Anda di halaman 1dari 17

FEMINISME: PEMIKIRAN, SEJARAH, DAN

PERMASALAHANNYA

FEMINISME
Pada Rabu 8 Maret 2006, ratusan perempuan memperingati Hari Perempuan Sedunia
dengan berunjuk rasa di Bundaran Hotel Indonesia dan melakukan long march ke Istana
Presiden dan gedung DPR-RI. Mereka menolak Rancangan Undang-undang Antipornografi
dan Pornoaksi yang saat itu tengah digodok DPR. Menurut para demonstran, banyak
perempuan akan kehilangan pekerjaan jika RUU tersebut diloloskan DPR karena RUU
tersebut akan memberlakukan jam malam bagi perempuan. Mereka menilai RUU tersebut
sangat bertentangan dengan UUD 1945 yang menjamin penegakan hak asasi manusia (HAM)
dan demokrasi. RUU ini juga dinilai mendiskriminasikan perempuan.
Sepuluh hari sebelumnya, Umdah El Baroroh, seorang aktivis Lembaga
Pemberdayaan Perempuan dan Anak Pinggiran (PPAP) Seroja, menulis di Surat Kabar
Kompas bahwa RUU ini sangat bias jender, sangat patriarkis, dan masih memosisikan
perempuan sebagai obyek seksual sehingga tidak mampu menyentuh akar persoalan yang
sebenarnya. Selama ini yang menjadi korban pornografi adalah perempuan. Mereka terjebak
pada sistem kapitalisme global. (Kompas 26 Februari 2006)
Meski akhirnya disahkan menjadi undang-undang dalam Sidang Paripurna DPR pada
30 Oktober 2008, RUU Antipornografi dan Pornoaksi sempat menjadi tema perbincangan
panas. Para feminis umumnya menolak RUU ini. Menurut mereka, RUU ini sangat
menyudutkan perempuan. RUU dipandang menganggap bahwa kerusakan moral bangsa
terjadi karena kaum perempuan tidak bertingkah laku sopan dan tidak menutup rapat-rapat
seluruh tubuhnya dari pandangan kaum laki-laki. Pemahaman ini menempatkan perempuan
sebagai pihak yang bersalah. Perempuan juga dianggap bertanggungjawab terhadap kejahatan
seksual.
Pandangan kaum feminis terhadap laki-laki memang selalu dipenuhi kecurigaan dan
kebencian. Penolakan terhadap RUU Antipornografi dan Pornoaksi bukanlah kasus pertama
dan terakhir yang mencerminkan emosi mereka kepada laki-laki. Pada 18 September 2011,
anggota Perkumpulan Pembela Hak Perempuan mengadakan aksi di Bundaran HI guna
mengecam himbauan Gubernur DKI Fauzi Bowo agar kaum perempuan muda tidak
menyulut kekerasan dengan memakai rok mini di depan umum. Himbauan itu muncul
sebagai keprihatinannya atas pemerkosaan yang menimpa seorang karyawati di atas angkot di
Jakarta. Dalam aksi tersebut, puluhan perempuan mengenakan rok mini dan membawa poster
bertuliskan “Jangan salahkan baju kami. Hukum si pemerkosa”, “My rok is my right”,
“Don't tell us how to dress. Tell them not to rape”, dan sebagainya.
Meskipun perempuan tampil menggoda, bagi kaum feminis laki-laki lah yang salah
mengapa ia tergoda. Terserah perempuan mau berpenampilan seperti apa. Sebab, ini adalah
hak perempuan untuk mengekspresikan kebebasannya. Laki-laki tidak berhak mengatur-atur
perempuan.

Definisi Feminisme
Kamla Bashin dan Nighat Said, dua orang feminis dari Asia Selatan, mengatakan,
“Tidak mudah untuk merumuskan definisi feminisme yang dapat diterima oleh atau
diterapkan kepada semua feminis di semua tempat dan waktu. Karena definisi feminisme
berubah-ubah sesuai dengan perbedaan realitas sosio-kultural yang melatarbelakangi
kelahirannya serta perbedaan tingkat kesadaran, persepsi, serta tindakan yang dilakukan para
feminis itu sendiri.” (Persoalan Pokok Mengenai Feminisme dan Relevansinya, hlm. 4)
Jadi, wajar kalau terdapat banyak definisi feminisme. Istilah feminisme sendiri berasal
dari bahasa Latin femina, perempuan. Konon dari kata fides dan minus menjadi fe-minus,
artinya kurang iman. Perempuan di Barat, dalam sejarahnya, memang diperlakukan seperti
manusia kurang iman. Wajah dunia Barat pun dianggap terlalu macho. Tapi lawan kata
feminis, yakni masculine, tidak lantas berarti penuh iman. Masculinus atau masculinity sering
diartikan sebagai strength of sexuality. Oleh karena itu dalam agama Barat, wanita Barat
menjadi korban inkuisisi dan di masyakarat menjadi korban perkosaan laki-laki. Tidak pelak
lagi, agama dan laki-laki menjadi musuh wanita Barat.
Dalam Webster’s New World Dictionary of The American Language disebutkan dua
definisi feminisme. Pertama, feminisme adalah the theory that women should have political,
economic, and social rights equal to those of men (teori bahwa kaum wanita harus memiliki
hak-hak politik, ekonomi, dan sosial yang setara sebagaimana yang dimiliki oleh kaum
lelaki). Kedua, feminisme adalah the movement to win such rights for women (gerakan untuk
memenangkan hak-hak bagi kaum wanita). (1960: 534)
Sarah Gamble mendefiniskan feminisme sebagai sebuah kepercayaan bahwa
perempuan –hanya karena mereka perempuan– diperlakukan tidak adil dalam masyarakat
yang dibentuk untuk memprioritaskan cara pandang dan kepentingan laki-laki. (Pengantar
Memahami Feminisme dan Postfeminisme, hlm. ix)
Sementara itu, Kamla Bashin dan Nighat Said mendefiniskan feminisme sebagai
“suatu kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam masyarakat, di
tempat kerja, dan dalam keluarga, serta tindakan sadar oleh perempuan maupun lelaki untuk
mengubah keadaan tersebut.” (Persoalan Pokok ..., hlm. 5)
Dari beragam definisi di atas, bisa disimpulkan bahwa feminisme mengandung
kecurigaan dan kebencian kepada laki-laki yang dipandang selalu menindas dan mengekang
hak wanita. Oleh karena itu, wanita harus bangkit melawan laki-laki. Pikiran seperti ini tentu
akan merusak hubungan laki-laki dan wanita. Wallahu a‘lam.

SEJARAH FEMINISME (Bagian 1)


Feminisme pertama kali muncul dan berkembang dari masyarakat Barat dengan latar
belakang problem mereka yang belum tentu terjadi di tempat lain. Jadi, gerakan feminis di
Barat sebenarnya merupakan respon dan reaksi terhadap situasi dan kondisi kehidupan
masyarakat di sana, terutama yang menyangkut nasib dan peran kaum wanita. Salah satu
sebabnya adalah pandangan “sebelah mata” terhadap wanita (misogyny) dan berbagai macam
anggapan buruk (stereotype) yang dilekatkan kepada mereka.
Dalam sejarahnya, wanita di Barat selalu dipandang dan diperlakukan secara buruk
dan tidak adil. Sejak zaman Yunani, tokoh seperti Plato dan Aristoteles, lalu zaman dominasi
Kristen pada Abad Pertengahan; dengan tokoh seperti St. Clement dari Alexandria, St.
Agustinus dan St. Thomas Aquinas; hingga awal abad modern, dengan tokoh seperti John
Locke, Rousseau dan Nietzsche; tidak pernah menganggap citra dan kedudukan wanita
setara dengan laki-laki. Oleh karena pandangan dan perlakuan buruk itulah, wanita kemudian
melakukan protes sehingga memunculkan feminisme.

