Anda di halaman 1dari 11

MASA IDDAH WANITA HAMIL YANG DITINGGAL WAFAT

SUAMINYA MENURUT FATWA ALI BIN ABI THOLIB DAN


ABDULLAH BIN MAS’UD
Oleh
ROSIDIN, S.Ag. M. Pd.I*

A. Latar Belakang
Perkawinan dalam agama Islam dipandang sebagai sesuatu yang suci dan mulia.
Manusia seharusnya menjalankan perintah perkawinan yang suci dan mulia itu dengan baik
dan benar. Suatu perkawinan dalam Islam dipandang sempurna apabila suami istri mampu
membentuk kehidupan rumah tangga yang harmonis, bahagia dan sejahtera baik lahir
maupun batin atau dengan kata lain dapat mewujudkan rumah tangga yang sakinah,
mawaddah warahmah sebagaimana tersirat dalam al Quran dalam surat ar Ruum ayat 21,
yaitu :
ٗ ‫وﺟﻌﻞ َ ۡﺑﯿﻨ َُﻜﻢ ﱠ َ ﱠ‬
‫ﻣﻮدة‬ َ َ َ َ ‫إﻟﯿﮭﺎ‬ ٓ ُ ُ ۡ َ ّ ِ ‫أزوﺟﺎ‬
َ ۡ َ ِ ْ‫ﻟﺘﺴﻜﻨﻮا‬ ٗ َ ٰ ۡ َ ‫أﻧﻔﺴﻜﻢ‬
ۡ ُ ِ ُ َ ‫ﻣﻦ‬
ۡ ّ ِ ‫ﻟﻜﻢ‬ ُ َ ‫ﺧﻠﻖ‬ َ َ َ ‫ءاﯾﺘﮫۦ َ ۡأن‬
ٓ ِ ِ َ ٰ َ ‫وﻣﻦ‬
ۚ ۡ
ۡ ِ َ
ٖ ۡ َ ّ ِ ‫ﻷﯾﺖ‬
َ ُ ‫ﻟﻘﻮم َ َ َ ﱠ‬
٢١ ‫ﯾﺘﻔﻜﺮون‬ ٖ َ ٰ ٓ َ ‫ذﻟﻚ‬َ ِ َ ٰ ‫إن ِﻓﻲ‬ ‫ورﺣﻤﺔً ِ ﱠ‬
َ َ َ
Artinya : "Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-
istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi
kaum yang berpikir".
Ayat tersebut di atas sangat relevan dengan tujuan perkawinan yang menyebutkan
bahwa tujuan sebuah perkawinan adalah untuk mewujudkan keluarga sakinah, mawaddah
warahmah. Selain itu perkawinan merupakan suatu cara untuk memperoleh suatu
keturunan, karena orang tua memandang anak sebagai penerus generasi dan sebagai
perlindungan dirinya pada saat usia mulai tua.
Allah menciptakan makhluknya berpasang-pasangan, menjadikan manusia laki-laki
dan perempuan, menjadikan hewan jantan dan betina, begitu pula tumbuhan-tumbuhan. Hal
ini dimaksudkan agar semua makhluk hidup berpasang-pasangan, rukun dan damai,
sehingga akan tercipta suatu kehidupan yang tenteram, teratur dan sejahtera. Agar makhluk
hidup dan kehidupan di dunia ini tetap lestari, maka harus ada keturunan yang akan
menjadi generasi penerus yang akan melangsungkan dan melanjutkan jalannya roda
kehidupan di bumi ini. Untuk itu harus ada pengembangbiakan yaitu dengan mengawinkan
pasangan dari makhluk yang berlainan jenis yaitu laki-laki dan perempuan.
Allah tidak mau menjadikan manusia itu seperti makhluk lainnya yang hidup bebas
mengikuti naluri dan berhubungan antara laki-laki dan perempuan secara anarkhis dan tidak
ada satu aturan. Tetapi demi menjaga kehormatan dan martabatnya, sehingga hubungan

*
Penghulu Pertama pada KUA Kecamatam Way Halim Kota Bandar Lampung
2

antara laki-laki dan perempuan diatur secara terhormat dan berdasarkan saling ridho
meridhoi, dengan upacara ijab qabul sebagai lambang dari adanya sebuah pernikahan dan
dengan dihadiri oleh para saksi kedua belah pihak.
Perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang berlaku pada semua makhluk
Tuhan, baik pada manusia, hewan maupun tumbuh-tumbuhan dan merupakan cara yang
dipilih oleh Allah sebagai jalan bagi manusia untuk berkembang biak dan melestarikan
hidupnya setelah masing-masing pasangan siap melakukan perannya yang positif dalam
mewujudkan tujuan perkawinan yaitu suatu keluarga yang penuh dengan ketenangan,
ketenteraman dan kedamaian sebagaimana dimaksud dengan kata mawadah warahmat.
Dalam perkawinan apabila sangat terpaksa boleh melakukan talak atau cerai dengan
berbagai latar belakang alasan, walaupun Allah SWT sangat membenci perbuatan talak
tetapi tetap memberikan peluang bagi keluarga yang tidak dapat mempertahankan
keutuhannya. Sedangkan bagi wanita yang sudah dijatuhi talak oleh suaminya tersebut
memiliki masa iddah.
Iddah secara harfiah berasal dari kata "adda" yang berarti menghitung atau
sejumlah. Adapun secara syara' adalah masa tunggu bagi wanita yang ditinggal mati atau
bercerai dari suaminya. Hal ini dimaksudkan untuk membuktikan kekosongan rahim dari
janin, sehingga tidak tercampur nasab keturunan serta untuk memberi kesempatan rujuk
kepada suami yang mentalak istrinya dengan talak raj’i (bukan talak bain/tiga) setelah
tenang jiwanya dan hilang rasa marahnya demi menjaga keutuhan tali perkawinan.
Penetapan masa iddah bagi wanita hamil yang ditinggal wafat oleh suaminya
bertujuan untuk memberi kesempatan berkabung padanya terhadap suami yang
meninggalkannya untuk selama-lamanya, lagi pula tidak pantas bagi seorang istri yang baru
ditinggal wafat oleh suaminya untuk menikah dengan pria lain
Diantara tokoh yang memiliki pandangan yang berbeda tentang masa iddah bagi
wanita hamil yang ditinggal wafat oleh suaminya adalah Ali bin Abi Tholib dan Abdullah
bin Mas’ud. Ali bin Abi Tholib berfatwa bahwa masa iddah bagi wanita hamil yang
ditinggal wafat oleh suaminya adalah menunggu sampai kandungannya melahirkan (at
Talak ayat 4) juga menunggu selama empat bulan sepuluh hari (al Baqarah ayat 234). Ali
bin Abi Thalib melanjutkan pendapatnya jika seorang istri hamil yang ditinggal wafat oleh
suaminya dan melahirkan kandungannya sebelum jatuh tempo yaitu empat bulan sepuluh
hari, maka diharuskan baginya untuk menangguhkan lagi dirinya untuk menikah dengan
pria lain sampai habis masa iddahnya, tetapi jika telah melewatinya sebelum melahirkan
kandungannya maka diwajibkan baginya untuk menangguhkan diri sampai saat kelahiran.

