Anda di halaman 1dari 31

PRINSIP SHARIA COMPLIANCE SEBAGAI SARANA

ACCESS TO JUSTICE
DALAM UPAYA PENYELESAIAN SENGKETA EKONOMI SYARIAH
FISKA SILVIA Rr,SH,MM,LLM
ASEAN

• THERE IS MUSLIM POPULATION/ MUSLIM COMMUNITY


• THERE IS 2 SYSTEM OF LAW :
• CIVIL LAW SYSTEM
• COMMON LAW SYSTEM
• Indonesia sendiri menggunakan Civil Law System,
• Malaysia, Singapura,Brunei Darussalam menggunakan
English/ United Kingdom (UK) Common Law namun tetap
sebagian pengaturan hukumnya menerapkan beberapa
Vietnam =communist legal theory dan Code
instrumen Hukum Islam misalnya di bidang Hukum Bisnis
Civil Perancis,
dan Hukum Keluarga (Hukum Perkawinan dan Waris).
Laos gabungan antara English common law,
• Myanmar = Common Law System, French civil law, and customary law
• Thailand =Civil Law System namun dalam perkembangan system.
hukum bisnisnya banyak terpengaruh oleh Common Law Latar belakang sistem hukum yang
System, hal serupa juga berlaku pada Negara kamboja beragam di atas, tidaklah mustahil
yang pada awalnya sangat besar pengaruh Code Civil menjadikan hukum Islam turut mengatur
Perancis, namun pada perkembangannya mengadopsi kegiatan investasi MEA pada lembaga
beberapa Common Law System. keuangan syariah non bank mengingat
populasi Islam sekarang tersebar luas di
seluruh dunia.
LATAR BELAKANG (CONT’D)

• POPULATION OF MUSLIM IN ASEAN COUNTRIES


1. Indonesia: 220,000,000
2. Malaysia: 18 ,000,000
3. Philipina: 5 ,000,000
4. Thailand: 4 ,000,000
5. Burma/Myanmar: 2 ,000,000
6. Singapura: 720,000
7. Brunai: 300,000
8. Kamboja: 240 ,000
9. Vietnam: 100 ,000
10. Laos: 1,000
Islamic Law = more flexible

Where you have international parties with global


businesses and assets in the relevant jurisdictions
then Islamic law and its litigation may be appropriate.
Islamic law is flexible and its principles can be
incorporated into contracts provided that these are
spelt out clearly
Beberapa negara ASEAN telah mengadopsi syariah, baik dalam mereka
yang tunduk pada Civil law system maupun pada common law system.
Pesatnya pertumbuhan industri keuangan syariah pada negara-negara
Asean yang tunduk pada dua rezim sistem hukum baik civil law system
maupun pada common law system.
The spirit of entrepreneurship has always been a part of Islam
Nine out of the ten companions of Prophet Muhammad guaranteed
heaven were businessmen
“Al-Hukmu ‘Alasy Syai’ far’un ‘An Tashuwwurihi”
(Penilaian hukum terhadap suatu masalah berangkat dari gambaran
tentang sesuatu tersebut)
Grafik 1. Pertumbuhan Lembaga Keuangan Syariah di Dunia

Sumber : The Toronto Financial Services Alliance,Trends and


Innovations in Financial Services , Januari 2017.
PERBEDAAN PENGGUNAAN ISTILAH

• EKONOMI SYARIAH • EKONOMI ISLAM


Islamic transaction  based on AKAD

AKAD TABARRU’ VS AKAD TIJARAH


Most crowdfunding platforms currently use :
• Murabaha (cost plus profit margin)
• Mudharabah (profit sharing) contracts.
Other structures which may be considered
• includes Salam
• Ijara and
• Musharaka (equity partnership).
PROFIT LOSS SHARING≠ RISK TAKING

Dalam kaedah fikih disebutkan,


‫الخراج بالضمان‬
“Keuntungan adalah imbalan atas
kesiapan menanggung kerugian”.

