Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Pembimbing :
Disusun oleh :
i
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa
karena atas rahmat dan karunia-Nya sehingga pembuatan karya tulis berupa
Laporan Kasus departemen neurologi yang berjudul “Stroke Hemoragik &
Stroke Non Hemoragik” dapat tersusun dan terselesaikan tepat pada
waktunya.
Terima kasih penulis ucapkan kepada dr. Tut Wuri Handayani,
Sp.S, selaku pembimbing penulisan yang telah memberikan arahan dalam
penyelesaian laporan kasus ini.
Adapun pembuatan tulisan ini bertujuan untuk mendiskusikan
kasus stroke hemoragik & stroke non hemoragik, mulai dari pengertian
hingga penatalaksanaannya pada pasien yang dirawat inap selama masa
kepaniteraan klinik penulis di RSUD Syamsudin SH, sehingga diharapkan
dapat meningkatkan pemahaman dan mendukung penerapan klinis yang lebih
baik dalam memberikan kontribusi positif sistem pelayanan kesehatan secara
optimal.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tulisan yang telah disusun
ini masih banyak terdapat kekurangan di dalam penulisan, baik di dalam
penyusunan kalimat maupun di dalam teorinya, mengingat keterbatasan dari
sumber referensi yang diperoleh penulis. Oleh karena itu, penulis
membutuhkan kritik dan saran. Semoga karya tulis ini bermanfaat bagi semua
pihak.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
Cover............................................................................................................... i
Kata Pengantar.............................................................................................. ii
Daftar Isi........................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................. 1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA................................................................... 1
2.1. Stroke Hemoragik.............................................................................. 1
2.1.1 Definisi................................................................................................. 1
2.1.2 Epidemiologi........................................................................................ 1
2.1.3 Etiologi................................................................................................. 4
2.1.4 Faktor Resiko....................................................................................... 4
2.1.5 Patogenesis........................................................................................... 10
2.1.6 Gejala Klinis........................................................................................ 13
2.1.7 Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang............................................... 15
2.1.8 Tatalaksana.......................................................................................... 18
2.1.9 Komplikasi........................................................................................... 25
2.1.10 Pencegahan.......................................................................................... 25
2.2 Stroke Non Hemoragik...................................................................... 26
2.2.1 Definisi................................................................................................. 26
2.2.2 Epidemiologi........................................................................................ 26
2.2.3 Etiopatogenesis..................................................................................... 27
2.2.4 Tanda dan Gejala.................................................................................. 30
2.2.5 Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang................................................ 31
2.2.6 Tatalaksana........................................................................................... 34
2.2.7 Pencegahan........................................................................................... 41
BAB III KESIMPULAN............................................................................... 42
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................... 43
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
Diagnosis dari lesi vaskular pada stroke bergantung secara esensial
pada pengenalan dari sindrom stroke, dimana tanpa adanya bukti yang
mendukungnya, diagnosis tidak akan pernah pasti. Riwayat yang tidak
adekuat adalah penyebab kesalahan diagnosis paling banyak. Bila data
tersebut tidak dapat dipenuhi, maka profil stroke masih harus ditentukan
dengan memperpanjang periode observasi selama beberapa hari atau
minggu.4
Tujuan dari penatalaksanaan stroke secara umum adalah
menurunkan morbiditas dan menurunkan tingkat kematian serta
menurunnya angka kecacatan. Salah satu upaya yang berperan penting
untuk mencapai tujuan tersebut adalah pengenalan gejala-gejala stroke dan
penanganan stroke secara dini dimulai dari penanganan pra rumah sakit
yang cepat dan tepat. Dengan penanganan yang benar-benar pada jam-jam
pertama paling tidak akan mengurangi kecacatan sebesar 30% pada
penderita stroke.1
Tidak bisa dihindari fakta bahwa kebanyakan pasien stroke datang
dan dilihat pertama kali oleh klinisi yang belum memiliki pengalaman yang
cukup di semua poin terpenting dalam penyakit serebrovaskular. Keadaan
semakin sulit dikarenakan keputusan kritis harus segera dibuat mengenai
indikasi pemberian antikoagulan, investigasi laboratorium lebih lanjut, dan
saran serta prognosa untuk diberikan kepada keluarga.4
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Menurut definisi WHO, stroke adalah suatu tanda klinis yang berkembang
secara cepat akibat gangguan otak fokal (atau global) dengan gejala-gejala yang
berlangsung selama 24 jam atau lebih dan dapat menyebabkan kematian tanpa
adanya penyebab lain yang jelas selain vaskular. Stroke hemoragik adalah stroke
yang terjadi apabila lesi vaskular intraserebrum mengalami ruptur sehingga terjadi
perdarahan ke dalam ruang subaraknoid atau langsung ke dalam jaringan otak.5, 12
3
2.1.3 Etiologi Stroke Hemoragik
4
pada laki-laki berbanding perempuan, perbedaan seks
bahkan lebih tinggi sebelum usia 65.
Riwayat keluarga Terdapat lima kali lipat peningkatan prevalensi stroke
antara kembar monozigotik dibandingkan dengan
pasangan kembar laki-laki dizigotik yang menunjukkan
kecenderungan genetik untuk stroke. Pada 1913
penelitian kohort kelahiran Swedia menunjukkan tiga kali
lipat peningkatan kejadian stroke pada laki-laki yang ibu
kandungnya meninggal akibat stroke, dibandingkan
dengan laki-laki tanpa riwayat ibu yang mengalami
stroke. Riwayat keluarga juga tampaknya berperan dalam
kematian stroke antara populasi Kaukasia kelas
menengah atas di California.
Diabetes mellitus Setelah faktor risiko stroke yang lain telah dikendalikan,
diabetes meningkatkan risiko stroke tromboemboli
sekitar dua kali lipat hingga tiga kali lipat berbanding
orang-orang tanpa diabetes. Diabetes dapat
mempengaruhi individu untuk mendapat iskemia serebral
melalui percepatan aterosklerosis pembuluh darah yang
besar, seperti arteri koronari, arteri karotid atau dengan,
efek lokal pada mikrosirkulasi serebral.
Penyakit jantung Individu dengan penyakit jantung dari jenis apa pun
memiliki lebih dari dua kali lipat risiko stroke
dibandingkan dengan mereka yang fungsi jantungnya
normal.
5
Fibrilasi atrial :
Sangat terkait dengan stroke emboli dan fibrilasi atrial
karena penyakit jantung rematik; meningkatkan risiko
stroke sebesar 17 kali.
Lainnya :
Berbagai lesi jantung lainnya telah dikaitkan dengan
stroke, seperti prolaps katup mitral, patent foramen
ovale, defek septum atrium, aneurisma septum atrium,
dan lesi aterosklerotik dan trombotik dari ascending
aorta.
Karotis bruits Karotis bruits menunjukkan peningkatan risiko kejadian
stroke, meskipun risiko untuk stroke secara umum, dan
tidak untuk stroke khusus dalam distribusi arteri dengan
bruit.
