang
terlambat dalam diagnosis dan pada akhirnya akan mengalami keterlambatan dalam
tatalaksananya (Feliciano, 2002)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Epidemiologi Cedera Arteri


Cedera arteri ekstremitas bawah sering terjadi pada pasien laki laki (72%- 90%),
umumnya terjadi pada dekade ketiga dan keempat. Apakah itu terjadi oleh karena benda
tajam atau tumpul, biasanya berkaitan dengan aktivitas resiko tinggi. Penyalahgunaan obat
dan kekerasan, merupakan faktor umum terkait cedera arteri ekstremitas bawah pada
setting sipil. Data pada pusat cedera yang membandingkan antara cedera tumpul atau
cedera tembus akan mencerminkan 5 penyebab paling sering. Senter sipil akan
memberikan data yang yang berbeda dengan senter militer. Cedera tumpul dengan fraktur
ekstremitas bawah, senjata api kaliber kecil, dan pisau merupakan penyebab utama cedera
arteri pada senter Sipil. Pada senter militer, ledakan dan peluru putaran tinggi menjadi agen
penyebab paling banyak. Cedera arteri terjadi pada kurang dari 2% seri militer dan kurang
dari 4% dari pasien dalam seri sipil. (Mattox, 1989). Sementara insiden amputasi pada
cedera arteri ekstremitas bawah sebesar 14,5% (Philip, 2006).
B. Patofisiologi Cedera Arteri
Arteri dan vena disusun oleh tiga lapisan yakni tunika adventisia sebagai lapisan
paling luar, tunika media yang tersusun oleh otot polos dan jaringan ikat elastis, dan tunika
intima dimana lapisan sel endotel ada di dalamnya. Cedera pada arteri menyebabkan
perdarahan, trombosis, atau spasme, baik sendiri atau kombinasi, tergantung besarnya gaya
yang mengenai vaskular. Perdarahan terjadi jika terdapat defek transmural—dimana semua
lapisan arteri rusak atau laserasi. Jika perdarahan bisa dikendalikan oleh jaringan sekitar
(misalnya otot atau fascia, bisa terbentuk hematom, yang terkadang pulsatil. Namun, jika
perdarahan tidak terkontrol, bisa menyebabkan eksanguinasi.
Trombus atau thrombosis terbentuk jika ada kerusakan pada tunika intima dan
jaringan sub endotelial yang terpapar aliran darah. Trombus lokal menyumbat lumen
vaskular. Cedera dekat struktur tulang bisa menyebabkan penekanan terhadap arteri,
menyebabkan terjadinya trombosis. Spasme atau penyempitan segmental terjadi akibat
adanya cedera mekanis, seperti peregangan atau kontusio. Spasme berat juga bisa terjadi
oleh karena pengaruh hemoglobin dari perdarahan yang berdekatan. Cedera tembus
memiliki patofisiologi yang sangat berbeda dengan cedera tumpul. Cedera tembus
cenderung bersifat fokal, sementara cedera tumpul lebih difus dimana cedera tidak hanya
mengenai struktur vaskular tetapi juga mempengaruhi struktur terdekat, seperti tulang, otot,
dan saraf. Konsekuensinya tidak hanya arteri besar saja yang terkena tetapi juga merusak
arteri kecil yang biasanya memberikan aliran darah kolateral di sekitar arteri yang
menyempit atau tersumbat. Hasilnya, terjadi perluasan dan perburukan.
Cedera tembus biasanya diklasifikasikan sebagai low velocity (_2,500 ft/s). Ini
termasuk luka tusuk, cedera oleh karena fragmen, dan and luka tembak low-velocity. Luka
tembus High-velocity (_2,500 ft/s), seperti yang diakibatkan oleh senapan militer
menyebabkan kerusakan jaringan yang lebih berat dibanding senjata low-velocity. Energi
kinetik oleh misil sebanding dengan massa proyektil dikali dengan kuadrat kecepatan.
Misil akan menciptakan kavitas yang ekspansif dan kontraksi dengan sangat cepat
sebanding dengan 30 kali diameter proyektil. Fragmen proyektil akan meyebabkan cedera
tambahan (Feliciano, 2002).
C. Morfologi Cedera Arteri
Selain patofisiologi akut yang dihasilkan oleh perdarahan dan trombosis, cedera juga
bisa menyebabkan cedera subakut dan khronis, yang mungkin tidak tampak dalam waktu
lama. Cedera kronis yang paling umum adalah fistula arteriovenosa dan pseudoaneurisma.
Fistula arterionenosa biasanya terjadi setelah cedera tembus yang menyebabkan cedera
pada arteri dan vena dalam jarak yang berdekatan. Aliran bertekanan tinggi dari arteri
menuju vena akan menyebabkan munculnya gejala lokal, regional, dan sistemik. Termasuk
di dalamnya adalah tenderness lokal dan edema, iskemia regional dari “pencurian/stealing,”
dan gagal jantung kongestif jika fistula membesar. Pseudoaneurisma terbentuk jika terjadi
pungtum atau laserasi arteri yang aliran darahnya menuju jaringan sekitar dan terkumpul di
area tersebut. Terjadi pembesaran di sekitar arteri dan menimbulkan simptoms kompresi
lokal, menekan jaringan sekitar, atau, jarang, bisa menjadi sumber emboli distal. Pada
awalnya, secara klinis tidak tampak keluhan, tapi seiring waktu akan muncul keluhan klinis
(Mattox, 1989).
Tidak semua cedera arteri memerlukan intervensi. Selama dua dekade terakhir, secara
meyakinkan telah ditunjukkan bahwa banyak cedera arteri asimptomatis mempunyai
riwayat alamiah yang ringan dan biasanya sembuh sendiri. Saat ini tidak mungkin
memperkirakan lesi mana yang akan menyembuh, memberat atau tetap asimptomatis, dan
akan berkembang menjadi simptoms akut dan atau kronis. Gangguan aliran darah akut
pada ekstremitas bawah menyebabkan sejumlah gangguan patofisiologi sistemik yang
mengancam nyawa dan juga ekstremitas bawah. Iskemia sebagai akibat dari gangguan
hantaran oksigen ke jaringan. Kerentanan jaringan terhadap iskemia tergantung pada
kebutuhan energi basal dan lama serta derajat keparahan ischemic insult. Saraf perifer
adalah jaringan paling rentan terhadap iskemia oleh karena mereka memiliki kebutuhan
energi basal yang tinggi dan tidak memiliki storage glikogen. Oleh karena itu, defisit
neurologis sering menjadi manifestasi awal oklusi arteri.
Otot skelet lebih toleran terhadap penurunan aliran darah; perubahan histologis akan
terjadi jika iskemia lebih dari 4 jam, dan perubahan yang bersifat irreversibel terjadi setelah
6 jam dari onset iskemia. Gangguan berat pada aliran darah arteri seperti pada oklusi arteri
mayor dan kerusakan pembuluh kolateral, dan durasi gangguan yang lama, potensi
kerusakan irreversbel akan semakin besar. Setelah terjadi iskemia memanjang, kerusakan
bisa meluas. Reperfusion injury diawali oleh aliran balik oksigen dan perubahan
hipoxantin, metabolit ATP pada proses iskemia, menjadi xantin dengan pembentukan
radikal hidroksil dan superoksid yng sangat reaktif. Leukosit dianggap sebagai sumber
utama pembentukan radikal bebas pada otot yang mengalami reperfusi. Beberapa radikal
bebas dan spesies oksigen reaktif merusak membrane sel, protein, dan glikosaminoglikan,
merusak integritas kapiler, menyebabkan oklusi mikrovaskular, dan peningkatan tekanan
interstisial. Hal ini mengarah pada fenomena “no-reflow”, dan, akhirnya, menyebabkan
iskemia ireversibel dan nekrosis pada saraf dan otot. Terjadinya nekrosis otot atau
rabdomiolisis, menyebabkan pelepasan mioglobin dan kalium ke sirkulasi, merangsang
terjadinya aritmia dan gagal ginjal. sehingga, selain berefek terhadap disfungsi ekstremitas
bawah, gangguan akut pada aliran darah ekstremitas bawah akan menyebabkan
konsekuensi sistemik berupa gagal organ dan kematian jika tidak terdeteksi sejak dini dan
diberikan tata laksana segera. (Mattox, 1989).
D. Tatalaksana Cedera Arteri
Aplikasi luas dari arteriografi mampu mendeteksi cedera arteri yang secara klinis tidak
signifikan dan sering tidak terdiagnosis. Termasuk di dalamnya adalah irregularitas intima,
spasme lokal dengan penyempitan minimal, dan pseudoaneurisma kecil. Kelainan yang
disebutkan ini biasanya asimptomatis. Flap intimal nonoklusif yang kecil adalah cedera
arteri minimal yang paling umum dan secara klinis tidak signifikan. Kemungkinan akan
menyebabkan baik oklusi atau embolisasi distal adalah sekitar 10-15%. Spasme adalah
gejala umum lainnya pada cedera arteri minimal. Temuan ini harus segera ditangani begitu
diagnosis ditegakkan.
