Anda di halaman 1dari 123

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Lembaga notariat terdapat diberbagai negara, tetapi ada perbedaan antara

lembaga notariat yang satu dengan yang lain karena notariat dari kelompok yang

menganut civil law system akan berbeda dengan lembaga notariat dari kelompok

yang mengikuti common law system, juga berbeda dari kelompok negara komunis

dan kelompok negara-negara Asia dan Afrika. Lembaga notaris di Indonesia yang

dikenal sekarang ini, bukan lembaga yang lahir dari bumi Indonesia. Lembaga

notaris masuk ke Indonesia pada permulaan pada ke-17 dengan beradanya

Vereenigde Oost Ind. Compagnie (VOC) di Indonesia.1 Pengaturan tentang jabatan

notaris di Indonesia yang mengatur mengenai notaris adalah Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, yang dengan berlakunya undang-

undang ini diharapkan dapat memberikan perlindungan hukum yang baik bagi

masyarakat maupun bagi notaris itu sendiri. Kedudukan seorang notaris sebagai

suatu fungsional dalam masyarakat hingga sekarang dirasakan masih disegani.

Seorang notaris biasanya dianggap sebagai seorang pejabat tempat seseorang dapat

memperoleh nasihat yang dapat diandalkan. Segala sesuatu yang ditulis serta

ditetapkan (konstatir) adalah benar, ia adalah pembuat dokumen yang kuat dalam

suatu proses hukum.2

Terdapat beberapa perubahan dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun

2004 tentang Jabatan Notaris setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 2


1
G.H.S Lumban Tobing, 1999, Peraturan Jabatan Notaris, Erlangga, Jakarta. Hlm 15
2
Tan Thong Kie, 2011, Studi Notariat dan Serba-serbi Praktek Notaris, Cetakan Kedia,
PT. Ichtiar Baru van Hoeve, Jakarta. Hlm .444

1
Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004

tentang Jabatan Notaris. Undang-Undang ini diundangkan di Jakarta, pada tanggal

15 Januari 2014, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (Lembaran

Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara

Republik Indonesia Nomor 5491).

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan

Notaris dalam Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) Tahun 2004 Nomor

117 dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia (TLNRI) Nomor 4432

Undang-Undang Nomor 02 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (selanjutnya disebut dengan

UUJN), Pasal 1 ayat (1) yang menentukan sebagai berikut notaris adalah pejabat

umum yang berwenang untuk membuat akta otentik dan memiliki kewenangan

lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini atau berdasarkan

undang-undang lainnya. Menurut R. Soegondo Notodisoerjo, notaris adalah

pejabat umum (openbare ambtenaren), karena erat hubungannya dengan

wewenang atau tugas dan kewajiban yang utama yaitu membuat akta-akta otentik.3

Notaris merupakan suatu perkerjaan dengan keahlian khusus yang

menuntut pengetahuan luas, serta tanggung jawab yang berat untuk melayani

kepentingan umum dan inti tugas notaris adalah mengatur secara tertulis dan

otentik hubungan-hubungan hukum antara para pihak yang secara mufakat

meminta jasa notaris. Notaris perlu memperhatikan apa yang disebut sebagai

perilaku profesi yang memiliki unsur-unsur sebagai berikut:


3
R. Supomo, Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri, Pradnya Paramita, Jakarta. Hlm.77

2
1. Mempunyai integritas moral yang mantap;

2. harus jujur terhadap klien maupun diri sendiri (kejujuran intelektual);

3. sadar akan batas-batas kewenangannya; dan

4. tidak semata-mata berdasarkan pertimbangan uang.4

Dalam konstruksi Hukum Kenotariatan, bahwa salah satu tugas jabatan

Notaris yaitu “memformulasikan keinginan/tindakan penghadap/para penghadap

kedalam bentuk akta otentik, dengan memperhatikan aturan hukum yang berlaku,”

hal ini sebagaimana tersebut dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik

Indonesia, yaitu : “Notaris fungsinya hanya mencatatkan/menuliskan apa-apa

yang dikehendaki kewajiban bagi notaris untuk menyelidiki secara materil apa-

apa (hal-hal) yang dikemukakan oleh peghadap di hadapan notaris tersebut

(Putusan Mahkamah Agung Nomor : 702K/Sip/1973, 5 September 1973).5

Berdasarkan substansi atau makna Putusan Mahkamah Agung tersebut,

jika akta yang dibuat dihadapan atau oleh Notaris bermasalah oleh para pihak

sendiri, maka hal tersebut menjadi urusan para pihak sendiri, Notaris tidak perlu

dilibatkan, dan Notaris bukan pihak dalam akta. Jika dalam posisi kasus seperti ini,

yaitu akta dipermasalahkan oleh para pihak sendiri, dan akta tidak bermasalah

dari aspek lahir, formal dan materil, maka sangat bertentangan dengan kaidah

hukum tersebut di atas, dalam praktik pengadilan Indonesia:6

4
Liliana Tedjosaputro, Etika Profesi Notaris Dalam Penegakan Hukum Pidana, PT. Bayu
Indra Grafika, Yogyakarta Hlm. 86-87
5
Ibid. Hlm 22
6
Ibid. Hlm 23

3
a. Notaris yang bersangkutan diajukan dan dipanggil sebagai saksi

dipengadilan menyangkut akta yang dibuat di hadapan atau oleh notaris

yang dijadikan alat bukti dalam suatu perkara.

b. Notaris yang dijadikan sebagai tergugat di pengadilan menyangkut akta

yang dibuatnya dan dianggap merugikan bagi pihak penggugat, di

peradilan umum (perkara perdata)

Notaris dapat digugat dan dalam hal ini dapat digugat secara tunggal

terhadap Notaris itu sendiri, tapi dalam hal ini ada batasannya atau parameternya

untuk mengguggat Notaris, yaitu jika para pihak yang menghadap Notaris (para

pihak/penghadap yang namanya tersebut/ tercantum dalam akta) ingin melakukan

pengingkaran (atau ingin mengingkari) :

a. Hari, tanggal, bulan dan tahun menghadap;

b. waktu (pukul) menghadap;

c. tanda tangan yang tercantum dalam minuta akta;

d. merasa tidak pernah menghadap;

e. akta tidak ditandatangi dihadapan Notaris;

f. akta tidak dibacakan;

g. alasan lain berdasarkan formalitas akta.7

Pengingkaran atas hal-hal tersebut dilakukan dengan cara menggugat

notaris (secara perdata) ke Pengadilan Negeri, maka para pihak tersebut wajib

membuktikan hal-hal yang ingin diingkarinya, dan notaris wajib mempertahankan

aspek-aspek tersebut, sehingga dalam kaitan ini perlu dipahami dan diketahui

Kaidah Hukum Notaris yaitu “akta Notaris sebagai akta otentik mempunyai
7
Ibid Hlm 25

4
kekuatan pembuktian yang sempurna, sehingga jika ada orang/pihak yang menilai

atau menyatakan bahwa akta tersebut tidak benar, maka orang/pihak yang

menilai atau menyatakan tersebut wajib membuktikan penliaian atau

pernyataannya sesuai aturan hukum”.8

Dalam UUJN diatur bahwa ketika notaris dalam menjalankan tugas

jabatannya terbukti melakukan pelanggaran, maka notaris dapat dikenai atau

dijatuhi sanksi, berupa sanksi perdata, administrasi, dan kode etik jabatan

notaris, dan sanksi-sanksi tersebut telah diatur sedemikian rupa, baik sebelumnya

dalam PJN dan sekarang dalam UUJN dan Kode Etik Jabatan Notaris, dan tidak

mengatur adanya sanksi pidana terhadap notaris. Dalam praktik ditemukan

kenyataan bahwa suatu tindakan hukum atau pelanggaran yang dilakukan oleh

notaris.

Pengkualifikasian tersebut berkaitan dengan aspek-aspek seperti:9

a. Kepastian hari, tanggal, bulan, tahun dan pukul menghadap;

b. pihak (siapa-orang) yang menghadap Notaris;

c. tanda tangan yang menghadap;

d. salinan akta tidak sesuai dengan minuta akta;

e. salinan akta ada, tanpa dibuat minuta akta; dan

f. minuta akta tidak ditandatangi secara lengkap, tapi minta akta dikeluarkan.

Dengan demikian pemidanaan notaris dapat saja dilakukan dengan batasan,

jika:10

8
Ibid. Hlm 26
9
Ibid. Hlm 28
10
Ibid. Hlm 13

5
1. Ada tindakan hukum dari notaris terhadap aspek lahir, formal dan materil

akta yang sengaja, penuh kesadaran dan keinsyafan serta direncanakan

bahwa akta yang dibuat dihadapan notaris atau oleh notaris bersama-sama

(sepakat) para penghadap untuk dijadikan dasar untuk melakukan suatu

tindak pidana;

2. ada tindakan hukum dari notaris dalam membuat akta di hadapan atau oleh

notaris yang jika diukur berdasarkan UUJN tidak sesuai dengan UUJN;

dan

3. tindakan notaris tersebut juga tidak sesuai menurut instansi yang

berwenang untuk menilai tindakan suatu notaris, dalam hal ini Majelis

Pengawas Notaris.

Pelaksanaan asas kehati-hatian oleh notaris dalam melaksanakan tugasnya

juga sangat penting untuk selalu diperhatikan. Karena dengan adanya kehati-

hatian, notaris terhindar dari kesalahan-kesalahan dan indikasi adanya tindakan

yang dapat membuat dirinya digugat baik dari para pihak dalam akta maupun dari

pihak lain yang merasa dirugikan. Sehingga erat betul penerapan asas kehati-

hatian dengan adanya profesionalisme karena dalam profesionalisme, notaris

dituntut untuk selalu mengutamakan keilmuannya dalam melaksanakan

jabatannya, serta dengan hal tersebut asas kehati-hatian pun terlaksana dalam

pembuatan akta. Asas kehati-hatian ini juga merupakan bentuk konkrit yang

dikehendaki dalam Pasal 16 UUJN Pasal 16 ayat (1) huruf a, yang menyebutkan

bahwa notaris dalam melaksanakan tugas jabatannya wajib bertindak seksama.

Berkaitan dengan pentingnya pelaskanaan asas kehati-hatian notaris dalam

6
melaksanakan jabatannya, hal ini juga berkaitan dengan adanya kewenangan baru

yang tidak ditentukan dalam UUJN sebelumnya yaitu terkait dengan pengesahan

perjanjian perkawinan oleh notaris.

Berdasarkan adanya putusan Mahkamah Konstitusi No. 69/PUU-

XIII/2015, yang mana mengabulkan sebagian permohonan Nyonya Ike Farida

seseorang yang berkewarganegaraan Indonesia yang menikah dengan Warga

Negara Asing (WNA) asal Jepang yang hendak membeli sebuah rumah susun

namun ketika pembayaran sudah lunas dibatalkan sepihak oleh pihak pengembang

dengan alasan Ny. Ike Farida menikahi WNA asal Jepang tanpa perjanjian

perkawinan. Hal ini dijadikan alasan oleh pihak pengembang, bahwa pada

dasarnya diatur dalam ketentuan UUPA, WNA tidak boleh memiliki tanah di

Indonesia. Sehingga dengan adanya persatuan harta antara Ny. Ike Farida dan

suaminya yang berkewarganegaraan asing, membuat akibat hukum dimana suami

Ny. Ike Farida ikut memiliki rumah susun tersebut. Sehingga Nyonya Ike Farida

memohonkan beberapa Pasal dari UUP dan UUPA untuk di uji kepada Mahkamah

Konstitusi, diantara nya Pasal 21 ayat (1), ayat (3) 11 serta Pasal 36 ayat (1) UU

No.5 Tahun 196012 tentang Pokok Pokok Agraria dan Pasal 29 ayat (1), ayat (3),

11
Ditegaskan dalam Pasal 21 ayat (1), hanya WNI yang dapat mempunyai hak milik.
Selanjutnya hak milik atas tanah yang diperoleh WNI Perkawinan campuran dari
percampuran harta setelah perkawinan berlangsung maka harus dialihkan/dilepaskan dalam
jangka waktu satu tahun atau jatuh ke negara kecuali ditentukan lain dengan membuat
perjanjian kawin sesuai Pasal 21 ayat (3) UUPA
12
Hak guna-usaha tidak dapat dipunyai oleh orang asing. Badan hukum yang dapat
mempunyai hak itu, hanyalah badan-badan hukum yang bermodal nasional yang
progressip, baik asli maupun tidak asli. Bagi badan-badan hukum yang bermodal asing hak
guna-usaha hanya dibuka kemungkinannya untuk diberikan jika hal itu diperlukan oleh
Undang-undang yang mengatur pembangunan nasional semesta berencana (pasal 55)

7
ayat (4) serta Pasal 35 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan terhadap

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.13

Melihat dari putusan MK No. 69/PUU-XIII/2015 sehingga dapat dilihat

putusan MK tersebut memberikan kewenangan kepada notaris untuk mengesahkan

perjanjian perkawinan secara tertulis. Pengesahan perjanjian perkawinan tidak

diatur dalam peraturan jabatan notaris dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2014

tentang Jabatan Notaris, selanjutnya dapat juga disebut UUJN. Ketentuan Pasal

15 UUJN mengatur mengenai kewenangan notaris, yaitu :

(1) Notaris berwenang membuat Akta autentik mengenai semua perbuatan,

perjanjian, dan penetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-

undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk

dinyatakan dalam Akta autentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan

Akta, menyimpan Akta, memberikan grosse, Salinan dan kutipan Akta,

semuanya itu sepanjang pembuatan Akta itu tidak juga ditugaskan atau

dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh

undang-undang.

(2) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Notaris

berwenang pula :

a. Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat

di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus;

b. Membukukan surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku

khusus;

13
Agus Sahbani, Pelaku-Pelaku Kawin Campur gugat UU Agraria dan UU Perkawinan,
http://www.hukumonline.com, diakses pada 20 Maret 2018

8
c. Membuat kopi dari asli surat di bawah tangan berupa salinan yang

memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat

yang bersangkutan:

1) Melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat

aslinya;

2) memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan

akta;

3) membuat Akta yang berkaitan dengan pertanahan;

4) membuat Akta risalah lelang.

(3) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2),

Notaris mempunyai kewenangan lain yang diatur dalam peraturan

perundang-undangan.

Sehingga telah ditegaskan dalam Pasal 15 UUJN bahwa kewenangan

notaris tidak disebutkan bahwa notaris dapat melegalisasi perjanjian perkawinan

yang dibuat secara tertulis. Hal ini membuat notaris harus lebih cermat dalam hal

pembuatan perjanjian perkawinan terutama setelah adanya putusan MK No.

69/PUU-XIII/2015. Jika dikaitkan dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi

No. 69/PUU-XIII/2015, yang mengakibatkan implikasi-implikasi baru terhadap

pembuatan perjanjian perkawinan, maka penting bagi notaris perlu berhati-hati

dalam melaksanakan tugasnya, khususnya dalam hal mencermati bunyi putusan

No. 69/PUU-XIII/2015 mengenai legalisasi perjanjian perkawinan oleh notaris.

Berdasarkan hasil pra penelitian menunjukkan, dengan adanya ketentuan

baru mengenai perjanjian perkawinan yang disebutkan dalam putusan Mahkamah

9
Konstitusi No. 69/PUU-XIII/2015 tersebut, beberapa notaris tidak mau membuat

akta perjanjian perkawinan setelah adanya perkawinan, hal ini disebabkan

dikhawatirkan akan ada permasalahan-permasalahan ke depan, ditambah lagi

belum ada petunjuk teknis mengenai pelaksanaan pembuatan perjanjian

perkawinan tersebut. Hal ini mungkin saja terjadi karena notaris lebih memilih

berhati-hati mencermati adanya putusan Mahkamah Konstitusi terkait pengaturan

perjanjian perkawinan yang dapat dibuat selama ikatan perkawinan.

Berdasarkan uraian permasalahan diatas, maka penulis tertarik mengangkat

penelitian tesis dengan judul “Asas Kehati-hatian Notaris Dalam Pembuatan

Akta Perjanjian Perkawinan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

69/PUU-XIII/2015”.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan di atas, maka dapat

dirumuskan permasalahan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah mekanisme pembuatan perjanjian kawin dan tanggung

jawab notaris terhadap akta yang dibuatnya ?

2. Bagaimana penerapan asas kehati-hatian notaris dalam pembuatan akta

perjanjian perkawinan pasca putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

69/PUU-XIII/2015 ?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pada rumusan masalah di atas, maka tujuan diadakannya

penelitian ini adalah:

10
1. Mengetahui dan menganalisis mekanisme pembuatan perjanjian kawin dan

tanggung jawab notaris terhadap akta yang dibuatnya..

2. Mengetahui dan menganalisis mekanisme penerapan asas kehati-hatian

notaris dalam melaksanakan pembuatan akta perjanjian perkawinan setelah

adanya putusan Mahkamah konstitusi No. 69/PUU-XIII/2015 berkaitan

dengan adanya ketentuan putusan Mahkamah konstitusi No. 69/PUU-

XIII/2015 yang memnberikan kewenangan kepada notaris untuk

mengesahkan perjanjian perkawinan.

1.4. Manfaat Penelitian

1. Dari segi praktik, penelitian ini diharapkan menjadi sebagai bahan

masukan bagi semua pihak, yakni bagi masyarakat umum, hakim dan

notaris/PPAT khususnya mengenai penerapan prinsip kehati-hatian notaris

dalam pembuatan perjanjian perkawinan.

2. Dari segi teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan untuk

menambah wawasan dibidang hukum perkawinan, khususnya mengenai

perjanjian perkawinan yang dibuat oleh notaris pasca putusan Mahkamah

Konstitusi No. 69/PUU-XIII/2015.

1.5. Orisinalitas Penelitian

Berdasarkan hasil penelusuran yang telah dilakukan, belum ada ditemukan

usulan penelitian tesis mengenai “Asas Kehati-hatian Notaris Dalam Pembuatan

Akta Perjanjian Perkawinan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No. 69/PUU-

XIII/2015”, namun ada penelitian sebelumnya yang memiliki kemiripan mengenai

obyek yang akan diteliti yaitu :

11
1. Judul skripsi Analisis Yuridis Pengesahan Perjanjian Kawin Pasca

Perkawinan Melalui Penetapan Pengadilan, ditulis oleh Benny Wijaya

pada tahun 2014 dari Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Rumusan

masalah yang ditekankan pada skripsi ini adalah : (a) Apa yang menjadi

dasar dan pertimbangan hakim dalam memberikan penetapan terkait

permohonan untuk mengesahkan perjanjian kawin setelah perkawinan

berlangsung? Dan (b) Apa dasar dan pertimbangan hakim dalam

memberikan penetapan terkait permohonan untuk mengesahkan perjanjian

kawin pasca perkawinan telah sesuai dengan ketentuan hukum yang

berlaku di Indonesia? Hasil penelitian dari skripsi diatas adalah : Dasar

dan pertimbangan hakim yang mengesahkan perjanjian kawin pasca

perkawinan dalam Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor

239/Pdt.P/1998/PN.Jkt.Sel., Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan

Nomor 15/Pdt.P/2004/PN.Jkt.Sel., Penetapan Pengadilan Negeri Jakarta

Timur Nomor 459/Pdt.P/2007/PN.Jkt.Tim., memiliki kesamaan pandangan

dan pendapat terkait pertimbangan hukum untuk mengabulkan

permohonan pemohon. Para hakim tersebut sama-sama memaklumi alasan

pemohon yang mendalilkan tidak mengetahui akan adanya hukum yang

mengatur mengenai waktu pembuatan perjanjian kawin, menurut hakim

hal tersebut tidaklah bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku

di Indonesia sepanjang hal yang diperjanjikan dalam perjanjian kawin

tersebut tidak bertentangan dengan hukum, kesusilaan dan ketertiban

umum. Dasar dan pertimbangan hakim yang menolak mengesahkan

12
perjanjian kawin setelah perkawinan berlangsung dalam Penetapan

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 831/Pdt.P/2013/PN.Jkt.Sel.,

memiliki pandangan dan pendapat bahwa ketentuan waktu pembuatan dan

pengesahan perjanjian kawin dalam Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang

No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan berlaku secara limitatif yang berarti

tidak dapat disimpangi dengan cara dan dengan alasan apapun. Dasar dan

pertimbangan para hakim yang mengesahkan perjanjian kawin pasca

perkawinan tidak sesuai dan bertentangan dengan ketentuan Pasal 29

Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, mengenai waktu

pembuatan perjanjian kawin yang harus dibuat sebelum atau pada saat

perkawinan dilangsungkan. Kemudian hakim memaklumi adanya

kealpaan pemohon yang tidak mengetahui akan adanya hukum mengenai

waktu pembuatan atau pengesahan perjanjian kawin. Hal tersebut juga

bertentangan dengan suatu asas hukum yang menyatakan semua orang di

anggap tahu hukum (iedereen wordt geacht de wet te kemen, nemo ius

ignorare consetur). Dasar dan pertimbangan hakim yang menolak

permohonan pemohon untuk mengesahkan perjanjian kawin pasca

perkawinan telah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku di

Indonesia, dimana hakim telah mengacu pada ketentuan Pasal 29 Undang-

Undang No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, mengenai waktu

pembuatan perjanjian kawin yang harus dibuat sebelum atau pada saat

perkawinan dilangsungkan. Perbedaan dengan penelitian yang dilakukan

oleh penulis dengan judul Asas Kehati-hatian Notaris dalam pembuatan

13
Akta Perjanjian Perkawinan pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No.

69/PUU-XIII/2015 adalah bahwa dalam penelitian yang ditulis oleh Benny

Wijaya tidak menerangkan dan menjelaskan hal-hal yang menyangkut

notaris yang membuat akta perjanjian kawin secara menyeluruh dan hanya

memberikan penjelasan mengenai alasan tentang pertimbangan hakim

yang memberikan penetapan yang dihubungkan dengan undang-undang

yang berlaku di Indonesia. Penelitian yang dilakukan oleh penulis ini lebih

menitikberatkan kepada pandangan dari segi notaris dan bagaimana asas

kehati-hatian notaris dalam pembuatan akta pasca putusan Mahkamah

Konstitusi terhadap akta yang dibuat oleh dan dihadapan Notaris.”14

2. Tesis Epa Riana, penelitian yang bertujuan untuk mengetahui dan

mengkaji dasar pertimbangan hakim menetapkan permohonan perjanjian

kawin setelah perkawinan dalam penetapan Pengadilan Negeri Jakarta

Selatan nomor 108/Pdt.P/2016/PN.Jkt.Sel., mengetahui dan mengkaji

akibat yang timbul dan bagaimana perlindungan dari adanya Perjanjian

kawin terhadap pihak ketiga dalam putusan pengadilan negeri jakarta

selatan Nomor 108/Pdt.P/2016/PN.Jkt.Sel. Jenis penelitian ini adalah

penelitian hukum normatif yang didukung wawancara dengan narasumber.

Penelitian ini menggunakan penelitian kepustakaan untuk memperoleh

data sekunder antara lain mencakup bahan hukum primer, bahan hukum

sekunder, bahan hukum tersier dan narasumber. Data yang diperoleh

selanjutnya dianalisis secara deskriptif analitik selanjutnya dikaji

14
etd.repository.ugm.ac.id/index.php?mod=opac&sub=Opac. Diakses pada Tanggal 28
Febuari 2018

14
berdasarkan metode berfikir deduktif. Hasil penelitian menunjukan bahwa

dasar hukum dan pertimbangan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan

dalam menetapkan perjanjian kawin setelah perkawinan yaitu adanya

Yurisprudensi yang merupakan suatu sumber penemuan yang dapat

dijadikan pandangan hakim dalam menuangkan putusannya. Kemudian

kealpaan dan ketidaktahuan para pemohon, adanya kesepakatan kedua

belah pihak atas harta-harta pribadi baik yang sudah ada pada saat

perkawinan maupun terhadap harta-harta yang akan timbul dikemudian

hari menjadi terpisah satu dengan yang lainnya juga menjadi pertimbangan

hakim. Akibat harta kekayaan suami isteri dari adanya perjanjian kawin

setelah adanya penetapan pengadilan adanya perubahan kedudukan harta

suami isteri yang semula merupakan harta bersama menjadi terpisah baik

harta sebelum dibuatnya penetapan pengadilan dan setelah dibuatnya

penetapan pengadilan tersebut dan mengikat kedua belah pihak yang

membuat, juga berlaku bagi pihak ketiga tersangkut. Penetapan tersebut

berindikasi merugikan pihak ketiga karena undang-undang mengatur

perjanjian kawin dibuat sebelum atau pada saat perkawinan namun jika

perjanjian kawin tersebut dibuat setelah perkawinan dilangsungkan dengan

dasar penetapan pengadilan negeri maka perjanjian kawin tersebut hanya

mengatur harta perkawinan setelah penetapan pengadilan. Perbedaan

dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis Epa Riana adalah bahwa

dalam penelitian yang ditulis oleh Epa Rianahanya menjelaskan peran

hakim dalam memutuskan permohonan perjanjian kawin setelah menikah

15
dan juga obyek pada penelitian Epa Riana berbeda dengan obyek

penelitian penulis dimana penelitian penulis lebih memfokuskan pada

perjanjian kawin yang dibuat setelah perkawinan dihadapan notaris dengan

menggunakan asas kehati-hatian dalam membuat perjanjian kawin

tersebut.15

15
etd.repository.ugm.ac.id/index.php?mod=opac&sub=Opac. Diakses pada Tanggal
28Febuari 2018

16
BAB II

LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Landasan teori

Berdasarkan penjelasan di atas maka peneliti mengambil dan menganalisis

beberapa teori yang relevan dan bersesuain dengan permasalah yang dibahas,

adapun beberapa teori tersebut yaitu :

2.1.1. Teori Keadilan

Beberapa konsep keadilan yang dikemukakan oleh Filsuf Amerika di akhir

abad ke-20, John Rawls, seperi A Theory of justice, Politcal Liberalism, dan

TheLaw of Peoples, yang memberikan pengaruh pemikiran cukup besar terhadap

diskursus nilai-nilai keadilan.16

John Rawls yang dipandang sebagai perspektif “liberal-egalitarian of

social justice”, berpendapat bahwa keadilan adalah kebajikan utama dari hadirnya

institusi-institusi sosial (social institutions). Akan tetapi, kebajikan bagi seluruh

masyarakat tidak dapat mengesampingkan atau menggugat rasa keadilan dari

setiap orang yang telah memperoleh rasa keadilan. Khususnya masyarakat lemah

pencari keadilan.17

Secara spesifik, John Rawls mengembangkan gagasan mengenai prinsi-

prinsip keadilan dengan menggunakan sepenuhnya konsep ciptaannya yang

dikenal dengan “posisi asli” (original position) dan “selubung ketidaktahuan” (veil

of ignorance).18

16
Pan Mohamad Faiz, 2009. “Teori Keadilan John Rawls”, dalam Jurnal Konstitusi, Volume
6 Nomor 1 , Hlm. 135
17
Ibid. Hlm 139
18
Ibid. Hlm 140

17
Pandangan Rawls memposisikan adanya situasi yang sama dan sederajat

antara tiap-tiap individu di dalam masyarakat. Tidak ada pembedaan status,

kedudukan atau memiliki posisi lebih tinggi antara satu dengan yang lainnya,

sehingga satu pihak dengan lainnya dapat melakukan kesepakatan yang seimbang,

itulah pandangan Rawls sebagai suatu “posisi asli” yang bertumpu pada pengertian

ekulibrium reflektif dengan didasari oleh ciri rasionalitas (rationality), kebebasan

(freedom), dan persamaan (equality) guna mengatur struktur dasar masyarakat

(basic structure of society).