Merokok Beberapa laporan, termasuk meta-analisis angka studi,
menunjukkan bahwa merokok jelas menyebabkan
peningkatan risiko stroke untuk segala usia dan
kedua jenis kelamin, tingkat risiko berhubungan dengan
jumlah batang rokok yang dihisap, dan penghentian
merokok mengurangi risiko, dengan resiko kembali
seperti bukan perokok dalam masa lima tahun setelah
penghentian.
Peningkatan Penigkatan viskositas menyebabkan gejala stroke ketika
hematokrit hematokrit melebihi 55%. Penentu utama viskositas
darah keseluruhan adalah dari isi sel darah merah;
plasma protein, terutamanya fibrinogen, memainkan
peranan penting. Ketika meningkat viskositas hasil dari
polisitemia, hyperfibrinogenemia, atau paraproteinemia,
biasanya menyebabkan gejala umum, seperti sakit kepala,
kelesuan, tinnitus, dan penglihatan kabur. Infark otak
fokal dan oklusi vena retina jauh kurang umum, dan
dapat mengikuti disfungsi trombosit akibat trombositosis.
6
Perdarahan Intraserebral dan subarachnoid kadang-
kadang dapat terjadi.
Peningkatan Tingkat fibrinogen tinggi merupakan faktor risiko untuk
tingkat fibrinogen stroke trombotik. Kelainan sistem pembekuan darah juga
dan kelainan telah dicatat, seperti antitrombin III dan kekurangan
system pembekuan protein C serta protein S dan berhubungan dengan vena
thrombotic.
Hemoglobinopathy Sickle-cell disease :
Dapat menyebabkan infark iskemik atau hemoragik,
intraserebral dan perdarahan subaraknoid, vena sinus dan
trombosis vena kortikal. Keseluruhan kejadian stroke
dalam Sickle-cell disease adalah 6-15%.
7
dan infark lakunar.
Kontrasepsi oral Pil KB, estrogen tinggi yang dilaporkan meningkatkan
risiko stroke pada wanita muda. Penurunan kandungan
estrogen menurunkan masalah ini, tetapi tidak
dihilangkan sama sekali. Ini adalah faktor risiko paling
kuat pada wanita yang lebih dari 35 tahun . Mekanisme
diduga meningkat koagulasi, karena stimulasi estrogen
tentang produksi protein liver, atau jarang penyebab
autoimun
Diet Konsumsi alkohol :
Ada peningkatan risiko infark otak, dan perdarahan
subarakhnoid dikaitkan dengan penyalahgunaan alkohol
pada orang dewasa muda. Mekanisme dimana etanol
dapat menghasilkan stroke termasuk efek pada darah
tekanan, platelet, osmolalitas plasma, hematokrit, dan
sel-sel darah merah. Selain itu, alkohol bisa
menyebabkan miokardiopati, aritmia, dan perubahan di
darah aliran otak dan autoregulasi.
Kegemukan :
Diukur dengan berat tubuh relatif atau body mass indexs,
obesitas telah secara konsisten meramalkan berikutnya
stroke. Asosiasi dengan stroke dapat dijelaskan sebagian
oleh adanya hipertensi dan diabetes. Sebuah berat relatif
lebih dari 30% di atas rata-rata kontributor independen
ke-atherosklerotik infark otak berikutnya.
8
Homosistinemia Predisposisi trombosis arteri atau vena di otak. Estimasi
atau homosistinuria risiko stroke di usia muda adalah 10-16%.
Migrain Sering pasien mengalami stroke sewaktu serangan
migrain.
Suku bangsa Kejadian stroke di Afrika-Amerika lebih tinggi secara
tidak proporsional dari kelompok lain.
Lokasi geografis Di Amerika Serikat dan kebanyakan negara Eropa, stroke
merupakan penyebab kematian ketiga paling sering,
setelah penyakit jantung dan kanker. Paling sering, stroke
disebabkan oleh perubahan aterosklerotik bukan oleh
perdarahan. Kekecualian adalah pada setengah
perempuan berkulit hitam, di puncak pendarahan yang
daftar. Di Jepang, stroke hemorragik adalah penyebab
utama kematian pada orang dewasa, dan perdarahan lebih
umum dari aterosklerosis.
Sirkadian dan Variasi sirkadian dari stroke iskemik, puncaknya antara
faktor musim pagi dan siang hari. Hal ini telah menimbulkan hipotesis
bahwa perubahan diurnal fungsi platelet dan fibrinosis
mungkin relevan untuk stroke. Hubungan antara variasi
iklim musiman dan stroke iskemik telah didalihkan.
Peningkatan dalam arahan untuk infark otak diamati di
Iowa. Suhu lingkungan rata-rata menunjukkan korelasi
negatif dengan kejadian cerebral infark di Jepang. Variasi
suhu musiman telah berhubungan dengan resiko lebih
tinggi cerebral infark dalam usia 40-64 tahun pada
penderita yang nonhipertensif, dan pada orang dengan
kolesterol serum bawah 160mg/dL.
A. Perdarahan Intraserebral
Perdarahan intraserebral paling sering terjadi ketika tekanan darah tinggi
kronis melemahkan arteri kecil, menyebabkannya robek. Penggunakan kokain
9
atau amfetamin dapat menyebabkan tekanan darah dan perdarahan sementara tapi
sangat tinggi. Pada beberapa orang tua, sebuah protein abnormal yang disebut
amiloid terakumulasi di arteri otak. Akumulasi ini (disebut angiopati amiloid)
melemahkan arteri dan dapat menyebabkan perdarahan.7
Penyebab umum yang kurang termasuk kelainan pembuluh darah saat
lahir, luka, tumor, peradangan pembuluh darah (vaskulitis), gangguan perdarahan,
dan penggunaan antikoagulan dalam dosis yang terlalu tinggi. Pendarahan
gangguan dan penggunaan antikoagulan meningkatkan resiko kematian dari
perdarahan intraserebral.7
B. Perdarahan Subaraknoid
Perdarahan subaraknoid biasanya hasil dari cedera kepala. Namun,
perdarahan karena cedera kepala menyebabkan gejala yang berbeda dan tidak
dianggap sebagai stroke.7
Perdarahan subaraknoid dianggap stroke hanya jika terjadi secara spontan
yaitu, ketika perdarahan tidak hasil dari kekuatan-kekuatan eksternal, seperti
kecelakaan atau jatuh. Sebuah perdarahan spontan biasanya hasil dari pecahnya
aneurisma mendadak di sebuah arteri otak, yaitu pada bagian aneurisma yang
menonjol di daerah yang lemah dari dinding arteri itu.7
Aneurisma biasanya terjadi di percabangan arteri. Aneurisma dapat
muncul pada saat kelahiran (bawaan), atau dapat berkembang kemudian, yaitu
setelah bertahun-tahun dimana tekanan darah tinggi melemahkan dinding arteri.
