Anda di halaman 1dari 36

LAPORAN DISKUSI PEMICU 3

MODUL METABOLIK DAN ENDOKRIN

DISUSUN OLEH:
KELOMPOK DISKUSI 2
Rosa I1011161001
Muhammad Ibnu Nazari I1011161009
Syafa Istiqomah I1011161018
Teguh Rinjaya I1011161021
Rita Noviana I1011161028
Nurul Fachriani I1011161030
Dewi Sapitri I1011161032
Indah Ayu Putri I1011161046
Saskya Maulidya Astari I1011161052
Andri Muhrim Siddiq I1011161061
Anggini Putri I1011161064
Solideo Gloria Tering I1011161068

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2018
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Pemicu
Nn. Dita, 30 tahun, datang ke praktek dokter umum, karena merasa
matanya terlihat seperti melotot, sejak empat bulan terakhir. Pasien juga
mengeluh berdebar-debar, banyak berkeringat dan kepanasan meski
didalam ruangan AC. Leher juga dirasakan membesar. Pola makan pasien
seperti biasa, namun berat badan pasien turun 5 kg.
1.2 Klarifikasi dan Definisi
-
1.3 Kata Kunci
a. Nn. Dita 30 tahun
b. Mata melotot sejak 4 bulan terakhir
c. Berdebar-debar
d. Banyak berkeringat dan kepanasan
e. Leher membesar
f. Berat badan turun
1.4 Rumusan Masalah
Nn. Dita 30 tahun mengeluh matanya terlihat melotot, berdebar-
debar, banyak berkeringat, kepanasan, dan berat badan turun 5 kg.
1.5 Analisis Masalah

Nn. Dita, 30 tahun

Keadaan umum:
-Mata melotot
-Berdebar-debar
-Banyak keringat LMB
-Kepanasan
-Leher membesar
-Berat badan turun

Pemeriksaan fisik

Hipertiroid

Pemeriksaan Penunjang

Tatalaksana

Prognosis dan edukasi

1.6 Hipotesis
Nn. Dita 30 tahun mengalami hipertiroid.
1.7 Pertanyaan Diskusi
a. Kelenjar Tiroid
1. Anatomi
2. Histologi
3. Gangguan
4. Skrining gangguan
b. Fisiologi Kelenjar Tiroid
1. Sintesis
2. Sekresi
3. Mekanisme kerja
c. Hipertiroid
1. Definisi
2. Etiologi
3. Epidemiologi
4. Patofisiologi
5. Gejala Klinis
6. Diagnosis
7. Komplikasi
8. Tatalaksana
9. Klasifikasi
10. Pencegahan
11. Edukasi
12. Prognosis
STUDI KASUS
d. Jelaskan mengenai LMB (Laju Metabolik Basal)
e. Patofisiologi pada kasus
1. Mata seperti melotot
2. Berdebar-debar
3. Berkeringat dan kepanasan
4. Leher membesar
5. BB turun
f. Tatalaksana yang tepat untuk Nn. Dita.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Kelenjar Tiroid


2.1.1 Anatomi1
Kelenjar tiroid/gondok terletak di bagian bawah leher, kelenjar ini
memiliki dua bagian lobus yang dihubungkan oleh ismus yang masing-masing
berbetuk lonjong berukuran panjang 2,5-5 cm, lebar 1,5 cm, tebal 1-1,5 cm dan
berkisar 10-20 gram. Kelenjar tiroid sangat penting untuk mengatur metabolisme
dan bertanggung jawab atas normalnya kerja setiap sel tubuh. Kelenjar ini
memproduksi hormon tiroksin (T4) dan triiodotironin (T3) dan menyalurkan
hormon tersebut ke dalam aliran darah. Terdapat 4 atom yodium di setiap molekul
T4 dan 3 atom yodium pada setiap molekul T3. Hormon tersebut dikendalikan
oleh kadar hormon perangsang tiroid TSH (thyroid stimulating hormone) yang
dihasilkan oleh lobus anterior kelenjar hipofisis. Yodium adalah bahan dasar
pembentukan hormon T3 dan T4 yang diperoleh dari makanan dan minuman yang
mengandung yodium. Gambar anatomi tiroid dapat dilihat pada gambar berikut.

