Tujuan dari studi ini adalah untuk mereviwu obat antipatelet yang utama digunakan jangka
panjang, dengan menggunakan metode laboratories untuk mengevaluasi efektifitas dari terapi
tersebut, untuk inditifikasi studi dan membuat sebuah guideline untuk dental management pasien
yang menggunakan antipatelet jangka panjang dan mengumpulkan kesimpulan dan rekomendasi
dari perawatan.
Metodelogi yang digunakan untuk penelitian dan literature review termasuk dari beberapa
sumber, madescapepubmed medline database, science direct, EBSCO host, database Medical
University Plovdiv and specialized published books in general mediciane and dentistry.
terapi antiplatelet umumnya digunakan dalam pencegahan resiko infark miokard, pasien dengan
risiko tinggi tarhadap penyakit atheroscleroticvascular, pengobatan coronarysyndrome akut,
intervensi koroner perkutan, bypass jantung, fibrilasi atrium, stroke, dan perawatan dari arteri
dan trombosis vena.
Perhatian praktisi gigi adalah risiko perdarahan yang terlalu banyak selama atau setelah prosedur
dental yang invasif. Meskipun telah ada peringatan yang kuat dari beberapa penulis dan
organisasi bahwa besarnya risiko dari pengubaan dosis atau menghentikan obat antiplatelet,
namun secara umum praktisi dental menghentikan penggunaan obat- obatan antiplatelet sebelum
terapi dental yang invasive.
1. COX inhibitor
Acetylsalic Acid
asam asetilsalisilat
Pada tahun 1899, seorang ahli kimia Perancis, Charles Frederic Gerhardtwas untuk
pertama untuk mengisolasi dan mempersiapkan aspirin. Nama aspirin berasal dari A "Asetil" dan
Spirin dari "Spirsaure", merupakan bahasa Jerman tua (tempolalu) untuk asam salisilat.
Fungsi trombosit dan enzim COX-1 adalah dihambatnya secara ireversibel oleh aspirin
selama berlangsung hingga 10 hari (yaitu., seluruh kehidupan platelet)
Aspirin sekitar 150 sampai 200 kali lipat lebih ampuh untuk menginhibisi enzim
konstitutif COX-1, yang sangat sensitif terhadap dosis rendah aspirin (40-80 mg setiap hari),
dibandingkan COX-2. Sifat antitrombotik aspirin efektif dalam dosis sampai 320 mg per hari.
Dengan demikian, aspirin efektif maksimal sebagai agen antitrombotik pada dosis yang jauh
lebih rendah dari yang dibutuhkan untuk fungsi anti-inflamasi dan analgesik. Sebaliknya, COX-2
dihambat hanya dengan dosis cukup tinggi untuk memiliki analgesik atau efek anti-inflamasi.
Dengan demikian, aspirin dosis rendah (40-320 mg) menghambat agregasi platelet,
namun tidak mengganggu fungsi PGI2 atau efek vasodilatasi nya. Indikasi: angina pectoris tidak
stabil, infark miokard akut; Pencegahan infark miokard berulang setelah infark miokard awal
(reinfarction profilaksis); Setelah operasi atau intervensi pembuluh darah inarterial (misalnya
setelah bypass vena aortocoronary (ACVB), pada perkutan transluminal cor-onary angioplasty
(PTCA); Pencegahan serangan alkimia transient (TIA dan cerebral infraction berikut manifestasi
dari precursor stages (misalnya transien tanda-tanda kelumpuhan di wajah atau otot lengan atau
kehilangan penghilatan sementara)
1.2 Indobufen
Indobufen menghambat agregasi platelet oleh reversibel menghambat enzim siklooksigenase
trombosit ada dengan menekan sintesis tromboksan. indobufen oral digunakan dalam
pencegahan sekunder komplikasi tromboemboli pada pasien dengan atau tanpa fibrilasi atrium,
dalam pencegahan korupsi oklusi aftercoronary arteri graft bypass (CABG) operasi dan dalam
pengobatan klaudikasio intermiten. Indobufen mungkin menjadi alternatif yang efektif untuk di
pasien risiko dengan atrial fibrilasi non rematik di antaranya terapi antikoagulan merupakan
kontraindikasi atau yang berisiko tinggi perdarahan.
2.2. Ticlopidine
Ticlopidine adalah platelet agent dari family tienoperidine seperti clopidogreal,
obat ini adalah ADP adinosin dispospat reseptor inhibitor.