Sementara konsep “selubung ketidaktahuan” diterjemahkan oleh John

Rawls bahwa setiap orang dihadapkan pada tertutupnya seluruh fakta dan

keadaan tentang dirinya sendiri, termasuk terhadap posisi sosial dan doktrin

tertentu, sehingga membutakan adanya konsep atau pengetahuan tentang keadilan

yang tengah berkembang. Dengan konsep itu Rawls menggiring masyarakat untuk

memperoleh prinsip persamaan yang adil dengan teorinya disebut sebagai “Justice

as fairness”.19

Keadilan berasal dari kata adil yang artinya menurut Kamus Besar

Bahasa Indonesia adalah tidak memihak atau tidak berat sebelah. Keadilan

dapat diartikan sebagai suatu perbuatan yang bersifat adil atau perbuatan yang

tidak memihak. Keadilan adalah salah satu dari tujuan hukum selain

kemanfaatan dan kepastian hukum. Perwujudan keadilan dapat dilihat dalam

ruang lingkup kehidupan sehari-hari dalam bermasyarakat dan bernegara.

Keadilan dimulai dengan salah satu pilihan yang paling umum yang bisa

dibuat orang bersama-sama, yakni dengan pilihan prinsip pertama dari konsepsi
19
Ibid. Hlm 142

18
keadilan yang mengatur kritik lebih lanjut serta reformasi institusi. 20 Teori

keadilan Hans Kelsen, dalam bukunya general theory of law and state,

berpandangan bahwa hukum sebagai tatanan sosial yang dapat dinyatakan adil

apabila dapat mengatur perbuatan manusia dengan cara yang memuaskan

sehingga dapat menemukan kebahagian didalamnya.21

Hans Kelsen mengemukakan keadilan sebagai pertimbangan nilai yang

bersifat subjektif. Walaupun suatu tatanan yang adil yang beranggapan bahwa

suatu tatanan bukan kebahagian setiap perorangan, melainkan kebahagian

sebesar-besarnya bagi sebanyak mungkin individu dalam arti kelompok, yakni

terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan tertentu, yang oleh penguasa atau pembuat

hukum, dianggap sebagai kebutuhan-kebutuhan yang patut dipenuhi, seperti

kebutuhan sandang, pangan dan papan. Tetapi kebutuhan-kebutuhan manusia

yang manakah yang patut diutamakan. Hal ini dapat dijawab dengan

menggunakan pengetahuan rasional, yang merupakan sebuah pertimbangan

nilai, ditentukan oleh faktor-faktor emosional dan oleh sebab itu bersifat

subjektif22

Pengembang lain teori keadilan adalah John Rawls, menyajikan tentang

konsep keadilan sosial. Keadilan sosial merupakan “Prinsip kebijaksanaan

rasional yang diterapkan pada konsep kesejahteraan agregatif (hasil

pengumpulan) kelompok”.23 Subyek utama keadilan sosial adalah struktur


20
Salim H.S & Erlies Septiana Nurbaini. 2014. Penerapan Teori Hukum pada Penelitian
Tesis dan Disertasi Buku Kedua, ctk Pertama, Raja Grafindo Persada, Jakarta Hlm.5
21
Otje Salman,S dan Anthon F.Susanto. 2007. Teori Hukum Mengingat, Mengumpulkan dan
Membuka kembali, Refika Aditama,Bandung. Hlm.60
22
Sudikno Mertokusumo. 2012. Teori Hukum,ctk Keenam, edisi revisi, Cahaya Atma
Pustaka, Yogyakarta. Hlm. 78
23
Uzair Fauzan&Heru Prasetyo 2012. Teori keadilan Dasar-dasar Filsafat Politik Hukum
Mewujudkan Kesejahteraan Sosial dalam Negara, ctk Kedua, Pustaka Pelajar, Yogyakarta

19
masyarakat, atau lebih tepatnya, cara lembaga-lembaga sosial utama

mendistribusikan hak dan kewajiban fundamental serta menentukan pembagian

keuntungan dari kerja sama sosial.24

Ada dua tujuan dari teori keadilan menurut John Rawls, yaitu:25

1) Pertama, teori ini mau mengartikulasikan sederet prinsip-prinsip

umum keadilan yang mendasari dan menerangkan berbagai

keputusan moral yang sungguh-sungguh dipertimbangkan dalam

keadaan-keadaan khusus kita. Maksud dari “keputusan moral”

adalah sederet evaluasi moral yang telah kita buat dan sekiranya

menyebabkan tindakan sosial kita. Keputusan moral yang sungguh

dipertimbangkan menunjuk pada evaluasi moral yang kita buat

secara refleksif.

2) Kedua, Rawls mau mengembangkan suatu teori keadilan sosial yang

lebih unggul atas teori utilitarianisme. Rawls memaksudkannya

“rata-rata” (average utilitarianisme). Maksudnya adalah bahwa

institusi sosial dikatakan adil jika diabdikan untuk memaksimalisasi

keuntungan dan kegunaan. Sedang utilitarianisme rata-rata memuat

pandangan bahwa institusi sosial dikatakan adil jika hanya

diandaikan untuk memaksimalisasi keuntungan per kapita. Untuk

kedua versi utilitarianisme tersebut “keuntungan” didefinisikan

sebagai kepuasan atau keuntungan yang terjadi melalui pilihan-

Hlm.12
24
Hans Kelsen 2011. General Theory of Law and State, diterjemahkan oleh Rasisul
Muttaqien, Nusa Media, Bandung Hlm. 7
25
Ibid. Hlm 10

20
pilihan. Rawls mengatakan bahwa dasar kebenaran teorinya

membuat pandangannya lebih unggul dibanding kedua versi

utilitarianisme tersebut. Prinsip-prinsip keadilan yang ia kemukakan

lebih unggul dalam menjelaskan keputusan moral etis atas keadilan

sosial.

Lebih lanjut John Rawls menegaskan bahwa program penegakan keadilan

yang berdimensi kerakyatan haruslah memerhatikan dua prinsip keadilan, yaitu :26

pertama, memberi hak dan kesempatan yang sama atas kebebasan dasar yang

paling luas seluas kebebasan yang sama bagi setiap orang. Kedua, mampu

mengatur kembali kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi sehingga dapat

memberi keuntungan yang bersifat timbal balik (reciprocal benefits) bagi setiap

orang, baik mereka yang berasal dari kelompok beruntung maupun tidak

beruntung.

Teori ini digunakan untuk menjawab rumusan masalah satu yaitu untuk

mencari keadilan yang seadil-adilnya terhadap pertanggungjawaban yang

dibebankan kepada notaris yang telah melakukan perbuatan melawan hukum

dalam pembuatan akta otentik khususnya perbuatan notaris yang telah dijatuhi

putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap.

Diharapkan teori ini dapat memberikan rasa adil dalam hal pertanggungjawaban

notaris terhadap perbuatannya yang melawan hukum khususnya bagi para pihak

yang dirugikan oleh notaris atau bagi notaris itu sendiri dan pada umumnya bagi

masyarakat yang akan menggunakan jasa notaris, sehingga kepercayaan

Damanhuri Fattah,”Teori Keadilan Menurut John Rawls”, Jurnal TAPIs,Vol.9 No.2, Juli-
26

Desember,2013,hlm.32-33

21
masyarakat terhadap seorang notaris akan semakin besar dan membuat

masyarakat merasa aman apabila menggunakan jasa seorang notaris.

2.1.2. Teori Pertanggungjawaban

Ada dua istilah yang menunjuk pada pertanggungjawaban dalam kamus

hukum, yaitu liability dan responsibility. Liability merupakan istilah hukum yang

luas yang menunjuk hampir semua karakter risiko atau tanggung jawab, yang

pasti, yang bergantung atau yang mungkin meliputi semua karakter hak dan

kewajiban secara aktual atau potensial seperti kerugian, ancaman, kejahatan, biaya

atau kondisi yang menciptakan tugas untuk melaksanakan undang-undang.

Responsibility berarti hal yang dapat dipertanggungjawabkan atas suatu

kewajiban, dan termasuk putusan, keterampilan, kemampuan dan kecakapan

meliputi juga kewajiban bertanggung jawab atas undang-undang yang

dilaksanakan. Dalam pengertian dan penggunaan praktis, istilah liability

menunjuk pada pertanggungjawaban hukum, yaitu tanggung gugat akibat

kesalahan yang dilakukan oleh subyek hukum, sedangkan istilah responsibility

menunjuk pada pertanggungjawaban politik.27

Mengenai persoalan pertanggungjawaban pejabat menurut Kranenburg dan

Vegtig ada dua teori yang melandasinya yaitu:

a. Teori fautes personalles, yaitu teori yang menyatakan bahwa kerugian

terhadap pihak ketiga dibebankan kepada pejabat yang karena tindakannya

itu telah menimbulkan kerugian. Dalam teori ini beban tanggung jawab

ditujukan pada manusia selaku pribadi.

27
Ridwan H.R. 2006. Hukum Administrasi Negara. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Hlm.
335-337

22
b. Teori fautes de services, yaitu teori yang menyatakan bahwa kerugian

terhadap pihak ketiga dibebankan pada instansi dari pejabat yang

bersangkutan. Menurut teori ini tanggung jawab dibebankan kepada

jabatan. Dalam penerapannya, kerugian yang timbul itu disesuaikan pula

apakah kesalahan yang dilakukan itu merupakan kesalahan berat atau

kesalahan ringan, dimana berat dan ringannya suatu kesalahan

berimplikasi pada tanggung jawab yang harus ditanggung.28

Secara umum prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum dapat

dibedakan sebagai berikut:

1. Prinsip Tanggung Jawab Berdasarkan Unsur Kesalahan

Prinsip tanggung jawab berdasarkan unsur kesalahan (fault liability atau

liability based on fault) adalah prinsip yang cukup umum berlaku dalam hukum

pidana dan perdata. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, khususnya

Pasal 1365, 1366, dan 1367, prinsip ini dipegang secara teguh. Prinsi ini

menyatakan, seseorang baru dapat dimintakan pertanggungjawabannya secara

hukum jika ada unsur kesalahan yang dilakukannya.

Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang lazim dikenal

sebagai Pasal tentang perbuatan melawan hukum, mengharuskan terpenuhinya

empat unsur pokok, yaitu:

a. adanya perbuatan;

b. adanya unsur kesalahan;

c. adanya kerugian yang diderita;

28
Ibid. Hlm 365

23
d. adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian.29

Yang dimaksud kesalahan adalah unsur yang bertentangan dengan hukum.

Pengertian hukum tidak hanya bertentangan dengan undang-undang tetapi juga

kepatutan dan kesusilaan dalam masyarakat.

2. Prinsip Praduga Untuk Selalu Bertanggung Jawab

Prinsip ini menyatakan bahwa tergugat selalu dianggap bertanggung jawab

(presumption of liability principle), sampai ia dapat membuktikan bahwa ia tidak

bersalah. Kata “dianggap” pada prinsip “presumption of liability” adalah penting,

karena ada kemungkinan tergugat membebaskan diri dari tanggung jawab, yaitu

dalam hal ia dapat membuktikan bahwa ia telah “mengambil” semua tindakan

yang diperlukan untuk menghindarkan terjadinya kerugian. Dalam prinsip ini,

beban pembuktiannya ada pada si tergugat. Dalam hal ini tampak beban

pembuktian terbalik (omkering van bewijslast). Hal ini tentu bertentangan dengan

asas hukum praduga tidak bersalah (presumption of innocence). Namun jika

diterapkan dalam kasus konsumen akan tampak asas demikian cukup relevan. Jika

digunakan teori ini, maka yang berkewajiban untuk membuktikan kesalahan itu

ada pada pihak pelaku usaha yang digugat. Tergugat harus menghadirkan bukti-

bukti bahwa dirinya tidak bersalah. Tentu saja konsumen tidak dapat sekehendak

hati mengajukan gugatan. Posisi konsumen sebagai penggugat selalu terbuka

untuk digugat balik oleh pelaku usaha, jika ia gagal menunjukkan kesalahan

tergugat.

3. Prinsip Praduga Untuk Tidak Selalu Bertanggung Jawab

29
Shidarta. 2006. Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia. Edisi Revisi, Gramedia
Widiasarana Indonesia. Jakarta. Hlm. 73-79.

24
Prinsip ini adalah kebalikan dari prinsip yang kedua, prinsip praduga untuk

tidak selalu bertanggung jawab hanya dikenal dalam lingkup transaksi konsumen

yang sangat terbatas. Contoh dari penerapan prinsip ini adalah pada hukum

pengangkutan. Kehilangan atau kerusakan pada bagasi kabin atau bagasi tangan,

yang biasanya dibawa dan diawasi oleh penumpang (konsumen) adalah tanggung

jawab dari penumpang. Dalam hal ini pengangkut (pelaku usaha) tidak dapat

dimintakan pertanggungjawabannya. Pihak yang dibebankan untuk membuktikan

kesalahan itu ada pada konsumen.

4. Prinsip Tanggung Jawab Mutlak

Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) sering diidentikkan dengan

prinsip tanggung jawab absolut (absolute liability). Kendati demikian ada pula

para ahli yang membedakan kedua terminologi di atas. Ada pendapat yang

menyatakan, strict liability adalah prinsip tanggung jawab yang menetapkan

kesalahan tidak sebagai faktor yang menentukan. Namun ada pengecualian-

pengecualian yang memungkinkan untuk dibebaskan dari tanggung jawab,

misalnya pada keadaan force majeure. Sebaliknya absolute liability adalah prinsip

tanggung jawab tanpa kesalahan dan tidak ada pengecualiannya.

Menurut E. Suherman, strict liability disamakan dengan absolute liability,

dalam prinsip ini tidak ada kemungkinan untuk membebaskan diri dari tanggung

jawab, kecuali apabila kerugian yang timbul karena kesalahan pihak yang

dirugikan sendiri. Tanggung jawab adalah mutlak.30

5. Prinsip Tanggung Jawab Dengan Pembatasan


30
E. Suherman. 1979. Masalah Tanggung Jawab Pada Charter Pesawat Udara Dan
Beberapa Masalah Lain Dalam Bidang Penerbangan (Kumpulan Karangan), Cet. II,
Alumni, Bandung. Hlm. 21

25
Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan (limitation of liability

principle) ini sangat disenangi oleh pelaku usaha untuk dicantumkan sebagai

klausula eksonerasi dalam perjanjian standar yang dibuatnya. Dalam perjanjian

cuci cetak film, misalnya ditentukan, bila film yang ingin dicuci atau dicetak itu

hilang atau rusak (termasuk akibat kesalahan petugas), maka si konsumen hanya

dibatasi ganti kerugian sebesar sepuluh kali harga satu rol film baru. Dalam

ketentuan Pasal 19 ayat 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen ditentukan bahwa pelaku usaha bertanggung jawab

memberikan ganti kerugian atas kerusakan, pencemaran dan/atau kerugian

konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan. Dalam

kaitan dengan pelaksanaan jabatan notaris maka diperlukan tanggung jawab

profesional berhubungan dengan jasa yang diberikan. Menurut Komar

Kantaatmaja sebagaimana dikutip oleh Shidarta menyatakan tanggung jawab

profesional adalah tanggung jawab hukum (legal liability) dalam hubungan

dengan jasa profesional yang diberikan kepada klien. Tanggung jawab profesional

ini dapat timbul karena mereka (para penyedia jasa profesional) tidak memenuhi

perjanjian yang mereka sepakati dengan klien mereka atau akibat dari kelalaian

penyedia jasa tersebut mengakibatkan terjadinya perbuatan melawan hukum.31

Tanggung jawab (responsibility) merupakan suatu refleksi tingkah laku

manusia. Penampilan tingkah laku manusia terkait dengan kontrol jiwanya,

merupakan bagian dari bentuk pertimbangan intelektualnya atau mentalnya.

Bilamana suatu keputusan telah diambil atau ditolak, sudah merupakan bagian

dari tanggung jawab dan akibat pilihannya. Tidak ada alasan lain mengapa hal itu
31
Ibid. Hlm 23

26
dilakukan atau ditinggalkan. Keputusan tersebut dianggap telah dipimpin oleh

kesadaran intelektualnya. Tanggung jawab dalam arti hukum adalah tanggung

jawab yang benar-benar terkait dengan hak dan kewajibannya, bukan dalam arti

tanggung jawab yang dikaitkan dengan gejolak jiwa sesaat atau yang tidak

disadari akibatnya.32

2.2. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian Kawin

2.2.1. Pengertian Perjanjian Kawin dan Tujuan Perkawinan

Perkawinan adalah persekutuan hidup antara seorang pria dan seorang

wanita yang dikukuhkan secara formal dengan Undang-Undang, yaitu yuridis dan

kebanyakan juga religius menurut tujuan suami istri dan Undang-Undang, dan

dilakukan untuk selama hidupnya menurut lembaga perkawinan.33 Dalam KUH

Perdata, pengertian perkawinan tidak dengan tegas diatur ketentuannya seperti

Pasal 26 yang memandang perkawinan hanya dalam hubungan-hubungan perdata

dan Pasal 27 bahwa perkawinan menganut prinsip monogami. Pasal 103

menyatakan bahwa suami dan isteri harus saling setia, tolong menolong dan bantu

membantu. Meskipun tidak dijumpai sebuah definisi tentang perkawinan, ilmu

hukum berusaha membuat definisi perkawinan sebagai ikatan antara seorang pria

dan seorang wanita yang diakui sah oleh perundang-undangan negara dan

bertujuan untuk membentuk keluarga yang kekal abadi.34

Menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1 ayat 2

perkawinan didefinisikan sebagai : “ikatan lahir batin antara seorang pria dengan

32
Op. Cit. Sidharta. Hlm 82
33
Op. Cit Hilman Hadikusuma. Hlm 20
34
Ibid. Hlm 22

27
seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga, rumah

tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Pencantuman berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa adalah karena

negara Indonesia berdasarkan kepada Pancasila sila yang pertama adalah

Ketuhanan Yang Maha Esa. Sampai disini tegas dinyatakan bahwa perkawinan

mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama, kerohanian sehingga

perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani tetapi juga memiliki unsur

batin/rohani. Menurut Pasal 2 Kompilasi Hukum Islam, perkawinan adalah

pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati

perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah, Ungkapan akad yang

sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan merupakan penjelasan dari ungkapan

“ikatan lahir batin” yang terdapat dalam rumusan Undang-Undang yang

mengandung arti bahwa akad perkawinan itu bukanlah semata perjanjian yang

bersifat keperdataan .35Sedangkan ungkapan untuk mentaati perintah Allah dan

melaksanakannya merupakan ibadah, sama maknanya dengan ungkapan

“berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam Undang-Undang Perkawinan.

Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam, seperti yang terdapat pada

Pasal 2 dinyatakan bahwa perkawinan dalam hukum Islam adalah, perkawinan

yaitu akad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidhan untuk mentaati perintah

Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Kata mitsaqan ghalidhan ini

ditarik dari firman Allah SWT yang terdapat pada Surat An-Nisa ayat 21 :

Artinya : “Bagaimana kamu akan mengambil mahar yang telah kamu berikan

kepada istrimu, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang
35
Op. Cit Yunanto. Hlm 24

28
lain sebagai suami isteri. Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu

perjanjian yang kuat (mitsaqan ghalidhan)”.

Dan menurut etimologi para ulama fikih mendefinisikan perkawinan

dalam konteks hubungan biologis. Dibawah ini akan dijelaskan pengertian

perkawinan menurut para ulama’ fiqih sebagai berikut:

1. Imam Syafi’i mengartikan, pengertian nikah ialah suatu akad yang

dengannya menjadi halal hubungan seksual antara pria dengan wanita

sedangkan menurut arti majazi (mathoporic) nikah itu artinya hubungan

seksual.

2. Hanafiah, “nikah adalah akad yang memberi faedah untuk melakukan

mut’ah secara sengaja” artinya kehalalan seorang laki-laki untuk

melakukan beristimta’ dengan seorang wanita selama tidak ada faktor

yang menghalangi sahnya pernikahan tersebut secara syar’i.

3. Hanabilah nikah adalah akad yang menggunakan lafaz inkah yang

bermakna tajwiz dengan maksud mengambil manfaat untuk bersenang-

senang.

4. Al-Malibari mendefinisikan perkawinan sebagai akad yang mengandung

kebolehan (ibahat) melakukan persetubuhan yang menggunakan kata

nikah atau tazwij.

5. Muhammad Abu Zahrah didalam kitabnya al-ahwal al-syakhsiyyah,

mendefinisikan nikah sebagai akad yang menimbulkan akibat hukum

berupa halalnya melakukan persetubuhan antara laki-laki dengan

29
perempuan, saling tolong-menolong serta menimbulkan hak dan

kewajiban di antara keduanya.36

Dari pendapat di atas definisi perkawinan dalam fikih dapat disimpulkan

memberikan kesan bahwa perempuan ditempatkan sebagai objek kenikmatan bagi

sang laki-laki. Yang dilihat pada diri wanita adalah aspek biologisnya saja. Ini

terlihat dalam penggunaan kata al-wat’ atau al-istimta’ yang semuanya

berkonotasi seks.

Dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan tidak

memberikan pengertian Perjanjian Kawin. Dalam Pasal 29 Undang-undang

tersebut hanya dikatakan “ Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan,

kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis

yang disahkan oleh Pegawai Pencatat perkawinan. “.

Dalam penjelasan undang-undang tersebut juga tidak ditemukan pengertian

Perjanjian Kawin. Pengertian Perjanjian Kawin dapat ditemukan dalam Buku

Diktat Ko Tjay Sing, Hukum Perdata Jilid I Hukum Keluarga, dimana pengertian

“Perjanjian Kawin”, yaitu perjanjian yang dibuat bakal suami-isteri untuk

mengatur akibat-akibat harta kekayaan mereka.37

Perjanjian Kawin dapat dibuat:38

 Untuk membatasi atau meniadakan sama sekali persatuan

(percampuran) harta kekayaan menurut undang-undang (wettelijke

36
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, 2004. Hukum Perdata Islam di Indonesia,
Kencana Prenadamedia Group, Jakarta. Hlm. 38.
37
Martiman Prodjohamidjojo. 2007. Hukum Perkawinan Indonesia, Indonesia Legal Center
Publishing, Jakarta, Hlm.8
38
Ibid. Hlm 10

30
gemeenschap van goederen). Biasanya Perjanjian Kawin dibuat untuk

maksud ini.

 untuk pemberian Hibah si suami kepada si isteri atau sebaliknya, atau

pemberian hibah timbal-balik antara suami dan isteri (Pasal 168 Kitab

Undang-undang Hukum Perdata).

 untuk membatasi kekuasaan si suami terhadap barang-barang

persatuan harta kekayaan yang ditentukan dalam Pasal 124 ayat (2)

Kitab Undang-undang Hukum Perdata, sehingga si suami tanpa

kekuasan si isteri tidak dapat memutus terhadap barang bergerak

maupun tidak bergerak dari persatuan barang si isteri dalam

perkawinan atau yang diperoleh si isteri sepanjang perkawinan.

 sebagai testamen dari si suami atau isteri atau sebaliknya, atas sebagai

testamen timbal-balik.

 untuk memberikan hibah oleh orang ketiga kepada suami atau isteri

sebagai testamen dari orang ketiga kepada suami atau isteri

2.2.2. Akibat Hukum Perkawinan

Ketika suatu perkawinan telah dianggap sah sudah pasti akan

menimbulkan akibat hukum dari perkawinan yaitu timbulnya hak dan kewajiban

bagi kedua belah pihak. Yang dimaksud hak di sini adalah apa-apa yang diterima

oleh seseorang dari orang lain, sedangkan yang dimaksud dengan kewajiban

adalah yang mesti dilakukan seseorang terhadap orang lain. Dalam hubungan

suami istri dalam rumah tangga, suami mempunyai hak dan begitupula istri

31
mempunyai hak. Dibalik itu suami mempunyai beberapa kewajiban dan

begitupula si istri mempunyai beberapa kewajiban.

Menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata, hak dan kewajiban suami

istri diatur dalam Pasal 103 sampai dengan Pasal 118 yaitu:

1. Suami istri harus setia dan tolong menolong (Pasal 103 KUHPerdata)

2. Suami dan istri wajib memelihara dan mendidik anaknya (Pasal 104

KUHPerdata)

3. Setiap suami adalah kepala dalam persatuan suami istri (Pasal 105 ayat 1

KUHPerdata)

4. Suami wajib memberi bantuna kepada istrinya (Pasal 105 ayat 2

KUHPerdata)

5. Setiap suami harus mengurus harta kekayaan milik pribadi istrinya (Pasal

105 ayat 3 KUHPerdata)

6. Setiap suami berhak mengurus harta kekayaan bersama (Pasal 105 ayat 4

KUHPerdata)

7. Suami tidak diperbolehkan memindatangankan atau membebani harta

kekayaan tak bergerak milik istrinya tanpa persetujuan istri (Pasal 105 ayat

5 KUHPerdata)

8. Setiap istri harus tunduk dan patuh kepada suaminya (Pasal 106 ayat 1

KUHPerdata)

9. Setiap istri wajib tinggal bersama suaminya (Pasal 106 ayat 2)

10. Setiap suami wajib membantu istrinya di muka hakim (Pasal 110

KUHPerdata)

32
11. Setiap istri berhak membuat surat wasiat tanpa izin suami (Pasal 118

KUHPerdata)

Dalam undang-undang Perkawinan juga dijelaskan mengenai hak dan

kewajiban suami istri yang tercantum dalam Pasal 30 sampai dengan Pasal 34 UU

Perkawinan, yang intinya sebagai berikut:

1. Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah

tangga yang menjadi sendi dasar susunan masyarakat (Pasal 30 UU

Perkawinan)

2. Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan

suami dalam kehidupan rumah tangga dan dalam pergaulan hidup bersama

dalam masyarakat (Pasal 31 ayat 1 UU Perkawinan

3. Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum (Pasal 31

ayat 2 UU Perkawinan)

4. Suami adalah kepala rumah tangga dan istri adalah ibu rumah tangga

(Pasal 31 ayat 3 UU Perkawinan)

5. Suami istri menentukan tempat kediaman mereka (Pasal 32 UU

Perkawinan)

6. Suami istri wajib saling mencintai, hormat menghormati dan saling setia

(Pasal 33 UU Perkawinan)

7. Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu sesuai

dengan kemampuannya (Pasal 34 ayat 1 UU Perkawinan)

8. Istri wajib mengatur urusan rumah tangga dengan sebaik-baiknya (Pasal

34 ayat 2 UU Perkawinan)

33
9. Jika suami dan istri melalaikan kewajiban masing-masing dapat

mengajukan gugatan ke Pengadilan (Pasal 34 ayat 3 UU Perkawinan)

Selain dari pada hak dan kewajiban tersebut masih terdapat hak lain yang

meruapakan akibat dari perkawinan yaitu mengenai harta benda dalam

perkawinan perkawinan. Hal tersebut tercantum dalam Pasal 35 sampai dengan

Pasal 37 UU Perkawinan, yang dimana intinya adalah :

1. Timbul harta bawaan dan harta bersama

2. Suami atau istri masing-masing mempunyai hak sepenuhnya terhadap

harta bawaan

3. Suami atau istri harus selalu ada persetujuan sebelum melakukan

perbuatan hukum terhadap harta bersama39

2.2.3. Tujuan Perjanjian Perkawinan dan Akibat Hukumnya

Perjanjian perkawinan merupakan istilah yang diambilkan dari judul Bab

V UU No.1 Tahun 1974 yang berisi satu Pasal, yaitu Pasal 29. Sedangkan

mengenai pengertian perjanjian perkawinan ini tidak diperoleh penjelasan, hanya

mengatur tentang kapan perjanjian kawin itu dibuat, hanya mengatur tentang

keabsahanya, tentang saat berlakunya dan tentang dapat diubahnya perjanjian itu.

Jadi sama sekali tidak mengatur tentang materi perjanjian seperti yang diatur

dalam KUH Perdata.

Menurut Happy Susanto, perjanjian perkawinan adalah perjanjian yang

dibuat oleh pasangan calon pengantin, baik laki-laki maupun perempuan sebelum

perkawinan mereka dilangsungkan, dalam isi perjanjian tersebut mengikat

39
Abdulkadir Muhammad. 2000. Hukum Perdata Indonesia. Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti. Hlm 76.

34
hubungan perkawinan mereka.40 Secara umum, perjanjian perkawinan berisi

tentang pengaturan harta kekayaan calon suami isteri. Tujuan dari pembuatan

perjanjian perkawinan adalah untuk mengatur akibat-akibat perkawinan yang

menyangkut harta kekayaan.41

Perjanjian kawin ialah perjanjian (persetujuan) yang dibuat oleh calon

suami isteri, sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan untuk mengatur

akibat-akibat perkawinan terhadap harta kekayaan mereka.42 Perjanjian

perkawinan tidak hanya sebatas memperjanjikan masalah keuangan/harta, ada hal

lain yang juga penting diperjanjikan, misalnya tentang kekerasan dalam rumah

tangga, memperjanjikan salah satu pihak untuk tetap melanjutkan kuliah meski

sudah menikah dan sebagainya.43

Perjanjian Perkawinan umumnya mengatur ketentuan bagaimana harta

kekayaan mereka akan dibagi jika terjadi perpisahan hubungan antar keduanya,

baik itu karena perceraian maupun kematian. Perjanjian Perkawinan juga memuat

hal-hal yang berkenaan dengan kepentingan masa depan rumah tangga

mereka.Hal ini seperti tercantum dalam Pasal 29 Undang-Undang No.1 tahun

1974. Sebenarnya tidak mengatur secara tegas tentang perjanjian perkawinan,

hanya dinyatakan bahwa kedua belah pihak dapat mengadakan perjanjian tertulis

yaitu Perjanjian Perkawinan. Dalam ketentuan ini tidak disebutkan batasan yang

jelas, bahwa Perjanjian Perkawinan itu mengenai hal apa. Sehingga dapat
40
Happy Susanto, Pembagian Harta Gono-Gini SaatTerjadinya Perceraian, Jakarta:
Visimedia, hlm. 78
41
Soetojo Prawirohamidjojo, Hukum Orang dan keluarga,Surabaya: Airlangga University
Press, hlm. 87
42
Soetojo Prawirohamidjojo, 1986, Pluralisme dalam perundang-undangan perkawinan di
Indonesia, Surabaya: Airlangga University Press, hlm. 57
43
Muchsin, Perjanjian Perkawinan Dalam Persfektif Hukum Nasional, Jakarta : Varia
Peradilan No. 273 edisi Agustus 2008.

35
dikatakan bahwa Perjanjian Perkawinan UU ini mencakup banyak hal. Disamping

itu UU perkawinan tidak mengatur lebih lanjut tentang bagaimana hukum

Perjanjian Perkawinan yang dimaksud.44 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975

tentang pelaksanaan UU No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan tidak mengatur

lebih lanjut bagaimana tentang Perjanjian Perkawinan dimaksud, hanya

disebutkan bahwa kalau ada Perjanjian Perkawinan harus dimuat di dalam akta

perkawinan (Pasal 12 h).

Ketentuan tentang Perjanjian Perkawinan juga diatur dalam KUH Perdata

Pasal 139, yang menetapkan bahwa dalam perjanjian kawin itu kedua calon suami

isteri dapat menyimpangi ketentuan-ketentuan yang ditetapkan dalam harta

bersama, asal saja penyimpangan-penyimpangan tersebut tidak bertentangan

dengan kesusilaan dan ketertiban umum. Pada umumnya perjanjian kawin dibuat:

1. Bilamana terdapat sejumlah harta kekayaan yang lebih besar pada salah

satu pihak dari pada pihak yang lain.

2. Kedua belah pihak masing-masing membawa masukan yang cukup besar.

3. Masing-masing mempunyai usaha sendiri-sendiri sehingga andaikata salah

satu jatuh pailit yang lain tidak tersangkut.

4. Atas hutang-hutang yang mereka buat sebelum kawin, masing-masing

akan bertanggung gugat sendiri-sendiri.

Perjanjian sebagaimana tersebut haruslah dilaksanakan sebelum

perkawinan dilangsungkan dan haruslah dibuat dalam bentuk akta otentik dimuka

notaris, akta otentik itu sangat penting karena dapat dijadikan bukti dalam

44
Djaja S. Meliala, 2006, Perkembangan Hukum Perdata tentang Orang dan Hukum
Keluarga,, Bandung: Nuansa Aulia, Hlm.67

36
persidangan pengadilan apabila terjadi sengketa tentang harta bawaan masing-

masing. Jika tidak ada perjanjian kawin yang dibuat sebelum perkawinan

dilaksanakan maka semua harta suami dan isteri terjadi perbauran. Tentang

Perjanjian kawin ini dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan sepanjang

tidak menyalahi tata susila dan ketentraman umum yang berlaku dalam

masyarakat.45Pasal 47 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam disebutkan bahwa pada

waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua calon mempelai dapat

membuat perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat nikah, mengenai

kedudukan harta dalam perkawinan. Pasal 47 ayat (2) perjanjian tersebut dalam

ayat 1 dapat meliputi pencampuran harta pribadi dan pemisahan harta pencaharian

masing-masing sepanjang hal itu tidak bertentangan dengan hukum islam.46

Dari segi tujuan dan manfaat dibuatnya Perjanjian perkawinan masih

sedikit calon pengantin yang memandang hal ini sebagai sesuatu yang positif. Hal

ini dikarenakan masih dianggap tabu dan pamali di masyarakat. Ada sebagian

masyarakat yang dapat menerima konsep pemikiran tentang pembuatan Perjanjian

Perkawinan, tetapi lebih banyak masyarakat yang belum menerimanya,

disebabkan adanya pandangan negatif yang menganggap Perjanjian Perkawinan

sebagai sesuatu yang tidak umum, tidak etis, kecurigaan, egois, tidak sesuai

dengan budaya orang timur yang penuh etika.

Sebaliknya Perjanjian Perkawinan yang dianggap masih tabu dilakukan

oleh masyarakat awam justru telah menjadi gejala baru di kalangan tertentu

seperti selebritis, pengusaha dan lain-lain. Mereka umumnya berpandangan bahwa


45
K. Wantjik Saleh, 1980, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia, hlm. 32
46
Abdurrahman, 2007, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: CV Akademika
Pressindo, hlm. 124

37
dengan adanya Perjanjian Perkawinan harta miliknya akan terjamin aman apabila

terjadi perceraian. Maka dengan membuat Perjanjian perkawinan pasangan suami

isteri mempunyai kesempatan untuk saling terbuka,dan bisa berbagi rasa atas

keinginan yang telah disepakati untuk menjalani isi perjanjian tersebut. Biasanya

perjanjian perkawinan dibuat untuk kepentingan perlindungan hukum terhadap

harta masing-masing suami isteri, karena UU Perkawinan tidak mengatur tujuan

Perjanjian Perkawinan, segalanya diserahkan kepada kedua belah pihak yaitu

suami dan isteri. Pada dasarnya Perjanjian Perkawinan tidaklah seburuk yang

menjadi anggapan masyarakat. Hal ini terjadi karena Perjanjian Perkawinan bagi

orang kebanyakan adalah kurang etis tidak sesuai dengan budaya orang timur.

Mengingat pentingnya Perjanjian Perkawinan ternyata cukup banyak manfaatnya

bagi suami isteri. Tanpa Perjanjian Perkawinan, maka dalam proses pembagian

harta gono-gini sering terjadi pertikaian.

2.2.4. Rukun dan Syarat Perjanjian Kawin

Dalam agama Islam, kedua calon mempelai dapat mengadakan dua bentuk

perjanjian perkawinan. Sesuai dengan Pasal 45 KHI, terdapat dua jenis perjanjian

perkawinan dalam bentuk :

1) Taklik talak dan

2) Perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.

Taklik talak adalah perjanjian perkawinan yang dibacakan oleh calon

suami setelah akad nikah, sedangkan perjanjian lainnya yang sering dilakukan

adalah perjanjian tentang harta bersama. Tentang siapa yang dapat mengadakan

perjanjian kawin hal ini tunduk pada ketentuan umum yaitu harus cakap untuk

38
bertindak menurut hukum. Kecuali tentang anak yang belum dewasa, ia dapat

mengadakan perjanjian kawin, kalau ia telah berusia 18 tahun (lelaki) atau 15

tahun (perempuan), asal dibantu oleh orang-orang yang harus memberikan izin

untuk perkawinannya (Pasal 151 KUH Perdata). 47 Rukun yang harus dipenuhi

dalam pembuatan perjanjian kawin diantaranya adalah :

1) Harus diajukan oleh kedua belah pihak pada waktu atau sebelum

perkawinan dilangsungkan,

2) perjanjian Kawin Diajukan secara tertulis,

3) perjanjian kawin tidak dapat disahkan apabila melanggar batas-batas

hukum agama dan kesusilaan,

4) selama perkawinan berlangsung, perjanjian kawin tidak dapat dirubah,

kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah dan

perubahan tidak merugikan pihak ketiga,

5) perjanjian perkawinan yang telah disahkan berlaku juga terhadap pihak

ketiga tersangkut,

6) perjanjian kawin mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan,

7) perjanjian Kawin dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan.48

Mengenai waktu pembuatan perjanjian kawin, harus dilakukan sebelum

perkawinan dilangsungkan. Apabila suatu perkawinan sudah dilangsungkan, maka

perjanjian kawin tersebut berlaku sejak perkawinan dan tidak dapat diubah lagi.

Sedang jika sebelum perkawinan tersebut dilangsungkan maka perjanjian kawin

47
Ali Afandi, 2004, Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian, Jakarta, Renika
Cipta. Hlm. 172
48
Rosnidar Sembiring, 2016, Hukum Keluarga Harta-harta Benda dalam Perkawinan,
Jakarta, Raja Grafindo Persada. Hlm. 68

39
dapat diubah dengan memenuhi syarat dan ketentuan yang berlaku. Perjanjian

kawin tersebut hendaknya dibuat sedekat mungkin dengan waktu pelaksanaan

perkawinan. Hal itu dimaksudkan untuk menjaga agar jangan sampai terjadi

sesudah perjanjian kawin dibuat, sementara menunggu waktu pelaksanaan

perkawinan, ternyata orang tua/wali yang membantu pembuatan perjanjian kawin

meninggal dunia, maka pembuatan perjanjian kawin harus diulang lagi.49

Suatu perjanjian kawin agar berlaku sah dan mengikat baik bagi para pihak

yang membuat maupun bagi pihak ketiga harus memenuhi beberapa syarat.

Syarat-syarat keabsahan suatu perjanjian kawin menyangkut tiga hal, yaitu : 50

1) Syarat Subyektif

Syarat subyektif dalam perjanjian kawin adalah menyangkut pihak-pihak

yang membuat perjanjian kawin tersebut, yakni mengenai diri pribadi dari pihak-

pihak yang membuat perjanjian kawin (calon suami istri). Undang-undang telah

menentukan syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam suatu perjanjian kawin,

kecuali jika dalam peraturan tersebut ditentukan adanya pengecualian. Adapun

syarat-syarat umum sahnya suatu perjanjian, termasuk perjanjian kawin, adalah

ditentukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata, yaitu :

a) Adanya kata sepakat dari pihak-pihak yang membuat perjanjian,

b) adanya kecakapan dari pihak-pihak yang membuat perjanjian untuk

mengikatkan diri kepada pihak lain,

c) adanya suatu hal tertentu,

49
Ibid. Hlm 80
50
Neng Djubaidah, 2010, Pencatatan Perkawinan & Perkawinan Tidak Dicata: Menurut
Hukum Tertulis di Indonesia dan Hukum Islam, Jakarta, Sinar Grafika. Hlm 219

40
d) adanya suatu sebab yang halal yang melatar belakangi lahirnya perjanjian

tersebut.

Dari syarat sahnya perjanjian sebagaimana disebutkan diatas, syarat

mengenai kecakapan pihak yang membuat perjanjian adalah berkaitan dengan

subjek perjanjian. Orang yang telah dewasa untukmembuat perjanjian menurut

Pasal 330 KUH Perdata mereka yang berumur 21 tahun dan berumur 18 tahun

menurut Pasal 47 UUP. Dengan demikian dalam pembuatan akta perjanjian kawin

maka para pihak harus sudah cakap hukum.

2) Syarat Formil

Syarat formil perjanjian kawin adalah mengenai bentuk perjanjian kawin

yang harus dibuat dihadapan notaris dengan suatu akta otentik atau akta notariil.

Apabila suatu perjanjian kawin tidak dibuat dengan akta notaris maka perjanjian

kawin tersebut batal demi hukum. Dalam Pasal 29 UUP, pada waktu atau sebelum

perkawinan dilangsungkan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat

mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan,

setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga tersangkut. Sesuai

ketentuan Pasal 29 Ayat (1) UU Perkawinan, perjanjian perkawinan disahkan oleh

Pegawai Pencatat Perkawinan. Menurut “disahkan” dalam kalimat tersebut artinya

adalah bahwa perjanjian perkawinan tersebut harus “dicatat” dan apabila

perjanjian perkawinan tersebut tidak dicatat maka perjanjian perkawinan tersebut

tidak mengikat pihak ketiga. Mestinya pengesahan perjanjian kawin dilakukan

sebelum ijab kabul dilaksanakan. Dari ketentuan Pasal 29 Ayat (4) yang

menyatakan bahwa “perjanjian perkawinan berlaku sejak perkawinan

41
dilangsungkan” maka dapat disimpulkan bahwa pembuatan dan pengesahan

perjanjian kawin oleh pegawai pencatat nikah harus dilakukan sebelum

dilaksanakan ijab kabul antara kedua mempelai.51

Pencatatan perjanjian perkawinan setelah berlakunya UUP tidak lagi

dilakukan di Kantor Panitera Pengadilan Negeri akan tetapi dilakukan oleh

Pegawai Pencatatan Perkawinan pada Kantor Catatan Sipil (Kantor Dinas

Kependudukan dan Catatan Sipil) atau Kantor Urusan Agama. Sementara

pengesahan dari pegawai pencatat nikah bukan merupakan pengumuman atas

adanya perjanjian kawin yang dibuat oleh suami istri sebelum perkawinan

dilangsungkan. Tindakan pengesahan oleh pegawai tersebut hanya bersifat untuk

melegitimasi perjanjian kawin dengan melibatkan petugas pencatat nikah sebagai

wakil dari instansi pencatat perkawinan.52 Maksud dari akta notaris adalah akta

otentik, bukan akta dibawah tangan. Suatu akta otentik adalah akta yang dibuat

oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang (Notaris). Adanya syarat bahwa

perjanjian kawin harus dibuat dengan akta notaris adalah bertujuan agar perjanjian

kawin tersebut mempunyai kekuatan pembuktian sempurna apabila terjadi

persengketaan.53

Suatu perjanjian yang dituangkan dalam akta otentik, maka akan

mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, artinya hakim terikat pada

kebenaran formil dan materiil terhadap akta otentik yang diajukan kepadanya

sebagai bukti di depan persidangan, kecuali dengan bukti lawan dapat dibuktikan
51
Ibiid. Hlm 229
52
Notary Public, Alwesius, Pembuatan Perjanjian Perkawinan Pasca Putusan Mahkamah
Konstitusi, www.notary.my.id/2018/01/pembuatan-perjanjian-perkawinan-pasca-putusan-
mahkamah-konstitusi. Diakses Pada Tanggal 28 Januari 2018
53
Wahjono Darmabrata dan Surini Ahlan Sjarif, 2002, Hukum Perkawinan dan Keluarga
Indonesia, Jakarta, Riskita, hlm.91-92.

42
sebaliknya. Dengan dibuatnya perjanjian kawin dalam akta notaris maka akan

memberikan kepastian hukum tentang hak dan kewajiban suami istri atas harta

benda mereka, megingat perjanjian kawin mempunyai konsekuensi yang luas dan

dapat menyangkut kepentingan keuangan yang besar yang dipunyai oleh suatu

rumah tangga.

3) Syarat Materiil

Syarat materiil adalah mengenai isi perjanjian kawin yang telah ditetapkan

oleh undang-undang. Isi dari perjanjian kawin tersebut adalah bebas dan

sepenuhnya diserahkan kepada calon suami istri yang akan melangsungkan

perkawinan. Suatu perjanjian kawin dilarang memuat syarat dan ketentuan bahwa

istri kehilangan haknya untuk melepaskan atau menolak hak bagian atas harta

persatuan. Tujuan dari pembuatan perjanjian kawin adalah untuk mengatur akibat

hukum dari perkawinan terhadap harta kekayaan suami istri, sehingga oleh

karenanya maka ketentuan yang bertujuan lain selain yang diperkenankan oleh

undang-undang adalah dilarang atau tidak diperbolehkan. Isi dari perjanjian kawin

tidak boleh melanggar ketentuan yang telah ditetapkan dalam undang-undang,

yaitu antara lain :

a) Tidak boleh mengurangi kekuasaan suami, baik sebagai kepala rumah

tangga maupun sebagai orangtua dari anak-anaknya. Termasuk dalam

kategori ini adalah pernyataan bahwa istri berwenang mengadakan

perjanjian atau menghadap ke pengadilan tanpa bantuan suami, ataupun

berisi pembebasan istri dari kewajiban untuk berempat tinggal di tempat

yang telah disediakan oleh suami.

43
b) Tidak boleh mengurangi hak-hak yang oleh undang-undang diberikan

kepada duda atau janda yang hidup terlama (Pasal 140 KUH Perdata).

c) Tidak boleh mengurangi hak suami sebagai kepala atau pengurus harta

persatuan.

d) Tidak boleh menyatakan bahwa para pihak melepaskan hak-hak mereka

atas harta peninggalan keluarga sedarah mereka dalam garis ke atas

ataupun mengatur harta peninggalan tersebut (Pasal 141 KUH Perdata).

e) Tidak boleh menyatakan bahwa suami atau istri akan memikul suatu

tanggungan yang lebih besar dalam hutang dari pada bagiannya dalam laba

persatuan (Pasal 142 KUH Perdata). Tujuan larangan tersebut adalah agar

jangan sampai suami atau istri saling menguntngkan diri sendiri sehingga

menimbulkan kerugian bagi pihak ketiga.

f) Tidak boleh menyatakan bahwa akibat perkawinan mereka dalam lapangan

harta kekayaan perkawinan akan diatur oleh undang-undang yang berlaku

di luar negeri, atau hukum adat, atau undang-undang atau peraturan daerah

yang dulu pernah berlaku di Indonesia. Larangan tersebut bertujuan untuk

memberikan kepastian hukum mengenai hak-hak suami istri, terutama

menyangkut kepentingan pihak ketiga.54

2.3. Tinjauan Umum Tentang Notaris

2.3.1. Pengertian, Tugas dan Wewenang Notaris

Notaris berasal dari kata natae, yang artinya tulisan rahasia, jadi pejabat itu

semacam penulis stero.55 Dalam pengertian harian notaris adalah orang yang
54
Op. Cit Subekti. Hlm 42
55
Soetarjo Soemoatmodjo, 1986, Apakah Notaris, PPAT, Pejabat Lelang, Yogyakarta,
Liberty. Hlm. 4

44
diangkat oleh pemerintah untuk membuat akta otentik atau akta resmi. Notaris

adalah pejabat umum, seorang menjadi pejabat umum apabila ia diangkat dan

diberhentikan oleh pemerintah dan diberi wewenang dan kewajiban untuk

melayani publik dalam hal-hal tertentu.56

Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang

jabatan notaris menyebutkan bahwa “Notaris adalah pejabat umum yang

berwenang untuk membuat akta otentik dan kewenangan lainya sebagaimana

dimaksud dalam undang-undang ini”. Selanjutnya dalam penjelasan UUJN

dinyatakan bahwa notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk membuat

akta otentik sejauh pembuatan akta otentik tertentu tidak dikhususkan bagi pejabat

lainnya.57

Salah satu unsur penting dari pengertian notaris adalah notaris sebagai

“pejabat umum”. Hal ini berarti bahwa kepada notaris diberikan dan dilengkapi

dengan kewenangan atau kekuasaan umum yang menjangkau publik (openbaar

gezag). Sebagai pejabat umum notaris diangkat oleh negara/pemerintah dan

bekerja untuk pelayanan kepentingan umum, walaupun notaris bukan merupakan

pegawai negeri yang menerima gaji dari negara/pemerintah, notaris dipensiunkan

oleh negara/pemerintah tanpa mendapat pensiunan dari pemerintah.58

Dalam Pasal 1868 KUHPerdata sendiri tidak menjelaskan secara rinci

penjelasan tentang notaris, hanya dijelaskan apa yang dimaksud akta otentik saja.

Sehingga dengan fenomena ini pembuat Undang-Undang harus membuat

56
R. Soegondo Notodisoerjo, 1993, Hukum Notariat Di Indonesia, Suatu Penjelasan,
Jakarta, Raja Grafindo Persada. Hlm. 44.
57
Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2004 Jo Undang-
undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2014, Tentang Jabatan Notaris.
58
G. H. S. Lumban Tobing, 1991, Pengaturan Jabatan Notaris, Jakarta, Erlangga. Hlm. 31

45
peraturan perundang-undangan untuk mengatur hal ini. Akhirnya pemerintah

mampu membuat Undang-Undang yang mengatur secara jelas Notaris sebagai

pejabat umum yaitu PJN (pengaturan jabatan notaris) dan UUJN (Undang-Undang

Jabatan Notaris) dimana peraturan yang dibuat pemerintah ini untuk memenuhi

peraturan pelaksaan dari Pasal 1868 KUHPerdata.

Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Jo Undang-Undang

Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris, menyatakan secara tegas bahwa

notaris adalah satu-satunya pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta

otentik, kecuali jika undang-undang ada yang menentukan lain. Tugas dan

wewenang notaris bila dilihat dari Undang-Undang Jabatan Notaris hanyalah

membuat akta, melegalisasi akta di bawah tangan dan membuat grosse akta serta

berhak mengeluarkan salinan atau turunan akta kepada para pihak yang

berkepentingan membuatnya. Padahal sesungguhnya dalam praktek tugas dan

wewenang notaris lebih luas dari apa yang ada dan diatur dalam Undang-Undang

Jabatan Notaris. Dalam prakteknya notaris mampu menjadi ahli penemuan hukum

dan penasehat hukum.

Tugas notaris adalah mengontrol hubungan hukum antara para pihak

dalam bentuk tertulis dan format tertentu, sehingga merupakan suatu akta otentik

dia dapat membuat dokumen yang kuat dalam suatu proses hukum.12 Berdasarkan

ketentuan dalam Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang

jabatan notaris, kewenangan notaris adalah membuat akta otentik mengenai semua

perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan oleh peraturan perundang-

undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang berkepentingan untuk dinyatakan

46
dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal pembuatan akta, menyimpan akta,

memberikan grosse, salinan dan kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan

akta-akta itu tidak juga ditugaskan dan dikecualikan kepada pejabat lain atau

orang lain yang ditetapkan oleh undang-undang.59

Selain kewenangannya untuk membuat akta otentik dalam arti “verlijden”

(menyusun, membacakan dan menanda-tangani), akan tetapi juga berdasarkan

dalam Pasal 16 huruf d Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Jo Undang-

Undang Nomor 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris Notaris wajib untuk

membuatnya, kecuali terdapat alasan yang mempunyai dasar untuk menolak

pembuatannya.60 Tanggung jawab notaris sendiri jika di telaah dari Undang-

Undang Nomor 30 Tahun 2004 Jo Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang

Jabatan Notaris adalah sangat erat kaitannya dengan tugas dan pekerjaan notaris.

Dengan demikian oleh karena selain untuk membuat akta otentik, notaris juga

ditugaskan dan bertanggung jawab untuk melakukan mengesahkan dan

pendaftaran(legalisasi dan waarmerken) surat-surat/akta-akta yang dibuat di

bawah tangan oleh para pihak.

