Anda di halaman 1dari 2

Nama : Eva Asih Mulyani

NIM. : B2019004

Prodi. : D3 Kebidanan tk2

MK. : AIK 3

PEMATERI

KH. Abdullah Gymnastiar

TEMA : Beragama Yang Mencerahkan

Tema ini diketengahkan karena beberapa alasan. Pertama, fenomena spiritualisasi agama.
Muhammadiyah ingin mengajak umat untuk beragama yang menyentuh substansi. Beragama tidak
sekadar ritual dan spiritual. Tidak sekadar kuantitas, namun juga kualitas. Kedua, gejala komodifikasi
agama. Di masayarkat kita, ada semacam upaya membisniskan agama. Hal ini sesuai dengan ayat
tentang orang-orang yang menjual agama dengan harga murah. Ketiga, gejala politisasi agama.
Agama dikomodifikasikan untuk tujuan politik. Agama dijadikan kenderaan untuk tujuan politik
elektoral jangka pendek. Padahal, seharusnya agama bertujuan untuk memberi kebahagiaan manusia
di dunia dan akhirat. “Allah pelindung orang-orang yang beriman. Dia mengeluarkan mereka dari
kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya
adalah setan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka adalah
penghuni neraka. Mereka kekal di dalamnya.” (QS. al-Baqarah: 257). Oleh karena itu, agama harus
membuat orang tercerahkan. “Beragama harus menggembirakan, memajukan, mencerahkan. Tidak
boleh beragama itu membuat orang jumud. Beragama membuat terang. Sebaliknya, kegelapan
membuat hidup menjadi sumpek,” ulasnya. Orang beragama diharapkan menjadi tercerahkan,
bertambah ilmu dan wawasannya. tentang keberagamaan kita yang terasa kurang mencerahkan,
kurang membahagiakan. “Agama harusnya membahagiakan. Jika agama tidak membahagiakan,
kemungkinan ada sesuatu yang salah dalam kita beragama. Saat ini agama terasa tidak
membahagiakan,” Didasari pada fenomena di dunia nyata dan dunia maya. Menurutnya, di media
sosial, dalam hal beragama, banyak orang menjadi saling menyalahkan, saling membid’ahkan, bahkan
saling mengkafirkan. Ini pertanda orang beragama yang tidak bahagia. “Nabi Muhammad diutus
bukan untuk menakut-nakuti, namun untuk membahagiakan dan mencerahkan kanan kiri,” ujarnya.
Mengapa beragama terasa tidak membahagiakan? Menurut mantan Ketua Majelis Tarjih PP
Muhammadiyah ini, penyebabnya adalah karena keberagamaan kita belum menyentuh rohani
yang mendalam atau terjebak pada agama yang terlembaga. “Ketika agama melembaga
menjadi institusi, ketika agama dikurung dalam tembok-tembok, di situ sebenarnya sumber
masalahnya. Agama yang memcerahkan itu tidak bisa dikurung-kurung seperti ini. Tidak
boleh tersekat-sekat. Sekarang ini, agama tersekat-sekat. Jangankan dengan orang lain,
dengan sesama teman seorganisasi kita sendiri saja, kadang saling sikut-menyikut,” Rohani
ini terkait dengan hati nurani. Nur itu hati nurani. Hati yang ada cahaya di situ.
“Keberagamaan kita yang kolektif agak kehilangan hati nurani,” . Kalau kita bisa bersahabat
dengan keragaman, itu tanda-tanda kita akan bahagia.

Al-Qur’an banyak menyebut tentang hati. Misalkan hati yang sakit. “Ini bahasa tingkat
tinggi. Hati nurani harus dijaga, harus jernih, harus dihidupkan. Kalau tidak, maka tidak
bahagia dan tidak bisa mencerahkan. Simpati, empati terhadap orang lain itu dari hati nurani,
bukan dari akal. Rahmat itu sumbernya dari hati nurani,” jelasnya. Ayat hati nurani ini yang
paling banyak dilupakan umat Islam. Al-Ghazali telah menulis tentang penyakit hati

Ayat lainnya, “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan berprasangka, karena
sesungguhnya sebagian tindakan berprasangka adalah dosa dan janganlah kamu mencari-
car kesalahan orang lain.” (Al-Hujurat : 12). “Kalau ingin bahagia, jauhi prasangka .
Sebagian dari prasangka buruk itu adalah dosa. Ini tentang hati,”

Anda mungkin juga menyukai