Kebanyakan perdarahan subaraknoid adalah hasil dari aneurisma kongenital.7
Mekanisme lain yang kurang umum adalah perdarahan subaraknoid dari
pecahnya koneksi abnormal antara arteri dan vena (malformasi arteri) di dalam
atau di sekitar otak. Sebuah malformasi arteri dapat muncul pada saat kelahiran,
tetapi biasanya hanya diidentifikasi jika gejala berkembang. Jarang sekali suatu
bentuk bekuan darah pada katup jantung yang terinfeksi, perjalanan (menjadi
emboli) ke arteri yang memasok otak, dan menyebabkan arteri menjadi meradang.
arteri kemudian dapat melemah dan pecah.7
10
Penghentian total aliran darah ke otak menyebabkan hilangnya kesadaran
dalam waktu 15-20 detik dan kerusakan otak yang irreversibel terjadi setelah tujuh
hingga sepuluh menit. Penyumbatan pada satu arteri menyebabkan gangguan di
area otak yang terbatas (stroke). Mekanisme dasar kerusakan ini adalah selalu
defisiensi energi yang disebabkan oleh iskemia. Perdarahan juga menyebabkan
iskemia dengan menekan pembuluh darah di sekitarnya.8
Dengan menambah Na+/K+-ATPase, defisiensi energi menyebabkan
penimbunan Na+ dan Ca2+ di dalam sel, serta meningkatkan konsentrasi K +
ekstrasel sehingga menimbulkan depolarisasi. Depolarisasi menyebabkan
penimbunan Cl- di dalam sel, pembengkakan sel, dan kematian sel. Depolarisasi
juga meningkatkan pelepasan glutamat, yang mempercepat kematian sel melalui
masuknya Na+ dan Ca2+.8
Pembengkakan sel, pelepasan mediator vasokonstriktor, dan penyumbatan
lumen pembuluh darah oleh granulosit kadang-kadang mencegah reperfusi,
meskipun pada kenyataannya penyebab primernya telah dihilangkan. Kematian
sel menyebabkan inflamasi, yang juga merusak sel di tepi area iskemik
(penumbra). Gejala ditentukan oleh tempat perfusi yang terganggu, yakni daerah
yang disuplai oleh pembuluh darah tersebut.8
Penyumbatan pada arteri serebri media yang sering terjadi menyebabkan
kelemahan otot dan spastisitas kontralateral, serta defisit sensorik (hemianestesia)
akibat kerusakan girus lateral presentralis dan postsentralis. Akibat selanjutnya
adalah deviasi okular, hemianopsia, gangguan bicara motorik dan sensorik,
gangguan persepsi spasial, apraksia, dan hemineglect.8
Penyumbatan arteri serebri anterior menyebabkan hemiparesis dan defisit
sensorik kontralateral, kesulitan berbicara serta apraksia pada lengan kiri jika
korpus kalosum anterior dan hubungan dari hemisfer dominan ke korteks motorik
kanan terganggu. Penyumbatan bilateral pada arteri serebri anterior menyebabkan
apatis karena kerusakan dari sistem limbik.8
Penyumbatan arteri serebri posterior menyebabkan hemianopsia
kontralateral parsial dan kebutaan pada penyumbatan bilateral. Selain itu, akan
terjadi kehilangan memori.8
11
Penyumbatan arteri karotis atau basilaris dapat menyebabkan defisit di
daerah yang disuplai oleh arteri serebri media dan anterior. Jika arteri koroid
anterior tersumbat, ganglia basalis (hipokinesia), kapsula interna (hemiparesis),
dan traktus optikus (hemianopsia) akan terkena. Penyumbatan pada cabang arteri
komunikans posterior di talamus terutama akan menyebabkan defisit sensorik.8
Penyumbatan total arteri basilaris menyebabkan paralisis semua
eksteremitas dan otot-otot mata serta koma. Penyumbatan pada cabang arteri
basilaris dapat menyebabkan infark pada serebelum, mesensefalon, pons, dan
medula oblongata. Efek yang ditimbulkan tergantung dari lokasi kerusakan:8
Pusing, nistagmus, hemiataksia (serebelum dan jaras aferennya, saraf
vestibular).
Penyakit Parkinson (substansia nigra), hemiplegia kontralateral dan
tetraplegia (traktus piramidal).
Hilangnya sensasi nyeri dan suhu (hipestesia atau anastesia) di bagian
wajah ipsilateral dan ekstremitas kontralateral (saraf trigeminus [V] dan
traktus spinotalamikus).
Hipakusis (hipestesia auditorik; saraf koklearis), ageusis (saraf traktus
salivarus), singultus (formasio retikularis).
Ptosis, miosis, dan anhidrosis fasial ipsilateral (sindrom Horner, pada
kehilangan persarafan simpatis).
Paralisis palatum molle dan takikardia (saraf vagus [X]). Paralisis otot
lidah (saraf hipoglosus [XII]), mulut yang jatuh (saraf fasial [VII]),
strabismus (saraf okulomotorik [III], saraf abdusens [V]).
Paralisis pseudobulbar dengan paralisis otot secara menyeluruh
(namun kesadaran tetap dipertahankan).
12
Seringkali, hal ini disebabkan peningkatan tekanan intrakranial. Meningismus
dapat terjadi akibat adanya darah dalam ventrikel.2
Defisit neurologis fokal. Jenis defisit tergantung pada area otak yang
terlibat. Jika belahan dominan (biasanya kiri) terlibat, suatu sindrom yang terdiri
dari hemiparesis kanan, kerugian hemisensory kanan, meninggalkan tatapan
preferensi, bidang visual kana terpotong, dan aphasia mungkin terjadi. Jika
belahan nondominant (biasanya kanan) terlibat, sebuah sindrom hemiparesis kiri,
kerugian hemisensory kiri, preferensi tatapan ke kanan, dan memotong bidang
visual kiri. Sindrom belahan nondominant juga dapat mengakibatkan pengabaian
dan kekurangan perhatian pada sisi kiri.2
Jika cerebellum yang terlibat, pasien beresiko tinggi untuk herniasi dan
kompresi batang otak. Herniasi bisa menyebabkan penurunan cepat dalam tingkat
kesadaran, apnea, dan kematian. Tanda-tanda lain dari keterlibatan cerebellar atau
batang otak antara lain: ekstremitas ataksia, vertigo atau tinnitus, mual dan
muntah, hemiparesis atau quadriparesis, hemisensori atau kehilangan sensori dari
semua empat anggota, gerakan mata yang mengakibatkan kelainan diplopia atau
nistagmus, kelemahan orofaringeal atau disfagia, wajah ipsilateral dan
kontralateral tubuh.2,9
A. Perdarahan Intraserebral
Sebuah perdarahan intraserebral dimulai tiba-tiba. Di sekitar setengah dari jumlah
penderita, serangan dimulai dengan sakit kepala parah, sering selama aktivitas.
