Anda di halaman 1dari 18

Mata kuliah : Asuhan Kebidanan Kegawatdaruratan Neonatus dan Maternal

Dosen Pengampuh : Hastuti Usman., SST., M.Keb

MAKALAH

“KEJANG”

DISUSUN OLEH

KELOMPOK 7

EKA ALFIANUR PO7124319063

ALWANDA PO7124319138

YUNINGSI PO7124319075

SARFIAN PO7124319067

PRODI DIV KEBIDANAN 2B

POLTEKKES KEMENKES PALU

TAHUN AJARAN 2021/2022

KATA PENGANTAR
1
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala limpahan
rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami bisa menyelesaikan tugas mata kuliah Asuhan
Kebidanan Kegawatdaruratan Maternal Neonatus.

Dan harapan kami semoga tugas ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman
bagi para pembaca, dan untuk kedepannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi
tugas ini agar menjadi lebih baik lagi.

Kami menyadari bahwa dalam proses pembuatan tugas ini masih jauh dari
kesempurnaan baik materi maupun cara penulisannya. Namun demikian, kami telah berupaya
dengan segala kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki sehingga dapat menyelesaikan
dengan baik. Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman saya, oleh karena itu
saya mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan
tugas ini. terimakasih

Palu, 14 juni 2021

Penulis

DAFTAR ISI

2
KATA PENGANTAR……………………………………………………………………….

DAFTAR ISI…………………………………………………………………………………

BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………………………

A. Pendahuluan…………………………………………………………………………
B. Tujuan………………………………………………………………………………..

BAB II PEMBAHASAN
A. Definisi…………………………………………………………………………………
B. Etiologi…………………………………………………………………………………
C. Penatalaksanaan………………………………………………………………………
D. Contoh Kasus………………………………………………………………………….

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan…………………………………………………………………………….
B. Saran……………………………………………………………………………………

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………………….

BAB I

3
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kejang merupakan gangguan neurologis yang lazim pada kelompok umur pediatri
dan terjadi dengan frekuensi 4-6 kasus/1000 anak. Kejang ini merupakan penyebab
yang paling sering untuk rujukan pada praktek neurologi anak. Adanya gangguan
kejang tidak merupakan diagnosis, tetapi gejala suatu gangguan sistem saraf sentral
(SSS) yang memerlukan pengamatan menyeluruh dan rencana manajemen. Penyakit
ini juga menjadi salah satu masalah sistem saraf pusat yang banyak terdapat pada
neonatus. Kejadiannya meliputi 0,5% dari semua neonatus baik cukup bulan maupun
kurang bulan. 1

Kejang pada periode bayi(neonatus) merupakan keadaan darurat medis, karena


kejang dapat mengakibatkan hipoksia otak yang cukup berbahaya bagi kelangsungan
2
hidup bayi atau dapat mengakibatkan sekuele di kemudian hari, disamping itu
kejang dapat merupakan tanda atau gejala dari satu masalah atau lebih. Kejang
halus/subtle seizure adalah jenis yang paling umum kejang yang terjadi dalam periode
neonatal. Jenis lain termasuk serangan klonic, tonik dan myoklonic. Serangan
myoklonic membawa prognosis terburuk dari segi jangka panjang hasil
perkembangan saraf. Ensefalopati iskemik Hipoksik adalah penyebab paling umum
neonatal kejang. 2,3

Beberapa etiologi sering hidup berdampingan di anak-anak mereka dan karena itu
penting untuk mengesampingkan penyebab umum seperti hipoglikemia,
hipokalsemia, meningitis sebelum memulai terapi spesifik. Pendekatan yang
komprehensif untuk manajemen kejang neonatal ditujukan pada periode neonatal
yaitu keadaan darurat yang berpotensi signifikan dalam perkembangan ke otak
dewasa. Diagnostik dan terapeutik intervensi harus jadi dibentuk segera. 1,4