Gambar 1. Gambar anatomi kelenjar tiroid


2.1.2 Histologi2
Kelenjar tiroid terdiri atas lobus kanan dan lobus kiri, dihubungkan oleh
ismus yang sempit yang melintasi kaftilago tiroid dan trakea bagian atas. Kelenjar
ini dibungkus oleh kapsula jaringan ikat, dimana septa menembus kelenjar ini,
tidak hanya membentuk jala penyokong tetapi juga mendapat banyak aliran darah.
Parenkim kelenjar ini tersusun atas sel-sel dalam sejumlah folikel, yang terdiri
atas epitel selapis kuboid membatasi suatu lumen yang berisi koloid. Koloid
disekresi dan diabsorpsi oleh sel-sel folikel, yang terdiri dari hormon tiroid yang
terikat pada protein besar dan komplek disebut tiroglobulin.
Ada sel sekretoris lainnya yaitu sel-sel parafolikular (clear cells) ada di
tiroid. Sel-sel parafolikular ini tidak berhubungan dengan bahan koloid. Sel ini
menghasilkan hormon kalsitonin, yang langsung dilepaskan ke dalam jaringan
ikat yang berdekatan dengan kapiler. Hormon tiroid adalah penting untuk
pengaturan metabolisme basal dan untuk mempengaruhi kecepatan pertumbuhan
dan proses mental dan umumnya merangsang kelenjar endokrin berfungsi.
Kalsitonin membantu mengendalikan konsentrasi kalsium dalam darah melalui
resotpsi tulang oleh osteoklas (yaitu ketika kadar kalsium darah tinggi, kalsitonin
dilepaskan).
2.1.3 Gangguan
Pada orang dewasa dikenal 4 jenis kelainan / gangguan tiroid. Pertama dan
kedua, gangguan fungsi atau keseimbangan homeostasis berupa kekurangan
hormon tiroid (hipotiroid), dan kelebihan hormon tiroid (hipertiroid). Ketiga,
kelainan berupa pembesaran kelenjar tiroid. Keempat, kelainan hormon tiroid
tanpa disertai gangguan klinis (eutiroid). Perlu pula diperhatikan pengaruh obat-
obatan terhadap fungsi tiroid.
a. Hipotiroid
Hipotiroid dapat dibedakan antara yang klinis jelas (overt) dan klinis
tidak jelas (subklinis). Hipotiroid subklinis didefinisikan sebagai keadaan
dengan kadar TSH meningkat ringan dan kadar fT3 dan T4 normal disertai
dengan sedikit tanpa gejala klinis. Prevalensinya meningkat dengan
bertambahnya usia baik pada laki-laki maupun perempuan. Ada banyak
variasinya tetapi sebagian besar pasien dengan antibodi TPO positif dan akan
berkembang menjadi hipotiroid klinis. Hipotiroid klinis (overt) atau tiroid
kurang aktif merupakan kelainan klinis yang paling umum, terbaik
didefinisikan sebagai kadar TSH tinggi dan fT4 rendah dalam serum.
Penyebab utamanya kadar yodium yang tidak cukup atau asupan yodium
rendah. Di daerah dengan asupan yodium cukup, penyebab utama adalah
tiroiditis Hashimoto, yaitu suatu penyakit otoimun disebabkan oleh
autoantibodi terhadap TPO. Penyebab lainnya penyakit otoimun lain dan
radiasi. Perempuan lebih banyak yang terkena. Berdasarkan penyebabnya
dapat dibeda-kan hipotiroid primer dan sekunder. Yang primer misalnya
penyakit Hashimoto atau tiroiditis otoimun kronis, pengang-katan kelenjar
tiroid karena pembedahan, pengobatan tiroid dengan yodium radioaktif,
radiasi eksternal, gangguan metabolisme yodium, kelebihan atau kekurangan
yodium, limfoma kelenjar tiroid, tiroiditis pasca partus, pengobatan.
Hipotiroid sekunder disebabkan penyakit hipofisis dan hipotalamus.
Diperkirakan 1 dari 100 perempuan usia reproduktif mengalami hipotiroid.
Tanda dan gejala hipotiroid bervariasi berdasarkan perseorangan, penyebab
dan lamanya. Hipotiroid klinis yang tidak diobati selama kehamilan dapat
meningkatkan kejadian anemia, hipertensi, preeklampsia, dan disfungsi
jantung pada ibu, serta abortus spontan, berat badan lahir rendah, kematian
janin atau lahir mati, dan mungkin gangguan perkembangan otak janin.
b. Pembesaran kelenjar tiroid
Pembesaran kelenjar tiroid (goiter) dapat merata (difuse) atau nodular,
tunggal atau banyak (multinodular). Goiter biasanya disebabkan rangsangan
berkepanjangan oleh TSH atau zat serupa TSH (TSH-like agent) baik pada
hipotiroid (misalnya tiroiditis Hashimoto) maupun hipertiroid (penyakit
Graves, tumor sel germinal, adenoma hipofisis), dan dapat pula pada keadaan
eutiroid. Penyebab tersering adalah defisiensi yodium. Jadi berdasarkan klinis
dan dasar patogenesisnya apakah ada kaitan inflamasi atau keganasan dapat
dibedakan antara goiter toksik dan yang non toksik.
c. Penyebab umum nodul tiroid
Timbulnya nodul tunggal dapat disebabkan oleh tumor, yang tersering
adenoma folikularis. Karsinoma tiroid jarang, biasanya berkembang dari epitel
folikel sebagai karsinoma folikularis atau papilaris. Jenis yang lebih jarang
adalah karsinoma medularis. Kecurigaan kuat terhadap karsinoma tiroid bila
ada riwayat keluarga karsinoma tiroid medularis atau neoplasia endokrin
ganda, pertumbuhan tumor yang cepat terutama selama terapi levothyroxine,
nodul tunggal yang padat dan keras, nodul melekat pada struktur sekitarnya,
kelumpuhan pita suara, pembesaran kelenjar getah bening regional, dan
metastasis jauh.
d. Kelainan hormon tiroid tanpa bedah gangguan klinis (eutiroid)
Kelainan kadar hormon tiroid dapat dijumpai pada keadaan klinis
normal (eutiroid). Penyebabnya adalah keadaan fisiologis yang normal atau
yang disebabkan oleh obat-obatan. Keadaan sindrom eutiroid sakit (sick
euthyroid syndrome") tersering diamati pada pasien rawat inap dengan
penyakit bukan tiroid (NTT). Sebanyak 13 % dari pasien rawat inap dengan
penyakit akut mungkin menunjukkan nilai hormon tiroid tidak normal Pada
kebanyakan pasien kelainan bersifat sementara dan akan kembali normal
setelah pulih dari penyakit akut. Sebagai respons akut terjadi penurunan
hormon tiroid terutama T3 karena hambatan proses deiodinasi T4 menjadi T3.
Hal ini merupakan respons fisiologik menurunkan penggunaan kalori dan
katabolisme protein, yang menguntungkan terutama pada pasien dengan
status gizi kurang baik, Contoh pada pasien dengan luka bakar atau trauma
berat, pembedahan, kanker lanjut, sirosis, gagal ginjal, infark miokard akut,
demam berk clanjutan, dan kekurangan kalori (malnutrisi, puasa, anorexia
nervosa). Selain itu juga mungkin terjadi hambatan sumbu hipofisis-tiroid
yang menurunkan kadar TSH, berkurangnya sekresi T4, konversi T4 menjadi
T3 di jaringan perifer, TBG, atau adanya hambatan pengikatan di sirkulasi.
Sebaliknya dilaporkan pula beberapa pasien mungkin memperlihatkan
peningkatan kadar TSH.14 Pada kedua keadaan tersebut kadar fT4 normal.
Jadi perbedaan (disparitas) kadar TSH dan fT4 mungkin menunjukkan
keadaan eutiroid.
2.1.4 Skrining Gangguan
Hormon tiroid berperan penting sebagai pengatur mielinasi sistem saraf,
pertumbuhan dan pubertas, perkembangan gigi dan tulang, metabolisme dan
fungsi organ. Kekurangan produksi hormon tiroid (hipotiroidisme) pada masa
bayi yang tidak segera ditangani dapat menyebabkan kerusakan permanen system
saraf, keterlambatan perkembangan, gangguan pendengaran dan bicara. Hal ini
karena sistem tiroid belum matang sehingga sangat rentan terhadap disfungsi
tiroid. Konsekuensi klinis pada bayi atau anak tergantung pada usia mulai
timbulnya hipotiroidisme. Diagnosis dan pengobatan dini sangat penting untuk
mencegah timbulnya atau meringankan derajat disabilitas intelektual. Skrining
hipotiroidisme terhadap bayi baru lahir (hipotiroid kongenital; HK) memberikan
solusi untuk menemukan kasus hipotiroid dini.4 Pelaksanaan skrining hipotiroid
pada bayi bisa dilakukan dengan menggunakan Neonatal Hypothyroid Index
(NHI) yang disusun berdasarkan manifestasi klinis kondisi hipotiroid pada bayi.
Bayi dengan skor lebih atau sama dengan empat poin akan dirujuk untuk
mendapatkan pemeriksaan lebih lanjut.5 Ada juga metode umum untuk skrining
HK yaitu dengan mengukur kadar hormone TSH-nya. Skrining ini paling baik
dilakukan saat bayi berumur 48-72 jam atau sebelum bayi pulang. Sedikit darah
bayi diteteskan di atas kertas saring khusus, dikeringkan kemudian bercak darah
dikirim ke laboratorium untuk diukur kadar TSH-nya.
Adapun skrining yang digunakan untuk mendeteksi gangguan-gangguan
yang mungkin terjadi pada kelenjar tiroid. Skrining ini melibatkan berbagai
pemeriksaan laboratorium seperti uji kadar TSH, kadar FT4 (free thyroxine),
thyroglobulin, thyroid autoantibodies, dan kadar iodine pada urin. Skrining
tersebut masih umum digunakan untuk mengetahui apakah ada kelainan/ penyakit
yang menjangkit kelenjar tiroid.6

2.2 Fisiologi Kelenjar Tiroid


2.2.1 Sintesis7
Pada koloid terdapat molekul tiroglobulin yang mengandung 123 gugus
tirosin. Hanya 4- 8 gugus tirosin saja yang nantinya bereaksi membentuk hormon
tiroid.
Setelah dimasukkan ke dalam koloid sebagian melalui protein pendrin
yang merupakam Cl-/I- exchanger, iodide dioksidasi menjadi iodine dan diikat
oleh tirosin yang merupakan bagian dari molekul tiroglobulin pada posisi karbon
3. Tiroglobulin dibentuk di dalam sel-sel tiroid (thyrocytes) dan disekresi melalui
proses eksositosis dalam bentuk granule yang juga berisi thyroid peroxidase, suatu
enzim yang mengoksidasi dan mengikatkan iodine pada tirosin. Hormon tiroid
yang terbentuk tetap menjadi bagian tiroglobulin sampai disekresikan. Sebelum
disekresikan, maka koloid akan direabsorpsi oleh sel tiroid melalui endositosis,
ikatan peptide akan dihidrolisis, dan T4 dan T3 bebas dikeluarkan ke kapiler.
Sel tiroid (sel folikel/sel tirosit) dengan demikian mempunyai 4 fungsi,
yaitu:
1. mengumpulkan dan mentransport iodine
2. mensintesis tiroglobulin dan mensekresikannya ke koloid
3. memfiksasi iodin pada tiroglobulin untuk membentuk hormon
4. mengambil hormon tiroid dari tiroglobulin dan mensekresikan ke peredaran
darah.
Dalam proses sintesis hormone tiroid, produk yang paling awal yaitu
monoiodotirosin (MIT). Kemudian MIT mengalami iodinasi pada karbon 5
menjadi diiodotirosin (DIT). Kemudian terjadi oksidasi kondensasi DIT yang
menghasilkan T4. Sedang T3 mungkin terbentuk oleh kondensasi MIT dan DIT,
sedang RT3 mungkin terjadi oleh kondensasi DIT dan MIT. Pada kelenjar tiroid
manusia, distribusi rata-rata senyawa iodine yaitu 23% MIT, 33% DIT, 35% T4,
dan 7% T3. RT3 hanya merupakan zat yang dapat dirunut (traces).
2.2.2 Sekresi8
Setiap harinya kelenjar tiroid mensekresi sekitar 80 µg (103 nmol) T4, 4
µg (7 nmol) T3, dan 2 µg (3,5 nmol) RT3. MIT dan DIT tidak disekresikan. Sel-
sel tiroid mereabsorpsi koloid dengan proses endositosis (fagositosis), sehingga
pada sel yang aktif terlihat lacuna-lakuna (ceruk-ceruk) reabsorpsi pada batas
pinggir koloid. Di dalam sel, globule koloid menyatu dengan lisosome. Ikatan
peptide antara gugus yang teriodinasi dan tiroglobulin diputus oleh protease dalam
lisosome, dan T4, T3, DIT, dan MIT dibebaskan ke sitoplasma. Tirosine yang
diiodinasi (DIT dan MIT) di-deiodinasi oleh enzim deiodinase iodotirosin dan
iodin yang dibebaskan digunakan kembali untuk sintesis hormon. T4 dan T3 tidak
mengalami deiodinasi, dan dilepas ke peredaran darah. Kadang-kadang terdapat
kelainan kongenital tidak adanya enzim deiodinase iodotirosin. Pada pasien ini
DIT dan MIT terdapat dalam kemih dan terdapat gejala defisiensi iodium
2.2.3 Mekanisme Kerja9
Sekitar 90 % dari produk sekretorik yang dibebaskan dari kelenjar tiroid
adalah dalam bentuk T3 namun T4 memiliki aktivitas biologik empat kali lebih
kuat. Meskipun demikian, sebagian besar dari T4 yang disekresikan diubah
menjadi T3 atau diaktifkan, ditanggalkan satu iodiumnya di luar kelenjar tiroid,
terutama di hati dan ginjal. Sekitar 80% T3 dalam darah berasal dari T4 yang telah
mengalami proses "penanggalan" di perifer. Karena itu, T3 adalah bentuk hormon
tiroid utama yang aktif secara biologis di tingkat sel, meskipun kelenjar tiroid
terutama menghasilkan T4.
Hormon tiroid meningkatkan laju metabolisme basal keseluruhan tubuh,
atau "laju langsam". Hormon ini adalah regulator terpenting laju konsumsi O2 dan
pengeluaran energi tubuh pada keadaan istirahat. Efek metabolik hormon tiroid
berkaitan erar dengan efek kalorigenik ("penghasil panas"). Peningkatan aktivitas
metabolik menyebabkan peningkatan produksi panas.
Selain meningkatkan laju metabolik secara keseluruhan, hormon tiroid
juga memodulasi kecepatan banyak reaksi spesifik yang berperan dalam
metabolisme bahan bakar. Efek hormon tiroid pada bahan bakar metabolik
memiliki banyak aspek; hormon ini tidak saja dapat mempengaruhi pembentukan
dan penguraian karbohidrat, lemak, dan protein tetapi hormon dalam jumlah
sedikit atau banyak dapat menimbulkan efek yang sebaliknya. Sebagai contoh,
perubahan glukosa menjadi glikogen, bentuk simpanan glukosa, dipermudah oleh
hormon tiroid dalam jumlah kecil, tetapi kebalikannya- pemecahan glikogen
menjadi glukosa-terjadi pada jumlah hormon yang tinggi. Demikian juga, hormon
tiroid dalam jumlah adekuat penting untuk sintesis protein yang dibutuhkan bagi
pertumbuhan normal tubuh namun pada dosis tinggi, misalnya pada hipersekresi
tiroid, hormon tiroid cenderung menyebabkan penguraian protein.

