Anda di halaman 1dari 57

LAPORAN AKHIR

ANALISIS LELANG GULA PTPN/PETANI DALAM RANGKA


STABILISASI HARGA

PUSAT KEBIJAKAN PERDAGANGAN DALAM NEGERI


BADAN PENGKAJIAN DAN PENGEMBANGAN KEBIJAKAN PERDAGANAN
KEMENTERIAN PERDAGANGAN
2015
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena
berkat dan rahmat-Nya, sehingga laporan “ANALISIS LELANG GULA
PTPN/PETANI DALAM RANGKA STABILISASI HARGA” dapat diselesaikan.
Analisis ini dilatarbelakangi fluktuasi harga lelang di tingkat produsen yang
secara langsung berdampak pada stabilisasi harga ditingkat konsumen.
Dalam konteks stabilisasi harga dengan penekanan menjaga daya beli dan
tingkat inflasi, kenaikan harga lelang yang jauh di atas HPP (sebagai acuan
harga lelang) perlu dicermati mengingat dampaknya terhadap kenaikan harga
gula di tingkat eceran. Selain itu, dengan asumsi bahwa penetapan HPP oleh
pemerintah sudah mempertimbangkan keuntungan produsen, maka
perbedaan yang besar antara harga lelang dengan HPP berpotensi menjadi
aktivitas perburuan rente. Berdasarkan hal tersebut, analisis lelang gula
PTPN/petani dalam rangka stabilisasi harga, terutama untuk menjamin
keterjangkauan harga di tingkat konsumen perlu dilakukan.
Kajian ini diselenggarakan secara swakelola oleh Pusat Kebijakan
Perdagangan Dalam Negeri, dengan tim peneliti terdiri dari Sri Hartini, Miftah
Farid, Bagus Wicaksena, Riffa Utama, Rahayu Ningsih dan Dwi Wahyuniarti
serta dibantu tenaga ahli
Disadari bahwa laporan ini masih terdapat berbagai kekurangan, maka
kami mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun. Dalam
kesempatan ini tim mengucapkan terima kasih terhadap berbagai pihak yang
telah membantu terselesainya laporan ini. Sebagai akhir kata semoga hasil
penelitian ini dapat dijadikan masukan bagi pemimpin dalam merumuskan
kebijakan di pengembangan Pasar Lelang gula di Indonesia.

Jakarta, Oktober 2015


Pusat Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan i


ABSTRAK

Analisis Lelang Gula Ptpn/Petani Dalam Rangka Stabilisasi Harga


dilatarbelakangi fluktuasi harga lelang di tingkat produsen yang secara
langsung berdampak pada stabilisasi harga ditingkat konsumen. asumsi
bahwa penetapan Harga Patokan Petani (HPP) oleh pemerintah sudah
mempertimbangkan keuntungan produsen, maka perbedaan yang besar
antara harga lelang dengan HPP berpotensi menjadi aktivitas perburuan
rente. Analisis ini bertujuan menganalisis pelaksanaan lelang gula dan
menganalisis kebijakan lelang gula dalam mendukung stabilisasi harga. Hasil
analisis menunjukkan semenjak berlakunya Kepmenperindag No
643/MPP/Kep/9/2002 yang disempurnakan dengan Kepmenperindag No
527/MPP/Kep/9/2002, maka penjualan gula PG dan petani umumnya
dilakukan secara lelang. Dan Penjualan secara lelang dapat memberikan
beberapa manfaat bagi produsen gula, diantaranya untuk mendorong
penciptaan harga transparan, kompetitif, inklusif serta proses penjualan yang
efisien. Pelaksanaan lelang menjadi sarana pemasaran yang efisien bagi
PTPN dibandingkan dengan penjualan langsung ke beberapa pedagang.

Kata kunci: Lelang Gula, Stabilisasi Harga, Kebijakan Pemerintah

ABSTRACT

Analysis of PTPN / Farmers Sugar Auction In Order Price Stabilization


motivated auction price fluctuations at the producer level that directly impact
price stability at the consumer price level. Assuming that the determination of
Harga Patokan Petani (HPP) by the government has been considering the
advantages of manufacturers, the large difference between the auction price
of the HPP potential to be a rent-seeking activities. This analysis aims to
analyze the sugar auction and sugar auction policy analyzes in support of the
stabilization of prices. The analysis showed since the enactment of
Kepmenperindag No. 643 / MPP / Kep / 9/2002-enhanced Kepmenperindag
No. 527 / MPP / Kep / 9/2002, sales of sugar PG and farmers generally done
by auction. Sales by auction and may provide some benefits for sugar
producers, such as to encourage the creation of transparent pricing,
competitive, inclusive and efficient sales process. Auction into an efficient
marketing tool for PTPN compared with direct sales to some traders.

Key words: Sugar Auction, Price Stabilization, Government Policy

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan ii


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................... i


ABSTRAK/ABSTRACT .................................................................................. ii
DAFTAR ISI ................................................................................................... iii
DAFTAR TABEL ............................................................................................ v
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... vi
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1
1.1. Latar Belakang ............................................................................... 1
1.2. Perumusan Masalah ...................................................................... 1
1.3. Tujuan ............................................................................................ 3
1.4. Keluaran Yang Diharapkan ............................................................ 3
1.5. Perkiraan Manfaat dan Dampak ..................................................... 3
1.6. Ruang Lingkup ............................................................................... 3
1.7. Sistematika Laporan ....................................................................... 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 5
2.1. Tinjauan Umum Pasar Lelang ........................................................ 5
2.2. Teori Kontrak Komoditas ................................................................ 7
2.2.1. Mekanisme Penegakan Kontrak dan Instrumen Ekstralegal 8
2.3. Pasar Lelang dan Stabilisasi Harga ............................................... 9
2.4. Kerangka Berpikir ......................................................................... 10
BAB III METODOLOGI ................................................................................. 13
3.1. Metode Analisis ............................................................................ 13
3.2. Jenis Data dan Metode Pengumpulan Data ................................. 13
3.2.1. Jenis Data dan Sumber Data ............................................. 13
3.2.2. Metode Pengumpulan Data ............................................... 14
BAB IV PELAKSANAAN LELANG GULA DI PTPN .................................... 15
4.1. Penjualan Gula PTPN Dalam Dinamika Kebijakan Pergulaan
Nasional .............................................................................................. 15
4.2. Mekanisme Lelang Gula PTPN .................................................... 23

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan iii


4.3. Perkembangan Harga Lelang dan HPP ....................................... 27
BAB V LELANG GULA DAN KEBIJAKAN STABILISASI HARGA ............ 30
5.1. Mekanisme Stabilisasi Harga Gula............................................... 30
5.2. Kebijakan Lelang Gula Dalam Rangka Stabilisasi Harga ............. 46
BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN ....................... 48
6.1. Kesimpulan................................................................................... 48
6.2. Rekomendasi ............................................................................... 49
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 50

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan iv


DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Jenis dan Sumber Data ................................................................. 14


Tabel 4.1 Regim Kebijakan Pergulaan Nasional ........................................... 16

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan v


DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Kerangka Berpikir ..................................................................... 12


Gambar 4.1 Mekanisme Penjualan Gula PTPN/Petani ................................ 26
Gambar 4.2 Perkembangan HPP, Harga Lelang, dan Harga Eceran .......... 28
Gambar 5.1 Kerangka Kebijakan Sistem Stabilisasi Harga Gula ................. 32
Gambar 5.2 Mekanisme Penyusunan Neraca Gula Nasional ...................... 33
Gambar 5.3 Mekanisme Penentuan Harga Patokan Petani (HPP) dan
Harga Eceran Tertinggi (HET) Versi 1 ...................................... 36
Gambar 5.4 Mekanisme Penentuan Harga Patokan Petani (HPP) dan
Harga Eceran Tertinggi (HET) Versi 2 ...................................... 37
Gambar 5.5 Mekanisme Pengadaan CGP oleh Bulog ................................ 40
Gambar 5.6 Mekanisme Impor Gula ............................................................ 42
Gambar 5.7 Mekanisme Operasi Pasar Gula............................................... 45

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan vi


BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Saat ini, sebagian besar produsen gula melakukan penjualan
gulanya dengan cara lelang terbuka yang dilaksanakan secara rutin
sepanjang musim giling tebu. Mekanisme pelaksanaan lelang gula
mengacu pada Keputusan Menteri Keuangan Nomor 304/KMK.01/2002
tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang dengan unsur pokok yang terdiri
dari: waktu dan tempat tertentu, dilakukan di depan umum dengan
mengumpulkan peminat melalui pengumuman, dilaksanakan dengan
cara penawaran yang khusus (tertulis dan/atau lisan), dan penawaran
harga tertinggi merupakan pemenang lelang (Rosalia, 2012).
Beberapa studi menjelaskan bahwa pelelangan gula dapat
memberikan manfaat bagi produsen gula, diantaranya untuk mendorong
penciptaan harga transparan, kompetitif, dan inklusif (Susila, 2015);
penciptaan sistem perdagangan yang transparan, efisien, dan
penciptaan insentif bagi peningkatan mutu dan produk sekaligus
pendapatan produsen (Epakartika & Kurniawan, 2004); penciptaan
keuntungan melalui perolehan harga tertinggi (Susila, 2015); dan
bahkan dianggap sebagai salah satu kemitraan antara pabrik gula
dengan petani dalam memberi kepastian pasar (Nanda, 2013).