Angka kejadian kejang pada neonatus terjadi lebih tinggi pada bayi kurang bulan
(3,9%) pada bayi dengan usia kehamilan < 30 minggu. Di Amerika Serikat, angka
kejadian kejang pada neonatus belum jelas terdeteksi, diperkirakan sekitar 80-120 per
100.000 neonatus per tahun. Perbandingannya antara 1-5:1000 angka kelahiran.
Menurut SDKI 2002-2003 angka kematian pada neonatus di Indonesia menduduki

4
angka 57% dari angka kematian bayi (AKB) sedangkan kematian neonatus yang
diakibatkan oleh kejang sekitar 10%. 5

Neonatus menghadapi risiko khusus terserang kejang karena penyakit metabolik,


toksik, struktural, dan infeksi lebih mungkin menjadi nampak selama waktu ini
daripada pada periode kehidupan lain kapanpun. Kejang neonatus tidak sama dengan
kejang pada anak atau orang dewasa karena konvulsi tonik klonik cenderung tidak
terjadi selama umur bulan pertama. Proses pertumbuhan akson dan tonjolan dendrit
juga mielinisasi tidak sempurna pada otak neonatus. Discharge kejang karenanya
tidak dapat dengan mudah dijalarkan ke seluruh otak neonatus untuk menimbulkan
kejang menyeluruh. Ada setidaknya empat tipe kejang yang dapat dikenali pada bayi
baru lahir. 2

B. Tujuan Penulisan

Penulisan referat ini bertujuan untuk mengetahui definisi, etiologi, patogenesis,


diagnosis dan penatalaksanaan kejang pada neonatus.

BAB II

5
PEMBAHASAN

A. Definisi

Neonatus adalah bayi baru lahir yang berusia di bawah 28 hari. Kejang (konvulsi)
merupakan gangguan fungsi otak tanpa sengaja paroksismal yang dapat nampak
sebagai gangguan atau kehilangan kesadaran, aktivitas motorik abnormal, kelainan
perilaku, gangguan sensoris, atau disfungsi autonom. Kejang pada neonatus adalah
perubahan paroksismal fungsi neurologis (tingkah laku dan atau fungsi motorik)
akibat aktifitas yang terus menerus dari neuron diotak dan terjadi dalam 28 hari
pertama kehidupan pada bayi cukup bulan atau sampai usia konsepsi 44 minggu pada
bayi kurang bulan.2,6

B. Etiologi
Etiologi kejang pada neonatus adalah sebagai berikut :
a. Ensefalopati iskemik hipoksik
Merupakan penyebab tersering (60-65%) kejang pada BBL, biasanya terjadi
dalam waktu 24 jam pertama, dapat terjadi pada BCB maupun BKB terutama bayi
dengan asfiksia. Bentuk kejang subtle atau multifokal klonik serta fokal klonik. Kasus
iskemik hipoksik disertai kejang, 20 % akan mengalami infark serebral. Manifestasi
klinis ensefalopati hipoksik – iskemik dapat dibagi dalam 3 stadium,yaitu : ringan,
sedang dan berat. Manifestasi kejang terjadi pada stadium sedang dan berat.2

b.Perdarahan Intrakranial
Perdarahan matriks germinal atau intraventrikel adalah penyebab kejang
tersering pada bayi preterm. Scher menentukan 45 % bayi preterm dengan kejang
mengalami perdarahan matriks germinal atau intraventrikel (GMH-IVH). Perdarahan
intrakranial sering sulit disebut sebagai penyebab tunggal kejang, biasanya
berhubungan dengan penyebab lain, yaitu :

