NIM : 11180490000055
SOAL.
Jawaban:
2. Asuransi syariah dijalankan berdasarkan tiga jenis akad, yakni akad sesama
peserta untuk menanggung bersama risiko diantara peserta, atas dasar tolong-
menolong dan saling melindungi (Akad Tabarru’/Hibah), akad peserta dengan
perusahaan untuk pengelolaan risiko (Akad Wakalah bil Ujrah), dan akad peserta
dengan perusahaan untuk pengaturan bagi hasil investasi kumpulan dana tabarru’
(Akad Mudharabah). Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, prinsip utama dari
asuransi syariah adalah transaksi yang halal, sehingga dana yang dikembangkan
juga melalui investasi yang halal. Sehingga prinsip dari asuransi syariah adalah
menjamin tidak ada transaksi terlarang di dalamnya. Hal ini tercermin baik dengan
cara saling tolong menolong atau mengembangkan dana melalui investasi halal.
Misalnya, dalam asuransi premi sukarela berbasis taawun. Dalam asuransi taawun,
yang dikembangkan adalah kerja sama saling tolong menolong antar-sesama
peserta asuransi. Konsekuensi dari hal ini adalah dana yang diberikan peserta
bersifat sukarela, sehingga peserta tidak bisa menarik kembali dalam bentuk uang
di luar klaim yang ditentukan. Nilai yang disumbangkan bisa sama maupun juga
berbeda-beda sesuai kemampuan peserta. Dan ini kembali kepada kesepakatan.
Dalam asuransi sukarela berbasis taawun, ada 3 pihak yang terlibat, yaitu sebagai:
3. Fatwa merupakan hasil ijtihad ulama yang sangat mendalam untuk menyelesaikan
masalah-masalah yang dihadapi masyarakat. Hasil ijtihad ulama tersebut dapat
dikelompokkan menjadi empat; fiqh, fatwa, qanun dan qadha’. Dan setiap hasil
ijtihad itu hanya bisa dibedakan dari aspek posisi dan pengaruh mujtahid.
Sedangkan dalam praktiknya, antara yang satu dengan yang lain tidak dapat
dibedakan, apalagi dipisahkan. Dalam halnya fatwa tentang transaksi
perekonomian syariah, Hingga akhir tahun 2013 DSN-MUI telah mengeluarkan 87
fatwa yang berkaitan dengan transaksi ekonomi ( fiqh mu’amalah). Fatwa-fatwa
tersebut meliputi fatwa tentang transaksi Perbankan Syariah, fatwa tentang Pasar
Modal Syariah, fatwa tentang Obligasi Syariah, fatwa tentang Ekspor-impor
Syariah, dan fatwa tentang Asuransi Syariah. Pada dasarnya fatwa yang
dikeluarkan MUI tersebut tidak mengikat. Fatwa dapat bersifat mengikat jika
sudah diserap dalam peraturan perundang-undangan atau diregulasikan. Di antara
fatwa MUI yang sudah dijadikan regulasi adalah fatwa MUI tentang Asuransi
Syariah. Di mana fatwa tersebut sudah dituangkan dalam PSAK108 tentang
Asuransi Syariah.
Dalam halnya asuransi syariah, Ada enam fatwa yang telah dikeluarkan DSN-MUI
yang berkaitan dengan asuransi syariah, enam fatwa tersebut adalah;
a. Fatwa Nomor 21 Tentang Pedoman Umum Asuransi Syariah
b. Fatwa Nomor 39 Tentang Asuransi Haji
c. Fatwa Nomor 51 Tentang Akad Mudharabah Musytarakah
pada Asuransi Syariah
d. Fatwa Nomor 52 Tentang Akad Wakalah bil Ujrah pada
Asuransi Syariah dan Reasuransi Syariah
e. Fatwa Nomor 53 Tentang Akad Tabarru’ pada Asuransi Syariah
f. Fatwa Nomor 81 Tentang Pengembalian Dana Tabaru’ bagi Peserta Asuransi
yang Berhenti Sebelum Berakhir.
Keenam fatwa tersebut di atas pada awalnya merupakan ketentuan umum bagi
perusahaan asuransi syariah dalam menjalankan prinsip syariah di Indonesia. MUI
mempunyai pandangan terhadap asuransi yang perlu diketahui bahwasanya
asuransi harus sebagai:
1. Bentuk Perlindungan
Dalam kehidupan, kita memerlukan adanya dana perlindungan atas hal-hal buruk yang
akan terjadi. Hal ini ditegaskan oleh fatwa MUI NO: 21/DSN-MUI/X/2001 menyatakan,
“Dalam menyongsong masa depan dan upaya mengantisipasi kemungkinan terjadinya
risiko dalam kehidupan ekonomi yang akan dihadapi, perlu dipersiapkan sejumlah dana
tertentu sejak dini.”
Salah satu upaya solusi yang bisa dilakukan adalah memiliki asuransi yang dikelola
dengan prinsip-prinsip syariah. Asuransi dibutuhkan guna perlindungan terhadap harta
dan nyawa secara finansial yang risikonya tidak dapat diprediksi.
3. Unsur Kebaikan
Dalam setiap produk asuransi syariah mengandung unsur kebaikan atau istilahnya
memiliki akad tabbaru’. Secara harfiah, tabbaru’ dapat diartikan sebagai kebaikan.
Aturannya, jumlah dana premi yang terkumpul disebut hibah yang nantinya akan
digunakan untuk kebaikan, yakni klaim yang dibayarkan berdasarkan akad yang
disepakati pada awal perjanjian.
Adapun besarnya premi dapat ditentukan melalui rujukan yang ada, misalnya merujuk
pada tabel mortalita untuk menentukan premi pada asuransi jiwa dan tabel morbidita
untuk menentukan premi pada asuransi kesehatan, dengan syarat tidak memasukkan
unsur riba dalam perhitungannya. 4. Berbagi Risiko dan Keuntungan
Dalam asuransi yang dikelola secara prinsip syariah, risiko dan keuntungan dibagi rata ke
orang-orang yang terlibat dalam investasi. Hal ini dinilai cukup adil dan sesuai dengan
syariat agama karena menurut MUI, asuransi hendaknya tidak dilakukan dalam rangka
mencari keuntungan komersil.
Risiko yang dimaksud adalah risiko yang terjadi pada salah satu peserta asuransi yang
terkena musibah, maka ganti rugi (klaim) yang didapat dari peserta asuransi yang lain.
Dengan kata lain, saat seorang peserta mendapat musibah peserta lain juga ikut
merasakannya. Begitu juga dengan keuntungan yang didapat.
Dalam asuransi syariah keuntungan yang didapat dari hasil investasi premi dalam akad
mudharabah dapat dibagi-bagikan kepada peserta asuransi dan tentu saja disisihkan juga
untuk perusahaan investasi.
Menurut MUI asuransi juga termasuk bagian dari bermuamalah karena melibatkan
manusia dalam hubungan finansial. Segala aturan dan tata caranya tentu saja harus sesuai
dengan syariat islam. Jadi dalam berpartisipasi dalam bermuamalah, Anda dianggap ikut
serta dalam menjalani perintah agama.
6. Musyawarah Asuransi
MUI menegaskan dalam ketentuan berasuransi jika salah satu pihak tidak menunaikan
kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya
dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui
musyawarah.