Anda di halaman 1dari 32

1

PETUNJUK PRAKTIKUM
GENETIKA DAN PEMULIAAN IKAN

Oleh :

Ibnu Dwi Buwono dkk.

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

UNIVERSITAS PADJADJARAN

TAHUN 2007
BAB I

POLA PEWARISAN GEN


(GENETIKA POPULASI)

1.1 Tujuan Praktikum


Praktikum dengan topik pola pewarisan gen ini atau mengenai genetika populasi
bertujuan untuk mempelajari dan mengetahui kosekuensi pewarisan gen berdasarkan
hukum Mendel dalam suatu populasi yang menyangkut frekuensi gen, frekuensi alel
dan rasio genotif dan fenotif.

1.2 Teori Dasar


Genetika populasi merupakan genetika kuantitatif sebagai pelengkap pemecahan
masalah–masalah konstitusi genetika pada Genetika Mendel. Pengertian mengenai
komposisi genetika pada populasi dan pemindahan gen dari suatu generasi ke generasi
berikutnya sangat penting sehubungan dengan perubahan komposisi genetika pada
populasi akibat seleksi alam maupun seleksi buatan. Saat ini genetika kuantitatif
membantu dalam menentukan apakah suatu populasi mempunyai potensi untuk
diseleksi atau tidah dan berapa kenaikan hasil yang dapat diharapkan serta metode
seleksi mana yang paling efisien (Suryo 1992).
Pola pewarisan gen dalam populasi berhubungan dengan frekuensi dan interaksi
alel dalam suatu populasi Mendel (Mendel Population), yaitu suatu kelompok
interbreeding dari suatu organisme yang masing-masing memiliki gene pool. Gene pool
adalah jumlah dari semua alel yang berlainan dalam populasi. Gen-gen ini mempunyai
hubungan dinamis dengan alel yang lainnya dan dengan lingkungan seperti seleksi
mempunyai kecenderungan untuk mengubah frekuensi gen yang dapat menyebabkan
perubahan evolusi dalam populasi.
Hardy dan Weinberg (1908) adalah pakar matematika yang menemukan dasar-
dasar yang ada hubungannya dengan frekuensi gen di dalam populasi yang dikenal
dengan prinsip equilbrium Hardy Weinberg. Hukum tersebut menyatakan bahwa
frekuensi gen akan tetap dari generasi ke generasi seterusnya dalam populasi yang
besar, keadaan populasi tersevar secara acak, tidak ada seleksi dan migrasi. Hukum ini
ternyata mengikuti model matematis dengan rumus binomium (a + b) n dimana
memperlihatkan pemisahan dari sepasang alel tunggal (Aa) pada persilangan
monohibrid dapat digambarkan sebagai berikut :
(a + b) = (A + a)2 = 1 AA + 2 Aa + 1 aa
Penggunaan istilah frekuensi gen yang ditinjau dari aspek genetika adalah
sebagai berikut :

Definisi Frekuensi Gen :


f (A) = Jumlah dari alel-alal A
Jumlah total semua alel dalam populasi

f (a) = Jumlah dari alel-alal a


Jumlah total semua alel dalam populasi

Aplikasi hukum Hardy Weinberg dalam genetika ikan dapat diuraikan seperti di

bawah ini.

HUKUM HARDY - WEINBERG (KONSEP “GENE - POOL” )

1. Dalam populasi persilangan acak (random mating), frekuensi genotif


ditunjukkan oleh frekuensi gen.
Jika frekuensi gen sebagai berikut :
p = f ( A ) dan q = f ( a ) dan p + q = 1,

Frekuensi genotif akan : p 2 + 2 pq + q 2 = 1


A 2 + 2 Aa + a 2 = 1

2. Jika frekuensi gen tetap konstan , maka frekuensi genotif akan sama pada
setiap generasi dan populasi tersebut dalam keseimbangan genetis
(genetic equilibrium).
Frekuensi gen berubah karena adanya mutasi, seleksi, dan migrasi. Dalam
praktikum ini akan digunakan teknik “ peniruan “ untuk menjelaskan konsep-lonsep
utama dari pada populasi genetik, yaitu :

1). Deskripsi genetika yang lengkap dari suatu populasi dapat dilakukan dengan
mencatat satu persatu genotif yang ada dan frekuensi relatifnya.

2). Dalam menyusun pengertian frekuensi genetik :


a. Frekuensi relatif dari alel – alel pada satu lokus.
b. Sistem dari “ persilangan “ yang diperlukan untuk menerangkan secara
sederhana “ penurunan secara Mendel “ .

1.3 Alat dan Bahan


Alat dan bahan yang digunakan dalam praktikum adalah kancing baju yang
terdiri dari dua ukuran yaitu kancing besar dan kancing kecil, toples plastik sebagai
wadah kancing untuk persilangan individu jantan dan betina serta kertas karton untuk
membuat kotak-kotak Punnet dalam persilangan individu jantan dan betina dalam suatu
populasi.

1.4 Cara Kerja

Praktikum 1

1. Gunakan frekuensi gen p ( A ) = q ( a ) = 0,5.


Sediakan masing-masing 32 buah kancing besar warna putih dan hitam sebagai
gamet Jantan
Sediakan masing-masing 32 buah kancing kecil warna putih dan hitam sebagai
gamet Betina

2. Masukkan semua kancing besar ke dalam 1 (satu) wadah plastik dan semua
kancing kecil ke dalam wadah plastik yang lain.(masing-masing dalam satu
wadah plastik). Wadah plastik tersebut dianggap sebagai sumber (pool) gamet yang
produktif.
3. Buatlah 64 zigot secara acak (random) , dianggap sebagai hasil persilangan bebas.

Cara membuat zigot ini adalah sebagai berikut :

Seorang mahasiswa bertindak sebagai yang menggambarkan gamet jantan dan


seorang lagi bertindak sebagai yang menggambarkan gamet betina dengan
mengambil kancing besar atau kancing kecil setelah terlebih dulu dilakukan
pengocokan terlebih dahulu terhadap wadah plastik tadi.
Kancing besar dan kancing kecil yang terambil akan merupakan zigot.
Tuliskan setiap zigot yang terbentuk pada kolom yang tersedia .
Setelah itu masukkan lagi gamet-gamet ke dala tempatnya dan agar diperhatikan
jumlah gamet dalam setiap pool tetap. Lakukan kembali pengecekan kotak dan
pembentukan zigot sampai terbentuk 64 zigot.