CHANNELING FUND
NOT ONLY PROFIT SHARING, BUT

for both profit and risk sharing.


THE IMPLEMENTATION OF ISLAMIC LAW
IN ASEAN COUNTRIES

Prof Raihana Abdullah, PhD (API Univ Malaya)


• ISLAMIC FAMILY LAW
• FINANCE AND BANKING INDUSTRIES
• HALAL INDUSTRIES (COSMETIC/FOOD/BEVERAGES)
• OTHER ASPECTS OF ISLAMIC LAW
KONFLIK NORMA TERKINI
KONFLIK NORMA

“Muslims living in a secular, liberal democratic state face a fundamental dilemma: reconciling the obligation to
live accordingto Shari'a 1 with their civic duty to follow secular laws. Muslims attempt to resolve this dilemma in
a number of ways.Some enter public office and try to influence the generally applicable laws of their country.
Others advocate greater legalpluralism, thus allowing Muslims to settle certain disputes under Islamic law. In
Canada, for example, the Islamic Institutefor Civil Justice (“IICJ”) announced plans to create Shari'a tribunals
and claimed that it would begin arbitrating family andcommercial disputes according to Islamic law. Other
Muslims incorporate the laws of Shari'a into their daily affairs and attempt to structure their private and
professional lives in accordance with the values of their faith. Through contract law,Muslims can arrange
marriages, divorces, child custody disputes, financial investments, wills, and professional relationshipsin
accordance with Islamic law. In this way, Muslims can accomplish their dual obligation: to abide by Shari'a and
to helpensure that other Muslims do so as well.”
Charles P. Trumbull A1, Islamic Arbitration: A New Path For Interpreting Islamic Legal Contracts,VanderbiltLaw Review 59 Vand. L. Rev. 609, Vanderbilt University Law
School, 2006, Hal. 1.
KONFLIK NORMA

• Bahkan jika para pihak bersepakat menandatangani kontrak berdasarkan prinsip


syariah, permasalah terbanyak yang timbul adalah
• terkait aturan hukum,
• kompetensi pengadilan dalam penyelesaian sengketa ekonomi syariah,
infrastruktur, sumber daya dan keahlian untuk menafsirkan dan menegakkan
dokumen transaksi Islami.
• Di negara-negara tertentu, meskipun adanya sistem peradilan Syariah,
penerapan hukum Islam dibatasi untuk wilayah tradisional hukum seperti hukum
keluarga, pernikahan dan warisan.
• Bahkan di mana beberapa negara telah berhasil membentuk undang-undang
Islam terpisah dari aturan konvensional, seperti hukum perbankan Islam, namun
dalam aplikasinya masih menimbulkan dualisme kewenangan dan disparitas
putusan dalam penyelesaian sengketa ekonomi syariah.
Judicial Review terhadap
Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah
(Tambahan Lembaran Negara Tahun 2008 No. 94, Tambahan Lembaran Negara No. 4867)