Abnormalitas tekanan perfusi ekstremitas bawah menunjukkan terjadi cedera arteri
yang lebih serius dan diperlukan intervensi. Pseudoaneurisma kecil bisa difollow up
dengan pencitraan duplex. Fistula arteriovenous cenderung membesar dan harus segera
diperbaiki. Bukti menunjukkan bahwa terapi non operatif terhadap lesi asimptomatik, aman
dan efektif. Namun, terapi non operatif membutuhkan observasi terus menerus untuk
perkembangan berikutnya, terutama kemungkinan oklusi atau perdarahan. Terapi operatif
diperlukan bila terjadi trombosis, gejala iskemia kronis, dan kegagalan regresi
pseudoaneurisma (Michael, 2013).
Penggunaan terapi endovaskular untuk pengobatan aterosklerosis telah dikenal luas.
Apa yang dimulai sebagai balon dilatasi sederhana pada arteri iliaka komunis lebih dari 30
tahun yang lalu, telah mengalami kemajuan teknik. Terdapat kecenderungan kuat untuk
menggeneralisasi penggunaan pada pasien non cedera elektif ke arah pengobatan cedera
arteri. Hampir semua pusat cedera besar memiliki pengalaman dalam penggunaan teknik
elektif menangani kasus lesi arteri akut. Namun, bukti penelitian yang mendukung
pernyataan ini belum banyak. Diperlukan penelitian untuk menjamin peran tata laksana
endovaskular terhadap cedera arteri ke depan (Michael, 2013).
Operasi endovaskular, seperti semua operasi yang lain, harus dilakukan oleh dokter
yang terlatih. Di sebagian besar pusat cedera dilibatkan ahli radiologi intervensional.
Perencanaan dan persiapan yang baik penting untuk keberhasilan. Pendekatan tim sangat
penting dalam perencanaan tindakan endovaskular jika memang diindikasikan (Michael,
2013). Keberhasilan manajemen operasi cedera arteri ekstremitas bawah membutuhkan,
baik kontrol yang cepat dari perdarahan dan restorasi waktu yang memadai untuk perfusi.
Prioritas ini harus selaras dengan perawatan keseluruhan terhadap pasien. Kedua faktor tadi
sangat penting dalam pengelolaan cedera arteri ekstremitas bawah. Pertimbangan lainnya
termasuk cakupan jaringan yang memadai pada lokasi cedera, prosedur bedah ortopedi,
pencegahan sindrom kompartemen, pengenalan dini thrombosis arteri yang sudah direpair,
dan manajemen luka (Michael, 2013).
E. Penatalaksanaan Anestesi
Anestesi dapat dibagi dua macam , yaitu anestesi umum dan anestesi regional.
Anestesi umum masih dibagi lagi menurut cara pemberiannya yaitu inhalasi dan
parenteral.
Pada kasus ini anestesi yang digunakan adalah anestesi umura yaitu meniadakan
nyeri secara sentral disertai hilangnya kesadaran dan bersifat reversible. Dalam
memberikan obat-obat anestesi pada penderita yang akan menjalani operasi maka perlu
diperhatikan tujuannya yaitu sebagai premedikasi, induksi, maintenance, dan lain-lain.’
Anestesi umum meniadakan nyeri secara sentral disertai hilangnya kesadaran dan
bersifat pulih kembali (reversibel). Komponen anestesi yang ideal terdiri dari : (1) hipnotik
(2) analgesia (3) relaksasi otot. Obat anestesi yang masuk ke pembuluh darah atau sirkulasi
kemudian menyebar ke jaringan. Yang pertama terpengaruh oleh obat anestesi ialah
jaringan kaya akan pembuluh darah seperti otak, sehingga kesadaran menurun atau hilang,
hilangnya rasa sakit, dan sebagainya. Seseorang yang memberikan anestesi perlu
mengetahui stadium anestesi untuk menentukan stadium terbaik pembedahan itu dan
mencegah terjadinya kelebihan dosis. Tanda-tanda klinis anestesia umum (menggunakan
zat anestesi yang mudah menguap, terutama diethyleter) .
1. Stadium I: analgesia dari mulainya induksi anestesi hingga hilangnya kesadaran.
2. Stadium II : excitement, dari hilangnya kesadaran hingga mulainya respirasi teratur,
mungkin terdapat batuk, kegelisahan atau muntah.
3. Stadium III : dari mulai respirasi teratur hingga berhentinya respirasi. Dibagi 4 plane:
Plane 1 : dari timbulnya pernafasan teratur hingga berhentinya pergerakan bola mata.
Plane 2 : dari tidak adanya pergerakan bola mata hingga mulainya paralisis interkostal.
Plane 3 : dad mulainya paralisis interkostal hingga total paralisis interkostcil.
Plane 4 : dari kelumpuhan interkostal hingga paralisis diafragma.
4. Stadium IV : overdosis, dari timbulnya paralysis diafragma hingga cardiac arrest.
Dan memberikan obat-obatan pada penderita yang akan menjahini operasi maka
perlu diperhatikan tujuannya yaitu sebagai premedikasi, induksi, maintenance, dan lain-
lain.
1. Persiapan Pra Anestesi
Kunjungan pra anestesi pada pasien yang cikan mcnjcilcini opentsi dan
pembedahan baik elektif dan darurat mutlak harus dilakukan untuk keberhasilan tindakan
tersebut. Adapun tujuan pra anestesi adalah :
a. Mempersiapkan merited dan fisik secara optimal.
b. Merencanakan dan memilih teknik serta obat-obat anestesi yangsesuai dengan fisik
dan kehendak pasien.
c. Menentukan status fisik dengan klasifikasi ASA (American Society Anesthesiology):
ASA I: Pasien normal sehat, kelainan bedah terlokalisir, tanpa kelainan faali,
biokimiawi,dan psikiatris. Angka mortalitas 2%.
ASA II : Pasien dengan gangguan sistemik ringansiuipai dengan sedcing sebagai
cikibat kekiincin bedcih alauproses patofisiologis. Angka mortalitas 16%.
ASA III: Pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga aktivitas harian terbatas.
Angka mortalitas 38%.
ASA IV : Pasien dengan gangguan sistemik berat yang mengancam jiwa, tidak selalu
sembuh dengan operasi. Misal : insufisiensi fungsi organ, angina menetap. Angka
mortalitas 68%.
ASA V : Pasien dengan kemungkinan hidup kecil. Tindakan operasi hampir tak ada
harapan. Tidak diharapkan hidup dalam 24 jam tanpa operasi / dengan operasi. Angka
mortalitas 98%. Untuk operasi cito, ASA ditambah huruf E (Emergency) tanda darurat.
Open drop method : cara ini dapat digunakan untuk anestetik yang menguap, peralatan
sangat sederhana dan tidak mahal. Zat anestetik diteteskan pada kapas yang diletcikkan
di depan hidung penderita sehingga kadar yang dihisap tidak diketahui, dan
pemakaiannya boros karena zat anestetik menguap ke udara terbuka.
2. Macam-macam teknik anestesi yang digunakan
a. Semi open drop method: hampir sama dengan open drop, hanya untuk
mengurangi terbuangnya zat anestetik , digunakan masker. Karbondioksida yang
dikeluarkan sering terhisap kembali sehingga dapat terjadi hipoksia. Untuk
menghindarinya dialirkan volume fresh gas flow yang tinggi minimal 3x dad
minimal volume udara semenit.
b. Semi closed method : udara yang dihisap diberikan bersama oksigen mumi
yang dapat ditentukan kadarnya kemudian dilewatkan pada vaporizer sehingga kadar
zat anestetik dapat ditentukari Udara panas yang dikeluarkan akan dibuang ke udara
luar. Keuntungannya dalamnya anestesi dapat diatur dengan memberikan kadar tertentu
dad zat anestetik, dan hipoksia dapat dihindari dengan memberikan volume fresh gas
flow kurang dari 100 % kebutuhan.
c. Closed method : cara ini hampir sama seperti semi closed hanya udara
ekspirasi dialirkan melalui soda lime yang dapat mengikat C02, sehingga udara yang
mengandung anestetik dapat digunakan lagi
3. Premedikasi Anestesi
Premedikasi anestesi adalah pemberian obat sebelum anestesi. Adapun tujuan dari
premedikasi antara lain2:
^ memberikan rasa nyainan bagi pasien, misal: diazepam.
^ menghilangkan rasa khawatir, misal : diazepam ^ membuat amnesia, misal : diazepam,
midazolam ^ memberikan analgesia, misal : pethidin ^ mencegah muntah, misal :
droperidol ^ memperlancar induksi, misal: pethidin ^ mengurangi jumlah obat-obat
anesthesia, misal pethidin ^ menekan reflek-reflek yang tidak diinginkan, niisal : sulfas
atropin.
^ mengurangi sekresi kelenjar saluran nafas, misal: sulfas atropindan hiosin
4. Obat-obatan Premedikasi
a. Sulfas Atropin
Sulfas atropin termasuk golongan anti kolinergik. Berguna untuk mengurangi
sekresi lendir dan menurunkan efek bronchial dan kardialyang berasal dad