4. Jawablah pertanyaan di bawah ini :

a) Jumlahkan genotip yang dihasilkan dan hitunglah frekuensi gen pada generasi
keturunan yang dihasilkan .
b) Bagaimanakah penyebaran zigot dari populasi yang dihasilkan oleh gamet-gamet
induknya dengan frekuensi gen 0,5 . Apakah sesuai dengan Genetika Mendel ?

Praktikum 2

Gunakan frekuensi gen : p (A) = 0,75 dan q (a) = 0,25


 Induk betina dilambangkan dengan kancing besar. Warna putih melambangkan gen
dominan (A) dan warna hitam melambangkan gen resesif (a).
 Induk jantan dilambangkan dengan kancing kecil. Warna putih melambangkan gen
dominan (A) dan warna hitam melambangkan gen resesif (a).
1. Masukkan semua kancing besar warna putih (48 buah) dan hitam (16 buah) ke
dalam toples plastik
2. Masukkan juga semua kancing kecil warna putih (48 buah) dan hitam (16 buah) ke
dalam toples plastik yang lain
3. Kocok masing-masing toples plastik tersebut sehingga warnanya diasumsikan
tercampur secara merata (masing-masing toples dipegang oleh seorang mahasiswa)
4. Mahasiswa yang memegang toples berisi kancing besar menggambarkan gamet
betina dan yang memegang toples berisi kancing kecil menggambarkan gamet jantan
5. Ambil satu kancing dari masing-masing toples, apabila yang terambil warna putih
maka tulis A dan kalau yang terambil warna hitam tulis a. Hal ini diulang sampai 64
kali, dengan catatan setiap kancing yang telah diambil dikembalikan lagi ke tempat
asalnya (merupakan gene pool) sambil terus dikocok
6. Mahasiswa lain dalam kelompoknya bertugas mencatat hasilnya ke dalam kotak
Punnet yang telah disediakan (lembar pengamatan).

1.5 Pengamatan

Lembar Pengamatan:
Praktikum 1 (Genetika Populasi)

Kelompok :………………… Hari/tgl :


………………………...
Nama : 1. …………………………..
2 ………………………….
3 ………………………….

Perlakuan : p (A) = q (a) = 0,5

 Jantan : Kancing Besar : - Warna …………………….: A


- Warna …………………….: a
 Betina : Kancing Kecil : - Warna …………………….: A
- Warna …………………….: a
Kotak Punnet :

Frekuensi Alel :

f ( A ) =…………………………………………………….

f ( a ) =……………………………………………………..

Frekuensi Gen :

f ( AA ) = ………………………………………………….

f ( Aa ) = …………………………………………………..

.f ( aa ) =…………………………………………………..

 Apakah frekuensi gen yang didapatkan pada keturunannya tersebut, sesuai dengan
hukum “Hardy – Weinberg” ?
 Sebutkan kondisi apa saja yang diperlukan dalam frekuensi genotip agar populasi
dalam keadaan keseimbangan genetis (“genetic equilibrium”)
Lembar Pengamatan:
Praktikum 2 Genetika Populasi)

Kelompok :………………… Hari/tgl :


………………………...
Nama : 1. …………………………..
4 ………………………….
5 ………………………….

Perlakuan : p (A) = 0,75 dan q (a) = 0,25

 Jantan : Kancing Besar : - Warna …………………….: A


- Warna …………………….: a
 Betina : Kancing Kecil : - Warna …………………….: A
- Warna …………………….: a

Kotak Punnet :
Frekuensi Alel :

f ( A ) =…………………………………………………….

f ( a ) =……………………………………………………..

Frekuensi Gen :

f ( AA ) = ………………………………………………….

f ( Aa ) = …………………………………………………..

.f ( aa ) =…………………………………………………..

 Apakah frekuensi gen yang didapatkan pada keturunannya tersebut, sesuai dengan
hukum “Hardy – Weinberg” ?
 Sebutkan kondisi apa saja yang diperlukan dalam frekuensi genotip agar populasi
dalam keadaan keseimbangan genetis (“genetic equilibrium”)
BAB II

SELEKSI FENOTIP KUANTITATIF

2.1 Tujuan Praktikum


Dengan menjabarkan peranan genetik kuantitatif pada suatu fenotip ikan dalam
program seleksi diharapkan mahasiswa dapat memilih benih dan induk unggul dalam
budidaya ikan

2.2 Teori Dasar


Salah satu fenotip kuantitatif penting dalam budidaya ikan adalah sifat
pertumbuhan yang sangat bervariasi nilainya baik di dalam suatu populasi atau dalam
satu strain ikan. Pertumbuhan ikan dapat diukur dari panjang atau berat tubuh, dimana
variasi-variasi perbedaan yang cukup besar akan memudahkan seleksi trait pertumbuhan
tersebut. Variasi perbedaan trait tersebut dapat dilihat dari koefisien variasi trait di
dalam populasi ikan.
Seleksi bertujuan untuk mengumpulkan populasi dengan koefisien variasi besar
pada trait pertumbuhan merupakan salah satu jalan untuk memperbaiki produktivitas
budidaya ikan (Tave 1986). Sebagai contoh, rata-rata koefisien variasi untuk fenotip
pertumbuhan calon induk ikan Tilapia sebesar 26 % dan nilai heritabilitas (tingkat
pewarisan trait) untuk induk Tilapia sebesar 38 % (h 2 = 0,38). Hal ini menunjukkan
respon terhadap seleksi juga meningkat.
Apabila dalamprogram seleksi, nilai koefisien variasinya kecil atau varian
genetik aditif (VA) yang dapat dieksploitasi kecil, maka tidak memungkinkan untuk
memperbaiki suatu fenotip kuantitatif dengan seleksi. Hal ini terkait dengan kecilnya
nilai heritabilitas dalam populasi tersebut, dimana apabila h2  15 %
pengubahan VA untuk memperbaiki pertumbuhan ikan dengan program seleksi akan
lebih menyulitkan.
Peningkatan nilai h2 dapat dilakukan dengan menyeleksi berat rata-rata induk
ikan (kuantitatif trait) untuk mengetahui standar deviasi (SD) dan koefisien variasi (CV)
berat rata-rata populasi. Populasi dengan SD dan CV besar lebih memudahkan
pengeksploitasian varian genetik (termasuk VA), oleh karena jumlah perbedaan semakin
besar dan tingkat pewarisannya alan lebih besar dari 15 %.
Untuk mengetahui h2 suatu fenotip kuantitatif, dapat diprediksi dari suatu respon
terhadap seleksi dengan rumus R = S . h2 (Tave 1986)
dimana R = respon terhadap seleksi (dalam %)
S = selisih perbedaannilai trait rata-rata antara kelompok terseleksi dan
kelompok kontrol
h2 = heritabilitas (tingkat pewarisan)
Adapun nilai R diperoleh dari rumus :