B. Permasalahan
Berdasarkan uraian di atas, penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut :
1. Bagaimana fatwa Ali bin Abi Thalib dan Abdullah bin Mas’ud tentang masa Iddah bagi
wanita hamil yang ditinggal wafat oleh suaminya ?
2. Apa yang melatarbelakangi perbedaan fatwa antara Ali bin Abi Thalib dan Abdullah
bin Mas’ud tentang masa Iddah bagi wanita hamil yang ditinggal wafat oleh suaminya?

C. Kajian Teoritis

1. Pengertian Iddah
3

‫ َ ُ ﱡ‬-‫ ﻋَﺪﱠ‬artinya, ُ‫ﺣﺴﺒﮫ‬


Iddah berasal dari bahasa Arab dari kata-kata, ‫ﯾﻌﺪ‬ َ ْ َ:
َ ِ َ -ُ‫اﺣﺼﺎه‬
yaitu “menghitung atau menyangka”. Jadi kata iddah artinya hitungan atau perkiraan
atau sangkaan.
Adapun pengertian iddah menurut istilah syara’, ada beberapa definisi yang
dikemukakan oleh beberapa ulama, antara lain :
a. Muhammad Abu Zahrah memberikan definisi iddah sebagai berikut :
ِ َ ِّ ‫ا ر‬
ِ ََ ‫ﻣﻦ‬ ِ ِ ِ ِ ‫اﻟﻌﺪةُ ا َﺟﻞ‬
ِ ِ ‫ﻹﻧﻘﻀﺎء ﻣﺎ‬ ِ
‫اﻟﻨﻜﺎح‬ ْ ‫ﺑﻘﻲ‬ َ ُ ٌ ْ ‫َْ ﱠ‬
َ َ َ َ ْ ‫ﺿﺮب‬
Artinya : “Iddah ialah masa yang ditetapkan untuk membersihkan diri dari sisa-
sisa perkawinan
b. Imam Hanafiyah menyebutkan definisi iddah sebagai berikut :

ِ ْ ‫اﻟﻨﻜﺎح َ ِاو‬
ِ َ ِّ ‫ا ر‬ ِ ِْ ِ ‫ﺿﺮب‬
ِ ِ ‫ﻹﻧﻘﻀﺎء ﻣﺎ‬
ِ َ َ ‫ﻣﻦ‬
ِ ‫اﻟﻔَﺮ‬
‫اش‬ ْ ‫ﺑﻘﻲ‬
َ َ َ َ َ ِ ُ ‫اﺟﻞ‬
ٌ َْ
Artinya : “Waktu yang ditentukan untuk membersihkan sisa-sisa pengaruh dari
akibat perkawinan atau hubungan di atas ranjang” .
c. Imam Malikiyah menyebutkan definisi iddah sebagai berikut :
ِ َ ِّ ‫ﻓﺴﺦ‬
‫اﻟﻨﻜﺎح‬ ِ ْ َ ‫اﻟﺰوج َْاو‬
ِ ْ ‫ﻣﻮت ﱠ‬ ِ ِ ِ ِ ‫ﳝﺘﻨﻊ ِﻓﻴﻤﺎ اﻟﺰواج‬
ِ ‫ﻃﻼق ْاﻟﻤﺮَِأة َاو‬ ِ ‫ﱠ‬
ْ َ ْ ْ َ َ َ ‫ﺑﺴﺒﺐ‬ َ ُ َُ َ ْ ُ ََْ ٌ‫ﻣﺪة‬ُ
Artinya : “Suatu masa dimana masa tersebut dilarang menikah, baik karena
tertalaknya seorang wanita, atau kematian suaminya, atau fasakhnya
perkawinan

Berdasarkan beberapa definisi dan uraian yang telah dikemukakan ulama


mengenai iddah, kiranya dapat diambil satu kejelasan bahwa iddah itu merupakan
masa tunggu yang telah ditetapkan oleh syara’ bagi seorang wanita untuk tidak
mengadakan akad nikah dengan laki-laki lain di dalam masa iddah tersebut. Masa
tunggu itu sebagai akibat ditinggal mati atau perceraian dengan suaminya, dengan
maksud tujuan untuk mengetahui apakah rahimnya benar-benar bersih tidak berisi
janin.