Feminisme Periode Awal


Feminisme periode awal muncul di Inggris pada 1550–1700. Pada periode ini,
feminisme didefinisikan sebagai semua usaha untuk menghadapi perwujudan sistem
patriarkal. Istilah patriarkal mengacu pada hubungan kekuatan dimana kepentingan
perempuan dianggap lebih rendah daripada laki-laki. Hubungan kekuatan ini mempunyai
banyak bentuk, seperti penggolongan pekerjaan menurut jenis kelamin dan pemberdayaan
dalam organisasi masyarakat.
Sebagian besar penulis feminis pada periode ini mempertanyakan gagasan umum
bahwa perempuan adalah manusia berkelas rendah. Gagasan umum ini lahir dari kisah
pelanggaran Hawa di taman Eden (Kitab Kejadian bab 3) dimana ia dianggap tidak mampu
berperilaku sesuai moral dan rasionalitasnya lebih rendah daripada laki-laki. Karena alasan
ini, perempuan tidak berhak mendapatkan pendidikan.
Juan Luis Vives menulis buku Education of a Christian Woman (diterjemahkan oleh
Richard Hyrde, 1540), “Perempuan itu rapuh, kewaspadaannya lemah, dan mudah ditipu. Ibu
Hawa masuk perangkap setan hanya dengan bujukan sepele. Oleh sebab itu, seorang
perempuan tidak boleh mengajar, sehingga apabila ia memiliki pendapat dan kepercayaan
yang salah atas sesuatu, ia tidak akan menyebarkannya kepada pendengarnya.” Kondisi
pendidikan perempuan memang mengalami banyak peningkatan mulai tahun 1550–1700,
namun perempuan tetap dilarang untuk mendapat pendidikan pada tingkat universitas. (Sarah
Gamble, Pengantar Memahami Feminisme dan Postfeminisme, hlm. 3-17)

Gelombang Pertama
Berbagai bentuk diskriminasi terhadap perempuan dikecam oleh Mary Wollstonecraft
melalui tulisannya, A Vindication of the Rights of Woman, (terbit di London pada 1792). Ia
menuntut persamaan hak bagi perempuan baik dalam pendidikan maupun politik. Perempuan
harus dibolehkan bersekolah dan memberikan suaranya dalam pilihan raya umum (suffrage).
Menurutnya, kelemahan yang dimiliki kaum wanita lebih disebabkan oleh faktor lingkungan.
Lelaki pun kalau tidak berpendidikan dan diperlakukan seperti perempuan, akan bernasib
sama, lemah dan tertinggal.
Pemikiran Wollstonecraft bergema ke seantero Eropa dan Amerika. Tercatat tokoh-
tokoh semisal Clara Zetkin (1857–1933) di Jerman, Alexandra Kollontai (1873-1952) di
Rusia dan Victoria Calflin Woodhull (1838-1927), wanita Amerika pertama yang
mencalonkan diri sebagai Presiden pada 1872, menjadi pendukung setia gagasan
Wollstonecraft. Oleh karena itu, publikasi A Vindication of the Rights of Woman dianggap
sebagai tanda bagi munculnya gelombang pertama feminisme. (Syamsuddin Arif,
Orientalisme dan Diabolisme Pemikiran, hlm. 106)
Periode ini melahirkan feminisme liberal, feminisme radikal, dan feminisme marxis.
Feminisme liberal menuntut kesempatan dan hak yang sama bagi setiap individu, termasuk
perempuan, atas dasar kesamaan keberadaannya sebagai makhluk rasional. Feminisme
radikal menyatakan bahwa lembaga perkawinan adalah lembaga formalisasi untuk menindas
perempuan, sehingga tugas utama feminis radikal adalah menolak institusi keluarga.
Keluarga dianggapnya sebagai institusi yang melegitimasi dominasi laki-laki (patriarki)
sehingga perempuan ditindas.
Kelompok paling ekstrim dari gerakan feminis radikal adalah kaum feminis lesbian
yang menyatakan bahwa hubungan seks dengan orang yang berbeda jenis kelamin (dalam
keluarga) adalah benteng utama kekuatan laki-laki. Hubungan ini menjadi ajang penindasan
dan pemerkosaan terhadap perempuan. Sepanjang perempuan meneruskan hubungannya
dengan laki-laki, maka akan sulit berjuang melawan laki-laki. Oleh karena itu, menjadi
lesbian dianggap telah terbebas dari dominasi laki-laki.
Sementara itu, feminisme marxis memandang hubungan laki-laki dan perempuan
sebagai hubungan konflik antara kaum borjuis dan kaum proletar. Dalam sebuah keluarga,
suami adalah cerminan kaum borjuis karena dialah yang menguasai basis material keluarga
(nafkah), sehingga dia mempunyai kekuasaan dan posisi lebih kuat (sebagai kepala keluarga).
Sementara istri dan anak-anak adalah kaum proletar yang tertindas. (Siti Muslihati,
Feminisme, hlm. 31-36). Bersambung.

SEJARAH FEMINISME (Bagian 2)

Selain melahirkan feminisme liberal, feminisme radikal, dan feminisme marxis,


periode gelombang pertama juga memunculkan fenomena dimana kaum feminis berusaha
keras agar gerakan mereka mendapatkan legitimasi dari Bibel. Mereka tidak lagi menulis
God, tetapi juga Goddes. Sebab, gambaran Tuhan dalam agama mereka adalah Tuhan yang
maskulin. Mereka ingin Tuhan yang perempuan. Dalam buku “Feminist Aproaches to The
Bible”, seorang aktivis perempuan, Tivka Frymer Kensky, menulis makalah dengan judul
“Goddeses: Biblical Echoes”.
Tahun 1895, Elizabeth Cady Stanton menerbitkan buku The Women’s Bible, dimana
ia mengkaji seluruh teks Bibel yang berkaitan dengan perempuan. Kesimpulannya, Bibel
mengandung ajaran yang menghinakan perempuan, dan dari ajaran inilah terbentuk dasar-
dasar pandangan Kristen terhadap perempuan. Para tokoh agama Kristen kemudian
memandang karya Stanton sebagai karya setan. (Adian Husaini, “Kesetaraan Gender: Konsep
dan Dampaknya terhadap Islam” dalam Jurnal Islamia, Vol. III th 2010, hlm. 12)

Gelombang Kedua
Saat meletus perang dunia pertama dan kedua, gerakan feminisme sempat melemah.
Pada 1949 terbitlah buku Simone de Beauvoir, seorang feminis Perancis, berjudul The
Second Sex menandai munculnya gelombang kedua feminisme. Gerakan ini semakin
menguat pada akhir 1960-an hingga awal 1970-an. Beauvoir berargumen bahwa perbedaan
antara laki-laki dan perempuan bukan berakar dari faktor biologis, tetapi sengaja diciptakan
untuk memperkuat penindasan terhadap kaum perempuan. (Gadis Arivea, Pembongkaran
Wacana Seksis Filsafat Menuju Filsafat Berperspekstif Feminis, hlm. 8)
Beauvoir menyatakan, “Seseorang tidak terlahir, tetapi lebih menjadi perempuan.
Tidak ada takdir biologis, tetapi psikologis maupun ekonomislah yang menentukan figur
seorang perempuan dalam masyarakat. Peradabanlah yang membuat makhluk ini, menjadi
penengah antara laki-laki dan orang kebiri, yang dideskripsikan sebagai feminin.” (Sarah
Gamble, Pengantar Memahami Feminisme dan Postfeminisme, hlm. 41)
Pada gelombang kedua, tuntutan kaum feminis tidak hanya pada bidang politik dan
hukum, tetapi mereka menuntut hak mereka yang lebih luas. Pada gelombang kedua, para
feminis mengangkat isu liberation atau kebebasan di tengah-tengah tekanan masyarakat
patriakhy. Para feminis menilai isu persamaan (equality) tidak dapat dicapai dengan
pemberian hak memilih sehingga mereka merasa gelombang kedua sebagai waktu yang tepat
untuk muncul di ranah publik. Mereka menuntut persamaan dalam lapangan pekerjaan, baik
dalam mendapatkan upah maupun mendapatkan kedudukan dalam tempat kerja, tuntutan
dalam pendidikan, dan masalah pekerjaan rumah tangga. (Shilpi Gole, “Feminist Literary
Critism”, Language in India. Vol 10, (4 april 2010), hlm. 404)
Periode gelombang kedua ini melahirkan feminisme psikoanalisis dan feminisme
eksistensialisme. Feminisme psikoanalisis menyatakan bahwa penjelasan mendasar
penindasan perempuan terletak pada psyche (jiwa) perempuan, terutama cara pikir
perempuan. Sementara itu, feminisme eksistensialisme menyatakan bahwa penindasan
perempuan terjadi karena dianggap sebagai “other” (yang lain) dalam budaya yang
diciptakan oleh laki-laki.