(Y2 – Y1)
R = x 100 % (Falconer 1981)
Y1

dimana Y2 = rata-rata dari trait kelompok terseleksi


Y1 = rata-rata dari trait kelompok kontrol
R = respon terhadap seleksi (dalam %)

2.3 Alat dan Bahan Praktikum


Peralatan
Kegiatan praktikum ini dapat dilakukan di kolam ikan atau di tanki
pemeliharaan ikan di tempat terbuka (out door). Beberapa peralatan yang diperlukan :
(a) Bak fiberglass volume 1 m3 air sebagai wadah pemeliharaan ikan sementara
(b) Hapa dari kain nilon ukuran 2 x 1 x 1 m untuk pembesaran ikan di kolam
(c) Mistar dan timbangan untuk mengukur panjang dan berat ikan
(d) Jaring atau serok untuk menangkap ikan
(e) Alat tagging untuk penanda individu ikan

Bahan-bahan
(a) Ikan yang memiliki siklus pertumbuhan relatif cepat (mujahir atau nila)
(b) MS 222 untuk bahan anastesi ketika seleksi
(c) Pakan buatan (pelet protein 30 %) untuk memacu pertumbuhan

2.4 Cara Kerja


Dalam praktikum seleksi fenotip kuantitatif ini diperlukan kurang lebih 40 ekor
calon induk ikan Nila yang kira-kira berumur 3 – 3,5 bulan setiap 1 kolam. Kolam yang
diperlukan 2 unit yang masing-masing dilengkapi dengan 1 buah hapa ukuran 2 x 1 x 1
m untuk pemeliharaan ikan, dimana digunakan untuk kelompok ikan terseleksi dan
kelompok ikan kontrol. Sirkulasi air dipertahankan agar terjadi pergantian air untuk
membuang sisa-sisa kotoran ikan dan pakan yang tidak termakan.
Penentuan kelompok ikan yang terseleksi dan kelompok ikan kontrol dilakukan
sebelum pemeliharaan di hapa dengan mengukur panjang atau berat setiap ikan. Untuk
ikan dengan ukuran panjang atau berat yang memiliki SD (standar deviasi) atau
koefisien variasi (CV) besar dimasukkan ke dalam kelompok terseleksi dan sebaliknya
untuk SD dan CV yang relatif kecil dimasukkan dalam kelompok kontrol. Jumlah ikan
pada masing-masing kelompok terseleksi dan kontrol sebanyak 20 ekor. Setiap ikan
pada kedua kelompok tersebut ditagging dengan mengikatkan benang warna pada sirip
ikan agar tidak tertukar saat pengukuran trait pertumbuhan. Selama proses
pengelompokkan ikan dan tagging dilakukan pada media yang diberi MS 222 agar tidak
menimbulkan stres pada ikan.
Selama pemeliharaan kurang lebih 1 – 1,5 bulan pada hapa di kolam, baik untuk
kelompok terseleksi dan kontrol diberikan pakan buatan dengan takaran 5 % berat
biomas sebanyak 2 kali pemberian setiap hari.

2.5 Pengamatan
Parameter yang diamati dan diukur untuk menentukan keberhasilan seleksi dapat
dilihat dari nilai R dan h2 sebagai ukuran besarnya tingkat pewarisan suatu trait (fenotip)
kuantitatif.
Setelah pemeliharaan di hapa 1,5 bulan, semua ikan diambil dengan jaring atau
serok pada kedua kelompok dan diukur masing-masing panjang atau berat tubuh ikan.
Nilai SD dan CV dapat ditentukan dari rata-rata panjang atau berat tubuh ikan pada
kelompok terseleksi maupun kontrol. Dengan demikian nilai R adalad selisih rata-rata
panjang atau berat ikan kelompok terseleksi dan kelompok kontrol dibagi rata-rata
panjang atau berat ikan kelompok kontrol dikali 100 %. Sedangkan S dapat ditentukan
dari selisih perbedaan nilai rata-rata panjang atau berat ikan kelompok terseleksi dan
kelompok kontrol.
Dengan demikian nilai heritabilitasnya (h2) adalah R dibagi S (h2 = R/S) yang
menunjukkan seberapa besar tingkat pewarisan trait (fenotip) kuantitatif tersebut pada
keturunannya sebagai akibat dari efek seleksi.
BAB III
EKSPLOITASI VARIAN GENETIK DOMINAN DENGAN
PROGRAM HIBRIDISASI

3.1 Tujuan Praktikum


Praktikum ini bertujuan agar mahasiswa dapat menerapkan program hibridisasi
yang mengumpulkan varian genetik dominan apabila program seleksi induk tidak
mencapai hasil yang diharapkan karena nilai SD dan CV suatu trait relatif kecil.

3.2 Teori Dasar


Seleksi dapat mengubah nilai rata-rata fenotip kuantitatif pada populasi, karena
seleksi mampu mengeksploitasi varian genetik aditif (VA) yang merupakan fungi dari
alel-alel. Varian genetik aditif ini merupakan ukuran superioritas alel yang dimiliki
induk ikan dan dapat diwariskan seluruhnya pada keturunannya, oleh karena VA tidak
dapat dirubah oleh peristiwa segregasi ataupun pindah silang (crossing over) alel selama
meiosis (Chapman 1985 ; Tave 1986. Proporsi jumlah gen-gen autosomal dengan aksi
gen aditif (VA) yang mengontrol varian fenotip kuantitatif (VP) menentukan tingkat
pewarisan trait (heritabilitas). Apabila nilai heritabilitas (h2) lebih kecil dari 0,15 (15 %),
pengubahan VA untuk memperbaiki suatu trait yang menguntungkan dengan prgram
seleksi akan lebih menyulitkan.
Salah satu teknik genetika yang dapat dilakukan apabila nilai V A yang
dieksploitasi kecil adalah aplikasi program hibridisasi untuk menimbulkan kembali
kombinasi baru pasangan alel yang berinteraksi. Jika dalam kombinasi pasangan
alel terdapat alel dominan yang bersifat superior, alel dominan ini dapat diwariskan
pada keturunannya (eksploitasi varian genetik dominan atau VD). Eksploitasi VD pada
program hibridisasi ini akan menghasilkan strain baru yang memiliki efek heterosis (H)
akan memperbaiki suatu trait ikan.

