Anda di halaman 1dari 19

Pancasila menjadi sistem etika

17. Jelaskan konsep dan pengertian Eudaemonisme, Hedonisme,


Utilitarianisme dalam kehidupan masyarakat di sekitar Anda !

1. Eudaemonisme
 Pengertian Eudemonisme berasal dari kata “ Eudaimonia” yang berarti
kebahagiaan. Pandangan ini berasal dari filsuf Yunani besar, Aristoteles
(384-322 S.M). Dalam bukunya ,Ethika Nikomakheia, ia mulai dengan
menegaskan bahwa dalam setiap kegiatannya manusia mengejar suatu
tujuan. Bisa dikatakan juga, dalam setiap perbuatan kita ingin mencapai
sesuatu yang baik bagi kita. Seringkali kita mencari suatu tujuan untuk
mencapai suatu tujuan lain lagi. Misalnya, kita minum obat untuk bisa
tidur dan kita tidur untuk dapat memulihkan kesehatan. Timbul pertanyaan
apakah ada juga tujuan yang dikejar karena dirinya sendiri dan bukan
karena sesuatu yang lain lagi ; apakah ada kebaikan terakhir yang tidak
dicari demi sesuatu yang lain lagi. Menurut Aristoteles, semua orang akan
menyetujui bahwa tujuan tertinggi ini – dalam terminology modern kita
bisa mengatakan :makna terakhir hidup manusia – adalah kebahagiaan
(eudaimonia). Tapi jika semua orang mudah menyepakati kebahagiaan
sebagai tujuan terakhir hidup manusia, itu belum memerlukan semua
kesulitan, karena dengan kebahagiaan mereka mengerti banyak hal yang
berbeda-beda. Ada yang mengatakan bahwa kesenangan adalah
kebahagiaan, ada yang berpendapat bahwa uang dan kekayaan adalah inti
kebahagiaan dan ada pula yang menganggap status sosial atau nama baik
sebagai kebahagiaan. Tapi Aristoteles beranggapan bahwa semua hal itu
tidak bisa diterima sebagai tujuan terakhir. Kekayaan misalnya paling-
paling bisa dianggap tujuan untuk mencapai suatu tujuan lain. Karena itu
masih tetap tinggap pertanyaan : apa itu kebahagiaan?.
Menurut Aristoteles, seseorang mencapai tujuan terakhir dengan
menjalankan fungsinya dengan baik. Tujuan terakhir pemain suling adalah
main dengan baik. Tujuan terakhir tukang sepatu adalah membikin sepatu
yang baik. Nah, jika manusia menjalankan fungsinya sebagai manusia
dengan baik, ia juga mencapai tujuan terakhirnya atau kebahagiaan.
Apakah fungsi yang khas bagi manusia itu ?apakah keunggulan manusia,
dibandingkan dengan makhluk-makhluk lain ? Aristoteles menjawab : akal
budi atau rasio. Karena itu manusia mencapai kebahagiaan dengan
menjalankan secara paling baik kegiatan-kegiatan rasionalnya. Dan tidak
cukup ia melakukan demikian beberapa kali saja, tapi harus sebagai suatu
sikap tetap. Hal itu berarti bahwa kegiatan-kegiatan rasional itu harus
dijalankan dengan disertai keutamaan. Bagi Aristoteles ada dua macam
keutamaan : keutamaan intelektual dan keutamaan moral. Keutamaan
intelektual menyempurnakan langsung rasio itu sendiri. Dengan
keutamaan-keutamaan moral ini dibahas Aristoteles dengan panjang lebar.
Keutamaan seperti keberanian dan kemurahan hati merupakan pilihan
yang dilaksanakan oleh rasio. Dalam hal ini rasio menentukan jalan tengah
antara dua ekstrem yang berlawanan. Atau dengan kata lain, keutamaan
adalah keseimbangan antara “kurang “ dan “terlalu banyak”. Misalnya,
keberanian adalah keutamaan yang memilih jalan tengah antara sikap
gegabah dan sikap pengecut; kemurahan hati adalah keutamaan yang
mencari jalan tengah antara kekikiran dan pemborosan. Keutamaan yang
menentukan jalan tengah itu oleh Aristoteles di sebut phronesis
(kebijaksanaan praktis). Phronesis menentukan apa yang bisa dianggap
sebagai keutamaan dalam suatu situasi konkret. Karena itu keutamaan ini
merupakan inti seluruh kehidupan moral.