Cara kerja menginhibisi agrelgasi dengan cara mengubah fungsi dari platelet
membrane dengan cara memblok ADP aseptor. Sehingga ini mencegah konfirmasi
dari perubahan glikoprotein IIB/IIIA yang menyebabkan platelet mengikat pada
hibrinogen. Ticlopidine memperpanjang waktu bperdarahan. Sehingga ini digunakan
pada pasien yang tidak bias menggunakan terapi aspirin atau pada pasien yang ingin
diterapi dengan 2 obat antiplatelet.
2.3. Ticagrelor
Ticagrelor adalah obat baru yang menginhibisi platelet secara langsung pada reseptor
P2Y12. Sehingga tidak membutuhkan aktifasi metabolic. Tidak seperti
thienopyridines, ikatan ticagrelor bersifat revesibel pada reseptor P2Y12 reseptor dan
pada reseptor independent dari adinosindisposphat tapi tetap menghasilkan penekanan
dari ADP yang diinduksi ole platelet dengan induksi oleh aktivasi sementara
“locking” reseptor yang inaktif sehingga reseptor berdisosiasi. Ticagrelor memiliki
onset yang signifikan lebih cepat dan onset dari platelet jika dibandingkan dengan
clopidogrel pada subjek dengan arteri clorinari stabil atau dengan akut clonari
syndrome.
Ticagrelor diindikasikan untuk mencegahan dari kejadian trombitit pada pasien
dengan clonari syndrome atau myocardial infark dengan ST elevasi. Obat ini dapat
dikombinasi dengan asetil salisit acid kecuali ada keterangan bahwa ini
kontraindikasi.
3. Phosphoester inhibitor
3.1 Dipyridamole
Dipiridamole menginhibis dari serapan selular dari adenosine kedalam platelet, sel darah
merah dan sel endothelial menuju peningkatan konsentrasi ekstraselular dari adenosine.
Dipirydamole memblok sintesis dari tromboxan sama seperti tromboxan resepetor
Perbandingan dengan ASA yang menginhibisi dari agregasi platelet utama, dipiridamole
menginhibisi lebih banyak platelet adhesi dari pada agregasinya
Aksi dari obat phosphodiesterase adalah sepenuhnya reversible dan berhenti dalam 24
jam setelah penghentian obat-obatan.
Digunakan sebagai obat oral tamabahan anticoagulasi untuk profilaksis dari
thromboboembolism diasosiasikan dengan modifikasi dari katup jantung. Modifikasi dari
persiapan pemberian obat-obatan Dipirydalmole ditujukan untuk pencegahan kedua dari
iskemik strok dan serangan transient iskemik.
Resiko terhadap perdarahan yang dihubungkan dengan perawatan antiplatelet yang berkelanjutan
pada periode perioperativ
Setiap harinya prakrtisi mengalami penghambatan oleh karena terjadinya perdarahan,
biasanya pasien yang mengonsumsi aspirin sering meminta dokter giginya tau ahli bedah untuk
mengehentikan medikasi antiplatelet sebelum prosedur pembedahan. Direkomendasi ini sering
dibuat tanpa konsultasi dengan ahli kardiovaskular atau praktisi umum yang meresepkan obat
antiplatelet medis tanpa kosultasi terlebih dahulu. Lebih dari 20 study dan guideline telah
diinvestigasi.
Lilis dkk melaporkan 111 pasien dengan secara klinis telah terindikasi antiplatelet terapi dengan
rasio aspirin N=42, Klopidogrel N=36 dan kombibasi keduanya sebanyak 42. Setelah pencabutan
gigi mereka melaporkan terjadinya perdarahan 66.7% selama 30 menit pada pasien dengan
penggunaan kombinasi antiplatelet 2.6 untuk antiplatelet tunggal dan 0.4 pada control subjek,
perbedaan secara statistic signifikan. Meskipun seluruh perdarahan dadakan dapat ditanggulangi
dengan local hemostatic. Tidak ada pasien yang mengalami perdarahan jangka panjang. Mereka
menyimpulkan bahwa pencabutan gigi aman dilakukan pada pasien dengan terapi antiplatelet
tunggal maupun kombinasi ketika kombinasi ketika penggunaan local hemostatic dengan tepat,
sehingga pencegahan resiko trombotik sementara karena penghentian obat antiplatelet. Study
yang dilakukan oleh nooh sebanyak 102 subjek dalam keadaan mengonsumsi ASA sebanyak 81
mg perhari selama 6 bulan terakhir. Sebagai kontro, grup 87 pasien tidak menggunakan ASA.