perangsangan parasimpatis akibat obat anestesi atautindakan operasi. Efek lainnya yaitu
melemaskan otot polos, mendepresi vagal reflek, menurunkan spasme gastrointestinal,
dan mengurangi rasamual serta muntah. Obat ini juga menimbulkan rasa kering di
mulut serla penglihatan kabur, maka lebih baik tidak diberikan pra anestesi local
maupun regional. Dalam dosis toksik dapat menyebabkan gelisah, delirium, hcilusinasi,
dan kebingungan pada pasien. Tetapi hell ini dapat diatasi dengan pemberian prostigmin
1-2 mg intravena4
Sediaan : dalam bentuk sulfat atropin dalam ampul 0,25 dan 0,5 mg. Dosis : 0,01 mg/
kgBB. Pemberian : SC, IM, IV
b. Pethidin
Pethidin merupakan narkotik yang sering diguniikan untuk premedikasi.
Keuntungcin penggunaan obat ini adalah memudahkan induksi, mengurangi kebutuhan
obat anestesi, menghasilkan analgesia pra dan pasca bedah, memudahkan melakukan
pemberian pernafasan buatan , dan dapat diantagonis dengan naloxon.
Pethidin dapat menyebabkan vasodilatasi perifer, sehingga dapat menyebabkan
hipotensi orthostatik. Hal ini akan lebih berat lagi bila digunakan pada pasien dengan
hipovolcmia Juga dapat menyebabkan depresi pusat pemapasan di mcdula yang dapat
ditunjukkiin cfcngiin respon turunnya C02, mual dan muntah menunjukkan adanya
stimulasi narkotik pada pusat muntah di medula. Posisi tidur dapat mengurangi efek
tersebut6
Sediaan : dalam ampul 100 mg/ 2cc.
Dosis : 1 mg/ kgBB. Pemberian : IV, IM
c. Midazolam
Midazolam merupakan suatu golongan imidazo-benzodiazepindengan sifat
yang sangat mirip dengan golongan benzodiazepine. Merupakan benzodiapin kerja
cepat yang bekerja menekan SSP. Midazolam berikatan dengan reseptor benzodiazepin
yang terdapat diberbagai area di otak seperti di medulla spincilis, batang otak,
serebelum system limbic serta korteks serebri. Efek induksi terjadi sekitar 1,5 menit
setelah pemberian intra vena bila sebelumnya diberikan premedikasi obat narkotika dan
2-2,5 menit tanpa premedikasi narkotika sebelumnya.
Midazolam diindikasikan pada premedikasi sebelum induksi anestesi, basal
sedasion sebelum tindakan diagnostic atau pembedahan yang dilakukan di bawah
anestesi local serla induksi dan pemeliharaan selama anestesi. Obat ini
dikontraindikasikan pada keadaan sensitive terhadap golongan benzodiazepine, pasien
dengan insufisiensi pernafasan, acut Induksi.
5. Pemeliharaan
a. Nitrous Oksida /Gas Gelak (N20)
Mcrupiikiin gas yi\ng tidcik bawcimci, bcrbciu nianis din tidikiritatif, tidak
berasa, lebih berat dari udara, tidak mudahterbakar/meledak, dan tidak bereaksi
dengan soda lime absorber (pengikat C02). Mempunyai sifat anestesi yang kurang
kuat, tetapi dapat melalui stadium induksi dengan cepat, karena gas ini tidak larut
dahirn darah. Gas ini tidak mempunyai sifat merelaksasi otot, oleh karena itu pada
operasi abdomen dan ortopedi perlu tambahan dengan zat relaksasi otot. Terhadap SSP
menimbulkan analgesi yang berarti. Depresi nafas terjadi pada masa pemulihan, hell
ini terjadi karena Nitrous Oksida mendesak oksigen dalam ruangan-ruangan tubuh.
Hipoksia difusi dapat dicegah dengan pemberian oksigen konsentrasi tinggi bcbcrcipa
mcnit sebelum anestesi selesai. PcnggunLmn biascinya dipakai perbandingan atau
kombinasi dengan oksigen. Penggunaan dalam anestesi umumnya dipakai dalam
kombinasi N20 : 02 adalah sebagai berikut 60% : 40% ; 70% : 30% atau 50% : 50%.3
6. Obat Pelumpuh Otot
a. Suksametonium (Succynil choline).
Terutama digunakan untuk mempermudah/fasilitas intubasi tnikea karena mula
kerja cepat (1-2 menit) dan lama kerja yang singkat (3-5menit). Juga dapat dipakai
untuk memelihara relaksasi otot dengan cara pembericin kontinyu per infus atau
suntikan intermitten. Dosis untuk intubasi 1-2 mg/kgBB/I. V.4
Komplikasi dan efek samping dad obat ini adalah (l)bradikardi, bradiaritma dan
asistole pada pemberian berulang atau terlalu cepat serta pada anak-anak; (2) tcikikardi
dan takiaritmia; (3) lama kerja memanjang terutama bila kadar kolinesterase plasma
berkurang; (4) peningkatan tekanan intra okuler; (5) hiperkalemi; (6) dan nyeri otot
fasikulasi.
Obat ini tersedia dalam flacon berisi bubuk 100 mg dan 500 mg. Pengenceran
dengan garam fisiologis/aquabidest steril 5 atau 25 ml sehingga membentuk larutan 2 %.
Cara pemberian I.V/I.M/ intralingual/intra bukal.
b. Atrakurium besylate (tracrium)
Sebagai pelumpuh otot dengan struktur benzilisoquinolin yang memiliki beberapa
keuntungan iintara lain bahwa metabolisme di dalam darah (plasma) mehilui suatu reaksi
yang disebut eliminasi hoffman yang tidak tergantung fungsi hati dan fungsi ginjal, tidak
mempunyaimefek kumulasi pada pemberian berulang, tidak menyebabkan perubahan
fungsi kardiovaskuler yang bermakna.2
Menurut Chappie DJ dkk (1987) dan Tateishi (1989) bahwa pada binatang
atracurium tidak mempunyai efek yang nyata pada CBF, CMR 02 aUua ICP.
Mctcibolilnya yang disebut kiudcinosin, mcncmbus bkxxibrain barrier dan dapat
menimbulkan kejang EEG, tetapi kadar laudanosin pada dosis klinis atracurium tidak
menimbulkan efek ini. Lanier dkk mengatakan bahwa tidak ada perbedaan arnbang kejang
dengan lidokain pada kucing yang diberikan atracurium. pancuronium, atau vecuronium.
Obat ini menurunkan MAP tetapi tidak menyebabkan pcaibahan ICP. Dosis atracurium
untuk intubasi adalah 0,5 mg/kg dandosis pemeliharaan adalah 5-10 ug/kg/menit.
Kemasan : 2,5 ml dan 5ml yang berisi 25 mg dan 50 mg atrakurium besylate. Mula kerja
pada dosis intubasi 2-3 menit sedangkan lama kerjanya pada dosis relaksasi 15-35 menit.
7. Intubasi Endotrakeal
Suatu tindakan memasukkan pipa khusus ke dalam trakea,sehingga jalan nafas
bebas hambatan dan nafas mudah dikendalikan. Intubasi trakea bertujuan untuk、:
^ Mempermudcih pemberian anestesi.
^ Mempertahankan jalan nafas agar tetap bebas.
^ Mencegah kemungkinan aspirasi lambung.
^ Mempermudcih penghisapan sekret trakheobronkial.
^ Pemakciian ventilasi yang lama.
^ Mengatasi obstruksi hiring akut
8. Terapi Cairan
Prinsip dasar tempi cairan adalah cairan yang diberikan harusmendekati jumlah
dan komposisi cairan yang hiking. Terapi cairanpenoperatif bertujuan untuk memenuhi
kebutuhan cairan, elektrolit dan darah yang hilangselama operasi. Mengatasi syok dan
kelainiin yang ditimbulkan karena terapi yang diberikan.
Pemberian cairan operasi dibagi:
a. Pra operasi
Dapat terjadi defisit cairan karena kurang makan, puasa, muntah,penghi sap an isi
lambung, penumpukan cairan pada ruang ketiga sepertipada ileus obstriktif,
perdarahan, luka bakar dan lain-lain. Kebutuhancairan untuk dewasa dalam 24 jam
adalah 2 ml / kg BB / jam. Setiapkenmkcinsuhu 10 Celcius kebutuhan cairan
bertambah 10-15 %.2
b. Selama operasi
Dapat terjadi kehilangan cairan karena proses operasi. Kebutuhancairan
pada dewasa untuk operasi :
^ Ringan = 4 ml/kgBB/jam.
^ Sedang = 6 ml / kgBB/jam
^ Berat = 8 ml / kgBB/jam.
Bila terjadi perdarahan selama operasi, di mana perdarahan kurang dari 10 % EBV
maka cukup digantikan dengan cairan kristaloid sebanyak 3 kidi volume dirah yang
hikir^. Apabila perdarahan lebih dari 10 % maka dapat dipertimbangkan pemberian
plasma / koloid / dekstran dengan dosis 1-2 kali darah yang hilang.
c. Setelah operasi
Pemberian cairan pasca operasi ditentukan berdascirkan defisitcairan selama
operasi ditambah kebutuhan sehari-hari pasien.
9. Pemulihan
Pasca anestesi dihikukan pemulihan dan perawatan pasca operasidan anestesi yang
biasanya dihikukan di ruang pulih sadar atau recoveryroom yaitu ruangan untuk observasi
pasien pasca atau anestesi. Ruangpulih sadar merupakan batu loncatan sebelum pasien
dipindahkan kebangsal atau masih memerlukan perawatan intensif di ICU.
Dengandemikian pasien pasca operasi atau anestesi dapat terhindar darikomplikasi yang
disebabkein karena operasi atau pengaruh anestesinya.
BAB III