Sekali lagi perlu ditekankan bahwa tidaklah cukup kita kebetulan atau satu
kali saja mengadakan pilihan rasional yang tepat dalam perbuatan kita
sehari-hari. Baru ada keutamaan jika kita bisa menentukan jalan tengah di
antara ekstrem-ekstrem itu dengan suatu sikap tetap. Menurut Aristoteles,
manusia adalah baik dalam srti moral, jika selalu mengadakan pilihan-
pilihan rasional yang tepat dalam perbuatan-perbuatan moralnya dan
mencapai keunggulan dalam penalaran intelektual. Orang seperti itu
adalah bahagia. Kebahagiaan itu akan disertai kesenangan juga, walaupun
kesenangan tidak merupakan inti yang  sebenarnya dari kebahagiaan.
 Eudaemonisme yakni aliran filsafat etika yg menafsirkan tujuan manusia
sehingga tercapainya kebahagiaan yang paripurna akibat mekarnya
segala potensi manusia. Aristoteles (384-322), dalam bukunya yang
berjudul “Nicomachean Ethics,” mencetuskan apa yang disebut sebagai
etika “eudaemonisme” rasional (dari Yunani “eudaemon” yang berarti
bahagia). Aristoteles mengatakan bahwa segala aktivitas hidup manusia
terarah kepada kebaikan. Kebaikan yang dikejar itulah yang disebut
kebahagiaan. Kebahagiaan merupakan cetusan yang paling sempurna,
ideal dan rasional dari aktivitas tindakan manusia. Namun, apa yang
disebut sebagai kebahagiaan menurut Aristoteles, bukanlah sesuatu yang
sudah selesai, rampung dan tuntas. Kebahagiaan harus disamakan
dengan aktivitas, yaitu aktivitas mencari kebahagiaan. Dengan
demikian, etika “eudaemonisme” Aristotelian adalah etika yang
berhubungan dengan rasionalitas manusia.
Gagasan “eudaimonia” dalam pemahaman Epicuros, terwujud
dalam “kenikmatan” (pleasure), yaitu kenikmatan yang mengalir dari
aktivitas makan dan minum (the roots of all good is the pleasure that
comes from the eating and drinking). Sedangkan menurut kaum Epicurian,
kebahagiaan terletak pada aktivitas dan kepuasan diri yang rendah. Tesis
kaum Epicurian, kemudian dilanjutkan oleh Jeremy Bentham (1748-1832).
Bentham mengatakan, bahwa kehidupan manusia ditentukan oleh dua
unsur, yaitu perasaan sakit dan kenikmatan (pain and pleasure). Pengertian
ini mengandaikan sebuah karakter untuk menghindari penderitaan dan
mengejar kenikmatan, yaitu kenikmatan yang terbatas pada aktivitas
makan dan minum.
Berbeda dengan Epicuros, Jeremy Bentham dan kaum Epicurian,
Aristoteles tidak meletakkan “eudaimonia” pada “rasa, cita rasa dan
kenikmatan.” Etika “eudaimonia” Aristoteles lebih mengarah kepada
karakter rasional. Bagi Aristoteles, manusia dengan rasionya (akal
budinya), dapat meraih kebahagiaan bagi hidupnya. Namun, menurut
Aristoteles, manusia harus menjalankan aktivitasnya (akal budinya)
menurut keutamaan (virtue) untuk mencapai kebahagiaan, karena aktivitas
yang disertai keutamaan (virtue) dapat membuat manusia bahagia.
Kebahagiaan menurut Aristoteles tidak terletak pada pengertian menikmati
hasil atau prestasi, tetapi pada karakter kontemplasi rasional sebagai suatu
aktivitas manusia untuk mengalami pencerahan.
Kebaikan yang dikejar itulah yang disebut kebahagiaan. Dengan
kata lain, manusia selalu menginginkan kebahagiaan dalam hidupnya.
Kendatipun ada manusia yang menginginkan penderitaan dalam hidupnya,
hal itu disebabkan oleh karena situasi hidup yang dia hadapi. Artinya,
manusia ingin menghindari penderitaan itu sendiri. Realitas inilah yang
terjadi pada bangsa kita sekarang ini, bahwa rakyat hidup dalam realitas
ketidakbahagiaan akibat kelaparan, kemiskinan, kekurangan perhatian
pemerintah atas penderitaan rakyat. Maka dapat disimpulkan bahwa aliran
“eudaemonisme ini yaitu lebih mengedepankan kepentingan Individual
(pribadi), kelompok tertentu, daripada kepentingan Bersama”,
Maka dari itu apabila aliran eudaemonisme ini dikorelasikan
dengan cara beretika yang sesuai dengan profesinya yaitu sebagai contoh ;
      Rezim Pemerintah Yang Berlandaskan Sistem Pemerintahan
Demokrasi
Bangsa kita dikenal sebagai bangsa yang makmur. Namun, dalam
kenyataannya, bangsa kita telah dikuasai oleh kehausan akan harta,
kekuasaan, keserakahan, dan keegoisan. Aneka persoalan memporak-
porandakan bangsa kita bagaikan lingkaran setan menghantui rakyat kecil.
Rakyat menderita akibat ulah pemerintah sendiri yang lebih
mengedepankan kebahagiaan individual daripada kebahagiaan bersama.
Maka, tidaklah berlebihan kalau dikatakan bahwa pada tataran inilah etika
“eudaimonia” Aristotelian berada dalam posisi kenaifan, yaitu ketika
pemerintah mengedepankan kebahagiaan individu daripada kebahagiaan
bersama, padahal terminologi kebahagiaan dalam etika “eudaimonisme”
Aristotelian perlu disimak dengan rasionalitas yang baik. Maksudnya,
terminologi kebahagiaan dalam Aristotelian, bukan hanya
dimaksudkan pada kebahagiaan individu atau kelompok saja, tetapi
juga menyangkut kebahagiaan bersama. Maka rumusan prinsip pokok
faham ini yang seharusnya adalah kebahagiaan bagi diri sendiri dan
kebahagiaan bagi orang lain. Menurut Aristoteles, untuk mencapai
eudaemonia ini diperlukan 4 hal yaitu
a)      kesehatan, kebebasan, kemerdekaan, kekayaan dan kekuasaan,
b)      kemauaan,
c)      perbuatan baik, dan
d)     pengetahuan batiniah.
Kebahagiaan bersama tercapai apabila masing-masing pihak menyadari
apa arti kebahagiaan dalam hidup manusia. Namun, persoalan yang kita
hadapi adalah justru para penguasa bangsa kita tidak mampu menciptakan
kebahagiaan bersama. Yang terjadi sebaliknya adalah rakyat menderita
akibat ulah penguasa bangsa kita. Penguasa yang sesungguhnya menjadi
pendorong untuk menciptakan “eudaimonia” bagi rakyat, justru berbalik
menjadi penghambat kebahagiaan itu sendiri. Rakyat kini terperangkap
dalam kemiskinan akibat kenaikan harga-harga. Tidak kalah pentingnya,
rakyat kita semakin menderita, bahkan kebahagiaan itu semakin menjauh
dari harapan ketika apa yang kita miliki disewakan kepada orang lain.
 Pengertian Eudaemonisme
Eudaemonisme atau dapat juga dieja eudaimonisme, atau eudemonisme,
didalam etika, dapat diartikan yakni sebagai teori realisasi-diri yang
menjadikan kebahagiaan atau juga kesejahteraan pribadi ialah sebagai
yang utama baik bagi manusia.