Namun, pada orang tua, sakit kepala mungkin ringan atau tidak ada. Gejala
disfungsi otak menggambarkan perkembangan yang terus memburuk sebagai
perdarahan. Beberapa gejala, seperti kelemahan, kelumpuhan, hilangnya sensasi,
dan mati rasa, sering hanya mempengaruhi satu sisi tubuh. Orang mungkin tidak
dapat berbicara atau menjadi bingung. Visi dapat terganggu atau hilang. Mata
dapat menunjukkan arah yang berbeda atau menjadi lumpuh. Mual, muntah,
kejang, dan hilangnya kesadaran yang umum dan dapat terjadi dalam beberapa
detik untuk menit.2,9
B. Perdarahan Subaraknoid
13
Sebelum robek, aneurisma yang biasanya tidak menimbulkan gejala kecuali
menekan pada saraf atau kebocoran sejumlah kecil darah, biasanya sebelum pecah
besar (yang menyebabkan sakit kepala), menghasilkan tanda-tanda peringatan,
seperti berikut:2,9
Sakit kepala, yang mungkin luar biasa tiba-tiba dan parah (kadang-kadang
disebut sakit kepala halilintar)
Sakit pada mata atau daerah fasial
Penglihatan ganda
Kehilangan penglihatan tepi
Tanda-tanda peringatan dapat terjadi menit ke minggu sebelum pecahnya
aneurisma. Individu harus melaporkan setiap sakit kepala yang tidak biasa ke
dokter segera.2,9
Aneurisma yang pecah biasanya menyebabkan sakit kepala, tiba-tiba parah
dan mencapai puncak dalam beberapa detik. Hal ini sering diikuti dengan
kehilangan kesadaran singkat. Hampir setengah dari orang yang terkena
meninggal sebelum mencapai rumah sakit. Beberapa orang tetap berada dalam
koma atau tidak sadar dan sebagian lainnya bangun, merasa bingung, dan
mengantuk. Dalam beberapa jam atau bahkan menit, penderita mungkin menjadi
tidak responsif dan sulit untuk dibangunkan. 2,9
Dalam waktu 24 jam, darah dan cairan serebrospinal di sekitar otak
mengiritasi lapisan jaringan yang menutupi otak (meninges), menyebabkan leher
kaku serta sakit kepala terus, sering dengan muntah, pusing, dan nyeri pinggang. 2
Sekitar 25% dari orang yang mengalami gejala-gejala yang
mengindikasikan kerusakan pada bagian tertentu dari otak, seperti berikut: 2,9
Kelemahan atau kelumpuhan pada satu sisi tubuh (paling umum)
Kehilangan sensasi pada satu sisi tubuh
Kesulitan memahami dan menggunakan bahasa
Gangguan berat dapat berkembang dan menjadi permanen dalam beberapa
menit atau jam. Demam adalah gejala umum selama 5 sampai 10 hari pertama.
Sebuah perdarahan subaraknoid dapat menyebabkan beberapa masalah serius
lainnya, seperti: 2,9
14
Hydrocephalus: Dalam waktu 24 jam, darah dari perdarahan subaraknoid
dapat membeku. Darah beku dapat mencegah cairan di sekitar otak
(cairan serebrospinal) dari pengeringan seperti biasanya tidak. Akibatnya,
darah terakumulasi dalam otak, peningkatan tekanan dalam tengkorak.
Hydrocephalus mungkin akan menyebabkan gejala seperti sakit kepala,
mengantuk, kebingungan, mual, dan muntah-muntah dan dapat
meningkatkan risiko koma dan kematian.
Vasospasme: Sekitar 3 sampai 10 hari setelah pendarahan itu, arteri di otak
dapat kontrak (kejang), membatasi aliran darah ke otak. Kemudian,
jaringan otak tidak mendapatkan oksigen yang cukup dan dapat mati,
seperti pada stroke iskemik. Vasospasm dapat menyebabkan gejala mirip
dengan stroke iskemik, seperti kelemahan atau hilangnya sensasi pada satu
sisi tubuh, kesulitan menggunakan atau memahami bahasa, vertigo, dan
koordinasi terganggu.
Pecah kedua: Kadang-kadang pecah kedua terjadi, biasanya dalam
seminggu.
Diagnosis stroke dapat ditegakkan berdasarkan riwayat dan keluhan utama pasien.
Beberapa gejala/tanda yang mengarah kepada diagnosis stroke antara lain:
hemiparesis, gangguan sensorik satu sisi tubuh, hemianopia atau buta mendadak,
diplopia. Vertigo, afasia, disfagia, disartria, ataksia, kejang atau penurunan
kesadaran yang keseluruhannya terjadi secara mendadak.1
Pada manifestasi perdarahan intraserebral, terdapat pembagian
berdasarkan Luessenhop et al. Pembagian ini juga berguna dalam menentukan
prognosis pada pasien stroke dengan perdarahan intraserebral.11
15
Khusus untuk manifestasi perdarahan subaraknoid, pada banyak studi
mengenai perdarahan subaraknoid ini dipakai sistem skoring untuk menentukan
berat tidaknya keadaan perdarahan subaraknoid ini dan dihubungkan dengan
keluaran pasien. 10
Sistem grading yang dipakai antara lain :
Hunt & Hess Grading of Sub-Arachnoid Hemorrhage
16
2 13-14 -
3 13-14 +
4 7-12 + or -
5 3-6 + or -
Modified Hijdra score
Fisher grade
Dari keempat grading tersebut yang dipakai dalam studi cedera kepala
yaitu modified Hijdra score dan Fisher grade. Sistem skoring pada no 1 dan 2
dipakai pada kasus SAH primer akibat rupturnya aneurisma. 10
Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk mendukung diagnosis stroke dan
menyingkirkan diagnosis bandingnya. Laboratorium yang dapat dilakukan pada
penderita stroke diantaranya adalah hitung darah lengkap, profil pembekuan
darah, kadar elektrolit, dan kadar serum glukosa.2
Pemeriksaan pencitraan juga diperlukan dalam diagnosis. Pencitraan otak
adalah langkah penting dalam evaluasi pasien dan harus didapatkan dalam basis
kedaruratan. Pencitraan otak membantu dalam diagnosis adanya perdarahan, serta
dapat menidentifikasi komplikasi seperti perdarahan intraventrikular, edem otak,
dan hidrosefalus. Baik CT non kontras ataupun MRI otak merupakan pilihan yang
dapat digunakan.2
CT non kontras otak dapat digunakan untuk membedakan stroke
hemoragik dari stroke iskemik. Pencitraan ini berguna untuk membedakan stroke
17
dari patologi intrakranial lainnya. CT non kontras dapat mengidentifikasi secara
virtual hematoma yang berdiameter lebih dari 1 cm.2
MRI telah terbukti dapat mengidentifikasi stroke lebih cepat dan lebih bisa
diandalkan daripada CT scan, terutama stroke iskemik. MRI dapat
mengidentifikasi malformasi vaskular yang mendasari atau lesi yang
menyebabkan perdarahan.2
Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah elektrokardiogram (EKG)
untuk memulai memonitor aktivitas hantung. Disritmia jantung dan iskemia
miokard memiliki kejadian signifikan dengan stroke.2
Stroke dapat didiagnosa banding dengan penyakit-penyakit lain seperti:
ensefalitis, meningitis, migrain, neoplasma otak, hipernatremia, stroke
iskemik, perdarahan subaraknoid, hematoma subdural, kedaruratan
hipertensif, hipoglikemia, labirinitis, dan Transient Ischemic Attack (TIA).2
18
terhadap pengobatan faktor VIII replacement dan juga bermanfaat
untuk penderita dengan fungsi koagulasi yang normal.
Aminocaproic acid terbuktitidak mempunyai efek menguntungkan.