2. Macam-macam Iddah dan Dasar Hukumnya


Macam-macam iddah sekaligus dalil–dalil yang menjadi dasar hukumnya
adalah sebagai berikut :
a. Iddah wanita yang masih berdarah haid.
Wanita bersuami ada yang sudah di campuri oleh suaminya adapula yang
belum. Wanita bersuami yang belum pernah di campuri oleh suaminya, jika cerai
hidup tidak wajib iddah meskipun ia masih dalam usia haid. Dasar hukumnya
adalah surat al Ahzab ayat 49 yaitu :

ۡ ُ َ ‫ﻓﻤﺎ‬
‫ﻟﻜﻢ‬ ‫ﻗﺒﻞ َأن َ َ ﱡ ُ ﱠ‬
َ َ ‫ﺗﻤﺴﻮھﻦ‬ ‫ﺛﻢ َ ﱠ ۡ ُ ُ ُ ﱠ‬
ِ ۡ َ ‫طﻠﻘﺘﻤﻮھﻦ ِﻣﻦ‬ ‫َﺖ ُ ﱠ‬ ِ ۡ ُ ۡ ‫َﻜﺤﺘﻢ‬
ِ ‫ٱﻟﻤﺆﻣ ٰﻨ‬ َ ِ ْ‫ءاﻣﻨﻮا‬
ُ ُ ۡ َ ‫إذا ﻧ‬ ٓ ُ َ َ ‫ٱﻟﺬﯾﻦ‬ َ ‫ٰ َٓ َ ﱡ‬
َ ِ ‫ﯾﺄﯾﮭﺎ ﱠ‬
ٗ ِ َ ‫ﺳﺮاﺣﺎ‬
٤٩ ‫ﺟﻤﯿﻼ‬ ‫ﻓﻤﺘﻌﻮھﻦ َ َ ِ ّ ُ ُ ﱠ‬
ٗ َ َ ‫وﺳﺮﺣﻮھﻦ‬ ۖ َ ‫ﺗﻌﺘﺪوﻧ‬
‫َﮭﺎ َ َ ِ ّ ُ ُ ﱠ‬ ‫ﻋﺪة َ ۡ َ ﱡ‬ ۡ ِ ‫ﻋﻠﯿﮭﻦ‬
ٖ ‫ﻣﻦ ِ ﱠ‬ ‫َ َۡ ِ ﱠ‬
Artinya : ”Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-
perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum
4

kamu mencampurinya maka sekali-kali tidak wajib atas mereka iddah


bagimu yang kamu minta menyempurnakannya, Maka berilah mereka
mut`ah (pemberian) dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang
sebaik-baiknya”.
b. Iddah wanita yang tidak disetubuhi
Iddah wanita yang tidak berhaid meliputi ; anak-anak yang belum pernah
berhaid sama sekali atau sudah dewasa dan pernah haid kemudian putus. Iddah
mereka itu adalah tiga bulan yang menjadi dasar hukum dan ketentuan ini adalah
firman Allah SWT, dalam surat at Thalaq ayat 4 yaitu :
‫أﺷﮭﺮ‬ َ َ ٰ َ ‫ﻓﻌﺪﺗﮭﻦ‬
ٖ ُ ۡ َ ُ‫ﺛﻠﺜﺔ‬ ‫ٱرﺗﺒﺘﻢ َ ِ ﱠ ُ ُ ﱠ‬
ۡ ُ ۡ َ ۡ ‫إن‬
ِ ِ ‫ﻧﺴﺎﺋﻜﻢ‬ ِ ِ َ ۡ ‫ﻣﻦ‬
ۡ ُ ِ ٓ َ ِّ ‫ٱﻟﻤﺤﯿﺾ ِﻣﻦ‬ ‫َ ٰ ٓﱠ‬
َ ۡ ِ َ ‫وٱﻟـِٔ ﻲ‬
َ ِ ‫ﯾﺌﺴﻦ‬
‫َ ٰ ٓﱠ‬
َ ۚ ۡ ِ َ ‫وٱﻟـِٔ ﻲ َ ۡﻟﻢ‬
٤… ‫ﯾﺤﻀﻦ‬
Artinya : “Dan perempuan-perempuan yang putus dari haid di antara perempuan-
perempuanmu, jika kamu ragu-ragu (tentang masa iiddahnya) maka
iddah mereka adalah tiga bulan dan begitu pula perempuan-perempuan
yang tidak haid”.
c. Iddah wanita yang ditinggal mati suaminya.
Para ulama sepakat bahwa iddah wanita yang ditinggal mati suaminya dan
wanita itu tidak dalam kondisi hamil adalah empat bulan sepuluh hari. Ini mencakup
wanita dan anak-anak, yang sudah menopause atau belum, dan juga meliputi wanita
yang sudah dicampuri atau belum. Hal ini bila diperoleh kepastian bahwa wanita itu
tidak hamil,adapun jika diperkirakan ia hamil, ia harus menunggu sampai
melahirkan, atau diperoleh kepastian tidak ada benih. Selanjutnya perlu
dikemukakan bahwa dasar hukum ketentuan ini adalah firman Allah dalam surat al
Baqarah ayat 234 yaitu :

ۖ ٗ ۡ َ َ ‫أﺷﮭﺮ‬
َ ِ َ ‫وﻋﺸﺮا‬
‫ﻓﺈذا‬ ٖ ُ ۡ َ َ‫أرﺑﻌﺔ‬
َ َ ۡ َ ‫ﺑﺄﻧﻔﺴﮭﻦ‬
‫ﯾﺘﺮﺑﺼﻦ ِ َ ُ ِ ِ ﱠ‬
َ ۡ ‫أزوﺟﺎ َ َ َ ﱠ‬ ٗ َ ٰ ۡ َ ‫وﯾﺬرون‬
َ ُ َ َ َ ‫ﻣﻨﻜﻢ‬ َ ِ‫َ ﱠ‬
َ ۡ ‫وٱﻟﺬﯾﻦ ُ َ َ ﱠ‬
ۡ ُ ِ ‫ﯾﺘﻮﻓﻮن‬
َ ُ َ ۡ َ ‫ﺑﻤﺎ‬
‫ﺗﻌﻤﻠﻮن‬ ِ ۗ ُ ۡ َ ۡ ِ ‫أﻧﻔﺴﮭﻦ‬
‫ﺑﭑﻟﻤﻌﺮوف َ ﱠ‬
َ ِ ُ_‫وٱ‬ ‫ﻓﻲ َ ُ ِ ِ ﱠ‬
ٓ ِ ‫ﻠﻦ‬َ ۡ َ‫ﻓﯿﻤﺎ َﻓﻌ‬ ۡ ُ ۡ َ َ ‫َﺎح‬
َ ِ ‫ﻋﻠﯿﻜﻢ‬ َ ‫ﻓﻼ ُﺟﻨ‬ ‫ﺑﻠﻐﻦ َ َ َ ُ ﱠ‬
َ َ ‫أﺟﻠﮭﻦ‬ َ ۡ ََ
٢٣٤ ‫ﺧﺒﯿﺮ‬ ٞ َِ
Artinya : “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu, dengan meninggalkan
istri-istri, (hendaklah para istri itu ) menangguhkan dirinya (beriddah)
empat bulan sepuluh hari. Kemudian bila habis masa iddahnya, maka tiada
dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka
menurut yang patut, Allah mengetahui apa yang kamu perbuat”.