3.3 Alat dan Bahan Praktikum


Alat yang diperlukan
(a) Tanki fiberglass volume 1 m3 air untuk wadah pemeliharaan induk ikan
(b) Aerator dan perlengkapannya untuk suplai oksigen
(c) Serok untuk mengambil induk ikan
(d) Mistar dan timbangan untuk mengukur panjang dan berat tubuh induk ikan
(e) Akuarium kecil dan besar untuk pemeliharaan larva dan benih ikan
(f) Heater sebagai alat stabilisasi suhu air

Bahan yang diperlukan


(a) Hormon ovaprim untuk mempercepat ovulasi dan pemijahan induk ikan
(b) Spuit volume 1 ml dan 2 ml untuk alat injeksi hormon
(c) Syringe dan cawan porselin untuk penampung sperma dan telur ikan
(d) Nauplii artemia dan tubifex (cacing rambut) sebagai makanan larva dan benih
(e) Pelet (protein 30 %) sebagai makanan induk ikan
(f) Malachyte green untuk obat yang mencegah telur dari serangan jamur
(g) Larutan Na fisiologis sebagai pengencer sperma ikan.

3.4 Cara Kerja


Program hibridisasi ini dilakukan dengan cara mengawinkan secara silang induk
ikan mas strain Majalaya (berwarna hijau gelap) dengan induk mas strain Si Nyonya
(berwarna kuning) dengan teknik fertilisasi buatan pada persilangan tersebut.
Tahapan praktikum adalah sebagai berikut :
(a) Menyiapkan dan menyeleksi kematangan gonad induk ikan mas strain Majalaya
jantan dan betina sebanyak 2 pasang yang terlebih dahulu diukur panjang dan berat
tubuhnya. Demikian juga untuk dua pasang induk ikan mas strain Si Nyonya dengan
perlakuan tersebut pada tanki pemeliharaan induk.
(b) Setelah terpilih 2 pasang induk ikan mas strain Majalaya dan Si Nyonya yang
matang gonad, kemudian dilakukan injeksi dengan hormon ovaprim dosis 0,5 ml/
kg berat induk jantan atau betina pada kedua strain tersebut.
(c) Makanan alami nauplii artemia sudah ditetaskan sebelumnya untuk stok pakan larva
yang baru menetas dan akuarium pemeliharaan larva yang dilengkapi heater dan
aerator telah dipersiapkan terlebih dahulu.
(d) Delapan jam setelah penyuntikan dengan hormon ovaprim, induk ikan jantan dan
betina kedua strain diambil dengan serok, dan dipegang induk betina dengan
tangan untuk distripping dengan pengurutan dari arah perut ke anus agar keluar
telur-telurnya dan ditampung pada cawan porselin. Sperma diambil dengan syringe
yang dimasukkan ke dalam lubang urogenital induk jantan dan dihisap sampai
terambil 0,5 ml cairan sperma. Fertilisasi buatan dilakukan dengan mencampurkan
sperma ke dalam cawanporselin yang berisi telur sambil diaduk dengan bulu ayam
steril dan kemudian ditambahkan larutan Na fisiologis sedikit demi sedikit Fertilisasi
buatan tersebut dilakukan menurut program hibridisasi sebagai berikut :
Program Hibridisasi
Telur : Sperma :
Majalaya Si Nyonya
Si Nyonya Majalaya
Majalaya Majalaya
Si Nyonya Si Nyonya

(e) Selanjutnya telur-telur yang telah difertilisasi dengan sperma dibilas dengan air
bersih dan diinkubasikan pada akuarium yang berbeda sesuai notasi persilangan
induk secara hibrid. Heater sebagai stabilisator suhu diaktifkan pada kisaran suhu 26
– 28 0C untuk penetasan telur.
(f) Setelah mnetas, 2 hari kemudian diberikan nauplii artemia sampai umur 15 hari.
Pemeliharaan larva di akuarium kecil tersebut diteruskan sampai umur 30 hari
dengan pemberian remahan kuning telur ayam sebagai makanannya.
(g) Pemeliharaan benih selanjutnya sampai umur 2 bulan dilakukan pada akuarium yang
lebih besar untuk masing-masing jenis persilangan hibrid tersebut dan diberikan
pelet ukuran kecil selama pemeliharaan.

3.5 Pengamatan
Ukuran Heterosis (H) yang menunjukkan superioritas dari ekspresi alel-alel
dominan pada kombinasi persilangan antar strain induk ikan ditentukan dengan
mengukur fenotip pertumbuhan (panjang atau berat) benih hasil persilangan tersebut
yang berumur kurang lebih 2 bulan. Jumlah benih yang diukur panjangnya
(mm/ekor) dan beratnya (g/ekor) pada setiap persilangan ditentukan sebanyak 10 -
15 ekor. Rumus yang digunakan untuk menghitung heterosis (H) pada persilangan
induk adalah :

Nilai rata-rata fenotip hibrid F1 – Nilai rata-rata fenotip bawaan induk


H= x 100%
Nilai rata-rata bawaan induk

Dimana :
~ Keturunan persilangan  Majalaya x Majalaya dan  Si Nyonya x Si
Nyonya merupakan keturunan pembawa fenotip induk
~ Keturunan persilangan  Majalaya x Si Nyonya dan Majalaya x  Si
Nyonya merupakan keturunan pembawa fenotip hibrid F1

Setelah diperoleh nilai rata-rata dari fenotip hibrid F1 dan fenotip bawaan induk,
kemudian dihitung heterosis (H) keturunan hibrid F1 dengan rumus diatas.

BAB IV
TRIPLOIDISASI

4.1 Tujuan Praktikum


Pada akhir praktikum mahasiswa diharapkan padat menerapkan teknik
manipulasi kromosom kelamin ikan dari status diploid (2N) menjadi status triploid (3N)
yang memiliki keunggulan pertumbuhan.

