1. Eudaemonisme
Pengertian Eudemonisme berasal dari kata “ Eudaimonia” yang berarti
kebahagiaan. Pandangan ini berasal dari filsuf Yunani besar, Aristoteles
(384-322 S.M). Dalam bukunya ,Ethika Nikomakheia, ia mulai dengan
menegaskan bahwa dalam setiap kegiatannya manusia mengejar suatu
tujuan. Bisa dikatakan juga, dalam setiap perbuatan kita ingin mencapai
sesuatu yang baik bagi kita. Seringkali kita mencari suatu tujuan untuk
mencapai suatu tujuan lain lagi. Misalnya, kita minum obat untuk bisa
tidur dan kita tidur untuk dapat memulihkan kesehatan. Timbul pertanyaan
apakah ada juga tujuan yang dikejar karena dirinya sendiri dan bukan
karena sesuatu yang lain lagi ; apakah ada kebaikan terakhir yang tidak
dicari demi sesuatu yang lain lagi. Menurut Aristoteles, semua orang akan
menyetujui bahwa tujuan tertinggi ini – dalam terminology modern kita
bisa mengatakan :makna terakhir hidup manusia – adalah kebahagiaan
(eudaimonia). Tapi jika semua orang mudah menyepakati kebahagiaan
sebagai tujuan terakhir hidup manusia, itu belum memerlukan semua
kesulitan, karena dengan kebahagiaan mereka mengerti banyak hal yang
berbeda-beda. Ada yang mengatakan bahwa kesenangan adalah
kebahagiaan, ada yang berpendapat bahwa uang dan kekayaan adalah inti
kebahagiaan dan ada pula yang menganggap status sosial atau nama baik
sebagai kebahagiaan. Tapi Aristoteles beranggapan bahwa semua hal itu
tidak bisa diterima sebagai tujuan terakhir. Kekayaan misalnya paling-
paling bisa dianggap tujuan untuk mencapai suatu tujuan lain. Karena itu
masih tetap tinggap pertanyaan : apa itu kebahagiaan?.
Menurut Aristoteles, seseorang mencapai tujuan terakhir dengan
menjalankan fungsinya dengan baik. Tujuan terakhir pemain suling adalah
main dengan baik. Tujuan terakhir tukang sepatu adalah membikin sepatu
yang baik. Nah, jika manusia menjalankan fungsinya sebagai manusia
dengan baik, ia juga mencapai tujuan terakhirnya atau kebahagiaan.
Apakah fungsi yang khas bagi manusia itu ?apakah keunggulan manusia,
dibandingkan dengan makhluk-makhluk lain ? Aristoteles menjawab : akal
budi atau rasio. Karena itu manusia mencapai kebahagiaan dengan
menjalankan secara paling baik kegiatan-kegiatan rasionalnya. Dan tidak
cukup ia melakukan demikian beberapa kali saja, tapi harus sebagai suatu
sikap tetap. Hal itu berarti bahwa kegiatan-kegiatan rasional itu harus
dijalankan dengan disertai keutamaan. Bagi Aristoteles ada dua macam
keutamaan : keutamaan intelektual dan keutamaan moral. Keutamaan
intelektual menyempurnakan langsung rasio itu sendiri. Dengan
keutamaan-keutamaan moral ini dibahas Aristoteles dengan panjang lebar.
Keutamaan seperti keberanian dan kemurahan hati merupakan pilihan
yang dilaksanakan oleh rasio. Dalam hal ini rasio menentukan jalan tengah
antara dua ekstrem yang berlawanan. Atau dengan kata lain, keutamaan
adalah keseimbangan antara “kurang “ dan “terlalu banyak”. Misalnya,
keberanian adalah keutamaan yang memilih jalan tengah antara sikap
gegabah dan sikap pengecut; kemurahan hati adalah keutamaan yang
mencari jalan tengah antara kekikiran dan pemborosan. Keutamaan yang
menentukan jalan tengah itu oleh Aristoteles di sebut phronesis
(kebijaksanaan praktis). Phronesis menentukan apa yang bisa dianggap
sebagai keutamaan dalam suatu situasi konkret. Karena itu keutamaan ini
merupakan inti seluruh kehidupan moral.
Sekali lagi perlu ditekankan bahwa tidaklah cukup kita kebetulan atau satu
kali saja mengadakan pilihan rasional yang tepat dalam perbuatan kita
sehari-hari. Baru ada keutamaan jika kita bisa menentukan jalan tengah di
antara ekstrem-ekstrem itu dengan suatu sikap tetap. Menurut Aristoteles,
manusia adalah baik dalam srti moral, jika selalu mengadakan pilihan-
pilihan rasional yang tepat dalam perbuatan-perbuatan moralnya dan
mencapai keunggulan dalam penalaran intelektual. Orang seperti itu
adalah bahagia. Kebahagiaan itu akan disertai kesenangan juga, walaupun
kesenangan tidak merupakan inti yang sebenarnya dari kebahagiaan.