Kebahagiaan, memang, biasanya itu dianggap sebagai keadaan pikiran


yang dihasilkan dari atau menyertai beberapa tindakan. Tetapi jawaban
Aristoteles dalam pertanyaan “Apa itu eudaimonia?” (Yakni, “aktivitas
apa yang sesuai dengan kebajikan”; atau apa yang “kontemplasi”).

Pertanyaan itu menunjukkan bahwa baginya eudaimonia bukanlah suatu


keadaan pikiran akibat atau menyertai kegiatan atau aktivitas tertentu
tetapi merupakan nama untuk kegiatan atau aktivitas ini sendiri. “Apa itu
eudaimonia?” Lalu pertanyaan yang sama dengan “Apa kegiatan/aktivitas
terbaik yang mampu dilakukan manusia?”.
Namun kemudian, seorang moralis, misalnya, utilitarian Inggris pada abad
ke-18 serta 19 Jeremy Bentham dan juga John Stuart Mill-mendefinisikan
kebahagiaan ialah sebagai kesenangan serta tidak adanya rasa sakit. Yang
lain, masih menganggap kebahagiaan yakni sebagai kondisi pikiran, telah
mencoba membedakannya dari kesenangan dengan alasan bahwa itu ialah
mental, bukan tubuh; abadi, tidak sementara; serta rasional, bukan
emosional.

Prinsip pokok didalam faham ini yakni suatu kebahagiaan bagi diri sendiri
serta kebahagiaan bagi orang lain. Aristoteles juga mengemukakan bahwa
untuk dapat mencapai eudaemonia ini diperlukan 4 hal yaitu;

• Kesehatan, kebebasan, kemerdekaan, kekayaan serta kekuasaan

• Kemauaan

• Perbuatan baik

• Pengetahuan batiniah

Pengertian Eudaemonisme Menurut Para Ahli

Dibawah ini merupakan definisi eudaemonisme yang dikemukakan oleh


para ahli, antara lain diantaranya ialah sebagai berikut;

 Kamus Besar Bahasa Indoneisa (KBBI)

Eudominisme ini dapat diartikan yakni sebagai aliran filsafat etika yaitu
mengenai menafsirkan tujuan manusia sehingga tercapainya kebahagiaan
yang paripurna akibat mekarnya segala potensi manusia.

 Collins English Dictionary

Eudaeminisme ini merupakan suatu doktrin etis bahwa kebahagiaan


pribadi ialah kebaikan utama serta tujuan tindakan yang tepat.
Kebahagiaan seperti itu dipahami di dalam hal kesejahteraan yang
didasarkan pada realisasi diri yang bajik serta rasional.
 Merriam Webster

Eudaemonisme ini merupakan sebuah teori yang berusaha menunjukan


bahwa tujuan etis tertinggi ialah kebahagiaan serta kesejahteraan pribadi

 The Basic Of Philosophy

Eudaimonisme (atau Eudaemonisme atau Eudaimonia) ini merupakan


filsafat moral yang mendefinisikan tindakan benar yakni sebagai tindakan
yang mengarah pada “kesejahteraan” individu, dengan demikian
menganggap “kesejahteraan” memiliki/mempunyai nilai penting.

 New World Encyclpedia

Eudaimonisme ini ialah teori etika yang menyatakan bahwa kebahagiaan


(eudaimonia) dicapai dengan melalui kebajikan (aretê). Eudaimonia serta
aretê ialah dua konsep sentral di dalam etika Yunani kuno. Eudaimonia,
yang secara harfiah ini berarti “memiliki roh penjaga yang baik,” sering
diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris yakni sebagai “kebahagiaan,” serta
meskipun sejauh ini memadai, itu tidak sepenuhnya menangkap arti dari
kata Yunani tersebut.