2.3 Hipertiroid
2.3.1 Definisi10
Hipertiroid adalah sebuah kondisi yang terjadi ketika fungsi kelenjar tiroid
menjadi tidak normal sehingga menyebabkan produksi dan pelepasan hormon
tiroid yang berlebihan. Keadaan hipertiroid dapat menyebabkan thyrotoxicosis.
Thyrotoxicosis didefinisikan sebagai keadaan saat kelebihan hormon tiroid.
Meskipun demikian, thyrotoxicosis bisa saja terjadi pada kondisi disfungsi tiroid
yang tidak menyebabkan hipertiroid. Contohnya adalah pada kondisi tiroiditis.
Pada saat terjadi tiroiditis, yang terjadi adalah bukan peningkatan produksi
hormone tiroid yang berlebihan, melainkan sel tiroid yang rusak atau mengalami
inflamasi akan melepaskan hormon tiroid berlebihan secara langsung ke dalam
pembuluh darah.
2.3.2 Etiologi11
Berdasarkan etiologinya hipertiroidisme dapat dibagi menjadi beberapa
kategori, secara umum hipertiroidisme yang paling banyak ditemukan adalah
Graves’ Disease, toxic adenoma, dan multinodular goiter.
a. Graves’ Disease
Graves’ disease merupakan penyebab utama hipertiroidisme karena sekitar
80% kasus hipertiroidisme di dunia disebabkan oleh Graves’ disease. Penyakit ini
biasanya terjadi pada usia 20 – 40 tahun, riwayat gangguan tiroid keluarga, dan
adanya penyakit autoimun lainnya misalnya diabetes mellitus tipe 1. Graves’
disease merupakan gangguan autoimun berupa peningkatan kadar hormon tiroid
yang dihasilkan kelenjar tiroid. Kondisi ini disebabkan karena adanya thyroid
stimulating antibodies (TSAb) yang dapat berikatan dan mengaktivasi reseptor
TSH (TSHr). Aktivasi reseptor TSH oleh TSAb memicu perkembangan dan
peningkakan aktivitas sel-sel tiroid menyebabkan peningkatan kadar hormon
tiroid melebihi normal. TSAb dihasilkan melalui proses respon imun karena
adanya paparan antigen. Namun pada Graves’ Disease sel-sel APC (antigen
presenting cell) menganggap sel kelenjar tiroid sebagai antigen yang
dipresentasikan pada sel T helper melalui bantuan HLA (human leucocyte
antigen). Selanjutnya T helper akan merangsang sel B untuk memproduksi
antibodi berupa TSAb. Salah satu faktor risiko penyebab timbulnya Graves’
Disease adalah HLA. Pada pasien Graves’ Disease ditemukan adanya perbedaan
urutan asam amino ke tujuh puluh empat pada rantai HLA-DRb1. Pada pasien
Graves’ Disease asam amino pada urutan ke tujuh puluh empat adalah arginine,
sedangkan umumnya pada orang normal, asam amino pada urutan tersebut berupa
glutamine.
b. Toxic Adenoma
Pada pasien toxic adenoma ditemukan adanya nodul yang dapat
memproduksi hormon tiroid. Nodul didefinisikan sebagai masa berupa folikel
tiroid yang memiliki fungsi otonom dan fungsinya tidak terpengaruhi oleh kerja
TSH. Sekitar 2 – 9% kasus hipertiroidisme di dunia disebabkan karena
hipertiroidisme jenis ini. Hanya 3–7% pasien dengan nodul tiroid yang tampak
dan dapat teraba, dan 20 – 76% pasien memiliki nodul tiroid yang hanya terlihat
dengan bantuan ultra sound. Penyakit ini lebih sering muncul pada wanita, pasien
berusia lanjut, defisiensi asupan iodine, dan riwayat terpapar radiasi. Pada pasien
dengan toxic adenoma sebagian besar tidak muncul gejala atau manifestasi klinik
seperti pada pasien dengan Graves’ disease. Pada sebagian besar kasus nodul
ditemukan secara tidak sengaja saat dilakukan pemeriksaan kesehatan umum atau
oleh pasien sendiri. Sebagian besar nodul yang ditemukan pada kasus toxic
adenoma bersifat benign (bukan kanker), dan kasus kanker tiroid sangat jarang
ditemukan. Namun apabila terjadi pembesaran nodul secara progresif disertai rasa
sakit perlu dicurigai adanya pertumbuhan kanker. Dengan demikian perlu
dilakukan pemeriksaan dan evaluasi terhadap kondisi pasien untuk memberikan
tatalaksana terapi yang tepat. Munculnya nodul pada tiroid lebih banyak
ditemukan pada daerah dengan asupan iodine yang rendah. Iodine yang rendah
menyebabkan peningkatan kadar hidrogen peroksida di dalam kelenjar tiroid yang
akan menyebabkan mutasi.
c. Toxic Multinodular Goiter
Selain Grave’s Disease dan toxic adenoma, toxic multinodular goiter
merupakan salah satu penyebab hipertiroidisme yang paling umum di dunia.
Secara patologis toxic multinodular goiter mirip dengan toxic adenoma karena
ditemukan adanya nodul yang menghasilkan hormon tiroid secara berlebihan,
namun pada toxic multinodular goiter ditemukan beberapa nodul yang dapat
dideteksi baik secara palpasi aupun ultrasonografi. Penyebab utama dari kondisi
ini adalah faktor genetik dan defisiensi iodine. Tatalaksana utama pada pasien
dengan toxic multinodular goiter adalah dengan iodine radioaktif atau
pembedahan.
d. Hipertiroidisme Subklinis
Graves’ Disease, toxic adenoma, dan toxic multinodular goiter merupakan
penyebab utama hipertiroidisme utama di seluruh dunia dan termasuk dalam jenis
overt hyperthyroidism. Pada hipertiroidisme jenis ini, kadar TSH ditemukan
rendah atau tidak terdeteksi disertai peningkatan kadar T4 dan T3 bebas. Selain
ketiga jenis di atas, sekitar 1% kasus hipertiroidisme disebabkan hipertiroidisme
subklinis. Pada hipertiroidisme sub klinis, kadar TSH ditemukan rendah disertai
kadar T4 dan T3 bebas atau total yang normal. Menurut Ghandour (2011), 60%
kasus hipertiroidisme subklinis disebabkan multinodular goiter.
2.3.3 Epidemiologi12
Sekitar satu dari tiga populasi di dunia tinggal di daerah kekurangan
iodium. Survei nasional GAKI tahun 2003 menunjukkan bahwa 35,8% kabupaten
di Indonesia termasuk endemik ringan, 13,1% kabupaten endemik sedang, dan
8,2% kabupaten endemik berat. Data Riset Kesehatan Dasar Tahun 2013
menunjukkan bahwa baru 77,1% rumah tangga di Indonesia mengonsumsi ga-ram
dengan kadar iodium cukup. Ini menunjukkan bahwa penggunaan garam
beriodium di Indonesia masih tergolong rendah. Iodium merupakan mineral esen-
sial sebagai zat pembentuk hormon tiroid yang diproduksi oleh kelenjar tiroid.
Studi epidemiologi pada pasien gangguan fungsi tiroid di Klinik Litbang
GAKI pada tahun 2011 dan 2012 menunjukkan bahwa gangguan fungsi tiroid
yang meliputi hipotiroid dan hipertiroid lebih banyak terjadi pada pasien
perempuan. Berdasarkan kelompok umur, hipertiroid lebih banyak pada kelompok
umur lebih dewasa (20-39 tahun), sementara hipotiroid lebih banyak pada
kelompok umur yang lebih muda (<20 tahun). Baik hipotiroid maupun hipertiroid
lebih banyak terjadi pada pasien yang berasal dari daerah dengan riwayat endemik
ringan dan prevalensinya mengalami peningkatan, terutama kejadian hipertiroid
yang mengalami peningkatan secara signifikan.
2.3.4 Patofisiologi13
Penyebab hipertiroidisme biasanya adalah penyakit graves, goiter toksika.
Pada kebanyakan penderita hipertiroidisme, kelenjar tiroid membesar dua sampai
tiga kali dari ukuran normalnya, disertai dengan banyak hiperplasia dan lipatan-
lipatan sel-sel folikel ke dalam folikel, sehingga jumlah sel-sel ini lebih meningkat
beberapa kali dibandingkan dengan pembesaran kelenjar. Juga, setiap sel
meningkatkan kecepatan sekresinya beberapa kali lipat dengan kecepatan 5-15
kali lebih besar daripada normal.
Pada hipertiroidisme, kelenjar tiroid “dipaksa” mensekresikan hormon
hingga diluar batas, sehingga untuk memenuhi pesanan tersebut, sel-sel sekretori
kelenjar tiroid membesar. Gejala klinis pasien yang sering berkeringat dan suka
hawa dingin termasuk akibat dari sifat hormon tiroid yang kalorigenik, akibat
peningkatan laju metabolisme tubuh yang diatas normal. Bahkan akibat proses
metabolisme yang menyimpang ini, terkadang penderita hipertiroidisme
mengalami kesulitan tidur. Efek pada kepekaan sinaps saraf yang mengandung
tonus otot sebagai akibat dari hipertiroidisme ini menyebabkan terjadinya tremor
otot yang halus dengan frekuensi 10-15 kali perdetik, sehingga penderita
mengalami gemetar tangan yang abnormal. Nadi yang takikardi atau diatas normal
juga merupakan salah satu efek hormon tiroid pada sistem kardiovaskuler.
Hipertiroid direkomendasikan oleh beberapa tanda-tanda dan gejala-
gejala; bagaimanapun, pasien-pasien dengan penyakit yang ringan biasanya tidak
mengalami gejala-gejala. Pada pasien-pasien yang lebih tua dari 70 tahun, tanda-
tanda dan gejala-gejala yang khas mungkin juga tidak hadir. Pada umumnya,
gejala-gejala menjadi lebih jelas ketika derajat hipertiroid meningkat. Gejala-
gejala biasanya berkaitan dengan suatu peningkatan kecepatan metabolisme
tubuh.
2.3.5 Gejala Klinis
Hormon tiroid memiliki peranan yang vital dalam mengatur metabolisme
tubuh. Peningkatan kadar hormon tiroid dalam darah memacu peningkatan
kecepatan metabolisme di seluruh tubuh. Salah satu gejala yang umum ditemui
pada penderita hipertiroid adalah intoleransi panas dan berkeringat berlebihan
karena peningkatan kadar tiroid memacu peningkatan basal metabolic rate. Selain
itu hipertiroidisme juga mempengaruhi sistem kardiorespiratori menyebabkan
kondisi palpitasi, takikardi dan dyspnea umum ditemukan pada pasien
hipertiroidisme.14