• Politik hukum ekonomi syariah di Indonesia sempat di duga tidak sepenuhnya mendukung Sharia compliance dalam peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Penerapan sistem aturan hukum ekonomi Islam tidak secara kafah, dianggap menciderai rasa keadilan bagi muslim di
Indonesia. Kondisi ini menimbulkan adanya Judicial review pada Mahkamah Konstitusi terhadap Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang No.
21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah [(Tambahan Lembaran Negara Tahun 2008 No. 94, Tambahan Lembaran Negara No. 4867), yang
selanjutnya disebut Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah] terhadap Undang-Undang Dasar Republik Indonesia.
• Lahirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Pertama atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4611), yang
selanjutnya disebut sebagai UU No. 3 Tahun 2006, menegaskan bahwa Pengadilan Agama merupakan satu-satunya peradilan yang mempunyai
kewenangan absolut untuk memeriksa dan memutus perkara yang berkaitan dengan sengketa ekonomi syariah. Namun, meskipun sudah
dinyatakan dengan jelas oleh pasal 49 huruf i Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 mengenai kewenangan Peradilan Agama dalam memeriksa dan
memutus perkara dibidang ekonomi syariah, ternyata Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah memberi peluang adanya
pilihan hukum untuk menyelesaiakn sengketa di pengadilan negeri (non pengadilan agama). Jika pilihan hukum atas penyelesaian sengketa
ekonomi syariah melalui cara damai jalur non litigasi menjadi tidak masalah, namun berbeda jika penyelesaiannya diajukan pada pengadilan
negeri. Penyelesaian sengketa ekonomi syariah melalui litigasi pada pengadilan negeri dianggap melanggar hak konstitusi warga negara. Alasan
general ini yang menjadikan adanya pengujian pada Mahkamah Konstitusi terhadap Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3) Undang-Undang No. 21 Tahun
2008 Tentang Perbankan Syariah terhadap Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yang tercatat sebagai Perkara Nomor 93/PUU-X/2012. Dengan
adanya dualisme kompetensi pengadilan tersebut di atas, jelas akan menimbulkan kebingungan para pencari keadilan di bidang ekonomi syariah
dalam menyelesaikan sengketanya. Dengan lahirnya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 akhirnya mengukuhkan kewenangan
Pengadilan Agama dengan menyatakan bahwa Pasal 55 ayat (2) UU Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah tidak lagi mempunyai
kekuatan mengikat. Akibatnya, Pengadilan Agama merupakan satu-satunya lembaga ajudikasi yang mempunyai kompetensi absolut untuk
menyelesaian sengketa perbankan syariah. Namun, para pihak yang bersengketa masih dimungkinkan untuk memilih jalur non litigasi melalui
musyawarah/negosiasi, mediasi (sulh) atau melalui lembaga arbitrase (tahkim), dengan syarat harus ada kesepakatan para pihak yang
bersengketa terlebih dahulu, baik sebelum terjadinya sengketa maupun setelah terjadinya sengketa, dengan syarat forum penyelesaian tersebut
tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah.
KONFLIK NORMA TERKINI

• Pada akhir Desember lalu, tepatnya Tanggal 22 Desember 2016,


Ketua Mahkamah Agung menandatangani Peraturan Mahkamah
Agung No. 14 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penyelesaian Sengketa
Ekonomi Syariah. Jauh panggang dari api, Perma No. 14/2016 ini
ternyata masih jauh dari harapan para pihak yang menundukkan
diri pada akad syariah serta ingin menyelesaikan sengketa sesuai
syariah (syar’i) dan kaffah
Peraturan Mahkamah Agung No. 14 Tahun 2016
Tata Cara Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah

• bukan dalam bentuk Undang-Undang


• masih jauh dari harapan para pihak yang menundukkan diri pada
akad syariah serta ingin menyelesaikan sengketa sesuai syariah
(syar’i) dan kaffah, dikarenakan beberapa hal terindikasi Non
Sharia Compliance
Non Sharia Compliance Perma 14/16

• Perma ini masih menundukkan diri pada Reglemen Indonesia yang


diperbarui/Reglemen Acara Hukum Untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (Het
Herziene Inlandsch Reglement/Reglement Tot Regeling Van Het Rechtswezen In
De Gewesten Buiten Java En Madura).
• Telah selayaknya aturan hukum acara penyelesaian sengketa ekonomi syariah
bukan lagi menggunakan peraturan yang warisan kolonial Belanda, dimana
masih membedakan peraturan perwilayah =
• HIR berlaku di pulau Jawa dan Madura sedangkan
• RBG berlaku di luar Jawa dan Madura.
• Transaksi bisnis saat ini telah bersifat transnasional, lintas negara. Diharapkan
adanya suatu aturan yang mulai kontrak (choice of law) hingga prosedur
penyelesaian sengketa (choice of forum) yang bersifat universal. Dalam hal ini
para pihak tidak sekedar dihadapkan hanya pada pilihan ketundukan pada civil
law system atau common law system saja.
Non Sharia Compliance Perma 14/16