Satu perbedaan penting ialah bahwa kebahagiaan itu tampaknya terkait


erat dengan penilaian subyektif kualitas hidup seseorang, sedangkan untuk
eudaimonia ini merujuk pada kehidupan yang diinginkan dengan secara
objektif. Eudaimonia kemudian merupakan suatu gagasan yang lebih luas
dari pada kebahagiaan karena peristiwa/kejadian buruk yang tidak
berkontribusi pada pengalaman kebahagiaan seseorang memang
memengaruhi eudaimonia seseorang.

 Philosophy Terms

Eudaimonia ini sering diterjemahkan yakni sebagai “kebahagiaan,” tapi itu


agak menyesatkan. Eudaimonia ini berasal dari dua kata Yunani Eu- yang
artinya bagus serta Daimon yang artinya jiwa atau “diri”. Kata yang sulit
untuk dapat diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.
Dalam filsafat Yunani, Eudaimonia ini ialah mencapai kondisi terbaik bagi
manusia, di dalam segala hal – tidak hanya kebahagiaan, tetapi juga
kebajikan, moralitas, serta kehidupan yang bermakna. Itu merupakan
tujuan akhir filsafat: untuk dapat menjadi orang yang lebih baik-untuk
memenuhi potensi unik kita yakni sebagai manusia.

Aristoteles yang menulis mengenai ide itu yang penting bagi banyak filsuf
Yunani, dari Socrates, (Bapak filsafat Yunani) hingga Stoicisme (filsafat
Yunani-akhir).

Anda bisa mencapai Eudaimonia, Aristoteles berpendapat, dengan bekerja


keras, mengembangkan kebajikan Anda, serta unggul dalam tugas apa
pun. Namun, Aristoteles pun juga menulis bahwa hidup di tempat yang
tepat serta menyeimbangkan aktivitas/kegiatan Anda dengan
kebijaksanaan juga penting untuk dapat mencapai Eudaimonia.

Macam Eudaemonisme

Terdapat lima (5) versi eudaimonisme yang berbeda, antara lain ialah
sebagai berikut;

 Pemikiran Sokrates

Konsep eudaimonia: Kebajikan penting dan juga memadai bagi kehidupan


eudaimonik. Kurangnya kebajikan tetntu membuat orang tersebut benar-
benar sakit di jiwanya.

 Pemikiran Platonis (“Akademik”)

Konsep eudaimonia: Kebajikan ini diperlukan walaupun tidak mencukupi


untuk kehidupan eudaimonik: seseorang juga perlu memenuhi sejumlah
keinginan manusia lainnya (“selera” jiwa), tetapi kebahagiaan itu tidak
dapat dicapai tanpa alasan serta kebajikan, sebab jiwa tidak akan seimbang
tanpa itu.
 Pemikiran Aristotelian (“Peripatetic”)

Konsep eudaimonia: Kebajikan ini diperlukan walaupun tidak cukup untuk


kehidupan eudaimonik: hanya orang-orang yang cukup beruntung untuk
dididik, agak kaya, sehat, serta bahkan cukup tampan dapat mengejar
eudaimonia. Esensi menjadi manusia ialah kemampuan dalam berpikir,
serta kehidupan eudaimonik ialah mengejar keunggulan dalam akal (yang
mengarah pada kebajikan).

 Pemikiran Epicurean

Konsep eudaimonia: Kebajikan bukanlah komponen intrinsik dari


eudaimonia, tetapi hanya berperan untuk dapat mencapainya. Tujuan
hidup ialah untuk memaksimalkan kesenangan (di dalam jangka panjang)
serta meminimalkan rasa sakit (juga dalam jangka panjang).

Mengejar kebajikan ini membawa kesenangan serta mengurangi rasa sakit,


jadi itu ialah salah satu alat untuk menjadi eudaimon.

 Pemikiran Stoic

Konsep eudaimonia: Etika Stoic ialah versi eudaimonisme yang sangat


kuat. Kaum Stoa ini membuat klaim radikal bahwa kehidupan eudaimon
merupakan suatu kehidupan yang bermoral baik. Kebajikan moral itu baik,
serta kejahatan moral buruk, serta segala hal lainnya, seperti kesehatan,
kehormatan, dan juga kekayaan.

Oleh sebab itu, para Stoa berkomitmen untuk dapat mengatakan bahwa
barang-barang eksternal yakni seperti kekayaan serta kecantikan fisik tidak
seluruhnya baik. Kebaikan moral itu diperlukan serta cukup untuk
eudaimonia.

 Contoh Eudaemonisme

Jika Anda adalah orang tua, Anda harus unggul dalam membesarkan anak-
anak Anda; jika Anda seorang dokter, Anda harus unggul dalam
menyembuhkan orang; dan jika Anda seorang filsuf, Anda harus unggul
dalam memperoleh pengetahuan dan kebijaksanaan, dan memberikan
pengajaran. Tentu saja, setiap orang memainkan banyak peran dalam
kehidupan, dan dengan unggul dalam semua peran itulah seseorang
mencapai Eudaimonia.