3. Hikmah Adanya Iddah


Allah melarang atau memerintahkan sesuatu kepada hambanya tentu ada
hikmahnya. Demikian pula ditetapkannya iddah bagi isteri setelah putus perkawinannya
mengandung beberapa hikmah antara lain sebagai berikut :
a. Untuk mengetahui bersihnya rahim seorang isteri sehingga tidak tercampur antara
keturunan seorang dengan yang lain.
b. Iddah bagi isteri yang ditalak raj’i oleh suaminya mengandung arti memberi
kesempatan secukupnya kepada bekas suami-isteri itu untuk memikirkan,
merenungkan dan memperbaiki diri pribadi masing-masing dan memahami
kekurangannya, mempertimbangkan kemaslahatan hidup bersama di masa-masa
5

selanjutnya, mengenang jasa dan kebaikan hati pihak yang satu terhadap yang
lainnya, mempertimbangkan nasib anak-anaknya. Kesemuanya itu dianalisa dalam
suasana tenang dan hati yang dingin. Dengan demikian masing-masing pihak
berkesempatan luas untuk mempertimbangkan kesemuanya itu dengan sebaik-
baiknya, kemudian mengambil langkah bijaksana untuk kemungkinan bersepakat
ruju’ kembali sebagai suami-isteri.
c. Suatu masa yang harus dipergunakan oleh calonnya terutama suami yang akan
menikahinya untuk tidak cepat-cepat masuk ke dalam kehidupan si isteri yang baru
bercerai dengan mantan suaminya.
d. Kebaikan perkawinan tidak dapat terwujud sebelum kedua suami isteri sama-sama
hidup lama dalam ikatan aqadnya

4. Biografi Ali bin Abi Thalib


Alī bin Abī Thālib adalah salah seorang pemeluk Islam pertama dan juga
keluarga dari Nabi Muhammad. Menurut Islam Sunni, ia adalah Khalifah terakhir dari
Khulafaur Rasyidin. Sedangkan Syi'ah berpendapat bahwa ia adalah Imam sekaligus
Khalifah pertama yang dipilih oleh Rasulullah Muhammad SAW. Uniknya meskipun
Sunni tidak mengakui konsep Imamah mereka setuju memanggil Ali dengan sebutan
Imam, sehingga Ali menjadi satu-satunya Khalifah yang sekaligus juga Imam. Ali
adalah sepupu dari Muhammad, dan setelah menikah dengan Fatimah az-Zahra, ia
menjadi menantu Muhammad.
Ali dilahirkan di Mekkah, daerah Hejaz, Jazirah Arab, pada tanggal 13 Rajab.
Menurut sejarawan, Ali dilahirkan 10 tahun sebelum dimulainya kenabian Muhammad,
sekitar tahun 599 Masehi atau 600 (perkiraan). Muslim Syi'ah percaya bahwa Ali
dilahirkan di dalam Ka'bah. Usia Ali terhadap Nabi Muhammad masih diperselisihkan
hingga kini, sebagian riwayat menyebut berbeda 25 tahun, ada yang berbeda 27 tahun,
ada yang 30 tahun bahkan 32 tahun.
Beliau bernama asli Abdul Hasan Haydar Ali bin Abi Thalib ibn Abdul
Muthalib Al Hasyim Al Quraisy. Haydar yang berarti Singa adalah harapan keluarga
Abu Thalib untuk mempunyai penerus yang dapat menjadi tokoh pemberani dan
disegani diantara kalangan Quraisy Mekkah.
Setelah mengetahui sepupu yang baru lahir diberi nama Haydar, Nabi SAW
terkesan tidak suka, karena itu mulai memanggil dengan Ali yang berarti Tinggi(derajat
di sisi Allah).
Ali dilahirkan dari ibu yang bernama Fatimah binti Asad, dimana Asad
merupakan anak dari Hasyim, sehingga menjadikan Ali, merupakan keturunan Hasyim
dari sisi bapak dan ibu.
Kelahiran Ali bin Abi Thalib banyak memberi hiburan bagi Nabi SAW karena
beliau tidak punya anak laki-laki. Uzur dan faqirnya keluarga Abu Thalib memberi
kesempatan bagi Nabi SAW bersama istri beliau Khadijah untuk mengasuh Ali dan
menjadikannya putra angkat. Hal ini sekaligus untuk membalas jasa kepada Abu Thalib
yang telah mengasuh Nabi sejak beliau kecil hingga dewasa.