-Perdarahan sub arachnoid


Perdarahan yang sering dijumpai pada BBL, kemungkinan karena robekan
vena superfisial akibat partus lama. Pada mulanya bayi tampak baik, tiba-tiba dapat
terjadi kejang pada hari pertama atau hari kedua. Pungsi lumbal harus dikerjakan
6
untuk mengetahui apakah terdapat darah di dalam cairan serebrospinal. Pemeriksaan
CT-Scan sangat berguna untuk menentukan letak dan luasnya perdarahan.
Pemeriksaan perdarahan perlu dikerjakan untuk menyingkirkan kemungkinan
koagulopati. 7
-perdarahan subdural
Perdarahan ini umumnya terjadi akibat robekan tentorium di dekat falks
serebri. Keadaan ini akibat molase kepala yang berlebihan pada letak verteks , letak
muka dan partus lama. Darah terkumpul di fosa posterior dan dapat menekan batang
otak. Manifestasi klinis hamper sama dengan ensefalopati hipoksik-iskemik ringan
sampai sedang. Bila terjadi penekanan pada batang otak terdapat pernapasan yang
tidak teratur, kesadaran menurun, tangus melengking, ubun-ubun besar menonjol dan
kejang. Perdarahan pada parenkim otak kadang-kadang dapat menyertai perdarahan
subdural. Deteksi kelainan ini dengan pemeriksaan USG atau CT-Scan. Perdarahan
yang kecil tidak membutuhkan pengobatan, tetapi pada perdarahan yang besar dan
menekan batang otak perlu dilakukan tindakan bedah untuk mengeluarkan darah.
Mortilitas tinggi, dan pada bayi yang hidup biasanya terdapat gejala sisa neurologis. 2,7
-Perdarahan periventrikuler/ intraventrikuler
Gambaran klinis perdarahan intraventrikuler tergantung kepada beratnya
penyakit dan saat terjadinya perdarahan. Pada bayi yang mengalami trauma atau
asfiksia biasanya kelainan timbul pada hari pertama atau kedua setelah lahir. Pada
BKB dapat mengalami perdarahan hebat, gejala timbul dalam waktu beberapa menit
sampai beberapa jam berupa gangguan napas, kejang tonik umum, pupil terfiksasi,
kuadriparesis flaksid, deserebrasi dan stupor atau koma yang dalam. Pada perdarahan
sedikit, gejala timbul dalam beberapa jam sampai beberapa hari sampai penurunan
kesadaran, kurang aktif, hipotonia, kelainan posisi dan pergerakan bola mata seperti
deviasi, fiksasi vertical dan horizontal disertai dengan gangguan respirasi. Bila
keadaan memburuk akan timbul kejang. BCB biasanya disertai riwayat intrapartum
misalnya trauma, pasca-pemberian cairan hipertonik secara cepat terutama natrium
bikarbonat dan asfiksia. Manifesasi klinis yang timbul bervariasi mulai dari
asimtomatik sampai gejala yang hebat. Gejala neurologis yang paling umum dijumpai
adalah kejang yang dapat bersifat fokal, multifokal atau umum. Di samping itu
terdapat manifestasi berupa apnu, sianosis, letargi, jitteriness, muntah, ubun-ubun
besar menonjol, tangis melengking dan perubahan tonus otot.3