Berkaitan dengan wewenang yang harus dimiliki oleh Notaris hanya

diperkenankan untuk menjalankan jabatannya di daerah yang telah ditentukan dan

ditetapkan dalam UUJN dan di dalam daerah hukum tersebut Notaris mempunyai

wewenang. Apabila ketentuan itu tidak diindahkan, akta yang dibuat oleh Notaris

menjadi tidak sah. Adapun wewenang yang dimiliki oleh Notaris meliputi empat

(4) hal yaitu sebagai berikut :


59
Tan Thong Kie, 2000, Studi Notariat, Serba-Serbi Praktek Notariat, Buku I, Jakarta, PT
Ichtiar Baru Van Hoeve. Hlm.59.
60
Ibid. Hlm 60

47
1) Notaris harus berwenang sepanjang yang menyangkut akta yang dibuat itu;

2) Notaris harus berwenang sepanjang mengenai orang-orang, untuk

kepentingan siapa akta itu dibuat;

3) Notaris harus berwenang sepanjang mengenai tempat, dimana akta itu

dibuat;

4) Notaris harus berwenang sepanjang mengenai waktu pembuatan akta itu.61

Beberapa kewenangan notaris selain yang ada dalam Pasal 15 ayat (1) dari

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, dijelaskan dalam

Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris

yang menerangkan bahwa notaris juga memiliki wewenang untuk :

a) Mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di

bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus. Penjelasan ketentuan

ini merupakan legalisasi terhadap akta dibawah tangan yang dibuat sendiri

oleh orang perseorangan atau oleh para pihak diatas kertas yang

bermaterai cukup dengan jalan pendaftaran dalam buku khusus yang

disediakan oleh notaris;

b) membukukan surat-surat di bawah tangan dengan mendaftar dalam buku

khusus;

c) membuat kopi dari asli surat-surat di bawah tangan berupa salinan yang

memuat uraian sebagaimana ditulis dan digambarkan dalam surat yang

bersangkutan;

d) melakukan pengesahan kecocokan fotokopi dengan surat aslinya;

e) memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta


61
Ibid. Hlm 159

48
f) membuat akta yang berkaitan dengan pertanahan dan membuat akta risalah

lelang.62

Berdasarkan kewenangan notaris diatas dapat melihat salah satu

kewenangan notaris yaitu melakukan legalisasi atau dalam bahasa hukumnya

mempunyai arti mengesahkan akta dibawah tangan. Akta dibawah tangan sendiri

sudah sangat lazim dalam kehidupan bemasyarakat, tidak sedikit dari mereka

meminta jasa notaris untuk melegalisasi atau mengesahkan akta dibawah tangan

ini dengan tujuan agar apabila dikemudian hari terdapat persengketaan dapat

menambah kekuatan pembuktian terhadap akta dibawah tangan tersebut.

Legalisasi dan waarmeking diatur secara khusus dalam Pasal 15 ayat (2)

huruf a dan huruf b Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 jo Undang-Undang

Nomor 2 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, dalam Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata Sendiri juga mengatur legalisasi hal ini termuat dalam Pasal 1874

KUHPerdata yang menyatakan : “sebagai tulisan-tulisan dibawah tangan dianggap

akta-akta yang ditandatangani dibawah tangan surta-surat, register-register, surat-

surat urusan rumah tangga dan lain-lain tulisan yang dibuat tanpa peraturan

seorang pegawai umum. Dengan penandatanganan sepucuk tulisan dibawah

tangan dipersamakan suatu cap jempol, dibubuhi dengan suatu pernyataan yang

bertanggal dari seorang notaris atau seorang pegawai lain yang diitunjuk oleh

Undang-Undang dimana ternyata bahwa ia mengenal si pembubuh cap jempol

atau bahwa orang ini telah diperkenalkan kepadanya, bahwa isinya akta telah

dijelaskan kepada orang itu dan bahwa setelah itu cap jempol tersebut dibubuhkan

dihadapan pegawai umum. Pegawai itu harus membukukan tulisan tersebut


62
Ibid. Hlm 160

49
dengan undang-undang dapat diadakan aturan-aturan lebih lanjut tentang

pernyataan dan pembukuan termaksud.

Legalisasi merupakan bentuk pengesahan akta dibawah tangan yang mana

penandatanganan akta tersebut dilakukan para pihak dihadapan notaris, dan pada

saat itu juga notaris akan memberikan kepastian terhadap tanggal terhadap akta

tersebut. Sebelumnya dalam melakukan legalisasi notaris diharuskan memastikan

siapa saja pihak yang berwenang hadir dan setelah itu menjelaskan serta

membacakan akta yang akan dilegalisasi. Para pihak sendiri juga harus mengenal

notaris sebelum melakukan penandatangan. Hal ini mempunyai perbedaan

mendasar dengan waarmerking, ketika melakukan waarmerking kepada notaris

akta tersebut telah ditandatangani oleh para pihak sebelumnya, diluar

sepengetahuan atau dihadapan noataris. Notaris tidak mengetahui kapan akta itu di

tandatangani oleh para pihak sebelumnya, ini diluar sepengetahuan notaris. Dalam

waarmerking notaris hanya bertugas untuk membuat nomor pendaftarannya saja

kemudian akan didaftarkan dalam buku khusus yang disediakan oleh notaris,

dalam waarmerking tidak ada kepastian mengenai tanggal dan tanda tangan para

pihak. Yang di maksud dengan legalisasi dan waarmerking adalah :

a. Legalisasi adalah pengesahan dari surat-surat yang dibuat dibawah tangan

dalam mana semua pihak yang membuat surat tersebut datang dihadapan

notaris, dan notaris membacakan dan menjelaskan isi surat tersebut untuk

selanjutnya surat tersebut diberi tanggal dan ditandatangani oleh para

pihak dan akhirnya baru dilegalisasi oleh notaris.

50
b. Waarmerking adalah pendaftaran dengan membubuhkan cap dan

kemudian mendaftarkannya dalam buku pendaftaran yang disediakan

untuk itu.63

2.3.2. Hubungan Notaris Dengan Para Pihak Yang Menghadap

Ketika penghadap datang ke notaris agar tindakan atau perbuatannya

diformulasikan kedalam akta otentik sesuai dengan kewenangan Notaris, dan

kemudian notaris membuatkan akta atas permintaan atau keinginan para

penghadap tersebut, maka dalam hal ini memberikan landasan kepada notaris dan

para penghadap telah terjadi hubungan hukum antara keduanya.

Notaris sendiri harus memberikan pelayanan terbaik kepada para

penghadap atau masyarakat, namun notaris dapat menolak untuk memberikan

pelayanan kepada para penghadap atau masyarakat dengan alasan-alasan tertentu

hal ini diatur dalam Pasal 16 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 30 Tahun

2004 jo Undang-Undang nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris. Alasan

yang dimaksud dalam Pasal ini adalah alasan yang mengakibatkan notaris

berpihak, seperti adanya hubungan darah atau semenda dengan notaris sendiri atau

dengan suami/istrinya, salah satu pihak tidak mempunyai kemampuan untuk

berbuat sesuatu, atau hal-hal lain yang tidak diperbolehkan oleh undang-undang.

Dengan hubungan hukum seperti itu, maka perlu ditentukan kedudukan hubungan

hukum tersebut yang merupakan awal dari tanggung gugat notaris.64

63
Ida Rosita Suryana, 1999, Serba-Serbi Jabatan Notaris, Bandung, Universitas Padjajaran.
Hlm. 19.
64
Sutrisno & Wiwin Yulianingsih, 2016, Etika Profesi Hukum, Yogyakarta, C.V Andi
Offset. Hlm. 120

51
Untuk memberikan landasan kepada hubungan hukum seperti tersebut di

atas, perlu ditentukan tanggung gugat notaris apakah dapat berlandaskan kepada

wanprestasi atau perbuatan melawan hukum (onrechtmatigedaad) atau mewakili

orang lain tanpa kuasa (zaakwaarneming) atau pemberian kuasa (lastgeving),

perjanjian untuk melakukan pekerjaan tertentu ataupun persetujuan perburuhan.65

Subjek hukum yang datang menghadap notaris didasari adanya sesuatu

keperluan dan keinginan sendiri, notaris tidak mungkin melakukan suatu

pekerjaan atau membuat akta tanpa ada permintaan dari para penghadap, dengan

demikian menurut notaris dalam bentuk mewakili orang lain tanpa kuasa

(zaakwaarneming) tidak mungkin terjadi berdasarkan Pasal 1354 KUHPerdata.66

Hubungan hukum yang terjadi antara notaris dengan para pihak penghadap

tidak dapat dikontruksikan, dipastikan atau ditentukan, sejak awal ke dalam

bentuk adanya atau terjadi wansprestasi atau perbuatan melawan hukum

(onrechtmatigedaad) atau persetujuan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan

tertentu atau mewakili orang lain tanpa kuasa (zaakwaarneming) yang dapat

dijadikan dasar untuk menuntut notaris berupa penggantian biaya, ganti rugi atau

bunga kontruksi seperti tidak dapat diterapkan secara langsung terhadap notaris

karena tidak adanya syarat yang dipenuhi seperti :

1. Tidak ada perjanjian secara tertulis atau kuasa atau untuk melakukan

perjanjian tertentu;

2. Tidak ada hak-hak para pihak atau para penghadap yang dilanggar oleh

notaris;
65
Ibid. Hlm 121
66
Marthalena Pohan, 1985, Tanggung Gugat Advocaat, Dokter dan Notaris, Surabaya, Bina
Ilmu. Hlm 11

52
3. Notaris tidak mempunyai alasan untuk menerima perintah melakukan

suatu pekerjaan; dan

4. Tidak ada kesukarelaan dari notaris untuk membuat akta, tanpa ada

permintaan dari para pihak.67

Dengan demikian hubungan hukum antara notaris dan para penghadap

merupakan hubungan hukum yang khas, dengan karakter :

a. Tidak perlu dibuat suatu perjanjian baik lisan maupun tertulis dalam

bentuk pemberian kuasa untuk membuat akta atau untuk melakukan

pekerjaan-pekerjaan tertentu;

b. mereka yang datang kehadapan notaris, dengan anggapan bahwa notaris

mempunyai kemampuan untuk membantu memformulasikan keinginan

para pihak secara tertulis dalam bentuk akta otentik;

c. Hasil akhir dari tindakan notaris berdasarkan kewenangan notaris yang

berasal dari permintaan atau keinginan para pihak sendiri; dan

d. Notaris bukan pihak dalam akta yang bersangkutan.68

Pada dasarnya notaris hanya membuat akta atas permintaan para

penghadap, disini notaris harus menerjemahkan Pasal-Pasal, kalimat-kalimat,

ayat-ayat, sehingga selaras dan memperoleh kekuatan hukum. Jika para pihak

datang ke notaris dan akan mengadakan suatu perjanjian maka notaris akan

mengatur syarat-syarat perjanjian tersebut dengan sedemikian rupa sehingga para

pihak mendapat perlindungan yang seimbang dari notaris.

67
Ibid. Hlm 17
68
Habibi Ajdie, 2008, Hukum Notaris Indonesia (Tasir Tematik Terhadap UU No. 30 Tahun
2004 Tentang Jabatan Notaris), Bandung, PT Reflika Aditama. Hlm 18

53
Dalam menjalankan tugas serta jabatanya notaris harus berpegangan

dengan UUJN dan Kode Etik Notaris agar ketika menjalankan tugasnya notaris

selalu prosedural seperti apa yang semestinya yang tertuang dalam Undang-

Undang jabatan notaris dan Kode Etik. Banyak orang yang ingin menjatuhkan

atau mencari keuntungan dengan melihat celah yang ada dalam notaris

menjalankan jabatan yang tidak prosedural seperti apa yang seharusnya oleh

karena itu dalm menjalankan tugasnya notaris harus menggunakan prinsip kehati-

hatian agar terhindar dari masalah dikemudian hari. Notaris harus berupaya

mengetahui identitas para pihak dan keterangan yang sebenar-benarnya dari para

pihak penghadap. Notaris dapat memperoleh keterangan identitas dari ktp para

pihak yang bersangkutan, paspor, sim dan atau surat-surat lain dari para pihak

yang ingin melakukan perbutan hukum. Apabila keterangan yang diberikan para

pihak ini tidak sesuai atau tidak benar notaris dapat membatalkan perjanjian atau

perbuatan hukum yang ingin dilakukan para pihak.

2.3.3. Kekuatan Hukum Akta Perjanjian Kawin

Menurut Ketentuan Pasal 147 KUHPerdata perjanjian perkawinan harus

dibuat dengan syarat sebagai berikut :

a. Dengan akta notaris

Hal ini dilakukan untuk keabsahan perjanjian perkawinan, juga untuk:

1. Untuk mencegah perbuatan yang tergesa-gesa oleh karena akibat

daripada perjanjian ini akan dipikul seumur hidup.

2. Untuk adanya kepastian hukum.

54
3. Sebagai alat bukti sah.

4. Untuk mencegah kemungkinan adanya penyelundupan atas ketentuan

Pasal 149 KUHPerdata (setelah dilangsungkan perkawinan dengan

cara apapun juga, perjanjian perkawinan itu tidak dapat diubah).69

Pasal 147 KUHPerdata tersebut sejalan dengan realitas yang ada di Kantor

Catatan Sipil sebab perjanjian yang akan didaftarkan diharuskan dituangkan

dalam akta notaris sebab dasar untuk mencatat perjanjian tersebut adalah salinan

akta notaris yang kemudian akan dicatatkan pada catatan pinggir dalam akta nikah

pasangan suami isteri. Tugas dari pegawai Kantor Catatan Sipil hanya sebatas

pencatatan pada akta nikah sebab masalah poin-poin yang diperjanjikan adalah

persetujuan pasangan suami dan isteri serta notaris yang membantu mereka dalam

membuat perjanjian tersebut, dengan adanya akta notaris perjanjian tersebut tidak

akan diragukan lagi.70

b. Pada saat sebelum perkawinan dilangsungkan

Syarat ini diadakan dengan maksud agar setelah perkawinan

dilangsungkan dapat diketahui dengan pasti mengenai perjanjian perkawinan

berikut isi perjanjian perkawinan itu. Perjanjian perkawinan berlaku sepanjang

perkawinan berlangsung dan tidak dapat diubah. Jadi selama perkawinan

berlangsung hanya berlaku satu macamhukum harta perkawinan kecuali bila

terjadi pisah harta kekayaan.71

69
R.Soetojo Prawirohamidjojo, Soebijono Tjitrowinoto,1986, Pluralisme Dalam Perundang-
undangan Perkawinan di Indonesia, Surabaya: Airlangga University Press. Hlm.59.
70
R.Soetojo Prawirohamidjojo, Marthalena Pohan. 2008. Hukum Orang dan Keluarga
Pohan, Surabaya: UNAIR, Hlm.77.
71
Ibid. Hlm 88

55
Tiga bentuk perjanjian kawin yang dapat dipilih calon suami isteri tersebut

yaitu:72

1) Perjanjian Kawin dengan Kebersamaan Untung dan Rugi

Dalam Pasal 115 KUHPerdata disebutkan: Jika dalam perjanjian

perkawinan oleh kedua calon suami isteri hanyalah diperjanjikan bahwa dalam

persatuan untung dan rugi, maka berartilah bahwa perjanjian yang demikian,

dengan sama sekali tak berlakunya persatuan harta kekayaan seluruhnya menurut

undang-undang, setelah berakhirlah persatuan suami isteri, segala keuntungan

pada mereka yang diperoleh sepanjang perkawinan harus dibagi antara mereka

berdua, sepertipun segala kerugian harus mereka pikul berdua. Ketentuan

mengenai persatuan untung rugi ini tidak semua harta kekayaan suami isteri

dicampur menjadi harta persatuan, tetapi hanya sebagian dari harta kekayaan

suami isteri saja yang merupakan keuntungan dan kerugian yang timbul selama

perkawinan. Harta kekayaan (semua laba dan hutang) suami isteri yang mereka

bawa dalam perkawinan dan harta yang mereka peroleh dengan cuma-Cuma

(hadiah,warisan) sepanjang perkawinan adalah modal tetap milik pribadi suami

atau isteri dan masing-masing tidak masuk dalam kebersamaan, sehingga terdapat

tiga macam harta kekayaan, yaitu:73

a. Milik pribadi suami

b. Milik pribadi isteri

c. Untung dan rugi yang masuk dalam kebersamaan

2) Perjanjian Kawin Dengan Kebersamaan Hasil dan Pendapatan

72
Ibid. Hlm 90
73
Ibid. Hlm 95

56
Mengenai kebersamaan hasil dan pendapatan (gameenschap van vruchten

en inkomsten) undang-undang hanya memuat satu Pasal (Pasal 164 BW).

Ketentuan dalam perjanjian kawin, menetukan antara suami dan isteri hanya akan

ada kebersamaan hasil dan pendapatan, sehingga berarti tidak akan ada

kebersamaan bulat atau menyeluruh menurut undang-undang dan tidak akan ada

pula kebersamaan untung dan rugi. Demikian halnya pada kebersamaan hasil dan

pendapatan, juga terdapat kemungkinan adanya tiga jenis harta kekayaan yaitu:

harta kekayaan suami, harta kekayaan isteri dan harta kekayaan kebersamaan hasil

dan pendapatan. Mengenai kebersamaan hasil dan pendaptan ini dahulu terdapat

banyak pendapat, tetapi sekarang dapat dikatakan bahwa pada umumnya orang

berpendapat: kebersamaan tersebut dalam banyak hal sama dengan kebersamaan

untung rugi. Perbedaannya, apabila kebersamaan tersebut menujukkan kerugian

(saldo negatif), maka suami yang mengurusi kebersamaan itu. Dengan kata lain,

suami harus memikul seluruh kerugian. Apabila kebersamaan itu menimbulkan

keuntungan, maka keuntungan ini dibagi antara suami isteri.

Hal ini sesuai dengan Pasal 105 KUHPerdata yang menentukan bahwa,

“setiap suami adalah kepala dalam persatuan suami isteri. Ia (suami) harus

mengurus harta kekayaan itu laksana seorang bapak rumah tangga yang baik, dan

karenanyapun bertanggung jawab atas segala kealpaan dalam pengurusan itu”.

Dari Pasal tersebut dapat dilihat bahwa KUHPerdata menempatkan suami

berperan lebih besar dalam keluarga, sehingga kerugian yang timbul dalam

57
praktek perjanjian perkawinan dalam bentuk persatuan hasil dan pendapatan

menjadi tanggungan suami.74

3) Peniadaan Terhadap Setiap Kebersamaan Harta Kekayaan

Bentuk perjanjian ini menginginkan adanya pemisahan sama sekali atas

kekayaan calon pasangan suami isteri sepanjang perkawinan, maka dalam

perjanjian perkawinan yang dibuat harus menyatakan bahwa antara calon suami

isteri tersebut tidak akan ada percampuran harta dan secara tegas dinyatakan tidak

ada persatuan untnnung rugi Setiap peniadaan kebersamaan hanya ada dua

kemungkinan dalam harta kekayaan, yaitu harta kekayaan milik pribadi suami dan

milik pribadi isteri. Tidak ada kemungkinan adanya harta kekayaan ketiga yang

termasuk dalam suatu kebersamaan harta kekayaan terbatas.

2.4. Kerangka Pemikiran

Asas Kehati-hatian Notaris dalam


Pembuatan Akta Perjanjian Perkawinan
Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi No.
69/PUU-XIII/2015

 UU No. 2 Tahun 2014


tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 1 UU No. 30 Tahun 2004
Tahun 1974 Tentang Tentang Jabatan Notaris
Perkawinan  Putusan MK No.
69/PUU-XIII/2015

Pertanggungjawaban notaris Prinsip kehati-hatian notaris


terhadap akta yang dibuatnya dalam membuat akta
74
Wirjono Prodjodikoro. 1964. Hukum Perdata Tentang Persetujuan Tertentu. Bandung:
Sumur bandung,. Hlm. 101

58
 Pembuatan Perjanjian
Perkawinan  Implikasi Putusan
 Konsep Tangggung Mahkamah Konstitusi
Jawab Hukum Notaris Nomor 69/PUU-XIII/2015
 Tanggung Jawab Notaris  Pelaksanaan Pembuatan
Terhadap Akta Yang Perjanjian
Dibuatnya

Prinsip Kehati-Hatian
dalam Membuat Akta
Perjanjian Perkawinan
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yuridis

normatif. Peter Mahmud Marzuki merumuskan penelitian hukum yuridis normatif

adalah suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum,

maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi. Hal ini

sesuai dengan karakter preskripsi ilmu hukum. Jawaban yang diinginkan dalam

penelitian hukum adalah right, appropriate, inapproriate, atau wrong. Dengan

demikian dapat dikatakan bahwa hasil yang diperoleh di dalam penelitian hukum

mengandung nilai.75

3.2. Sumber Bahan Hukum

75
Peter Mahmud Marzuki. 2011. Penelitian Hukum. Jakarta. PT Kencana Media Group. Hlm
35

59
Logisnya dalam suatu penelitian dikenal dua sumber data yaitu data yang

bersumber dari lampangan atau data primer dan data yang bersumber dari data

kepustakaan atau data sekunder. Pada penelitian ini data sekunder bersumber dari

bahan-bahan hukum. Bahan hukum terbagi atas bahan hukum primer dan bahan

hukum sekunder. Untuk itu penulis berfokus pada data sekunder yang mengkaji

obyek diteliti. Sumber-sumber penelitian hukum menurut Peter Mahmud Marzuki

dapat dibedakan menjadi sumber-sumber penelitian yang berupa bahan hukum

primer dan bahan hukum sekunder dimana :

1. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer bersifat otoriatif artinya mempunyai otoritas

yang terdiri dari perundang-undangan,catatan-catatan resmi atau risalah

dalam pembuatan peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan

hakim.76

2. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder terdiri dari semua publikasi tentang hukum

yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi meliputi buku-buku

teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-komentar

atas putusan-putusan pengadilan.

3.3. Jenis Pendekatan

Pendekatan yang digunakan dalam usulan penelitian ini adalah pendekatan

undang-undang dan pendekatan konseptual. Pendekatan undang-undang


76
Ibid. Hlm 36

60
(statutaapproach) dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi

yang bersangkutan dengan isu hukum yang sedang ditangani. Sedangkan

pndekatan konseptual atau conceptual approach yaitu suatu pendekatan yang

beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang dalam

ilmu hukum. dengan mempelejari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin di

dalam ilmu hukum, peneliti akan mengemukakan ide-ide yang melahirkan

pengertian-pengertian hukum, konsep hukum, dan asas-asas hukum yang relevan

dengan isu hukum yang dihadapi. Bagi penelitian untuk kegiatan praktis,

pendekatan undang-undang dan pendekatan konseptual ini akan memberikan

kesempatan bagi peneliti untuk mempelajari adakah konsistensi dan kesesuaian

antara satu undang-undang dengan undang-undang yang lainnya, atau antara satu

peraturan yang rendah bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.

3.4. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Penelitian mengumpulkan bahan hukum, melakukan inventarisasi bahan

hukum atau dokumen melalui penelusuran bahan-bahan pustaka berupa buku-

buku tentang ilmu hukum, jurnal-jurnal hukum, kamus hukum serta peraturan

perundang-undangan.

Penelusuran bahan-bahan pustaka ini merupakan jenis bahan-bahan hukum

yang diperoleh melakui pengumpulan dan pengintervasian sebagai berikut:

1. Bahan hukum primer yang terdiri dari peraturan perundang-undangan

yang berkenaan dengan sengketa perdata yang relevan khususnya sengketa

pembuatan perjanjian perkawinan yang dibuat oleh notaris

61
2. Bahan hukum sekunder yang terdiri dari literatur-literatur hukum beserta

jurnal–jurnal hukum dan juga artikel yang berbentuk baik dalam bentuk

fisik maupun yang dipublikasikan melalui media elektronik.

3.5. Analisis Bahan Hukum

Untuk menghasilkan argumentasi berkaitan dengan permasalahan yang

akan dibahas, maka dilakukan proses analisis dari permasalahan tersebut, pada

tulisan penulis menggunakan metode analisis deskriptif guna menjelaskan

permasalahan yang ada. Akhir dari hasil analisis tersebut maka dapat ditarik

kesimpulan berdasarkan permasalahan yang akan dibahas yaitu bagaimana

pembuatan perjanjian kawin dan tanggung jawab notaris terhadap akta yang

dibuatnya dan bagaimana penerapan asas kehati-hatian notaris dalam pembuatan

akta perjanjian perkawinan pasca putusan Mahkamah Konstitusi No. 69/PUU-

XIII/2015.

62
BAB IV

PEMBAHASAN

4.1. Mekanisme Pembuatan Perjanjian Kawin, Perlindungan Hukum

Notaris Dan Tanggung Jawab Notaris Terhadap Akta Yang Dibuat

4.1.1. Mekanisme Pembuatan Perjanjian Kawin Notaris Terhadap

Akta Yang Dibuat

Akibat hukum dari sebuah perkawinan, dalam bidang harta, pemerintah

mengaturnya seperti tertera dalam Pasal 35 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang Perkawinan. Ketentuan ini padanannya ditemukan dalam Pasal 119

KUHPerdata, kendati pola yang digunakan berbeda. Menyimak kedua Pasal

tersebut sebagai bagian dari sebuah Undang-Undang, memiliki posisi sebagai

regelend recht atau ketentuan hukum yang bersifat mengatur, ini terbuktikan

63
antara lain dari susunan redaksionalnya. 77 Maknanya ketentuan yang bersangkutan

pada dasarnya, dapat saja dikesampingkan oleh sejoli yang ingin kawin mana kala

aturan itu dirasa tidak sesuai dengan kehendaknya. Perihal sifat kemungkinan

akan dikesampingkannya ketentuan tentang harta kawin, dapat ditelisik dari

susunan redaksinya, juga dengan dihadirkannya lembaga perjanjian kawin.

