Anda di halaman 1dari 4

Analisis:

Pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang kuartal II 2020 tercatat minus 5,32


persen. Salah satu penyebabnya, konsumsi rumah tangga yang hampir separuh
menyumbang pertumbuhan ekonomi dari sisi pengeluaran turut mengalami
pertumbuhan minus Data BPS menunjukkan, konsumsi rumah tangga pada kuartal II
menyumbang 57,85 persen pertumbuhan ekonomi dari sisi pengeluaran. Namun,
tingkat konsumsi nyatanya minus hingga 5,51 persen. melemahnya konsumsi hampir
terjadi di seluruh sektor konsumsi. Konsumsi terhadap makanan dan minuman selain
restoran minus 0,71 persen. Kemudian pakaian, alas kaki, dan jasa perawatan minus
5,13 persen, transportasi dan komunikasi anjlok hingga minus 15,33 persen, restoran
dan hotel minus 3,2 persen Konsumsi rumah tangga yang positif hanya untuk
perumahan dan perlengkapan rumah tangga 2,3 persen serta kesehatan dan
pendidikan 2,02 persen. konsumsi masyarakat mengalami kontraksi tercermin dari
fenomena penjualan eceran yang mengalami penurunan pada seluruh kelompok
penjualan. Salah satunya, penjualan wholesale mobil yang mencerminkan
tingkat konsumsi masyarakat menengah ke atas turun 89,44 persen menjadi hanya
313.625 unit. Diikuti dengan turunnya produksi mobil di kuartal kedua sebesar 85,02
persen. Selain itu, kondisi penjualan whole sepeda motor juga turun 79,9 persen atau
hanya 313.625 unit. "Hasil survei Covid-19 oleh BPS dampak (daya beli) lebih ke
masrakat golongan menenah ke bawah. Menengah keatas terdampak tapi tidak terlalu
dalam.

Turunnya konsumsi masyarakat secara langsung menunjukkan rendahnya daya beli.


Hal itu terlihat dari laju inflasi pada kuartal II (April-Juni) yang jauh lebih rendah
dibanding waktu yang sama tahun lalu. Secara berturut, inflasi April hanya 2,67
persen, Mei 2,19 persen, dan Juni 1,96 persen. Padahal, periode April dan Mei
seharusnya menjadi puncak inflasi karena bertepatan dengan momen Ramadhan dan
Lebaran tahun ini. Inflasi yang rendah cerminan dari dua komponen. Satu sisi
tersedianya pasokan (barang) yang bagus oleh pemerintah. Tapi di satu sisi kita perlu
sadari daya beli. Ada peningkatan daya beli di Juni tapi masih jauh dari posisi angka
tahun lalu. Selain konsumsi rumah tangga, nyatanya konsumsi pemerintah juga
mengalami pertumbuhan minus. BPS mencatat, konsumsi atau tingkat belanja
pemerintah minus 6,9 persen pada kuartal II. Kemudian, pembentukan modal tetap
bruto (PMTB) yang mencerminkan realisasi investasi sektor riil juga minus 8,61
persen. Konsumsi lembaga non profit yang melayani rumah tangga (LNPRT) juga
minus 7,76 persen. Terakhir, pengeluaran untuk ekspor dan impor masing-masing
minus 11,66 persen dan 16,96 persen.  Ke depan, perekonomian kita sangat
dipengaruhi konsumsi rumah tangga dan investasi. Kita harus berupaya bagaimana
kedua komponen ini bisa bergerak lebih baik lagi di kuartal ketiga 2020.

Solusi:

Daya beli masyarakat yang melemah ini membuat arah kebijakan pemerintah terkait
inflasi menjadi berbeda dari sebelumnya. Bila biasanya pemerintah berusaha menjaga
harga bahan pokok demi mempertahankan angka inflasi di level rendah, tahun ini
justru angka inflasi dijaga agar tidak terlalu rendah. Presiden Joko Widodo pada
Rakornas Pengendalian Inflasi 2020 menyatakan, “Kondisi perekonomian di tahun
2020 sangat berbeda dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Kali ini kita
dituntut untuk mampu mempertahankan tingkat inflasi agar tidak terlalu rendah.
Inflasi harus kita jaga pada titik keseimbangan agar memberikan stimulus pada
produsen untuk tetap berproduksi di tengah pandemi yang membuat ekonomi
menjadi lesu, pemerintah perlu menjaga keseimbangan pasokan dan permintaan. Hal
ini dilakukan agar saat perekonomian nanti kembali pulih, harga bahan pokok tidak
melonjak atau malah jatuh. Ia ingin harga bisa stabil begitu pandemi Covid-19
perlahan mereda. Karena itu, kebijakan pengendalian inflasi tidak hanya fokus pada
upaya-upaya pengendalian harga, namun diarahkan juga agar daya beli masyarakat
terjaga.