7
c. Metabolik
Penyebab paling sering kejang metabolik adalah :
- Hipoglikemia
Bayi dengan kadar glukosa darah < 45 mg/dL disebut hipoglikemia. Kadang
asimtomatis. Hipoglikemia yang berkepanjangan dan berulang dapat mengakibatkan
dampak yang menetap pada SSP. BBL yang mempunyai resiko tinggi untuk
terjadinya hipoglikemia adalah : Bayi Kecil untuk masa kehamilan, Bayi Besar untuk
masa kehamilan dan bayi dari Ibu dengan Diabetes Mellitus. Hipoglikemi dapat
menjadi penyebab dasar pada kejang BBL dan gejala neurologis lainnya seperti apnu,
letargi dan jiterness. Kejang seperti hipoglikemia ini sering dihibungkan dengan
penyebab kejang yang lain. Hanya sekitar 3% yang benar disebabkan Karena
hipoglikemia. Tidak ada keraguan pemberian terapi dextrose intravena jika ditemukan
kadar glukosa rendah pada bayi kejang, untuk mengembalikan kadar gula darah
kembali secepatrnya.
- Hipokalsemia/ hipomagnesemia
Kejadian awal kejang akibat hipokalsemia pada hari pertama dan kedua. Lebih sering
didapatkan pada BBLR dan sering dihubungkan dengan keadaan asfiksia serta bayi
dari ibu dengan diabetes mellitus. Hipokalsemia didefinisikan kadar kalsium < 7,5
mg/dL (<1,87 mmol/L), biasanya disertai kadar fosfat > 3 mg/dL (> 0,95mmol/L),
seperti hipoglikemia kadang asimtomatis. Sering berhubungan dengan prematuritas
atau kesulitan persalinan dan asfiksia. Kadar magnesium yang rendah sering terjadi
bersama dengan hipokalsemi dan perlu diterapi agar memberikan respon yang baik
untuk menghentikan kejang. Mekanisme terjadinya hipokalsemia bersamaan dengan
hipomagnesemia belum jelas. Bila kejang pada bayi berat lahir rendah yang
disebabkan oleh hipokalsemia diberikan kalsium glukonat kejang masih belum
berhenti harus dipikirkan adanya hipomagnesemia. 2,7
- Hiponatremia dan hipernatremia
Kadar natrium serum yang sangat tinggi, sangat rendah atau yang mengalami
perubahan dengan sangat cepat, sering terjadi pada kondisi tertentu seperti Syndrome
of Inappropreiate Anti-Diuretic Hormone (SIADH), sindroma Bartter atau dehidrasi
berat dapat menyebabkan kejang. SIADH berhubungan dengan keadaan sekunder dari
meningitis atau perdarahan intracranial, terapi diuretika, kehilangan garam yang
berlebihan atau asupan cairan yang mengandung kadar natrium yang rendah,

8
hiponatremia dapat terjadi akibat minum air, pemberian infus intravena yang
berlebihan atau akibat pengeluaran natrium yang berlebihan lewat kencing dan feses.
Hipernatremia terjadi akibat dehidrasi berat atau iatrogenik atau sekunder akibat
asupan natrium yang berlebihan. Dapat juga terjadi akibat pemberian natrium yang
berlebihan secara oral maupun parenteral.3,6

d. Infeksi
Infeksi terjadi sekitar 5-10% dari seluruh penyebab kejang BBL, bakteri, nonbakteri
maupun kongenital dapat menyebabkan kejang BBL, biasanya terjadi setelah minggu
pertama kehidupan.
Infeksi digolongkan menjadi
1. Infeksi akut
Infeksi bakteri atau virus pada SSP dengan atau tanpa keadaan sepsis dapat
mengakibatkan kejang, biasanya sering berhubungan dengan meningitis. Kuman gram
negative sering mengakibatkan infeksi intrakranial dan sistemik pada BBL. Bakteri
yang sering ditemukan adalah group B streptococcus, Eschericia coli, Listeria sp,
Staphylococcus dan Pseudomonas species.
2. Infeksi kronik
Infeksi intrauterin yang berlangsung lama : toxoplasmosis, rubella, cytomegalovirus,
herpes (TORCH), treponema pallidum .

e. Kernikterus/ensefalopati bilirubin
Suatu keadaan ensefalopati akut dengan sekuele neurologis yang disertai
meningkatkan kadar serum bilirubin dalam darah. Bilirubin indirek menyebabkan
kerusakan otak pada BCB apabila melebihi 20mg/dl. Pada bayi prematur yang sakit,
kadar 10mg/dl sudah berbahaya. Kemungkinan kerusakan otak yang terjadi tidak
hanya disebabkan oleh kadar bilirubin yang tinggi tetapi tergantung kepada lamanya
hiperbilirubinemia. BKB yang sakit dengan sindrom distress pernapasan, asidosis
mempunyai risiko yang tinggi untuk terjadinya kernikterus. Manifestasi klinis
kernikterus terdiri dari hipotonia, letargi dan refleks menghisap lemah. Pada hari
kedua terdapat gejala demam, regiditas dan posisi dalam opistotonus. Selanjutnya
gambaran klinis bulan pertama menunjukkan tonus otot meningkatkan progresif.
Sindrom klinis yang tampak sesudah tahun pertama meliputi : 1) disfungsi ekstra