Sebuah aturan atau Undang-Undang dapat dikesampingkan karena

berkedudukan sebagai regelend recht, itu wajib dilakukan dengan sepakat para

pihaknya. Sisi selanjutnya, pihak-pihak yang mengesampingkan tadi, atas dasar

sepakat pula harus membuat aturan penggantinya. Saat pasangan yang akan naik

pelaminan atas dasar sepakat mengesampingkan Pasal dalam Undang-Undang

yang mengatur harta kawin, dengan menggunakan sepakat pula mereka lalu

mengatur sendiri bagaimana komposisi harta mereka setelah kawin, logikanya,

kalau aturan harta kawin sudah dikemas oleh penguasa dalam suatu Pasal

Undang-Undang, selain itu ada juga ketentuan yang membuka kemungkinan dapat

dibuatnya perjanjian kawin dengan aturan hukum yang bersifat mengatur

(regelend recht) dalam hal ini para pihak dapat mengesampingkannya. Mengingat

yang dikesampingkan tersebut adalah yang mengatur harta kawin, otomatis

perjanjian kawin sebagai aturan perjanjian kawin sebagai aturan penggatinya

hanyalah seluk beluk harta kawin mereka saja.78

Undang-Undang perkawinan mengatur perjanjian kawin hanya dalam satu

Pasal saja. Berbeda dengan KUHPerdata menyodorkan banyak Pasal dalam

jumlah yang lumayan banyak, yakni kurang lebih ada 50 Pasal. Perbandingan ini
77
Moch. Isnaeni. 2016. Hukum Perkawinan di Indonesia. PT Rafika Aditama. Bandung. Hlm
82
78
Ibid. Hlm 83

64
benar-benar mencolok dan terkesan Undang-Undang perkawinan memberikan

kesempatan kepada calon mempelai untuk mengatur sendiri harta kawin mereka

nanti dengan keleluasan teramat longgar, dengan batas-batas tidak diperbolehkan

melanggar hukum, kesusilaan, dan agama. Rupanya dalam konteks membuat

perjanjian kawin, pembentukan Undang-Undang perkawinan, berani

menyelamatkan asas kebebasan berkontrak dalam ruang Hukum Keluarga

(Family Law) yang umumnya ketentuan-ketentuannya didominasi oleh hukum

yang bersifat memaksa (dwingend recht). Dengan menonjolkan asas kebebasan

berkontrak tersebut, menjadi tidak terlalu mustahil kalau kemudian Perjanjian

Kawin dirasa cukup diatur dengan satu Pasal saja. Menyangkut bagaimana isi

perjanjian perkawinan, secara leluasa calon mempelai diberi kebebasan untuk

mengatur sendiri dengan batasan tidak bertentangan dengan hukum, agama, dan

kesusilaan.

Pengaturan harta kawin yang dikemas dalam wujud regelend recht,

menyiratkan kesan bahwa pada dasarnya soal harta bukan merupakan poros utama

dari sebuah perkawinan, meski itu tetap diperlukan dalam rangka membekali

kehidupan rumah tangga. Undang-Undang perkawinan mengaturnya, namun

kalau para pihak tidak menginginkan untuk menurutinya, maka mereka sebelum

kawin dapat membuat perjanjian kawin yang disusun sesuai irama kehendak yang

diinginkan sejoli yang bersangkutan. Ada suatu kebebasan yang diberikan oleh

Undang-Undang kepada calon mempelai untuk menyimpang dari apa yang

ditentukan penguasa menyangkut susunan harta kawin. Mereka calon mempelai

diberi peluang untuk membuat aturan sendiri sesuai dengan kesepakatan tentang

65
bagaimana pola harta perkawinannya nanti. Kesempatan membuat aturan sendiri

seputar harta kawin yang diberikan oleh penguasa, dalam wujud membuat

perjanjian kawin tentunya kedua sejoli itu tidak menyia-nyiakan peluang tersebut,

sehingga dari kata sepakat akan dibuat secara rinci segala apa yang dikehendaki

itu dalam rakitan klausula yang jelas.

Pembuatan perjanjian kawin yang diserahkan isinya kepada calon

mempelai menjadi tidak tabu kalau keduanya mulai berhitung atas dasar untung

dan rugi sebagai suatu resiko yang perlu dibangun sejak dini. Modal kasih sayang

dua sejoli tidak akan tercemar dengan dibuatnya perjanjian kawin yang bernuansa

bisnis sekalipun, agar masing-masing pihak tak tertimpa kerugian yang potensial

dapat muncul dibelakang hari yang tak pernah diramal.79

Adanya kebebasan mengatur harta kawin dengan hadirnya ketentuan yang

boleh dibuatnya perjanjian kawin dan itu hanya semata wayang, memang ada

kalanya menyisakan kegelisahan akan kemungkinan munculnya banyak masalah.

Mungkinkah dengan modal satu Pasal saja akan dapat menepis banyak

permasalahan perjanjian kawin yang potensial akan muncul di permukaan

kehidupan sosial. Kegelisahan semacam ini memang layak mengemuka di dalam

banyak kalangan. Kiranya justru dalam Pasal 29 Undang-Undang perkawinan itu

sendiri terbangun sebuah pintu penyelamat yang dapat dipergunakan sebagai alat

menepis segala bentuk kegelisahan, yakni dengan merakit klausul-klausul

perjanjian kawin selengkap mungkin oleh para pihak.

Diberi kebebasan dalam membuat perjanjian kawin, kesempatan ini jangan

dilewatkan untuk menciptakan aturan yang lengkap dan komprehensif atau


79
Loc.Cit. Moch Isnaeni

66
dengan kebebasan itu pula, calon mempelai malah mendapatkan kesempatan

untuk meniru atau memakai bentuk-bentuk yang ada dalam KUHPerdata. Lebih

penting lagi, sekalian diantisipasi sejak dini bagaimana mengatur pembagian harta

kawin mereka nanti andai di belakang hari terjadi perceraian. Bila ini dilakukan

oleh calon mempelai saat menggarap perjanjian kawin, maka kerancuan

pengaturan Undang-Undang perkawinan tentang bagaimana cara membagi harta

perkawinan kalau terjadi perceraian, sedikit banyak akan dapat menghalau

ketidakpastian hukum yang disiratkan oleh Pasal 35 dan Pasal 37 Undang-Undang

perkawinan. Dari sinilah perlunya pemahaman komprehensif asas kebebasan

berkontrak untuk didaya gunakan para calon mempelai untuk memgemas

perjanjian kawin yang mereka buat.80

Undang-Undang perkawinan dan KUHPerdata sama-sama mengenal dan

mengatur lembaga perjanjian kawin, meski antara keduanya ada perbedaan-

perbedaan juga persamaan. Perihal perjanjian kawin, meski diatur mulai Pasal 139

KUHPerdata yang jumlahnya mengular sampai kurang lebih 50 Pasal. Dalam

Pasal 147 KUHPerdata ditegaskan bahwa pembuatan perjanjian kawin harus

dalam bentuk akta notaris. Selama perkawinan, maka perjanjian tersebut tidak

boleh diubah dengan alasan apapun (Pasal 149 KUHPerdata). Ditinjau dari segi

sistematikanya, pola dalam KUHPerdata harus diakui memang lebih baik

susunanya, begitu juga banyak model perjanjian kawin yang dicontohkan untuk

dimanfaatkan bagi calon mempelai. Ini jauh berbeda dengan Undang-Undang

perkawinan yang menyajikan norma tentang perjanjian kawin, hanya dalam satu

Pasal saja. Sayang letaknya pun tidak sistematis karena perjanjian kawin justru
80
Abdul Ghafur. 2011 Hukum Perkawinan Islam. UII Press Yogyakarta. Hlm 37

67
diatur lebih awal ketimbang ketentuan yang menangani harta kawin, padahal

mestinya kekecualian itu diatur setelah aturan pokok tersaji di bagian depan.

Berdasarkan Pasal 29 Undang-Undang perkawinan tidak harus dengan akta

otentik, cukup tertulis saja. Lebih penting untuk diperhatikan, perjanjian kawin

dalam Undang-Undang perkawinan dinyatakan bahwa selama perkawinan

berlangsung, dapat diubah dengan catatan tidak boleh merugikan pihak ketiga.

Jelas hal ini jauh berbeda dengan KUHPerdata yang melarang mengubah suatu

perjanjian kawin. Persamaan yang signifikan, bahwa baik dalam Undang-Undang

perkawinan ataupun KUHPerdata, perjanjian boleh dibuat sebelum perkawinan

dan disahkan pada saat berlangsungnya perkawinan. Juga saat mulai berlakunya

adalah sama, yakni sejak perkawinan terjadi, dan bukan pada waktu yang lain. 81

Berdasarkan penjelasan Pasal 29 Undang-Undang Perkawinan tersebut maka dapat

dilihat bahwa penjelasan Pasal tersebut lebuh menekankan kepada keadilan

terhadap subyek hukum, hal ini selaran dengan teori keadilan yang dikembangkan

oleh John Rawls, dimana Prinsip pertama yang dinyatakan sebagai prinsip

kebebasan yang sama (equal liberty principle), seperti kebebasan beragama

(freedom of religion), kemerdekaan berpolitik (political of liberty), kebebasan

berpendapat dan mengemukakan ekpresi (freedom of speech and expression),

sedangkan prinsip kedua dinyatakan sebagai prinsip perbedaan (difference

principle), yang menghipotesakan pada prinsip persamaan kesempatan (equal

oppotunity principle).

Lebih lanjut John Rawls menegaskan pandangannya terhadap keadilan

bahwa program penegakan keadilan yang berdimensi kerakyatan haruslah


81
Ibid. Hlm 40

68
memperhatikan dua prinsip keadilan, yaitu, pertama, memberi hak dan kesempatan

yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas seluas kebebasan yang sama bagi

setiap orang. Kedua, mampu mengatur kembali kesenjangan sosial ekonomi yang

terjadi sehingga dapat memberi keuntungan yang bersifat timbal balik.82

Dengan demikian, prinsip perbedaan menuntut diaturnya struktur dasar

masyarakat sedemikian rupa sehingga kesenjangan prospek mendapat hal-

halutama kesejahteraan, pendapatan, otoritas diperuntukkan bagi keuntungan

orang-orang yang paling kurang beruntung. Ini berarti keadilan sosial harus

diperjuangkan untuk dua hal: Pertama, melakukan koreksi dan perbaikan terhadap

kondisi ketimpangan yang dialami kaum lemah dengan menghadirkan institusi-

institusi sosial, ekonomi, dan politik yang memberdayakan. Kedua, setiap aturan

harus meposisikan diri sebagai pemandu untuk mengembangkan kebijakan-

kebijakan untuk mengoreksi ketidak-adilan yang dialami kaum lemah.

Hans Kelsen mengemukakan keadilan sebagai pertimbangan nilai yang

bersifat subjektif. Walaupun suatu tatanan yang adil yang beranggapan bahwa

suatu tatanan bukan kebahagian setiap perorangan, melainkan kebahagian

sebesar-besarnya bagi sebanyak mungkin individu dalam arti kelompok, yakni

terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan tertentu, yang oleh penguasa atau pembuat

hukum, dianggap sebagai kebutuhan-kebutuhan yang patut dipenuhi, seperti

kebutuhan sandang, pangan dan papan. Tetapi kebutuhan-kebutuhan manusia

yang manakah yang patut diutamakan. Hal ini dapat dijawab dengan

menggunakan pengetahuan rasional, yang merupakan sebuah pertimbangan


82
John Rawls, 2006. “A Theory of Justice, London: Oxford University press”, yang sudah
diterjemahkan dalam bahasa indonesia oleh Uzair Fauzan dan Heru Prasetyo, Teori
Keadilan, , Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Hlm. 90

69
nilai, ditentukan oleh faktor-faktor emosional dan oleh sebab itu bersifat

subjektif83

Pengembang lain teori keadilan adalah John Rawls, menyajikan tentang

konsep keadilan sosial. Keadilan sosial merupakan “Prinsip kebijaksanaan

rasional yang diterapkan pada konsep kesejahteraan agregatif (hasil

pengumpulan) kelompok”.84 Subyek utama keadilan sosial adalah struktur

masyarakat, atau lebih tepatnya, cara lembaga-lembaga sosial utama

mendistribusikan hak dan kewajiban fundamental serta menentukan pembagian

keuntungan dari kerja sama sosial.85

Ada dua tujuan dari teori keadilan menurut John Rawls, yaitu:86

1) Pertama, teori ini mau mengartikulasikan sederet prinsip-prinsip

umum keadilan yang mendasari dan menerangkan berbagai

keputusan moral yang sungguh-sungguh dipertimbangkan dalam

keadaan-keadaan khusus kita. Maksud dari “keputusan moral”

adalah sederet evaluasi moral yang telah kita buat dan sekiranya

menyebabkan tindakan sosial kita. Keputusan moral yang sungguh

dipertimbangkan menunjuk pada evaluasi moral yang kita buat

secara refleksif.

2) Kedua, Rawls mau mengembangkan suatu teori keadilan sosial yang

lebih unggul atas teori utilitarianisme. Rawls memaksudkannya


83
Sudikno Mertokusumo. 2012. Teori Hukum,ctk Keenam, edisi revisi, Cahaya Atma
Pustaka, Yogyakarta. Hlm. 78
84
Uzair Fauzan&Heru Prasetyo 2012. Teori keadilan Dasar-dasar Filsafat Politik Hukum
Mewujudkan Kesejahteraan Sosial dalam Negara, ctk Kedua, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Hlm.12
85
Hans Kelsen 2011. General Theory of Law and State, diterjemahkan oleh Rasisul
Muttaqien, Nusa Media, Bandung Hlm. 7
86
Ibid. Hlm 10

70
“rata-rata” (average utilitarianisme). Maksudnya adalah bahwa

institusi sosial dikatakan adil jika diabdikan untuk memaksimalisasi

keuntungan dan kegunaan. Sedang utilitarianisme rata-rata memuat

pandangan bahwa institusi sosial dikatakan adil jika hanya

diandaikan untuk memaksimalisasi keuntungan per kapita. Untuk

kedua versi utilitarianisme tersebut “keuntungan” didefinisikan

sebagai kepuasan atau keuntungan yang terjadi melalui pilihan-

pilihan. Rawls mengatakan bahwa dasar kebenaran teorinya

membuat pandangannya lebih unggul dibanding kedua versi

utilitarianisme tersebut. Prinsip-prinsip keadilan yang ia kemukakan

lebih unggul dalam menjelaskan keputusan moral etis atas keadilan

sosial.

Lebih lanjut John Rawls menegaskan bahwa program penegakan keadilan

yang berdimensi kerakyatan haruslah memerhatikan dua prinsip keadilan, yaitu :87

pertama, memberi hak dan kesempatan yang sama atas kebebasan dasar yang

paling luas seluas kebebasan yang sama bagi setiap orang. Kedua, mampu

mengatur kembali kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi sehingga dapat

memberi keuntungan yang bersifat timbal balik (reciprocal benefits) bagi setiap

orang, baik mereka yang berasal dari kelompok beruntung maupun tidak

beruntung.

Teori ini digunakan untuk menjawab rumusan masalah satu yaitu untuk

mencari keadilan yang seadil-adilnya terhadap pertanggungjawaban yang

Damanhuri Fattah,”Teori Keadilan Menurut John Rawls”, Jurnal TAPIs,Vol.9 No.2, Juli-
87

Desember,2013,hlm.32-33

71
dibebankan kepada notaris yang telah melakukan perbuatan melawan hukum

dalam pembuatan akta otentik khususnya perbuatan notaris yang telah dijatuhi

putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap.

Diharapkan teori ini dapat memberikan rasa adil dalam hal pertanggungjawaban

notaris terhadap perbuatannya yang melawan hukum khususnya bagi para pihak

yang dirugikan oleh notaris atau bagi notaris itu sendiri dan pada umumnya bagi

masyarakat yang akan menggunakan jasa notaris, sehingga kepercayaan

masyarakat terhadap seorang notaris akan semakin besar dan membuat

masyarakat merasa aman apabila menggunakan jasa seorang notaris.

Berdasarkan teori keadilan ini maka dapat dilihat bahwa dalam pembuatan

akta perjanjian kawin yang dibuat oleh para pihak maka, dimana pihak yang

membuat akta perjanjian kawin dan yang pihak yang menerbitkan akta perjanjian

kawin dapat mempertanggungjawabkan perbuatan yang dibuatnya. Menurut

Andres Heatubun88 pembuatan perjanjian kawin dihadapan notaris melakukan

perjanjian kawin dimana maksud dari perjanjian kawin tersebut menjelaskan

tentang harta masing-masing pihak, yang mana dalam KUHPerdata pada Pasal . . .

..

Pada hakikatnya sebuah perjanjian kawin dibuat oleh calon mempelai

dalam rangka menyimpangi aturan Undang-Undang yang menangani harta

perkawinan yang telah dibuat oleh penguasa. Mengesampingkan suatu Pasal

dalam sebuah Undang-Undang bukanlah tabu, sepanjang aturan tersebut berposisi

sebagai regelend recht atau ketentuan Undang-Undang yang bersifat mengatur,

dengan syarat bahwa itu didasarkan kepada kesepakatan para pihak. Sebagai
88
Hasil Wawancara Dengan Responden Pada Tanggal 25 April 2019

72
kelanjutannya, mereka harus merakit aturan penggantinya lewat pembuatan

perjanjian yang sudah barang tentu didasarkan pada kesepakatan pula. Kendati

hanya berupa perjanjian yang hanya fungsinya menggantikan ketentuan Undang-

Undang yang sudah dikesampingkan, ternyata sepanjang perjanjian yang

bersangkutan sah akan memiliki kekuatan mengikat sama dengan Undang-Undang

bagi para pihaknya. Ini berarti meski sekedar perjanjian, ternyata memiliki nilai

yang ekuivalen dengan Undang-Undang. Demikian penegasan yang dinyatakan

oleh Pasal 1338 KUHPerdata.89

Oleh sebab itu, kalau mereka yang akan kawin sepakat menyimpangi Pasal

35 Undang-Undang perkawinan90 lalu membuat perjanjian kawin, maka seluk-

beluk harta perkawinan pasangan yang bersangkutan, normanya akan dikuasai

oleh klausul-klausul perjanjian kawin yang telah dibuatnya, bukan lagi tunduk

pada Pasal 35 Undang-Undang perkawinan. Mengingat yang disimpangi itu

adalah ketentuan yang mengatur harta perkawinan, maka isi perjanjian kawin pada

hakikatnya adalah mengatur bidang harta perkawinan saja, bukan hal-hal lain

yang tidak ada sangkut pautnya dengan masalah harta kawin. Kendati perjanjian

kawin dalam Undang-Undang perkawinan hanya ada satu Pasal saja.

Sesungguhnya hal ini tidak perlu mendatangkan keriasauan yang menyesakkan.

Justru secara tersirat, pembentuk Undang-Undang memberikan beban kepada

89
M. Anshary. 2015. Hukum Perkawinan Indonesia. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Hlm 73
90
Dalam penjelasan pasal ini dimana pasal tersebut menjelaskan bahwa penjelasannya:
Apabila perkawinan putus, maka harta bersama tersebut diatur menurut hukumnya masing-
masing. Dari peraturan ini kita akan memperoleh pengertian bahwa dalam perkawinan
dikenal dua macam kategori harta yaitu harta bawaan (Pasal 35 ayat 2) misalnya;
pemberian, warisan. Dan harta bersama (Pasal 35 ayat 1) yaitu harta yang diperoleh selama
perkawinan berlangsung. Terhadap harta bawaan, Undang-Undang Perkawinan No.1 tahun
1974 mengatakan bahwa masing-masing pihak mempunyai hak dan untuk mengaturnya
sendiri-sendiri. Karna itu harta bawaan tidak dimasukan ke dalam harta bersama dalam
perkawinan.

73
calon mempelai untuk mengatur harta kawin mereka sesuai yang diinginkan.

Namun tetap dalam koridor yang tidak melanggar batas-batas hukum, kesusilaan,

dan agama. Selagi diberi kebebasan seperti itu, diharapkan calon mempelai akan

merakit klausul perjanjian kawin mereka dengan cermat, rinci, tepat, dan akurat.

Bahkan akan lebih baik kalau sejak dini diantisispasi, andai nanti terjadi

perceraian, sekalian diatur bagaimana membagi harta perkawinan mereka. Lewat

cara ini pasangan tersebut benar-benar mengalami cerai, tidak akan kerepotan

tentang berapa banyak masing-masing akan mememperoleh bagian dari harta

kawin yang dimiliki. Cara ini akan menghindarkan mereka dari keruwetan aturan

yang ada dalam Pasal 37 Undang-Undang perkawinan.

Untuk masa kini perjanjian kawin belum membudaya bagi keseluruhan

warga negara Indonesia, namun sudah ada gejala beberapa kalangan yang sejak

awal mulai berhitung serta mengantisipasi munculnya resiko yang potensial dapat

menimpa kehidupan sebuah rumah tangga, lalu mempersiapkan pelindung

preventif berupa pembuatan perjanjian kawin sedikit menyimpang, karena tidak

melulu berisi tentang seluk-beluk harta kawin, tetapi yang tidak ada sangkut

pautnya dengan soal harta, dan juga pembuatan perjanjian perkawinan dibuat agar

para pihak dapat dilindungi oleh hukum, diamana menurut Satjito Rahartjo

perlindungan hukum adalah :“Memberikan pengayoman terhadap hak asasi

manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu diberikan kepada

masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum.” 91

Sedangkan menurut Theresia Geme mengartikan perlindungan hukum sebagai

berikut: “Berkaitan dengan tindakan negara untuk melakukan sesuatu dengan


91
Satjipto Rahartjo. 2000. Ilmu Hukum. PT Citra Aditya Bakti. Bandung. Hlm 54

74
memberlakukan hukum negara secara eksklusif dengan tujuan untuk memberikan

jaminan kepastian hak-hak seseorang atau kelompok orang.”

4.1.2. Konsep Tanggung jawab Hukum Notaris

Tanggung jawab notaris bila dilihat dari Undang-Undang Nomor 30

Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris adalah sangat erat kaitannya dengan tugas

dan pekerjaan notaris. Dikatakan demikian oleh karena selain untuk membuat

akta otentik, notaris juga ditugaskan dan bertanggung jawab untuk melakukan

pendaftaran dan mensahkan (waarmerken dan legalisasi) surat-surat/akta-akta

yang dibuat di bawah tangan.

Van Hamel menyatakan kemampuan bertanggungjawab adalah suatu

keadaan normalitas psikis dan kematangan (kecerdasan) yang membawa tiga

kemampuan, yakni:

1) Mampu untuk mengerti nilai dari akibat perbuatan sendiri.

2) Mampu untuk menyadari bahwa perbuatannya itu menurut pandangan

masyarakat tidak diperbolehkan.

3) Mampu untuk menentukan kehendaknya atas perbuatan-perbuatannya

itu.92

Seseorang dikatakan mampu bertanggungjawab (toerekenningsvatbar)

apabila pada umumnya:

1) Keadaan jiwanya:

a. Tidak terganggu oleh penyakit terus menerus atau sementara

(temporair);

92
Edi Yunara. 2012. Korupsi dan Pertanggungjawaban Pidana Korupsi, Citra Aditya,
Bandung. Hlm 54

75
b. Tidak cacat dalam pertumbuhan (gagu, idiot, imbicile, dan

sebagainya) serta;

c. Tidak terganggu karena terkejut, hipnotis, amarah yang meluap,

pengaruh bawah sadar/reflexe beweging, melindur, mengingau

karena demam, ngidam dan sebagainya. Dengan perkataan lain, dia

dalam keadaan sadar.93

2) Kemampuan jiwanya:

a. Dapat menginsafi hakikat perbuatannya;

b. Dapat menentukan kehendak atas tindakan tersebut, apakah akan

dilaksanakan atau tidak.

Pertanggungjawaban harus mempunyai dasar, yaitu hal yang

menyebabkan timbulnya hak hukum bagi seseorang untuk menuntut kepada orang

lain sekaligus berupa hal yang dapat melahirkan kewajiban hukum orang lain

untuk memberi pertanggungjawabannya.94 Dasar dalam memenuhi

pertanggungjawaban adalah adanya perbuatan kesalahan yang dilakukan orang

lain, sehingga pertanggungjawaban adalah adanya perbuatan kesalahan yang

dilakukan orang lain, sehingga pertanggungjawaban tidak akan terjadi tanpa

diikuti oleh perbuatan. Pertanggungjawaban notaris sebagai pejabat umum

meliputi bidang hukum privat, hukum pajak, dan hukum pidana. Ada

kemungkinan bahwa pertanggungjawaban disatu bidang hukum tidak menyangkut

bidang hukum yang lain. Sebaliknya, tindakan yang menimbulkan tuntutan

berdasarkan perbuatan melawan hukum (Pasal 1365 KUHPerdata) dapat


93
Ibid. Hlm 55
94
Liliana Tedjosaputro. 1994. Etika Profesi Notaris dalam Penegakan Hukum Pidana, PT.
Bayu Indra Grafika, Yogyakarta. Hlm 4

76
menimbulkan pengambilan tindakan dibidang hukum pidana.

Pertanggungjawaban notaris terutama terletak dibidang hukum privat.

Sebagai pejabat, batasan wewenang adalah ketika masih menjadi pejabat

sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Demikian juga

dengan notaris dalam menjalankan tugas dan jabatannya dibatasi oleh umur,

sehingga notaris memiliki batas waktu dalam menjalankan tugas jabatannya. Hal

ini sesuai dengan Pasal 8 UUJN ayat (1) huruf b, bahwa notaris berhenti atau

diberhentikan dari jabatannya dengan hormat karena telah berumur 65 tahun.

Selanjutnya Pasal 8 UUJN ayat (2) menyatakan bahwa ketentuan umur

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dapat diperpanjang sampai berumur

67 tahun dengan mempertimbangkan kesehatan yang bersangkutan.

Namun demikian sesuai dengan ketentuan batas waktu dalam menjalankan

tugas jabatannya, tidak dijelaskan mengenai batas waktu pertanggungjawaban

werda notaris terhadap akta yang dibuatnya. Bahkan Pasal 65 UUJN menentukan

bahwa: Notaris, notaris pengganti, notaris pengganti khusus, dan pejabat

sementara notaris bertanggungjawab atas setiap akta yang dibuatnya meskipun

protokol notaris telah diserahkan dan dipindahkan kepada pihak penyimpan

protokol notaris.

Memperhatikan ketentuan Pasal 65 UUJN tersebut, maka werda notaris

tetap bertanggungjawab terhadap akta yang dibuatnya. Oleh karena itu, terdapat

kerancuan mengenai batas pertanggungjawaban notaris berdasarkan pada Pasal 65

UUJN yakni meskipun semua akta yang dibuat oleh notaris telah diserahkan atau

dipindahkan kepada pihak penyimpan protokol notaris, walaupun sudah berhenti

77
atau tidak menjabat lagi sebagai notaris masih harus bertanggung jawab selama

hidupnya.95

Apabila dikaitkan dengan teori tanggung jawab, bahwa

pertanggungjawaban yang dilakukan oleh notaris merupakan akibat pelaksanaan

tugas dan jabatannya. Oleh karena itu, tanggung jawab yang digunakan dalam

UUJN adalah tanggung jawab berdasarkan kesalahan. Perbuatan yang dilakukan

oleh notaris dapat dimintakan pertanggungjawaban atas pelanggaran yang

dilakukannya karena sengaja melakukan perbuatan tersebut dan menimbulkan

kerugian bagi para pihak.