TINJAUAN KASUS

A. Pengkajian
Hari / tanggal : Rabu, 4 Maret 2020
Jam : 13.00 WIB
Tempat : RSUD Hj. Anna Lasmanah Banjarnegara
Metode : Wawancara, observasi, pemeriksaan fisik, studi
dokumen Sumber data : Pasien, petugas kesehatan, rekam medik
pasien
Oleh : Ninda Ega Yuniar, Jihan Sajidah, Sera Adhe Anantigas Timor,
Muhammad Abdul Aziz
1. Identitas Pasien
Nama : Tn. R
Umur : 65 Tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Status Pernikahan : Menikah
Alamat : Bulustalan, Semarang Selatan, Semarang
Pendidikan : Strata 1
Pekerjaan : Pensiunan
Diagnosis Medis : Ruptur Arteri Radialis Sinistra
Rencana Tindakan : Artery Repair
Dokter Bedah : dr. Wahyu, Sp.B.
Dokter Anestesi : dr. Siti Rakhmah Mustikawati, Sp.An.
No. Rekam Medis : 7690**
TAHAP PRE ANESTESI

1. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan utama
Tn. R mengeluh pusing, mata berkunang-kunang, ingin pingsan, nyeri
pergelangan tangan kiri, semakin nyeri untuk bergerak (P), nyeri seperti
disayat (Q), tidak menjalar (R), skala 5 (S), nyeri terus menerus (T). Pasien
tampak pucat, mengerang menahan nyeri.
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien rujukan dari Puskesmas Wanadadi II dengan kondisi perdarahan
pergelangan tangan kiri mengucur kuat.
c. Riwayat Penyakit Dahulu
Tn. R mengatakan pernah menjalani operasi appendiktomi 5 tahun yang lalu,
tidak memiliki riwayat penyakit menular, menurun, dan menahun.
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Tn. R mengatakan tidak ada riwayat penyakit menular, menurun, dan
menahun dalam keluarganya .
2. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum dan Tanda-Tanda Vital
Kesadaran : Compos mentis
GCS : E4 M6 V5
Tekanan Darah : 145/77 mmHg
Heart Rate : 97 x/menit
Respiration Rate : 22 x/menit
Suhu : 36,6ºC
SpO2 : 98%
b. Antropometri
Berat Badan : 62 kg
Tinggi Badan : 166 cm
Indeks Massa Tubuh (IMT) : 22,54 kg/m2 (normal)
c. Status Generalis
1) Kepala : bentuk mesocepal, tidak ada benjolan
2) Mata : isokor, konjungtiva anemis, sklera tidak ikterik
3) Telinga : pendengaran baik, tidak terdapat serumen
4) Hidung : tidak ada sekret, terpasang nasal kanul 4 liter per menit
5) Mulut : tidak memakai gigi palsu, tidak ada gigi goyang, tidak
memakai kawat gigi, malampati II, dapat membuka mulut
6) Wajah : tidak ada lesi
7) Leher : gerak leher bebas, ekstensi leher 3 jari dari leher, tidak
terdapat peningkatan vena jugularis, tidak terdapat pembesaran kelenjar
tiroid
8) Kulit : turgor kulit baik
9) Thoraks
(a) Paru-Paru
Inspeksi : pengembangan paru kanan dan kiri sama
Palpasi : Fremitus raba kanan kiri sama
Perkusi : Sonor
Auskultasi : Suara napas vesicular +/+, wheezing -/-, ronckhi -/-
(b) Jantung
Inspeksi : tidak ada kelainan
Palpasi : tidak ada kelainan
Perkusi : Batas jantung kesan tidak melebar
Auskultasi :Bunyi jantung I-II intensitas normal, regular, mur-mur (-)
10) Abdomen
Inspeksi : tidak ada benjolan, lesi, bentuk cembung
Auskultasi : bunyi usus 9x/menit
Perkusi : timpani
Palpasi : tidak teraba adanya benjolan, tidak ada nyeri tekan
11) Genitalia : terpasang DC No. 16, produktif urin (+)
12) Ekstremitas
(a) Atas
Tampak darah mengucur kuat dari pergelangan tangan kiri. Tangan
kanan terpasang infus Ringer Laktat 40 tetes per menit, tetesan
lancar. Tidak ada edema.
(b) Bawah
Tidak ada edema
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium : 4 Maret 2020 (CITO) IGD Pukul: 12.44 WIB
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal
Hematologi
CBC + 5 DIFF
Eritrosit L 4,0 10^6/uL 4,40-5,90
Hemoglobin L 12,1 g/dL 13,2-17,3
Hematokrit L 35 % 40-52
MCV 86 fL 80-100
MCH 30 Pg 26-34
MCHC 35 g/dL 32-36
RDWc 13,2 %
RDWs 40,9 fL 20,0-42,0
Trombosit 151 10^3/uL 150-400
PCT 0,17 %
MPV 10,9 fL 8,0-15,0
PDW 12,6 fL
Leukosit 7,3 10^3/uL 3,8-10,6
DIFF COUNT
LYM # 1,74 10^3/uL 1,00-4,80
MONO # 0,38 10^3/uL 0,0-0,8
NEUT # 4,92 10^3/uL 1,80-7,80
Eosinofil # 0,22 10^3/uL 0,0-0,45
BASO # 0,03 10^3/uL 0,0-0,2
LYM (%) L 23,90 % 25-40
Monosit (%) 5,20 % 2-8
Netrofil (%) 67,50 % 50-70
Eosinofil (%) 3,00 % 2,00-4,00
Basofil (%) 0,40 % 0-1
Profil CT/ BT
Masa pembekuan/ 5,20 menit 3-6
CT
Masa Pendarahan/ 2,40 menit 1-3
BT
KIMIA KLINIK
Gula Darah 125 mg/dL 70-146
Sewaktu
Ureum 29,3 mg/dL 10,0-50,0
Creatinin 0,73 mg/dL 0,60-1,10
SGOT 25 U/L 0-50
SGPT 21 U/L 0-50
Pemeriksaan Laboraturium : 4 Maret 2020 (CITO) IBS Pukul : 13.15 WIB
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal
Hematologi
CBC
Eritrosit L 4,0 10^6/uL 4,40-5,90
Hemoglobin L 9,6 g/dL 13,2-17,3
Hematokrit L 28 % 40-52
MCV 86 fL 80-100
MCH 30 Pg 26-34
MCHC 34 g/dL 32-36
RDWc 13,3 %
RDWs 40,6 fL 20,0-42,0
Trombosit L 149 10^3/uL 150-400
PCT 0,17 %
MPV 10,9 fL 8,0-15,0
PDW 12,6 fL
Leukosit 8,3 10^3/uL 3,8-10,6
4. Kesimpulan : Status Fisik ASA II dengan Perdarahan Massif, Hb rendah