9
piramidal biasanya berbentuk atetosis dan kora; 2)gangguan gerak bola mata vertikal,
ke atas lebih dari pada ke bawah, terdapat 90% kasus; 3) kehilangan pendengaran
frekuensi tinggi terdapat pada 60% kasus; 4) retardasi mental terdapat pada 25%
kasus.

f. Kejang yang berhubungan dengan obat


1.Pengaruh pemberhentian obat (Drug withdrawl)
Kecanduan metadon pada ibu hamil sering dikaitkan dengan kejang BBL karena efek
putus obat dari kecanduan heroin. Ibu yang ketagihan dengan obat narkotik selama
hamil, bayi yang dilahirkan dalam 24 jam pertama terdapat gejala gelisah, jitteriness
dan kadang-kadang terdapat kejang. Kejang akibat putus obat (withdrawl) terjadi
pertama kali pada usia 3 hari pertama dengan onset rata-rata 10 hari. Kejang tersebut
dapat menetap untuk beberapa bulan. Tremor dialami oleh bayi yang mendapatkan
infus narkotik jangka panjang untuk mengurangi rasa sakit dan telah diperhatikan pula
efek serupa dari midazolam untuk sedasi pada BKB.

2.Intoksikasi anestesi local


Kejang akibat intoksikasi anestesi lokal/anestesi blok pada ibu yang masuk ke dalam
sirkulasi janin. Ini dapat terjadi akibat anestesi blok paraservikal, pudendal atau
epidural serta anestesi local pada episiotomi yang tidak tepat. Curiga intoksikasi bila
didapatkan pupil tetap dilatasi pada pemeriksaan reflek pupil dan gerakan mata
terfiksasi pada reflek okulosefalik (refle doll’s eye menghilang). Bayi lahir
menunjukkan Apgar skor yang rendah, hipotonia dan hipoventilasi. Kejang terjadi
dalam waktu 6 jam pertama kelahiran.Prognosisnya baik, bila diberikan pengobatan
suportif yang memadai akan membaik setelah 24-48 jam.6
C. Penatalaksanaan
Langkah pertama dalam manajemen kejang adalah Pertahankan homeostasis sistemik
(pertahankan jalan nafas, usaha nafas dan sirkulasi). O2 harus mulai, IV akses harus
diamankan, dan darah harus dikumpulkan untuk gula dan penyelidikan lain. Sejarah