Aristoteles berpendapat bahwa, selain peran spesifik kita (orang tua,


dokter, filsuf), semua manusia berbagi tujuan – satu hal yang kita semua
lakukan yang membuat kita menjadi manusia. Untuk mencapai
Eudaimonia sejati, Anda harus unggul dalam hal ini – menjadi orang yang
bermoral, mengendalikan emosi Anda. Karena, Aristoteles berpendapat
bahwa ini adalah kemampuan manusia yang paling maju dan unik.

Jadi, alih-alih kebahagiaan, Eudaimonia dapat diterjemahkan sebagai:


pemenuhan, menjalani kehidupan (moral) yang baik, pertumbuhan
manusia, dan keberhasilan moral atau spiritual.

2. Hedonisme
 Hedonisme adalah pandangan hidup yang menganggap bahwa orang akan
menjadi bahagia dengan mencari kebahagiaan sebanyak mungkin dan
sedapat mungkin menghindari perasaan-perasaan yang menyakitkan.
Hedonism merupakan ajaran atau pandangan bahwa kesenangan atau
kenikmatan merupakan tujuan hidup dan tindakan manusia.

 Hedonisme adalah paham sebuah aliran filsafat dari Yunani. Tujuan


paham aliran ini adalah untuk menghindari kesengsaraan dan menikmati
kebahagiaan sebanyak mungkin dalam kehidupan di dunia. Ciri aliran
hedonisme adalah kebahagiaan diperoleh dengan mencari perasaan-
perasaan menyenangkan dan sedapat mungkin menghindari perasaan-
perasaan yang tidak enak.
 Hedonisme merupakan salah satu teori etika yang paling tua, paling
sederhana, paling kebenda-bendaan, dan dari abad ke abad slalu kita
temukan. Untuk aliran ini, kesenangan (kenikmatan) adalah tujuan akhir
hidup dan yang baik yang tertinggi. Kaum hedonis modern memilih kata
kebahagiaan untuk kesenangan. Hedonisme pertama-tama dirumuskan
oleh Aristippus yang salah menafsirkan ajaran gurunya, Socrates yang
berkata bahwa tujuan hidup adalah kebahagiaan. Aristippus menyamakan
kebahagian dengan kesenangan. Menurutnya, kesenangan berkat gerakan
lemah, rasa sakit berkat gerakan kasar. Kesenangan sesaat yang dinikmati
itu yang dihargai. Suatu perbuatan disebut baik jika dapat menyebabkan
kesenangan dan memberi kenikmatan. Kebajikan menahan kita agar tidak
jatuh dalam nafsu yang berlebihan yakni gerakan kasar jadi tidak
menyenangkan.
“Hedonism” menurut kamus oxford memiliki makna The highest good
and proper aim of human life. Menurut John Winter dalam bukunya yang
berjudul Agar Langkah Hidup Anda Bahagia, mengatakan bahwa gaya
hidup hedonisme diciptakan oleh sebuah zaman di mana zaman ini telah
mendahulukan keinginan yang bersumber dari hawa nafsu, bukan dari
pikiran rasional yang nyata. Maka aliran Hedonisme ini yakni “Hidup
yang berisi dengan penuh kesenangan berfoya-foya, menomorsatukan
gengsi, kaum borjuis (eksklusifitas), dan terus menerus dilakukan tanpa
memikirkan hal lain dan memiliki pemikiran bahwa  kesenangan yang
dilakukan tak lekang oleh waktu,  dan mereka yang melakukan itu
hanya bisa menggunakan fasilitas dari kekayaan orangtuanya, dan ciri
dari aliran hedonisme ini bagi yang menjalankan adalah selalu dimanja
oleh orangtuanya, bahkan tidak pernah mendapatkan perhatian dari
orangtuanya, karena kesibukan orang tuanya”.
Maka dari itu apabila aliran hedonism ini dikorelasikan dengan cara
beretika yang sesuai dengan profesinya yaitu sebagai contoh ;
      Berprofesi Sebagai Anggota Pembentuk Undang-Undang (Legislator),
Maka seorang pembentuk undang-undang ini seharusnya menkalankan
profesinya sesuai dengan kode etik yang telah mengikat dirinya, contoh
pelanggaran dalam kode etik ini yaitu : Hanya dapat melakukan hal-hal
kesenangan bagi dirinya sendiri tanpa memikirkan orang lain disekitarnya
yang benar-benar membutuhkan sebuah perubahan atas suatu kebijakan
yang telah dinantikan, dan didalam pemikirannya selalu ada prinsip bahwa
“Tercipta ataupun tidak, berjalan atau tidaknya sebuah produk Undang-
Undang yang dihasilkan itu bukan masalah bagi dirinya”, maka banyak
sekali produk undang-undang yang selalu tumpang tindih kewenangan,
karena dalam pembentukannya tanpa menyeimbangkan rasio dan hati,
hanya berfoya-foya, dan selalu menggunakan fasilitas yang ada, namun
kinerjanya bagi saya pribadi 30 %.
      Berprofesi Sebagai Penegak Hukum (Hakim)
Adanya konspirasi dengan pihak-pihak yang berkepentingan, misalkan
dengan adanya penyuapan (korupsi), hal ini selalu terjadi, dan apabila
dikalkulasi di Indonesia sering terjadi hal semacam ini persekian detik,
menit, maupun jam. Maka seorang hakim yang seharusnya bersikap
subyektif demi keadilan, akhirnya bersikap obyektif karena adanya
kepentingan dengan pihak lain, hal ini telah menyalahi kode etik profesi
yang ia jalankan serta menyalahi hukum di Indonesia.