Mereka menyimpulkan bahwa pencabutan gigi pada pasien yang mengonsumsi 81 mg ASA.
Tidak signifikan menyebabkan perdarahan setelah tindakan dilakukan. Seluruh perdarahan
posoperatif dapat dikontrol menggunakan good hemostatic local.
Valerine dkk melaksanakan study pada pasien sehat yang telah melakukan satu
pencabutan gigi. Mereka diberikan aspirin secara acak sebanyak 325 mg perhari atau diberikan
placebo untuk 2 hari yang kemudian di ekstarksi. Lama perdarah cutaneous secara statistic tidak
menunjukkan perbedaan antara grup placebo dan grup aspirindimana tidak ada perbedaan dalam
durasi setelah pencabutan grup yang diberikan placebo ataupun aspirin atau dengan perdarahan
intraoperative dan posoperatif.
Cardona-tortajada dkk memonitor 155 pasien dengan terapi antiplatelet yang akan
menjalani pencabutan. 26 diantara pasien mengalami komplikasi perdarahan kecil yang dapat
dikontrol dengan local hemostatic.
Mereka menyimpulkan bahwa adanya hubungan jelas jumlah gigi yang dicabut dalam
satu kali sesi pencabutan dan perdarahan setelah pencabutan. Disarankan untuk tidak mencabut
gigi lebih daripada 3 gigi sekali pencabutan, dan ini harusnya berhubungan ataupun berdekatan,
tidak dalam bagian yang berbeda dari lengkung rahang. Untuk gigi molar tidak boleh lebih dari 2
gigi yang berdekatan untuk dicabut.
Park MW dkk memeriksa keamanan setelah pencabutan gigi pada pasien dengan
konsumsi 2 atau 3 antiplatelet pada 100 pasien dengan DES. Mereka menemukan bahwa tidak
ada perdarahan yang masiv ataupun kejadian kardiovaskularyang besar kecuali pada 2 kasus
(2%). Data ini mengacu bahwa mungkin pasien DES yang layak untuk melanjutkan terapi
antiplatelet mereka, bahkan dengan pasien yang menggunakan 3 jenis antiplatelet untuk
melakukan pencabutan gigi dan pelanjutan dari beberapa jenis antiplatelet terapi bisa dikatan
relative aman.
Khrishan B dkk termasuk dalam penelitian dimana 82 pasien membutuhkan pencabutan
gigi yang 57 diantaranya adalah pasien dengan terapi antiplatelet (aspirin). Tidak ada pasien
yang mengalami kejadian perdarahan yang berkepanjangan atau perdarahan signifikan pada
lokasi gigi yang dicabut.
Pengaplikasian local hemostatic telah memuaskan didapati pada semua kasus dengan
penekana pack selama 30 menit. Mereka juga menyimpulkan bahwa pencabutan gigi rutin aman
dilakukan pada pasien dengan penggunaan antiplatelet jangka panjang tanpa harus menghentikan
atau mengurangi dosis pengobatan antiplatelet mereka.
Madan G.A dkk melakukan study pada 51 pasien dengan terapi jangka panjang ASA
dengan dosis 75-100 mg perhari. Aspirin tidak perlu dihentikan pada satu pasien pun. Tidak ada
perdarahan posoperatif pada semua kasus. Mereka menyimpulkan bahwa bedah minor dapat
dilakukan tanpa harus menghentikan dosis kecil aspirin.
Marimoto Y dkk melaporkan 87 kasus pengonsumsian obat-obatan antiplatelet
pencabutan gigi dilakukan tanpa mengurangi dosis terapi dan oksidasi selulosa diaplikasikan dan
kemudian dijahit untuk local hemostatis mereka juga menyimpulkan bahwa hemostatis yang
cukup dapat didapatkan pada sesluruh kasus pemncabutan gigi dan penggunaan metode local
hemostatis yang tepat pada saat terjadi perdarahan setelah pemcabutan.
Pasien dengan pengonsumsian antiplatelet yang diikuti dengan beberapa permasalahan
medis mungkin dapat meningkatkan resiko pemanjangan lama perdarahan setelah prosedur
dental: diantaranya melamahnya fungsi hati dan atau alcoholism, gagal ginjal, trombositopenia,
hemophilia, ataupun kelainan hemostatis lainnya, sedang menerima obat sitotoksik, kelainan
tulang belakang, obat-obatan yang memberi efek pada hemostatis seperti antikoagulan atau anti
inflamasi.