1.2. Perumusan Masalah


Dalam tata niaga gula, harga lelang idealnya berada di atas
Harga Patokan Petani (HPP) yang ditetapkan pemerintah. Hal ini
bertujuan untuk menjamin keuntungan petani tebu dan produsen gula.
Selama periode 2007 – 2014, harga lelang rata-rata berada sekitar
16.04% di atas HPP. Perbedaan tertinggi terjadi sepanjang tahun 2009

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 1


dimana harga lelang secara rata-rata 34,75% lebih tinggi di atas HPP
(Kementan, 2015). Secara filosofis, HPP yang diatur dalam Surat
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor
527/MPP/Kep/9/2004 tentang Ketentuan Impor Gula merupakan salah
satu persyaratan dalam pelaksanaan impor. Dalam peraturan dimaksud
disebutkan impor dapat dilakukan jika harga gula di tingkat petani di
atas Rp 3.410/kg, yang merupakan HPP (Pasal 7 Ayat 2b). Hal tersebut
menjelaskan bahwa regulasi tersebut secara tidak langsung
menekankan bahwa HPP sudah dapat menjamin keuntungan petani
sekaligus cerminan harga yang layak dalam tataniaga gula, sehingga
pemerintah dapat mengimpor jika harga gula sudah di atas HPP.
Dengan demikian, harga lelang yang lebih tinggi dari HPP makin
menunjukkan perbaikan kesejahteraan bagi produsen. Insiden harga
lelang yang lebih rendah juga pernah terjadi pada tahun 2014, dimana
harga lelang lebih rendah sekitar 5,6% dari HPP.
Dalam konteks stabilisasi harga dengan penekanan menjaga
daya beli dan tingkat inflasi, kenaikan harga lelang yang jauh di atas
HPP juga perlu dicermati mengingat dampaknya terhadap kenaikan
harga gula di tingkat eceran. Selain itu, dengan asumsi bahwa
penetapan HPP oleh pemerintah sudah mempertimbangkan
keuntungan produsen, maka perbedaan yang besar antara harga lelang
dengan HPP berpotensi menjadi aktivitas perburuan rente. Berdasarkan
hal tersebut, analisis lelang gula PTPN/petani dalam rangka stabilisasi
harga, terutama untuk menjamin keterjangkauan harga di tingkat
konsumen perlu dilakukan.

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 2


1.3. Tujuan
Berdasarkan latar belakang di atas, maka tujuan dari analisis ini
adalah sebagai berikut:
a. Menganalisis pelaksanaan lelang gula.
b. Menganalisis kebijakan lelang gula dalam mendukung stabilisasi
harga.

1.4. Keluaran Yang Diharapkan


a. Gambaran tentang dasar hukum dan mekanisme pelaksanaan
lelang gula.
b. Rekomendasi kebijakan lelang gula dalam mendukung stabilisasi
harga

1.5. Perkiraan Manfaat dan Dampak


Melalui analisis ini, diharapkan diperoleh gambaran yang jelas
tentang dasar hukum, historis, dan pelaksanaan lelang gula dan dapat
dirumuskan kebijakan lelang gula yang mendukung stabilisasi harga
dalam rangka menjaga daya beli masyarakat dan pengendalian inflasi.

1.6. Ruang Lingkup


Analisis ini dibatasi pada dasar hukum dan mekanisme lelang
gula yang dilakukan oleh PTPN/RNI yang melakukan kerjasama dengan
petani tebu dalam skema Tebu Rakyat.

1.7. Sistematika Laporan


Laporan analisis akan disusun dalam 6 (enam) Bab dengan
sistematika sebagai berikut
Bab I. Pendahuluan. Terdiri dari Latar Belakang yang menjelaskan
permasalahan dan alasan pelaksanaan analisis, Tujuan,
Keluaran, Manfaat, dan Ruang Lingkup kajian.

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 3


Bab II. Tinjauan Pustaka. Teridri dari teori terkait lelang, kontrak yang
disertakan dalam lelang khususnya produk pertanian, konsep
lelang dan stabilisasi harga, kerangka teori yang menjadi acuan
analisis, dan kerangka berpikir.
Bab III. Metodologi. Menjelaskan metode analisis yang digunakan,
sumber data dan teknik pengumpulan data yang digunakan, dan
sampel pada daerah penelitian. Metode yang digunakan adalah
analisis kualitatif melalui telaah literatur (literature review) terkait
kebijakan lelang dan mekanismenya. Untuk merumuskan
kebijakan, dilakukan triangulasi untuk mengklarifikasi hasil telaah
literatur dengan pemangku kepentingan (stakeholder)
Bab IV. Pelaksanaan Lelang Gula di PTPN. Menjelaskan mekanisme
lelang gula di PTPN, dasar hukum dan kebijakan, serta
perkembangan pelaksanaan lelang.
Bab V. Kebijakan Lelang Gula Dalam Rangka Stabilisasi Harga.
Menjelaskan opsi kebijakan pelaksanaan lelang gula dalam
mendukung stabilisasi harga gula, baik di tingkat produsen
maupun konsumen.
Bab VI. Kesimpulan dan Rekomendasi Kebijakan. Menyampaikan
kesimpulan dari analisi ini serta rekomendasi kebijakan
pelaksanaan lelang gula dalam mendukung stabilisasi harga gula.

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 4


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Umum Pasar Lelang

Penyelenggaraan pasar lelang di Indonesia mengacu pada


Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI
No.60/MPP/Kep/10/2004 tentang Ketentuan Penyelenggaraan Pasar
Lelang Kemudian (Forward) Komoditi Agro.Dalam perkembangannya,
pasar dan dinamika yang terjadi dalam penyelenggaraan pasar lelang
mengalami perubahan dari waktu ke waktu atau “evolusi kelembagaan”
sebagai bentuk dan konsekuensi atas perubahan dan dinamika itu
sendiri.
Evolusi penyelenggaraan pasar lelang merupakan gambaran
mengenai pergerakan pasar lelang dari situasi saat menuju ke situasi
yang diharapkan.Sistem pasar lelang yang selama ini terjadi adalah
system pasar lelang tradisional dimana pembeli dan penjual bertemu
dan bertatap muka di suatu tempat dengan perantara penyelenggara
pasar lelang.Dengan sistem yang demikian, penjual/pembeli diharuskan
untuk hadir pada tempat dan waktu yang bersamaan. Jika lokasi
pembeli dan penjual tidak berada pada tempat yang sama, maka
diperlukan biaya perjalanan yang akhinya akan mempengaruhi biaya
transaksi. Saat ini, penyelenggara pasar lelang seperti biaya
transportasi dan akomodasi, oleh karena penyelenggara pasar lelang
harus mengundang peserta lelang yang berdomisili diberbagai tempat.
Selain sistem lelang tradisional, dikenal juga sistem pasar lelang
online. Pada penerapan sistem pasar lelang online,biaya transaksi
berupa biaya akomodasi dan transportasi oleh peserta lelang dapat

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 5


direduksi. Meski demikian, terdapat beberapa kelemahan dalam
penerapan pasar lelang sistem online.
Pada tanggal 22 Juni 2004, mantan Presiden Megawati Sukarno
Putri meresmikan empat lokasi pasar lelang yaitu didaerah Sulawesi
Selatan, DKI Jakarta, Sumatera Utara dan Riau. Peresmian tersebut
merupakan tindak lanjut dari pencanangan program Nasional Pasar
Lelang Komoditi Agro pada tanggal 3 April 2004 di Surabaya yang
disertai dengan peresmian penyelenggaraan pasar lelang di 5 daerah
yaitu di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Barat dan
Sulawesi Utara. Pasar lelang Jawa Barat sendiri sudah diselenggarakan
semenjak Tahun 2003 dan saat ini rutin dilaksanakan setiap bulannya.
Pada dasarnya, pengembangan pasar lelang komoditi agro
merupakan salah satu upaya untuk mengembangkan agro industri di
Indonesia. Digelarnya pasar lelang komoditi agro merupakan cara untuk
membentuk pemasaran produk pertanian yang berkeadilan dan
bermartabat. Caranya dengan menciptakan kepastian harga, kepastian
tanam, kepastian panen, kepastian pengiriman dan kepastian
kualitas.Indonesia sebenarnya sudah puluhan tahun ingin menciptakan
kondisi seperti ini. Tujuannya agar petani memiliki kekuatan posisi tawar
serta lebih memahami dan menguasai teknologi Pengembangan pasar
lelang bertujuan antara lain :
a) Mempersingkat mata rantai dengan mempertemukan penjual dan
pembeli secara langsung
b) Meningkatkan posisi tawar petani dalam upaya meningkatkan
kesejahteraaan petani
c) Mewujudkan harga yang transparan untuk dijadikan acuan
d) Mendorong meningkatkan mutu produksi sehingga meningkatkan
daya saing
e) Mewujudkan kepastian dan perluasan pemasaran

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 6


f) Memperpendek mekanisme pasar dan memutus mata rantai
perdagangan yang selama ini merugikan petani

2.2. Teori Kontrak Komoditas

Secara umum, kontrak menggambarkan kesepakatan satu


pelaku untuk melakukan tindakan yang memiliki nilai ekonomi kepada
pihak lain, tentunya dengan konsekuensi adanya tindakan balasan
(reciprocal action) atau pembayaran. Namun, di dalam pelaksanaannya,
di dalam kontrak terdapat unsur yang tidak lengkap dikarenakan dua
alasan (Klein, 1980:356-358; dalam yustika, 2008:105). Pertama,
adanya ketidakpastian (uncertainty) menyebabkan terbukanya peluang
yang cukup besar bagi munculnya contingencies, sehingga hal itu
berimplikasi kepada munculnya biaya untuk mengetahui dan
mengidentifikasi dalam rangka merespons seluruh kemungkinan
ketidakpastian tersebut. Kedua, kinerja kontrak khusus (particular
contractual performance), misalnya menentukan jumlah energi yang
dibutuhkan pekerja untuk melakukan pekerjaan yang rumit (complex
task), mungkin membutuhkan biaya yang banyak untuk melakukan
pengukuran.
Munculnya faktor ketidakpastian disebabkan adanya informasi
yang bersifat asimetris (asymmetric information) dalam kegiatan
ekonomi. Secara teknis, informasi asimetris tidak lain merupakan
kondisi di mana keridaksetaraan informasi atau pengetahuan (unequal
knowledge) yang dialami oleh pelaku-pelaku (parties) untuk melakukan
transaksi di pasar. Sebagai contoh, pembeli dan penjual memiliki
informasi yang tidak sama tentang harga, kualitas, atau aspek lainnya
tentang barang atau jasa yang hendak diperjualbelikan (McConnel dan
Brue, 2005:572; dalam yustika, 2008:105). Di sinilah dibutuhkan suatu
kontrak yang lengkap sehingga eksistensi informasi asimetris tadi dapat
dikurangi atau direduksi.