5. Biografi Abdullah bin Mas’ud


Abdullah bin Mas’ud termasuk dalam golongan pertama yang masuk Islam (as-
sabiquna al awalun) urutan ke-6 dari para sahabat Rasulullah dan ia termasuk pula
sebagai orang yang hijrah ke Habsyah yaitu hijrah pertama kali dalam islam.
6

Nama lengkapnya Abdullah bin Mas’ud bin Ghofil bin Habib al-Hadzaly.
Biasanya dipanggil Abu Abdurrahman. Beliau dikenal dengan sebutan “Habrul
Ummah”(ilmuan umat Islam) seperti halnya Ibn ‘Abbas. Beliau juga termasuk orang
yang ahli fiqh.
Cerita tentang masuknya Abdulah bin Mas’ud ke dalam Islam, beliau berkata,
”Adalah aku menggembala kambing kepunyaan ‘Uqbah abi Mu’ith. Tiba-tiba berlalu
Rasulullah bersama Abu Bakar. Kemudian Rasulullah bertanya, “Ya Ghulam (anak
kecil), apakah ada susu di kambing ini ?
Aku menjawab, “Ada tetapi aku hanya diamanati (ini bukan kepunyaanku)
lantas Rasulullah bertanya lagi, “Adakah kambing betina yang belum di dekati si
jantan?” Kemudian aku datangkan kambing betina kepada beliau, kemudian Rasulullah
mengusap kantong kelenjar susunya, hingga keluarlah susu, lantas beliau memerahnya
pada sebuah wadah, kemudian beliau meminumnya dan memberi Abu Bakar.
Beliau bersabda pada kantong susu tersebut, “menyusutlah kamu’. maka
susutlah air susu. Seusai kejadian itu aku datang kepada beliau. ”Ya Rasulullah
ajarkanlah kepadaku al Quran. Kemudian Rasulullah mengusap kepalaku sambil
mendo’akan, ”Semoga Allah merahmatimu, sesungguhnya kamu ini anak kecil yang
mulhama (yang diilhami Allah dengan kebaikan dan kebenaran). Dalam riwayat yang
lain, “Ajarkanlah kami al Quran”. Kemudian Nabi bersabda, Sesungguhnya kamu
adalah anak kecil yang pandai. Lantas kami mengambil 70 surat dari ucapan lisan
Rasulullah.
Beliau adalah sahabat Rasulullah yang berbadan kurus, pendek, besar perutnya
serta kecil kedua betisnya. akan tetapi ia sangat lembut, sabar dan cerdik. Abdullah
termasuk ulama pandai, sehingga dikatakan sebagai al-imam al-hibr (pemimpin yang
alim, yang shalih). Faqihu al-Ummah (fakihnya ummat). Ia termasuk bangsawan mulia,
termasuk sebaik-baik manusia dalam berpakaian putih

D. Pembahasan

Sebagaimana telah diuraikan bahwa Ali bin Abi Thalib berfatwa berkenaan dengan
masa iddah bagi wanita hamil yang ditinggal wafat suaminya adalah masa yang terlama
dari dua masa, dengan dasar menggabungkan kedua ayat kemudian mengamalkan hukum
keduanya bersama-sama yakni firman Allah SWT dalam surat al Baqarah ayat 234 yaitu :

ۖ ٗ ۡ َ َ ‫أﺷﮭﺮ‬
َ ِ َ ‫وﻋﺸﺮا‬
‫ﻓﺈذا‬ ٖ ُ ۡ َ َ‫أرﺑﻌﺔ‬
َ َ ۡ َ ‫ﺑﺄﻧﻔﺴﮭﻦ‬
‫ﯾﺘﺮﺑﺼﻦ ِ َ ُ ِ ِ ﱠ‬
َ ۡ ‫أزوﺟﺎ َ َ َ ﱠ‬ٗ َ ٰ ۡ َ ‫وﯾﺬرون‬
َ ُ َ َ َ ‫ﻣﻨﻜﻢ‬ َ ِ‫َ ﱠ‬
َ ۡ ‫وٱﻟﺬﯾﻦ ُ َ َ ﱠ‬
ۡ ُ ِ ‫ﯾﺘﻮﻓﻮن‬
َ ُ َ ۡ َ ‫ﺑﻤﺎ‬
‫ﺗﻌﻤﻠﻮن‬ َ ِ ُ_‫وٱ‬ ِ ۗ ُ ۡ َ ۡ ِ ‫أﻧﻔﺴﮭﻦ‬
‫ﺑﭑﻟﻤﻌﺮوف َ ﱠ‬ ‫ﻓﻲ َ ُ ِ ِ ﱠ‬ َ ۡ َ َ ‫ﻓﯿﻤﺎ‬
ٓ ِ ‫ﻓﻌﻠﻦ‬ ۡ ُ ۡ َ َ ‫َﺎح‬
َ ِ ‫ﻋﻠﯿﻜﻢ‬ َ ‫ﻓﻼ ُﺟﻨ‬ ‫ﺑﻠﻐﻦ َ َ َ ُ ﱠ‬
َ َ ‫أﺟﻠﮭﻦ‬ َ ۡ ََ
٢٣٤ ‫ﺧﺒﯿﺮ‬ ٞ َِ
Artinya : "Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-
isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber'iddah) empat bulan
sepuluh hari. Kemudian apabila Telah habis 'iddahnya, Maka tiada dosa bagimu
(para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang
patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat". (Q.S. al Baqarah : 234)
7