• Perma ini belum memiliki pengaturan secara rinci dan syar’i


(aturan hukum yang sesuai menurut perspektif syariah/ hukum
Islam) terkait kegagalan dalam pelaksanaan kontrak (breach of
contract) yang mengakibatkan default atau penundaan kewajiban
pembayaran yang merupakan alasan awal dan utama timbulnya
perkara sengketa ekonomi syariah.
Non Sharia Compliance Perma 14/16

• Perma ini belum memiliki pengaturan secara rinci dan syar’i


(aturan hukum yang sesuai menurut perspektif syariah/ hukum
Islam) terkait kegagalan dalam pelaksanaan kontrak (breach of
contract) yang mengakibatkan default atau penundaan kewajiban
pembayaran yang merupakan alasan awal dan utama timbulnya
perkara sengketa ekonomi syariah.
Non Sharia Compliance Perma 14/16

• penanganan proses kepailitan masih belum diatur dalam perma ini,


sehingga belum dapat dijadikan pedoman dalam penanganan perkara
taflis, dengan demikian maka terkait perkara kepailitan kewenangan
pengadilan niaga, dan belum menjadi kewenangan pengadilan agama.
Dualisme hukum yang berlaku dalam penanganan perkara yang berkaitan
dengan praktek ekonomi syariah berdampak sistemik terhadap disparitas
putusan pada khususnya, dan penerapan hukum acara yang digunakan
secara keseluruhan. Hal ini mengakibatkan akan masih banyak para
pihak yang terlibat di sektor ekonomi syariah menundukkan diri pada
hukum kepailitan konvensional dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun
2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 131, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 4443), yang selanjutnya disebut sebagai UU
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran.
Non Sharia Compliance Perma 14/16

• Sharia compliance pada choice of law (pilihan hukum) yang


telah ditetapkan para pihak, namun berujung pada para pihak
terpaksa tunduk pada hukum acara peradilan umum dan
hukum konvensional lainnya yang tidak sejalan dengan hukum
Islam (Non-Sharia compliance).
• Hal ini meliputi Non-Sharia compliance pada eksekusi objek
hak tanggungan pada pembiayaan yang lahir pada akad
syariah, tidak dilaksanakannya Sharia compliance pada
instrumenTaflis ,
• dan Non-Sharia compliance pada penanganan kegagalan
kontrak (breach of contract), default dan delay payment
(penundaan kewajiban pembayaran) yang tidak mematuhi
instrumen Ta’zir Ta’widh
dan yang ada
Keberadaan Arbitrase Syariah Nasional
• tidak semua propinsi memiliki Badan Arbitrase Syariah.
lebih memilih mengajukan perkara sengketa ekonomi
• Setiap Fatwa Dewan Syariah Nasional syariahnya pada Pengadilan Agama, atau bahkan
Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI)
mengenai produk dan kegiatan yang Pengadilan Negeri.
tercakup dalan ekonomi Syariah • Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas), terdapat
mencantumkan ketentuan penyelesaian
sengketa seyogyanya melalui Badan kendala bahwa Basyarnas tidak memiliki perangkat atau
Arbitrase Syariah. dasar hukum untuk melakukan penetapan sita,
• Hanya fatwa terkait kegiataan pendanaan pelaksanaan lelang atau proses pengosongan atas sebuah
(funding) yang tidak mencantumkan
ketentuan tentang Badan Arbitrase bangunan sengketa.
Syariah. • Putusan Badan Arbitrase (baik Syariah ataupun
• Dikaitkan dengan adanya ketentuan konvensional) harus diikuti dengan permohonan ke
penyelesaian sengketa melalui Badan
Arbitrase Syariah dalam Fatwa DSN MUI, Pengadilan Negeri (yang penarapan hukumnya sangat
maka sudah menjadi kewajiban bagi konvensional) untuk kemudian dilakukan proses hukum
pelaku usaha bisnis ekonomi Syariah untuk
menggunakan lembaga Badan Arbitrase selanjutnya (misalnya eksekusi hak tanggungan, sita,
Syariah bagi tempat penyelesaian sengketa lelang, dan pengosongan).
dan perselisihan bagi para pelaku usaha
Syariah. • tetap melalui Pengadilan Negeri (bukan Pengadilan Agama)
untuk dapat menyelesaikan sengketanya jika memilih
forum Basyarnas UU 30/1999
CONTOH KASUS