Gelombang Ketiga
Gerakan feminisme berlanjut sampai muncul gelombang ketiga pada awal tahun
1980-an. Pada gelombang ketiga, gerakan ini memfokuskan sesuatu yang tidak terdapat pada
tuntutan gelombang kedua. Gerakan ini masih melihat adanya perbedaan laki-laki dan
perempuan dalam ras, etnik atau bangsa tertentu. Mereka menuntut keseragaman dalam
mendapatkan hak antara orang kulit putih dan hitam, karena dalam sejarah, perempuan kulit
hitam lebih menderita daripada perempuan kulit putih.
Aktivis feminis pada gelombang ketiga sering mengkritik feminis pada gelombang
kedua yang kurang memperhatikan perbedaan antara laki-laki dan perempuan dari segi ras,
eknik atau bangsa. Kritik feminis gelombang ketiga kepada feminis gelombang kedua secara
jelas disampaikan Lesley Heywood dan Jennifer Drake yang mendeklarasikan diri sebagai
‘post-feminist’ dan menyatakan bahwa mereka berseberangan dan mengkritik feminis
gelombang kedua.
Periode gelombang kedua ini melahirkan feminisme postmodern, feminisme
multikultural, feminisme global, dan ekofeminisme. Feminisme postmodern menyatakan
bahwa perbedaan antara laki-laki dan perempuan haruslah diterima dan dipelihara. Mereka
menganggap bahwa masyarakat telah diatur untuk saling  berhubungan di antara keduanya.
Feminisme multikultural memusatkan perhatian pada pandangan bahwa di dalam satu negara
seperti Amerika, tidak semua perempuan diciptakan atau dikonstruksi secara setara.
Tergantung bukan hanya pada ras dan etnis, tetapi juga pada identitas seksual, identitas
gender, umur, agama, tingkat pendidikan, pekerjaan/profesi, status perkawinan dan masih
banyak lagi.
Feminisme global memperluas gagasan yang dikemukakan oleh feminis multikultural.
Feminisme global menyatakan penindasan terhadap perempuan juga bisa disebabkan oleh
sistem yang tidak adil yang bukan hanya dilakukan oleh laki-laki tetapi  juga oleh perempuan
dan laki-laki dari tempat lain. Sementara itu, ekofeminisme berusaha menciptakan dan
menjaga kelestarian alam dan lingkungan dengan berbasis perempuan. Perempuan dianggap
memainkan  peran strategis dalam upaya mencegah atau setidaknya menciptakan lingkungan
alam yang nyaman dan asri.

FEMINISME DI DUNIA ISLAM

Pengaruh feminisme di Barat menyebar ke berbagai penjuru dunia, termasuk dunia


Islam. Gerakan feminisme dalam Islam sebenarnya timbul karena pengaruh pemikiran-
pemikiran dari luar yang mempunyai tujuan tertentu. Jauh sebelum gerakan feminis muncul,
Islam telah mengatur kehidupan dan gerak wanita. Aturan itu dijelaskan dalam Al-Qur’an
dan hadits-hadits Rasulullah. Pada abad ke-19, muncullah gerakan di Mesir yang bertujuan
memperjuangkan hak-hak wanita yang tidak bertentangan dengan syariat  Islam, misalnya
hak mendapatkan pendidikan, kiprahnya dalam bidang sosial, dan bidang agama.

Faktor Perkembangan
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan feminisme di Mesir.
Pertama, imperialisme Barat ke Timur Tengah banyak memberikan pengaruh terhadap
munculnya feminisme. M. Ali Pasha merupakan tokoh Mesir yang bertekad meninggalkan
tradisi mereka dan berusaha menggantinya dengan tradisi modern ala Barat dengan
mengirimkan keluarganya ke universitas-universitas di Eropa.
Kedua, pengaruh misionaris kristen. Sekitar abad ke-19 banyak didirikan lembaga
yang dikelola oleh para misionaris dan dikembangkan oleh para guru senior dengan kualitas
dan disiplin yang tinggi. Banyak perempuan mendaftar di lembaga tersebut. Para misionaris
itu kemudian mengubah ideologi mereka dengan ideologi Barat. Mereka mengutamakan
penggunaan bahasa Eropa sebagai bahasa pengantar.
Ketiga, bertambahnya pelajar muslim yang belajar ke universitas-universitas di Barat.
Keempat, dibukanya terusan Suez pada tahun 1869 . Daerah yang dahulu sepi disulap
menjadi kota metropolitan.

Dinamika Feminisme
Di dunia Islam, wacana emansipasi pertama kali digulirkan oleh Syekh Muhammad
Abduh (1849-1905 M). Tokoh reformis Mesir ini menekankan pentingnya anak-anak
perempuan dan kaum wanita mendapatkan pendidikan formal di sekolah dan perguruan
tinggi, supaya mereka mengerti hak-hak dan tanggung-jawabnya sebagai seorang Muslimah
dalam pembangunan umat.
Pandangan yang sama dinyatakan juga oleh Hasan At-Turabi dari Sudan.
Menurutnya, Islam mengakui hak-hak perempuan di ranah publik, seperti kebebasan
mengemukakan pendapat dan memilih, berdagang, menghadiri shalat berjamaah, ikut ke
medan perang dan lain-lain.
Ulama lain yang berpandangan kurang lebih sama adalah Syekh Mahmud Syaltut,
Sayyid Quthb, Syekh Yusuf Al-Qaradhawi dan Jamal A. Badawi. Sudah barang tentu para
tokoh ini mendasari pendapatnya pada ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadits.
Namun ada juga yang menggunakan pendekatan sekular, yaitu Qasim Amin.
Intelektual satu ini disebut-sebut sebagai “bapak feminis Arab”. Dalam bukunya yang
kontroversial, Tahrîr Al-Mar’ah (Kairo, 1899) dan Al-Mar’ah Al-Jadîdah (Kairo, 1900), ia
menyeru emansipasi wanita ala Barat. Untuk itu, kalau perlu, buanglah jauh-jauh doktrin-
doktrin agama yang konon menindas dan membelenggu perempuan, seperti perintah
berjilbab, poligami, dan lain sebagainya.
Gagasan-gagasan Qasim Amin telah banyak disanggah dan ditolak. Syekh Mahmud
Abu Syuqqah dalam karya monumentalnya, Tahrîr Al-Mar’ah fî ‘Ashr Ar-Risâlah (Kuwait,
1991), membuktikan bahwa tidak seperti yang sering dituduhkan, agama Islam ternyata
sangat emansipatoris. Setelah melakukan studi intensif atas literatur Islam klasik, ia
mendapati bahwa ternyata kedatangan Islam telah menyebabkan terjadinya revolusi gender
pada abad ke-7 Masehi.
`
Tokoh-Tokoh Feminis Muslim Lain
Selain mereka, ada beberapa nama yang dikenal sebagai tokoh feminis muslim. Salah
satunya adalah Fatima Mernissi. Wanita kelahiran Rabat Maroko pada 1940 ini mengecam
kesalahan penafsiran feminisme Barat terhadap Islam secara umum dan muslimah secara
khusus. Bagi Mernissi, kesalahan penafsiran Barat hanya menambah kompleksnya persoalan
perempuan di dunia Islam serta memancing permusuhan dari mereka.
Meskipun demikian, Mernissi juga secara berani meragukan keshahihahn beberapa
hadits yang ia nilai menyudutkan perempuan pada posisi yang rendah dan hina (misogini). Ia
melakukan banyak kritik terhadap hadis Nabi yang dinilainya sudah banyak mengalami
penyimpangan dan manipulasi.
Menurut Mernissi, ketersudutan perempuan itu disebabkan oleh banyaknya hadis
palsu yang bertentangan dengan semangat kesetaraan yang dibawa Nabi Muhammad SAW.
Ia menyoroti kecenderungan misoginis muncul dari tradisi pra-Islam, sehingga membuat
kesetaraan ideal sukar terwujud. Oleh karena itu, ia banyak membahas dan melakukan kritik
terhadap hadits-hadits misoginis.
Tokoh feminis muslim lainnya adalah Riffat Hassan dari Pakistan. Berbeda dengan
Mernissi yang memusatkan kritiknya pada hadits, Riffat memusatkan perhatiannya pada
tafsir Al-Qur’an, terutama ayat-ayat yang berkaitan dengan perempuan. Menurutnya, sikap
dan pandangan negatif terhadap perempuan berakar pada pandangan teologis tradisional dari
mufassir klasik. Ia kemudian membongkar logika teologi tradisionalis tersebut dan
menggantinya dengan teologi feminis. Ia menafsir ulang dengan menganalisa kata
qawwâmûn, Adam dan nafs wâhidah.
Masih ada beberapa tokoh feminis Muslim yang pengaruhnya merambah ke negeri-
negeri Muslim, seperti Nawal Al-Saadawi dari Mesir, Taslima Nasreen dari Bangladesh,
Assia Djebar dari Aljazair, Amina Wadud dari Amerika Serikat, Zainab Anwar dari
Malaysia, Siti Musdah Mulia dari Indonesia, dan masih banyak lagi.