Pemberian rF VIIa pada PIS pada onset 3 jam hasilnya adalah highly-
significant, tapi tidak ada perbedaan bila pemberian dilakukan setelah
lebih dari 3 jam.
b. Reversal of anticoagulation 1
Pasien PIS akibat dari pemakaian warfarin harus secepatnya diberikan
fresh frozen plasma atau prothrombic complex concentrate dan vitamin
K.
Prothrombic-complex concentrates suatu konsentrat dari vitamin K
dependent coagulation factor II, VII, IX, dan X, menormalkan INR
lebih cepat dibandingkan FFP dan dengan jumlah volume lebih rendah
sehingga aman untuk jantung dan ginjal.
Dosis tunggal intravena rFVIIa 10-90µg/kg pada pasien PIS yang
memakai warfarin dapat menormalkan INR dalam beberapa menit.
Pemberian obat ini harus tetap diikuti dengan coagulation-factor
replacement dan vitamin K karena efeknya hanya beberapa jam.
Pasien PIS akibat penggunaan unfractionated atau low moleculer
weight heparin diberikan Protamine Sulfat, dan pasien dengan
trombositopenia atau adanya gangguan fungsi platelet dapat diberikan
dosis tunggal Desmopressin, transfusi platelet, atau keduanya.
Pada pasien yang memang harus menggunakan antikoagulan maka
pemberian obat dapat dimulai pada hari ke-7-14 setelah erjadinya
perdarahan.
c. Tindakan bedah pada PIS berdasarkan EBM
Keputusan mengenai apakah dioperasi dan kapan dioperasi masih tetap
kontroversial.
Tidak dioperasi bila: 1
Pasien dengan perdarahan kecil (<10cm3) atau defisit neurologis
minimal.
19
Pasien dengan GCS <4. Meskipun pasien GCS <4 dengan
perdarahan intraserebral disertai kompresi batang otak masih
mungkin untuk life saving.
Dioperasi bila: 1
Pasien dengan perdarahan serebelar >3cm dengan perburukan
klinis atau kompresi batang otak dan hidrosefalus dari obstruksi
ventrikel harus secepatnya dibedah.
PIS dengan lesi struktural seperti aneurisma malformasi AV atau
angioma cavernosa dibedah jika mempunyai harapan outcome
yang baik dan lesi strukturnya terjangkau.
Pasien usia muda dengan perdarahan lobar sedang s/d besar yang
memburuk.
Pembedahan untuk mengevakuasi hematoma terhadap pasien usia muda
dengan perdarahan lobar yang luas (>50cm3) masih menguntungkan.
20
Hindari pemakaian sedatif yang berlebhan karena aan menyulitkan
penilaian status neurologi.
21
vasospasme. Calcium antagonist lainnya yang diberikan secara oral atau
intravena tidak bermakna.
b. Pengobatan dengan hyperdinamic therapy yang dikenal dengan triple H
yaitu hypervolemic-hypertensive-hemodilution, dengan tujuan
mempertahankan “cerebral perfusion pressure” sehingga dapat
mengurangi terjadinya iskemia serebral akibat vasospasme. Hati-hati
terhadap kemungkinan terjadinya perdarahan ulang pada pasien yang tidak
dilakukan embolisasi atau clipping.
c. Fibrinolitik intracisternal, antioksidan, dan anti-inflamasi tidak begitu
bermakna.
d. Angioplasty transluminal dianjurkan untuk pengobatan vasospasme pada
pasien-pasien yang gagal dengan terapi konvensional.
e. Cara lain untuk manajemen vasospasme adalah sebagai berikut:
Pencegahan vasospasme:
Nimodipine 60 mg per oral 4 kali sehari.
3% NaCl IV 50 mL 3 kali sehari.
Jaga keseimbangan cairan.
Delayed vasospasm:
Stop Nimodipine, antihipertensi, dan diuretika.
Berikan 5% Albumin 250 mL IV.
Pasang Swan-Ganz (bila memungkinkan), usahakan wedge
pressure 12-14 mmHg.
Jaga cardiac index sekitar 4 L/menit/m2.
Berikan Dobutamine 2-15 µg/kg/menit.
5. Antifibrinolitik
Obat-obat anti-fibrinolitik dapat mencegah perdarahan ulang. Obat-obat yang
sering dipakai adalah epsilon aminocaproic acid dengan dosis 36 g/hari atau
tranexamid acid dengan dosis 6-12 g/hari.1
6. Antihipertensi 1
a. Jaga Mean Arterial Pressure (MAP) sekitar 110 mmHg atau tekanan darah
sistolik (TDS) tidak lebih dari 160 dan tekanan darah diastolic (TDD) 90
mmHg (sebelum tindakan operasi aneurisma clipping).
22
b. Obat-obat antihipertensi diberikan bila TDS lebih dari 160 mmHg dan
TDD lebih dari 90 mmHg atau MAP diatas 130 mmHg.
c. Obat antihipertensi yang dapat dipakai adalah Labetalol (IV) 0,5-2
mg/menit sampai mencapai maksimal 20 mg/jam atau esmolol infuse
dosisnya 50-200 mcg/kg/menit. Pemakaian nitroprussid tidak danjurkan
karena menyebabkan vasodilatasi dan memberikan efek takikardi.
d. Untuk menjaga TDS jangan meurun (di bawah 120 mmHg) dapat diberikan
vasopressors, dimana hal ini untuk melindungi jaringan iskemik penumbra
yang mungkin terjadi akibat vasospasme.
7. Hiponatremi
Bila Natrium di bawah 120 mEq/L berikan NaCl 0,9% IV 2-3 L/hari. Bila perlu
diberikan NaCl hipertonik 3% 50 mL, 3 kali sehari. Diharapkan dapat terkoreksi
0,5-1 mEq/L/jam dan tidak melebihi 130 mEq/L dalam 48 jam pertama.1
Ada yang menambahkan fludrokortison dengan dosis 0,4 mg/hari oral atau
0,4 mg dalam 200 mL glukosa 5% IV 2 kali sehari. Cairan hipotonis sebaiknya
dihindari karena menyebabkan hiponatremi. Pembatasan cairan tidak dianjurkan
untuk pengobatan hiponatremi.1
8. Kejang
Resiko kejang pada PSA tidak selalu terjadi, sehingga pemberian antikonvulsan
tidak direkomendasikan secara rutin, hanya dipertimbangkan pada pasien-pasien
yang mungkin timbul kejang, umpamanya pada hematom yang luas, aneurisma
arteri serebri media, kesadaran yang tidak membaik. Akan tetapi untuk
menghindari risiko perdarahan ulang yang disebabkan kejang, diberikan anti
konvulsan sebagai profilaksis.1
Dapat dipakai fenitoin dengan dosis 15-20 mg/kgBB/hari oral atau IV.