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 7


2.2.1. Mekanisme Penegakan Kontrak dan Instrumen Ekstralegal

Faktor perbedaan jenis kontrak (Menard, 2000:236; dalam


Yustika, 2008:110). Pertama, jangka waktu (duration) dari kontrak.
Hampir semua studi empiris yang dilakukan menunjukkan bahwa
jangka waktu kontrak sangat berhubungan dengan atribut dari
transaksi. Oleh karena itu, jangka waktu sekaligus juga
menggambarkan komitmen (signal commitment) dari para mitra.
Kedua, derajat kelengkapan (degree of completeness), yang
mencakup variabel-variabel harga, kualitas, aturan keterlambatan
(delay), dan penalti.Beberapa studi menunjukkan bahwa derajat
kelengkapan kontrak meningkat seiring dengan spesifikasi aset dan
menurun bersamaan dengan ketidakpastian. Ketiga, kontrak biasanya
bersinggungan dengan insentif.
Mekanisme tersebut antara lain adalah sistem tingkat yang
tetap (piece-rate systems), upah berdasarkan jam kerja, distribusi
bagian kepada pekerja, pengembalian aset yang dibayarkan kepada
pemilik, dan sewa yang dibagi di antara mitra yang bergabung dalam
proyek.Keempat, prosedur penegakan (enforcement procedures) yang
berlaku. Kontrak berhubungan dengan mitra untuk tujuan yang saling
menguntungkan (mutual advantage), tetapi pada tempo yang
bersamaan kontrak juga menyimpan risiko kerugian (disadvantage)
melalui sikap oportunis (opportunism), entah disebabkan oleh kontrak
yang tidak lengkap maupun kondisi pelaksanaan yang berbeda
dengan situasi pada saat negosiasi, atau bisa karena keduanya. Isu
yang utama adalah mencari kesepakatan yang optimal, yakni kontrak
didesain sebegitu rupa sehingga pelaku (agents) memiliki insentif yang
memadai untuk mematuhi atas kontrak yang sudah dimufakati.Kontrak
semacam ini semestinya harus dapat memaksakan sendiri (self-

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 8


enforcing), dalam arti implementasinya tergantung kepada mekanisme
otomatis (built-in mechanism).

2.3. Pasar Lelang dan Stabilisasi Harga

Secara historis, sistem lelang gula PTPN mulai diberlakukan


sekitar tahun 1998 dimana pemerintah menerapkan kebijakan
liberalisasi pada komoditas gula. Sementara sebelum periode tersebut,
gula milik PTPN tidak dijual melalui mekanisme lelang, melainkan
diserap oleh Bulog dengan tingkat harga provenue yang ditetapan
pemerintah.
Penerapan konsep lelang terhadap berbagai komoditi agro
memiliki beberapa maksud dan tujuan.Secara tidak langsung,
mekanisme pasar lelangdapat menjaga harga stabil di tingkat
produsen.Dengan konsep lelang, maka baik penjual maupun pembeli
memiliki posisi tawar yang sama. Untuk kasus gula, adanya penetapan
Harga Patokan Petani (HPP) menjadikan harga gula menjadi lebih stabil
karena harga yang dicapai pada proses lelang akan berkisar di sekitar
harga HPP, dan harga yang terbentuk adalah harga yang terbaik secara
transparan (fair price) dan dapat dipertanggung-jawabkan. maka harga
di tingkat petani (produsen) akan dijaga stabil.
Meskipun dalam penetapannya, HPP ditujukan untuk memberi
perlindungan harga bagi produsen/petani tebu, namun dalam praktiknya
HPP lebih sekedar sebagai harga acuan dan bukan harga perlindungan
bagi petani.Sejak diberlakukannya sistem pasar lelang untuk gula,
secara empiris, harga gula yang ditetapkan di pasar lelang cukup
bervariasi.Secara umum harga berada di atas HPP, namun pada
periode tertentu harga gula juga berada di bawah HPP.

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 9


2.4. Kerangka Berpikir

Proses lelang gula diikuti oleh beberapa pelaku diantaranya


Petani, PTPN, Distributor/pedagangan besar. Tebu yang dihasilkan oleh
petani disuplai ke PTPN untuk kemudian diolah menjadi Gula Kristal
Putih (GKP).Oleh Karena itu proses lelang hanya untuk GKP dan tidak
untuk Gula Kristal Rafinasi (GKR). Gula Kristal Putih ini kemudian dalam
jumlah curah dilelang dengan mengacu pada Harga Pembelian Petani
(HPP) yang ditetapkan Pemerintah sehingga harga yang terbentuk
dalam proses lelang akan berada pada kisaran HPP. Harga yang
terbentuk terkadang berada di atas HPP, namun terkadang harga yang
terbentuk justru di bawah HPP.
Secara hipotesis, harga yang terbentuk dari mekanisme lelang,
yang umumnya mengacu kepada HPP, merupakan harga yang layak
(fair) bagi petani karena telah mempertimbangkan keuntungan bagi
petani. Dengan kata lain, harga lelang selama mengacu pada HPP
merupakan harga terbaik bagi petani, mengingat peran HPP sebagai
acuan harga minimum di tingkat produsen. Dalam implementasinya,
harga lelang merupakan harga kesepakatan yang dijadikan dasar dalam
pembentukan harga berikutnya, yaitu harga di tingkat distributor dan
pengecer dalam periode tertentu (umumnya per bulan). Dengan
demikian, dengan mekanisme harga lelang, produsen setidaknya dapat
memperoleh harga yang wajar, transparan, dan relatif stabil selama
periode tertentu. Hal ini ditambah dengan besaran HPP yang cenderung
stabil (kalaupun terjadi kenaikan tidak terlalu signifikan) maka dapat
dikatakan bahwa harga yang terbentuk dalam proses lelang akan
menjaga tingkat stabilisasi harga di tingkat petani.
Sementara pada sisi lain, harga lelang secara hipotesis belum
tentu dapat menjamin kestabilan harga di tingkat konsumen, mengingat
harga di tingkat konsumen dipengaruhi oleh HPP, biaya distribusi, dan
harga internasional (Susila dan Munadi, 2008). Jika harga di tingkat

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 10


produsen (harga lelang) tinggi di atas HPP, di tambah dengan
perubahan biaya distribusi dan gejolak harga internasional, maka
mekanisme lelang tidak dapat menjamin harga di tingkat konsumen.
Dengan demikian, jika kebijakan harga pada komoditas gula ingin
menstabilkan dan menguntungkan harga di tingkat produsen dan
konsumen, maka perlu dipertimbangkan mekanisme stabilisasi harga
yang tetap berada pada kerangka mekanisme lelang gula.

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 11


Lelang Gula Harga Berdasarkan Mekanisme Lelang
Gula
Mengacu pada
Gula PTPN Lelang Harga Lelang
Harga Patokan
Petani (HPP)

Peserta Lelang: Petani/Produsen, Terbentuk Keseimbangan


Distributor, Pedagang Besar Harga Produsen dan Harga Fair di
Konsumen Tingkat Petani

Pemenang Lelang
Berdasarkan Mekanisme Harga Dengan asumsi lelang gula
Pasar Wholesaler dilaksanakan per bulan, maka
harga lelang akan berlaku
untuk masa satu bulan.

Stabilisasi Harga
Konsumen? Harga
Konsumen

Perlu Lembaga
Stabilisasi Harga
Harga Konsumen dipengaruhi
oleh: HPP, Biaya Distribusi,
Harga Internasional (Susila
dan Munadi, 2008)

Gambar 2.1 Kerangka Berpikir

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 12


BAB III
METODOLOGI

3.1. Metode Analisis


Dalam analisis, digunakan metode analisis yang bersifat
kualitatif. Untuk menjawab tujuan pertama, dilakukan telaah literatur
(literature review) terkait kebijakan lelang dan mekanismenya.
Sementara untuk menjawab tujuan kedua tentang rumusan kebijakan
pelaksanaan lelang gula dalam mendukung stabilisasi harga gula,
digunakan metode triangulasi. Menurut Denzin (2000), metode
triangulasi yang digunakan dalam analisis ini adalah jenis metode
triangulasi sumber data, yaitu menggali kebenaran telaah literatur,
melalui depth interview dengan stakeholder yang meliputi pelaku usaha
dan pemerintah.

3.2. Jenis Data dan Metode Pengumpulan Data


3.2.1. Jenis Data dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam analisi ini adalah data sekunder
yang terdiri dari dasar hukum, kebijakan, dan mekanisme lelang.
Sementara itu, dalam menjelaskan mekanisme lelang gula, akan
digunakan data harga lelang dan HPP Gula sebagai
pembanding.Tabel 3.1 menyajikan data dan informasi yang diperlukan
dengan sumber datanya

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 13


Tabel 3.1 Jenis dan Sumber Data

No Jenis Data Sumber Data


1 Dasar hukum pelaksanaan lelang Kementerian Pertanian, Kementerian
gula PTPN/Petani Perindustrian, dan Kementerian
BUMN
2 Kebijakan terkait lelang gula Kementerian Pertanian, Kementerian
PTPN/Petani Perindustrian, Kementerian
Perdagangan, dan Kementerian
BUMN
3 Perkembangan dan dinamika Kementerian Perindustrian,
mekanisme penjualan gula dan lelang Kementerian Perdagangan,
Kementerian BUMN, dan Asosiasi
4 Harga lelang dan HPP Kementerian Pertanian dan
Kementerian Perdagangan

3.2.2. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara mendalam


(depth interview) dengan pemangku kepentingan (stakeholders) yang
terdiri dari Kementerian Pertanian, Kementerian Perindustrian,
Kementerian BUMN, dan Asosiasi Gula Indonesia (AGI).

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 14


BAB IV
PELAKSANAAN LELANG GULA DI PTPN

4.1. Penjualan Gula PTPN Dalam Dinamika Kebijakan Pergulaan


Nasional
Penjualan gula PTPN dan petani berubah-ubah sesuai dengan
dinamika kebijakan pemerintah. Dengan demikian, keputusan penjualan
gula PTPN dan petani melalui mekanisme lelang merupakan sebuah
tahapan panjang seiring dengan perubahan kebijakan pergulaan
nasional. Secara garis besar, kebijakan pergulaan nasional dapat dibagi
ke dalam tiga regim yang dilandasi oleh aspek esensi dan periode
waktu (Tabel 4.1). Ketiga regim kebijakan tersebut adalah: (i) Regim
Kebijakan Suportif dan Stabilisasi (1971-1997); (ii) Regim Kebijakan
Liberalisasi (1997-2002); dan (iii) Regim Kebijakan Proteksi dan
Promosi (2002-sekarang).
Regim Kebijakan Suportif dan Stabilisasi
Sejalan dengan isu utama pada tahun 1970-an di negara sedang
berkembang, masalah ketersediaan dan ketahanan pangan merupakan
salah satu isu nasional yang sangat penting. Oleh sebab itu, upaya
pemerintah Indonesia untuk mendorong pembangunan sektor pertanian
secara umum, dan secara lebih spesifik untuk mencapai swasembada
pangan, dalam hal ini, upaya peningkatan produksi pangan dengan
harga yang murah, merupakan fenomena utama kebijakan pertanian,
bahkan kebijakan nasional pada saat itu.