Akibat stimulasi sistem saraf adrenergik berlebihan, muncul gejala- gejala


psikiatrik seperti rasa cemas berlebihan, mudah tersinggung dan insomnia.
Peningkatan kecepatan metabolisme menyebabkan pasien hipertiroidisme cepat
merasa lapar dan nafsu makan bertambah, namun demikian terjadi penurunan
berat badan secara signifikan dan peningkatan frekuensi defekasi. Pada pasien
wanita dapat terjadi gangguan menstruasi berupa oligomenorrhea, amenorrhea
bahkan penurunan libido.15

Pada pasien Graves’ disease, gejala klinis juga dapat berupa inflamasi dan
edema di otot mata (Graves’ ophtalmopathy) dan gangguan kulit lokal
(myxedema). Mekanisme terjadinya Graves’ ophtalmopathy dan myxedema
belum diketahui secara pasti namun diperkirakan pada keduanya terjadi akumulasi
limfosit yang disebabkan oleh aktivasi sitokin pada fibroblast.16

2.3.6 Diagnosis17
Diagnosis hipertiroidisme didasarkan pada gambaran klinis dan data
laboratorium. Pengukuran serum TSH merupakan uji skrining tunggal yang paling
bermanfaat untuk hipertiroidisme, oleh karena kadar TSH menurun bahkan pada
stadium paling awal, di mana penyakit masih subklinis. Pada kasus jarang
hipertiroidisme yang berkaitan dengan hipofisis atau hipotalamus (sekunder),
kadar TSH dapat normal atau meningkat. Nilai TSH yang rendah biasanya
berkaitan dengan peningkatan kadar T4 bebas. Kadang-kadang, hipertiroidisme
disebabkan terutama oleh meningkatnya kadar T3 dalam sirkulasi (toksikosis T3).
Pada keadaan ini, kadar T4 bebas menurun, dan pengukuran langsung T3
serum mungkin bermanfaat. Sekali diagnosis tirotoksikosis telah ditegakkan
dengan kombinasi pemeriksaan TSH dan hormon tiroid bebas, pengukuran uptake
yodium radioaktif oleh kelenjar tiroid sering bermanfaat untuk menentukan
etiologi. Sebagai contoh, pemeriksaan sken seperti ini dapat menunjukkan uptake
yang meningkat secara difus (seluruh kelenjar) pada penyakit Graves, uptake yang
meningkat pada suatu nodul soliter di adenoma toksik, atau uptake yang menurun
pada tiroiditis.
Berikut gambaran klinis yang ditemukan saat anamnesis dan pemeriksaan
fisik yang bisa digunakan untuk mendiagnosis hipertiroid;
a. Gejala dasar: Kulit orang yang tirotoksik cenderung lunak, hangat dan
kemerahan, tidak toleran terhadap panas dan berkeringat yang berlebihan.
Peningkatan aktivitas simpatik dan hipermetabolisme akan mengakibatkan
penurunan berat badan walaupun nafsu makan meningkat.
b. Gastrointestinal: Stimulasi usus mengakibatkan hipermotilitas, malabsorpsi dan
diare.
c. Jantung: Palpitasi dan takikardi sering dijumpai, pasien berusia lanjut dapat
mengalami gagal jantung kongestif sebagai akibat perburukan dari penyakit
jantung yang telah ada sebelumnya.
d. Neuromuskular: Pasien sering mengalami kegelisahan, tremor, dan iritabilitas.
Hampir 50% pasien mengalami kelemahan otot proksimal (miopati tiroid).
e. Manifestasi okular: Terdapat tatapan mata yang lebar, membelalak oleh karena
stimulasi simpatis berlebihan dari otot levator palpebra superior (Gambar 19-
6). Namun, oftalmopati tiroid sejati yang berhubungan dengan proptosis
merupakan suatu gambaran yang hanya ditemukan pada Penyakit Graves
(dibahas kemudian).
f. Badai tiroid (thyroid storm) istilah ini digunakan untuk merujuk pada
hipertiroidisme berat yang timbul mendadak. Keadaan ini paling sering terjadi
pada pasien dengan latar belakang penyakit Graves, mungkin disebabkan oleh
peningkatan mendadak kadar katekolamin, seperti yang dapat dijumpai
sewaktu stres. Badai tiroid merupakan suatu kegawatdaruratan medis. Banyak
pasien yang tidak diterapi meninggal karena aritmia jantung.
g. Hipertiroidisme apatis berhubungan dengan tirotoksikosis yang terjadi pada
pasien lanjut usia, dengan gambaran khas hormon tiroid yang berlebihan
seperti yang biasanya terlihat pada pasien dengan usia lebih muda, tidak
terlihat nyata. Pada pasien ini, diagnosis sering ditegakkan saat pemeriksaan
laboratorium pada penurunan berat badan tanpa sebab yang jelas atau penyakit
kardiovaskular yang memburuk.
2.3.7 Komplikasi
Hipertiroidisme yang tidak diobati dapat menyebabkan komplikasi serius,
terutama yang berkaitan dengan jantung. Beberapa kemungkinan komplikasi
terkait jantung dari hipertiroidisme yang tidak terkontrol adalah:
1. Aritmia (denyut jantung abnormal, seperti fibrilasi atrium)
2. Pelebaran jantung (peningkatan ukuran rongga jantung, yang sebenarnya
menipiskan otot jantung) dan gagal jantung kongestif
3. Serangan jantung mendadak
4. Hipertensi
Jika hipertiroidisme tidak diobati, juga berisiko terkena osteoporosis.
Karena kehilangan secara bertahap kepadatan mineral tulang. tubuh akan menarik
kalsium dan fosfat keluar dari tulang dan mengeluarkan terlalu banyak kalsium
dan fosfor (melalui urin dan tinja). manusia membutuhkan kalsium dan fosfor
untuk menjaga kesehatan tulang, jadi jika tulang tidak cukup menyerap mineral
tersebut atau kehilangannya pada tingkat yang meningkat, mereka bisa menjadi
kurang padat.
2.3.8 Tatalaksana19
Pilihan terapi hipertiroid bergantung pada penyebab dan tingkat keparahan
penyakit, usia pasien, besar struma, kondisi komorbid, dan kebutuhan terapi.
Tujuan terapi ialah untuk mengoreksi keadaan hipermetabolik dengan efek
samping terendah dan kemungkinan menyebabkan hipotiroidisme terkecil. Pilihan
terapi pada hipertiroid antara lain
a) Beta blockers
- Mekanisme kerjanya adalah dengan menginhibisi efek adrenergic.
- Indikasi penggunaan ialah untuk mengontrol symptoms, merupakan
terapi pilihan pada tiroiditis, merupakan 1st line terapi sebelum tindakan
pembedahan, iodine radioaktif, dan obat anti tiroid, serta dapat digunakan
sebagai terapi jangka pendek dalam kehamilan.
Kontraindikasi dan komplikasi: amati penggunaan pada pasien lansia dan
pasien dengan riwayat penyakit jantung, PPOK, atau asma pada pasien tirotoksik
dengan resting heart rate lebih dari 90 bpm atau dengan riwayat penyakit
kardiovaskular. Selain itu, pemberian beta blocker direkomendasikan pada seluruh
pasien dengan tirotoksikosis simptomatis.
Pemberian beta blocker pada pasien dapat menimbulkan penurunan heart
rate, penurunan tekanan darah sistolik, kelemahan otot, dan tremor. Gejala
tersebut dapat pula disertai dengan iritabilitas, labilitas emosi, dan intoleransi
aktivitas atau mudah lelah. Pemberian beta blocker juga di kontraindikasikan pada
pasien dengan bronkospasme. Namun, pada pasien dengan asma bronkospastik
ringan dan PPOK ringan yang memerlukan control heart rate maka pemberian
Nadolol dapat dipertimbangkan dengan pengawasan ketat selama pemberian.
Pemberian calcium-channel blocker (diltiazem dan verapamil) yang diberikan
secara oral menampakkan hasil efek control yang baik pada pasien yang tidak
toleransi atau kontraindikasi pada pemberian beta blocker.
b) Iodida
- Memblok konversi T4 menjadi T3 dan menginhibisi sekresi hormone
- Indikasinya adalah menurunkan secara cepat kadar hormone tiroid,
merupakan obat yang dapat digunakan pada preoperative ketika