Menurut Ali bin Abi Thalib ayat ini menunjukkan umum bagi istri-istri yang
ditinggal wafat oleh suaminya baik dalam keadaan hamil ataupun tidak adalah empat bulan
sepuluh hari. Dan juga firman Allah SWT dalam surat at Thalaq ayat 4 yaitu :
‫أﺷﮭﺮ َ ٰ ٓﱠ‬
‫وٱﻟـِٔ ﻲ َ ۡﻟﻢ‬ ُٖ ۡ َ ُ َ
‫ﺛﻠﺜﺔ‬َ ٰ َ ‫ﻓﻌﺪﺗﮭﻦ‬
‫ﱠ‬ ُ ُ ‫ﱠ‬ ِ َ ۡ ُ ۡ
‫ٱرﺗﺒﺘﻢ‬َ ۡ ‫إن‬
ِ ِ ُ
‫ﻧﺴﺎﺋﻜﻢ‬
ۡ ِ ٓ َ ّ ِ ‫ﻣﻦ‬ ِ ‫ٱﻟﻤﺤﯿﺾ‬
ِ ِ َ ۡ ‫ﻣﻦ‬
َ ِ ‫ﯾﺌﺴﻦ‬
َ ۡ ِ ‫ﻲ‬
َ ِٔ َ ‫ﱠ‬ ٰٓ
‫وٱﻟـ‬
ۡ ِ ‫ﻟﮫۥ‬ ‫ﱠ‬ ۚ
‫ﯾﻀﻌﻦ َﺣﻤۡ َ ُ ﱠ‬ َ ُ َ َ ۡ ٰ ُ
ُ َ ْ َ ‫ﯾﺤﻀﻦ‬ َۚ ۡ ِ َ
‫ﻣﻦ‬ ُ ‫ﯾﺠﻌﻞ‬ َ ۡ َ َ_‫ٱ‬ ‫ﯾﺘﻖ ﱠ‬ ِ ‫وﻣﻦ َ ﱠ‬ َ َ ‫ﻠﮭﻦ‬ َ ۡ َ َ ‫أﺟﻠﮭﻦ أن‬ ‫ٱﻷﺣﻤﺎل َ ُ ﱠ‬
ِ َ ۡ ‫وأوﻟﺖ‬
٤ ‫ﯾﺴﺮا‬ ٗ ۡ ُ ‫ﺮهۦ‬ِ ِ ‫َ ۡأﻣ‬
Artinya : "Dan perempuan-perempuan yang tidak haid lagi (monopause) di antara
perempuan-perempuanmu jika kamu ragu-ragu (tentang masa iddahnya),
Maka masa iddah mereka adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-
perempuan yang tidak haid. dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu
iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya dan barang
siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya
kemudahan dalam urusannya". (Q.S. ath Thalaq: 4).

Ayat ini bersifat umum yang mencakup wanita-wanita hamil yang diceraikan oleh
suaminya atau wanita hamil yang ditinggal wafat suaminya. Ali bin Abi Thalib telah
menggabungkan kedua ayat yang bersifat umum itu dengan mengkhususkan surat at
Thalaq ayat 4 terhadap wanita hamil yang diceraikan oleh suaminya saja, karena dalam ayat
ini sebelumnya ada disebutkan 'qarinah' (penyertaan) bermacam-macam keadaan wanita
yang diceraikan; seperti wanita manopause dan wanita yang belum berhaidh, dengan tidak
mengabaikan sifat umum keduanya yang mencakup wanita-wanita hamil, wanita
manopause dan wanita yang belum berhaid yang ditinggal wafat oleh suami-suami
mereka".
Jadi pendapat Ali bin Abi Thalib dalam hal ini adalah jika seorang istri hamil yang
ditinggal wafat suaminya dan melahirkan kandungannya sebelum jatuh tempo empat bulan
sepuluh hari, maka diharuskan baginya untuk menangguhkan lagi dirinya dari nikah dengan
pria lain sampai habis masa itu, tetapi jika ia telah melewatinya sebelum melahirkan
kandungannya maka diwajibkan baginya untuk menangguhkan diri sampai saat kelahiran.
Adapun Ibnu Mas'ud memandang bahwa iddah wanita hamil yang ditinggal wafat
suaminya adalah sampai ia melahirkan kandungannya walaupun kelahiran itu terjadi
sebelum jatuh tempo empat bulan sepuluh hari. Pendapatnya ini berdasarkan lil firman
Allah SWT dalam surat at Thalaq ayat 4 : "Dan perempuan-perempuan yang hamil waktu
iddah mereka itu adalah sampai mereka melahirkan kandungannya".
Ayat ini menurut Abdulah bin Mas’ud diturunkan setelah turunnya ayat pada surat
al Baqarah ayat 234. Abdulah bin Mas’ud menjelaskan bahwa "apakah kalian akan
membuat kesulitan pada wanita tersebut dan tidak memberikan keringanan padanya”?,
sesungguhnya ayat yang pendek ini diturunkan sesudah ayat yang panjang".
Abdulah bin Mas’ud juga memperkuat pendapatnya ini dengan keputusan hukum
yang dikeluarkan oleh Rasulullah SAW pada peristiwa Subai'ah Al-Aslamiah, demikian
Ummu Salamah meriwayatkan "bahwasanya seorang perempuan dari Qabilah Bani
Aslam yang bernama Subai'ah Al Aslamiah ditinggal wafat oleh suaminya dalam keadaan
mengandung, datanglah Abu Sanabil bin Ba'aka melamarnya, tetapi ia menolaknya.
Kemudian dikatakan padanya "Demi Allah engkau tidak pantas menikah lagi sehingga
engkau beriddah sampai akhir dua masa". Maka kemudian perempuan itu menangguhkan
dirinya selama kurang lebih sepuluh malam hingga ia melahirkan kandungannya. Setelah
8