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 15


Tabel 4.1 Regim Kebijakan Pergulaan Nasional

Regim Nomor SK/Keppres/


Perihal Tujuan
Kebijakan Keputusan Menteri
Keppres No. 43/1971, Pengadaan, Menjaga kestabilan gula
14 Juli 1971 penyaluran, dan pe- sebagai bahan pokok
masaran gula
Surat Mensekneg No. Penguasaan, Penjelasan mengenai Keppres
B.136/ABNSEKNEG/3/7 pengawasan, dan No. 43/1971 yang meliputi gula
4, penyaluran gula PNP
27 Maret 1974 pasir non PNP
Suportif dan Inpres No. 9/1975, Intensifikasi tebu Peningkatan produksi gula
Stabilisasi 22 April 1975 (TRI) serta peningkatan petani tebu
(1971 -1997)
Kep. Mendagkop No. Tataniaga gula pasir Menjamin kelancaran
122/Kp/III/81, dalam negeri pengadaan dan penyaluran
12 Maret 1981 gula pasir serta peningkatan
pendapatan petani
Kep. Menkeu No. Penetapan harga Menjamin stabilitas harga,
342/KMK.011/1987 gula pasir produksi devisa, serta kesesuaian
dalam negeri dan pendapatan petani dan pabrik
impor
Inpres No. 5/1997, Program Pemberian peranan pada
29 Desember 1997 pengembangan tebu pelaku bisnis dalam rangka
rakyat perdagangan bebas

Inpres No. 5/1998, Penghentian Kebebasan pada petani untuk


21 Januari 1998 pelaksanaan Inpres memilih komoditas sesuai de-
No. 5/1997 ngan Inpres No. 12/1992

Liberalisasi Kep. Menperindag No. Komoditas yang Mendorong efisiensi dan


25/MPP/Kep/1/1998 diatur tataniaga kelancaran arus barang
(1997-2002) impornya
Kep. Menhutbun No. Penetapan harga Menghindari kerugian petani
282/Kpts-IX/1999, provenue gula pasir dan mendorong peningkatan
7 Mei 1999 produksi petani produksi

Kep. Menperindag No. Tataniaga impor Pengurangan beban anggaran


363/MPP/Kep/8/1999, gula pemerintah melalui impor gula
5 Agustus 1999 oleh produsen

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 16


Kep. Menperindag No. Mencabut Pembebanan tarif impor gula
230/MPP/Kep/6/1999, Keputusan untuk melindungi industri
5 Juni 1999 Menteriperindag No. dalam negeri.
363/MPP/Kep/8/199
9
Kep. Menkeu No. Perubahan bea Peningkatan efektivitas bea
324/KMK.01/2002 masuk masuk
Kep. Menperindag No. Tataniaga impor Pembatasan pelaku impor gula
643/MPP/Kep/9/2002, gula hanya menjadi importir gula
23 September 2002 produsen dan importir gula
Protektif dan
terdaftar untuk peningkatan
Promosi
pendapatan petani/produsen
(2002 –
sekarang) Kep Menperindag No. Pengaturan Impor, Pembatasan pelaku impor
527/MPP/Kep/2004 jo kualitas gula, dan gula ; kualiatas gual , waktu
Kep Menperindag No. hara referen gula impor, dan harga
02/M/Kep/XII/2004 jo petani penyangga/jaminan.
Kep Menperindag No.
08/M-DAG/Per/4/2005
Kep Mendag N0. 19/M- Penetapan harga Ketahanan pangan,
DAG/PER/4/2006, gula petani peningkatan pertumbuhan
19 April 2006 ekonomi masyarakat, dan
swasembada gula
Sumber : Susila (2005).

Gula merupakan salah satu komoditas yang juga mendapatkan


perhatian serius dari pemerintah pada saat itu. Pemerintah mempunyai
sasaran untuk meningkatkan produksi melalui program intensifikasi dan
ekstensifikasi. Saat itu, masalah distribusi dan harga juga menjadi
domain kebijakan pemerintah. Dengan perkataan lain, disamping
masalah pertumbuhan dan ketersediaan, masalah distribusi dan
stabiliasi menjadi agenda utama pemerintah pada saat itu. Oleh sebab
itu, kebijakan pemerintah sangat kental diwarnai oleh kebijakan yang
bersifat suportif/mendukung yang umumnya termasuk kategori
kebijakan domestic support dan kebijakan untuk memelihara stabilisasi
ketersediaan dan harga di tingkat produsen dan konsumen. Karena itu,
regim kebijakan ini diberi nama Regim Kebijakan Suportif dan
Stabilisasi.

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 17


Secara umum, berbagai kebijakan yang termasuk ke dalam
kategori domestic support, seperti subsidi input, jaminan harga atau
harga dasar, pengendalian distribusi, dan pengendalian harga di tingkat
konsumen, sangat lekat dengan regim kebijakan ini.
Fondasi atau jiwa dari regim kebijakan ini diawali dengan
kebijakan pemerintah yang tertuang di dalam Keppres No. 43/1971,
yang dikeluarkan pada tanggal 14 Juli 1971. Materi atau perihal
kebijakan ini menyangkut pengadaan, penyaluran, dan pemasaran.
Salah satu esensi dari kebijakan ini adalah memberi wewenang kepada
Bulog untuk menjaga stabilitas harga dan pasokan gula pasir. Kebijakan
ini menandai era dimulainya peran Bulog sebagai lembaga stabilisator
pasar gula di dalam negeri.
Agar lebih efektif, Keppres tersebut didukung oleh Surat
Mensekneg No.B.136/APBN Sekneg/3/74 yang menjelaskan mengenai
Keppres tersebut. Pada periode 1970-1980, jumlah stok yang dikuasai
Bulog berkisar 50-80 persen dari total stok. Ketika program TRI (Tebu
Rakyat Intensifikasi) mulai dijalankan dan bagian gula petani menjadi
makin besar, maka stok dan penawaran gula di luar Bulog meningkat.
Oleh sebab itu, sejak tahun 1980 Bulog membeli semua produksi gula
dalam negeri dan menyalurkannya ke pasar sehingga peran Bulog
makin kokoh dalam memerankan fungsinya sebagai lembaga stabilisasi
(Amang, 1994). Pada periode ini, gula PTPN dan petani hanya dijual
dengan harga yang telah ditetapkan pemerintah dalam bentuk harga
provenue. Keuntungan pendekatan ini adalah produsen mendapat
kepastian harga. Namun konsekuensinya adalah pemerintah melalui
Bulog harus menyiapkan dana yang cukup besar untuk membeli seluruh
gula petani dan PG.
Di antara berbagai kebijakan pada regim kebijakan suportif dan
stabilisasi, kebijakan yang paling signifikan dari pemerintah adalah
kebijakan TRI yang tertuang dalam Inpres No. 9/1975 tanggal 22 April

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 18


1975. Tujuan kebijakan tersebut adalah untuk meningkatkan produksi
gula dan pendapatan petani tebu dalam upaya mengatasi defisit
produksi yang terus meningkat. Di satu sisi, perekonomian Indonesia
tumbuh relatif pesat dan jumlah penduduk juga meningkat sehingga
konsumsi gula terus meningkat pada tahun 1970-an. Di sisi lain,
produksi gula dalam negeri belum dapat memenuhi konsumsi,
sementara harga gula di pasar internasional melambung tinggi dan
mencapai puncaknya pada tahun 1970-an.
Jiwa dari kebijakan tersebut adalah upaya peningkatan produksi
dengan memberi peran yang lebih besar kepada petani tebu. Sebelum
kebijakan ini diterapkan, lahan petani disewa oleh perusahaan gula
untuk ditanami tebu. Dengan demikian, seluruh keputusan ada di
tangan perusahaan, petani pemilik lahan tidak berperan dalam aktivitas
usahatani tebu. Kebijakan TRI tersebut mencoba melakukan perubahan
yang mendasar dengan memberi ruang yang luas bagi petani untuk
berpartisipasi dalam produksi gula sebagai pemasok bahan baku tebu.
Dengan perkataan lain, kebijakan TRI mencoba untuk membuat petani
menjadi manajer pada lahannya sendiri.
Untuk mewujudkan tujuan mulia tersebut, pemerintah memberi
berbagai dukungan kebijakan yang termasuk ke dalam kategori
domestic support. Dukungan tersebut antara lain berbentuk kredit
Bimas, bimbingan teknis, perbaikan sistem pemasaran dengan
melibatkan KUD, serta menciptakan suatu hubungan kerjasama antara
petani tebu dan pabrik gula (Adisasmito, 1998). Dalam hal ini, petani
bertindak sebagai pemasok bahan baku tebu yang dalam
pengelolaannya mendapat bimbingan dari perusahaan gula.
Perusahaan gula, dalam hal ini PG, bertindak sebagai pengolah bahan
baku tebu menjadi gula. Kerjasama ini diwujudkan juga dalam bentuk
bagi hasil penglahan tebu petani menjadi gula petani.

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 19


Keputusan Mendag dan Koperasi No. 122/Kp/III/81 tanggal 12
Maret 1981 mengenai tataniaga gula pasir dalam negeri bertujuan untuk
menjamin kelancaran pengadaan dan penyaluran gula pasir serta
peningkatan pendapatan petani. Kebijakan ini jelas mengatur sistem
distribusi gula sehingga pengadaan dan penyaluran gula pasir dapat
berjalan lancar untuk mencapai stabilitas pasar domestik. Kebijakan
tersebut juga bertujuan untuk meningkatkan pendapatan petani dengan
memberi harga provenue atau harga minimum untuk petani.
Kebijakan selanjutnya yang sangat identik dengan kebijakan
periode ini adalah Keputusan Menkeu No. 342/KMK.011/1987
mengenai harga gula. Kebijakan ini kembali mempertegas jiwa
kebijakan untuk tujuan stabilisasi. Instrumen utama kebijakan tersebut
adalah harga provenue dan harga jual yang dikelola oleh Bulog. Jelas
tampak bahwa stabilisasi yang ingin dicapai tidak hanya pada level
usahatani dengan harga provenue-nya, tetapi juga pada harga
konsumen dengan diaturnya harga jual gula yang dikelola Bulog.
Seperti diuraikan pada kebijakan tersebut, tujuan kebijakan ini adalah
untuk stabilisasi harga gula di pasar domestik, peningkatan penghasilan
penerimaan pemerintah, harga gula yang terjangkau masyarakat, serta
menjamin pendapatan petani tebu dan pabrik gula (Sudana et al, 2000).
Kebijakan ini bersifat multi tujuan, bahkan antar tujuan ada yang bersifat
berlawanan (conflicting), seperti peningkatan pendapatan petani versus
harga yang terjangkau, serta peningkatan penerimaan pemerintah.
Karena periode ini adalah periode stabilisasi, maka impor
menjadi bersifat residual. BULOG sebagai lembaga yang mengelola
impor gula menjadikan impor sebagai selisih antara konsumsi dengan
produksi domestik. Karena bersifat residual, maka volume impor
cenderung fluktuatif pada periode tersebut. Pada periode 1984-1991,
impor cenderung meningkat. Kemudian menurun dan mencapai titik
terendah pada tahun 1994 dimana impor gula hanya 15 ribu ton. Pada