Secara umum prinsip-prinsip tanggung jawab dalam hukum dapat

dibedakan, yaitu:

1. Prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan (liability based on

fault), yaitu prinsip yang menyatakan bahwa seseorang baru dapat

dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum jika ada unsur

kesalahan yang dilakukannya.

2. Prinsip praduga untuk selalu bertanggungjawab (presumption

ofliability), yaitu prinsip yang menyatakan tergugat selalu dianggap

bertanggungjawab sampai ia dapat membuktikan, bahwa ia tidak

bersalah, jadi beban pembuktian ada pada tergugat.

3. Prinsip praduga untuk tidak selalu bertanggungjawab (presumption

ofnonliability), yaitu prinsip ini merupakan kebalikan dari prinsip

pradugauntuk selalu bertanggungjawab, dimana tergugat selalu

95
Habib Adjie. 2009. Hukum Notaris Indonesia . Bandung: Refika Aditama. Hlm. 53

78
dianggap tidak bertanggungjawab sampai dibuktikan, bahwa ia

bersalah.

4. Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability), dalam prinsip ini

menetapkan kesalahan tidak sebagai faktor yang menentukan, namun

ada pengecualian-pengecualian yang memungkinkan untuk

dibebaskan dari tanggung jawab, misalnya keadaan force majeur.

5. Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan (limitation of liability),

dengan adanya prinsip tanggung jawab ini, pelaku usaha tidak boleh

secara sepihak menentukan klausula yang merugikan konsumen,

termasuk membatasi maksimal tanggung jawabnya. Jika ada

pembatasan, maka harus berdasarkan pada perundang-undangan yang

berlaku.96

Ketentuan pada Pasal 65 UUJN yang tidak menjelaskan batasan waktu

pertanggungjawaban notaris yang telah berhenti menjabat menimbulkan implikasi

hukum yang tidak jelas dalam menjelaskan batasan waktu pertanggungjawaban

werda notaris terhadap akta yang pernah dibuat. Akibatnya, werda notaris tetap

dimintai pertanggungjawaban terkait akta yang dibuatnya. Dikaitkan dengan

permasalahan terkait batasan waktu pertanggungjawaban werda notaris terhadap

akta yang pernah dibuat, bahwa apabila notaris telah meninggal dan akta yang

dibuat oleh notaris tersebut menimbulkan sengketa yang akhirnya notaris harus

bertanggung jawab atas akta tersebut.

96
Shidarta. 2000. Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia. Jakarta: PT. Grasindo. Hlm. 58

79
Menurut Agri Fermentia Nugraha,97 batasan waktu yang ideal terkait

pertanggungjawaban werda notaris yakni sebagai berikut:

1. Didasarkan pada Ketentuan Daluwarsa.

a) Terkait tanggung jawab perdata dapat didasarkan pada Pasal 1967

KUHPerdata bahwa segala tuntutan hukum hapus dengan lewatnya

waktu 30 (tiga puluh) tahun. Dikaitkan dengan

pertanggungjawaban werda notaris (setelah berumur 65 tahun)

maka notaris tidak bertanggung jawab ketika sudah berumur 95

tahun, yaitu umur berhenti menjabat (65 tahun) ditambah dengan

lewatnya waktu berdasarkan Pasal 1967 KUHPerdata yakni 30

tahun.

b) Terkait tanggung jawab pidana dapat didasarkan pada Pasal 78

ayat (1) angka 3 KUH Pidana, bahwa kewenangan menuntut

pidana hapus setelah 12 (dua belas) tahun dengan ancaman

pidana penjara lebih dari 3 tahun. Notaris tidak dapat dimintai

pertanggungjawaban ketika berumur 77 (tujuh puluh tujuh) tahun.

Hal ini dikarenakan Pasal yang digunakan untuk menuntut notaris

adalah Pasal 263, dan Pasal 264 KUH Pidana yang dapat dipidana

penjara selama-lamanya 6 tahun. Maka berdasarkan penambahan

tersebut notaris tidak dapat dimintai pertanggungjawaban setelah

berumur 77 tahun.

97
Agri Fermentia Nugraha, “Pertanggungjawaban Notaris yang Berhenti dengan
Hormat(Setelah Berumur 65 Tahun) Terhadap Akta yang Dibuat (Analisis Pasal 65
Undang-undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris)”, (Naskah Publikasi
Jurnal. Program Studi Magister Kenotariatan, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya,
Malang, 2013). Diakses Pada Tanggal 25 Juli 2018

80
2. Pertanggungjawaban notaris adalah sampai seumur hidup. Hasil

penelitian Agri Fermentia Nugraha menunjukkan ada narasumber

menyatakan bahwa ketentuan mengenai Pasal 65 UUJN sudah jelas

terkait batas waktu pertanggungjawaban notaris karena

pertanggungjawaban notaris ialah sampai notaris tersebut meninggal.

Walaupun di Pasal 65 UUJN tidak menunjukkan batas waktu

pertanggungjawaban, notaris harus tetap bertanggung jawab sampai

meninggal terhadap akta yang pernah dibuatnya.98

3. Pertanggungjawaban notaris hanya pada saat masih mengemban

jabatannya. Werda notaris tidak harus bertanggung jawab terhadap akta

yang dibuat. Hal ini didasarkan pada teori tanggung jawab jabatan, bahwa

seseorang harus bertanggung jawab terhadap kesalahannya yang

dilakukan terkait kewenangannya. Sehingga seseorang harus bertanggung

jawab atas kesalahannya ketika orang tersebut masih menjabat. Namun

ketika orang tersebut sudah tidak menjabat lagi, maka orang tersebut tidak

harus bertanggung jawab terkait jabatannya yang pernah dipangkunya.

Dengan demikian, berdasarkan uraian tersebut di atas, maka perlu

kejelasan dalam UUJN tentang batas waktu pertanggungjawaban notaris terhadap

akta yang dibuatnya. Hal ini perlu untuk memperoleh kepastian hukum bagi

werda notaris. Sesuai dengan kewenangan jabatan, maka selayaknya batas

pertanggungjawaban notaris terhadap akta yang dibuatnya adalah pada saat

menjabat sebagai notaris, karena akta yang dibuatnya adalah berdasarkan

98
Abdulkadir Muhammad. 2010. Hukum Perusahaan Indonesia. Bandung: Citra Aditya
Bakti. Hlm. 503

81
kewenangan jabatan. Setelah notaris habis masa jabatannya (werda), maka notaris

tidak lagi dapat diminta pertanggungjawabannya terhadap akta yang dibuatnya.

Menurut Abdulkadir Muhammad menyatakan bahwa dalam teori tanggung

jawab dalam perbuatan melanggar hukum (tort liability) dibagi menjadi beberapa

teori, diantaranya:

1. Tanggung jawab akibat perbuatan melanggar hukum yang dilakukan

dengan sengaja (intertional tort liability), tergugat harus sudah

melakukan perbuatan sedemikian rupa sehingga merugikan penggugat

atau mengetahui bahwa apa yang dilakukan tergugat akan

mengakibatkan kerugian.

2. Tanggung jawab akibat perbuatan melanggar hukum yang dilakukan

karena kelalaian (negligence tort lilability), didasarkan pada konsep

kesalahan (concept of fault) yang berkaitan dengan moral dan hukum

yang sudah bercampur baur (interminglend).

3. Tanggung jawab mutlak akibat perbuatan melanggar hukum tanpa

mempersoalkan kesalahan (stirck liability), hal ini didasarkan pada

perbuatannya baik secara sengaja maupun tidak sengaja, artinya

meskipun bukan kesalahannya tetap harus bertanggungjawab atas

kerugian yang timbul akibat perbuatannya.99

Berdasarkan UUJN diatur bahwa ketika notaris dalam menjalankan

jabatannya terbukti melakukan pelanggaran, maka notaris harus

bertanggungjawab dengan cara dikenakan sanksi atau dijatuhi sanksi berupa

99
Habib Adjie. 2009. Sanksi Perdata dan Administratif Terhadap Notaris sebagai Pejabat
Publik , Bandung: Refika Aditama. Hlm 120

82
sanksi perdata, sanksi administrasi, sanksi pidana, kode etik jabatan notaris atau

kombinasi saksi.sanksi-sanksi tersebut sudah di atur sedemikian rupa, sebelumnya

diatur dalam Peraturan Jabatan Notaris (PJN) maupun sekarang UUJN dan kode

etik jabatan notaris. Dalam praktik ditemukan kenyataan, bahwa suatu tindakan

hukum atau pelanggaran yang dilakukan oleh notaris sebenarnya dapat dijatuhi

sanksi administrasi atau perdata atau kode etik jabatan, tetapi kemudian ditarik

atau dikualifikasikan sebagai suatu tindak pidana yang dilakukan oleh notaris.100

Dengan demikian, notaris sebagai pejabat publik harus bertanggungjawab

terhadap akta yang diperbuatnya, baik itu pertanggungjawaban secara

administratif, pertanggungjawaban perdata jika terbukti di dalam akta notaris

terdapat tindak pidana yang dilanggar. Syarat pertama untuk menindak suatu

perbuatan yang tercela, yaitu adanya suatu ketentuan dalam Undang-Undang yang

merumuskan perbuatan yang tercela itu memberikan sanksi terhadapnya. Undang-

Undang dalam arti materil berarti peraturan yang dibuat oleh badan pemerintah

yang berwenang, yang berlaku umum dan mengikat penduduk. Sedangkan

Undang-Undang dalam arti formil berarti Undang-Undang yang dibuat

berdasarkan cara yang telah ditentukan dalam Undang-Undang dalam arti

formal.101

Pada hakikatnya segala perbuatan yang dilakukan oleh individu, baik yang

sengaja maupun tidak disengaja pada akhirnya harus dimintakan tanggung jawab

terlebih lagi apabila perbuatan tersebut berkaitan dengan suatu jabatan atau

100
M. Luthfan Hadi Darus. 2017. Hukum Notariat dan Tanggungjawab Jabatan Notaris.
Yogyakarta: UII Press. Hlm. 52
101
Pasal 1365 KUHPerdata menyebutkan bahwa tiap perbuatan yang melanggar hukum, yang
membawa kerugian pada oranglain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan
kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.

83
profesi. Tanggung jawab merupakan suatu prinsip profesionalisme yang

merupakan wujud dari sebuah komitmen yang harus dimiliki oleh notaris terhadap

pelaksanaan jabatannya sebagaimana yang telah diatur dalam UUJN.

Perbuatan melanggar hukum dan kesalahan, masing-masing merupakan

syarat yang perlu dan secara bersama-sama merupakan syarat yang cukup untuk

adanya tanggung jawab berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata. Dalam doktrin yang

ada mengenai tanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan terhadap orang lain

dapat dibedakan dalam tiga teori, yaitu:

a. Tanggung jawab kesalahan (sculd aansprakelijkheid), kesalahan disini

diberi makna yang luas yang juga mencakup sifat melanggar

hukumnya perbuatan, orang yang menimbulkan kerugian pada orang

lain bertanggung jawab sejauh kerugian itu merupakan akibat

pelanggaran suatu norma dan pelakunya dapat menyesali karena

melanggar norma tersebut.

b. Teori tanggung jawab dengan pembalikan pembuktian pihak yang

dirugikan wajib membuktikanbahwa pelaku telah melakukan tindakan

melanggar hukum, maka disini pelanggaran norma dianggap ada dan

selanjutnya mewajibkan pelaku meniadakan anggapan atau

persangkaan ini menunjukkan bahwa ia tidak berbuat melanggar

hukum.

84
c. Teori tanggung jawab resiko seorang atasan bertanggung jawab atas

kerugian yang dilakukan oleh perbuatan melanggar hukum oleh

bawahannya yang dilakukan dalam ruang lingkup tugasnya.102

Jabatan merupakan suatu bidang pekerjaan yang sengaja dibuat oleh aturan

hukum, untuk keperluan dan fungsi tertentu serta bersifat berkesinambungan

sebagai suatu lingkungan pekerjaan tetap, yang merupakan subjek hukum yaitu

pendukung hak dan kewajiban. Agar suatu jabatan dapat berjalan maka jabatan

tersebut disanding oleh subjek hukum. Sistem hukum di Indonesia bersumber

pada falsafah pancasila. Hans Kelsen dalam teorinya menjelaskan hukum murni

tentang hukum menyatakan bahwa hukum harus bersumber pada hukum yang

kedudukannya lebih tinggi.

Tanggung jawab yang dimiliki oleh notaris menganut prinsip tanggung

jawab berdasarkan kesalahan (based on fault of liability). Prinsip tanggung jawab

berdasarkan kesalahan harus memenuhi empat unsur pokok, yaitu:

a. adanya perbuatan

b. adanya unsur kesalahan

c. adanya kerugian yang diderita

d. adanya hubungan kausalitas antara kesalahan dan kerugian.103

Kesalahan di atas merupakan unsur yang bertentangan dengan hukum.

Tanggung jawab seorang notaris timbul apabila adanya kesalahan yang dilakukan

dalam pelaksanaan tugas jabatannya dan kesalahan tersebut menimbulkan kerugian

bagi orang yang meminta jasa pelayanan notaris tersebut. Perbuatan melanggar
102
R. Wirjono Prodjodikiro. 2000.Perbuatan Melanggar Hukum dipandang dari sudut Hukum
Perdata. Bandung: Mandar Maju. Hlm. 6
103
Abdul ghofur anshori. 2016. Lembaga Kenotariatan Indonesia, Perspektif Hukum dan
Etika, Yogyakarta: UII Press. Hlm 34

85
hukum oleh notaris, tidak hanya perbuatan yang langsung melanggar hukum,

melainkan juga perbuatan yang secara langsung melanggar peraturan lain, yaitu

peraturan yang berada dalam ruang lingkup kesusilaan, keagamaan, dan sopan santun

10
dalam masyarakat. Tanggung jawab notaris terjadi dalam hubungannya dalam

pelaksanaan tugas dan kewajiban yang dibebankan kepada notaris berdasar

wewenang yang diberikan oleh hukum. Tanggung jawab notaris timbul karena

adanya kesalahan yang dilakukan notaris dalam melaksanakan tugas jabatannya,

sehingga dari kesalahan tersebut timbul kerugian bagi pihak yang meminta jasa

pelayanan notaris.

Konstruksi yuridis yang digunakan dalam tanggung jawab perdata

terhadap kebenaran materiil terhadap akta yang dibuat oleh notaris adalah

konstruksi perbuatan melawan hukum. Konstruksi yuridis mengenai perbuatan

melawan hukum ini memang memiliki jangkauan yang begitu luas sehingga

memungkinkan untuk menjangkau perbuatan apapun asalkan merugikan pihak

lain dan kerugian tersebut memiliki hubungan kausalitas dengan perbuatan

apapun tersebut. Perbuatan melawan hukum memiliki sifat aktif maupun pasif.

Aktif dalam artian melakukan suatu perbuatan yang menimbulkan kerugian pada

pihak lain, jadi sengaja melakukan gerakan, maka dengan demikian perbuatan

melawan hukum merupakan suatu perbuatan yang aktif. Kecuali itu perbuatan

melawan hukum juga dapat bersifat pasif. Perbuatan melawan hukum bersifat

pasif artinya tidak melakukan perbuatan namun sesungguhnya perbuatan tersebut

merupakan kewajiban baginya atau dengan tidak melakukan suatu perbuatan

tertentu (suatu yang merupakan keharusan), maka pihak lain dapat menderita

86
suatu kerugian. Unsur dari perbuatan melawan hukum ini meliputi adanya suatu

perbuatan melawna hukum, adanya kesalahan dan adanya kerugian yang

ditimbulkan. Sebagiamana perkembangan lembaga perbuatan melawan hukum

kontemporer, maka apa yang dimaksud dengan perbuatan melawan hukum dalam

arti luas. Arti luasnya perbuatan melawan hukum ini adalah tidak semata

melanggar Undang-Undang untuk dapat dikatakan sebagai melanggar hukum,

namun dapat juga karena melanggar kepatutan, kesusilaan atau hak orang lain

sehingga menimbulkan kerugian.

4.1.3. Tanggung Jawab Notaris Terhadap Akta Perjanjian Kawin Yang

Dibuatnya

Kewajiban notaris adalah kewajiban jabatan, karena secara hukum

mewajibkan notaris untuk memberikan bantuan terhadap setiap orang yang

memerlukan jasa kepadanya tanpa membedakan latar belakang ras, suku bangsa,

warna kulit, agama, budaya, sosial ekonomi, kaya atau miskin, keyakinan politik,

gender, serta ideologi. Kewajiban notaris tersebut berkaitan dengan hukum privat,

terutama untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian atau

penetapan yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang

berkepentingan dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik. Disisi

lain, kewenangan notaris juga dalam lapangan hukum publik hal ini sesuai dengan

status dan kedudukannya sebagai pejabat umum. Sebagai pejabat umum, maka

akta yang dibuat notaris adalah otentik yang mempunyai kekuatan pembuktian

sempurna. Sebagai suatu akta yang otentik, biasa dalam perjanjian perkawinan

disebutkan di dalamnya jam saat dibuatnya akta, yaitu pada waktu mana akta itu

87
diresmikan. Hal ini dimaksudkan agar ternyata dengan jelas bahwa akta itu dibuat

sebelum perkawinan dilangsungkan.104

Sebagai notaris tidak diperbolehkan menolak untuk memberikan bantuan,

termasuk jika kepadanya dimintakan untuk membuat perjanjian semacam

perjanjian kawin sebagaimana ketentuan yang tercantum dalam Bagian Kedua,

Pasal 16 ayat (1) huruf d UUJN. Perjanjian kawin termasuk bagian dari perikatan,

dengan demikian tunduk pada Pasal 1320 KUHPerdata, dan notaris yang akan

membuat akta perjanjian kawin haruslah memperhatikan syarat-syarat sahnya

perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Perlu pula ditegaskan

disini, bahwasannya perjanjian kawin merupakan akta yang dibuat dihadapan (ten

overstaan) notaris atau merupakan akta partij, dimana notaris hanya memasukkan

ke dalam akta perjanjian kawin tersebut hal-hal apa saja yang dikehendaki para

pihak untuk dituangkan ke dalam akta perjanjian kawin tersebut. Dalam hal ini,

notaris bertanggungjawab terhadap formalitas dari akta tersebut, sedangkan

tanggung jawab berkaitan dengan isi akta adalah pada para pihak yang

bersangkutan. Pasal 147 KUHPerdata ayat (1), perjanjian kawin harus dibuat

dengan akta notaris, hal ini bertujuan untuk melindungi kepentingan para pihak

dan juga pihak ketiga, dengan dibuatnya perjanjian tersebut dengan akta notaris,

maka kepentingan pihak ketiga akan terlindungi, walaupun hal tersebut berbeda

dengan apa yang ditentukan dalam Undang-Undang perkawinan. Dimana dalam

Pasal 29 ayat 1 menentukan perjanjian kawin dibuat secara tertulis atas

persetujuan bersama kedua belah pihak yang akan melangsungkan perkawinan.

104
Soebekti. 2001. Hukum Perjanjian. Jakarta: PT. Intermasa. Hlm 27

88
Hal ini dalam Undang-Undang perkawinan, perjanjian kawin dapat juga dibuat

dibawah tangan.105

Dalam membuat perjanjian kawin dibutuhkan suatu keahlian khusus, yaitu

orang yang membuat perjanjian kawin harus orang yang benar-benar paham akan

hukum harta perkawinan dan dapat merumuskan semua beding atau syarat-syarat

di dalam akta dengan hati-hati dan teliti sekali. Hal ini berkaitan dengan ketentuan

bahwa bentuk harta perkawinan dalam keluarga menurut KUHPerdata harus tetap

sepanjang perkawinan sersebut. Konsekuensinya adalah bahwa suatu kekeliruan

dalam merumuskan beding dalam perjanjian kawin, tidak dapat diperbaiki lagi

sepanjang perkawinan.106 Akta perjanjian kawin yang dibuat dengan akta notaris

dimaksudkan agar terdapat kepastian hukum terutama masalah hak dan kewajiban

suami isteri atas kekayaan mereka, disamping itu juga bertujuan untuk melindungi

pihak-pihak lain yang berkepentingan dengan adanya perjanjian kawin tersebut.

Kerap kali dengan ketidaktahuan pasangan suami isteri pada saat rumah mereka

dalam masalah seperti menghadapi perceraian, mereka datang menghadap notaris

untuk dibuatkan akta pembagian harta kekayaan, mereka menganggap itu sebagai

perjanjian kawin.

Menghadapi komparan yang demikian, disinilah dituntut peran dan

tanggung jawab notaris dalam membuat akta perjanjian, dimana setiap orang boleh

membuat perjanjian apa saja sepanjang memenuhi syarat-syarat Pasal 1320

KUHPerdata dan tidak dilarang, notaris tidak boleh menolak membuat akta yang

diminta kliennya. Dalam hal membuat perjanjian kawin, tanggung jawab notaris
105
Ibid. Hlm 30
106
GHS. Lumbun Tobing. 1983. Peraturan Jabatan Notaris, Cet. ke 3. Jakarta. Erlangga. Hlm
187

89
terbatas hanya pada formalitas akta yang dibuatnya, karena sebagai akta partij,

para pihaklah yang bertanggung jawab atas isi dan maksud daripada akta

perjanjian tersebut, sedangkan notaris sebagai pejabat umum hanya berwenang

menuangkan ke dalam aktanya atas apa yang menjadi kehendak dan kesepakatan

mereka.

Sebagaimana mana disebutkan dalam Pasal 29 Undang-Undang

perkawinan, bahwa perjanjian kawin dapat dirubah, sepanjang tidak merugikan

pihak ketiga, maka kepada notaris untuk menjaga kepentingannya dalam

menjalankan tugas dan wewenangnya. Dalam perjanjian tersebut harus dimasukan

klausul yang menyatakan bahwa apabila terjadi perubahan pada perjanjian

perkawinan tersebut, maka notaris hanya bertanggung jawab terhadap pembuatan

aktanya saja. Sedangkan mengenai isi dari akta tersebut adalah merupakan

tanggung jawab dari si pembuat akta (para pihak), hal ini bertujuan untuk

menghindari akibat hukum yang tidak diinginkan yang dapat merugikan notaris

dikemudian hari.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa wewenang dan tanggung

jawab notaris dalam pembuatan akta yang dibuatnya adalah sebatas isi perjanjian

yang telah memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian berdasarkan Pasal 1320

KUHPerdata, maka ia tidak dapat dituntut di pengadilan. Sebaliknya kalau tidak

memenuhi syarat sahnya perjanjian maka akta yang dibuat notaris dapat dilakukan

pembatalan oleh hakim. Pembatalan yang diputuskan oleh hakim atas akta notaris

bisa berbentuk (1) batal demi hukum; atau (2) dapat dibatalkan.

90
Notaris sebagai profesi yang mulia dan bermartabat, tentunya harus hati-

hati dalam menuangkan isi akta yang dikehendaki para penghadap. Masalah

keabsahan identitas dan objek yang diperjanjikan harus dilihat sendiri sebagai data

formal dan materiil sebelum akta dibuat dan ditandatangani. Untuk itu sebelum

membuat akta perjanjian kawin, notaris harus yakin dan percaya atas identitas para

penghadap begitu juga objek/harta yang diperjanjikan harus jelas.

4.2. Prinsip Kehati-Hatian Bagi Notaris/PPAT Dalam Pembuatan Akta

Perjanjian Perkawinan

Pada suatu perjanjian yang dituangkan dalam sebuah akta notaris, notaris

berperan dalam melakukan pengikatan akad. Oleh karena itu, di dalam

pelaksanaan tugas-tugasnya, yakni di dalam pembuatan akta perjanjian, seorang

notaris harus selalu melaksanakan prinsip kehati-hatian sebagai upaya pencegahan

kriminalisasi berdasarkan kode etik yang berkaitan dengan tanggung jawab baik

secara perdata, administrasi, kode etik notaris dan hukum pidana.

Berdasarkan Pasal 1 angka 13 Keputusan Menteri Kehakiman dan Hak

Asasi Manusia No.M-01.H.T.03.01 Tahun 2003 tentang kenotarisan, organisasi

notaris satu-satunya yang diakui oleh pemerintah adalah Ikatan Notaris Indonesia

(INI). Kemudian, Kode Etik Notaris yang berlaku saat ini adalah Kode Etik

Notaris berdasarkan Keputusan Kongres Luar Biasa INI tanggal 27 Januari 2005

di Bandung (Kode Etik Notaris). Dalam Pasal 1 angka 2 Kode Etik Notaris

disebutkan bahwa:

Kode Etik Notaris dan untuk selanjutnya akan disebut Kode Etik adalah

seluruh kaidah moral yang ditentukan oleh Perkumpulan Ikatan Notaris

91
Indonesia yang selanjutnya akan disebut “Perkumpulan” berdasarkan

keputusan Kongres Perkumpulan dan/atau yang ditentukan oleh dan diatur

dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang hal itu dan yang

berlaku serta wajib ditaati oleh setiap dan semua anggota perkumpulan dan

semua orang yang menjalankan tugas jabatan sebagai notaris, termasuk di

dalamnya para pejabat sementara notaris, notaris pengganti, dan notaris

pengganti khusus.