 Contohnya

makan akan menimbulkan kenikmatan jika membawa efek kesehatan,


tetapi makan yang berlebihan akan menimbulkan badan sakit. Hedonisme
memiliki dampak negatif, yang paling banyak terjadi adalah manusia sibuk
mencari kesenangan yang lebih dan lebih sehingga muncul rasa ‘tidak
akan pernah puas’ dalam dirinya. Dengan tidak pernah puasnya tersebut,
manusia yang termasuk dalam golongan hedonis akan cenderung egois
atau mementingkan kepentingan pribadi demi kebahagiaan pribadi pula.

Menurut pendapat saya, hedonisme sudah terjadi di tengah-tengah


masyarakat Indonesia dewasa ini. Hal ini dilihat semakin maraknya aksi
korupsi massal yang bermunculan karena ingin mendapatkan sesuatu yang
lebih demi memenuhi kepuasan diri, seperti belanja tas mahal, mobil
mahal yang tujuannya hanya menaikan gengsi semata. Para koruptor rela
mengabaikan norma-norma yang telah dipegangnya demi tercapainya
sebuah kebahagian dirinya sendiri tanpa mementingkan hidup orang lain.
Contoh kasus terbaru terkait hedonisme yaitu peluncuran Blackberry
terbaru oleh RIM yang memakan korban. Para calon pembeli rela antri
hanya untuk mendapatkan benda yang satu ini. Padahal yang antri itu
orang kaya dan memegang blackberry juga (versi lama). Apa yang mereka
cari?? Mereka mencari gengsi. Kalau gak punya “apa kata dunia?”.

Bandingkan dengan sepeda motor yang dijual di indonesia. Anda akan


melihat bahwa banyak varian sepeda motor. Ada vario, beat, supra dll. Itu
juga dibedakan dengan bentuk stiping dan warna yang bermacam macam
(hedonisme).