5. Rencana Anestesi: General Anestesi dengan Endotracheal Tube (ETT)
6. Konversi : Tidak ada
7. Persiapan Pasien
a) Mengecek kelengkapan status pasien
b) Mengklarifikasi lama pasien puasa
c) Memasang IV Line 2 jalur
d) Melakukan pemeriksaan laboraturium : hematologi
e) Memposisikan pasien
f) Mengukur tanda-tanda vital
g) Mengklarifikasi riwayat asma, diabetes mellitus, hipertensi, dan alergi
8. Persiapan Mesin
a) Mengecek sumber gas
b) Mengecek isi volatil agent
c) Mengecek kondisi absorben
d) Melakukan kalibrasi mesin anestesi
9. Persiapan Alat :
a) S (Scope) : Laryngoscope dan stesoscope
b) T (Tube) : Endotracheal Tube (ETT) Kinking No. 6,5; 7,0; 7,5
c) A (Airway) : Oropharyngeal Airway, nasal kanul
d) T (Tape) : Plester/hepafix ± 20 cm 2 lembar
e) I (Introducer) : Mandril atau stilet
f) C (Conector)
g) S (Suction) : Mesin dan selang suction
h) Spuit 3 ml, 5ml, 10ml, 20 ml
i) Transfusi set
j) Abocath no 18
k) Elektroda EKG
10. Persiapan obat
a) Obat Premedikasi
-Dexamethason 10 mg/i.v
-Metoclopramide 10 mg/i.v
b) Obat Induksi
Propofol 130 mg/i.v
c) Obat Analgetik
-Fentanyl 100 mcg/i.v
-Katerolac 30 mg/i.v
d) Obat Pelumpuh otot
Roculax 40 mg/i.v
e) Obat Emegency
Neostigmine 0,5 mg/i.v
11. Persiapan Cairan
a) Cairan Kristaloid : Ringer Laktat 500 ml
b) Cairan Koloid : HAES 6% 500 ml
12. Pelaksanaan Anestesi
a. Pasien tiba di ruang penerimaan IBS pukul 13.00 WIB
b. Serah terima pasien dengan petugas IGD, memeriksa status pasien termasuk
informed consent, dan obat-obatan yang telah diberikan di IGD
c. Memasang IV Line 2 jalur di kaki kanan dan pengambilan sampel darah 0,5
cc
d. Memindahkan pasien ke brankar IBS
e. Memperkenalkan diri kepada Pasien, mengecek ulang identitas pasien,
nama, alamat, dan menanyakan ulang puasa makan dan minum, dan alergi,
serta berat badan saat ini
f. Memeriksa kelancaran infus dan alat kesehatan yang terpasang pada pasien
g. Menanyakan keluhan pasien saat di ruang penerimaan IBS
h. Melaporkan kepada dokter anestesi hasil pemeriksaan di ruang penerimaan
dari kolaborasi dengan dokter anestesi pasien dipindahkan ke meja operasi
ANALISIS DATA
No Data Masalah Penyebab
1 DS : Nyeri akut Agen injuri fisik
Tn. R mengeluh nyeri pergelangan
tangan kiri, semakin nyeri untuk
bergerak (P), nyeri seperti disayat (Q),
tidak menjalar (R), skala 5 (S), nyeri
terus menerus (T).
DO :
- Pasien mengerang menahan nyeri
- Tekanan Darah : 145/77 mmHg
- Heart Rate : 97 x/menit
- Respiration Rate : 22 x/menit
2 DS : Risiko syok : Perdarahan massif
Tn. R mengeluh pusing, mata hipovolemi
berkunang-kunang, ingin pingsan
DO :
- Tampak darah mengucur kuat
dari pergelangan tangan kiri
- Pasien tampak pucat
- Konjungtiva anemis
- Eritrosit 4,0 juta/uL
- Hemoglobin 12,1 g/dL
- Hematokrit 35 %
B. Diagnosis dan Perencanaan Tindakan Keperawatan

Perencanaan Tindakan
No Diagnosis Keperawatan Tujuan
Keperawatan
1 Rabu, 4 Maret 2020 Setelah dilakukan tindakan Rabu, 4 Maret 2020
Pukul : 13.15 WIB keperawatan pre anestesi Pukul : 13.15 WIB
Nyeri akut berhubungan dengan agen selama 10 menit, diharapkan a. Kaji nyeri secara komprehensif
injuri fisik ditandai dengan Tn. R nyeri berkurang dengan (P,Q,R,S,T).
mengeluh nyeri pergelangan tangan kiri, kriteria : b. Gunakan teknik komunikasi
semakin nyeri untuk bergerak (P), nyeri terapeutik.
seperti disayat (Q), tidak menjalar (R), a. Pasien mengatakan nyeri c. Ajarkan teknik relaksasi: nafas
skala 5 (S), nyeri terus menerus (T), berkurang. dalam.
pasien tampak pucat, mengerang b. Ekspresi wajah pasien d. Pantau tanda-tanda vital
menahan nyeri, tekanan darah 145/77 rileks
mmHg, heart rate 97 x/menit, c. Hemodinamik dalam (Aziz)
respiration rate 22 x/menit, suhu rentang :
36,6ºC, SpO2 98% - Tekanan darah :
110/80-130/80 mmHg
- Nadi : 80-100 x/menit
(Aziz)
- RR : 60-100 x/menit
(Aziz)
2 Rabu, 4 Maret 2020 Setelah dilakukan tindakan pre Rabu, 4 Maret 2020
Pukul : 13.15 WIB anestesi selama 15 menit Pukul : 13.15 WIB
Risiko syok : hipovolemi berhubungan diharapkan syok hipovolemi a. Pasang IV Line 2 jalur
dengan perdarahan massif ditandai tidak terjadi dengan kriteria : b. Lakukan pemeriksaan darah
dengan Tn. R mengeluh pusing, mata rutin
berkunang-kunang, ingin pingsan, a. Pasien tidak sesak napas c. Berikan terapi cairan kristaloid
tampak darah mengucur kuat dari saat istirahat 40 tetes per menit
pergelangan tangan kiri, pasien tampak b. Pasien tidak gelisah d. Pantau tanda-tanda syok (sesak
c. Pasien tidak diaforesis
pucat, konjungtiva anemis, eritrosit 4,0 napas, gelisah, keringat dingin)
d. Capillary Refill Time
juta/uL, hemoglobin 12,1 g/dL, e. Pantau tanda-tanda vital
hematokrit 35 % (CRT) < 2 detik
e. Tanda-tanda vital dalam
(Aziz) rentang normal (Aziz)
- Tekanan darah : 110/80-
130/80 mmHg
- Nadi : 80-100 x/menit
- RR : 60-100 x/menit
- SpO2 95-100%