4.2 Teori Dasar


Poliploidi merupakan istilah bagi spesies hewan yang mempunyai kromosom
tiga set atau lebih. Salah atu bentuk poliploid adalah triploid yang memiliki kromosom
tiga set. Ikan triploid bersifat steril, memiliki pertumbuhan yang pesat dan konversi
penggunaan pakan yang baik karena sebagian besar energi yang diperoleh dari makanan
dipergunakan untuk pertumbuhan sel somatik (Husain dkk. 1995).
Triploidisasi merupakan kromosom kelamin pada ikan yang memiliki
keuntungan ditinjau dari segi produksi budidaya (pertumbuhan relatif tinggi),
mengurangi interaksi genetik dengan ikan asli di suatu perairan (perlindungan
biodiversitas ikan asli) dan mengendalikan reproduksi tidak terkontrol pada budidaya
ikan nila (Bramick dkk. 1995 dan Guo dkk. 1996).
Produksi ikan triploid (memiliki 3N kromosom kelamin) dapat dilakukan dua
metoda yaitu (1) metode interploid yaitu ikan tetraploid (4N) disilangkan dengan
diploid normal (2N) dan (2) pemberian kejutan suhu (panas atau dingin). Kejutan suhu
dilakukan dengan cara mengubah suhu medium penetasan menjadi sublethal yang
peka.kejutan panas lebih mudah diterapkan dan memberikan hasil yang lebih baik.
Faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan triploidisasi dengan kejutan panas
adalah waktu awal kejutan, suhu dan lama kejutan panas (Reddy dkk. 1990).
Pada sebagian besar spesies ikan, proses pembuahannya terjadi secara eksternal
sehingga memungkinkan manipulasi kromosom kelamin khususnya fase meiosis II
(triploidisasi) dan mitosis I (tetraploidisasi).
Prinsip pemberian kejutan suhu panas dalam triploidisasi bertujuan untuk
mencegah berkurangnya jumlah kromosom telur dengan cara menahan keluarnya polar
bodi kedua pada fase meiosis II. Periode meiosis II pada perkembangan embrio ikan
mas (telur yang sudah dibuahi) adalah 3 – 5 menit setelah pembuahan pada suhu kejutan
38 – 40 0C dengan lama kejutan berkisar 2 – 2,5 menit (Hollebeq 1986). Ketika terjadi
penetrasi sperma pada telur yang sudah dibuahi, pada inti sel telur akan diperoleh dua
pasang kromosom (1N dari telur dan 1N dari sperma) yang menjadikan telur dalam
status diploid (2N). Sebelum berakhirnya meiosis II tersebut, polar bodi kedua (1N)
akan keluar dari inti sel telur. Oleh karena adanya perlakuan kejutan suhu pada periode
ini, maka polar bodi kedua ini ditahan agar tidak keluar sehingga status kromosom telur
menjadi 3N (triploid), dimana 1N berasal dari telur, 1N berasal dari sperma dan 1N
berasal dari polar bodi kedua (Bromage 1995). Pada Gambar 1 disajikan prinsip dasar
teknik triploidisasi.

4.3 Alat dan Bahan Praktikum


Alat-alat yang digunakan :
Peralatan yang diperlukan dalam pelaksanaan praktikum troploidisasi sebagai
berikut :
(a) Waterbath untuk memanaskan air sampai suhu yang dikehendaki,
(b) Thermometer untuk mengukur suhu air,
(c) Seperangkat alat hipofisasi (sentrifuse, dissecting set, pisau bedah, talenan dan
jarum suntik) untuk pemijahan dan pembuahan buatan,
(d) Kotak styrofoam dan saringan perendaman telur sebagai wadah penetasan telur,
(e) Petridish, pipet dan sendok untuk wadah sampel telur dan alat pengambil telur,
(f) Hemasitometer, mikroskop cahaya, gelas obyek dan mikrometer okuler dan
obyektif untuk pengambilan sampel darah dan pengukuran sel darah merah,
(g) Akuarium dan aerator.

Bahan-bahan yang digunakan :


(a) Ikan uji yang telah matang gonad dan bulu ayam steril,
(b) Hormon ovaprim untuk mempercepat pemijahan, spermiasi dan ovulas induk
ikan,
(c) Larutan NaCl fisiologis sebagai larutan pengencer sperma untuk meningkatkan
derajat pembuahan telur,
(d) Air panas yang digunakan sebagai kejutan suhu panas (40 0C),
(e) Larutan Hayem’s sebagai pengawet dan pengencer sel darah merah ikan,
(f) Metanol digunakan untuk fiksasi preparat apus darah,
(g) Larutan Giemsa digunakan untuk pewarnaan preparat apus darah,
(h) Minyak imersi diperlukan untuk mengumpulkan cahaya saat pengamatan ukuran
sel darah merah di bawah mikroskop monokuler dengan pembesaran 1600 kali.

4.4 Cara Kerja

Hipofisasi
Untuk mempercepat ovulasi dan spermiasi, dilakukan penyuntikan induk ikan
dengan menggunakan hormon ovaprim (gonadotropin ikan salmon) dengan dosis 0,5
ml/kg berat induk. Pengurutan (stripping) dilakukan 8 jam setelah penyuntikan.

Pembuahan

Secara bersamaan induk jantan dan betina diurut, sperma dan telur ditampung
dalam baki, kemudian diaduk dengan bulu ayam sambil ditambahkan larutan NaCl
fisiologis sebanyak 1 – 2 kali campuran telur dan sperma. Lama pengadukan campuran
telur dan sperma 1 menit. Telur-telur tersebut kemudian dibilas dengan air bersih untuk
membuang sisa sperma agar tidak terjadi pembusukan sperma pada tempat penetasan
telur. Selanjutnya telur-telur dimasukkan dalam saringan perendaman pada suhu 25 0C
di akuarium penetasan.
Kejutan suhu
Kejutan suhu dilakukan 2 menit setelah pembuahan telur, dengan cara
memindahkan telur dari akuarium penetasan (suhu air 25 0C) ke dalam kotak styrofoam
berisi air panas yang bersuhu 40 0C. lama kejutan suhu panas ini adalah 2 menit dan
kemudian dipindahkan ke dalam akuarium penetasan (suhu air 25 0C) sampai terlihat
adanya telur-telur yang menetas.
Pemeliharaan larva
Larva-larva yang telah menetas kemudian dipindahkan dalam akuarium
pemeliharaan larva yang berukuran lebih besar. Pakan larva berupa suspensi kuning
telur yang diberikan ketika larva umur 3 sampai 15 hari. Selanjutnya diberikan tubifex
dan pelet remah sampai ikan berumur 2,5 bulan.
Pengambilan sampel darah
Pengujian tingkat ploidi benih triploid dilakukan dengan metode apus darah.
Metode apus darah dipergunakan untuk menentukan ukuran sel darah merah.
Contoh darah diambil dari pembuluh darah arteri ekor yaitu dengan memotong
bagian ekor ikan. Darah langsung dihisap dengan pipet Thoma hemasitometer sampai
skala 0,5 dan langsung diencerkan dengan larutan Hayem’s sampai skala 101
(pengenceran 200 kali) dengan cara menghisap memakai pipet thoma. Penghitungan
jumlah sel darah merah dilakukan di bawah mikroskop dengan perbesaran 400 kali.
Pembuatan preparat apus darah diawali dengan menghisap sampel darah dengan
pipet thoma hemasitometer, darah ikan langsung diteteskan di gelas obyek. Darah yang
telah diapus pada gelas obyek, difiksasi dengan methanol selama 3 – 5 menit, kemudian
direndam dalam larutan Giemsa 20 % selama 45 menit. Ukuran sel darah merah
ditentukan dengan penggunaan mikrometer okuler pada mikroskop monokuler pada
pembesaran 1600 kali.