Oleh karena itu, demi menjaga daya beli masyarakat, pemerintah melakukan upaya
melalui program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Program PEN merupakan
salah satu rangkaian kegiatan untuk mengurangi dampak Covid-19 terhadap
perekonomian. Pemerintah menjalankan program ini untuk merespon penurunan
aktivitas masyarakat di saat pandemi yang berdampak pada ekonomi khususnya
sektor informal atau UMKM. Dukungan yang diberikan dari program ini diantaranya
bagi UMKM menetapkan subsidi bunga sebesar Rp.34,15 T, insentif pajak sebesar
Rp.28,06 T serta penjaminan kredit modal kerja baru RP.6 T. Bagi korporasi,
diberikan insentif pajak sebesar Rp.34,95 T dan penempatan dana pemerintah di
perbankan untuk restrukturisasi debitur UMKM Rp.35 T. Dan bagi BUMN, terdapat
penyertaan modal negara, pembayaran kompensasi, talangan (investasi) modal kerja
dan dukungan-dukungan lainnya. elain itu, program PEN juga memberikan
perlindungan sosial kepada masyarakat untuk mendorong daya beli khususnya pada
kebutuhan sehari-hari masyarakat. Total sebesar Rp.203,9 T disiapkan pemerintah
untuk program perlindungan sosial dan Rp.1,3 T untuk insentif perumahan bagi
masyarakat berpenghasilan rendah. Program bantuan sosial diantaranya terdiri dari
program keluarga harapan (Rp.37,4 T), kartu sembako (Rp.43,6 T), diskon listrik
(Rp.6,9 T), bansos tunai non-jabodetabek (Rp.32,4 T), bansos sembako jabodetabek
(Rp.6,8 T), BLT dana desa (Rp.31,8 T), kartu pra kerja (Rp.20 T) serta untuk
kebutuhan logistik atau pangan (Rp.25 T). Dengan adanya perlindungan sosial
diharapkan sisi konsumsi masyarakat bisa kembali pulih. Karena kebijakan
mendorong sisi produksi (supply side) tidak akan efektif jika dari sisi permintaan
(demand side) atau daya beli masyarakat masih melemah.

Untuk mendongkrak daya beli dalam jangka pendek ada empat hal yang bisa
dilakukan oleh pemerintah. Pertama, jangan terlalu ketat mengejar pajak dari
masyarakat. Kedua, mendorong dana yang banyak tersimpan di bank-bank pemda
supaya jangan disimpan. “Ketiga, program dana desa harus cepat distribusinya ke
masyarakat. Itu akan meningkatkan daya beli,” ujarnya. Kemudian keempat,
membuat program-program spesial yang bersifat cepat, misalnya membangun jalan di
desa, mendorong siapa punya tanah untuk bikin pasar desa, atau bendungan kecil
yang hanya butuh biaya kecil. Dalam keadaan stagnasi di zaman dulu, dalam keadaan
krisis, pemerintah mengeluarkan cash untuk membangun infrastruktur kecil-kecil itu
dampaknya besar.
ementara itu, sudah ada program pemerintah untuk dapat mengakselarasi
pertumbuhan ekonomi, seperti program yang langsung bisa dimanfaatkan oleh
masyarakat, yakni program keluarga harapan (PKH), rastra, dan lain-lain. Menurut
Sri Mulyani, hal ini bersifat memberi support kepada masyarkat untuk mengurangi
beban mereka Dengan demikian akan bisa diakselarasi, eksekusinya memang akan
terlambat. Namun, itu akan bisa meningkatkan kapasitas dari masyarakat terutama
menengah ke bawah untuk bisa mendapatkan momentum untuk meningkatkan
konsumsinya

Anda mungkin juga menyukai