Konsultasi dengan spesialis kardiovaskular sangat direkomendasikan pengembalian hasil
diskusi ke rumah sakit gigi ataupun klinik gigi dapat dilakukan.
Hemostatis Lokal
Lokal anastetik yang mengandung vasokintstriktor harus diaplikasikan dengan cara
infiltrasi ataupun intra ligament oleh dokter gigi. Blok saraf regional harusnya dihindarkan jika
dimana yang mungkin. Meskipun begitu jika tidak ada alternative lain maka local anastesi harus
diaplikasikan dengan hati-hati dengan menggunakan syringe aspirasi.
Proseduralnya seharusnya dilakukan tanpa memberikan trauma sebisa mungkin dan
adanya perdarahan harus di manage lokal dengan sebaik mungkin.
Soket seharusnya dibungkus dengan absorbable hempstatic dengan sangat lembut seperti
oksida selulos, kolagen sponge ataupun gelatin sponge yang dapat diserap dan kemudain secara
hati-hati beberapa dari penjahitan penutupan, tekanan yang harusnya diberikan pada gauze pad
dan pasien menggigit selama 15 sampai 30 menit.
Fibrin sealent juga harus digunakan untuk penutup fibrin juga digunakan untuk
mengurangi kejadian perdarahan denga jangkauan yang besar dari derajat trauma pembedahan.
Mereka menstimulasi stage akhir dari koagulasi, stage ini mengkonversi dari fibrinogen menjadi
fibrin.
Asam tranexamic menghambat degradasi dari proteolitik fibrin dengan cara mencegah perlekatan
dari plasminogen terhadap plasmin. A 4,8 % terbukti sangat terbukti efektif mengurangi
komplikasi perdarahan. Pasien seharusnya diberikan instruksi yang jelas tentang manajemen dari
blood cloth pada posoperatif dental dengan beberapa saran.
- Untuk menjaga pembentukan cloth pertama dengan cara memperhatikan saat proses
local anastesi habis hingga cloth terbentuk sempurna (2-3 jam).
- Untuk mencegah berkumur dengan obat kumur selama 24 jam tidak untuk menghisap
secara kuat ataupun mengganggu luka soket dengan lidah ataupun benda asing
lainnya.
- Untuk menghindari minum-minuman panas dan makan-makanan keras seharian
setelah pencabutan.
- Untuk menghindari mengunyah pada bagian yang terpengaruh sampai benar-benar
bersih dan cloth yang terbentuk telah stabil seharusnya perawatan dilakukan untuk
mencegah cloth terangkat. Jika perdarahan tidak berhenti ataupun terulang kembali
maka aplikasikan tekanan pada soket menggunakan kassa steril ataupun gauze pad
selama 20 menit. Jika perdarahan tidak berhenti maka pasien harusnya menelfon
dokter gigi untuk dilakukan pembungkusan kembali dan penjahitan kembali pada
soket tersebut.
Conclusion:
Paradigma tentang resiko yang dibesarbesarkan ataupun berlebihan tentang resiko
perdarahan ketika dan selama procedural dental yang menyebabkan penghentian dari
penggunaan obat antiplatelet sebelum procedural dental ataupun menunda pelaksanaan dental.
Praktisi bertahan meskipun beberapa pendapat penerbit berlawanan.
Hamper seluruh study dan panduan menyarankan untuk tidak secara rutin menghentikan
terapi antiplatelet sebelum pembedahan dental karena mempertimbangkan resiko perdarahan
setelah resiko procedural pencabutan, meski sulit jangan meloloskan resiko yang sama seperti
tromboembolik komplikasi.
Berdasarkan panduan ACCP pada tahun 2008 dan ADA aspirin dapat diberhentikan pada
proses reoperatif pada pasien yang menggunakan sebagai pencegahan utama dan tidak memiliki
resiko yang tinggi pada resiko kejadian jantung.
Pasien dengan melamahnya fungsi hati dan atau alcoholism, gagal ginjal,
trombositopenia, hemophilia, ataupun kelainan hemostatis lainnya, sedang menerima obat
sitotoksik, kelainan tulang belakang, obat-obatan yang memberi efek pada hemostatis seperti
antikoagulan atau anti inflamasi.
Konsultasi dengan spesialis kardiovaskular sangat direkomendasikan pengembalian hasil
diskusi ke rumah sakit gigi ataupun klinik gigi dapat dilakukan.