Pelaksanaan prinsip kehati-hatian bagi notaris dalam menjalankan tugas

jabatannya harus seperti sebagai berikut :

a. Notaris dituntut melakukan perbuatan akta dengan baik dan benar. Artinya

akta yang dibuat itu memenuhi kehendak hukum dan permintaan pihak-

pihak yang berkepentingan karena jabatannya.

b. Notaris dituntut menghasilkan akta yang bermutu. Artinya akta yang

dibuatnya itu sesuai dengan aturan hukum dan kehendak pihak-pihak yang

berkepentingan dalam arti yang sebenarnya. Notaris harus menjelaskan

kepada pihak-pihak yang berkepentingan akan kebenaran isi dan prosedur

akta yang dibuatnya itu.

c. Berdampak positif, artinya siapapun akan mengakui akta notaris itu

mempunyai kekuatan bukti sempurna.107

Prinsip kehati-hatian notaris dalam menjalankan tugas pokok dan

fungsinya dalam upaya pencegahan. Kriminalisasi berdasarkan kode etik bahwa

pelanggaran kode etik itu berkiatan dengan moral/etika dari notaris tersebut tetapi

107
HabibAdjie. 2009. Hukum Notaris Indonesia. Cetakan Kedua. Bandung: Refika Adhitama.
Hlm 39

92
pelanggran kode etik belum tentu merupakan pelanggaran jabatan. Contoh

pelanggaran kode etik adalah mempromosikan diri sebagai notaris lewat ucapan

karangan bunga atau ucapan selamat dimana di situ terterta jabatan sebagai notaris

atau mempromosikin diri sebagai notaris di surat kabar.108

Sedangkan pelanggaran jabatan berkaitan dengan tugas sebagai notaris dan

dalam hal ini berhubungan dengan sumpah jabatan yang sudah kita berikan pada

saat pengankatan sebagai notaris atau jika kita melanggar sumpah jabatan. Contoh

pelanggaran jabatan adalah menyebarkan isi akta yang dibuat oleh notaris kepada

pihak yang tidak berkepentingan.109 Dalam kaitan dengan prinsip kehati-hatian

notaris dalam menjalankan jabatannya maka diperlukan kehati-hatian dari notaris

itu sendiri dalam menerima suatu pekerjaan atau klien. Ketika notaris ragu tentang

keterangan yang diberikan oleh para pihak, sebagai notaris berhak dan

berkewajiban menggali informasi yang lebih banyak lagi karena notaris hanya

mendapat bukti formil saja. Bisa juga ketika mendapat suatu perjanjian yang bisa

merugikan salah satu pihak maka dapat digali informasinya agar akta yang dibuat

menjadi sempurna. Jika notaris masih ragu maka notaris bisa menolak klien

tersebut jika informasi yang diberikan dianggap bisa menyesatkan dan

menimbulkan masalah di kemudian hari. Oleh karena itu, notaris berhak menolak

suatu pekerjaan tapi penolakan tersebut bukan berdasarkan jumlah materi.

Perjanjian Kawin yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia bukanlah

merupakan perbuatan yang tabu. Lembaga hukum pernjanjian kawin sebenarnya

telah dikenal dalam hukum perdata Indonesia. Lembaga tersebut diadopsi dari
108
Ibid. Hlm 40
109
Rudi Indrajaya dan Ika Ikamassari, 2015, KedudukanAkta Izin Roya Hak Tanggungan
sebagai Pengganti Sertifikat Yang Hilang, Bandung: Visimedia. Hlm 16

93
hukum perdata barat. Banyak masyarakat yang kurang mengetahui adanya

perjanjian kawin yang dibuat suami-istri setelah perkawinan dilangsungkan, yang

banyak dikenal adalah perjanjian kawin dibuat sebelum atau pada saat perkawinan

dilangsungkan sesuai ketentuan baik dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata

maupun dalam Undang-undang Perkawinan. Perjanjian kawin pada dasarnya tidak

biasa dilakukan oleh masyarakat timur di samping itu menimbulkan kesan

mengecilkan arti lembaga perkawinan itu sendiri, juga bisa membuat image

bahwa perkawinan hanya diartikan sebuah bisnis, layaknya kerjasama, sehingga

harus diantisipasi dengan risiko atau kerugian jika suatu saat terjadi perceraian.

Dalam masyarakat di perkotaan saat ini ada kecenderungan semakin

banyak yang membuat perjanjian kawin, terbukti dengan banyaknya pasangan

suami-istri yang mengadakan perjanjian kawin baik sebelum maupun sesudah

perkawinan dilangsungkan. Perjanjian kawin ini bisa berkembang di perkotaan

dan merupakan budaya praktis sebagai bagian dari gaya hidup mereka. Apabila

tidak ingin direpotkan dengan masalah-masalah dalam perkawinan yang akan

mengganggu perekonomian masing-masing pasangan.110 Lebih lanjut dikatakan

bahwa pencatatan perjanjian kawin dalam akta perkawinan hanya untuk

perjanjian kawin yang dibuat sebelum pemberkatan dan pencatatan perkawinan

dilangsungkan, sedangkan pencatatan di akta perkawinan untuk perjanjian kawin

yang dibuat dengan dasar penetapan dari hakim pengadilan negeri tidak pernah

ada, mengingat landasan hukumnya tidak ada, dalam Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata maupun Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

110
Habib Adjie,2008,Hukum Notaris Indonesia, Tafsir Tematik Terhadap UUNo.30 Tahun
2004 Tentang Jabatan Notaris. Rafika Aditama.Bandung. Hlm 40

94
Perkawinan dan Peraturan Pelaksanaannya. Sehingga ketidak bijaksanaan Hakim

Pengadilan Negeri.

Alasan yang dapat dijadikan landasan dibuatnya perjanjian kawin Setelah

perkawinan adalah adanya kealpaan dan ketidaktahuan, bahwa dalam Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ada ketentuan yang mengatur

tentang perjanjian kawin sebelum pernikahan dilangsungkan, bagi mereka

pasangan suami-istri yang sudah melakukan perkawinan, namun belum

mengadakan perjanjian kawin, mereka dapat membuat perjanjian kawin, setelah

perkawinan dilangsungkan dengan mengacu pada yurisprudensi, yaitu dengan

suatu penetapan pengadilan negeri.

4.2.1. Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-

XIII/2015

Ketentuan mengenai pembuatan perjanjian perkawinan yang diatur di

dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak mengatur

mengenai pembuatan perjanjian perkawinan setelah kawin dilangsungkan.

Ketentuan dalam Pasal 29 Undang-Undang tersebut yang pada intinya hanya

mengatur mengenai perjanjian perkawinan yang dapat dibuat pada waktu atau

sebelum perkawinan dilangsungkan, namun dalam fenomena perkembangannya di

masyarakat (praktek) dapat ditemui perjanjian perkawinan yang dibuat pada saat

ikatan perkawinan berlangsung yang dengan alasan tertentu antara suami-istri

tersebut baru membuat perjanjian perkawinan, adapun hal demikian tersebut dapat

dibenarkan oleh hukum dengan dasar bahwa perjanjian demikian itu haruslah

95
didahului dengan mangajukan permohonan ke pengadilan yang berwenang agar

mendapatkan suatu penetapan dari hakim.

Selanjutnya setelah mendapatkan penetapan pengadilan tersebut para

pihak (suami-istri) barulah dapat membuat akta perjanjian perkawinan setelah

kawin kehadapan notaris. Karena berdasarkan Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun

2004 tentang Jabatan Notaris menyebutkan bahwa notaris berwenang membuat

akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang

diharuskan oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh

yang berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian

tanggal pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan

kutipan akta, semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga

ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan

oleh Undang-Undang.

Oleh karena itu, bila dikaitkan antara Pasal tersebut (kewenangan notaris)

dengan perjanjian perkawinan setelah kawin yang telah terlebih dahulu

mendapatkan penetapan dari pengadilan, maka dapat diartikan bahwa walaupun

perjanjian demikian itu dilaksanakan pada saat perkawinan berlangsung dengan

terlebih dahulu mendapatkan penetapan dari pengadilan namun tidak mengurangi

esensi dari wewenang notaris sebagai pejabat umum dalam pembuatan akta

perjanjian perkawinan tersebut.111

111
Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris
menyebutkan bahwa Notaris adalah Pejabat Umum yang berwenang untuk membuat akta
otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.

96
Akta perjanjian yang telah dibuat di hadapan notaris tersebut didaftarkan

pada instansi yang diberi wewenang oleh peraturan perundang-undangan untuk

mencatatkannya yaitu Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil atau Kantor

Urusan Agama (KUA) sesuai subjek hukumnya.112 Jika akta perjanjian

perkawinan tersebut kemudian tidak didaftarkan maka dengan sendirinya secara

hukum tidak mengikat bagi pihak ketiga.

Hal demikian itu sesuai dengan ketentuan Pasal 29 ayat (1) Undang-

Undang Perkawinan, perjanjian perkawinan disahkan oleh pegawai pencatat

perkawinan. Menurut Alwesius “disahkan” dalam kalimat ketentuan Pasal 29 ayat

(1) Undang-Undang Perkawinan tidak berarti apabila perjanjian perkawinan

tersebut tidak disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan maka perjanjian

perkawinan tersebut tidak sah. Menurutnya “disahkan” dalam kalimat tersebut

artinya adalah bahwa perjanjian perkawinan tersebut harus “dicatat”, dan apabila

perjanjian perkawinan tersebut tidak dicatat maka perjanjian perkawinan tersebut

tidak mengikat pihak ketiga.113

Namun pasca keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-

XIII/2015 tanggal 21 Maret 2016 terjadi perubahan yang berkaitan dengan

pembuatan perjanjian perkawinan, putusan tersebut atas permohonan seorang

Warga Negara Indonesia yang melakukan perkawinan campuran, yang

melangsungkan perkawinan dengan tanpa membuat perjanjian perkawinan.

Seiring waktu berjalan pasangan tersebut pun bermaksud untuk membeli


112
Setelah diundangkannya Undang-Undang Perkawinan (tanggal 2 Januari 1974/setidak-
tidaknya sesudah berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975) perjanjian
perkawinan dicatatkan di Kantor Catatan Sipil atau Kantor Urusan Agama.
113
Alwesius, Pembuatan Perjanjian Perkawinan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi
http://alwesius.blogspot.co.id/2016/11/pembuatan-perjanjian-perkawinan pasca.html,
diakses pada tanggal 30 Juli 2018

97
rumah/rumah susun, akan tetapi karena peraturan yang berlaku dalam konteks

hukum tanah nasional yaitu ketentuan pada UUPA dianutnya asas nasionalitas,

yang artinya bahwa hanya Warga Negara Indonesia saja yang bisa memiliki hak

atas tanah di Indonesia. Oleh karena itu, kemudian pasangan perkawinan

campuran tersebut mengajukan permohonan constitutional review (pengujian

konstitusional) ke Mahkamah Konstitusional kerana telah merasa dirugikan

dengan adanya Pasal 21 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 36 ayat (1) UUPA, Pasal 29

ayat (1), ayat (3), ayat (4), dan Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan.

Selanjutnya atas permohonan demikian itu MK berpendapat dalam

pertimbangan hukumnya menyebutkan bahwa: Tegasnya, ketentuan yang ada saat

ini hanya mengatur perjanjian perkawinan yang dibuat sebelum atau pada saat

perkawinan dilangsungkan, padahal dalam kenyataannya ada fenomena suami-

istri yang karena alasan tertentu baru merasakan adanya kebutuhan untuk

membuat perjanjian kawin selama dalam ikatan perkawinan. Selama ini sesuai

dengan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 perjanjian demikian itu

harus diadakan sebelum perkawinan dilangsungkan dan harus diletakkan dalam

suatu akta notaris. Perjanjian perkawinan ini mulai berlaku antara suami dan istri

sejak perkawinan dilangsungkan. Isi yang diatur di dalam perjanjian perkawinan

tergantung pada kesepakatan pihak-pihak calon suami dan istri, asal tidak

bertentangan dengan Undang-Undang, agama, dan kepatutan atau kesusilaan,

adapun terhadap bentuk dan isi perjanjian perkawinan. Kepada kedua belah pihak

diberikan kebebasan atau kemerdekaan seluas-luasnya (sesuai dengan hukum

“kebebasan berkontrak”).

98
Frasa “pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan” dalam Pasal

29 ayat (1), frasa”... sejak perkawinan dilangsungkan” dalam Pasal 29 ayat (3),

dan frasa “selama perkawinan berlangsung” dalam Pasal 29 ayat (4) Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974 membatasi kebebasan 2 (dua) orang individu untuk

melakukan atau kapan akan melakukan “perjanjian”, sehingga bertentangan

dengan Pasal 28 E ayat (2) UUD 1945 sebagaimana didalilkan pemohon. Dengan

demikian, frasa “pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan” dalam

Pasal 29 ayat (4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah bertentangan

dengan UUD 1945 secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai termasuk pula

selama dalam ikatan perkawinan.

Selanjutnya terhadap pertimbangan hukum MK atas permohonan demikian

itu, MK memutuskan dengan amar putusan sebagai berikut:

Mengadili,

Menyatakan:

1. Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian;

1.1. Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019)

bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai “Pada waktu, sebelum

dilangsungkan atau selama dalam ikatan perkawinan kedua belah pihak

atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang

disahkan oleh pegawai pencatatan perkawinan atau notaris, setelah mana

99
isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga

tersangkut”

1.2. Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) tidak

mempunyai kekuatan hukum hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai

“Pada waktu, sebelum dilangsungkan atau selama dalam ikatan perkawinan

kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian

tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatatan perkawinan atau Notaris,

setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak

ketiga tersangkut”

1.3. Pasal 29 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019)

bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai “Perjanjian tersebut mulai berlaku

sejak perkawinan dilangsungkan, kecuali ditentukan lain dalam perjanjian

perkawinan”.

1.4. Pasal 29 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) tidak

mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai

100
“Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan,

kecuali ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan”.

1.5. Pasal 29 ayat (4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019)

bertentangan dengan Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun

1945 sepanjang tidak dimaknai “Selama perkawinan berlangsung,

perjanjian perkawinan dapat mengenai harta perkawinan atau perjanjian

lainnya, tidak dapat diubah atau dicabut, kecuali bila dari kedua belah

pihak ada persetujuan untuk mengubah atau mencabut, dan perubahan atau

pencabutan itu tidak merugikan pihak ketiga”.

1.6. Pasal 29 ayat (4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3019) tidak

mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Selama

perkawinan berlangsung, perjanjian perkawinan dapat mengenai harta

perkawinan atau perjanjian lainnya, tidak dapat diubah atau dicabut,

kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah atau

mencabut, dan perubahan atau pencabutan itu tidak merugikan pihak

ketiga”.

2. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara

Republik Indonesia sebagaimana mestinya;

3. Menolak permohonan pemohon untuk selain dan selebihnya.

101
Berdasarkan amar putusan Mahkamah Konstitusi di atas yang pada intinya

menyebutkan bahwa terhadap Pasal 29 ayat (1), (3), dan (4) Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran Negara Republik Indonesia

Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor

3019) bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dimaknai, sepanjang

perkawinan atau selama ikatan perkawinan berlangsung perjanjian perkawinan

dapat dilaksnanakan dan mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan, kecuali

ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan serta selama perkawinan

berlangsung, perjanjian perkawinan dapat mengenai harta perkawinan atau

perjanjian lainnya, tidak dapat diubah atau dicabut, kecuali bila dari kedua belah

pihak ada persetujuan untuk mengubah atau mencabut, dan perubahan atau

pencabutan itu tidak merugikan pihak ketiga.

Putusan MK seperti tersebut di atas pada dasarnya tidak serta merta

langsung membatalkan suatu norma hukum dalam Undang-Undang melainkan

inkonstitusionalnya suatu norma hukum itu hanya apabila tidak dimaknai

sebagaimana tafsir (Amar Putusan) dari MK atau yang disebut dengan

inkonstitusional bersyarat.

Putusan MK yang demikian itu, akan memperoleh kekuatan hukum tetap

dan mengikat sejak setelah diucapkan dihadapan sidang terbuka untuk umum,

yang berarti bahwa, putusan MK langsung memperoleh kekuatan hukum tetap dan

mengikat setelah diucapkan dan tidak ada upaya hukum lain yang dapat ditempuh

(final and binding). Akibat hukum Putusan MK di atas yang mengabulkan

permohonan Pemohon ialah batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum

102
mengikat terhadap suatu norma hukum yang dimohonkan oleh Pemohon, oleh

karena itu dalam hal ini Pasal 29 ayat (1), (3), dan (4) Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 tentang Perkawinan berdasarkan amar Putusan MK di atas

inkonstitusional bersyarat, sehingga putusan yang demikian itu menciptakan suatu

keadaan hukum baru (dekclaratoir constitutif) yang dalam hal ini MK

sebagaimana disebut oleh Hans Kelsen sebagai negatif-legislator, sehingga

Putusan MK tersebut sama dengan perintah konstitusi.114

Perjanjian perkawinan dalam mengatur ketentuan tentang bagaimana harta

kekayaan mereka (suami istri) akan dibagikan apabila terjadi perpisahan

hubungan antar keduanya, baik itu dikarenakan perceraian maupun kematian.

Perjanjian perkawinan juga memuat tentang hal-hal yang berkenaan dengan

kepentingan masa depan rumah tangga mereka. Hal ini seperti tercantum dalam

Pasal 29 Undang-Undang No.1 tahun 1974 Pasal 29 UU No.1 Tahunh 1974

mengatur tentang Perjanjian perkawinan disebutkan:

Ayat (1)
“Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua belah pihak atas
persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh
pegawai pencatat perkawinan, setelah masuk isinya berlaku juga terhadap
pihak ketiga tersangkut.”
Ayat (2)
“Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar
batas-batas hukum agama dan kesusilaan.”

Ayat (3)

114
Indonesia, Pasal 47 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi
sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

103
“Perjanjian tersebut dimulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.”
Ayat (4)
Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat

diubah, kecuali dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan

perubahan tidak merugikan pihak ketiga.

Dengan Putusan MK, Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan dimaknai “Pada

waktu, sebelum dilangsungkan atau selama dalam ikatan perkawinan kedua

belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang

disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris, setelah mana

isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut”.

Ada lima unsur penting dalam makna Pasal 29 ayat (1) tersebut, yaitu:

(1) perjanjian dibuat selama masa perkawinan; (2) persetujuan bersama; (3) dibuat

secara tertulis; (4) disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris; dan

(5) berlaku terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.

Apakah semenjak keluarnya Putusan MK tersebut, secara otomatis dapat

dilakukan perjanjian setelah perkawinan? Kenyataannya di dalam praktek, banyak

notaris yang menolak untuk dibuatkan perjanjian perkawinan disebabkan

ketidaktahuan notaris bahwa sekarang hal tersebut diperbolehkan serta belum

adanya peraturan pelaksananya. Bahkan, meski setelah berhasil membuat

perjanjian perkawinan, ketika akan melaporkan/mencatatkan perjanjian tersebut di

Catatan Sipil atau KUA, kenyataannya masih banyak yang ditolak.

Sejauh ini, jika pasangan suami-istri akan membuat perjanjian perkawinan,

pasangan dapat meminta penasehat hukum atau advokat atau lawyer untuk

memberikan pertimbangan dalam bentuk legal opinion atau pendapat hukum.

104
Advokat dapat membuat draft perjanjian tersebut untuk kemudian dibuatkan

perjanjian perkawinan dalam bentuk akta notaris. Setelah akta notaris dibuat,

maka perjanjian perkawinan tersebut wajib dicatatkan oleh pegawai pencatat

perkawinan.

Sepanjang Perjanjian perkawinan tersebut tidak dicatatkan atau didaftarkan,

maka Perjanjian Perkawinan tersebut tidak dianggap sah. Ynag menjadi

pertanyaan selanjutnya adalah, dimana perjanjian perkawinan tersebut harus

dicatatkan? Ternyata, dalam prakteknya, ada beberapa notaris yang mencatatkan

perjanjian tersebut di Pengadilan Negeri tempat pasangan suami-isteri tersebut

berdomisili.

Hal tersebut tidaklah tepat, karena secara tegas disebutkan di pegawai

pencatat perkawinan, bukan pengadilan negeri. Untuk perkawinan yang dicatatkan

di Kantor Urusan Agama (KUA) bagi yang beragama Islam, maka perjanjian

perkawinannya dicatatkan dan didaftarkan di KUA. Sedangkan untuk perkawinan

beragama selain Islam atau perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri, maka

pencatatannya di  Kantor Kependudukan dan Catatan Sipil setempat. Khusus

untuk perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri, hanya terhadap perkawinan

yang telah dilaporkan/dicatatkan di Catatan Sipil saja yang dapat mencatatkan

perjanjian perkawinan. Tanpa adanya Tanda Bukti Pelaporan Perkawinan WNI di

luar negeri yang dikeluarkan oleh Kantor kependudukan dan Catatan Sipil, maka

perjanjian tersebut juga tidak dapat didaftarkan/dilaporkan.

Khusus terkait pencatatan pelaporan perjanjian perkawinan di Catatan

Sipil, telah dikeluarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Kependudukan dan

105
Catatan Sipil Departemen Dalam Negeri Nomor 472.2/5876/DUKCAPIL tanggal

19 Mei 2017 yang ditujukan kepada semua kepala dinas kependudukan dan

catatan sipil (Dukcapil) Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia, yang mengatur

bahwa Dukcapil sebagai instansi pelaksana atau Unit Pelaksana Teknis (UPT)

dimana akan dibuat catatan pinggir pada register akta dan kutipan akta

perkawinan, sedangkan atas akta perkawinan yang diterbitkan oleh Negara lain

namun perjanjian perkawinannya dibuat di Indonesia, pelaporannya dibuat dalam

bentuk surat keterangan.

Hal ini berlaku bukan saja pada pembuatan perjanjian perkawinan,

namun juga atas perubahan dan pencabutan perjanjian perkawinan. Dengan

Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, hukum perkawinan di Indonesia

mengalami perkembangan signifikan, yang mulanya perjanjian perkawinan

hanya dilakukan sebelum atau pada saat perkawinan, namun kini dapat

dilakukan selama masa perkawinan, dan berlaku sejak perkawinan

diselenggarakan serta perjanjian perkawinan tersebut juga dapat

dirubah/diperbarui selama masa perkawinan. Ketentuan ini bukan berlaku

secara khusus bagi pelaku pkawin campur, namun kepada semua perkawinan

secara umum. Maka dalam hak ini sesuai dengan teori keadilan yang

dikemukakan oleh John Rawls, menyajikan tentang konsep keadilan sosial.

Keadilan sosial merupakan “Prinsip kebijaksanaan rasional yang diterapkan

pada konsep kesejahteraan agregatif (hasil pengumpulan) kelompok”.115

Subyek utama keadilan sosial adalah struktur masyarakat, atau lebih tepatnya,
115
Uzair Fauzan&Heru Prasetyo 2012. Teori keadilan Dasar-dasar Filsafat Politik Hukum
Mewujudkan Kesejahteraan Sosial dalam Negara, ctk Kedua, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Hlm.12

106
cara lembaga-lembaga sosial utama mendistribusikan hak dan kewajiban

fundamental serta menentukan pembagian keuntungan dari kerja sama sosial.116

Yang mana tujuan dari teori keadilan menurut John Rawls, yaitu:117

1) Pertama, teori ini mau mengartikulasikan sederet prinsip-prinsip

umum keadilan yang mendasari dan menerangkan berbagai

keputusan moral yang sungguh-sungguh dipertimbangkan dalam

keadaan-keadaan khusus kita. Maksud dari “keputusan moral”

adalah sederet evaluasi moral yang telah kita buat dan sekiranya

menyebabkan tindakan sosial kita. Keputusan moral yang sungguh

dipertimbangkan menunjuk pada evaluasi moral yang kita buat

secara refleksif.

2) Kedua, Rawls mau mengembangkan suatu teori keadilan sosial yang

lebih unggul atas teori utilitarianisme. Rawls memaksudkannya

“rata-rata” (average utilitarianisme). Maksudnya adalah bahwa

institusi sosial dikatakan adil jika diabdikan untuk memaksimalisasi

keuntungan dan kegunaan. Sedang utilitarianisme rata-rata memuat

pandangan bahwa institusi sosial dikatakan adil jika hanya

diandaikan untuk memaksimalisasi keuntungan per kapita. Untuk

kedua versi utilitarianisme tersebut “keuntungan” didefinisikan

sebagai kepuasan atau keuntungan yang terjadi melalui pilihan-

pilihan. Rawls mengatakan bahwa dasar kebenaran teorinya

membuat pandangannya lebih unggul dibanding kedua versi


116
Hans Kelsen 2011. General Theory of Law and State, diterjemahkan oleh Rasisul
Muttaqien, Nusa Media, Bandung Hlm. 7
117
Ibid. Hlm 10

107
utilitarianisme tersebut. Prinsip-prinsip keadilan yang ia kemukakan

lebih unggul dalam menjelaskan keputusan moral etis atas keadilan

sosial.

Lebih lanjut John Rawls menegaskan bahwa program penegakan keadilan

yang berdimensi kerakyatan haruslah memerhatikan dua prinsip keadilan,

yaitu :118 pertama, memberi hak dan kesempatan yang sama atas kebebasan dasar

yang paling luas seluas kebebasan yang sama bagi setiap orang. Kedua, mampu

mengatur kembali kesenjangan sosial ekonomi yang terjadi sehingga dapat

memberi keuntungan yang bersifat timbal balik (reciprocal benefits) bagi setiap

orang, baik mereka yang berasal dari kelompok beruntung maupun tidak

beruntung.

Teori ini digunakan untuk menjawab rumusan masalah satu yaitu untuk

mencari keadilan yang seadil-adilnya terhadap pertanggungjawaban yang

dibebankan kepada notaris yang telah melakukan perbuatan melawan hukum

dalam pembuatan akta otentik khususnya perbuatan notaris yang telah dijatuhi

putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap.

Diharapkan teori ini dapat memberikan rasa adil dalam hal pertanggungjawaban

notaris terhadap perbuatannya yang melawan hukum khususnya bagi para pihak

yang dirugikan oleh notaris atau bagi notaris itu sendiri dan pada umumnya bagi

masyarakat yang akan menggunakan jasa notaris, sehingga kepercayaan

masyarakat terhadap seorang notaris akan semakin besar dan membuat

masyarakat merasa aman apabila menggunakan jasa seorang notaris.

Damanhuri Fattah,”Teori Keadilan Menurut John Rawls”, Jurnal TAPIs,Vol.9 No.2, Juli-
118

Desember,2013,hlm.32-33

108
Dibuatnya perjanjian perkawinan sebagaimana dalam Undang-Undang

tersebut haruslah dilakukan sebelum perkawinan dilangsungkan dan/atau dapat

dibuat dalam bentuk akta otentik dimuka notaris, akta otentik itu sangat penting

karena dapat dijadikan bukti dalam persidangan pengadilan apabila terjadi

sengketa tentang harta bawaan masing-masing di antara mereka (suami-istri). Jika

tidak adanya perjanjian perkawinan yang dibuat sebelum perkawinan dilakukan

maka semua harta suami dan istri tersebut maka terjadinya pembauran. Perjanjian

perkawinan ini telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan sepanjang

tidak menyalahi tata susila dan ketentraman umum yang berlaku dalam

masyarakat. Pernyataan tersebut berlaku sebelum keluarnya Putusan Mahkamah

Konstitusi N0.69/PUU-XIII/2015. Sebaliknya perjanjian perkawinan yang

dianggap masih tabu dilakukan oleh masyarakat awam justru telah menjadi gejala

baru di kalangan tertentu seperti selebritis, pengusaha dan lain-lain. Mereka

umumnya berpandangan bahwa dengan adanya perjanjian perkawinan harta

miliknya akan terjamin aman apabila terjadi perceraian.