Initial dosis 100 mg oral atau IV 3 kali/hari. Dosis maintenance 300-400
mg/oral/hari dengan dosis terbagi. Benzodiazepine dapat dipakai hanya untuk
menghentikan kejang.1
Penggunaan antikonvulsan jangka lama tidak rutin dianjurkan pada
penderita yang tidak kejang dan harus dipertimbangkan hanya diberikan pada
penderita yang mempunyai faktor-faktor risiko seperti kejang sebelumnya,
hematom, infark, atau aneurisma pada arteri serebri media.1
23
9. Hidrosefalus 1
a. Akut (obstruksi)
Dapat terjadi setelah hari pertama, namun lebih sering dalam 7 hari pertama.
Kejadiannya kira-kira 20% dari kasus, dianjurkan untuk ventrikulostomi
(atau drainase eksternal ventrikuler), walaupun kemungkinan risikonya
dapat terjadi perdarahan ulang dan infeksi.
b. Kronik (komunikan)
Sering terjadi setelah PSA. Dilakukan pengaliran cairan serebrospinal secara
temporer atau permanen seperti ventriculo-peritoneal shunt.
10. Terapi Tambahan 1
a. Laksansia (pencahar) iperlukan untuk melembekkan feses secara regular.
Mencegah trombosis vena dalam, dengan memakai stocking atau
pneumatic compression devices.
b. Analgesik:
Asetaminofen ½-1 g/4-6 jam dengan dosis maksimal 4 g/hari.
Kodein fosfat 30-60 mg oral atau IM per 4-6 jam.
Tylanol dengan kodein.
Hindari asetosal.
Pada pasien dengan sangat gelisah dapat diberikan:
Haloperidol IM 1-10 mg tiap 6 jam.
Petidin IM 50-100 mg atau morfin SC atau IV 5-10 mg/4-6 jam.
Midazolam 0,06-1,1 mg/kg/jam.
Propofol 3-10 mg/kg/jam.
Cegah terjadinya “stress ulcer” dengan memberikan:
Antagonis H2
Antasida
Inhibitor pompa proton selama beberapa hari.
Pepsid 20 mg IV 2 kali sehari atau zantac 50 mg IV 2 kali
sehari.
Sucralfate 1 g dalam 20 mL air 3 kali sehari.
24
2.1.9 Komplikasi Stroke Hemoragik
25
2.2.1 Definisi Stroke Non Hemoragik
Menurut definisi WHO, stroke adalah suatu tanda klinis yang berkembang
secara cepat akibat gangguan otak fokal (atau global) dengan gejala-gejala yang
berlangsung selama 24 jam atau lebih dan dapat menyebabkan kematian tanpa
adanya penyebab lain yang jelas selain vaskular. Stroke hemoragik adalah stroke
yang terjadi apabila lesi vaskular intraserebrum mengalami ruptur sehingga terjadi
perdarahan ke dalam ruang subaraknoid atau langsung ke dalam jaringan otak.
Insidens stroke di Asia sangat bervariasi, antara lain Malaysia (67 per
100.000 penduduk) dan Taiwan (330 per 100.000 penduduk). Berdasarkan Riset
Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Kementerian Kesehatan hun 2013, prevalensi
stroke di Indonesia meningkat dari 8,3% pada tahun 2007 menjadi 12, 1% pada
tahun 2013. Terdapat perbedaan prevalensi di berbagai propinsi dengan posisi tiga
besar secara berurutan yakni Sulawesi Selatan (17,9%), Daerah Istimewa
Yogyakarta (16,9%), dan Sulawesi Tengah (16,6%).
Prevalensi stroke meningkat seiring bertambahnya usia, dengan puncaknya
pada usia ≥75 tahun. Di Indonesia, prevalensi stroke tidak berbeda berdasarkan
jenis kelamin. Namun di Jepang, insidens stroke pada jenis kelamin laki-laki dua
kali lipat dari perempuan yakni masing-masing 442 per 100.000 penduduk dan
212 per 100.000.
Persentase stroke iskemik lebih tinggi dibandingkan dengan stroke
hemoragik Laporan American Heart Association (AHA) tahun 2016 mendapatkan
stroke iskemik mencapai 87% serta sisanya adalah perdarahan intraserebral dan
subaraknoid. Hal ini sesuai dengan data Stroke Registry tahun 2012-2014
terhadap 5.411 pasien stroke di Indonesia, mayoritas adalah stroke iskemik (67%).
Demikian pula dari 384 pasien stroke yang menjalani rawat inap di RSUPN Cipto
Mangunkusumo (RSCM) pada tahun 2014 sebanyak 71,4 % adalah stroke
iskemik.
Adapun angka kematian akibat stroke iskemik (11,3%) relatif lebih kecil
dibandingkan stroke perdarahan. Secara umum dari 61,9% pasien stroke iskemik
yang dilakukan pemeriksaan CT scan di Indonesia didapatkan infark terbanyak
26
pada sirkulasi anterior (27%), diikuti infark lakunar (11,7%), dan infark pada
sirkulasi posterior (4,2%).
Trombus dapat lepas dan menjadi embolus atau tetap pada lokasi asal dan
menyebabkan oklusi dalam pembuluh darah tersebut. Emboli merupakan bagian
dari trombus yang terlepas dan menyumbat pembuluh darah di bagian yang lebih
distal. Emboli ini dapat berasal dari trombus di pembuluh darah, tetapi sebagian
besar berasal dari trombus di jantung yang terbentuk pada keadaan tertentu,
seperti atrial fibrilasi dan riwayat infark miokard. Bila proses ini berlanjut, akan
terjadi iskemia jaringan Otak yang menyebabkan kerusakan yang bersifat
sementara atau menjadi permanen yang disebut infark.
27
akibat hipoksia, menurun. nya aliran darah mikrosirkulasi kolateral, dan tata
laksana untuk reperfusi.
Pada daerah yang dekat dengan infark CBF adalah sekitar 10cc/100g
otak/menit. Daerah ini disebut juga dengan daerah ambang kematian sel
(threshold of neuronal death), oleh karena sel Otak tidak dapat hidup bila CBF di
bawah 5cc/100g otak/menit.
Pada daerah yang lebih jauh dari infark di dapatkan CBF sekitar
20cc/100g otak/menit Pada daerah ini aktivitas listrik neuronal terhenti dan
struktur intrasel tidak terintegrasi dengan baik. Sel di daerah tersebut memberikan
kontribusi pada terjadinya defisit neurologis, namun memberikan respons yang
baik jika dilakukan terapi optimal.
28
Dengan demikian, hal tersebut semakin meningkatkan kadar kalsium intraselular.
Kalsium intraselular memicu terbentuknya radikal bebas, nitrit oksida (NO),
inflamasi, dan kerusakan DNA melalui jalur enzimatik seperti Ca 2+ ATPase,
calsium-dependent phospholipase, protease, endonuklease, dan kaspase yang
keseluruhannya berkontribusi terhadap kematian sel.
Selain CBF yang sangat berpengaruh pada daerah penumbra, ada beberapa faktor
lain yang berperan terhadap perkembangan pasien pada fase akut, antara lain stres
oksidatif, asidosis derah penumbra, depolarisasi daerah penumbra, dan faktor
inflamasi.