medikasilain tidak infektif atau terdapat kontraindikasi, dapat digunakan
selama masa kehamilan jika obat anti-tiroid lain tidak dapat ditoleransi,
dapat digunakan bersama obat anti-tiroid untuk terapi amiodarone-
induced hypertiroidism.
- Kontraindikasi dan komplikasi: peningkatan pelepasan hormone dengan
penggunaan yang memanjang, efek samping yang sering dijumpai antara
lain konjungtivitis, acneform rash, sialadenitis.
c) Obat Antitiroid
- Mekanisme: PTU dapat memblok konversi T4 menjadi T3 dalam jumlah
besar di perifer.
- Indikasi: merupakan 1st line terapi jangka panjang pada Grave’s disease
(di Eropa, Jepang, dan Australia), PTU merupakan pilihan terapi pada
pasien hamil dengan Grave’s disease berat; merupakan pilihan terapi
Grave’s disease pada anak dan dewasa yang menolak menjalani terapi
radioaktif iodine; pretreatment pada lansia pasien dengan penyakit
jantung sebelum pembedahan atau menjalani terapi radioaktif; dapat
digunakan selama menyusui.
- Kontraindikasi: angka kekambuhan sangat tinggi, terutama pada perokok,
pasien dengan ukuran goiter yang besar, dan pasien dengan thyroid-
stimulating antibody level pada pengobatan fase lanjut. Efek samping
yang sering muncul antara lain polyarthritis (1-2%), agranulositosis (0.1-
0.5%), PTU dapat menyebabkan peningkatan enzim transaminase (30%),
dan hepatitis imunoalergik (0.1-0.2%), methimazole dapat menyebabkan
cholestasis dan abnormalitas kongenital, namun jarang. Efek samping
minor (<5%) adalah rash, demam, efek gastrointestinal, dan arthralgia.
Berdasarkan guidelines American Thyroid Assosiation direkomendasikan
untuk menggunakan obat anti tiroid pada pasien dengan kecenderungan tinggi
untuk remisi (pasien, terutama wanita, dengan goiter ukuran kecil ringan, dan titer
TRAb kadar rendah atau negatif), pasien lansia dengan peningkatan komorbiditas
risiko pembedahan atau dengan angka harapan hidup yang rendah, pasien yang
tidak memenuhi regulasi keamanan dalam terapi radiasi.
Tujuan pengobatan dengan menggunakan obat anti tiroid adalah untuk
membuat pasien berada dalam kondisi eutiroid, namun tidak akan menyembuhkan
Grave’s hipertiroid. Namun, jika digunakan dalam dosis yang adekuat, terapi ini
sangat efektif dalam mengontrol hipertiroid.
Methimazole direkomendasikan sebagai terapi yang digunakan pada setiap
pasien dengan obat anti tiroid, kecuali pada kehamilan trimester pertama
(pilihannya adalah PTU), krisis tiroid, dan pasien yang mengalami reaksi minor
dengan pemberian methimazole. Selain itu, pasien yang mulai mengonsumsi obat
anti tiroid direkomendasikan untuk melakukan pemeriksaan darah lengkap, diff
count, dan profile fungsi hepar termasuk bilirubin dan enzim transaminase.
Kontraindikasi untuk memulai terapi dengan obat anti-tiroid adalah jika jumlah
neutrophil <500/mm3 atau kadar enzim transaminase meningkat lebih dari 5x
lipat dari normal. Monitoring profile hepar pasien dengan konsumsi obat anti-
tiroid rutin direkomendasikan dilakukan secara rutin, terutama pada 6 bulan
pertama terapi. Namun, sulit dibedakan apakah penyebab peningkatan enzim
transaminase tersebut disebabkan oleh pemberian anti-tiroid atau disebabkan oleh
tirotoksikosis persisten. Namun umumnya, peningkatan enzim transaminase yang
disebabkan oleh pemberian PTU bersifat akut dan sangat progresif. Pemberian
PTU harus dihentikan jika didapatkan kadar enzim transaminase meningkat 2-3
kali lipat diatas normal dan tidak mengalami perbaikan dalam 1 minggu saat
dilakukan pengukuran ulang. Setelah pemberian PTU dihentikan, profil fungsi
hepar harus dimonitor setiap minggu hingga mencapai nilai normal.
d) Radioaktif
- Mekanisme: terkonsentrasi pada kelenjar tiroid dan menghancurkan
jaringan tiroid
- Indikasi: memiliki high cure rates pada terapi single-dose (80%),
merupakan terapi pilihan pada Grave’s disease di US, multinodular goiter,
nodul toksik, dan pasien dengan usia > 40 tahun, serta pada pasien yang
mengalami relapse dengan terapi obat antitiroid.
- Kontraindikasi: pasien hamil atau sedang menyusui, dapat menyebabkan
suara serak, flushing, dan penurunan pengecapan, serta radiation
thyroiditis (1%), dapat menimbulkan eksaserbasi Grave’s ophthalmopathy.
Membutuhkan pre-terapi dengan menggunakan obat anti-tiroid pada
pasien dengan riwayat sakit jantung.
e) Pembedahan (Subtotal Tiroidektomi)
- Mekanisme: mengurangi massa tiroid
- Indikasi: terapi pilihan pada pasien hamil dan anak-anak dengan yang
timbul efek samping dalam penggunaan obat anti tiroid, nodul toksik
pada pasien dengan usia < 40 tahun, dan goiter yang besar dengan gejala
hebat. Dapat menjadi pilihan pada pasien yang menolak terapi radioaktif,
atau gagal dalam menjalani terapi anti-tiroid, serta dapat dilakukan
dengan indikasi kosmetik.
- Komplikasi dan kontraindikasi: risiko hipotiroid (25%), relapse
hipertiroid (8%), hipoparatiroid temporer atau permanen, paralisis laring
(<1%), morbiditas lebih tinggi. Kondisi pasien pre-operatif diharuskan
mencapai kondisi eutiroid, sehingga membutuhkan pre-terapi dengan
obat anti-tiroid dan iodide untuk menghindari terjadinya krisis tirotoksis.
Berdasarkan American Thyroid Assosiation direkomendasikan
untuk memilih terapi pembedahan pada pasien dengan ukuran goiter besar
(volume ≥ 80 gr), uptake iodium pada radioaktif relative rendah, dan jika
dicurigai atau didapatkan adanya kemungkinan malignansi iodine, large
non functioning, hypofunction nodule, wanita yang merencanakan
kehamilan dalam jangka waktu < 4-6 bulan, atau disertai dengan
hiperparatiroid yang membutuhkan terapi pembedahan.
Sementara itu, kontraindikasi dilakukannya pembedahan adalah
adanya komorbiditas seperti penyakit kardiovaskular, kardiopulmonar,
cancer stadium akhir. Kehamilan merupakan kontraindikasi relative, dan
hanya boleh digunakan dalam keadaan mendesak, yaitu jika dibutuhkan
control cepat hipertiroidisme dan obat anti-tiroid tidak dapat dikonsumsi.
Tiroidektomi paling baik dihindari pada kehamilan trimester pertama dan
trimester ketiga. Hal ini disebabkan oleh efek teratogenik yang terkait
dengan agen anastesi, peningkatan risiko abortus pada trimester pertama,
dan peningkatan risiko persalinan preterm pada trimester ketiga. Secara
optimal, tiroidektomi disarankan dilakukan pada akhir trimester kedua,
namun tetap menimbulkan risiko (4.5%-5.5% risiko persalinan preterm).
2.3.9 Klasifikasi20
Hipertiroid memiliki klasifikasi klinis dan subklinis. Hipertiroid klinis bila
Kadar TSH <0.3 mIU/L dan disertai dengan beberapa manifestasi klinis
(Abdulraouf, 2011). Sedangkan hipertiroid subklinis dikarakteristikkan dengan
kadar TSH serum rendah yaitu <0.1 mIU/L dengan level normal dari free T3 dan
free T4. Hipertiroid subklinis terjadi pada 2 % dari jumlah populasi di Amerika.
Penyebabnya sama dengan hipertiroid klinis, hanya tambahannya, dapat
disebabkan karena pengobatan hormon tiroid yang berlebihan pada kejadian
hipotiroid.