(Aziz)
C. Pelaksanaan dan Evaluasi Tindakan Keperawatan
No Diagnosis Keperawatan Pelaksanaan Tindakan Keperawatan Evaluasi Tindakan Keperawatan
1 Rabu, 4 Maret Rabu, 4 Maret 2020 Rabu, 4 Maret 2020
2020 Pukul : 13.15 Pukul 13.15 WIB Pukul 13.25 WIB
WIB 1. Mengkaji nyeri secara S :
Nyeri akut berhubungan dengan agen komprehensif (P,Q,R,S,T) dan - Pasien mengatakan nyeri sedikit
injuri fisik ditandai dengan Tn. R mengukur tanda-tanda vital pasien berkurang
mengeluh nyeri pergelangan tangan 2. Membimbing pasien melakukan - P: gerakan
kiri, semakin nyeri untuk bergerak (P), teknik relaksasi napas dalam - Q: seperti disayat
nyeri seperti disayat (Q), tidak 3. Mengukur tanda-tanda vital - R: tidak menjalar
menjalar (R), skala 5 (S), nyeri terus - S: Skala nyeri 4 dari 10 (Numeric
menerus (T), pasien tampak pucat, (Sera) Rating Scale).
mengerang menahan nyeri, tekanan - T : terus menerus
darah 145/77 mmHg, heart rate 97 O:
x/menit, respiration rate 22 x/menit, - Tekanan darah: 143/75 mmHg
suhu 36,6ºC, SpO2 98% - Nadi: 87 x/menit
- RR : 21 x/menit
(Sera) - Pasien mengerang menahan nyeri
A : Nyeri akut teratasi sebagian

P:
- Pindahkan pasien dari ruang
penerimaan ke meja operasi.
- Persiapkan prosedur anestesi
- Dampingi pasien di meja operasi

(Sera)
2 Rabu, 4 Maret Rabu, 4 Maret 2020 Rabu, 4 Maret 2020
2020 Pukul : 13.15 Pukul 13.15 WIB Pukul 13.30 WIB
WIB 1. Memasang IV Line 2 jalur S:
Risiko syok : hipovolemi berhubungan 2. Mengambil sampel darah - Pasien mengatakan tidak sesak,
dengan perdarahan massif ditandai 3. Memberi terapi cairan kristaloid masih terasa pusing
dengan Tn. R mengeluh pusing, mata 40 tetes per menit O:
berkunang-kunang, ingin pingsan, 4. Memantau tanda-tanda syok - Pasien kooperatif, tidak ada
tampak darah mengucur kuat dari (sesak napas, gelisah, keringat diaforesis
pergelangan tangan kiri, pasien dingin) - Terpasang infus Ringer Laktat 40
tampak pucat, konjungtiva anemis, 5. Memantau tanda-tanda vital tetes per menit di kaki kanan
eritrosit 4,0 juta/uL, hemoglobin 12,1 - Tekanan darah: 143/75 mmHg
g/dL, hematokrit 35 % (Aziz) - Nadi: 87 x/menit
- RR : 21 x/menit
(Aziz) - SpO2 98%
- Capillary Refill Time (CRT) < 2
detik
- Tampak perdarahan pada
pergelangan tangan kiri (+)
A : Risiko syok hipovolemi teratasi
sebagian
P:
- Cek hasil laboraturium pemeriksaan
darah
- Pantau tanda-tanda syok
- Pantau tanda-tanda vital
- Sediakan tranfusi darah PRC 1 kalf
bila Hb < 10 g/dL

(Aziz)
TAHAP INTRA ANESTESI
1. Jenis Pembedahan : Ruptur arteri radialis sinistra dengan artery reapir
2. Jenis Anestesi : General anestesi
3. Teknik Anestesi : Intubasi Endotracheal Tube (ETT) Kingkin No. 7,0
4. Mulai Anestesi : Pukul 13.30 WIB
5. Mulai Operasi : Pukul 13.55 WIB
6. Posisi : Supine
7. Obat-Obatan
a. Premedikasi
: Dexamethason 10 mg/i.v, Metoclopramide 10 mg/i.v
b. Analgetik Narkotik
: Fentanyl 100 mcg/i.v
c. Induksi
: Propofol 130 mg/i.v
d. Pelumpuh Otot
: Roculax 40 mg/i.v
e. Medikasi Tambahan
: Neostigmin 0,5 mg/i.v
9. Maintenance : Isoflurane 2 cc vol%, N2O : O2 (1 lpm : 1 lpm)

10. Respirasi : Kontrol Ventilator


11. Cairan Durante Operasi : Ringer Laktat 1950 ml
12. Estimasi Perdarahan : ± 300 ml

13. Urin Output : ± 300 ml


14. Selesai Operasi : 14.45 WIB
15. Selesai Anestesi : 15.10 WIB

A. Monitoring Intra Anestesi


Saturasi
Tekanan Heart
Oksigen RR
Pukul Tindakan Darah Rate
SpO2 (x/menit)
(mmHg) (x/menit)
(%)
13.30  Memindahkan pasien ke meja 143/77 91 100 19
operasi dan memposisikan
supine
 Memasang manset, finger
sensor, dan EKG 3 lead
13.35  Memberikan injeksi obat 141/73 87 100 19
premedikasi : Dexamethason
10 mg/i.v, Metoclopramide 10
mg/i.v dan obat analgetik
Fentanyl 100 mcg/i.v
13.40  Memberikan injeksi obat 147/82 88 100 16
induksi : Propofol 130 mg/i.v
dan obat pelumpuh otot :
Roculax 40 mg/i.v
 Mengganjal bahu pasien
 Memberikan oksigenasi O2
100% 2 lpm melalui facemask
 Memberikan agent anestesi :
Isoflurane 2 cc vol%
13.42  Pasien tersedasi, reflek bulu 147/82 89 95
mata -/-
 Mengintubasi ETT Kingkin
No. 7,0
13.45  Memasang OPA 145/84 93 100 16
 Mengatur N2O : O2 (0,5 lpm :
0,5 lpm)
 Mengatur pernapasan
menggunakan mesin anestesi
mode ventilator control
13.50 Memantau tanda-tanda vital 144/81 87 100
13.55 Time out, Operasi dimulai 139/79 88 100 16
14.00  Maintenance agent anestesi 133/71 94 100 16
Isoflurane 1 cc vol%
14.05 Memantau tanda-tanda vital 137/73 96 100 16
14.10 Memantau tanda-tanda vital 135/76 97 100 16
14.15 Memantau tanda-tanda vital 142/81 91 100 16
14.20 Memantau tanda-tanda vital 138/78 93 100 16
14.25 Memantau tanda-tanda vital 138/77 97 100 16
14.30 Memantau tanda-tanda vital 136/73 97 100 16
14.35 Memantau tanda-tanda vital 140/78 94 98 16
14.40 Memantau tanda-tanda vital 142/75 87 99 16
14.45 Sign Out, dilakukan penutupan 137/74 85 99 16
area operasi
14.50 Memantau tanda-tanda vital 138/78 89 99 16
14.55  Operasi selesai 127/71 89 99 16
 Mengubah mode ventilator
menjadi manual spontan
 Menghentikan pemberian N2O
 Memberikan oksigenasi 100 %
O2 3 lpm
15.00  Memberikan injeksi obat 124/68 85 99 16
Neostigmin 0,5 mg/i.v
 Melakukan suction
15.05  Pernapasan spontan 129/77 92 99 16
 Mengekstubasi ETT dalam
keadaan pengaruh anestesi
(dalam)
 Memberikan oksigenasi O2
100 % 3 lpm menggunakan
facemask
15.10  Merangsang respon pasien : 123/72 89 98 16
pasien respon terhadap
rangsangan panggilan
 Melepas OPA
 Memindahkan pasien ke ruang
pemulihan
ANALISIS DATA
No Data Masalah Penyebab
1 DS : - Ketidakefektifan Disfungsi
DO: pola napas neuromuskuler
- Pasien terinduksi Propofol dampak
130 mg dan obat pelumpuh sekunder obat
otot Roculax 40 mg general anestesi,
- Reflek bulu mata -/- pelumpuh otot
- Tekanan Darah : 147/82
mmHg
- Heart Rate: 88 x/menit
- SpO2: 95%
2 DS : - Risiko aspirasi Penurunan
DO : tingkat
- Pasien belum sadar kesadaran
- Pasien terpasang ETT
Kingkin No. 7,0
- Banyak secret di dalam
ETT dan di daerah mulut
- Terdengar suara gurgling
B. Diagnosis dan Perencanaan Tindakan Keperawatan