3. Utilitarianisme

 Utilitarianisme adalah faham atau aliran dalam filsafat moral yang


menekankan prinsip manfaat atau kegunaan (the principle of utility)
sebagai prinsip moral yang paling mendasar. Dengan prinsip kegunaan
dimaksudkan prinsip yang menjadikan kegunaan sebagai tolak ukur pokok
untuk menilai dan mengambil keputusan apakah suatu tindakan itu secara
moral dapat dibenarkan atau tidak. teori etika normatif Utilitarisme, yakni
Utilitarisme Tindakan dan Utilitarisme Peraturan. Utilitarisme Tindakan
kaidah dasarnya dapat dirumuskan sebagai berikut: “Bertindaklah
sedemikian rupa sehingga setiap tindakanmu itu menghasilkan akibat-
akibat baik yang lebih besar di dunia daripada akibat buruknya.”
Sedangkan Utilitarisme Peraturan kaidah dasarnya sekarang berbunyi:
“Bertindaklah selalu sesuai dengan kaidah-kaidah yang penerapannya
menghasilkan akibat baik yang lebih besar di dunia ini daripada akibat
buruknya.”
 Utilitarisme yakni, bahwa kita harus bertindak sedemikian rupa sehingga
menghasilkan akibat-akibat sebanyak mungkin dan sedapat dapatnya
mengelakan akibat-akibat buruk. Kebahagiaan tercapai jika ia memiliki
kesenangan dan bebas dari kesusahan. Suatu perbuatan dapat dinilai baik
atau buruk sejauh dapat meningkatkan atau mengurangi kebahagiaan
sebanyak mungkin orang. Menurut prinsip utilitarian Bentham:
kebahagiaan terbesar dari jumlah orang terbesar. Prinsip kegunaan harus
diterapkan secara kuantitatif, karena kualitas kesenangan selalu sama
sedangkan aspek kuantitasnya dapat berbeda-beda. Dalam pandangan
utilitarisme klasik, prinsip utilitas adalah kebahagiaan terbesar dari
jumlah jumlah terbesar(the greatest happiness of the greatest number).
Menurut Bentham prinsip kegunaan tadi harus diterapkan secara
kuantitatif belaka.
Akhirnya, Bentham mengatakan bahwa keuntungan bagi sebuah filsafat
moral berdasarkan prinsip utilitarian. Mulai dari prinsip utilitarian adalah
bersih (dibandingkan dengan prinsip-prinsip moral lainnya),
memungkinkan bagi sasaran dan diskusi publik, dan memungkinkan
keputusan dibuat untuk dimana terlihat konflik (prima facie) keinginan
yang legitimate. Selanjutnya, dalam menghitung kenikmatan dan
penderitaan terlibat dalam membawa sebuah masalah aksi (the "hedonic
calculus"), ada sebuah komitmen fundamental terhadap persamaan derajat
manusia. Prinsip utilitarian mengandaikan bahwa "one man is worth just
the same as another man" ada garansi bahwa dalam menghitung the
greatest happiness "setiap orang dihitung satu dan tak lebih dari sekali".
Pandangan Jeremy Bentham sangat berbeda, dan dia beragumentasi bahwa
“jangan terburu-buru menilai mana yang baik dan mana yang salah,
karena semuanya itu harus ditetapkan dan bertujuan untuk
memberikan kebaikan pada orang yang paling banyak”.
Dengan kata lain, Kant menempatkan benar terlebih dahulu, baru yang
baik, sedangkan Bentham menempatkan baik terlebih dahulu, baru benar.
Model atau mahzab yang menganut Kant disebut Kantian, sedangkan
model atau mahzab yang dianut Bentham disebut Utilitarianis. Bagi
seorang Utilitarianis, dia akan melakukan pembohongan, dengan alasan
menyelamatkan nyawa lebih penting, dan apakah berbohong itu salah,
Utilitarianis akan mengatakan iya itu salah, tetapi menyelamatkan nyawa
adalah hal yang baik untuk dilakukan. Dalam hal inilah, baik dan benar
ternyata tidak selalu seiring dan sejalan. Kesimpulan dari aliran
Utilitarisme ini adalah
“Teori kebahagian terbesar yang mengajarkan manusia untuk meraih
kebahagiaan (kenikmatan) terbesar untuk orang terbanyak. Karena,
kenikmatan adalah satu-satunya kebaikan intrinsik, dan penderitaan
adalah satu-satunya kejahatan intrinsik”. Oleh sebab itu, Bentham
memperkenalkan prinsip moral tertinggi yang disebutnya asas kegunaan
atau manfaat (the principle of utility). Kekuatan utilitarisme terletak
dalam:
1. Rasionalitas tindakannya: tindakan harus dipilih dan 
dipertanggungjawabkan (maka juga menekankan tanggung jawab) apakah
berguna bagi sebanyak mungkin orang atau tidak. Utilitarisme
menciptakan suasana pertanggungjawaban. Segala tindakan moral tidak
dapat dikatakan benar, meski sesuai peraturan abstrak sebelum
dipertanggungjawabkan dari akibat-akibatnya terhadap semua pihak.
2. Universalitas akibat atau keberlakuan tindakannya: mengatasi
egoismetis, utilitarisme berikhtiar mencapai kebahagiaan semua orang.
Utilitarisme menuntut perhatian terhadap semua kepentingan semua orang
yang terpengaruh akibat tindakan itu, termasuk pelaku itu sendiri.
Empat unsur tolok ukur utilitarisme:
1.      Mengukur moralitas sebuah peraturan atau tindakan dari akibat-
akibatnya.
2.      Akibat-akibat yang ditimbulkan adalah akibat yang berguna.
3.      Nilai utilitarisme adalah (eudemonisme) tindakan yang betul dalam
arti moral adalah yang menunjang kebahagiaan.
4.      Utilitarisme menuntut agar kita selalu mengusahakan akibat baik
atau nikmat sebanyak-banyaknya.
Maka dari itu apabila aliran utilitarisme ini dikorelasikan dengan cara
beretika yang sesuai dengan profesinya yaitu sebagai contoh ;
      Degradasi Kepercayaan Masyarakat Terhadap Kinerja Pemerintah
Saat Ini
Bermula dari permasalahan dan kondisi masyarakat yang semakin
memprihatinkan, penyelesaian kasus-kasus tidak kunjung selesai
berdampak pada demontrasi dan tindakan-tindakan anarkis lainnya. Hal
tersebut memberikan bukti bahwa telah terjadi kemerosotan kepercayaan
masyarakat terhadap pemerintah. Sebagai akibat kasus-kasus korupsi yang
belum dapat diselesaikan dengan baik serta kebijakan-kebijakan yang
dilakukan pemerintah belum menyentuh akar permasalahan yang dihadapi
masyarakat.
DATA menyebutkan, peringkat indeks korupsi (IPK) Indonesia tahun lalu
di posisi 111. Pada 2008 posisi Indonesia naik, yakni peringkat 126. Untuk
2009, Indonesia di posisi 5 lingkungan ASEAN atau lebih rendah
dibandingkan Brunei Darussalam, Malaysia, dan Thailand. Kondisi saat
inilah, yang menyebabkan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah
semakin merosot karena hak-hak rakyat terabaikan. Sebagai dampak
buruknya kebijakan yang tidak berdasarkan asas manfaat adalah
kemiskinan, data BPS memberikan fakta kemiskinan di Indonesia
’’Jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada di bawah garis
kemiskinan di Indonesia pada Maret 2009 sebesar 32,53 juta (14,15
persen), dan persentase penduduk miskin antara daerah perdesaan.
Kesimpulan yang dapat diambil dari kajian ini adalah ditinjau dari segi
filsafat pemerintahan membutuhkan suatu paham pemikiran yang
dianggap tepat guna segera keluar dari krisis yang berkepanjangan. Suatu
paham atau teori yang dapat menjadi sumber bagi pembaharuan hukum
dan sosial politik sekaligus pedoman bagi pelaksana pemerintahan.
Utilitarisme merupakan salah satu teori dalam filsafat moral yang
mengukur tingkat moralitas berdasarkan atas nilai kegunaan. Prinsip
utamanya adalah ’’suatu tindakan dapat dibenarkan secara moral apabila
akibat-akibatnya menunjang kebahagiaan sebanyak mungkin orang yang
bersangkutan sebanyak mungkin
Otoritas yang diterapkan dalam teori utilitarisme bukan berarti menjadi
kesewenang-wenangan pemerintah dalam mengambil keputusan. Hal ini
untuk membentuk citra ketegasan pemerintah sebagai seorang pemimpin.
Diharapkan pemimpin agar tidak ragu-ragu dalam menetapkan suatu
keputusan.
Keraguan hanya membuat masyarakat semakin memandang pemimpin
tidak mampu menjalankan kepemimpinannya yang mengakibatkan
hilangnya wibawa di mata rakyat. Keputusan yang baik adalah keputusan
yang memberikan efek positif kepada masyarakat banyak, meski ada
beberapa hal yang harus dikorbankan.
 Utiliatarianisme merupakan suatu tindakan yang dilakukan dengan
meminimalkan biaya dan mamaksimalkan keuntungan. Utilitarianisme
dalam pengertian yang paling sederhana, menyatakan bahwa tindakan atau
kebijaksanaan yang secara moral benar adalah yang menghasilkan
kebahagiaan terbesar bagi warga masyarakat. “Utilitarianisme” berasal
dari kata Latin , utilis yang berarti “bermanfaat”.Menurut Weiss terdapat
tiga konsep dasar mengenai utilitarianisme sebagai berikut :
Suatu tindakan atau perbuatan atau pengambilan keputusan yang secara
moral adalah benar jika tindakan atau perbuatan atau pengambilan
keputusan itu membuat halterbaik untuk banyak orang yang dipengaruhi
oleh tindakan atau perbuatan atau pengambilan keputusan.
• Suatu tindakan atau perbuatan atau pengambilan keputusan yang secara
moral adalah benar jika terdapat manfaat terbaik atas biaya – biaya yang
dikeluarkan, dibandingkan manfaat dari semua kemungkinan yang pilihan
yangdipertimbangkan.
• Suatu tindakan atau perbuatan atau pengambilan keputusan yang secara
moral adalah benar jika tindakan atau perbuatan atau pengambilan
keputusan itu secara tepat mampu memberi manfaat, baik langsung
ataupun tidak langsung, untuk masa depan pada setiap orang dan jika
manfaat tersebut lebih besar daripada biaya dan manfaat alternatif yang
ada.