Pasca dikeluarkannya putusan Mahkamah Konstitusi No.69/PUU-

XIII/2015 terjadinya perubahan yang berkaitan dengan pembuatan perjanjian

perkawinan, adanya putusan tersebut yang mana atas permohonan seorang warga

negara Indonesia yang melakukan perkawinan campuran dengan warga negara

asing, yang melangsungkan perkawinannya dengan tanpa membuat perjanjian

perkawinan terlebih dahulu. Dengan seiring berjalannya waktu, pasangan tersebut

bermaksud untuk membeli rusun (rumah susun/apartement) akan tetapi dalam

ranahnya ada peraturan yang berlaku dalam konteks hukum tanah nasional yaitu

109
ketentuan pada Undang-Undang Pokok Agraria dianutnya asas nasionalitas, yang

artinya bahwa hanya Warga Negara Indonesia saja yang berhak memiliki hak atas

tanah di negara Indonesia. Oleh sebabnya maka pemohon yang

berkewarganegaraan Indonesia mengajukan permohonan constitution review

(pengujian konstitusional) ke Mahkamah Konstitusi karena merasa dirugikan oleh

adanya Pasal 21 ayat (1) dan ayat (3), Pasal 36 ayat (1) UUPA, Pasal 29 ayat (1),

ayat (3), ayat (4), dan Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan.

Sebagai Warga Negara Indonesia (WNI) yang apabila menikah dengan

Warga Negara Asing (WNA), maka perkawinan tersebut merupakan perkawinan

campuran yang mana diatur dalam Pasal 57 Undang-Undang No.1 Tahun 1974

tentang Perkawinan yang menyatakan : “yang dimaksud dengan perkawinan

campuran dalam Undang-Undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di

Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan

dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia”.

Warga Negara Indonesia yang menikah dengan Warga Negara Asing,

setelah perkawinannya tidak diperbolehkan untuk memiliki hak atas tanah yang

berupa Hak Milik, Hak Guna Usaha ataupun Hak Guna Bangunan. Karena dengan

Pasal 35 UU Perkawinan yang menjelaskan bahwa harta benda yang diperoleh

selama perkawinan menjadi harta bersama. Oleh karena itu, ada pencampuran

harta yang diperoleh setelah perkawinan, dan Warga Negara Asing akan turut

menjadi pemilik atas harta bersama tersebut. Kemudian meliat lagi pada ketentuan

Undang-Undang No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria,

110
bahwa Warga Negara Asing tidak diperbolehkan meniliki Hak Milik, Hak Guna

Usaha atau Hak Guna Bangunan.

Permohonan tersebut Mahkamah Konstitusi memberikan pendapat dalam

pertimbangan hukumnya menyebutkan bahwa, ketentuan yang berlaku pada saat

ini hanya mengatur perjanjian perkawinan yang dibuat sebelum atau sesudah

dilangsungkannya perkawinan, tetapi dalam kenyataannya bahwa ada kejadian

yang mana antara suami isteri yang dengan alasan tertentu baru merasakan adanya

kebutuhan untuk membuat perjanjian kawin selama mereka dalam ikatan

perkawinan. Dengan adanya mengenai Pasal 29 bahwa berlaku untuk semua

perkawinan.

Putusan Mahkamah Konstitusi demikian, berkekuatan hukum tetap dan

mengikat sejak diucapkan dan bersifat final. Akibat hukum dari Putusan

Mahkamah Konstitusi yang mana mengabulkan permohonan pemohon ialah batal

dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat terhadap suatu norma hukum

yang dimohonkan oleh pemohon, oleh karenanya pada Pasal 29 ayat (1), (3), dan

(4) Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan berdasarkan amar

Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut inkonstitusional bersyarat, maka putusan

tersebut menciptakan suatu keadaan hukum baru (dekclaratoir constitutif) yang

mana Mahkamah Konstitusi juga dapat disebut sebagai negatif-legislator,

sehingga Putusan Mahkamah Konstitusi sama dengan perintah konstitusi.

Kekuatan putusan tersebut ialah bersifat final, mengikat maupun

eksekutorial. Kekuatan hukum mengikat pada Putusan Mahkamah Konstitusi

yang mana tentunya tidak hanya mengikat para pihak-pihak yang berperkara,

111
namun juga mengikat atau ditunjukan bagi seluruh warga negara, lembaga atau

pejabat serta badan hukum di Indonesia. Oleh sebab itu tentunya juga berdasarkan

penjelasannya bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi tentunya juga mengikat bagi

para notaris yang wewenangnya sebagai pejabat dalam pembuatan akta perjanjian

perkawinan dan juga Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil ataupun Kantor

Urusan Agama selaku pejabat yang wewenangnya mencatatkan akta perjanjian

perkawinan.

Keadaannya yang terjadi dimasyarakat pada umumnya menjadi salah satu

pertimbangan bagi Makhkamah Konstitusi untuk menyatakan Pasal-Pasal itu

inkonstitusional bersyarat sebagaimana pertimbangan hukum Mahkamah

Konstitusi yang mana telah dijelaskan. Hal ini karena Mahkamah Konstitusi

memberikan kepastian hukum dan keadilan yang dijamin oleh UUD 1945 bagi

masyarakat atas hak konstitusionalnya dalam membuat perjanjian yaitu perjanjian

kawin, maka Mahkamah Konstitusi yang mana salah satu kewenangannya diatur

pada Pasal 24 C ayat (1) UUD 1945 yaitu menguji Undang-Undang terhadap

UUD 1945 mengeluarkan suatu putusan yang progresif untuk mengakomodir

kebutuhan hukum di masyarakat.

4.2.2. Pelaksanaan Pembuatan Perjanjian Perkawinan di dalam

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasca

Putusan Mahkamah Konstitusi No.69/PUU-XIII/2015

112
Untuk terpenuhinya suatu perjanjian yang sah, maka harus memenuhi syarat

sahnya suatu perjanjian yang mana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata yaitu :

1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;

2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan;

3) Suatu hal tertentu;

4) Suatu sebab yang halal.

Intinya apabila perjanjian yang diinginkan para pihak tidak memenuhi

syarat-syarat kesepakatan mereka yang telah mengikatkan dirinya dan/atau tidak

memenuhi kecakapan untuk membuat suatu perikatan, maka perjanjian tersebut

tidak sah. Maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan. Sedangkan apabila tidak

memenuhi syarat-syarat suatu hal tertentu maupun suatu sebab yang halal maka

perjanjian tersebut batal demi hukum.

Perjanjian tentunya tergantung dari para pihak-pihak (calon suami istri)

yang menginginkannya, asal dalam perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan

hukum, Undang-Undang, agama, dan kepatutan atau kesusilaan. Dalam kaitannya

dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No.69/PUU-XIII/2015 yang pada intinya

perjanjian kawin dapat dibuat pada waktu, sebelum dilangsungkan atau selama

dalam ikatan perkawinan. Pelaksanaan pembuatan perjanjian perkawinan bisa

dilakukan pada waktu sebelum ataupun selama dalam masa ikatan perkawinan.

Karena hal ini telah diatur dalam Pasal 29 Undang-Undang Perkawinan jo.

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 69/PUU-XIII/2015.

Perjanjian perkawinan hanya lahir dengan akta notaris yang mana akta

menjadi syarat lahirnya perjanjian kawin, sehingga perjanjian kawin seperti

113
penjelasan di atas wajib dibuat dengan akta notaris. Dijelaskan dalam Pasal 38

ayat (3) huruf c Undang-Undang Jabatan Notaris menegaskan bahwa isi akta

merupakan kehendak para penghadap. Meskipun isi akta merupakan kehendak

dari para pihak dan akan berlaku sebagaimana Undang-Undang yang

membuatnya, tapi tetap notaris tidak harus selalu mengabulkan kehendak atau

keinginan para penghadap tersebut jika bertentangan dengan peraturan perundang-

undangan, norma agama, susila, sosial dan kemasyarakatan, serta ketertiban

umum. Pasca putusan MK No.69/PUU-XIII/2015 pembuatan perjanjian

perkawinan yang dibuat notaris hanya mengganti pada bagian premisse saja.

Akta notaris tentunya mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna,

apabila semua prosedur atau tata cara dan syarat yang sudah ditentukan dalam

UUJN dipenuhi, dan sebaliknya dapat dibuktikan atas gugatan ataupun putusan

pengadilan maka dapat saja akta dibatalkan. Kemudian dalam perjanjian

perkawinan yang mana dibuatkan secara tertulis dan disahkan oleh pegawai

pencatatan perkawinan atau notrais. Perjanjian perkawinan tersebut berlaku oleh

pegawai pencatatan perkainan atau notaris. Perjanjian perkawinan ini pun

berlangsung sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya, juga berlaku

bagi pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.119

Kewenangan notaris dalam pembuatan akta perjanjian kawin sebelum

berlakunya Undang-Undang Perkawinan. Perjanjian kawin harus dibuat secara

notariil (Pasal 147 KUHPerdata). Notaris sebagai pejabat umum tunduk pada

Peraturan Jabatan Notaris (PJN) yaitu Ord, Stbl 1860 No 3. Berdasarkan Pasal 1

119
Harlien Budiono. 2010. Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang
Hukum Kenotariatan. Bandung : Citra Aditya. Hm. 174

114
PJN menyebutkan bahwa notaris adalah pejabat umum satu-satunya berwenang

untuk membuat akta otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian dan penetapan

yang diharuskan oleh suatu peraturan umum atau oleh yang berkepentingan

dikehendaki untuk dinyatakan dalam suatu akta otentik, menjamin kepastian

tanggalnya, menyimpan aktanya dan memberikan grose, salinan dan kutipannya,

semua sepanjang pembuatan akta itu oleh suatu peraturan umum tidak juga

ditugaskan atau dikecualikan kepada pejabat atau orang lain.

Pada saat ini perjanjian kawin dapat dibuat secara tertulis baik notariil

maupun di bawah tangan. Apabila perjanjian kawin dibuat secara notariil, maka

harus notaris yang membuatnya, sedangkan perjanjian kawin di bawah tangan

dapat dibuat para pihak tanpa melibatkan notaris. Pasal 1 ayat (1) UUJN

menyebutkan bahwa notaris adalah pejabat umum yang berwenang untuk

membuat akta otentik dan kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam

undang-undang ini.120

Kewenangan notaris dalam membuat akta perjanjian kawin yang otentik

dapat kita lihat dalam Pasal 15 ayat (1) bahwa notaris berwenang membuat akta

otentik mengenai semua perbuatan, perjanjian, dan ketetapan yang diharuskan

oleh peraturan perundang-undangan dan/atau yang dikehendaki oleh yang

berkepentingan untuk dinyatakan dalam akta otentik, menjamin kepastian tanggal

pembuatan akta, menyimpan akta, memberikan grosse, salinan dan kutipan akta.

Semuanya itu sepanjang pembuatan akta-akta itu tidak juga ditugaskan atau

120
Santia Dewi dan Fauwas Diraja. 2011. Panduan Teori dan Praktik Notaris. PT Buku Seru.
Jakarta. Hlm 37

115
dikecualikan kepada pejabat lain atau orang lain yang ditetapkan oleh undang-

undang.

Selanjutnya Pasal 1870 KUHPerdata menyebutkan suatu akta otentik

memberikan di antara para pihak beserta ahli warisnya atau orang-orang yang

mendapat hak dari mereka merupakan suatu bukti yang sempurna tentang apa

yang dimuat di dalamnya. Akta otentik merupakan suatu bukti yang mengikat

dalam arti bahwa apa yang ditulis dalam akta tersebut harus dipercaya oleh hakim,

yaitu harus dianggap sebagai benar, selama ketidakbenarannya tidak dapat

dibuktikan. Akta otentik memberikan bukti yang sempurna, artinya ia sudah tidak

memerlukan suatu penambahan pembuktian, dan merupakan suatu alat bukti yang

mengikat dan sempurna.121

Kewenangan Notaris lainnya tercantum dalam Pasal 15 ayat (2) huruf a

yaitu mengesahkan tanda tangan dan menetapkan kepastian tanggal surat di

bawah tangan dengan mendaftar dalam buku khusus. Contohnya adalah akta

perjanjian kawin yang dibuat di bawah tangan kemudian akta tersebut dilegalisasi

oleh notaris. Dasar hukum yang memperkenankan dibuatnya akta perjanjian

kawin di bawah tangan adalah Pasal 10 ayat (2) Keputusan Menteri Agama

Republik Indonesia Nomor 477 Tahun 2004 Tentang Pencatatan Nikah

menyebukan sebagai berikut: ” Perjanjian pernikahan dibuat rangkap 4 diatas

kertas bermaterai cukup menurut peraturan perundang-undangan; lembar pertama

untuk suami, kedua untuk isteri, ketiga untuk peghulu dan keempat untuk

pengadilan”.

121
Habib Adjie.2008.Hukum Notaris Indonesia-Tabir Tematik Terhadap UU Nomor 30 Tahun
2004tentang Jabatan Notaris. Bandung, PT. Rafika Adisama. Hlm. 45

116
Secara empiris, perjanjian perkawinan di Indonesia bukan sesuatu yang

populer dan dianggap sebuah keharusan. Meski begitu, ada apresiasi yang harus

dihaturkan kepada pemerintah sebagai pembentuk Undang-Undang a quo, tetap

mengakomodir kebutuhan terkait dengan perjanjian perkawinan. Di satu sisi, adat

ketimuran sendiri tidak terlalu mempertimbangkan terkait dengan hal ini.

Pembuatan perjanjian perkawinan justru disinyalir sebagai bentuk sifat

matrealisitis. Namun disisi yang lain pencantuman perjanjian perkawinan

merupakan usaha pemerintah dalam menampung kebutuhan masyarakat dan

perkembangan hukum di kemudian hari.122 R. Soetojo dan Asis Safioedin

mengatakan: pada umumnya perjanjian perkawinan di Indonesia ini dibuat

manakala terdapat harta kekayaan yang lebih besar pada suatu pihak daripada

pihak lain. Maksud pembuatan perjanjian perkawinan ini adalah untuk

mengadakan penyimpangan terhadap ketentuanketentuan tentang persatuan harta

kekayaan. Para pihak bebas menentukan hukum yang dikehendakinya atas harta

kekayaan yang menjadi obyeknya.123

Sehingga dengan adanya perjanjian perkawinan tersebut dapat memperjelas

status harta masing-masing, apakah termasuk harta bersama, ataukah harta asal.

Pada dasarnya hukum Islam tidak secara rinci menjelaskan perjanjian perkawinan,

namun lebih pada isyarat tentang kebenaran dan kebolehan mengadakan

perjanjian (secara universal) selama obyeknya tidak bertentangan dengan hukum

Islam serta memiliki unsur manfaat dan nilai kebaikan. Pada perjanjian

122
Syaifullahi Maslul, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/Puu-Xiii/2015 Ditinjau Dari
Pemenuhan Hak-Hak Asasi Manusia Dan Asas-Asas Pembentukan Perjanjian , Jurnal
Mahkamah IAIM NU Metro, Vol. 1, No. 2, Desember 2016, 409-424
123
Damanhuri. 2007. Segi-Segi Hukum Perjanjian Perkawinan: Harta Bersama, (Bandung: Mandar
Maju) Hlm 14

117
perkawinan kita dapat menjumpai adanya manfaat dan maslahat dari adanya

perjanjian perkawinan bagi pasangan suami istri dan juga manfaat bagi pihak lain.

Ketentuan dalam Pasal 29 UU No. 1 Tahun. 1974 tentang Perkawinan, yang

khusus mengatur tentang Perjanjian Perkawinan dan Pasal 35 UU No. 1 Tahun.

1974 tentang Perkawinan, yang khusus mengatur tentang Harta Bersama,

dimaksudkan oleh pembuat undang-undang agar dapat memberikan kepastian

hukum yang berkeadilan kepada para pihak dalam mengarungi mahligai rumah

tangga. Pasangan suami isteri yang telah mengikatkan diri ke dalam suatu tali

pernikahan, pada perjalanannya tidak sedikit yang berakhir dengan perceraian,

karena itu UU mengatur bagaimana melindungi kedua belah pihak khusus yang

berkaitan dengan harta benda yang ada pada saat perkawinan maupun harta banda

sebagai hasil usaha bersama dalam perkawinan. Bahkan sesungguhnya Perjanjian

Perkawinan juga dimaksudkan untuk memberikan perlindungan hukum kepada

para pihak ke tiga, yang memiliki hubungan kepentingan dengan harta benda para

pihak dalam perkawinan.124

Tegasnya, ketentuan yang ada saat ini hanya mengatur perjanjian

perkawinan yang dibuat sebelum, pada saat perkawinan dilangsungkan, dan

selama perkawinan. Sehingga suami istri yang karena alasan tertentu baru

merasakan adanya kebutuhan juga dapat untuk membuat Perjanjian Perkawinan

124
Adapun akibat hukum dari dibuatnya Perjanjian Perkawinan di antaranya adalah: 1.
Memisahkan harta kekayaan antara pihak suami dengan pihak istri sehingga harta kekayaan
mereka tidak bercampur. Oleh karena itu, jika suatu saat mereka bercerai, harta dari
masing-masing pihak terlindungi, tidak ada perebutan harta kekayaan bersama
ataugonogini. 2. Atas hutang masing-masing pihak pun yang mereka buat dalam
perkawinan mereka, masing-masing akan bertanggung jawabsendiri-sendiri. 3. Jika salah
satu pihak ingin menjual harta kekayaan mereka tidak perlu meminta ijin dari
pasangannya(suami/istri). 4. Begitu juga dengan fasilitas kredit yang mereka ajukan, tidak
lagi harus meminta ijin terlebih dahulu dari pasangan hidupnya (suami/istri) dalam hal
menjaminkan aset yang terdaftar atas nama salah satu darimereka

118
selama ikatan perkawinan. Perjanjian perkawinan ini mulai berlaku antara suami

dan isteri sejak perjanjian perkawinan dibuat dan disahkan dengan akta notaris. Isi

yang diatur di dalam perjanjian perkawinan tergantung pada kesepakatan

pihakpihak calon suami dan isteri, asal tidak bertentangan dengan Undang-

Undang, agama, dan kepatutan atau kesusilaan. Adapun terhadap bentuk dan isi

perjanjian perkawinan, kepada kedua belah pihak diberikan kebebasan atau

kemerdekaan seluas-luasnya (sesuai dengan asas hukum “kebebasan berkontrak”).

Persyaratan untuk sahnya suatu perjanjian apabila dianalisis lebih mendalam

sebenarnya sudah tercermin pada syarat perjanjian yang tersebut dalam Pasal 1320

KUH Perdata dan Pasal 45-46 Kompilasi Hukum Islam. Hanya dalam KUHpdt

terdapat pemisahan yang cukup tajam antara pelanggaran terhadap persyaratan

subyektif dan persyaratan obyektif. Pelanggaran atau tidak terpenuhinya

persyaratan subyektif akan berakibat perjanjian dapat dibatalkan sedangkan

pelanggaran terhadap persyaratan obyektif akan berakibat perjanjian batal demi

hukum, tetapi dalam fikih Islam pelanggaran terhadap syarat subyektif dan

obyektif akan berakibat batalnya perikatan. Jika perjanjian perkawinan yang telah

dibuat suami istri tidak dilaksanakan atau terjadi pelanggaran terhadap perjanjian

yang dibuat, maka secara otomatis memberi hak kepada istri untuk meminta

pembatalan nikah atau sebagai alasan gugat perceraian, hal ini seperti dinyatakan

dalam Pasal 51 Kompilasi Hukum Islam. 125 Upaya untuk mempertahankan

perjanjian perkawinan yang telah disahkan merupakan bagian hak bagi semua

pihak yang berjanji. Perkara tentang sengketa perjanjian perkawinan harus


125
Pelanggaran atas perjanjian perkawinan memeberihak kepada isteri untuk memeinta
pembatalan nikah atau mengajukannya. Sebagai alasan gugatan perceraian ke Pengadilan
Agama

119
diselesaikan oleh penegak hukum yang berwenang Perjanjian taklik talak yang

telah melembaga di Indonesia, bukan hanya dilihat dari sudut pandang suatu

peraturan yang mengandung nilai dasar manfaat, keadilan dan kepastian hukum,

tetapi mengandung nilai yang sifatnya transendental berupa hikmah.

BAB V

PENUTUP

5.1. Kesimpulan

120
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dipaparkan pada

bab IV, maka dapat disimpulkan :

1. Pembuatan perjanjian perkawinan pada hakikatnya dibuat oleh calon

mempelai dalam rangka menangani harta kekayaan masing-masing pihak

yang dibuat dihadapan notaris. Tanggung jawab notaris dalam pembuatan

akta yang dibuatnya adalah sebatas isi perjanjian yang telah memenuhi

syarat-syarat sahnya perjanjian berdasarkan Pasal 1320 KUHPerdata,

maka ia tidak dapat dituntut dipengadilan. Sebaliknya kalau tidak

memenuhi syarat sahnya perjanjian maka akta yang dibuat notaris dapat

dilakukan pembatalan oleh hakim. Pembatalan yang diputuskan oleh

hakim atas akta notaris bisa berbentuk (1) batal demi hukum; atau (2)

dapat dibatalkan.

2. Notaris dalam melaksanakan pembuatan perjajian perkawinan harus

memperhatikan berbagai hal di antaranya mengenai alasan-alasan para

pihak hendak melaksanakan perjanjian perkawinan khususnya setelah

perkawinan berlangsung; notaris harus memastikan alasan pembuatan

perjanjian perkawinan tersebut merupakan itikad baik dari para pihak;

notaris patut memastikan bahwa dengan dilaksankan perjanjian

perkawinan tersebut tidak merugikan pihak ketiga; selain itu notaris juga

harus mengetahui bahwa keinginan para pihak yang dituangkan kedalam

akta tidak bertentangan dengan batas-batas hukum kesusilaan dan agama;

dan notaris juga harus berhati-hati mengenai keabsahan dokumen yang

disampaikan kepada notaris harus dokumen yang sah. Selain itu, kehati-

121
hatian notaris lainnya dapat diwujudkan dalam isi akta tersebut yang

memastikan para pihak menjamin kebenaran dokumen para pihak dan

menjamin harta-harta yang disebutkan dalam akta tersebut tidak dalam

transaksi/jaminan atas suatu hutang.

5.2. Saran
1. Notaris sebagai profesi yang mulia dan bermartabat tentunya harus hati-

hati dalam menuangkan isi akta perjanjian kawin yang dikehendaki para

penghadap yang berdasarkan undang-undang, sebaiknya juga dapat

merumuskan hukum yang terkait dengan perjanjian kawin. Masalah

keabsahan identitas dan objek yang diperjanjikan harus dilihat sendiri

sebagai data formal dan materiil sebelum akta dibuat dan ditandatangani.

Untuk itu, sebelum membuat akta perjanjian kawin notaris harus yakin

dan percaya atas identitas para penghadap begitu juga objek/harta yang

diperjanjikan harus jelas

2. Saran yang dapat penulis sampaikan yaitu dalam hal pelaksanaan teknis

pengesahan perjanjian perkawinan pasca berlakunya putusan Mahkamah

Konstitusi No. 69/PUU-XIII/2015, maka pemerintah atau lembaga terkait

seharusnya dapat dibuat mengenai peraturan terkait pengesahan

perjanjian perkawinan, agar teknisnya dapat langsung segera diterapkan.

Dalam hal membuat keputusan, Mahkamah Konstitusi sebaiknya

memperhatikan ketentuan-ketentuan dalam peraturan sebelumnya, seperti

halnya pelaksanaan pembuatan perjanjian perkawinan yang disahkan

oleh notaris, hal ini tidak sinkron/harmonis dengan ketentuan UUJN.

Kemudian terhadap notaris yang melaksanakan pembuatan akta

122
perjanjian perkawinan khususnya pasca berlakunya putusan MK No.

69/PUU-XIII/2015, sebaiknya akta yang dibuat mengatur mengenai harta

yang akan berlaku setelah perjanjian perkawinan agar terlindung dari

resiko adanya permasalahan di masa yang akan datang. Saran terakhir

untuk pegawai pencatat perkawinan sebaiknya dalam hal mengesahkan

perjanjian perkawinan memperhatikan juga isi dari perjanjian tersebut

untuk memastikan agar perjanjian perkawinan tersebut tidak melanggar

ketentuan-ketentuan hukum, kesusilaan dan agama.

123

Anda mungkin juga menyukai

  • Daftar Pustaka
    Daftar Pustaka
    Dokumen4 halaman
    Daftar Pustaka
    Muhammad Arief Kurniawan
    Belum ada peringkat
  • Adib Najih 14410572
    Adib Najih 14410572
    Dokumen92 halaman
    Adib Najih 14410572
    Muhammad Arief Kurniawan
    Belum ada peringkat
  • Achmad Kardiansyah
    Achmad Kardiansyah
    Dokumen103 halaman
    Achmad Kardiansyah
    Muhammad Arief Kurniawan
    Belum ada peringkat
  • Konsep
    Konsep
    Dokumen1 halaman
    Konsep
    Muhammad Arief Kurniawan
    Belum ada peringkat
  • Abstrak
    Abstrak
    Dokumen1 halaman
    Abstrak
    Muhammad Arief Kurniawan
    Belum ada peringkat
  • Konsep
    Konsep
    Dokumen1 halaman
    Konsep
    Muhammad Arief Kurniawan
    Belum ada peringkat
  • POS-LANSIA
    POS-LANSIA
    Dokumen34 halaman
    POS-LANSIA
    Muhammad Arief Kurniawan
    Belum ada peringkat
  • Surat Pernyataan Belum Nikah
    Surat Pernyataan Belum Nikah
    Dokumen1 halaman
    Surat Pernyataan Belum Nikah
    Muhammad Arief Kurniawan
    Belum ada peringkat
  • f2 Jajanan Sehat Anak-1
    f2 Jajanan Sehat Anak-1
    Dokumen2 halaman
    f2 Jajanan Sehat Anak-1
    Muhammad Arief Kurniawan
    Belum ada peringkat
  • Konsep
    Konsep
    Dokumen1 halaman
    Konsep
    Muhammad Arief Kurniawan
    Belum ada peringkat
  • Latar Belakang
    Latar Belakang
    Dokumen37 halaman
    Latar Belakang
    Muhammad Arief Kurniawan
    Belum ada peringkat