4.5 Pengamatan Triploid


Untuk membedakan genotip ikan diploid (2N) dan triploid (3N), maka dilakukan
pengujian ukuran sel darah merah. Perbandingan ukuran sel darah merah (panjang,
lebar, dan volume sel) dapat memperlihatkan rasio 3N : 2N, dimana ikan triploid, rata-
rata volume sel darah merahnya dapat mencapai  1,5 kali dari ikan diploid (Sugama
1990).
Jumlah benih triploid ditentukan berdasarkan volume sel darah merah. Menurut
Carman (1990), perhitungan volume sel darah merah dilakukan dengan rumus 4/3  ab2,
dimana a adalah panjang sel darah merah dan b adalah lebar sel darah merah.

Jumlah benih triploid


Presentase triploid = x 100 %
Jumlah benih contoh

BAB V
GINOGENESIS

5.1 Tujuan Praktikum


Praktikum ini bertujuan agar mahasiswa dapat mengetahui, memahami dan
melakukan aplikasi genetika dalam budidaya perikanan khususnya metode ginogenesis
untuk menghasilkan induk betina yang bergalur murni melalui manipulasi kromosom.

5.2 Teori Dasar


Ginogenesis adalah proses pembentukan zigot tanpa kontribusi genetis gamet
ikan jantan, sehingga perkembangan embrio dikontrol oleh sifat-sifat induk betina
(maternal heridity) (Purdom 1993). Ginogenesis memberikan manfaat besar dalam
program breeding ikan. Galur-galur inbred dapat dihasilkan dengan cara ginogenesis
homosigot yang hanya memerlukan dua generasi untuk memperoleh keturunan
homosigot (galur murni).
Proses ginogenesis satu generasi identik dengan hasil 14 generasi silang dalam
(inbreeding) (Gervari dan Csanyi 1984). Dalam perkawinan sekerabat (sibmating)
memerlukan waktu relatif lama yaitu 6 generasi untuk menghasilkan galur murni.
Penggunaan ikan ginogenetik merupakan bagian dari peningkatan mutu genetik ikan
melalui seleksi dan hibridisasi.
Induk awal untuk ginogenesis merupakan induk hasil seleksi yang akan
digunakan sebagai keturunan ginogenetik dalam hibridisasi, oleh karena dalam program
hibridisasi memerlukan induk murni.
Keturunan ginogenetik adalah individu betina yang homosigot dan secara
identik satu sama lainnya sama (klon-klon). Umumnya kelangsungan hidup keturunan
ginogenesis rendah terutama pada tahap larva karena adanya efek Hertwigh selama
kejutan panas sehingga menumbulkan abnormalitas dan mortalitas larva. Kelangsungan
hidup embrio ikan mas (Carrasius auratus) selama 1 – 2 minggu pemeliharaan kira-kira
50 % (Cherfas 1981). Perbaikan line-line (galur) homosigot ini dapat dilakukan dengan
cara persilangan (crossing) dua galur yang akan menghasilkan galur baru hibrid yang
akan memperbaiki kelangsungan hidup line homosigot tersebut.
Berdasarkan teknik manipulasinnya, ada 2 macam ginogenesis yaitu (1) diploid
ginogenesis meiosis (meiogyno) dan (2) diploid ginogenesis mitosis (mitogyno).
Diploid ginogenesis meiosis adalah manipulasi penahanan keluarnya polar bodi kedua
saat meiosis II pada telur yang dibuahi sperma yang diinaktivasi dengan sinar UV (ultra
violet). Pada ginogenesis tipe ini, hasil keturunannya menjurus menjadi individu
heterosigot (ada perbedaan fenotip tertentu dengan induk). Sebaliknya diploid
ginogenesis mitosis merupakan manipulasi penahanan pembelahan sel ketika tahap
telofase dan anafase setelah mitosis I pada telur yang dibuahi sperma inaktif (diradiasi
sinar UV). Perlakuan ginogenesis ini menjurus pada individu homosigot (klon) yang
memiliki sifat-sifat sama dengan induk (Purdom 1993). Umumnya perlakuan suhu baik
kejutan panas (suhu tinggi) dan kejutan dingin (suhu rendah) paling banyak
diaplikasikan dalam metode ginogenesis tersebut (Gambar 2).

Gambar 2. Skema prosedur ginogenesis (Purdom 1993)

Keberhasilan teknik ginogenesis tergantung pada rata-rata atau sumber


spermatozoa yang dilemahkan secara genetik, ketepatan perlakuan kejutan suhu setelah
fertilisasi, saat awal pemberian perlakuan kejutan suhu dan lamanya pemberian
perlakuan tersebur serta pemilihan spesies yang respon terhadap perlakuan ginogenesis.
5.3 Alat dan Bahan Praktikum
Alat-alat yang digunakan
Berbagai peralatan yang dipergunakan dalam praktikum ginogenesis meliputi :
a) Seperangkat alat hipofisa yang terdiri atas pisau (untuk memotong kepala
ikan yang akan diambil kelenjar hipofisanya), pinset (untuk mengambil
kelenjar hipofisa), cawan porselin dan mortar (untuk menggerus kelenjar
hipofisa), tabung reaksi beserta sentrifuse elektrik (untuk menampung ekstrak
hipofisa dan memisahkan endapan dengan suspensi yang berisi hormon
gonadotropin)
b) Jarum suntik (spuit volume) ukuran 2 – 2,5 ml untuk menyuntikkan suspensi
hormon gonadotropin dalam ekstrak hipofisa ke dalam induk-induk ikan
yang telah matang gonad
c) Kotak radiasi UV, digunakan untuk menempatkan petridish-petridish yang
berisi sperma yang telah diencerkan untuk diradiasi dengan lampu germicidal
(UV) 2 buah masing-masing 15 watt
d) Lampu neon germicidal UV 15 watt digunakan untuk meradiasi sperma
sehingga kromosom sperma inaktif, namun motilitasnya dipertahankan
e) Waterbath digunakan untuk memanaskan air sampai suhu yang diinginkan
f) Kotak styrofoam yang digunakan sebagai tempat penampungan air panas
untuk perlakuan kejutan panas telur yang dibuahi sperma inaktif tersebut
g) Saringan penetasan telur yang digunakan untuk wadah telur yang akan
diperlakukan dengan kejutan panas dalam kotak styrofoam tersebut
h) Petridish untuk tempat telur dan untuk mencampurkan sperma yang telah
diradiasi dan yang non radiasi
i) Akuarium untuk inkubasi dan pemeliharaan larva yang dilengkapi dengan
selang aerasi dan termometer untuk mengukur suhu air.