2.3.10 Pencegahan21-23
a. Pencegahan Primer
Pencegahan primer adalah langkah yang harus dilakukan untuk menghindari
diri dari berbagai faktor resiko. Beberapa pencegahan yang dapat dilakukan
untuk mencegah terjadinya struma adalah:
a. Memberikan edukasi kepada masyarakat dalam hal merubah pola perilaku
makan dan memasyarakatkan pemakaian garam yodium
b. Mengkonsumsi makanan yang merupakan sumber yodium seperti ikan laut
c. Mengkonsumsi yodium dengan cara memberikan garam beryodium setelah
dimasak, tidak dianjurkan memberikan garam sebelum memasak untuk
menghindari hilangnya yodium dari makanan
d. Iodisai air minum untuk wilayah tertentu dengan resiko tinggi. Cara ini
memberikan keuntungan yang lebih dibandingkan dengan garam karena dapat
terjangkau daerah luas dan terpencil. Iodisasi dilakukan dengan yodida
diberikan dalam saluran air dalam pipa, yodida yang diberikan dalam air yang
mengalir, dan penambahan yodida dalam sediaan air minum.
e. Memberikan kapsul minyak beryodium (lipiodol) pada penduduk di daerah
endemik berat dan endemik sedang. Sasaran pemberiannya adalah semua pria
berusia 0-20 tahun dan wanita 0-35 tahun, termasuk wanita hamil dan
menyusui yang tinggal di daerah endemis berat dan endemis sedang. Dosis
pemberiannya bervariasi sesuai umur dan kelamin.
f. Memberikan suntikan yodium dalam minyak (lipiodol 40%) diberikan 3
tahun sekali dengan dosis untuk dewasa dan anak-anak di atas 6 tahun 1 cc
dan untuk anak kurang dari 6 tahun 0,2-0,8 cc.

b. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder adalah upaya mendeteksi secara dini suatu
penyakit, mengupayakan orang yang telah sakit agar sembuh, menghambat
progresifitas penyakit yang dilakukan melalui beberapa cara yaitu:
1. Inspeksi
Inspeksi dilakukan oleh pemeriksa yang berada di depan penderita yang
berada pada posisi duduk dengan kepala sedikit fleksi atau leher sedikit
terbuka. Jika terdapat pembengkakan atau nodul, perlu diperhatikan beberapa
komponen yaitu lokasi, ukuran, jumlah nodul, bentuk (diffus atau noduler
kecil), gerakan pada saat pasien diminta untuk menelan dan pulpasi pada
permukaan pembengkakan.
2. Palpasi
Pemeriksaan dengan metode palpasi dimana pasien diminta untuk duduk,
leher dalam posisi fleksi. Pemeriksa berdiri di belakang pasien dan meraba
tiroid dengan menggunakan ibu jari kedua tangan pada tengkuk penderita.

3. Tes Fungsi Hormon


Status fungsional kelenjar tiroid dapat dipastikan dengan perantara tes-tes
fungsi tiroid untuk mendiagnosa penyakit tiroid diantaranya kadar total
tiroksin dan triyodotiroin serum diukur dengan radioligand assay. Tiroksin
bebas serum mengukur kadar tiroksin dalam sirkulasi yang secara metabolik
aktif. Kadar TSH plasma dapat diukur dengan assay radioimunometrik.
Kadar TSH plasma sensitif dapat dipercaya sebagai indikator fungsi tiroid.
Kadar tinggi pada pasien hipotiroidisme sebaliknya kadar akan berada di
bawah normal pada pasien peningkatan autoimun (hipertiroidisme). Uji ini
dapat digunakan pada awal penilaian pasien yang diduga memiliki penyakit
tiroid. Tes ambilan yodium radioaktif (RAI) digunakan untuk mengukur
kemampuan kelenjar tiroid dalam menangkap dan mengubah yodida.
4. Foto Rontgen leher
Pemeriksaan ini dimaksudkan untuk melihat struma telah menekan atau
menyumbat trakea (jalan nafas).
5. Ultrasonografi (USG)
Alat ini akan ditempelkan di depan leher dan gambaran gondok akan tampak
di layar TV. USG dapat memperlihatkan ukuran gondok dan kemungkinan
adanya kista/nodul yang mungkin tidak terdeteksi waktu pemeriksaan leher.
Kelainan-kelainan yang dapat didiagnosis dengan USG antara lain kista,
adenoma, dan kemungkinan karsinoma.
6. Sidikan (Scan) tiroid
Caranya dengan menyuntikan sejumlah substansi radioaktif bernama
technetium-99m dan yodium125/yodium131 ke dalam pembuluh darah.
Setengah jam kemudian berbaring di bawah suatu kamera canggih tertentu
selama beberapa menit. Hasil pemeriksaan dengan radioisotop adalah teraan
ukuran, bentuk lokasi dan yang utama adalh fungsi bagian-bagian tiroid.
7. Biopsi Aspirasi Jarum Halus
Dilakukan khusus pada keadaan yang mencurigakan suatu keganasan. Biopsi
aspirasi jarum tidak nyeri, hampir tidak menyebabkan bahaya penyebaran sel-
sel ganas. Kerugian pemeriksaan ini dapat memberikan hasil negatif palsu
karena lokasi biopsi kurang tepat. Selain itu teknik biopsi kurang benar dan
pembuatan preparat yang kurang baik atau positif palsu karena salah
intrepertasi oleh ahli sitologi.