Eudaemonisme yakni aliran filsafat etika yg menafsirkan tujuan manusia
sehingga tercapainya kebahagiaan yang paripurna akibat mekarnya
segala potensi manusia. Aristoteles (384-322), dalam bukunya yang
berjudul “Nicomachean Ethics,” mencetuskan apa yang disebut sebagai
etika “eudaemonisme” rasional (dari Yunani “eudaemon” yang berarti
bahagia). Aristoteles mengatakan bahwa segala aktivitas hidup manusia
terarah kepada kebaikan. Kebaikan yang dikejar itulah yang disebut
kebahagiaan. Kebahagiaan merupakan cetusan yang paling sempurna,
ideal dan rasional dari aktivitas tindakan manusia. Namun, apa yang
disebut sebagai kebahagiaan menurut Aristoteles, bukanlah sesuatu yang
sudah selesai, rampung dan tuntas. Kebahagiaan harus disamakan
dengan aktivitas, yaitu aktivitas mencari kebahagiaan. Dengan
demikian, etika “eudaemonisme” Aristotelian adalah etika yang
berhubungan dengan rasionalitas manusia.
Gagasan “eudaimonia” dalam pemahaman Epicuros, terwujud
dalam “kenikmatan” (pleasure), yaitu kenikmatan yang mengalir dari
aktivitas makan dan minum (the roots of all good is the pleasure that
comes from the eating and drinking). Sedangkan menurut kaum Epicurian,
kebahagiaan terletak pada aktivitas dan kepuasan diri yang rendah. Tesis
kaum Epicurian, kemudian dilanjutkan oleh Jeremy Bentham (1748-1832).
Bentham mengatakan, bahwa kehidupan manusia ditentukan oleh dua
unsur, yaitu perasaan sakit dan kenikmatan (pain and pleasure). Pengertian
ini mengandaikan sebuah karakter untuk menghindari penderitaan dan
mengejar kenikmatan, yaitu kenikmatan yang terbatas pada aktivitas
makan dan minum.
Berbeda dengan Epicuros, Jeremy Bentham dan kaum Epicurian,
Aristoteles tidak meletakkan “eudaimonia” pada “rasa, cita rasa dan
kenikmatan.” Etika “eudaimonia” Aristoteles lebih mengarah kepada
karakter rasional. Bagi Aristoteles, manusia dengan rasionya (akal
budinya), dapat meraih kebahagiaan bagi hidupnya. Namun, menurut
Aristoteles, manusia harus menjalankan aktivitasnya (akal budinya)
menurut keutamaan (virtue) untuk mencapai kebahagiaan, karena aktivitas
yang disertai keutamaan (virtue) dapat membuat manusia bahagia.
Kebahagiaan menurut Aristoteles tidak terletak pada pengertian menikmati
hasil atau prestasi, tetapi pada karakter kontemplasi rasional sebagai suatu
aktivitas manusia untuk mengalami pencerahan.
Kebaikan yang dikejar itulah yang disebut kebahagiaan. Dengan
kata lain, manusia selalu menginginkan kebahagiaan dalam hidupnya.
Kendatipun ada manusia yang menginginkan penderitaan dalam hidupnya,
hal itu disebabkan oleh karena situasi hidup yang dia hadapi. Artinya,
manusia ingin menghindari penderitaan itu sendiri. Realitas inilah yang
terjadi pada bangsa kita sekarang ini, bahwa rakyat hidup dalam realitas
ketidakbahagiaan akibat kelaparan, kemiskinan, kekurangan perhatian
pemerintah atas penderitaan rakyat. Maka dapat disimpulkan bahwa aliran
“eudaemonisme ini yaitu lebih mengedepankan kepentingan Individual
(pribadi), kelompok tertentu, daripada kepentingan Bersama”,
Maka dari itu apabila aliran eudaemonisme ini dikorelasikan
dengan cara beretika yang sesuai dengan profesinya yaitu sebagai contoh ;
Rezim Pemerintah Yang Berlandaskan Sistem Pemerintahan
Demokrasi
Bangsa kita dikenal sebagai bangsa yang makmur. Namun, dalam
kenyataannya, bangsa kita telah dikuasai oleh kehausan akan harta,
kekuasaan, keserakahan, dan keegoisan. Aneka persoalan memporak-
porandakan bangsa kita bagaikan lingkaran setan menghantui rakyat kecil.
Rakyat menderita akibat ulah pemerintah sendiri yang lebih
mengedepankan kebahagiaan individual daripada kebahagiaan bersama.