10
relevan harus diperoleh dan cepat klinis pemeriksaan harus dilakukan. Semua ini
seharusnya tidak membutuhkan lebih dari 2-5 menit.
Terapi etiologi spesifik :
- Dekstrose 10% 2 ml/kg BB intravena bolus pelan dalam 5 menit
- Kalsium glukonas 10 % 200 mg/kg BB intravena (2 ml/kg BB) diencerkan
akuades sama banyak diberikan secara intra vena dalam 5 menit (bila diduga
hipokalsemia)
- Antibiotika bila dicurigai sepsis atau meningitis
- Piridoksin 50 mg IV sebagai terapeutik trial pada defisiensi piridoksin, kejang
akan berhenti dalam beberapa menit 10,12
Terapi anti kejang :
- Fenobarbital : Loading dose 10-20 mg/kg BB intramuskuler dalam 5 menit, jika
tidak berhenti dapat diulang dengan dosis 10 mg/kgBB sebanyak 2 kali dengan
selang waktu 30 menit.
- Bila kejang berlanjut diberikan fenitoin: loading dose 15-20 mg/kg BB intra vena
dalam 30 menit.
- Rumatan fenobarbital dosis 3-5 mg/kgBB/hari dapat diberikan secara
intramuskuler atau peroral dalam dosis terbagi tiap 12 jam, dimulai 12 jam setelah
loading dose.
- Rumatan fenitoin dosis 4-8 mg/kgBB/hari intravena atau peroral dalam dosis
terbagi tiap 12 jam. Penghentian obat anti kejang dapat dilakukan 2 minggu
setelah bebas kejang dan penghentian obat anti kejang sebaiknya dilakukan
sebelum pulang kecuali didapatkan lesi otak bermakna pada USG atau CT Scan
kepala atau adanya tanda neurologi abnormal saat akan pulang. 1,3,5
Obat lain :
Golongan Benzodiazepin
- Kelompok ini obat mungkin diperlukan dalam 15% dari neonatal kejang.
Benzodiazepines umum digunakan adalah diazepam, lorazepam, midazolam, dan
clonazepam. Diazepam umumnya dihindari karena untuk durasi pendek tindakan,
indeks terapeutik yang sempit, dan karena kehadiran natrium benzoate sebagai
pengawet. Lorazepam pilihan di atas diazepam karena memiliki durasi yang lebih
lama dari tindakan dan hasil dalam kurang efek (sedation dan efek
kardiovaskular). Midazolam adalah bertindak lebih cepat daripada lorazepam dan
11
dapat dikelola sebagai sebuah infusi. Hal ini membutuhkan ketat pemantauan
untuk depresi pernapasan, apnea dan bradycardia. Dosis obat ini diberikan di
bawah ini:
- Diazepam: bolus 0,25 mg/kg IV (0.5 mg/kg dubur); mungkin diulang 1 - 2 kali.
- Lorazepam: 0,05 mg/kg IV bolus lebih dari 2-5 menit; mungkin diulang
- Midazolam: 0,15 mg/kg IV bolus diikuti oleh infus 0.1 s.d. 0,4 mg/kg/jam.
- Clonazepam: 0.1%u20130.2 mg/kg IV bolus diikuti oleh infusi 10-30 mg/kg/hr.

D. Contoh Kasus
Seorang bayi usia 3 hari dibawa ke rumah sakit dengan keluhan kurang aktif
menangis lemah, malas minum kesadaran menurun, gerakan kaki seperti mengayuh
sepeda, mata berkedip-kedip. Riwayat kelahiran dari ibu hamil 30 minggu dengan air
ketuban keruh berbau busuk.
A. Deteksi kegawatan berdasarkan keadaan umum pasien
• Bangkitan kejang, kesadaran, pernafasan, sirkulasi.

12
B. Diagnosis (identifikasi masalah/kebutuhan)
Anamnesis :
 Riwayat persalinan: bayi lahir prematur, lahir dengan tindakan,
penolong persalinan, asfiksia neonatorum.
 Riwayat imunisasi tetanus ibu, penolong persalinan bukan tenaga
kesehatan.
 Riwayat perawatan tali pusat dengan obat tradisional.
 Riwayat kejang, penurunan kesadaran, ada gerakan abnormal pada
mata, mulut, lidah dan ekstrimitas.
 Riwayat spasme atau kekakuan pada ekstremitas, otot mulut dan
perut.
 Kejang dipicu oleh kebisingan atau prosedur atau tindakan
pengobatan.
 Riwayat bayi malas minum sesudah dapat mium normal.
 Adanya faktor risiko infeksi.
 Riwayat ibu mendapat obat mis. heroin, metadon, propoxypen,
sekobarbital, alkohol.
 Riwayat perubahan warna kulit (kuning)
 Saat timbulnya dan lama terjadinya kejang.
• Pemeriksaan fisik
Kejang:
 Gerakan abnormal pada wajah, mata, mulut, lidah dan ekstrimitas
 Ekstensi atau fleksi tonik ekstremitas, gerakan seperti mengayuh
sepeda, mata berkedip, berputar, juling.
 Tangisan melingking dengan nada tinggi, sukar berhenti.
 Perubahan status kesadaran, apnea, ikterus, ubun-ubun besar
membonjol, suhu tubuh tidak normal.
Spasme:
 Bayi tetap sadar, menangis kesakitan
 Trismus, kekakuan otot mulut, rahang kaku, mulut tidak dapat dibuka,
bibir mencucu.

