Anda di halaman 1dari 18

Tantangan dalam Penerapan Evidence Based dan

Pemberian Info Sesuai Evidence Based pada Pasien

MAKALAH

Dosen : Yessi Mustika Sari, SST., M.Keb

Penyusun :

Bella Entafani Putri 193001070008

Nela Regar 193001070007

Sepia Rani Putri 193001070010

Timun 193001070005

Titha Aza Radita 193001070009

PRODI KEBIDANAN

FAKULTAS KESEHATAN DAN FARMASI

UNIVERSITAS ADIWANGSA JAMBI

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatnya
sehingga makalah tentang “Tantangan dalam Penerapan Evidence Based dan
Pemberian Info Sesuai Evidence Based pada Pasien” dapat tersusun hingga
selesai. Penulis bersyukur kepada Allah yang telah memberikan hidayahnya
kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan makalah ini.

Harapan penulis semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan


pengalaman bagi para pembaca untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk
maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.

Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman. Penulis masih


banyak kekurangan dalam makalah ini. Oleh karena itu penulis sangat
mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.

Jambi, 05 Juli 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB I.......................................................................................................................1
A. Latar Belakang.............................................................................................1
B. Rumusan Masalah........................................................................................2
C. Tujuan Penulisan..........................................................................................2
D. Manfaat Penulisan........................................................................................3
BAB II.....................................................................................................................4
A. Definisi.........................................................................................................4
B. Tantangan dalam Penerapan Evidence Based..............................................5
C. Pemberian Informasi Sesuai Evidence Based pada Pasien........................11
BAB III..................................................................................................................13
A. Kesimpulan................................................................................................13
B. Saran...........................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................14

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Jargon kebijakan dan praktik berbasis bukti (EBPP) telah popular di berbagai bidang
kebijakan sosial seperti pendidikan, pekerjaan sosial, peradilan pidana, perawatan
kesehatan dan kesehatan mental (Nutley, et al., 2007). Ini telah menjadi bagian dari
agenda modernisasi yang lebih luas yang bertujuan untuk mereformasi layanan
pemerintah dan mencapai efektivitas dan efisiensi yang lebih besar melalui penerapan
bukti penelitian terapan untuk kebijakan dan praktik. Ini sudah termasuk bukti tentang
tren luas dan penjelasan masalah sosial dan organisasi, serta bukti yang berkaitan dengan
indikator kinerja, pemberian layanan dan evaluasi program (Kepala, 2008a). EBPP
menekankan penyelesaian masalah secara sistematis yang didukung oleh data, analisis
risiko dan respons proaktif serta identifikasi. Pemerintah di berbagai jurisdiksi telah
membuat pernyataan kebijakan strategis mendukung EBPP, namun ada beberapa
perbedaan pendapat yang serius dalam bidang akademik dan kebijakan/praktisi mengenai
adopsi dan penerapan EBPP Wilayah-wilayah yang diperebutkan ini mencakup
aspekaspek politik dan ideologis tentang bagaimana masalah “dibingkai”; bagaimana
pendekatan “berbasis bukti” harus diterapkan dalam konteks kebijakan dan praktik
tertentu; yang dianggap sebagai bukti andal; dan metode evaluasi yang disukai untuk
menginformasikan pengembangan kebijakan dan implementasi program Sejarah evidence
dimulai pada tahun 1970 ketika Archie Cochrane menegaskan perlunya mengevaluasi
pelayanan kesehatan berdasarkan bukti-bukti ilmiah (scientific evidence). Sejak itu
berbagai istilah digunakan terkait dengan evidence base, diantaranya evidence base
medicine (EBM), evidence base nursing (EBN), dan evidence base practice (EBP).
Evidence Based Practice (EBP) merupakan upaya untuk mengambil keputusan klinis
berdasarkan sumber yang paling relevan dan valid. Oleh karena itu EBP merupakan jalan
untuk mentransformasikan hasil penelitian ke dalam praktek sehingga perawat dapat
meningkatkan “quality of care” terhadap pasien. Selain itu implementasi EBP juga akan
menurunkan biaya perawatan yang memberi dampak positif tidak hanya bagi pasien,
perawat, tapi juga bagi institusi pelayanan kesehatan. Sayangnya penggunaan bukti-bukti
riset sebagai dasar dalam pengambilan keputusan klinis seperti seorang bayi yang masih
berada dalam tahap pertumbuhan.