FEMINISME DI INDONESIA

Sebagaimana negeri-negeri Muslim seperti Mesir, Maroko, dan Pakistan, pengaruh


feminisme juga menyebar di Indonesia. Sejarah awal masuknya paham ini pun juga tidak
lepas dari penetrasi pengaruh Barat melalui politik kolonialnya terhadap negeri ini.
Memasuki abad 20, Belanda berhasil menaklukkan semua perlawanan bersenjata di
berbagai penjuru Indonesia. Masa ini kemudian dipandang sebagai zaman keemasan
penjajahan Belanda di Indonesia. Sebagai penakluk, Belanda menganggap bangsa mereka
sebagai guru bagi penduduk negeri jajahan mereka. Sementara itu, penduduk pribumi
dipandang sebagai orang yang belum beradab sehingga membutuhkan pengajaran bangsa
Barat. Dari sinilah kemudian muncul politik etis. Salah satu programnya adalah edukasi.

Kartini Sang Pahlawan Feminisme?

Pada masa politik etis ini, muncullah seorang wanita muda dari Jepara. Kartini
namanya. Ia putri bupati Jepara. Menurut tradisi yang berlaku di kalangan priyayi Jawa
waktu itu, anak perempuan ketika memasuki usia gadis harus dipingit. Oleh karenanya, ia
tidak dapat melanjutkan sekolahnya saat berusia 12,5 tahun. Ia harus keluar dari sekolah dan
berdiam di balik tembok rumah selama 4 tahun dalam masa pingitan. Sedangkan saudara
laki-lakinya dapat terus melanjutkan sekolah.

Kartini hanya dapat membaca buku-buku dan surat kabar yang ada. Dengan bahasa
Belanda yang telah dikuasainya, Kartini menyalurkan gairah, energi, dan kekecewaannya
lewat surat-surat yang ditulisnya kepada teman-teman Belandanya (Ny. Abendanon, Stella,
Ny. Ovink-Soer, dan lainnya). Gagasan-gagasan utama dalam tulisannya adalah
meningkatkan pendidikan bagi kaum perempuan, baik rakyat jelata maupun golongan atas.
Kartini juga menolak poligami yang dianggap merendahkan derajat perempuan serta
memperjuangkan monogami.

Sampai pada titik ini, pemikiran-pemikiran feminis Kartini terlihat terang-benderang,


walaupun akhirnya ia memilih untuk meninggalkan pemikiran-pemikirannya ini. Kartini
rupanya lebih senang menjadi wanita Jawa apa adanya. Ia memilih untuk menikah, punya
anak, dan tidak bekerja mencari nafkah sendiri seperti yang ia angankan sebelumnya. Bahkan
pernikahan poligami yang sebelumnya sangat dimusuhi dan dianggapnya sangat
“diskriminatif” terhadap wanita, akhirnya ia jalani. Keputusannya ini sangat disayangkan
oleh teman-teman Balandanya, terutama Stella. Stella kecewa atas perubahan pikiran dalam
diri Kartini. Sebagai seorang penganut feminisme yang sudah mendarah-daging, Stella betul-
betul tidak dapat mengerti keputusan Kartini.

Paham feminis yang muncul dalam surat-surat Kartini hampir bisa dipastikan berasal
dari dua sumber di atas: sekolah Belanda dan teman-teman Belandanya. Beruntung bahwa
Kartini sesungguhnya tidak benar-benar menjadi feminis yang ekstrim: memusuhi laki-laki.
Feminisme bagi Kartini hanya sebatas wacana yang bergolak dalam pikirannya. Selebihnya ia
sampaikan itu dalam surat-suratnya. Kartini sendiri tidak pernah berniat sama sekali
mempublikasikan pikiran-pikirannya itu, bahkan sampai ia meninggal tahun 1904 dalam usia
25 tahun beberapa hari setelah melahirkan anak pertamanya.

Justru yang mempromosikan pemikiran-pemikiran feminis ini adalah Mr. J.H.


Abendanon, Menteri Agama, Pengajaran, dan Kerajinan Hindia Belanda. Ia mengumpulkan
semua surat-surat Kartini, menyusunnya, kemudian menerbitkannya tujuh tahun setelah
Kartini wafat. Abendanon sendiri, secara politis, adalah penganut aliran etis (baca: liberal) di
Belanda. Sangat wajar kalau ia kemudian mempromosikan ide-ide liberal seperti yang
tercermin dalam surat-surat Kartini. Secara tidak langsung Abendanon ingin mengajarkan
feminisme-liberal kepada masyarakat Indonesia, namun meminjam tangan anak bangsa
Indonesia sendiri, Kartini. Inilah sesungguhnya awal mula benih feminisme-liberal
ditaburkan di bumi Indonesia yang sesungguhnya tidak menyimpan masalah besar dalam
hubungan laki-laki perempuan sejak Islam datang ke negeri ini.

Masuknya Istilah Feminisme


Pada masa politik etis tadi, organisasi pergerakan wanita mulai muncul di negeri ini,
seperti Aisiyah (1920), Persatoean Perempuan Indonesea (1928) yang kemudian berganti
nama menjadi Perikatan Perhimpunan Istri Indonesia, dan Organisasi Istri Sedar (1930).
Setelah Indonesia merdeka, Istri Sedar berubah menjadi Gerakan Wanita Indonesia
(Gerwani). Pada 1955 muncul Organisasi Perempuan Islam dan Nasionalis, serta berbagai
kegiatan yang terikat pada partai politik dan gerakan keagamaan dalam bentuk Balai-balai
Perempuan, Bank-bank Perempuan, Surau Perempuan, Organisasi Perempuan serta Majalah
Perempuan. Selain itu, tahun 1954 lahir pula organisasi PERWARI (Persatuan Wanita
Republik Indonesia). Meskipun demikian, istilah feminisme belum dikenal di kalangan
organisasi-organisasi tadi.
Sebagai istilah baru, di Indonesia feminisme sudah dikenal sejak awal 1970-an,
terutama sejak tulisan-tulisan ilmiah tentang feminisme muncul di jurnal maupun surat kabar.
Akan tetapi sampai akhir tahun 1980-an, orang masih takut untuk mendengar istilah
feminisme. Baru di tahun 1990-an istilah feminisme –dan selanjutnya kaitan Islam dan
feminisme– mulai diterima banyak orang, khususnya sejak diterbitkannya beberapa buku
terjemahan terutama dari Riffat Hasan, Fatima Mernissi, Amina Wadud, dan Asghar Ali
Enginer. Wallahu a‘lam.

TAFSIR FEMINIS

Istilah tafsir feminis adalah istilah baru. Istilah ini tidak pernah dikenal dalam kitab-
kitab tafsir maupun ulûmul Qur’ân karya para ulama kita terdahulu. Istilah ini pun
menunjukkan adanya pengaruh feminisme dalam upaya mengkaji dan memahami Al-Qur’an
di kalangan kaum Muslimin.