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 20


posisi ini, Indonesia sudah dapat mengklaim mencapai swasembada
gula. Akhir periode stabilisasi ditandai oleh meningkatnya kembali
impor.
Regim Kebijakan Liberalisasi
Regim kebijakan Liberalisasi (1997-2002) tergiring oleh dua
situasi yang mendesak. Situasi pertama adalah tekanan isu liberalisasi
perdagangan yang bersifat multilateral melalui WTO dan regional
seperti AFTA, serta memberi tekanan substansial agar Indonesia
meliberalisasikan perdagangan produk pertaniannya, termasuk gula.
Kalangan akademisi di Indonesia juga secara gencar memberi tekanan
untuk melakukan liberalisasi perdagangan dengan penekanan bahwa
melindungi industri gula yang tidak efisien adalah tidak bijaksana.
Krisis multidimensional, termasuk krisis ekonomi, telah memaksa
Indonesia dalam posisi yang lemah terhadap lembaga donor, salah
satunya adalah International Monetary Fund (IMF) agar
meliberalisasikan perdagangan produk gulanya. Walaupun tidak secara
ekplisit tersurat, tekanan ke arah tersebut secara implisit tertuang pada
butir 44 dari LoI (Letter of Intent) yang ditandatangani oleh pemerintah
Indonesia dan IMF. Tekanan dari IMF ini dinilai banyak kalangan lebih
bersifat memaksa dibandingkan dengan tekanan dari WTO.
Tekanan tersebut membuat Indonesia menjadi negara yang
menerapkan tingkat liberalisasi tertinggi di dunia untuk komoditas gula,
suatu perubahan kebijakan yang dramatis. Dalam hal ini, pelaku impor
dibebaskan, atau tidak dimonopoli oleh BULOG lagi. Dengan argumen
untuk peningkatan efisiensi ekonomi, pemerintah mengeluarkan
Keputusan Menperindag No. 25/MPP/Kep/1/1998 yang tidak lagi
memberi monopoli kepada BULOG untuk mengimpor komoditas
strategis, termasuk gula. Era ini merupakan akhir dari peran BULOG
sebagai lembaga yang memonopoli impor, sekaligus dimulainya era
perdagangan bebas untuk gula di pasar Indonesia yang berdampak

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 21


pada penurunan kinerja pergulaan yang dilihat dari penurunan produksi
dalam negeri.
Dengan demikian, selama era kebijakan liberalisasi tersebut,
produsen gula dalam hal ini PTPN dan petani tidak dapat lagi
mengandalkan pembelian oleh BULOG. Untuk mengatasi permasalahan
pemasaran gula petani dan PTPN, Pemerintah menerbitkan Keputusan
Menteri Perdagangan No.505/MPP/Kep/10/1998 tanggal 29 Oktober
1998 yang pada intinya menjelaskan bahwa seluruh produksi gula pasir
milik PT Perkebunan Nusantara / PT Rajawali Nusantara Indonesia
dapat di jual langsung dengan memprioritaskan jalur koperasi,
Pengusaha kecil dan menengah. Dalam perkembangannya, untuk
mendapatkan harga yang bagus/kompetitif, PTPN/PT RNI
melaksanakan penjualan gula melalui mekanisme lelang.
Regim Kebijakan Protektif dan Promotif
Ketika harga gula domestik terus merosot dan industri gula sudah
diambang kebangkrutan dan tekanan produsen (PG dan petani)
semakin kuat, pemerintah mengeluarkan kebijakan yang bertujuan
untuk mengendalikan impor, dengan membatasi importir hanya menjadi
importir produsen dan importir terdaftar. Era ini merupakan era
dimulainya Regim Protektif dan Promotif. Gula yang diimpor oleh
importir produsen hanya dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan
industri dari IP tersebut, bukan untuk diperdagangkan. Di sisi lain untuk
menjadi IT, bahan baku dari PG milik IT minimal 75% berasal dari
petani. Kebijakan ini dituangkan dalam Keputusan Menperindag No.
643/MPP/Kep/9/ 2002, 23 September 2002. Esensi lainnya yang
penting dari kebijakan tersebut adalah bahwa impor gula akan diijinkan
bila harga gula di tingkat petani mencapai minimal Rp 3100/kg.
Kebijakan ini diharapkan mampu meningkat harga di dalam negeri
sehingga memperbaiki pendapatan produsen.

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 22


Kebijakan tataniaga gula tersebut dinilai masih memiliki beberapa
kelemahan seperti belum jelas spesifikasi mutu gula, waktu impor, dan
jaminan harga untuk petani. Untuk itu, pemerintah menyempurnakan
kebijakan tersebut dengan Kep. Menperindag No.527/MPP/Kep/2004 jo
Kep. Menperindag No. 02/M/Kep/XII/2004 jo Kep. Menperindag No.
08/M-DAG/Per/4/2005. Esensi kebijakan adalah ketentuan ICUMSA
yang secara nyata membedakan gula kristal putih, gula rafinasi, dan raw
sugar; kejelasan waktu dan pelabuhan impor, serta kenaikan harga
referensi di tingkat petanui menjadi Rp 3800/kg. Sejak era tersebut,
PTPN semakin mengandalkan penjualan gulanya secara lelang,
terutama setelah adanya kebijakan penentuan Harga Patokan Petani
(HPP) yang dijadikan acuan dasar impor gula. Bahkan dalam
perkembangannya, besaran HPP tersebut dijadikan dasar dalam
penentuan harga lelang minimum, mengingat penentuan besarnya HPP
didasarkan pada besaran Biaya Pokok Produksi (BPP) Tebu ditambah
marjin keuntungan yang layak.

4.2. Mekanisme Lelang Gula PTPN


Lelang gula PTPN mulai diterapan setelah ditandatanganinya 50
butir kesepakatan antara Pemerintah Indonesia dengan International
Monetary Fund (IMF) yang salah satu butirnya mengenai pelepasan
pelaksanaan pengadaan dan penyaluran gula pasir oleh Bulog melalui
Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 1998. Implikasinya, produsen
gula (PTPN) harus melakukan penjualan gulanya secara mandiri atau
bersama-sama.
Pada dasarnya, penjualan gula dilaksanakan kepada
penyalur/pembeli yang berminat untuk memperoleh harga jual yang
terbaik yang menguntungkan produsen. Beberapa alternatif penjualan
gula adalah sebagai berikut:

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 23


a. Sistem lelang. Penjualan gula engan sistem lelang merupakan
penjualan secara rutin/berkala dengan tujuan memperoleh harga
jual terbaik sesuai dengan perkembangan harga pasar. Penjualan
dengan sistem lelang dilakukan kepada calon pembeli yang telah
memenuhi syarat yang ditentukan oleh produsen dan dilaksanakan
secara bebas dan terbuka.
b. Sistem bid offer. Penjualan dengan bid offer merupakan penjualan
gula kepada sejumlah calon pembeli dimana produsen (PTPN)
melakukan pengiriman penawaran (offer) ke sejumlah calon pembeli
atau sebaliknya, sejumlah calon pembeli mengirimkan penwaran
(bid) kepada produsen (PTPN). Dalam hal ini, produsen (PTPN)
dapat menentukan harga yang berlaku jika lebih tinggi dari price
idea (PI).
c. Sistem penjualan bebas, dimana produsen menjual gula secara
bebas dalam jumlah dan waktu tertentu, baik berdasarkan
penawaran dari calon pembeli tertentu atau tidak.
d. Sistem penjualan langsung kepada konsumen, seperti penjualan
kepada karyawan internal, instansi eksternal, dan lainnya.
e. Sistem penjualan dengan uang muka, dilaksanakan pada kondisi
tertentu seperti pada saat produsen membutuhkan dana likuid
f. Kerjasama keagenan pemasaran dengan Bulog
Namun demikian, semenjak dikeluarkannya Kepmenperindag No
643/MPP/Kep/9/2002 yang disempurnakan dengan Kepmenperindag
No 527/MPP/Kep/9/2002, maka penjualan gula PG dan petani
umumnya dilakukan secara lelang. Hal ini didukung oleh SOP penjualan
harga yang dikeluarkan oleh PTPN IX. Penjualan secara lelang dapat
memberikan beberapa manfaat bagi produsen gula, diantaranya untuk
mendorong penciptaan harga transparan, kompetitif, inklusif serta
proses penjualan yang efisien (Susila, 2015).

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 24


Pelaksanaan lelang menjadi sarana pemasaran yang efisien bagi
PTPN dibandingkan dengan penjualan langsung ke beberapa
pedagang. Hal ini dikarenakan karakteristik perusahaan yang menjual
gula dengan volume besar, bukan eceran. Lelang juga membuat
terbentuknya harga tertinggi pada saat itu (Wicaksena, 2010); dan
bahkan dianggap sebagai salah satu kemitraan antara PG dengan
petani dalam memberi kepastian pasar (Nanda, 2013). Kalau pun ada
penjualan langsung khususnya ke koperasi dengan volume sekitar 25
ton per PG, harga yang terbentuk tetap mengacu pada harga lelang
ditambah marjin sekitar 2,5% (Susila, 2015). Dengan demikian, saat ini
lelang merupakan pilihan penjualan terbaik bagi produk gula
PTPN/petani dibandingkan dengan model pernjualan gula PTPN
lainnya. Gambar 4.1 menjelaskan proses penjualan gula produsen
(PTPN/petani).