• penanganan sengketa ekonomi syariah di Peradilan Agama


terdapat peristiwa yang sempat menyita perhatian publik. Putusan
Pengadilan Agama Bukittinggi, misalnya, memiliki muatan yang
tidak sesuai dengan asas nebis in idem dan non-retroaktif.
• Tak pelak, putusan tersebut menjadi ujian berat sekaligus
tantangan bagi Peradilan Agama untuk lebih meningkatkan
profesionalisme dan penguasaan hukum ekonomi yang mendukung
pelaksanaan tugas pokok mengadili sengketa ekonomi syariah.
Putusan Pengadilan Agama Jakarta Pusat Nomor 792/
Pdt.G/2009/PA.JP tanggal 10 Desember 2009 yang membatalkan
putusan Basyarnas juga tak luput dari perhatian publik.
• Putusan tersebut pada akhirnya dibatalkan pada tingkat kasasi di Mahkamah Agung dan ditolak pada
tingkat peninjauan kembali dengan putusan PK Nomor 56 PK/ AG/2011.
• Alasan majelis PK dalam pertimbangannya menyatakan dalam perkara a quo adalah tentang
pembatalan putusan Arbitrase No. 16 Tahun 2008/BASYARNAS/Ka.Jak tanggal 16 September 2009,
• maka sesuai ketentuan Pasal 71 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa harus diajukan ke Pengadilan Negeri (bukan Pengadilan Agama).
• Sedangkan SEMA No. 8 Tahun 2008 yang memberikan kewenangan kepada pengadilan agama telah
dinyatakan tidak berlaku lagi oleh SEMA No. 8 Tahun 2010 Tentang Eksekusi Putusan Badan Arbitrase
Syariah Nasional. Putusan PA Jakarta Pusat tersebut menyiratkan adanya hambatan legislasi yang
belum dituntaskan.
• Ketidakharmonisan sistem perundang-undangan yang berkaitan dengan penyelesaian sengketa
ekonomi syariah masih ditemukan sehingga mempengaruhi kepercayaan publik terhadap Peradilan
Agama. Melalui interpretasi sistematis, jika kewenangan mengadili sengketa perbankan syariah
melalui litigasi merupakan kewenangan absolut Peradilan Agama, maka Peradilan Agama yang
berwenang untuk melakukan eksekusi maupun pembatalan terhadap putusan Basyarnas.
• Sharia Compliant Finance and Applicable
Law
• Huge growth in Sharia compliant products

KAFFAH
• Many Sharia compliant finance
transactions are governed by Islamic law
or / and the law of one of the party or the
governing law which it has been agreed . SHARIA COMPLIANT IN ORDER
• Sharia is a set of moral and religious • CHOICE OF LAW
principles rather than a codified body of
laws. • CHOICE OF FORUM
• Sharia compliant transactions may involve
parties from many jurisdictions.
• Belum adanya kajian dan analisis sharia compliance dalam
penyelesaian sengketa ekonomi syariah, terutama menganalisis
lebih lanjut sharia compliance dalam mulai A 2 Z, mulai dari

•choice of law hingga choice of forum dalam


upaya penyelesaian sengketa ekonomi Syariah meliputi :
• Sharia Compliance dalam Politik Ekonomi Syariah
• Sharia Compliance dalam Kontrak (Choice of Law)
• Sharia Compliance dalam Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah (Choice of
Forum)
• Sharia Compliance dalam Taflis, ta’zir dan ta’widh
Small Claim Court 
Perma 4/ 2019

Anda mungkin juga menyukai