1
Evidence-Based Practice (EBP), merupakan pendekatan yang dapat digunakan dalam
praktik perawatan kesehatan, yang berdasarkan evidence atau fakta. Selama ini,
khususnya dalam keperawatan, seringkali ditemui praktik-praktik atau intervensi yang
berdasarkan “biasanya juga begitu”. Sebagai contoh, penerapan kompres dingin dan
alkohol bath masih sering digunakan tidak hanya oleh masyarakat awam tetapi juga oleh
petugas kesehatan, dengan asumsi dapat menurunkan suhu tubuh lebih cepat, sedangkan
penelitian terbaru mengungkapkan bahwa penggunaan kompres hangat dan teknik tepid
sponge meningkatkan efektifitas penggunaan kompres dalam menurunkan suhu tubuh.

Merubah sikap adalah sesuatu yang sangat sulit, bahkan mungkin hal yang sia-sia. Orang
tidak akan bisa merubah adat orang lain, kecuali orang-orang di dalamnya yang merubah
diri mereka sendiri. Tetapi meningkatkan kesadaran, dan masalah kesehatan di
masyarakat, akan meningkatkan kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan. Tentu
pelayanan yang paling efektif & efisien menjadi tuntutan sekaligus tantangan besar yang
harus di cari problem solving-nya.

Penggunaan evidence base dalam praktek akan menjadi dasar scientific dalam
pengambilan keputusan klinis sehingga intervensi yang diberikan dapat
dipertanggungjawabkan. Sayangnya pendekatan evidence base di Indonesia belum
berkembang termasuk penggunaan hasil riset ke dalam praktek. Tidak dapat dipungkiri
bahwa riset di Indonesia hanya untuk kebutuhan penyelesaian studi sehingga hanya
menjadi tumpukan kertas semata.

B. Rumusan masalah
1. Definisi dari Evidence Based?
2. Bagaimana Tantangan dalam Penerapan Evidence Based?
3. Bagaimana Regulasi Pemberian Informasi Sesuai Evidence Based pada
Pasien?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui definisi dari Evidence Based
2. Untuk mengetahui tantangan dalam penerapan Evidence Based
3. Untuk mengetahui Regulasi Pemberian Informasi Sesuai Evidence Based
pada Pasien

2
D. Manfaat penulisan
1. Untuk menambah skill literasi
2. Untuk mengasah skill menelaah jurnal
3. Untuk menambah skill berpikir kritis
4. Menambah keterampilan mencari artikel dan sumber

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi

Evidence-based pratice adalah proses pengambilan keputusan klinis dengan


mengintegrasikan bukti penelitian terbaik dengan keahlian klinis dan penilaian
pasien (Hart, et al., 2008). Evidence-based practice dapat menjadi kerangka kerja
yang menguji, mengevaluasi, dan menerapkan temuan-temuan penelitian dengan
tujuan untuk memperbaiki pelayanan keperawatan kepada pasien (Carlson, 2010).
Sehingga, sebelum membuat keputusan klinis yang terbaik bagi pasiennya, tenaga
kesehatan harus mempertimbangkan dan mengacu pada hasil-hasil penelitian yang
terkini dan terbaik.

Menurut Sackett et al. (2000), Evidence-based medicine (EBM) adalah suatu


pendekatan medik yang didasarkan pada bukti-bukti ilmiah terkini untuk
kepentingan pelayanan kesehatan penderita. Dengan demikian, dalam praktek,
EBM memadukan antara kemampuan dan pengalaman klinik dengan bukti-bukti
ilmiah terkini yang paling dapat dipercaya.

Evidence based practice (EBP) adalah sebuah proses yang akan membantu tenaga
kesehatan agar mampu uptodate atau cara agar mampu memperoleh informasi
terbaru yang dapat menjadi bahan untuk membuat keputusan klinis yang efektif
dan efisien sehingga dapat memberikan perawatan terbaik kepada pasien
(Macnee, 2011).