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 25


LaporanProduksi
Pabrik Gula

Gula PG 34% Gula petani 66%

Perencanaan Petani tebu


penjualan gula

Informasi lelang 90% melalui 10% diserahkan


DPD kepada petani

Mengirim surat Melalui media Delivery Order (DO)


langsung kepada massa
pembeli

Pasar
Menetapkan harga
gula standard

Delivery Order (DO)


Pelaksanaan lelang

Kesepakatan harga Pemenang lelang

Gambar 4.1 Mekanisme Penjualan Gula PTPN/Petani

Seperti yang terlihat pada Gambar 4.1, mekanisme penjualan


gula didasarkan pada bagi hasil gula milik PG dengan petani dimana
PG mendapatkan 34% sementara petani 66%. Setelah bagi hasil
dilakukan, PG membuat perencanaan penjualan gula yang umumnya

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 26


meliputi jumlah gula yang akan di jual, tempat dan waktu pelaksanaan
lelang. Jika petani ikut serta dalam proses lelang, maka penjualan gula
petani akan dikoordinir oleh asosiasi dengan kuantitas mencapai 90%
dari gula milik petani. Dalam hal ini, petani dapat menjual 10% gulanya
secara mandiri.
Pada proses selanjutnya, PG akan menghubungi pembeli
potensial sebagai peserta lelang, baik secara langsung atau melalui
media umum. Sebagai tahap awal sebelum proses lelang, beberapa hal
yang dilakukan antara lain pembentukan panitia lelang, pengumuman
harga acuan (standard) yang biasanya mengacu pada Harga Patokan
Petani (HPP) yang ditetapkan Pemerintah, dan sejumlah aturan lelang
yang bersifat teknis. Pelaksanaan lelang diharapkan bersifat transparan
dan memberikan posisi tawar yang sejajar antara penjual dan pembeli.
Dengan demikian, setelah tercapai kesepakatan harga, panitia lelang
akan mengumumkan pemenang lelang dan dilakukan penerbitan
Delivery Order (DO) sebagai bukti kesepakatan jumlah dan harga gula.

4.3. Perkembangan Harga Lelang dan HPP


Secara konsep, HPP dapat berfungsi sebagai penyangga
pembentukan harga minimum di tingkat produsen sehingga
produsen/petani akan tetap menikmati harga yang layak dan
menguntungkan. Dalam implementasinya, HPP seharusnya didukung
dengan konsep stabilisasi harga dimana lembaga stabilisator dapat
berperan dalam pengelolaan stok dengan membeli gula dari
produsen/petani jika harga di tingkat produsen lebih rendah dari harga
pasar. Mengingat dalam kasus Indonesia HPP belum didiukung dengan
konsep stabilisasi harga, maka efektivitasnya belum bersifat optimal,
terutama dari sisi penyanggaan harga di tingkat produsen sehingga
dalam pelaksanaannya, kekuatan posisi tawar produsen dalam

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 27


mekanisme lelang menjadi hal utama dalam menyangga harga gula di
tingkat produsen.
Dalam mekanisme lelang, harga gula memang ditentukan
mekanisme pasar. Namun demikian, harga lelang biasanya mengacu
pada Harga Patokan Petani (HPP) sehingga tercipta kondisi psikologis
antara HPP dan harga lelang. Dengan demikian, harga lelang
seyogyanya akan lebih tinggi dari pada HPP dengan besaran tertentu.

Gambar 4.2 Perkembangan HPP, Harga Lelang, dan Harga Eceran

Selama periode 2007 – 2015, harga lelang secara rata-rata sebesar


14,93% di atas HPP. Hanya ada beberapa insiden dimana harga lelang
berada di bawah HPP yaitu selama tahun 2014 dimana harga lelang berada
2,49% lebih rendah dibandingkan HPP. Dengan demikian, mekanisme harga
lelang yang mengacu pada HPP dapat dijadikan instrument stabilisasi harga

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 28


di tingkat produsen. Pada sisi lain, tingginya harga lelang akan berdampak
pada pembentukan harga di tingkat eceran yang relatif tinggi.
Dalam Gambar 4.2 ditunjukan bahwa selama periode 2007 – 2015,
harga eceran gula rata-rata lebih tinggi Rp 2.054/kg dari harga lelang.
Dengan demikian, mekanisme lelang gula yang mengacu pada HPP sebagai
dasar harga lelang pada satu sisi dapat menstabilkan harga di tingkat
produsen namun belum dapat menstabilkan harga di tingkat konsumen.
Sebagai catatan, selama periode 2014 – 2015 harga eceran lebih tinggi
sekitar Rp 3.600/kg dari harga lelang dan kesenjangan (wedge) harga eceran
terhadap harga lelang semakin tinggi.

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 29


BAB V
LELANG GULA DAN KEBIJAKAN STABILISASI HARGA

5.1. Mekanisme Stabilisasi Harga Gula


Diperlukan indikator untuk menentukan suatu intervensi dalam
menjaga stabilitas harga gula. Indikator yang dimaksud setidaknya
memenuhi tiga persyaratan, yaitu; relevan dengan isu stabilisasi, mudah
diperoleh, dan handal. Relevan dengan isu stabilisasi dapat diartikan
bahwa indikator tersebut berdampak langsung kepada masyarakat
terutama kelompok masyarakat miskin. Mudah diperoleh diartikan
bahwa data tersedia atau mudah diakses. Sedangkan handal
menunjukkan data tersebut dapat dipercaya dan diterima oleh
stakeholder utama.
Kebijakan stabilisasi akan dilakukan apabila salah satu trigger
indikator tersebut memenuhui syarat untuk dilakukannya stabilisasi
(Gambar 5…). Adapun trigger ini dapat didefinisikan sebagai berikut:
· Harga; jika harga eceran melebihi HET dalam rentang waktu 7 hari.
Pemilihan trigger ini didasarkan pertimbangan bahwa jika harga
yang berlaku selama 7 hari di atas HET, dianggap sudah
menimbulkan dampak ekonomi dan sosial terhadap masyarakat
terutama kelompok masyarakat miskin.
· Stok Bulog; jika stok Bulog kurang dari 1 bulan (30 hari) konsumsi
atau kurang lebih 220 ribu ton. Pemilihan trigger ini didasarkan
pertimbangan life time gula terkait biaya dan proses refreshing stok.
· Neraca gula konsumsi rumah tangga; jika neraca gula defisit lebih
dari 5%. Dengan trigger ini dapat diestimasi kebutuhan impor.

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 30


Dengan melakukan monitoring terhadap ke tiga trigger di atas,
maka instrumen kebijakan yang akan dipilih dapat disesuaikan dengan
hasil monitoring, yaitu;
· Jika harga gula yang berlaku melebihi HET selama rentang waktu
tujuh (7) hari, maka instrumen kebijakannya adalah berupa operasi
pasar oleh Perum Bulog dengan menggunakan Cadangan Gula
Pemerintah (CGP).
· Jika stok gula Bulog kurang dari 1 bulan konsumsi, maka instrument
kebijakan adalah ijin kepada Perum Bulog untuk melakukan
pengadaan gula, baik pengadaan dalam negeri maupun impor guna
menjamin ketersediaan stok.
· Jika neraca gula untuk konsumsi rumah tangga defisit lebih dari 5%.
Instrumen kebijakan adalah ijin dan alokasi impor kepada pelaku
impor yang berupa importir produsen (IP) untuk memenuhi idle
capacity, importir terdaftar (IT), dan Perum Bulog serta
kemungkinan penurunan bea masuk (BM) bila terjadi kenaikan
harga gula di pasar internasional sangat tinggi.

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 31


Gambar 5.1 Kerangka Kebijakan Sistem Stabilisasi Harga Gula

Dari masing-masing trigger tersebut akan dijelaskan lebih rinci


pada sub-bab berikutnya.

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 32


4.1.1. Perumusan dan Legalisasi Neraca Gula Nasional
Neraca gula merupakan salah satu indikator yang dapat
menentukan arah kebijakan stabilisasi harga gula, seperti penyesuaian
jumlah impor gula yang diperlukan, termasuk rencana penurunan bea
masuk (BM) gula ketika terjadinya kenaikan harga gula. Neraca gula
tersebut terdiri dari beberapa komponen, yaitu; taksasi produksi,
estimasi konsumsi, dan stok nasional (Gambar 6.2).

Gambar 5.2 Mekanisme Penyusunan Neraca Gula Nasional

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 33


Untuk membuat neraca gula terlebih dahulu disusun draf neraca
gula yang dikoordinasikan oleh Dewan Gula Indonesia paling lambat
bulan September. Draf neraca gula diestimasi sebagai berikut;
· Taksasi produksi dihitung berdasarkan pada data luas areal tanam
dan taksasi rendeman,
· Estimasi konsumsi diestimasi berdasarkan jumlah penduduk dan
konsumsi per kapita,
· Stok nasional diestimasi berdasarkan stok yang dimiliki oleh
Perum Bulog, pedagang dan pabrik gula.
Selanjutnya, pada bulan Oktober draf neraca gula akan dibahas
oleh tim stabilisasi pangan pokok dibawah koordinasi Menko
perekonomian. Kemudian penetapan Taksasi Neraca Gula Nasional 1
(pertama) dilakukan secara formal melalui Peraturan Menteri
Perdagangan pada bulan Oktober. Sedangkan Taksasi Neraca Gula
Nasional 2 (kedua) yang merupakan penyempurnaan dari Taksasi
Neraca Gula Nasional 1 (pertama) akan ditetapkan melalui Peraturan
Menteri Perdagangan paling lambat pada bulan April.
Penetapan Taksasi Neraca Gula Nasional 1 (pertama) dan 2
(kedua) dengan Peraturan Menteri Perdagangan dimaksudkan agar
mempunyai daya ikat secara hukum (legally binding) dan berlaku
umum. Apabila tidak ditetapkan dalam suatu peraturan secara formal
dikhawatirkan tidak dapat dilaksanakan secara baik di lapangan.
Apalagi pelaksanaannya harus berkoordinasi dengan beberapa
kementerian terkait. Karena itu, dengan adanya Peraturan Menteri
Perdagangan, setiap pelaku usaha juga dapat melihat secara
transparan langkah-langkah yang diambil pemerintah dalam
menentukan kebijakan gula.

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 34


4.1.2. Penentuan Harga Patokan Petani (HPP) dan Harga Eceran
Tertinggi (HET)
Salah satu instrumen untuk mendorong petani tetap menanam
tebu adalah adanya jaminan harga terutama pada saat masa puncak
produksi. Hal ini dapat dilakukan melalui pembentukan Harga Patokan
Petani (HPP) yang ditetapkan dengan Keputusan Pemerintah.
Sebaliknya, Harga Eceran Tertinggi (HET) merupakan batas
pengaman dari sisi konsumen. HET gula ini dapat digunakan sebagai
salah satu acuan dalam melakukan stabilisasi harga. Artinya, apabila
harga gula di pasar melebihi HET, pemerintah dapat langsung
melakukan stabilisasi harga dengan menggunakan berbagai instrumen
kebijakan.
Selama ini Indonesia belum menggunakan HET gula, tetapi
hanya memiliki HPP gula yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat
berdasarkan Biaya Pokok Produksi (BPP) dari tim survei yang
dikoordinasikan oleh DGI. Proses penetapan HPP tersebut, diawali
dengan pembentukan tim survei pada Februari. Tim survei tersebut
terdiri dari Lembaga Penelitian dari Kementerian Pertanian,
Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian dan Perguruan
Tinggi (Gambar 6.3 dan 6.4). Pelibatan beberapa lembaga tersebut,
disamping bertujuan untuk menjaga objektivitas dari output survei yang
dihasilkan, data yang diperoleh juga diharapkan akan lebih akurat.