Maka, tidaklah berlebihan kalau dikatakan bahwa pada tataran inilah etika
“eudaimonia” Aristotelian berada dalam posisi kenaifan, yaitu ketika
pemerintah mengedepankan kebahagiaan individu daripada kebahagiaan
bersama, padahal terminologi kebahagiaan dalam etika “eudaimonisme”
Aristotelian perlu disimak dengan rasionalitas yang baik. Maksudnya,
terminologi kebahagiaan dalam Aristotelian, bukan hanya
dimaksudkan pada kebahagiaan individu atau kelompok saja, tetapi
juga menyangkut kebahagiaan bersama. Maka rumusan prinsip pokok
faham ini yang seharusnya adalah kebahagiaan bagi diri sendiri dan
kebahagiaan bagi orang lain. Menurut Aristoteles, untuk mencapai
eudaemonia ini diperlukan 4 hal yaitu
a) kesehatan, kebebasan, kemerdekaan, kekayaan dan kekuasaan,
b) kemauaan,
c) perbuatan baik, dan
d) pengetahuan batiniah.
Kebahagiaan bersama tercapai apabila masing-masing pihak menyadari
apa arti kebahagiaan dalam hidup manusia. Namun, persoalan yang kita
hadapi adalah justru para penguasa bangsa kita tidak mampu menciptakan
kebahagiaan bersama. Yang terjadi sebaliknya adalah rakyat menderita
akibat ulah penguasa bangsa kita. Penguasa yang sesungguhnya menjadi
pendorong untuk menciptakan “eudaimonia” bagi rakyat, justru berbalik
menjadi penghambat kebahagiaan itu sendiri. Rakyat kini terperangkap
dalam kemiskinan akibat kenaikan harga-harga. Tidak kalah pentingnya,
rakyat kita semakin menderita, bahkan kebahagiaan itu semakin menjauh
dari harapan ketika apa yang kita miliki disewakan kepada orang lain.
Pengertian Eudaemonisme
Eudaemonisme atau dapat juga dieja eudaimonisme, atau eudemonisme,
didalam etika, dapat diartikan yakni sebagai teori realisasi-diri yang
menjadikan kebahagiaan atau juga kesejahteraan pribadi ialah sebagai
yang utama baik bagi manusia.
Prinsip pokok didalam faham ini yakni suatu kebahagiaan bagi diri sendiri
serta kebahagiaan bagi orang lain. Aristoteles juga mengemukakan bahwa
untuk dapat mencapai eudaemonia ini diperlukan 4 hal yaitu;
• Kemauaan
• Perbuatan baik
• Pengetahuan batiniah
Eudominisme ini dapat diartikan yakni sebagai aliran filsafat etika yaitu
mengenai menafsirkan tujuan manusia sehingga tercapainya kebahagiaan
yang paripurna akibat mekarnya segala potensi manusia.
Philosophy Terms
Aristoteles yang menulis mengenai ide itu yang penting bagi banyak filsuf
Yunani, dari Socrates, (Bapak filsafat Yunani) hingga Stoicisme (filsafat
Yunani-akhir).
Macam Eudaemonisme
Terdapat lima (5) versi eudaimonisme yang berbeda, antara lain ialah
sebagai berikut;
Pemikiran Sokrates
Pemikiran Epicurean
Pemikiran Stoic
Oleh sebab itu, para Stoa berkomitmen untuk dapat mengatakan bahwa
barang-barang eksternal yakni seperti kekayaan serta kecantikan fisik tidak
seluruhnya baik. Kebaikan moral itu diperlukan serta cukup untuk
eudaimonia.
Contoh Eudaemonisme
Jika Anda adalah orang tua, Anda harus unggul dalam membesarkan anak-
anak Anda; jika Anda seorang dokter, Anda harus unggul dalam
menyembuhkan orang; dan jika Anda seorang filsuf, Anda harus unggul
dalam memperoleh pengetahuan dan kebijaksanaan, dan memberikan
pengajaran. Tentu saja, setiap orang memainkan banyak peran dalam
kehidupan, dan dengan unggul dalam semua peran itulah seseorang
mencapai Eudaimonia.
2. Hedonisme
Hedonisme adalah pandangan hidup yang menganggap bahwa orang akan
menjadi bahagia dengan mencari kebahagiaan sebanyak mungkin dan
sedapat mungkin menghindari perasaan-perasaan yang menyakitkan.
Hedonism merupakan ajaran atau pandangan bahwa kesenangan atau
kenikmatan merupakan tujuan hidup dan tindakan manusia.
Contohnya
3. Utilitarianisme
Contoh : Dalam sebuah perjanjian bisnis, jika ada pihak yang dirugikan
maka pihak tersebut dapat membatalkan perjanjian itu secara sepihak
https://www.academia.edu/29727762/Aliran-aliran
https://www.academia.edu/4960583/Aliran_dalam_etika
https://pendidikan.co.id/pengertian-eudaemonisme-dampak-macam-ciri-
dan-contohnya/
http://julieka06.blogspot.com/2008/12/utilitarianisme-dan-contohnya.html
https://www.kompasiana.com/taufikakbarguci/551789e5a33311d207b65d
db/hedonisme-dan-utilitarianisme
http://dinus.ac.id/repository/docs/ajar/Etika_utilitarian_dalam_bisnis_4.ppt
x
(sumber Wikipedia)