29
4. Inflamasi pada daerah penumbra akibat adaanya iskemia. Respons
inflamasi ini merupakan respons normal yang bertujuan untuk pembersihan debris
sel, namun juga cenderung meningkatkan kerusakan jaringan serebral. Respons
inflamasi berupa aktivasi brain resident cells seperti mikroglia dan astrosit,
infiltrasi sel sel inflamasi ke jaringan iskemik, seperti neutrofil, monosit,
makrofag dan limfosit, serta peningkatan aktivasi mediator inflamasi dan
infiltrasi mediator inflamasi ke jaringan otak. Adapun mediator yang bersifat pro-
inflamasi tersebut antara lain tumor necrosisfactor (TNF)-α, interleukin (IL)-1ß,
interferon (IF)-ß, serta IL-6) yang diproduksi oleh limfosit.
Tanda dan gejala klinis stroke sangat mudah dikenali. Hal ini secara
praktis mengacu pada definisi stroke, yaitu kumpulan gejala akibat gangguan
fungsi otak akut baik fokal maupun global yang mendadak, disebabkan oleh
berkurang atau hilangnya aliran darah pada parenkim otak, retina, atau medula
spinalis, yang dapat disebabkan oleh penyumbatan atau pecahnya pembuluh darah
arteri maupun vena yang dibuktikan dengan pemeriksaan pencitraan otak dan/atau
patologi. Gejala gangguan fungsi otak pada stroke sangat tergantung pada daerah
otak yang terkena. Defisit neurologis yang ditimbulkannya dapat bersifat fokal
maupun global, yaitu:
30
• Gangguan fungsi kognitif, seperti: gangguan atensi, memori, bicara verbal,
gangguan mengerti pembicaraan, gangguan pengenalan ruang, dan sebagainya
- T, yaitu time to seek medical help (waktu tiba di RS secepat mungkin). FAST
memiliki sensitivitas 85% dan spesifisitas 68% untuk menegakkan stroke,
serta reliabilitas yang baik pada dokter dan paramedis.
Tanda klinis stroke juga dapat dilakukan dengan cara pemeriksaan fisik
neurologi untuk mengkonfirmasi kembali tanda dan gejala yang didapatkan
berdasarkan anamnesis. Pemeriksaan fisik yang utama meliputi penurunan
kesadaran berdasarkan Skala Koma Glasgow (SKG), kelumpuhan saraf kranial,
kelemahan motorik, defisit sensorik gangguan otonom, gangguan fungsi kognitif,
dan lain-lain.
31
a. Tonus otot pada lesi yang lumpuh meninggi
Mengenal manifestasi stroke yang sangat ringan adalah lebih penting daripada
mengenal hemiparese yang sudah jelas. Manifestasi stroke yang paling ringan
sering berupa gangguan ketangkasan gerak maka dari itu urutan pemeriksaan
susunan motorik sebagai berikut:
• Refleks Babinsky
• Refleks Oppenheim
• Refleks Gordon
• Refleks Schaefer
• Refleks Gonda
Dasar 3 gejala :
Penurunan kesadaran
Nyeri kepala
Refleks babinski
32
Dengan Skor Siriraj
Dimana:
Ateroma : 0 tidak ada, 1 salah satu atau lebih (DM, angina, penyakit
pembuluh darah)
Interpretasi:
Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
• Urine Lengkap
b. CT scan
33
• Pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan baku emas untuk membedakan
stroke infark dengan stroke perdarahan.
c. Pemeriksaan MRI
Pemeriksaan ini sangat baik untuk menentukan adanya lesi di batang otak
(sangat sensitif).
Tata laksana untuk stroke iskemik akut baik secara umum maupun khusus
mengacu dari pedoman yang telah dibuat di berbagai negara, sebagian besar dari
AHA/ASA (American Stroke Association) dan European Stroke Organisation
(ESO) yang terbaru.
34
Pipa endotrakeal diusahakan terpasang tidak lebih dari 2 minggu,
kalau lebih maka dianjurkan dilakukan trakeostomi.
2. Stabilisasi Hemodinamik (Sirkulasi)
Pemberian cairan Kristaloid atau koloid ari intravena (IV), dan
hindari pemberian cairan hipotonik seperti glukosa.
Dianjurkan pemasangan kateter vena sentral (central venous
catheter/CVC), upayakan tekanan vena sentral (central
venous pressure/CVP) 5-12mmHg.
Optimalisasi tekanan darah (lihat penatalaksanaan khusus).
Bila tekanan darah (TD) sistolik dibawah 120mmHg dan
cairan sudah mencukupi, dapat diberikan agen vasopresor
secara titrasi, seperti dopamin dosis sedang/tinggi,
norepinefrin atau epinefrin dengan target TD sistolik berkisar
140mmHg.
Pemantauan jantung (cardiac monitoring) harus dilakukan
selama 24 jam pertama setelah awitan serangan stroke iskemik
(AHA/ASA kelas I, levelB).
Bila terdapat adanya penyakit jantung kongestif, segera atasi
(konsul kardiologi).
3. Pengendalian Peningkatan Tekanan Intrakranial (TIK)
Pemantauan ketat pada kasus dengan risiko edema serebri dengan
memperhatikan perburukan gejala dan tanda neurologis pada hari-hari
pertama setelah serangan stroke (AHA/ASA kelas I, level B).
Monitor TIK harus di pasang pada pasien dengan GCS <9 dan pasien
dengan penurunan kesadaran karena kenaikan TIK. (AHA/ASA kelas V,
level C).
Sasaran terapi adalah TIK kurang dari 20 mmHg dan tekanan perfusi otak
(cerebral perfusion pressure/CPP) >70mmHg.
Penatalaksanaan peningkatan TIK meliputi :
1) Meninggikan posisi kepala 20-300
2) Memposisikan pasien dengan menghindari penekanan vena
jugulare
35
3) Menghindari pemberian cairan glukosa atau cairan hipotonik
4) Menghindari hipertermia
5) Menjaga normovolemia
6) Pemberian osmoterapi atas indikasi:
Manitol gr/kgBB, selama >20 menit, diulangi setiap 4-6 jam
dengan target osmolaritas <310mOsm/L (AHA/ ASA: kelas V,
level C).
Jika perlu, berikan furosemid dengan dosis inisial 1mg/ kgBB IV
7) Intubasi untuk menjaga normoventilasi (pCO2 35-40mmHg).
Hiperventilasi mungkin diperlukan bila akan dilakukan tindakan
operatif.
8) Paralisis neuromuskular yang dikombinasi dengan sedasi yang
adekuat dapat mengurangi peningkatan TIK dengan cara
mengurangi naiknya tekanan intratorakal dan tekanan vena akibat
batuk, suction, atau bucking ventilator (AHA/ASA: kelas III-V,
level C).
Agen nondepolarisasi seperti venkuronium atau pankuronium
yang sedikit berefek pada histamin dan blok pada ganglion lebih
baik digunakan (AHA/ASA kelas III-V, level C). Pasien dengan
kenaikan kritis TIK sebaiknya diberikan pelernas otot (muscle
relaxant) scbelurn suction atau lidokain sebagai alternatif.
9) Drainase ventrikular dianjurkan pada hidrosefalus akut akibat
stroke iskemik serebelar (AHA/ASA kelas I, level B).