Definisi
Ahmad Baidowi dalam bukunya, Tafsir Feminis; Kajian Perempuan dalam Al-
Qur’an dan Para Mufassir Kontemporer, mendefinisikan tafsir feminis sebagai upaya
pemahaman ulang atas ayat-ayat Al-Qur’an yang dilakukan oleh para feminis. Menurutnya,
menyebut mereka sebagai “mufassir” pun tidak salah, karena dalam kenyataannya mereka
memang menafsirkan Al-Qur’an, bukan sekadar menyampaikan penafsiran orang lain. Istilah
“mufassir feminis” dipakai untuk menegaskan bahwa mereka bukan hanya mufassir
melainkan sekaligus feminis, sehingga hasil-hasil penafsiran mereka pun bisa disebut dengan
istilah “tafsir feminis” karena memang memiliki corak feminis. (hlm. 20) Beberapa nama
yang bisa disebut telah menghasilkan karya di bidang tafsir feminis ini adalah seperti Riffat
Hassan, Asghar Ali Engineer, Amina Wadud Muhsin, Nasr Hamid Abu Zaid dan Nasaruddin
Umar.
Berbeda dengan penafsiran yang berkembang pada masa-masa terdahulu, yang
menafsirkan Al-Qur’an secara keseluruhan dengan menggunakan model tahlîlî, –menurut
Ahmad Baidowi– tidak semua ayat Al-Qur’an ditafsirkan ulang oleh para “mufassir feminis”.
Hanya ayat-ayat tertentu, khususnya yang terkait (baik secara langsung maupun tidak)
dengan relasi laki-laki dan perempuan yang dicobatafsirkan ulang oleh para “mufassir
feminis” tersebut. Di antara ayat-ayat yang ditafsirkan itu adalah ayat-ayat yang secara
harfiah memperlihatkan superioritas laki-laki atas perempuan, seperti penciptaan perempuan,
warisan, kepemimpinan dan lain-lain. Kemudian ayat-ayat yang terkait dengan “dunia”
perempuan, seperti menstruasi, hijab dan sebagainya. Juga ayat-ayat yang menceritakan
tentang ketokohan perempuan, seperti tentang Bilqis, Maryam dan sebagainya. (hlm. 19)

Latar Belakang
Sebagaimana namanya, kemunculan penafsiran-penafsiran yang bercorak feminis
jelas karena pengaruh feminisme Barat yang melanda dunia Islam. Jika di Barat para feminis
akhirnya berani mengkritik Bibel, di dunia Islam pun muncul feminis yang berani mengkritik
Al-Qur’an dan syariat Islam. Dalam pandangan para “mufassir feminis” kontemporer,
penafsiran klasik dianggap tidak lagi mampu menempatkan Al-Qur’an sebagai “kitab
petunjuk” sebagaimana yang diinginkan Al-Qur’an sendiri. Berangkat dari krisis “akut”
inilah, para “mufassir feminis” kontemporer ingin mengembalikan Al-Qur’an dalam
fungsinya yang sesungguhnya: sebagai kitab petunjuk bagi umat manusia (hudan lin nâs).
(hlm. 14-15)
Menurut Ahmad Baidowi, Al-Qur’an tidak dipahami sebagai wahyu Allah yang
“mati” sebagaimana dipahami kebanyakan mufassir klasik, melainkan sebagai tuntutan yang
bersifat “hidup” (the living Quran), mengingat kemunculannya pun bukan dalam ruang yang
hampa budaya, melainkan justru pada masa dan tempat yang sarat budaya. Oleh karenanya,
dalam memahami Al-Qur’an pun tidak cukup “mengandalkan” ilmu-ilmu alat seperti nahwu,
sharaf, balaghah, ushul fiqh, namun juga perlu melibatkan perangkat keilmuan modern yang
lain, seperti sosiologi, antropologi, psikologi dan sebagainya. Inilah yang dicoba lakukan oleh
para mufassir feminis. Pendekatan hermeneutik pun akhirnya menjadi pilihan mereka untuk
memahami (ulang) ayat-ayat Al-Qur’an. (hlm. 17)

Pengaruh Kristen
Semangat melakukan penafsiran ulang terhadap Al-Qur’an oleh mereka yang
dipandang sebagai “mufassir feminis” sebenarnya hanyalah mengikuti semangat kritik
terhadap Bibel yang dilakukan oleh feminis Kristen. Hermeneutika sendiri adalah metode
tafsir Bibel. Menurut metode ini, semua teks adalah produk budaya. Oleh karenanya,
pengarang teks tentu terpengaruh budaya tersebut. Jika Al-Qur’an ingin ditafsirkan dengan
hermeneutika, maka status Al-Qur’an sebagai kalâmullâh harus ditolak. Al-Qur’an harus
dipandang sebagai produk budaya, sebagaimana teks lain juga merupakan produk budaya.
Dalam sejarahnya, kaum feminis di Barat berusaha keras agar gerakan mereka
mendapatkan legitimasi dari Bibel. Mereka tidak lagi menulis God, tetapi Goddes. Sebab,
gambaran Tuhan dalam agama mereka adalah Tuhan yang maskulin. Mereka ingin Tuhan
yang perempuan. Dalam buku “Feminist Aproaches to The Bible”, seorang aktivis
perempuan, Tivka Frymer Kensky, menulis makalah dengan judul: “Goddeses: Biblical
Echoes”. Pamela J. Milne mencatat bahwa dalam tradisi Barat, Bibel menjadi sumber
terpenting bagi penindasan terhadap perempuan.
Pada 1895 Elizabeth Cady Stanton menerbitkan buku The Women’s Bible. Ia
mengkaji seluruh teks Bibel yang berkaitan dengan perempuan. Kesimpulannya, Bibel
mengandung ajaran yang menghinakan perempuan. Dari ajaran inilah terbentuk dasar-dasar
pandangan Kristen terhadap perempuan. (Adian Husaini, “Hermeneutika Feminis” dalam
Jurnal Al-Insan, No. 3 Vol. 2 2016, hlm. 105)
Sebagaimana di Barat, para feminis di dunia Islam pun berusaha agar gerakan mereka
mendapat legitimasi dari Al-Qur’an. Ketika teks Al-Qur’an tidak sesuai dengan gagasan
mereka, mereka membuat penafsiran baru. Mereka memandang penafsiran klasik bias
gender, padahal Al-Qur’an –kata mereka– mendukung kesetaraan gender. Wallâhu a‘lam.

TAFSIR FEMINIS AMINA WADUD

Nama Amina Wadud ramai diperbincangkan orang ketika ia mengimami shalat Jumat
di sebuah Gereja Katedral di Sundram Tagore Gallery 137 Greene Street, New York,
Amerika Serikat pada 18 Maret 2005. Selain menjadi imam, Amina Wadud yang merupakan
seorang profesor Islamic Studies di Virginia Commonwealth University, juga menjadi khatib
dalam shalat Jumat yang diikuti oleh sekitar 100 jamaah laki-laki dan wanita. Shaf laki-laki
dan wanita bercampur. Sang muadzin pun, seorang wanita, tanpa berkerudung.
Amina Wadud adalah seorang feminis. Ia menulis buku berjudul Qur’an and Woman:
Rereading The Sacred Text From a Woman’s Prespective. Melalui bukunya, Wadud berusaha
membongkar cara menafsirkan Al-Qur’an “model klasik” yang dinilainya menghasilkan
tafsir yang bias gender alias menindas wanita. Ia tidak menolak Al-Qur’an. Tetapi, yang ia
lakukan adalah membongkar metode tafsir klasik dan menggantinya dengan metode tafsir
gaya baru yang ia beri nama “hermeneutika tauhid”. Dengan metode tafsir gaya baru ini,
meskipun Al-Qur’annya sama, maka produk hukum yang diperoleh juga sangat berbeda.
Terjemahan buku Qur’an and Woman terbit di Indonesia pada 2001 dengan judul
Quran Menurut Perempuan: Meluruskan Bias Gender Dalam Tradisi Tafsir, diterbitkan oleh
PT Serambi Ilmu Semesta. Ini menunjukkan bahwa pemikiran Amina Wadud telah lama
mendapatkan pasar di negeri Muslim terbesar di dunia. Tulisan ringkas ini tidak akan
menanggapi keseluruhan isi buku tersebut. Tulisan ini hanya sekadar menunjukkan contoh
corak tafsir feminis.