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 35


Gambar 5. 3 Mekanisme Penentuan Harga Patokan Petani (HPP) dan
Harga Eceran Tertinggi (HET) Versi 1

Survei ke lapangan (pabrik gula dan petani) dilakukan pada


Febuari-Maret, dengan output survei berupa besaran BPP yang
diperoleh berdasarkan struktur biaya usahatani tebu. Dalam hal ini
adalah biaya yang digunakan petani untuk memproduksi gula, yaitu
sewa lahan, biaya garap, bibit, pupuk dan bahan lain untuk
pengendalian OPT, biaya tebang angkut, bunga dan biaya lain yang
terkait dengan usahatani tebu petani seperti penerima tetes.

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 36


Besaran biaya pokok produksi gula kemudian diverifikasi oleh
Komisi Verifikasi yang dibentuk oleh Menteri Koordinator
Perekonomian. Komisi Verifikasi ini juga bertugas memberikan
rekomendasi HPP gula di wilayah tertentu atas dasar hasil survei dan
masukan dari Ikatan Ahli Gula Indonesia serta konsultasi yang
dilakukan dengan Pemerintah Daerah.

Gambar 5. 4 Mekanisme Penentuan Harga Patokan Petani (HPP) dan


Harga Eceran Tertinggi (HET) Versi 2

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 37


Selanjutnya proses penetapan HPP dan HET dilakukan melaui
dua pendekatan. Pertama, rekomendasi dari Komisi Verifikasi
digunakan oleh Kementerian Perdagangan sebagai dasar untuk
penetapan HPP tingkat nasional, yang di lakukan pada bulan April
(Gambar 6.3). Kemudian pada bulan yang sama (April) Pemerintah
Daerah berdasarkan Harga HPP nasional menetapkan HPP di
daerahnya sesuai dengan kondisi wilayahnya masing-masing. Kedua,
HPP yang ditetapkan hanya HPP Nasional berdasarkan hasil verifikasi
dan masukan dari Pemerintah Daerah (Gambar 6.4).
Berdasarkan UU Pangan No 7 tahun 1996, disebutkan bahwa
intervensi stabilisasi harga akan dilakukan apabila harga eceran 25%
lebih tinggi dari harga normal. Harga normal yang maksud merupakan
harga rata-rata selama 3 bulan. Dengan kriteria ini pemerintah hampir
tidak perlu melakukan intervensi padahal kenaikan harga yang terjadi
sudah berdampak secara ekonomi dan sosial khususnya pada
masyarakat miskin.
Untuk mengatasi kelemahan tersebut, maka intervensi
stabilisasi harga perlu dilakukan melalui pendekatan HET, dimana jika
harga gula yang berlaku melebihi HET selama rentang waktu tujuh (7)
hari, maka pemerintah perlu melakukan intervensi. Berdasarkan
besaran HPP, pemerintah melalui Kemendag menetapkan HET
nasional yang pada dasarnya adalah HPP ditambah biaya distribusi.
Alternatif lain, HET ditetapkan secara regional dengan menghitung
biaya HPP ditambah biaya distribusi regional (HET Regional = HPP +
a % HPP). Berdasarkan HET nasional, akan ditetapkan HET regional
setelah berkonsultasi dengan pemerintah Daerah.
Agar penetapan HET mempunyai kekuatan hukum, perlu dibuat
Peraturan Menteri Perdagangan. Penetapan HET tersebut dapat
dimuat dalam satu kesatuan dengan Peraturan Menteri Perdagangan
tentang Penetapan HPP Gula Kristal Putih (Plantation White Sugar).

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 38


4.1.3. Pengadaan Cadangan Gula Pemerintah oleh Bulog
Selama ini pengelolaan stok gula oleh pemerintah belum ada
sehingga pemerintah melalui Perum Bulog perlu membentuk stok gula
sebagai Cadangan Gula Pemerintah (CGP). Dengan adanya CGP,
pemerintah memiliki instrumen yang dapat digunakan untuk
melakukan stabilisasi harga gula secara efektif. Hal ini sejalan dengan
rekomendasi dari Panitia Kerja (Panja) Swasembada Gula yang
meminta pemerintah menjadikan Perum Bulog sebagai satu-satunya
lembaga stabilisator harga gula.
Sebagai lembaga yang berfungsi mengelola stok gula
pemerintah, Perum Bulog diperkenankan melakukan impor dan
pengadaan Gula Kristal Putih (GKP) dari pasar domestik setiap waktu
jika diperlukan (Gambar 6.5). Untuk itu, Perum Bulog diberikan
kewenangan khusus guna memenuhi CGP, minimal untuk masa satu
(1) bulan konsumsi. Stok gula tersebut akan dialokasikan untuk
operasi pasar ketika harga yang berlaku melebihi HET. Setelah
operasi pasar dilakukan, stok gula akhir Perum Bulog akan dievaluasi.
Apabila jumlah stok akhir kurang dari satu (1) bulan konsumsi, maka
Perum Bulog akan melakukan pengadaan gula atau sebaliknya.

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 39


Gambar 5. 5 Mekanisme Pengadaan CGP oleh Bulog

Untuk mendukung tugas Perum Bulog sebagai pengelola


Cadangan Gula Pemerintah (CGP) dan melakukan operasi pasar
dalam usaha menstabilkan harga gula diperlukan adanya payung
hukum. Payung hukum tersebut sebaiknya dibuat dalam bentuk
Keputusan Presiden (Keppres), yang memuat materi yang dapat
memerintahkan atau menugaskan suatu instansi atau lembaga oleh
Presiden untuk melakukan tugas-tugas tertentu, dalam hal ini
stabilisasi harga gula.

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 40


4.1.4. Impor Gula
Selama ini impor Gula Kristal Putih (GKP) hanya dapat
dilakukan oleh Importir Terdaftar (IT) yang ditunjuk oleh Kementerian
Perdagangan yang memenuhi syarat minimal 75 % menyerap tebu
dari petani. Importasi gula tersebut dapat dilakukan IT setelah
memperoleh persetujuan impor terlebih dahulu dari Kementerian
Perdagangan dengan jumlah yang boleh diimpor ditentukan bersama-
sama dengan instansi/asosiasi terkait.
Dalam mekanisme stabilisasi harga seperti pada Gambar 6.5.,
maka impor gula dilakukan berdasarkan neraca gula dengan alokasi
impor ditetapkan oleh tim stabilisasi. Adapun alokasi impor untuk
masing-masing pelaku impor adalah sebagai berikut;
· Impor raw sugar oleh IP untuk memenuhi idle capacity yang
dilakukan pada bulan Mei-Desember;
· impor white sugar oleh Perum Bulog untuk CGP;
· impor white sugar oleh IT Bulog dan IT Non Bulog untuk
memenuhi kebutuhan konsumsi.
Mekanisme impor gula oleh IP, Perum Bulog CGP, dan IT Bulog
maupun IT Non Bulog dilakukan melalui suatu proses yang diawali
dengan pengajuan izin impor oleh importir, penerbitan izin impor oleh
Kemendag, pelaksanaan lelang dan pelaksanaan impor (Gambar 6.6).
Untuk IP dan IT, proses pengajuan izin impor dan penerbitan izin
impor dilakukan pada Oktober, sedangkan proses pelelangannya
dilakukan pada Desember dengan pelaksanaan impor pada Januari-
April.
Khusus untuk Perum Bulog akan diberikan kewenangan
khusus, yaitu dapat mengimpor gula setiap waktu jika CGP kurang dari
satu (1) bulan konsumsi. Mekanisme seperti ini memudahkan
pemerintah melakukan monitoring kebutuhan gula nasional. Apabila

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 41


terjadi inefisiensi dan misalokasi kebijakan tataniaga gula nasional,
maka penugasan impor kepada Perum Bulog akan mempermudah
pertanggungjawabannya terhadap publik (public accountability).

Gambar 5.6 Mekanisme Impor Gula

Dengan mekanisme impor tersebut, Perum Bulog mempunyai


dua peran. Pertama, Bulog sebagai pemegang CGP dimana
pemegang dan pengatur CGP tersebut dilakukan oleh Direktorat

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 42


Pelayanan Publik. Kedua, Perum Bulog berperan sebagai IT Gula,
yang bertindak sebagai pelaku pasar komersial dimana pemerintah
memberikan minimal 30% kuota impor IT kepada Bulog dalam rangka
mengkoreksi pasar gula nasional dengan menambah pelaku pasar.
Peran IT Bulog ini dilakukan oleh Direktorat Perencanaan dan
Pengembangan Usaha Komersial.
Selama ini, kebijakan tata niaga impor jdiketahui telah
membentuk struktur pasar yang mengarah pada pasar monopolistik
melalui kartel. Apalagi, importir terdaftar (IT) sampai saat ini hanya
empat importir sehingga sangat berpeluang bagi para importir secara
bersama-sama dapat melakukan pengaturan volume impor, sehingga
mereka dapat dengan mudah melakukan pengaturan stok gula
nasional yang dapat mengakibatkan meroketnya harga. Hal ini juga
dapat menyuburkan perilaku pemburu rente. Oleh karena itu, dengan
masuknya Bulog tidak hanya sebagai pemegang CGP, tetapi juga
sebagai pelaku pasar, diharapkan dapat memberikan keseimbangan
pada pasar gula nasional.
Dengan adanya mekanisme tersebut, maka akan mengubah
dari mekanisme impor gula yang sudah ada selama ini. Oleh karena
itu, Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor
527/MPP/Kep/9/2004 tentang Impor Gula perlu dilakukan revisi.