2.3.11 Edukasi11
1. Selain menjaga pola hidup sehat pasien juga sebaiknya di edukasi
untuk meminum obat dan control secara teratur.
2. Sebaiknya pasien tetap disarankan untuk melakukan salah satu terapi
untuk penyembuhan.
3. Terapi yang diberikan sebaiknya secara bertahap dan memiliki efek
samping paling kecil yang disesuaikan dengan komplikasi yang
mungkin timbul.
4. Memberikan penyuluhan semacam edukasi pada pasien dan keluarga
mengenai pentingnya mengkonsumsi zat gizi secara seimbang
terhadap kesehatan tubuh dan pola hidup sehat karena reaksi autoimun
kemungkinan berasal dari keadaan yang kurang terjaganya pola hidup
sehat dan pola konsumsi yang tidak seimbang.
2.3.12 Prognosis
Mortalitas krisis tiroid dengan pengobatan adekuat adalah 10-15%.24
Individu dengan tes fungsi tiroid normal-tinggi, hipertiroidisme subklinis, dan
hipertiroidisme klinis akan meningkatkan risiko atrium fibrilasi. Hipertiroidisme
juga berhubungan dengan peningkatan risiko gagal jantung (6% dari pasien), yang
mungkin menjadi sekunder untuk atrium fibrilasi atau takikardia yang dimediasi
cardiomyopathy. Gagal jantung biasanya reversibel bila hipertiroidisme diterapi.
Pasien dengan hipertiroidisme juga berisiko untuk hipertensi paru
sekunder peningkatan cardiac output dan penurunan resistensi vaskuler paru.
Pada pasien dengan penyakit jantung yang sudah ada sebelumnya, hipertiroidisme
meningkatkan risiko kematian (rasio hazard [HR] = 1,57), dan bahkan mungkin
pada pasien tanpa jantung. Hal ini juga meningkatkan risiko stroke iskemik (HR =
1,44) antara dewasa usia 18 sampai 44 years. Hipertiroidisme tidak diobati juga
berpengaruh terhadap kepadatan mineral tulang yang rendah dan meningkatkan
risiko fraktur pinggul.25
2.4 Laju Metabolik Basal9

Laju metabolic adalah laju pemakaian energy oleh tubuh selama kerja
eskternal dan internal. Laju metabolic = pengeluaran energy/satuan waktu. Jumlah
panas yang diproduksi bervariasi bergantung pada beragam faktor, misalnya
olahraga, rasa cemas, menggigil dan asupan makanan. Peningkatan aktivitas otot
rangka adalah faktor terbesar yang dapat meningkatkan laju metabolic. Karena itu
laju metabolic seseorang ditentukan dibawah kondisi basal terstandarisasi yang
diciptakan untuk mengontrol sebanyak mungkin variable yang dapat mengubah
laju metabolic. Dengan cara ini aktivitas metabolic yang diperlukan untuk
mempertahankan fungsi tubuh dasar dapat ditentukan. Laju metabolic basal
(LMB) adalah laju pengeluaran energy internal minimal saat terjaga.
Hormon tiroid adalah penentu utama yang memengaruhi laju metabolic
basal, meskipun bukan satu-satunya. Peningkatan hormone tiroid menyebabkan
peningkatan LMB. Hormon tiroid meningkatkan LMB keseluruh tubuh, sebagai
regulator terpenting laju konsumsi O2 dan pengeluaran energy tubuh pada keadaan
istirahat.
Efek kalorigenik (penghasil panas) hormone tiroid berkaitan erat dengan
efek metabolic hormone ini secara keseluruhan. Peningkatan aktivitas metabolic
menyebabkan peningkatan produksi panas.

2.5 Patofisiologi
2.5.1 Mata seperti melotot26
Kelainan mata disebabkan oleh reaksi autoimun pada jaringan ikat di
dalam rongga mata. Jaringan ikat dengan jaringan lemaknya menjadi hiperplasik
sehingga bola mata terdorong keluar dan otot mata terjepit. Penonjolan bola mata
adalah tanda utama penyakit orbita. Lesi-lesi ekspansif dapat bersifat jinak atau
ganas dan dapat berasal dari tulang, otot, saraf, pembuluh darah, atau jaringan
ikat. Massa dapat bersifat radang, neoplastic, kistik, atau vaskular. Penonjolan itu
sendiri tidak bersifat mencederai kecuali apabila kelopak mata tidak mampu
menutup kornea. Akibat terjadi eksoftalmus yang dapat menyebabkan rusaknya
bola mata akibat keratitis. Gangguan faal otot mata yang menyebabkan
strabismus. Reaksi histopatologis dari berbagai jaringan didominasi oleh reaksi
inflammatory sel mononuklear, ini khas tetapi tidak ada arti terbatas, suatu
mekanisme penyakit immunologi.
Pada tiroid oftalmopati autoantibodi menyerang fibroblast pada otot mata,
dan fibroblast tersebut dapat berubah menjadi sel-sel lemak (adiposit). Sel-sel
lemak dan pembesaran otot dan menjadi radang. Vena-vena terjepit, dan tidak
dapat mengalirkan cairan menyebabkan edema. Gambaran utama adalah distensi
nyata otot-otot okular akibat pengendapan mukopolisakarida. Mukopolisakarida
bersifat sangat higroskopik sehingga meningkatkan kandungan air didalam orbita.
Sekarang diperkirakan terdapat dua komponen patogenik pada penyakitGraves:
1. Kompleks imun tiroglobulin-antitiroglobulin berikatan dengan otot-otot
ekstraokular dan menimbulkan miositis.
2. Zat-zat penyebab eksoftalmos bekerja dengan imunoglonulin oftalmik untuk
menyingkirkan thyroid stimulating hormone dari membran retro-orbita, yang
menyebabkan peningkatan lemak retro-orbita. Tanda mata penyakit Graves
mencakup retraksi palpebra, pembengkakan palpebra dan konjungtiva,
eksoftalmos dan oftalmoplegia. Pasien datang dengankeluhan nonspesifik
misalnya mata kering, rasa tidak enak, atau mata menonjol.
2.5.2 Berdebar-debar9
Setiap efek yang serupa dengan yang ditimbulkan oleh sistem saraf
simpatis dikenal sebagai efek simpatomimetik ("menyerupai simpatis"). Hormon
tiroid meningkatkan responsivitas sel sasaran terhadap katekolamin (epinefrin dan
norepinefrin), pembawa pesan kimiawi yang digunakan oleh sistem saraf simpatis
dan medula adrenal. Hormon tiroid melaksanakan efek permisif ini dengan
menyebabkan proliferasi reseptor sel sasaran spesifik katekolamin. Karena
pengaruh ini, banyak dari efek yang diamati ketika sekresi hormon tiroid
meningkat adalah serupa dengan yang menyertai pengaktifan sistem saraf
simpatis.
Melalui efek meningkatkan kepekaan jantung terhadap katekolamin dalam
darah, hormon tiroid meningkatkan kecepatan. Jantung dan kekuatan kontraksi
sehingga curah jantung meningkat. Selain itu, sebagai respons terhadap beban
panas yang dihasilkan oleh efek kalorigenik hormon tiroid, terjadi vasodilatasi
perifer untuk membawa kelebihan panas ke permukaan tubuh untuk dikeluarkan
ke lingkungan.
2.5.3 Berkeringat dan kepanasan9
Karena peningkatan hormone tiroid menyebabkan peningkatan LMB.
Hormon tiroid meningkatkan LMB keseluruh tubuh, sebagai regulator terpenting
laju konsumsi O2 dan pengeluaran energy tubuh pada keadaan istirahat. Efek
kalorigenik (penghasil panas) hormone tiroid berkaitan erat dengan efek metabolic
hormone ini secara keseluruhan. peningkatan aktivitas metabolic menyebabkan
peningkatan produksi panas. Peningkatan produksi panas yang terjadi
menyebabkan keringat berlebihan dan intoleransi panas.
2.5.4 Leher membesar27
Pada kebanyakan penderita hipertiroidisme, kelenjar tiroid membesar dua
sampai tiga kali dari ukuran normal, disertai dengan banyak hiperplasia dan
lipatan-lipatan sel-sel folikel ke salam folikel, sehingga jumlah sel-sel ini lebih
meningkat beberapa kali dibandingkan dengan pembesaran kelenjar. Juga, setiap
sel meningkatkan kecepatan 5-15 kali lebih besar dari pada normal. Pada
hipertiroidisme, kelenjar tiroid seolah dipaksa mensekresikan hormon hingga
diluar batas, sehingga untuk memenuhi pesanan tersebut, sel-sel sekretori kelenjar
tiroid membesar. Hal itulah yang mendasari pembesaran leher seperti yang terjadi
pada kasus.
2.5.5 BB turun28
Hormon tiroid meningkatkan aktivitas metabolisme hampir seluruh
jaringan tubuh. Bila sekresi hormon ini banyak sekali, maka kecepatan
metabolisme basal meningkat sampai setinggi 60 sampai 100 persen di atas nilai
normal. Kecepatan penggunaan makanan sebagai energi juga sangat meningkat.
Walaupun kecepatan sintesis protein pada saat itu meningkat, pada saat yang
sama, kecepatan katabolisme protein juga meningkat. Pada orang muda kecepatan
pertumbuhan sangat dipercepat. Proses mental menjadi tereksitasi, dan aktivitas
banyak kelenjar endokrin lainnya sering kali juga meningkat. Peningkatan
produksi hormon tiroid yang sangat tinggi hampir selalu menurunkan berat badan,
dan penurunan hormon tiroid yang sangat besar hampir selalu meningkatkan berat
badan; efek-efek tersebut tidak selalu timbul; karena hormon tiroid juga
meningkatkan nafsu makan, dan ini mungkin merupakan upaya penyeimbangan
terhadap perubahan laju metabolisme.