itu ia menghadap Rasulullah SAW, beliapun bersabda "menikahlah dengan siapa saja yang
engkau kehendaki".
Apabila kita menganalisa lebih dalam terhadap fatwa Ali bin Abi Thalib tentang
masa iddah bagi wanita hamil yang ditinggal wafat oleh suaminya, dilatarbelakangi bukan
hanya didasari pada kekosongan rahim perempuan dari janin sebagai satu-satunya
pertimbangan bagi berakhirnya masa iddah perempuan hamil yang ditinggal mati
suaminya, tetapi dipertimbangkan pula masa berkabung yang empat bulan sepuluh hari
meskipun dengan melahirkan saja sudah cukup sebagai bukti kuat bagi kosongnya rahim
wanita, namun hal ini tidak ia jadikan sebagai standar bagi masa iddahnya kecuali jika telah
melewati tempo yang telah ditentukan.
Ali bin Abi Thalib selain memperhatikan segi kekosongan rahim juga
menambahkan pentingnya seorang istri yang baru ditinggal mati suaminya untuk berkabung
atas kematiannya, maka menurut fatwa Ali tidak dihalalkan baginya untuk menikah lagi
kecuali setelah melewati masa berkabung yang telah ditentukan lamanya oleh al Quran
meskipun ia telah melahirkan kandungannya sebelum masa itu.
Ada kemungkinan perempuan yang ditinggal mati suaminya dalam keadaan hamil
itu melahirkan kandungannya sebelum melewati masa empat bulan sepuluh hari, maka
masa yang terima di antara dua masa baginya adalah dengan menunggu sampai akhir masa
berkabung tersebut, yakni setelah perempuan itu melahirkan kandungannya ia masih harus
menunggu dan dalam hal ini masa iddahnya adalah empat bulan sepuluh hari.
Atau boleh jadi pula ia melahirkan kandungannya setelah melewati masa
berkabung, maka masa yang terima di antara dua masa baginya adalah dengan melahirkan
kandungannya. Dengan demikian masa iddahnya adalah sampai ia melahirkan
kandungannya, karena masa yang empat bulan sepuluh hari sudah termasuk dalam masa
hamil.
Menurut hemat penulis fatwa Imam Ali bin Abi Thalib terhadap adanya masa
berkabung bagi perempuan hamil yang ditinggal wafat suaminya adalah sesuatu yang
mengandung makna yang dalam, karena secara adat manapun tidak layak bagi seorang
perempuan yang baru saja ditinggal mati suaminya untuk langsung menikah lagi dengan
laki-laki lain atau setelah beberapa hari saja dari kematian sang suami. Yang demikian itu
menunjukkan kurangnya penghormatan terhadap jalinan tali perkawinan yang suci serta
mengingkari kebaikan-kebaikan ataupun keutamaan-keutamaan orang yang pernah
mendampingi hidupnya.
Ini semua ditinjau dari satu aspek, sedangkan dari aspek yang lain adalah
sesungguhnya dengan adanya masa berkabung bagi perempuan yang baru ditinggal
suaminya akan memberikan gambaran yang baik baginya di mata masyarakat umum. Hal
itu juga dapat mencegah pembicaraan orang yang tidak baik atas dirinya dan dapat menjaga
kemuliaannya sehingga tidak ada seorangpun yang membicarakannya atau menjelek-
jelekkannya ataupun menghinanya oleh sebab perlakuannya yang tidak layak terhadap
suami yang telah meninggal. Terlebih lagi dengan adanya masa berkabung tersebut akan
mempererat hubungan kekeluargaan dengan pihak almarhum suami, karena hal itu
menunjukkan betapa seorang istri masih ingat akan kebaikan-kebaikan yang pernah
diberikan sang suami padanya dan betapa ia dapat memenuhi hak-hak suami semasa hidup
maupun sesudah ia tiada. Selain itu semua dimaksudkan pula untuk menghormati perasaan
sanak keluarga dan kaum kerabatnya, dan juga untuk mengungkapkan kesetiaan atau
kesedihan hati karena ditinggal suami untuk selama-lamanya sebagai orang yang pernah
9

mendampingi hidupnya, ataupun hal-hal lain yang kesemuanya itu dapat mempererat
hubungan kekeluargaan.
Lebih lanjut Ali bin Abi Thalib menjelaskan perbedaan masa berkabung terhadap
suami dan berkabung terhadap lainnya. Musibah kematian yang menimpa seseorang sudah
pasti di belakangnya meninggalkan kekalutan, kepedihan dan kesedihan yang merupakan
tabiat alamiah. Allah SWT yang Maha Bijaksana dan Maha Waspada telah membolehkan
yang wajar-wajar saja dari hal itu, yaitu selama tiga hari untuk mengembalikan ketenangan
jiwa dan menghilangkan kekalutan.
Kemudian ia menambahkan dibolehkannya bagi wanita untuk berkabung karena
wanita adalah makhluk yang lemah dan biasanya kurang sabar untuk berkabung atas
kematian sanak familinya selama tiga hari, adapun berkabung atas kematian suami bagi
mereka adalah seiring dengan masa iddah, karena sesungguhnya setiap wanita perlu
berhias, berdandan dan memakai wewangian agar lebih dicintai oleh suami dan supaya hati
suami tenteram memandangnya serta agar mendapatkan perlakuan yang harmonis darinya.
Namun setelah sang suami meninggal dunia ia diharuskan untuk beriddah karenanya, dan
selagi dalam masa iddahnya tersebut berarti ia masih terikat kewajiban dengan suami yang
telah meninggal, yaitu dengan tidak memakai wewangian, pakaian-pakaian yang menyolok
atau perhiasan-perhiasan sebagaimana dilakukan oleh istri-istri di hadapan suami mereka.
Hal itu dimaksudkan untuk menutup kemungkinan laki-laki lain tertarik padanya atau
sebaliknya ia yang berpaling pada laki-laki lain dengan melupakan suami yang belum lama
meninggal. Setelah masa iddah atau masa berkabungnya selesai jika ia berhajat untuk
menikah lagi maka dibolehkan baginya untuk bersolek, memakai perhiasan dan lain
sebagainya sebagaimana layaknya seorang wanita yang bersuami.
Tidak ada sesuatupun yang lebih baik daripada perintah untuk berkabung bagi istri-
istri yang baru ditinggal mati suaminya dengan meninggalkan perbuatan-perbuatan atau
hal-hal lain yang biasa mereka lakukan selama jangka waktu tertentu kemudian dibolehkan
kembali setelah masa berkabungnya selesai.
Adapun yang melatar belakangi fatwa Abdulah bin Mas’ud tentang masa iddah bagi
wanita hamil yang ditinggal wafat oleh suaminya adalah sampai ia melahirkan
kandungannya walaupun kelahiran itu terjadi sebelum jatuh tempo empat bulan sepuluh
hari adalah adanya hadits yang diriwayatkan oleh Subai'ah Al-Aslamiah "bahwasanya
seorang perempuan dari Qabilah Bani Aslam yang bernama Subai'ah Al Aslamiah
ditinggal wafat oleh suaminya dalam keadaan mengandung, datanglah Abu Sanabil bin
Ba'aka melamarnya, tetapi ia menolaknya. Kemudian dikatakan padanya "Demi Allah
engkau tidak pantas menikah lagi sehingga engkau beriddah sampai akhir dua masa".
Maka kemudian perempuan itu menangguhkan dirinya selama kurang lebih sepuluh malam
hingga ia melahirkan kandungannya. Setelah itu ia menghadap Rasulullah SAW, beliapun
bersabda "menikahlah dengan siapa saja yang engkau kehendaki".
Fatwa Abdullah bin Mas’ud sangat bertentangan dengan fatwa Ali bin Abi Thalib.
Menurut Ali bin Abi Thalib fatwa yang menyebutkan tujuan masa iddah selain untuk
mengetahui kekosongan rahim juga untuk memberi kesempatan berkabung atas kematian
suaminya. Menurutnya meskipun tidak ada hadits Subai'ah dalam menetapkan masa yang
terima dari dua masa (bagi masa iddah perempuan hamil yang ditinggal mati suaminya)
tetap tidak benar.
Berdasarkan latar belakang pemikiran antara Ali bin Thalib dengan Abdullah bin
Mas’ud tersebut di atas, menurut penulis bahwa pendapat Imam Ali bin Abi Thalib adalah
yang paling mendekati kebenaran kalau saja tidak ada hadits Subai'ah Al-Aslamiah (hadits
10