4.1.5. Operasi Pasar


“Operasi Pasar” merupakan salah satu instrumen kebijakan
yang mengupayakan stabilisasi pasokan dan harga. Operasi pasar ini
dilakukan berdasarkan hasil pemantauan harga harian oleh Kemendag
(Gambar 6.7). Mekanisme ini tidak menggunakan data harga BPS
karena data harga yang dipublikasi selama ini oleh BPS masih bersifat
mingguan. Mekanisme operasi pasar dilakukan seperti terlihat pada
Gambar 6.7 dengan tahapan sebagai berikut;

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 43


· Tim monitoring melaporkan telah terjadi harga eceran melebihi
HET dalam rentang waktu tujuh (7) hari.
· Bedasarkan laporan tersebut, maka dilakukan rapat koordinasi
oleh tim stabilisasi paling lambat lima hari setelah tim monitoring
harga melaporkan hasil monitoringnya.
· Dalam penentuan lokasi operasi pasar, terlebih dahulu dilakukan
konsultasi dengan Pemerintah Daerah, atau lokasi ditetapkan
berdasarkan permintaan/usulan dari Pemerintah Daerah.
· Setelah penetapan lokasi operasi pasar, maka pada hari ke enam
(H+6) Menteri Perdagangan akan mengirim surat kepada Perum
Bulog untuk melakukan operasi pasar pada lokasi tertentu.
· Berdasarkan surat tersebut, pada hari ke sembilan (H+9) Perum
Bulog melakukan operasi pasar melalui Divisi Regionalnya sampai
pada hari ke enam belas (H+16).
· Jika setelah operasi pasar selama tujuh (7) hari, sementara harga
eceran yang berlaku masih lebih tinggi dari HET, maka Perum
Bulog akan melanjutkan operasi pasarnya sampai harga yang
berlaku lebih kecil atau sama dengan HET.

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 44


Gambar 5.7 Mekanisme Operasi Pasar Gula

Pengaturan mengenai operasi pasar ini perlu dimasukkan dalam


Peraturan Menteri Perdagangan yang akan merevisi Keputusan
Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 527/MPP/Kep/9/2004
tentang Impor Gula. Hal ini tentunya akan membuat Peraturan Menteri
Perdagangan yang baru menjadi lebih komprehensif, dimana akan
mengatur gula dari sisi pengadaan (impor), distribusi, dan juga
stabilisasi harga. Seharusnya dengan adanya Keppres 57 Tahun 2004
pemerintah, dalam hal ini Kementerian Perdagangan, harus membuat
suatu kebijakan yang dimuat dalam suatu peraturan perundang-
undangan yang mengatur mengenai perdagangan gula secara

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 45


komprehensif dari hulu hingga hilir, yaitu dari pengadaan baik dari
produksi dan impor, distribusi, dan juga pengawasannya hingga ke
pengguna akhir.

5.2. Kebijakan Lelang Gula Dalam Rangka Stabilisasi Harga


Kenaikan harga gula menjelang dan selama bulan Ramadhan
2015 terutama lebih dipicu oleh kenaikan HPP dari Rp 8.500/kg
tahun 2014 menjadi Rp 8.900/kg tahun 2015. Di samping itu,
kenaikan harga juga disebabkan oleh penyakit kronis yang diderita
pasar dan industri gula nasional yaitu:
a. Pasar pada tingkat pedagang besar (D1) yang bersifat oligopoli
sehingga sampai tingkat tertentu, pedagang besar masih bisa
mengatur harga;
b. Pasar Gula Kristal Putih (GKP) dan Gula Kristal Rafinasi (GKR)
yang tersegmentasi/terpisah sehingga baik permintaan dan
penawaran menjadi kurang elastis. Akibatnya, sedikit gejolak pada
sisi penawaran dan permintaan dapat membuat harga bergejolak
cukup tajam;
c. Industri gula GKP khususnya yang ada di Jawa yang memang
tidak efisien sehingga biaya produksi terus meningkat baik karena
tekanan sewa lahan, upah buruh, budidaya dan panen tebu yang
belum efisien, dan tentunya inefisiensi di pengolahan (PG)
Oleh sebab itu, masalah kenaikan harga gula bukanlah
disebabkan oleh proses lelang itu sendiri, tetapi oleh ketiga faktor
tersebut. Lelang adalah “best practice” dalam tarnsaksi perdagangan
apalagi ketika terjadi ketidak-seimbangan posisi rebut tawar anatara
penjual dan pembeli seperti yang terjadi pada hampir semua produk
pertanian. Jika pemerintah bermaksud untuk memperoleh harga gula
yang lebih murah dengan tidak melalui lelang, ada dua mekanisme yang
dapat dilakukan yaitu:

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 46


a. Menugaskan Bulog/PPI untuk melakukan kontrak serah (forward
contract) untuk volume, harga, dan waktu penyerahan yang
disepakti dengan PTPN sebelum dimulainya musim giling. Karena
dilakukan sebelum musim giling, maka harga kesepakatan
diharapkan lebih rendah dari harga riil saat lelang. Jika kontrak
dilakukan pada saat musim giling, maka PTPN akan meminta
harga sama dengan harga lelang.
b. Meminta PTPN menjual gulanya ke Bulog/PPI dengan harga di
bawah harga lelang atau sama dengan HPP. Untuk itu, PTPN
memerlukan payung hukum dari Kementerian BUMN. Jika tidak,
PTPN tidak akan melepas gulanya dibawah harga lelang karena
dapat berpotensi menciptakan masalah ketika dilakukan audit.
c. Volume gula yang dibeli dengan mekanisme (a) dan atau (b)
seyogyanya cukup untuk melakukan operasi pasar (jika
diperlukan) selama 2 (dua) bulan (misal, satu bulan sebelum
Ramadhan dan 1 bulan selama Ramadhan) dan pangsa stok yang
cukup berimbang dengan stok para pedagang besar yang
menguasai pasar gula. Dengan asumsi operasi pasar mengambil
pangsa maksimum 20% dari konsumsi per bulan (konsumsi per
bulan sekitar 220 ribu ton), maka Bulog dan PPI perlu memiliki
stok sekitar 100 ribu ton.
d. Jika harga tanpa mekanisme lelang diasumsikan sekitar Rp
10.000/kg, maka dana APBN yang dibutuhkan adalah sekitar Rp 1
T. Perlu juga dicatat bahwa pemerintah mengeluarkan dana ini
hanya satu kali yaitu saat pertama kali dilakukan. Selanjutnya,
pemerintah hanya mengeluarkan dana untuk pemeliharaan stok
termasuk untuk biaya susut, kerusakan, dan pergantian stok.

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 47


BAB VI
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN

6.1. Kesimpulan
a) Semenjak dikeluarkannya Kepmenperindag No
643/MPP/Kep/9/2002 yang disempurnakan dengan
Kepmenperindag No 527/MPP/Kep/9/2002, maka penjualan gula
PG dan petani umumnya dilakukan secara lelang. Hal ini didukung
oleh SOP penjualan harga yang dikeluarkan oleh PTPN IX.
b) Penjualan secara lelang dapat memberikan beberapa manfaat bagi
produsen gula, diantaranya untuk mendorong penciptaan harga
transparan, kompetitif, inklusif serta proses penjualan yang efisien.
Pelaksanaan lelang menjadi sarana pemasaran yang efisien bagi
PTPN dibandingkan dengan penjualan langsung ke beberapa
pedagang. Hal ini dikarenakan karakteristik perusahaan yang
menjual gula dengan volume besar, bukan eceran. Lelang juga
membuat terbentuknya harga tertinggi pada saat itu dan bahkan
dianggap sebagai salah satu kemitraan antara PG dengan petani
dalam memberi kepastian pasar. Kalau pun ada penjualan langsung
khususnya ke koperasi dengan volume sekitar 25 ton per PG, harga
yang terbentuk tetap mengacu pada harga lelang ditambah marjin
sekitar 2,5%.
c) Mengingat tuntutan akan transparansi dan akuntabilitas yang
semakin kuat, penjualan gula PTPN secara lelang merupakan
pilihan terbaik dan teraman pada saat ini. Bagi PTPN, lelang akan
meminimalkan tindakan koruptif dan kolusif, mendapatkan harga
tertinggi, dan mendorong penjualan agar berjalan efsien

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 48


6.2. Rekomendasi
a) Jika hanya mempertimbangkan aspek bisnis dan transparansi,
maka PTPN dan petani akan tetap memilih menjual gulanya melalui
pasar lelang karena alasan transparansi, efisiensi, dan memperoleh
harga terbaik. Keberhasilan petani tebu untuk dapat melakukan
lelang seyogyanya bisa diklaim sebagai keberhasilan Kementerian
Perdagangan dalam menciptakan perdagangan dan pembentukan
harga gula yang kompetitif, adil, transparan, efisien, dengan posisi
rebut tawar petani yang berimbang.
b) Jika pemerintah bermaksud untuk memperoleh harga gula yang
lebih murah dengan tidak melalui lelang, ada dua mekanisme yang
dapat dilakukan yaitu:
1) Menugaskan Bulog/PPI untuk melakukan kontrak serah
(forward contract) untuk volume, harga, dan waktu penyerahan
yang disepakti dengan PTPN sebelum dimulainya musim giling.
2) Meminta PTPN menjual gulanya ke Bulog/PPI dengan harga di
bawah harga lelang atau sama dengan HPP.
3) Volume gula yang dibeli dengan kedua butir di atas seyogyanya
cukup untuk melakukan operasi pasar (jika diperlukan) selama 2
(dua) bulan (misal, satu bulan sebelum Ramadhan dan 1 bulan
selama Ramadhan) dan pangsa stok yang cukup berimbang
dengan stok para pedagang besar yang menguasai pasar
gula.Jika harga tanpa mekanisme lelang diasumsikan sekitar Rp
10.000/kg, maka dana APBN yang dibutuhkan adalah sekitar
Rp 1 T.

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 49


DAFTAR PUSTAKA

Epakartika, & Kurniawan, T. (2004). Integrasi Komunikasi Penyelenggaraan


Pasar Lelang di Indonesia. Mitra Praja Utama, (pp. 1-18). Jakarta.
Nanda, A. (2013). Pola dan Kepercayaan yang Terbentuk Pada Kontrak
Kemitraan Antara Pabrik Gula dengan Petani Tebu. Malang:
Universitas Brawijaya.
Pusat Kebijakan Perdagangan Dalam Negeri. (2014). Peran Kebijakan
Perdagangan Dalam Rangka Percepatan Swasembada Pangan.
Jakarta: Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan
Perdagangan.
Susila, W. (2015, Juni 22). Penjualan Gula Milik PTPN: Lelang Adalah
Terbaik.

Puska Dagri, BP2KP, Kementerian Perdagangan 50

Anda mungkin juga menyukai