2.6 Tatalaksana yang tepat untuk Nn. Dita?29


Tujuan terapi baik dengan penggunaan obat anti tiroid, iodine radioaktif
maupun tiroidektomi adalah menurunkan kadar hormon tiroid pasien ke level
normal serta mencapai kondisi remisi. Kondisi remisi pada pasien hipertiroid
dapat tercapai apabila kadar hormon tiroid pasien dapat dijaga pada rentang
euthyroid. Tata laksana terapi yang dapat digunakan untuk mengobati pasien
hipertiroidisme adalah sebagai berikut:
1. Obat Anti Tiroid
Obat anti tiroid merupakan golongan obat yang digunakan untuk menekan
kelebihan hormon tiroid pada pasien hipertiroidisme hingga level normal
(euthyroid). Tujuan utama penggunaan obat anti tiroid adalah untuk mencapai
kondisi euthyroid secepat mungkin dengan aman dan untuk mencapai remisi.
Lama penggunaan obat anti tiroid hingga mencapai remisi bervariasi antar pasien
dan kesuksesan terapi sangat tergantung pada kepatuhan pasien dalam
menggunakan obat. Pada pasien hipertiroidisme dengan toksik nodul atau toxic
multinodular goiter obat anti tiroid tidak direkomendasikan untuk digunakan
karena tidak menyebabkan remisi pada golongan pasien ini. Sedangkan pada
pasien Graves’ Disease obat anti tiroid terbukti dapat menghasilkan remisi karena
efek antitiroid dan imunosupresan.
Obat anti tiroid yang secara luas digunakan, propylthiouracil dan methimazole,
termasuk dalam golongan yang sama yaitu thionamide. Metode Terapi Obat Anti
Tiroid yaitu Block and Replacement. Pada metode block and replacement pasien
diberikan obat anti tiroid golongan thionamide (propylthiouracil atau
methimazole) dosis tinggi tanpa adanya penyesuaian dosis bersamaan dengan
levothyroxine. Pada penderita Graves’ Disease anti tiroid dosis tinggi diharapkan
dapat memberikan efek imunosupresan yang maksimal. Sedangkan pemberian
levothyroxine ditujukan untuk mengganti kebutuhan hormon tiroid yang dihambat
oleh obat anti tiroid dosis tinggi dan mencegah hipotiroidisme.
2. Tiroidektomi
Tiroidektomi merupakan prosedur pembedahan pada kelenjar tiroid. Metode
terapi ini merupakan pilihan bagi pasien yang kontraindikasi atau menolak
pengobatan dengan obat anti tiroid dan iodine radioaktif. Pembedahan
direkomendasikan bagi pasien dengan multinodular goiter atau goiter yang sangat
besar Secara umum prosedur tiroidektomi dapat dibedakan menjadi dua metode
berikut:
a. Tiroidektomi total
Pada prosedur ini dilakukan pengangkatan seluruh bagian kelenjar tiroid.
Dengan tidak adanya kelenjar tiroid yang memproduksi hormon tiroid, pasien
perlu mengonsumsi pengganti hormon tiroid oral seumur hidup.
b. Tiroidektomi sub-total
Pada prosedur ini hanya dilakukan pengangkatan sebagian kelenjar tiroid
sehingga pasien tidak perlu mengonsumsi hormon tiroid karena kelenjar
tiroid yang tersisa masih dapat memproduksi hormone tiroid. Salah satu efek
samping yang dapat muncul akibat pembedahan ini adlah
hipoparatioroidisme.
BAB III
KESIMPULAN

Nn. Dita 30 tahun mengalami Graves’ Disease.


DAFTAR PUSTAKA

1. Moore, KL & Agur, AMR. Essential Clinical Anatomy, Wiliams and


Wilkins; 1996. pp. 156-161.
2. Gartner, leslie P and james L. Hiatt. Color textbook of histology third
edition. Philadelphia. Elseivier Saunder; 2007.
3. Yunita, Mega, and Ery Leksana. Angka Kematian Pasien Pasca Bedah
Tiroid di RSUP Dr. Kariadi Semarang. Diss. Faculty of Medicine
Diponegoro University; 2013.
4. Nurcahyani, Yusi Dwi, Donny K. M, Prihatin Broto Sukandar, M.
Samsudin, Nur Ihsan. Sensitivitas dan Spesifitas Instrumen Skrining
Hipotiroid Untuk Diagnosis Hipotiroid Pada Anak Batita di Daerah
Endemik GAKI. MGMI, 2017; 8(2):89-102.
5. Dussault JH. Neonatal Screening for Congenital Hypothyroidism. Clinics
in Laboratory Medicine. 1993; 13: 645-50.
6. Eastman, Creswell. Screening for thyroid disease and iodine deficiency.
Pathology. 2012; 44. 153-9
7. Barrett KE, Barman SM, Boitano S, Brooks HL. 23 rd Edition. McGrawHill
Lange; 2010.
8. Guyton AC, Hall JE, Textbook of Medical Physiology. 7th Edition.
Elsevier Saunders; 2006.
9. Sherwood, L. Fisiologi manusia: dari sel ke sistem. Edisi 8. Jakarta: EGC.
2014.
10. Elaine A. Moore, Lisa Marie Moore-Advances in Graves’ Disease and
Other Hyperthyroid Disorders. McFarland Health Topics. 2013
11. Hermawan, A. Guntur. "Pengelolaan dan Pengobatan Hipertiroid." Cermin
Dunia Kedokteran 63; 1990: 51-55.
12. Asturiningtyas, Ika Puspita dan Suryati Kumorowulan. Characteristics of
Patients with Thyroid Dysfunction : An Epidemiological Study. Desember
2016;8(1): 43-54
13. Sulistyanti D. Analisis praktik profesi keperawatan kesehatan masyarakat
perkotaan pada pasien dengan hipertiroid pasca tiroidektomi di ruang
rawat bedah gedung A RSUPN cipto mangunkusumo Jakarta. Fakultas
ilmu keperawatan program profesi ilmu keperawatan depok; 2013.
14. Nayak, B. dan Burman, K, Thyrotoxicosis and Thyroid Storm, Endocrinol
Metab Clin N Am; 2006. 35, 663–686.
15. Bahn, R.S., Burch, H.B., Cooper, D.S., Garber, J.R., Greenlee, M.C.,
Klein, I., Laurberg, P., McDougall, I.R., Montori, V.M., Rivkees, S.A.,
Ross, D.S., Sosa, J.A., dan Stan, M.N., 2011, Hyperthyroidism and Other
Causes of Thyrotoxicosis: Management Guidelines of The American
Thyroid Association and American Association of Clinical
Endocrinologists, Endocr Pract; 2017 (No.3)
16. Weetman, A.P., 2000, Graves’ Disease, The New England Journal of
Medicine 343(No 17), 1236–1246.
17. Kumar dkk. Robbins Basic Phatology. 9th ed. Elsevier. Canada; 2013. p
722-23

18. Kresimira (Mira) Milas MD. Hyperthyroidism


Complications.Vertical Health LLC; 2018.
https://www.endocrineweb.com/conditions/hyperthyroidism/hyperthyroidism-
complicatioans
19. Rebecca S Bahn, et al. 2011. Hypertiroidism and Other Causes Of
Thyrotoxicosis Management Guidelines of The American Thyroid
Association and American Association of Clinical Endocrinology.
Hyperthyroidism Management Guidelines, Endocr Pract, May 24, 2011;
17 (No.3)
20. Abdulraouf G, Carin R. Hyperthyroidism: A Stepwise Approach To
Management. Department of Family and Community Medicine,
University of Missouri- Columbia. The Journal of Family Practice. Vol 60.
No 7. July 2011.
21. Landenson w paul M.D. (Accessed: 22 September 2018), goiter and tiroid
nodules. Available at: http://www.knl.google.com (last update: 11 nov
2008).
22. Andrzey Lewinski. (Accessed :22 September 2018), the problem of goiter
with particular consideration of goiter resulting from iodine deficiency.
Available at:http://www.google.com (last update: 2004).
23. Castro Regina M. (Accessed: 22 September 2018), goiter-diagnostic and
treatment consideration. Available at: http://www.google.com (last update:
2004).
24. Rani AA, Soegondo S, Nasir AUZ, Wijaya, IP, Nafrialdi, Mansjoer
APelayanan Medik dalam PAPDI. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006.
25. Gandhour A, Reust C. Hyperthyroidisme: a stepwise approach to
management. The Journal of Family Practice. 2011;60(7):388-395.
26. Lubis R. Graves Ophtalmopaty. Departemen Ilmu Kesehatan Mata
Fakultas Kedokteran RSUP Adam Malik. 2009
27. Elaine A. Moore, Lisa Marie Moore-Advances in Graves’ Disease and
Other Hyperthyroid Disorders. McFarland Health Topics. 2013
28. Guyton AC, Hall JE. Textbook of Medical Physiology.12 th Edition.
Elsevier Saunders. 2011: 911-913.
29. Hidayat, Taufiq, Alfien Susbiantonny, and Roly Anis Siregar. Evaluasi
Tatalaksana Penderita Hipertiroid Di Klinik BP2GAKI Magelang; 2012.

Anda mungkin juga menyukai