13
 Opistotonus, kekakuan pada ekstremitas, perut, kontraksi otot tidak
terkendali. Dipicu oleh kebisingan, cahaya, atau prosedur diagnostik.
 Infeksi tali pusat.
• Pemeriksaan penunjang yang diperlukan
a. Laboratorium Darah Rutin, kadar Glukosa darah.
b. Pada kecurigaan infeksi (meningitis)
 Pemeriksaan darah ditemukan adanya lekositosis (lebih 25.000/mm3)
atau lekopenia (kurang 5000/mm3) dan trombositopenia (<
150.000/mm3)
 Pemeriksaan pungsi lumbal, uji kepekaan dan biakan kuman
c. Gangguan metabolik
 Pemeriksaaan elektrolit darah ( natrium, kalsium, magnesium),
d. Diduga/ ada riwayat jejas pada kepala
 Pemeriksaan berkala hemoglobin dan hematokrit untuk memantau
perdarahan intraventrikuler serta didapat perdarahan pada cairan
serebrospinal.
 Pencitraan kepala ( USG)
e. Pemeriksaan kadar bilirubin
f. Pemeriksaan elektroensefalografi ( bila tersedia)
 Hasil penilaian yang ditemukan pada keadaan tersebut adalah
 Bayi lahir dari ibu usia 30 tahun, G1 P1 A0 dengan riwayat demam
tinggi periksa hamil tidak teratur, lahir spontan ditolong bidan
menangis lemah
 Bayi laki-laki, usia 3 hari, berat 2600 gram pb 47cm lk 33 cm
 Tanda vital denyut jantung 160 x/menit, pernapasan 40 x / menit, suhu
36.8 C .
 Kesadaran menurun, Gerakan kaki seperti mengayuh sepeda, mata
berkedip-kedip, Ubun-ubun besar besar membonjol, pewarnaan kuning
di daerah kepala, tali pusat bersih
 Ada tanda prematuritas.
 Hasil darah tepi: Hb 16 g/dL, Ht 45%, leukosit 35.000/uL, trombosit
260.000/uL, hitung jenis dalam batas normal. Bilirubin total 6 mg/dL.

14
kadar gula darah sewaktu 40mg/dl, kadar elektrolit dalam batas
normal.
 Berdasarkan pada temuan yang ada, diagnosis yang paling mungkin pada
bayi tersebut :
Kejang
Neonatal infeksi, Curiga Meningitis
Hipoglikemi
Bayi kurang bulan.
Pelayanan (perencanaan dan intervensi)
 Berdasarkan diagnosis, rencana penatalaksanaan pada pasien
 Pengawasan jalan napas bersih dan terbuka, permberian oksigen.
 Pasang jalur infus IV dan tangani hipoglikemianya
Berikan glukose 10% 2 mL/kg secara IV bolus pelan dalam lima menit.
Dilanjutkan dengan infus glukose 10% sesuai kebutuhan rumatan. Periksa
kadar glukose darah satu jam setelah bolus glukose dan kemudian tiap tiga jam
sampai dengan kadar glukose darah 45 mg/dL (2,6 mmol/L) atau lebih dalam dua
kali pemeriksaan berturut-turut. Jika kadar glukose darah masih kurang 45 mg/dL
(2,6 mmol/L) ulangi pemberian bolus glukose seperti tersebut di atas dan lanjutkan
pemberian infus.
• Beri injeksi fenobarbital 20 mg/kg berat badan secara IV, diberikan pelan-
pelan dalam waktu 5 menit:
- Bila kejang tidak berhenti dalam waktu 30 menit, berulangan fenobarbital 10
mg/kg berat badan secara IV atau IM. Dapat diulangi sekali lagi 30 menit kemudian
bila perlu.Dosis maksimal 40mg/kgbb/hari.
- Bila kejang masih berlanjut atau berulang, beri injeksi fenitoin 20 mg/kg,
dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
o fenitoin hanya boleh diberikan secara IV
o campur dosis fenitoin ke dalam 15 mL garam fisiologis dan diberikan dengan
kecepatan 0,5 mL/menit selama 30 menit. Fenitoin hanya boleh dicampur dengan
larutan garam fisiologis, sebab jenis cairan lain akan mengakibatkan kristalisasi;
o monitor denyut jantung selama pemberian fenitoin IV.
• Pemberian antibiotik sesuai tatalaksana meningitis.
Penilaian ulang