Bahan-bahan yang digunakan


Bahan yang digunakan dalam praktikum ginogenesis ini meliputi :
a) Induk-induk ikan mas jantan dan betina yang telah matang gonad digunakan
sebagai resipien dan untuk donor digunakan ikan mas jantan dengan bobot
yang sebanding dengan berat induk betina sebagai resipien
b) Air tawar bersih yang digunakan sebagai media kejutan panas, pembilasan
telur yang dibuahi dan media inkubasi penetasan telur
c) Larutan fertilisasi yaitu NaCl fisiologis sebagai larutan pengencer sperma
dan larutan pembuahan telur ikan
d) Akuabides untuk melarutkan ekstrak hipofisa yang mengandung hormon
gonadotropin
e) Induk ikan nilem jantan yang matang gonad digunakan spermanya untuk
menguji keberhasilan ginogenesis (apakah dengan sperma ikan lain,
ginogenesis juga dapat terjadi tanpa diradiasi).

5.4 Cara Kerja


5.4.1 Pengambilan kelenjar hipofisa
Untuk mempercepat ovulasi, maka induk ikan mas betina matang gonad
diinjeksi dengan suspensi ekstrak hipofisa secara intramuscular dengan dosis sebanyak
1,5 dosis. Induk ikan mas jantan dinjeksikan dengan ekstrak tersebut sebanyak 1 dosis.
Stripping dilakukan 8 jam setelah penyuntikan tersebut.
Prosedur kerja untuk memperoleh ekstrak hipofisa ikan mas, sebagai berikut :
 Mula-mula kepala ikan donor dipotong hingga lepas dari badannya
 Kepala ikan diletakkan dengan muluit mengarah ke atas
 Membuat sayatan mulai dari lubang hidung mengarah ke bagian mata atas dan terus
ke belakang
 Setelah sayatan dilakukan, kemudian otak ikan dibuka serta lapisan lemak yang ada
dibuang sehingga akan terlihat kelenjar hipofisa berbentuk bulat seperti merica dan
bewarna putih
 Kelenjar hipofisa tersebut kemudian diambil dengan jarum dan pinset (Gambar 3)
 Menghancurkan kelenjar tersebut dalam cawan porselin dengan mortar dan
ditambahkan akuabides 1,5 ml hingga menjadi ekstrak
 Memasukkan ekstrak tersebut dalam tabung reaksi dan kemudian disentrifuse
selama  5 menit agar bagian yang padat mengendap
 Menggunakan spuit volume, kemudian secara hati-hati diambil bagian yang jernih
(1 ml) yang akan disuntikkan dalam tubuh ikan resipien.
 Sebelum ikan resipien disuntik ditutup matanya dengan kain agar ikan tidak stress
dan selanjutnya diinjeksikan larutan ekstrak hipofisa tersebut 1,0 ml untuk induk
betina dan 0,5 ml untuk induk jantan.

Gambar 3. Cara pengambilan kelenjar hipofisa ikan mas (Woynarovich dan Horvath,
1985)
5.4.2 Persiapan kejutan panas dan pengambilan sperma
Agar diperoleh ketepatan waktu dalam perlakuan dan kegiatan praktikum dapat
dilakukan secara serentak, maka terlebih dahulu perlu dikerjakan :
 Menyiapkan air panas bersuhu 40 0C yang diperoleh dari waterbath yang kemudian
ditampung dalam kotak styrofoam
 Menyalakan kotak radiasi sekitar 10 – 15 menit agar kondisi intensitas sinarnya
dapat stabil tidak berubah-ubah
 Mengambil sperma dari induk jantan dengan cara stripping. Sperma yang telah
diambil lalu dilarutkan ke dalam NaCl fisiologis (bila tidak diberi larutan tersebut
sperma akan menumpuk) dan kemudian diaduk perlahan. Selanjutnya dimasukkan
larutan sperma tersebut ke dalam petridish (cawan petri) dengan ketebalan 1 mm
 Menempatkan pertidish berisi sperma tepat 15 cm di bawah lampu UV agar
memperoleh sinar merata

5.4.3 Radiasi sperma


 Memasukkan masing-masing petridish ke dalam kotak radiasi tepat di bawah lampu
UV selama 10 – 15 menit
 Sebaiknya penyinaran ultra violet dilakukan di bagian atas dan bawah atau sampai
ke bagian samping petridish, sehingga radiasi akan lebih sempurna
 Untuk sperma yang tidak diradiasi digunakan sebagai kontrol untuk menguji
keberhasilan ginogenesis dan juga dapat digunakan sperma ikan nilem untuk
pengujian tersebut.

5.4.4 Fertilisasi
 Sementara meradiasi sperma, induk betina yang telah diinjeksi 8 jam kemudian
distripping dan telur-telur yang keluar ditampung dalam cawan porselin
 Telur-telur yang diperoleh tersebut kemudian dibagi menjadi dua kelompok yaitu
untuk sperma yang diradiasi dan untuk sperma yang tidak diradiasi
 Mencampurkan sperma yang diradiasi ke dalam telur kelompok I dan sperma yang
tidak diradiasi ke dalam kelompok telur II yang diaduk secara perlahan dengan bulu
ayam steril dan ditambahkan akuabides sedikit demi sedikit. Setelah itu dibilas
dengan air bersih untuk menghilangkan sperma yang tidak gagal membuahi telur
sebanyak 2 kali pembilasan. Oleh karena telur ikan mas bersifat menempel,
sebaiknya dilekatkan pada slides-slides mikroskop yang berupa lempengan kaca
kecil untuk tempat melekat telur tersebut.
 Dibiarkan selama 2 menit (sampai tahapan meiosis setelah pembuahan).