Hermeneutika Tauhid
Amina Wadud menamai tafsir feminis yang diwacanakannya dengan istilah
hermeneutika tauhid. Dalam merumuskan konsep hermeneutika tauhid, Amina Wadud
berangkat dari asumsi dasar tentang relativisme tafsir. Menurut Wadud, sebenarnya tidak ada
suatu metode penafsiran pun yang benar-benar objektif, karena seorang penafsir seringkali
terjebak prasangka-prasangkanya sehingga kandungan teks itu menjadi terpotong dan
berubah maknanya. Setiap pemahaman atau penafsiran terhadap suatu teks, termasuk kitab
suci Al-Qur’an, menurutnya sangat dipengaruhi oleh pandangan pribadi mufassir, lingkungan
budaya, dan prasangka yang melatarbelakanginya. Itulah yang disebut oleh Wadud sebagai
pior texts.
Oleh karena itu, pemahaman atau penafsiran terhadap sautu ayat pasti terpengaruh
oleh konteks atau keadaan tempat dan zaman tertentu. Jadi, tidak ada penafsiran yang bisa
disimpulkan secara umum tanpa terpengaruh oleh konteksnya. Dengan demikian, tidak boleh
memaksakan pemahaman Al-Qur’an dari sudut pandang kebudayaan tunggal, apalagi
pandangan masyarakat Islam abad pertama. Hal itu akan menyebabkan terjadinya
pembatasan dalam penerapannya, sekaligus berlawanan dengan tujuan universal Al-Qur’an
itu sendiri.
Melalui teorinya ini, Wadud menegaskan adanya relativisme dalam penafsiran Al-
Qur’an. Maksudnya, kebenaran penafsiran Al-Qur’an itu relatif, tidak mutlak, dan tergantung
siapa yang menyatakannya. Ayat-ayat dan prinsip-prinsip Al-Qur’an memang tidak berubah,
tetapi yang berubah adalah kapasitas pemahaman dan penggambaran terhadap ayat-ayat
tersebut dalam sebuah masyarakat. Jadi, meskipun nash Al-Qur’an itu satu, tetapi
penafsirannya senantiasa berbeda-beda. (Lihat Qur’an and Woman terbitan Oxford University
Press cet. 2 th 1999 hlm. xii, 1-6)

Menjiplak Metode Bibel


Jika ditelaah, metode hermeneutika tauhid Amina Wadud sebenarnya hanyalah
menjiplak metode sejenis dalam tradisi penafsiran Bibel di kalangan feminis Kristen. Konsep
kesetaraan gender yang digagas oleh feminis Islam seperti Amina Wadud merupakan konsep
yang kebablasan dan membubarkan syariat Islam. Konsep ini berangkat dari ideologi Marxis
yang tidak menerima perbedaan fitrah dan jasadiah antara laki-laki dan wanita. Dalam
kenyataannya pun, kaum feminis sendiri tidak konsisten dalam menyikapi perbedaan
(diskriminasi) antara pria dan wanita.
Dalam lapangan olah raga, misalnya, kaum feminis tidak memprotes diskriminasi
gender. Cabang olah raga tinju, sepakbola, gulat, bulu tangkis, dan sebagainya, membedakan
antara kelompok pria dan wanita. Wanita ditempatkan dalam kelas lebih rendah dari kelas
pria. Kaum feminis tidak protes dan meminta agar dalam cabang-cabang olah raga itu mereka
disejajarkan dengan pria. Mereka tidak merasa terhina dengan diskriminasi semacam itu.
Amina Wadud mengabaikan perbedaan sifat antara teks Al-Qur’an dan teks Bibel.
Metode kontekstualisasi yang mengabaikan teks bisa dilakukan dalam tradisi Bibel, karena
teks Bibel memang bukan merupakan teks wahyu. Dalam keyakinan kaum Muslim, Al-
Qur’an –lafal dan maknanya– adalah dari Allah. Tidak ada campur tangan manusia, termasuk
Nabi Muhammad SAW sendiri. Nabi selalu memisahkan mana yang merupakan teks Al-
Qur’an dan mana ucapan beliau sendiri.
Berbeda dengan Al-Qur’an, Bibel memang ditulis oleh para penulis Bibel, yang
menurut konsep Kristen, mendapat inspirasi dari Tuhan. Meski demikian, diakui bahwa
unsur-unsur pribadi dan budaya berpengaruh terhadap penulis Bibel. Sebab, yang dianggap
wahyu Tuhan adalah makna dan inspirasi dalam Bibel, bukan teks Bibel itu sendiri. Wallahu
a‘lam.

FIKIH FEMINIS

Selain masuk ke ranah tafsir Al-Qur’an, pengaruh feminisme juga masuk ke ranah
fikih Islam. Sebagaimana tafsir feminis, istilah fikih feminis juga merupakan istilah baru
yang tidak dikenal oleh fuqaha’. Beberapa tahun belakangan, istilah fikih feminis mulai
diperkenalkan oleh pendukung pemikiran impor dari Barat itu.

Memahami Istilah Fikih Feminis


Sampai sekarang tidak ada pengertian baku mengenai fikih feminis. Meskipun istilah
baru ini belakangan muncul, hampir tidak pernah kita mendengar istilah faqih atau fuqaha’
feminis. Jika ada fikih feminis, semestinya ada pula faqih atau fuqaha’ feminis.
Ada dua kata yang mesti dipahami dari istilah fikih feminis, yaitu fikih dan feminis.
Para ulama mendefinisikan fikih sebagai ilmu tentang hukum-hukum syara‘ yang berupa
perbuatan yang digali dari dalil-dalil terperinci. Sementara itu, feminis adalah kata benda
yang berarti penganut feminisme. Jika dua kata itu digabung sehingga menjadi istilah baru,
barangkali yang dimaksud fikih feminis adalah pemahaman ulang atas hukum-hukum syara‘
berupa perbuatan yang dilakukan oleh para feminis.

Bias Gender dalam Fikih


Feminisme mengandung kecurigaan kepada laki-laki yang dipandang selalu menindas
dan mengekang hak wanita. Oleh karena itu, wanita harus bangkit melawan laki-laki. Salah
satu bentuk perlawanan tersebut adalah membongkar pemahaman agama yang dipandang
sarat kepentingan laki-laki dan cenderung bias gender.
Sofyan A. P. Kau dan Zulkarnaen Sulaeman menyatakan bahwa latar belakang
munculnya fikih feminis adalah adanya ketidakadilan gender atau bias gender dalam fikih
dan atau dalam buku-buku fikih. Ketidakadilan gender itu bisa ditakar dari lima hal, yaitu:
burden (beban kerja domestik perempuan lebih banyak dan lebih lama dari lak-laki);
subordinasi (sikap menomorduakan perempuan dalam segala bidang); marginalisasi (proses
pemiskinan dan peminggiran perempuan dalam pengambilan keputusan dalam urusan-urusan
penting); stereotype (pelabelan negatif terhadap perempuan); dan violence (tindak kekerasan
baik fisik maupun psikis terhadap perempuan). (Fikih Feminis, hlm. 4-7)
Dengan mengacu pada kelima hal tersebut, Sofyan A. P. Kau dan Zulkarnaen
Sulaeman kemudian menunjukkan beberapa isu bias gender dalam masalah fikih. Di
antaranya: Pertama, perbedaan dalam cara pembersihan benda yang terkena air kencing bayi:
cukup dipercikkan dengan air untuk air kencing bayi laki-laki dan dicuci atau dibasuh untuk
air kencing bayi perempuan. Kedua, bersentuhan dengan perempuan membatalkan wudhu’.
Ketiga, perempuan dilarang menjadi imam shalat jama‘ah kecuali sesama kaum perempuan.
Salah satu syarat menjadi imam shalat jama‘ah adalah laki-laki. Salat berjama‘ah tidak sah
yang diimami oleh perempuan, dan karenanya harus diulangi. Keempat, istri tidak boleh
puasa sunnah kecuali atas izin suami. Bila ingin berpuasa sunnah, istri dapat melakukannya
saat mana suami tidak berada di rumah. Bila tidak, istri harus minta izin suaminya. Kelima,
dalam masalah aqiqah dibedakan jumlah kambing yang disembelih. Dua ekor kambing untuk
anak bayi laki-laki, dan seekor kambing untuk anak bayi perempuan. Keenam, tidak
diperbolehkan adanya wali dan saksi perempuan dalam perkawinan. Tegasnya perempuan
tidak boleh menjadi wali dan saksi dalam perkawinan. Ketujuh, perempuan hanya boleh
menjadi anggota hakim ketua dalam pengadilan. Itu berarti, yang menjadi hakim ketua hanya
laki-laki. (Fikih Feminis, hlm. 59-65)
Secara konseptual, bias gender yang disebut pertama dan kedua, masuk dalam
kategori stereotype. Sementara yang disebut ketiga termasuk bagian dari marginalisasi-
subordinasi. Sedangkan yang disebut kelima merupakan subordinasi-stereotype. Adapun
yang disebut keempat dan ketujuh masuk dalam kategori subordinasi. Yang disebut keenam
dapat dikategorikan sebagai marginalisasi. (Fikih Feminis, hlm. vi-vii)