15
Setelah dilakukan tindakan dilakukan penilaian fisik dan laboratorium. Kejang
berhenti, kadar gula darah 70 mg/dl.

 selanjutnya harus dilakukan.


 Memberikan obat anti kejang rumatan (fenobarbital 5 mg/kg bb)
 Memberikan O2 sesuai kebutuhan
 Stabilisasi suhu (mempertahankan suhu tubuh optimal 37oC)
 Memberikan infuse glucose 10% dan elektrolit rumatan
 Pemberian nutrisi jika tidak ada indikasi kontra

Setelah 7 hari pasca perawatan kondisi bayi stabil, bayi minum baik dengan asi
eklusif. berat bayi meningkat 15- 20 gram / hari. Pemeriksaan EEG dalam batas
normal. Bayi persiapan untuk dipulangkan.

 yang dilakukan oleh dokter anak terhadap orang tua setelah bayi
dipulangkan yaitu :
kontrol secara teratur ke poli klinik perinatologi/tumbuh kembang untuk
follow up tumbuh kembang bayi dalam mengantisipasi komplikasi gangguan
neurologis dan tumbh kembang dari kejang

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Kejang merupakan gangguan neurologis yang lazim pada kelompok umur pediatri dan
terjadi dengan frekuensi 4-6 kasus/1000 anak.
16
2. Kejang ini merupakan penyebab yang paling lazim untuk rujukan pada praktek
neurologi anak.

3. Neonatus menghadapi risiko khusus terserang kejang karena penyakit metabolik,


toksik, struktural, dan infeksi lebih mungkin menjadi nampak selama waktu selama
waktu ini daripada pada periode kehidupan lain kapanpun.

4. Kejang neonatus tidak sama dengan kejang pada anak atau orang dewasa karena
konvulsi tonik klonik cenderung tidak terjadi selama umur bulan pertama. Proses
pertumbuhan akson dan tonjolan dendrit juga mielinisasi tidak sempurna pada otak
neonatus. Discharge kejang karenanya tidak dapat dengan mudah dijalarkan ke seluruh
otak neonatus untuk menimbulkan kejang menyeluruh. Dengan perawatan yang
baik dan benar diharapkan akan memperkecil angka kejadian kejang pada neonatus.

B. Saran
Setiap bayi baru lahir berisiko mengalami kejam untuk itu diharapkan kepada bidan
dan ibu hamil untuk mengetahui gejala dari kejang dan pencegahannya.

DAFTAR PUSTAKA

1. Haslam R. Kejang Neonatus. Editor: Waldo E. Dalam: Buku Ilmu Kesehatan Anak.
Jakarta : EGC. 2000; (vol: 3 ed: 15) 2064-2066
2. Irawan G. Kejang dan spasme. Editor: Kosim M. Dalam: Buku Ajar Neonatologi.
Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2008; (edisi 1) 226-249

17
3. Adre J. Neonatal seizures. Dalam : Cloherty JP, Stark AR, eds. Manual of neonatal
care; edisi ke-5. Boston : Lippincott Williams & Wilkins, 2004; 507-23.
4. Depkes RI. Buku bagan MTBM (Manajemen Terpadu Bayi Muda Sakit). Metode
tepat guna untuk paramedis, bidan dan dokter. Depkes RI, 2001.
5. Sankar J, Agarwal R. Seizures in the newborn. Department of Pediatrics. All India
Institute of Medical Sciences. Dimuat pada tahun 2010. Diunduh dari
http://www.newbornwhocc.org diakses tanggal 14 januari 2012

18

Anda mungkin juga menyukai