Walaupun dalam kesehariannya ada kritikan dari berbagai kalangan,


bahwa utilitarianisme kadang kala tidak bias di sandingkan dengan hak
dan keadilan. Jika suatu perbuatan membawa manfaat sebesar-besarnya
untuk sebagian besar orang, maka menurut utilitarianisme perbuatan itu
harus dianggap baik. Akan tetapi, bagaimana bila perbuatan itu serentak
juga tidak adil bagi suatu kelompok tertentu atau melanggar hak beberapa
orang atau barangkali malah hanya satu orang? Jika mereka mau
konsisten, para pendukung utilitarianisme mesti mengatakan bahwa dalam
hal itu perbuatannya harus dinilai baik. Jadi, dengan kata lain, mereka
harus mengorbankan keadilan dan hak kepada manfaat.
 Contoh Utilitarianisme :

Kasus tentang Pewarna Pakaian yang digunakan pada makanan anak-anak.


Sebagai contoh di satu sekolah ada penjual jajanan anak-anak yang
menjual agar-agar dan gulali (harum manis) dan ternyata pewarna yang
digunakan adalah pewarna pakaian dengan merek KODOK bukan
pewarna pasta makanan. Secara etis hal ini sangat tidaklah beretika, karena
akan merugikan orang lain namun dalam konsep utilitarinisme hal ini akan
menghasilkan keuntungan yang tidak sedikit bagi penjualnya karena dia
mampu menggantikan pewarna yang mahal dengan pewarna yang murah.

Dengan demikian, kasus ini akan menyebabkan kerugian dan telah


mengesampingkan hak orang lain. Disinilah letak minus prinsip
utilitarianisme walaupun menguntungkan pada salah seorangnya.

contoh utilitirianisme. Contoh yang menarik. Pembandingan pola


konsumsi masyarakat di malaysia dan indonesia. Kalau Anda sempat
berkunjung di Malaysia. Anda akan melihat bahwa sepeda motor yang di
malaysia adalah jenis motor honda astrea yang model tahun 1980-an.

Contoh : Dalam sebuah perjanjian bisnis, jika ada pihak yang dirugikan
maka pihak tersebut dapat membatalkan perjanjian itu secara sepihak

Dalam Utilitarianisme hal tersebut diperbolehkan, namun dalam etika


yang lain hal tersebut dilarang, sebab tidak memperhitungkan keadilan dan
hak serta kewajiban yang merupakan bagian dari etika moral
Daftar Pustaka

https://www.academia.edu/29727762/Aliran-aliran

https://www.academia.edu/4960583/Aliran_dalam_etika

https://pendidikan.co.id/pengertian-eudaemonisme-dampak-macam-ciri-
dan-contohnya/

http://julieka06.blogspot.com/2008/12/utilitarianisme-dan-contohnya.html

https://www.kompasiana.com/taufikakbarguci/551789e5a33311d207b65d
db/hedonisme-dan-utilitarianisme

http://dinus.ac.id/repository/docs/ajar/Etika_utilitarian_dalam_bisnis_4.ppt
x

(sumber Wikipedia)

Anda mungkin juga menyukai