5.4.5 Kejutan panas


 Memasukkan telur yang sudah dibuahi dengan sperma radiasi ke dalam saringan
penetas telur dan kemudian dipindahkan ke dalam kotak styrofoam (suhu air 40 0C)
 Perendaman telur dalam styrofoam tersebut dilakukan hati-hati sampai telur
terendam semua dan lama kejutan dalam media tersebut 2 menit
 Untuk kelompok kontrol tidak dilakukan kejutan panas

5.4.6 Penetasan dan pemeliharaan larva


 Memasukkan telur yang berhasil dibuahi oleh sperma inaktif ke dalam akuarium
penetasan dan pemeliharaan larva
 Untuk kelompok telur yang dibuahi dengan sperma yang tidak diradiasi setelah 2
menit segera dimasukkan ke dalam akuarium penetasan dan pemeliharaan larva
 Mengamati perkembangan telur dan membandingkan antara telur yang dibuahi
dengan sperma yang diradiasi dengan yang tidak
 Khususnya untuk penetasan dan pemeliharaan larva, suhu air akuarium dibuat
konstan pada kisaran 25 – 26 0C.

5.5 Pengamatan Ginogenesis


Agar memudahkan pengamatan keberhasilan ginogenesis, maka sebaiknya yang
digunakan sebagai pembanding perlakuan manipulasi ginogenesis adalah sperma ikan
nilem jantan. Ketika dilakukan fertilisasi antara telur ikan mas dengan sperma nilem
jantan, maka apabila telur berhasil dibuahi oleh sperma tersebut akan terbentuk zigot
yang semuanya indivudu betina sebagai hasil keturunan ginogenetik.
Khususnya pada ikan mas, maka sebaiknya yang dipilih sebagai induk betina
adalah strain Majalaya (warna hijau kehitaman) yang dominan terhadap warna kuning
(strain Si Nyonya sebagai induk jantan) apabila disilangkan. Dengan demikian apabila
terjadi ginogenesis pada kedua strain ikan mas tersebut, maka keturunannya akan
berwarna hijau kehitaman (efek dominansi warna) dan genotipnya betina seperti
induknya.

Beberapa pengamatan yang akan dilakukan meliputi derajat pembuahan, derajat


penetasan, derajat kelangsungan hidup dan persentase ikan ginogenetik dengan rumus
seperti di bawah.
Jumlah telur yang dibuahi
Derajat pembuahan = x 100 %
Jumlah telur awal

Jumlah telur menetas


Derajat penetasan = x 100 %
Jumlah telur yang dibuahi

Jumlah larva hidup


Derajat kelangsungan hidup = x 100 %
Jumlah larva awal

Untuk pengamatan ikan ginogenetik dapat dilakukan setelah warna pada benih
ikan yang dipelihara muncul (kira-kira berumur 1 bulan), sehingga untuk benih ikan
mas keturunan ginogenetik harus berwarna hijau kehitaman sebagai cerminan
pewarisan induk ikan mas betina dari strain Majalaya (oleh karena dominan terhadap
warna kuning dari induk ikan mas jantan dari strain Si Nyonya).

Jumlah benih mas warna hijau kehitaman


% ikan Ginogenetik = x 100 %
jumlah benih mas selain warna hijau kehitaman
DAFTAR PUSTAKA

Bramick, U., B. Puckhaber, H.J. Langholz dan G.B. Schwarh. 1995. Testing of Triploid
Tilapia (Oreochromis niloticus) Under Tropical Pond Conditions.
Aquaculture, 137 : 343-353.

Bromage, R.N. 1995. Broodstock Management and Larval Quality. University Press,
Cambridge. 450 hlm.

Carman, O. 1990. Ploidy Manipulation in Some Warm Water Fish. Thesis. Tokyo
University. Japan. 90 hlm.

Chapman, A.B. 1985. General and Quantitative Genetics. Elsevier Science Publishers
B.V. Amsterdam-New York. Tokyo. 401 hlm.

Cherfas, N.B. 1981. Gynogenesis in Fishes. Dalam : Kirpichnikov (Ed.). Genetics


Bases of Fish Selection. Springer-Verlag. Berlin. Hlm, 225-273.

Falconer, D.S. 1981. Introduction to Quantitative Genetics. Second Edition. Longman


Group. London. 340 hlm.

Gervari, R. dan V. Csanyi. 1984. Investigation on carp (Cyprinus carpio L.),


Gynogenesis. J. Fish Biol., 13 : 215-224.

Guo, X., G.A. DeBosse dan S.K. Allen. 1996. All-triploid Pacific Oyster (Crassostrea
gigas) Production by Mating Tetraploid and Diploid. Aquaculture, 142: 149-
161.

Hollebeq, M.G. 1986. Diploid Gynogenesis Induced by Heat Shock After Activation
with Uv-Irradiated Sperm in Common carp. Aquaculture, 54 : 69-76.

Hussain, M.G., D.J. Penman, B.J. McAndrew dan R. Johnstone. 1995. Supression of
First Cleavage in the Nile Tilapia, Oreochromis niloticus L. A Comparison
of the Relative Effectiveness od Pressure and Heat Shock. Aquaculture,
111 :263-270.

Purdom, C.E. 1993. Genetics and Fish Breeding. Chapman & Hall Ltd., New York,
Tokyo, Meulbourne. 271 hlm.

Reddy, P.V.G.K, G.V. Kowtal dan M.S. Tantia. 1990. Preliminary Observation on
Induced Polyploidy in Indian Major Carps, Labeo rohita (Ham.) and Catla
catla (Ham.). Aquaculture, 87 : 279-287.
Sugama, K. 1990. The Induction of Triploidy in Red Sea Bream Pagrus major. Using
Heat Shock Treatment. Jurnal Penelitian Budidaya Pantai, 6 (1) : 3-19.

Suryo. 1992. Genetic strata I. Gadjah Mada. University Press. Yogyakarta. 344 hlm.

Tave, D. 1986. Genetics for Fish Hatchery Manager. Second edition. New York. 415
hlm.

Woynarovich dan Horvath. 1985. The Artificial Propagation on Warm Water Finfishes.
A Manual for Extention. FAO. Rome. 57 hlm.

Anda mungkin juga menyukai