Keserasian Gender; Bukan Kesetaraan Gender


Untuk menghadapi apa yang oleh para feminis dipandang sebagai bias gender, mereka
kemudian menyerukan kesetaraan gender, termasuk dalam masalah fikih. Istilah “kesetaraan
gender” sering dilontarkan sebagai ekspresi ketidakpuasan untuk menuntut kesamaan peran
dan kedudukan. Kesetaraan sering menimbulkan ketidakserasian. Ketidakserasian sendiri
berarti ketidakharmonisan. Serasi itu tidak harus setara.
Allah telah menjadikan hubungan laki-laki dan wanita dengan serasi. Masing-masing
diberi tugas dan peran yang tidak mesti sama. Allah dengan indah menggambarkan
keserasian laki-laki dan wanita dalam firman-Nya, “Janganlah kalian iri hati terhadap apa
yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kalian lebih banyak dari sebagian yang lain.
(karena) bagi orang laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi para
wanita (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan. Mohonlah kepada Allah sebagian
dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (An-Nisa’: 32)
Ayat ini turun karena Ummu Salamah merasa iri terhadap pahala jihad yang diberikan
kepada laki-laki. Allah pun menurunkan ayat ini untuk menjelaskan bahwa laki-laki maupun
wanita mempunyai tugas masing-masing. Semuanya akan diberi balasan kebaikan jika
menjalankan tugasnya dengan baik. Wallahu a‘lam.

JILBAB DALAM PANDANGAN MUHAMMAD SAID AL-‘ASYMAWI 

Salah satu tokoh rujukan kaum feminis dalam mengotak-atik fikih Islam adalah
Muhammad Said Al-‘Asymawi. Cendekiawan liberal Mesir kelahiran tahun 1932 ini cukup
produktif menulis. Karya tulisnya yang mengupas tentang jilbab berjudul Haqîqah Al-Hijâb
wa Hujjiyah Al-Hadîts. Pada 2003, terjemahan buku ini ke dalam bahasa Indonesia
diterbitkan oleh Jaringan Islam Liberal dan The Asia Foundation dengan judul Kritik Atas
Jilbab.

Teori Kausalitas Jilbab


Al-‘Asymawi menganggap bahwa jilbab adalah produk budaya. Jilbab tidaklah wajib.
Permasalahan jilbab menurut Al-‘Asymawi muncul dalam wacana pemikiran keislaman
setelah beberapa kelompok menyebutnya sebagai kewajiban Islam. Sebagian
menghukuminya fardhu ‘ain, yaitu kewajiban individu setiap perempuan muslimah yang
sudah baligh. Dari kewajiban ini, menurut Al-‘Asymawi, muncul tuduhan bagi mereka yang
tidak berjilbab sebagaimana yang ditetapkan kelompok ini, telah keluar dari agama dan
mendurhakai syari'at sehingga pantas mendapat sanksi yang sepadan dengan ilhad (atheisme);
yaitu hukum bunuh (i‘dâm). Sementara itu, busana yang menyerupai jilbab yang dikenakan
gadis-gadis dan perempuan di bebarapa negara non-muslim, oleh kelompok tersebut hanya
dianggap sebagai slogan politik belaka, bukan kewajiban agama. Lalu apakah hakikat jilbab,
apa yang dimakud dengan jilbab, dan landasan keagamaan apa yang digunakan oleh mereka
yang menganggapnya sebagai kewajiban agama, dan mengapa sebagian menganggapnya
sebagai hanya slogan politik dan bukan kewajiban agama? (Haqîqah Al-Hijâb wa Hujjiyah
Al-Hadîts, hlm. 16-19)
Pandangan Al-‘Asymawi mengenai hijab bisa disimpulkan sebagai berikut. Pertama,
hijab secara bahasa berarti mengenakan penutup tertentu. Maksud hijab dalam surat Al-
Ahzab: 53 adalah penutup atau tirai yang khusus bagi istri-istri Nabi. Ini diperlukan dalam
konteks zaman itu untuk memisahkan antara istri-istri Nabi dengan kaum mukmin umumnya
agar tidak terlalu leluasa. Dengan keadaan berhijab, baik bagi istri-istri Nabi maupun kaum
mukmin umumnya, tidak saling bertatap muka.
Kedua, khimar adalah semacam tradisi lama perempuan mukminah yang gemar
mengenakan kerudung penutup kepala sambil dijumbaikan ke bagian punggung sehingga
bagian dada tetap terlihat agak transparan. Untuk meluruskan tradisi ini, Al-Qur'an dalam
surat An-Nur: 31 menganjurkan perempuan beriman untuk menjumbaikan kerudungnya ke
bagian dada. Evaluasi Al-Qur'an itu berguna untuk membedakan antara wanita mukminah
dengan wanita bukan mukminah.
Ketiga, merendahkan jilbab bertujuan untuk membedakan wanita mukminah merdeka
dengan hamba sahaya atau wanita terhormat dengan wanita tidak terhormat seperti PSK. Jika
argumen dasar hukum ini sudah lenyap karena tidak ada lagi hamba sahaya di zaman kini,
maka tidak ada lagi alasan untuk mewajibkan pelaksanaan hukum ini.
Keempat, hadist Nabi tentang hijab adalah hadits ahad yang hanya berfungsi sebagai
pengarah dan penasihat. Hadist tersebut juga berlaku sementara untuk membedakan wanita
mukminah. Sementara itu, hukum yang kekal adalah kesopanan itu sendiri dan tidak berlebih-
lebihan dalam berbusana.