Perencanaan Tindakan
No Diagnosis Keperawatan Tujuan
Keperawatan
1 Rabu, 4 Maret 2020 Setelah dilakukan tindakan Rabu, 4 Maret 2020
Pukul 13.40 WIB keperawatan intra anestesi, Pukul : 13.40 WIB
Ketidakefektifan pola napas diharapkan pola napas efektif a. Posisikan pasien untuk
berhubungan dengan disfungsi dengan kriteria : memaksimalkan ventilasi
neuromuskuler dampak sekunder obat b. Pasang oropharyngeal airway
general anestesi, pelumpuh otot ditandai a. Frekuensi pernapasan c. Pasang dan atur peralatan
dengan pasien terinduksi Propofol 130 dalam rentang normal (16- oksigenasi
mg dan obat pelumpuh otot Roculax 40 20 x/menit) d. Pantau tanda-tanda vital
mg, reflek bulu mata -/-, tekanan darah b. Tidak ada sianosis
147/82 mmHg, Heart Rate 88 x/menit, c. Tidak ada suara napas (Sera)
SpO2 95% abnormal
d. Tanda-tanda vital dalam
rentang :
(Sera)
- Tekanan darah :
110/80-130/80 mmHg
- Heart Rate : 80-100
x/menit
- SpO2 : 95-100%
(Sera)
2 Rabu, 4 Maret 2020 Setelah dilakukan tindakan Rabu, 4 Maret 2020
Pukul : 14.55 WIB keperawatan intra anestesi, Pukul : 14.55 WIB
Risiko aspirasi berhubungan dengan diharapkan tidak terjadi a. Lakukan suction
penurunan tingkat kesadaran ditandai aspirasi dengan kriteria : b. Pantau tingkat kesadaran, reflek
dengan pasien belum sadar, pasien batuk, dan kemampuan menelan
terpasang ETT Kingkin No. 7,0, banyak a. Tidak ada suara napas c. Kolaborasi dengan dokter
secret di dalam ETT dan di daerah abnormal spesialis anestesi pemberian
mulut, terdengar suara gurgling. b. Pernapasan spontan Neostigmin 0,5 mg/i.v
adekuat
c. Pasien mampu menelan
(Sera)
d. Tonus otot yang adekuat
(Sera)

(Sera)
C. Pelaksanaan dan Evaluasi Tindakan Keperawatan
Diagnosis Keperawatan Pelaksanaan Tindakan Evaluasi Tindakan Keperawatan
Keperawatan
Rabu, 4 Maret 2020 Rabu, 4 Maret 2020 Rabu, 4 Maret 2020
Pukul 13.40 WIB 1. Memosisikan pasien untuk Pukul 14.55 WIB
Ketidakefektifan pola napas memaksimalkan ventilasi dengan S:-
berhubungan dengan disfungsi mengganjal bahu dan O:
neuromuskuler dampak sekunder obat mengekstensikan kepala (13.42 - Pernapasan control ventilator
general anestesi, pelumpuh otot WIB) - Tidak ada sianosis
ditandai dengan pasien terinduksi 2. Pasang oropharyngeal airway - Terdengar suara gurgling
Propofol 130 mg dan obat pelumpuh (13.45 WIB) - Tekanan darah: 127/71mmHg
otot Roculax 40 mg, reflek bulu mata - 3. Mengubah ventilator ke mode - Heart Rate: 89 x/menit
/-, tekanan darah 147/82 mmHg, control ventilator (13.45 WIB) - SpO2: 99%
Heart Rate 88 x/menit, SpO2 95%. 4. Pantau tanda-tanda vital intra - RR : 16 x/menit
anestesi setiap 5 menit A : Pola napas teratasi sebagian
P:
(Jihan) - Lakukan suction
(Jihan) - Ubah mode ventilator manual
spontan
- Pantau tanda-tanda vital intra
anestesi setiap 5 menit

(Jihan)
Rabu, 4 Maret 2020 Rabu, 4 Maret 2020 Rabu, 4 Maret 2020
Pukul : 14.55 WIB 1. Memberikan injeksi Neostigmin Pukul : 15.10 WIB
Risiko aspirasi berhubungan dengan 0,5 mg/i.v hasil kolaborasi dengan S:-
penurunan tingkat kesadaran ditandai dokter spesialis anestesi (15.00 O:
dengan pasien belum sadar, pasien WIB) - ETT diekstubasi, pernapasan
terpasang ETT Kingkin No. 7,0, 2. Melakukan suction (15.00 WIB) spontan
banyak secret di dalam ETT dan di 3. Merangsang respon pasien (15.10 - Tidak ada suara napas tambahan,
WIB) tidak terdengar suara gurgling
daerah mulut, terdengar suara gurgling - Pasien batuk (+)
(Sera) - Pasien respon terhadap rangsangan
panggilan
(Sera) A : Risiko aspirasi tidak terjadi
P:
- Pantau respon menelan pasien
- Pantau tingkat kesadaran pasien
- Pantau tanda-tanda vital selama di
ruang pemulihan
- Pindahkan pasien ke ruang
pemulihan

(Sera)
TAHAP POST ANESTESI
A. Pengkajian
1. Identitas Pasien
Nama : Tn. R
Umur : 65 tahun
Tanggal : 4 Maret 2020
Pukul : 15.15 WIB
2. Keadaan Umum
- Pasien dalam keadaan lemas
- Pasien belum sadar penuh (kesadaran apatis)
- Pernapasan spontan
- Terpasang nasal kanul O2 2 liter per menit
- Tangan kanan terpasang infus RL 20 tetes per menit
3. Monitoring Post Anestesi
Saturasi
Tekanan Heart
Oksigen RR
Pukul Tindakan Darah Rate
SpO2 (x/menit)
(mmHg) (x/menit)
(%)
15.20 Memantau tanda-tanda vital 128/74 93 98 19
15.25 Memantau tanda-tanda vital 124/76 87 99 19
15.30 Memantau tanda-tanda vital 126/77 89 99 19

4. Penilaian Aldrette Skor


Waktu
Parameter Skor
5’ 10’ 15’ 30’
Tekanan darah menyimpang <20% dari normal 2 V V V
Sirkulasi Tekanan darah menyimpang 20%-50% dari normal 1
Tekanan darah menyimpang >50% dari normal 0
Sadar penuh 2 V
Kesadaran Respon terhadap panggilan 1 V V
Tidak ada respon 0
SpO2 >92% (dengan udara bebas) 2 V V V
Oksigenasi SpO2 >90% (dengan suplemen oksigen) 1
SpO2 <90% (dengan suplemen oksigen) 0
Pernapasan Bisa tarik napas dalam dan batuk bebas 2 V V V
Dispneu atau limitasi bernapas 1
Apneu/ Tidak bernapas 0
Menggerakkan 4 ekstrimitas 2 V V
Aktivitas Menggerakkan 2 ekstrimitas 1 V
Tidak mampu menggerakkan ekstrimitas 0
Total skor 8 9 10

ANALISIS DATA
No Data Masalah Penyebab
1 DS: - Risiko cedera Efek anestesi yang
DO: belum hilang
- Pasien post general anestesi
- Pasien dalam keadaan lemas
- Pasien belum sadar penuh
(kesadaran apatis)
- Aldrette skor 8 pada menit ke-5
- Tekanan Darah : 128/73 mmHg
- Heart Rate : 93 x/menit
- Respiration Rate : 19 x/menit
- SpO2 : 98%
B. Diagnosis dan Perencanaan Tindakan Keperawatan