yang dijadikan sandaran oleh Abulah bin Mas’ud) yang menerangkan bahwa sesungguhnya
iddah perempuan hamil yang ditinggal wafat suaminya adalah berakhir dengan melahirkan
kandungannya walaupun hal itu terjadi sesaat saja setelah kematian suaminya, karena
pendapat ini dikuatkan oleh adanya hadits shahih (hadits Subai'ah) yang wajib untuk
diikuti, sesuai dengan perintah Allah SWT.

E. Kesimpulan

Berdasar kepada uraian sebelumnya dan mengacu kepada rumusan masalah yang
telah dirumuskan, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Ali bin Abi Tholib berfatwa bahwa masa iddah bagi wanita hamil yang ditinggal wafat
oleh suaminya adalah menunggu sampai kandungannya melahirkan (at Thalaq ayat 4)
juga menunggu selama empat bulan sepuluh hari (al Baqarah ayat 234). Jika seorang
istri dalam kondisi hamil besar/tua yang ditinggal wafat oleh suaminya dan melahirkan
kandungannya sebelum jatuh tempo yaitu empat bulan sepuluh hari, maka diharuskan
baginya untuk menangguhkan lagi dirinya untuk menikah dengan pria lain sampai
habis masa iddahnya, (empat bulan sepuluh hari). Jika telah melewati empat bulan
sepuluh hari tapi belum melahirkan kandungannya maka diwajibkan baginya untuk
menangguhkan diri sampai melahirkan. Inilah yang dikenal dengan istilah ab’adul
ajalain yaitu masa yang panjang antara dua masa.
2. Abdullah bin Mas’ud berfatwa bahwa masa iddah bagi wanita hamil yang ditinggal
wafat oleh suaminya adalah sampai ia melahirkan kandungannya walaupun kelahiran
itu terjadi sebelum jatuh tempo empat bulan sepuluh hari. Abdullah bin Mas’ud
menandaskan pendapatnya dengan firman Allah dalam surat at Thalaq ayat 4.
3. Fatwa Ali bin Abi Thalib ini dilatarbelakangi bukan hanya didasari pada kekosongan
rahim perempuan dari janin sebagai satu-satunya pertimbangan bagi berakhirnya masa
iddah perempuan hamil yang ditinggal mati suaminya, tetapi dipertimbangkan pula
masa berkabung yaitu empat bulan sepuluh hari meskipun dengan melahirkan saja
sudah cukup sebagai bukti kuat bagi kosongnya rahim wanita. Adapun fatwa Abdulah
bin Mas’ud berdasarkan kepada surat at Thalaq ayat 4 juga hadits yang diriwayatkan
oleh Subai'ah Al-Aslamaiah.

F. Kepustakaan

Abdur Rahim Muhammad, Pengantar ke Fiqih Imam Ali RA., Penerjemah Suaidi, Arista,
Jakarta, 1988.
Abdurrahman Al-Jaziri, Al Fiqh Ala Mazahabil Arba’ah, Darul Fikr, Beirut, th 1990.
Abu Zahroh Muhammad, Al-Ahwallusy-Syakshiyah, Darul Fiqr, Al Arabi, Mesir, 1987.

Ahmaad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, Cet III , Bulan Bintang, Jakarta,
1984.
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, UII Press, Yogyakarta, 2000.
Al Ustdaz Farid Wajdy, Mukaddamah Al Mushafful Mufassar, Al Maktabah, Cairo, t.th.,
As Syirazi, Thabaqat Fuqaha, Dar al Ilmi, Mesir, t. th.
Departemen Agama RI., Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Gunung Pesagi, Bandar
Lampung, 1996.
___________, Al Quran dan Terjemahnya, Toha Putra, Semarang, 1989.
11

Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Daarul Ihyaali Kutub, Al-Arabiyah, cet ii, Indonesia. tt.
Muhammad Hasby Ash Shidiqiy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al Quran dan Tafsir,
Pustaka Riski Putra, Semarang, 1997.
__________, Ilmu Al Quran : Pokok-pokok dalam Menafsirkan Al Quran, Bulan Bintang,
Jakarta, 1981.
Sayid Sabiq, Fiqih Sunnah, Penerjemah, Syaiful Islam, Jilid 6, Al Maarif, Bandung, 1996.
_________, Fiqih Sunnah, Penerjemah, Syaiful Islam, Jilid 14, Al Maarif, Bandung, 1996.
Sumiati, Hukum Perkawinan Islam Dan Undang-Undang Perkawinan NO I , 1974,
Liberty, Jakarta,,1986.

Anda mungkin juga menyukai