Tanggapan
Atas pemikirannya tersebut, Syeikh Al-Azhar Muhammad Sayyid Ath-Thanthawi,
secara khusus menulis buku Bal Al-Hijâb Farîdhah Syar‘iyyah untuk mengcounter
Al-‘Asymawi. Muhammad Al-‘Imarah, seorang cendekiawan kontemporer Mesir, bahkan
secara khusus menganggap Al-‘Asymawi sebagai pemikir sekuler yang membahayakan.
(Muhammad Al-‘Imarah, Suqhût Al-Ghuluw Al-‘Ilmânî, hlm. 194)
Dari hal di atas, tampak bahwa Al-‘Asymawi membedakan antara hijab (Al-Ahzab:
53), khimar (An-Nur: 31) dan jilbab (Al-Ahzab: 59). Penamaan jilbab di beberapa tempat
bermacam-macam. Sebagian dengan rida’ (sorban), sebagian lagi dengan khimar (kerudung,
tapi lebih besar ukurannya), dan yang lain dengan qina’ (penutup muka atau topeng).
Menurutnya, aturan atau perintah memakai jilbab bagi wanita sesungguhnya bersifat
temporal. Artinya, jilbab menjadi perintah wajib pada waktu Nabi Muhammad saja dengan
alasan-alasan ('illat) tertentu. Menurut Al-‘Asymawi, saat ini alasan itu sudah tidak relevan
lagi. Ia mengutip sebab turunnya Al-Ahzab: 53 untuk memperkuat pandangannya bahwa
hijab hanya untuk istri Nabi, bukan untuk budak. Inilah teori kausalitas. Ia mengandalkan
keterangan sebab akibat nash tanpa melihat sharihnya nas.
Di sini, Al-‘Asymawi tampak membedakan antara perintah agama dan urusan dunia.
Jilbab dianggap sebagai slogan politik untuk melawan arus perbedaan antara tradisi-tradisi
agama selain Islam. Menurutnya, hijab tidak wajib karena ayat hijab khusus diturunkan untuk
para istri Nabi. Lebih lanjut, ia bahkan mengatakan bahwa isu diwajibkannya hijab
mempunyai tujuan politis.
Al-‘Asymawi sudah tidak mau mengambil pendapat para ulama mazhab mengenai
batas aurat dan kewajiban berhijab. Di sini, Al-‘Asymawi tidak menghargai warisan ulama
dulu mengenai khazanah hijab. Pemutarbalikkan pandangan, dari yang dikemukakan oleh
para ulama mazhab sebagai kewajiban menjadi sebuah ketidakwajiban adalah bagian dari
penggarapan pemikiran hukum yang baru dan liberal. (M. Nasir, Fikih Aurat, hlm. 143-144)
Wallahu a‘lam.

FIKIH FEMINIS TENTANG MEMBERSIHKAN KENCING BAYI 


Materi fikih lain yang dipandang bias gender oleh pendukung feminisme adalah
perbedaan dalam cara membersihkan benda yang terkena air kencing bayi laki-laki dan bayi
perempuan. Cara membersihkan benda yang terkena air kencing bayi laki-laki adalah cukup
dengan memercikkan air pada benda yang terkena air kencing tersebut. Sementara itu, cara
membersihkan benda yang terkena air kencing bayi perempuan dengan cara membasuhnya
atau menyucinya. Bayi yang dimaksud adalah bayi yang belum makan apa-apa selain ASI.
Menurut Sofyan A. P. Kau, perbedaan ini mengesankan bahwa kencing bayi
perempuan lebih busuk dibanding bayi laki-laki. Dalam terminologi gender, perbedaan ini
digolongkan sebagai sikap dan bentuk pelabelan negatif (stereotype) terhadap perempuan
karena dianggap lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki.
Menurutnya lagi, boleh jadi cara pembersihan air kencing bayi laki-laki dan air
kencing bayi perempuan dibedakan dalam fikih bukan masalah. Hanya saja perbedaan ini
dalam fikih melahirkan sejumlah anggapan perendahan terhadap perempuan. Mengapa benda
yang terkena air kencing bayi laki-laki cara membersihkannya cukup memercikkan air pada
benda yang terkena air kencing tersebut, sementara terhadap benda yang terkena air kencing
bayi perempuan harus dibasuh dan dicuci? Terkesan bahwa air kencing bayi perempuan lebih
kotor dan menjijikkan sehingga harus dicuci dan dibasuh. (Fikih Feminis, hlm. 60)
Lebih lanjut, Sofyan A. P. Kau menolak hadits yang menjadi dasar perbedaan cara
membersihkan air kencing bayi laki-laki dan bayi perempuan. Hadits itu diriwayatkan oleh
Abu Dawud dari Abus Samh,
.‫ش ِم ْن َب ْو ِل الْغُالَِم‬
ُّ ‫يُ ْغ َس ُل ِم ْن َب ْو ِل اجْلَا ِريَِة َويَُر‬
Kencing anak perempuan dicuci dan kencing anak laki-laki dengan memercikkan air
padanya.
Sanad hadits ini valid, tapi matannya dianggap memiliki kelemahan karena kata al-
jâriyah tidak lazim digunakan pada masa Nabi dan tidak pula digunakan dalam Al-Qur’an
untuk menyebut perempuan. Kata ini baru populer pada zaman Dinasti Abbasiyah untuk
menyebut budak perempuan. Adapun hadits lain yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim
dengan kata ash-shabiyyu dan al-ibn, bukan al-jâriyah, lebih bersifat universal non-
diskriminatif. (hlm. 70-76)

Argumen Tidak Lazim


Argumen Sofyan dalam menolak hadits tadi tidak lazim. Ada hadits lain dari
sahabiyah Lubabah binti Al-Harits yang secara tegas menyebutkan perbedaan cara
membersihkan air kencing bayi laki-laki dan bayi perempuan. Hadits ini diriwayatkan oleh
Abu Dawud, Ibnu Majah, Ibnu Abi Syaibah, Al-Baihaqi, Ibnu Khuzaimah, dan Al-Hakim.
Menurut Al-Hakim, hadits ini shahih. Redaksi hadits ini berbunyi,
َّ ‫ضح ِم ْن َبو ِل‬ ِ ِ ِ
.‫الذ َك ِر‬ ْ ُ َ ‫إمَّنَا يُ ْغ َس ُل م ْن َب ْول اأْل ُْنثَى َويُْن‬
Terjemahan hadits ini sama dengan hadits sebelumnya yang menggunakan kata al-
jâriyah dan dipermasalahkan oleh Sofyan. Selama berabad-abad, para fuqaha’ tidak
mempermasalahkan hadits tersebut. Mereka juga tidak mempermasalahkan kandungan
hukum dalam hadits tersebut. Berbeda cara bukan berarti diskriminatif.

Penemuan Modern
Ada hikmah di balik syariah. Itu pasti. Masalahnya, dengan segala keterbatasannya,
banyak manusia tidak (segera) mengetahui hikmah tersebut. Perbedaan cara membersihkan
air kencing bayi laki-laki dan bayi perempuan pun juga mengandung hikmah.
Hasil penelitian Ahmad Muhammad Shalih dan Ashil Muhammad Ali (Universitas
Dohuk, Irak) mengungkap adanya perbedaan air kencing bayi laki-laki dan perempuan.
Mereka mengambil sampel secara acak dari 73 bayi (38 laki-laki, 35 perempuan) dan
diklasifikasi ke dalam 4 kelompok usia: di bawah 1bulan, usia 1-2 bulan, usia 2-3 bulan, usia
3 bulan lebih dengan kemungkinan mengkonsumsi selain ASI.
Setelah diperiksa secara laboratories, ditemukan bakteri Escherichia Coli pada urin
bayi perempuan jauh lebih banyak daripada urin bayi laki-laki di masing-masing kelompok
usia. Bayi berusia 3 bulan lebih misalnya, prosentase keberadaan bakteri dalam urin  bayi
perempuan 69% lebih banyak dibanding urin bayi laki-laki. Jumlah bakteri urin bayi
perempuan mencapai 13,9 dan urin bayi laki-laki hanya 6,8.
Penelitian lain tentang air kencing bayi juga dilakukan Dr. Shalahudin Badr.
Diketahui urin bayi yang baru lahir adalah steril tidak ada bakteri. Tetapi setelah itu
membawa bakteri yang kebanyakan akibat kontaminasi bakteri dari saluran pencernaan.
Dr. Shalahudin Badr menegaskan bahwa air kencing bayi laki-laki yang hanya
mengonsumsi ASI tidak mengandung bakteri, sedangkan pada air kencing bayi perempuan
yang hanya mengonsumsi ASI mengandung beberapa jenis bakteri. Hal ini disebabkan
saluran kencing perempuan lebih pendek. Di samping itu, sekresi kelenjar prostat yang
dimiliki laki-laki berperan membunuh kuman.
Itulah fakta perbedaan air kencing bayi laki-laki dan perempuan. Oleh karenanya,
wajar saja Islam menggolongkan air kencing bayi perempuan sebagai najis mutawasithah
(sedang) dan air kencing bayi laki sebagai najis mukhafafah (ringan). Hal ini dilakukan untuk
mencegah bayi dari najis/kotoran yang berpotensi menjadi sumber penyakit.

Anda mungkin juga menyukai