Perencanaan Tindakan
No Diagnosis Keperawatan Tujuan
Keperawatan
1 Rabu, 4 Maret 2020 Setelah dilakukan tindakan Rabu, 4 Maret 2020
Pukul : 15.20 WIB keperawatan post anestesi Pukul : 15.20 WIB
Risiko cedera berhubungan dengan efek selama 15 menit, diharapkan a. Jaga posisi pasien immobile
anestesi yang belum hilang ditandai tidak terjadi cedera dengan b. Pasang pengaman tempat tidur
dengan pasien post general anestesi, kriteria : ketika melakukan transportasi
pasien dalam keadaan lemas, belum pasien
sadar penuh (kesadaran apatis), Aldrette a. Pasien sadar penuh setelah c. Pantau hilangnya efek obat
skor 8 pada menit ke-5, Tekanan Darah anestesi selesai anestesi
128/73 mmHg, Heart Rate 93 x/menit, b. Pasien mampu melakukan d. Lakukan penilaian aldrette skor
Respiration Rate 19 x/menit, SpO2 98% gerakan yang bertujuan
c. Pasien mampu (Aziz)
berkomunikasi
(Aziz)
d. Pasien tidak terjatuh
e. Aldrette skor 10

(Aziz)
C. Pelaksanaan dan Evaluasi Tindakan Keperawatan
Diagnosis Keperawatan Pelaksanaan Tindakan Evaluasi Tindakan Keperawatan
Keperawatan
Rabu, 4 Maret Rabu, 4 Maret 2020 Rabu, 4 Maret 2020
2020 Pukul : 15.20 Pukul 15.25 WIB Pukul 15.30 WIB
WIB 1. Menjaga posisi pasien immobile S:
Risiko cedera berhubungan dengan 2. Memasang pengaman tempat tidur
efek anestesi yang belum hilang 3. Memantau hilangnya efek obat - Pasien mengatakan tidak pusing,
ditandai dengan pasien post general anestesi tidak sesak napas, tidak mual dan
anestesi, pasien dalam keadaan lemas, 4. Menilai aldrette skor muntah
belum sadar penuh (kesadaran apatis), O:
Aldrette skor 8 pada menit ke-5, - Pasien sadar penuh
Tekanan Darah 128/73 mmHg, Heart (Aziz) - Pasien tidak jatuh selama di ruang
Rate 93 x/menit, Respiration Rate 19 penerimaan
x/menit, SpO2 98% - Aldrette skor 10
- Tekanan darah : 126/77 mmHg
(Aziz) - Heart rate : 89 x/menit
- RR : 19 x/menit
- SpO2 99%
- Pasien tampak rileks
A: Risiko cedera tidak terjadi
P:
- Pindahkan pasien ke IGD

(Aziz)
BAB IV

PEMBAHASAN
Menurut Pramono (2015), general anesthesia atau anestesi umum adalah
suatu tindakan yang bertujuan untuk menghilangkan nyeri, membuat tidak sadar
dan menyebabkan amnesia yang bersifat reversible , anestesi umum dapat
menyebabkan hilangnya ingatan saat dilakukan pembiusan dan operasi, sehingga
saat pasien tersadar, pasien tidak ingat peristiwa pembedahan yang baru
dilakukan. Menurut Mangku dan Senapathi (2010), metode atau teknik anestesi
umum dibagi menjadi 3 yaitu teknik anestesi umum intravena, anestesi umum
inhalasi, dan anestesi umum imbang.
Pemberian anestesi umum dengan teknik inhalasi, intravena ataupun
imbang mempunyai resiko komplikasi tersendiri pada pasien. Kematian
merupakan salah satu resiko komplikasi yang dapat terjadi pada pasien pasca
pemberian anestesi. Kematian yang disebabkan oleh anestesi umum terjadi kurang
dari 1:100.000 kasus, selain kematian ada komplikasi lain yaitu serangan jantung,
infeksi paru, stroke, trauma pada gigi atau lidah. Pasien yang akan menjalani
anestesi dan pembedahan (elektif/emergency) harus dipersiapkan dengan baik.
Pada prinsipnya dalam penatalaksanaan anestesi pada suatu operasi terdapat
beberapa tahap harus dilaksanakan yaitu pra anestesi yang terdiri dari persiapan
mental dan fisik pasien, perencanaan anestesi, menentukan prognosis dan
persiapan pada hari operasi. Tahap penatalaksanaan anestesi yang terdiri dari
Premedikasi, masa anestesi, dan pemeliharaan, Serta tahap pemulihan dan
perawatan post anestesi (Pramono, 2015).
Tahap sedasi dilakukan dengan nalbuphine 0,1 mg/kgBB dan dosis
propofol 1 mg/kgBB, diberikan selama 30 detik. Jika perlu, dosis tambahan
propofol 0,5 mg/kgBB diberikan sampai sedasi adekuat tercapai. Sedasi dianggap
adekuat, ketika pasien tidak sadar dan terangsang hanya dengan stimulasi fisik
yang signifikan. Pemeliharaan respirasi spontan diberikan melalui sungkup muka
(facemask). Sedasi dipertahankan dengan propofol 5 mg/kgBB/jam pada anak-
anak yang lebih tua dari 1 tahun, jika perlu (Brenner et al, 2010).
Penatalaksaanaan kasus Tn. di Instalasi Bedah Sentral RSUD Hj. Anna
Lasmanah Banjarnegara dengan yang dilakukan tindakan pembedahan arteri
repair menggunakan general anastesi telah sesuai dengan penelitian yang
dilakukan Brenner et al, 2010. Tahap premedikasi dilakukan dengan pemberian
midazolam 0,5 mg/i.v. Tahap sedasi dilakukan dengan induksi propofol 100
mg/i.v dan muscle relaxant berupa atracurium 25 mg/i.v. Tahap anastesi, pasien
dipasang ET sesuai ukuran,menggunakan bantuan laryngoscope. Pemeliharaan
respirasi dilakukan dengan pemberian O2 100% 1,5 liter per menit berbanding
dengan N2O 1,5 liter per menit. Hemodinamik Tn. stabil selama pembedahan
yang dipantau setiap 3 menit menggunakan bedside monitor.
Menurut Rao dan Martin (2011), untuk penanganan pasien dengan rupture
arteri, sebelum kedatangan pasien rumah sakit harus memiliki tim khusus untuk
menangani kasus ini. Tim harus memiliki pemimpin yang ditunjuk,setidaknya
seorang ahli bedah umum dan ahli anestesi. Kemudian pasien dating di ruang
gawat darurat (lingkungan hangat) kemudian diberikan oksigen, selanjutnya
menetapkan akses iv, dan memasang infus 2 jalur, kemudian melakukan
pengambilan sampel darah untuk persiapan cadangan darah. Sebelum dibawa ke
ruang operasi, pastikan pasien diberikan infus dengan cairan kristaloid. Untuk
selanjutnya memastikan ketersediaan spesialis berdasarkan cedera pasien (ahli
bedah saraf, ahli bedah toraks), berdasarkan jurnal tersebut, pasien Telah
dilakukan prosedur yang sesuai, seperti pemasangan infus 2 jalur, dan pertolongan
pertama pada pasien gawat darurat. Pada saat intra operasi pasien Telah diberikan
cairan sesuai dengan kebutuhan pasien, sehinga hemodinamik pasien tetap stabil.
DAFTAR PUSTAKA

Brenner, L., Kettner, S.C., Marhofer, P., Latzke, D., Willschke, H. O., Kimberger,
Adelmann, D., Machata, A.M. 2010. Caudal Anaesthesia Under
Sedation: A Prospective Analysis of 512 Infants and Children. British
Journal of Anaesthesia 104 (6) : 751–755.

Mangku, Gde., Senapathi, Tjokorda Gde A. (2010). Buku Ajar Ilmu Anestesia dan
Reaminasi. Jakarta: Indeks
Pramono, Ardi. (2015). Buku Kuliah : Anestesi. Jakarta : EGC
Rao, Srikantha., Martin, Fiona. (2011). Guideline for management of massive
blood loss in trauma. Update in Anaesthesia | www.anaesthesiologists.org

Anda mungkin juga menyukai