10) Tindakan bedah dekompresif pada keadaan iskemik serebelar
yang menimbulkan efek masa (AHA/ASA kelas 1, level B).
4. Pengendalian Kejang
Bila kejang, dilakukan pemberian diazepam IV bolus lambat 5-20mg
dan diikuti oleh fenitoin dosis bolus 15-20mg/kg dengan kecepatan
maksimum 50mg/menit.
Obat kejang lain yang dapat diberikan adalah valproat, topiramat, atau
levetirasetam, sesuai dengan klinis dan penyulit pada pasien.
36
Bila kejang belum teratasi, rawat di ICU.
37
Perhatikan diit pasien yang tidak bertentangan dengan obat-obatan yang
diberikan (misal: hindarkan makanan mengandung vitamin K pada pasien
yang mendapat warfarin).
8. Pencegahan dan Mengatasi Komplikasi
Mobilisasi dan penilaian dini untuk mencegah komplikasi subakut
(aspirasi, malnutrisi, pneumonia, DVT, emboli paru, dekubitus,
komplikasi ortopedik, dan kontraktur perlu dilakukan) (AHA/ASA
level B dan C).
Berikan antibiotik atas indikasi dan usahakan sesuai dengan tes kultur
dan sensitivitas kuman atau minimal terapi empiris sesuai dengan pola
kuman (AHA/ASA level A).
Pencegahan dekubitus dengan mobilisasi terbatas dan/atau memakai
kasur antidekubitus.
Pada pasien tertentu yang berisiko menderita DVT seperti pasien
dengan trombofilia, perlu diberikan heparin subkutan 5.0001U dua kali
sehari atau 10.000 IU drip per24 jam, atau LMWH atau heparinoid.
(AHA/ASA level A). Perlu diperhatikan terjadinya risiko perdarahan
sistemik dan perdarahan intraserebral. Pada pasien yang tidak bisa
menerima antikoagulan, untuk mencegah DVT pada pasien imobilisasi
direkomendasikan penggunaan stoking eksternal atau Aspirin (AHA/
ASA level A dan B).
38
Hati-hati dalam menggerakkan tubuh, penyedotan lendir atau
memandikan pasien karena dapat mempengaruhi TIK.
Mobilisasi bertahap bilahemodinamik dan pernafasan stabil.
Kandung kemih yang penuh dikosongkan, sebaiknya dengan
kateterisasi intermitten.
Rehabilitasi/restorasi fisik, wicara dan okupasi.
Atasi masalah psikologis (depresi, ansietas, dan lain-lain), jika ada.
Edukasi keluarga.
Discharge planning (rencana pengelolaan pasien di luar RS).
retriever
39
Pernbuluh_
sebagai pencegahan dini terjadinya stroke ulang tidak direkomendasi
(AHA/ASA: kelas III, level A).
b. Pengobatan antikoagulan dalam 24 jam terhadap pasien yang
mendapat rTPA intavena Mdak direkomendasi (AHA/ASA: kelas III,
level B).
c. Pemberian antikoagulan tidak dilakukan sampai ada hasil pemeriksaan
pencitraan otak memastikan tidak ada perdarahan intrakranial primer.
Pasien yang mendapat antikoagulan perlu dilakukan monitor kadar
antikoagulan.
d. Tidak ditemukan manfaat pemberian heparin pada pasien stroke akut
dengan AF, walaupun masih dapat diberikan pada pasien yang
selektif. Aspirin dan dilanjutkan dengan pemberian warfarin untuk
prevensi jangka panjang dapat diberikan.
e. Warfarin merupakan pengobatan lini pertama untuk pencegahan
sekunder stroke iskemik pada kebanyakan ka sus stroke kardio-emboli.
f. Penggunaan warfarin harus hati-hati,karena dapat meningkatkan
resiko perdarahan. Oleh karena itu perlu monitor INR paling sedikit 1
bulan sekali.
g. Warfarin dapat mencegah terjadinya stroke emboli kardiogenik dan
mencegah emboli ulang pada keadaan risiko mayor. Dapat dimulai
dari dosis 2mg perhari dengan target INR 2,0-3,0. Pemeriksaan INR
awal adalah rutin per 3 hari selama 2 minggu. Selanjutnya
pemantauan 1 minggu sekali dan setelah 1 bulan dilakukan 1 bulan
sekali.
h. Selain warfarin, pada stroke kardioemboli yang disebabkan karena
fibrilasi atrial nonvalvular dapat diberikan new oral anticoagulant
(NOAC) seperti dabigatran (2 x 75mg atau 2 x 110mg), rivaroksaban
(1 x 10mg atau 1 x 15 mg), dan apiksaban (1 x 5 mg), sebagai
pencegahan sekunder. Tidak ada pemeriksaan darah untuk
pemantauan khusus pada pemberian NOAC.
40
1. Pemberian aspirin dengan dosis awal 325mg dalam 12 jam setelah
onset stroke dianjurkan untuk setiap stroke iskemik akut (AHA/ASA:
kelas I, level A).
2. Aspirin diberikan sebagai terapi pencegahan sekunder, sehingga tidak
boleh digunakan sebagai pengganti tindakan intervensi yang bertujuan
untuk revaskularisasi (seperti trombolisis intravena) (AHA/ASA: kelas
III, level B).
3. Jika direncanakan pemberian trombolisis, aspirin jangan diberikan.
4. Tidak direkomendasikan penggunaan aspirin sebagai terapi ajuvan
dalam 24 jam setelah pemberian Obat trombolitik (AHA/ASA: kelas
III, level A).
5. Pemberian antitrombosit intravena yang menghambat reseptor
glikoprotein lib/IIIa tidak dianjurka ASA: kelas III, level B)
6. Untuk pencegahan kejadian iskemik, infark jantung, dan ke akibat
vaskuler, klopidogrel lebih baik dibandingkan dengan pirin dan dapat
diberikan pada far akut atau setelah fase akut selesai.
Pemberian klopidogrel dikombinasi kan dengan aspirin selama 21 sampai
3 bulan yang dilanjutkan de. ngan pemberian clopidogrel saja, superior untuk
mencegah stroke pada pasien TIA dan stroke iskemik ringan (NIHSS <5).
41
BAB III
KESIMPULAN
42
DAFTAR PUSTAKA
8. Silbernagl, S., Florian Lang. Teks & Atlas Berwarna Patofisiologi. EGC:
Jakarta, 2007.
42
http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/13PerjalananPenyakitPeredaranDara
hOtak021.pdf/13PerjalananPenyakitPeredaranDarahOtak021.html
[Tanggal: 24 Mei 2010]
14. Rasyid A.Hidayat R, Dkk. 2017. Stroke Iskemik Buku Ajar Neurologi FK
UI, Jakarta
15. Burhanuddin M. dkk. 2013. Faktor Risiko Kejadian Stroke Pada Dewasa
Awal(18-40 Tahun) Di Kota Makassar Tahun 2010-2012. UNHAS
16. Dewanto, George. Suwono W.J., Riyanto B., Turuna Y., 2009. Diagnosis
dan tatalaksana penyakit saraf. Jakarta: Buku Kedokteran EGC
43