Sedangkan menurut (Bostwick, 2013) evidence based practice adalah starategi


untuk memperolah pengetahuan dan skill untuk bisa meningkatkan tingkah laku
yang positif sehingga bisa menerapakan EBP didalam praktik. Dari kedua
pengertian EBP tersebut dapat 17 dipahami bahwa evidance based practice
merupakan suatu strategi untuk mendapatkan knowledge atau pengetahuan terbaru
berdasarkan evidence atau bukti yang jelas dan relevan untuk membuat keputusan
klinis yang efektif dan meningkatkan skill dalam praktik klinis guna
meningkatkan kualitas kesehatan pasien.Oleh karena itu berdasarkan definisi

4
tersebut, Komponen utama dalam institusi pendidikan kesehatan yang bisa
dijadikan prinsip adalah membuat keputusan berdasarkan evidence based serta
mengintegrasikan EBP kedalam kurikulum merupakan hal yang sangat penting.

Manfaat Ebp Menurut :

 Menjadi jembatan antara penelitian dan praktik


 Mengeliminasi penelitian dengan kualitas penelitian yang buruk
 Mencegah terjadinya informasi yang overload terkait hasilhasil penelitian
 Mengeliminasi budaya “practice which is not evidence based”

B. Tantangan dalam Penerapan Evidence Based

Tantangan dan Pengembangan (Subhan 2019):

1. Dilema Kepatuhan/Adaptasi Program

Salah satu tujuan EBPP adalah untuk memastikan bahwa semaksimal


mungkin, kebijakan dan praktik didasarkan pada penelitian dan
didorong oleh data. Konsep kepatuhan program biasanya dikaitkan
dengan perdebatan tentang replikasi program berbasis bukti yang
berasal dari uji coba. Relevansinya memiliki aplikasi yang lebih luas di
luar konteks ini dan berkaitan dengan agenda berbasis penelitian. Jika
panduan praktik yang baik didasarkan pada bukti, tetapi tidak dipatuhi
oleh praktisi atau diabaikan oleh pembuat kebijakan, maka muncul
perbedaan yang signifikan antara pekerjaan yang dilakukan dengan
bukti dari penelitian. Ini dapat mendistorsi evaluasi hasil strategi
karena kurangnya replikasi yang “utuh”; dapat menyebabkan layanan
yang tidak efektif untuk kelompok sasaran; atau dapat merusak
integritas basis bukti yang terakumulasi tentang kebijakan dan praktik
yang efektif.

Sebagai contoh, kegagalan untuk mencapai hasil yang sukses terkait


dengan pendekatan berbasis bukti tertentu dapat terjadi hanya dari

5
pembuat kebijakan dan praktisi tidak tetap “utuh” pada (yaitu tidak
mereplikasi) desain program asli. Jika perbedaan ini tidak diketahui
oleh praktisi, pengamat, evaluator atau intervensi pendanaan yang
relevan, hal itu dapat menyebabkan organisasi dan individu menilai
secara salah atau tidak adil, program-program berbasis bukti tertentu
dianggap tidak akan berfungsi.

2. Komponen Kerangka Kerja Pembelajaran & Dukungan

Sampai saat ini sejumlah penelitian terbatas telah dilakukan tentang


bagaimana pendekatan berbasis bukti dapat ditingkatkan di seluruh
konteks kebijakan dan praktik (Bogenschneider & Corbett, 2010).
Berdasarkan pada bacaan yang luas dari literatur penelitian, kami
berpendapat bahwa meningkatkan basis pengetahuan dan keterampilan
para pembuat kebijakan dan praktisi sama sekali tidak cukup.
Pertimbangan juga harus diberikan pada kondisi lain yang lebih luas
yang memungkinkan EBPP menjadi terwujud. Meskipun infrastruktur
merupakan hal yang central dan penting untuk menentukan prinsip-
prinsip inti daripada pedoman EBPP yang efektif di berbagai konteks.

Diagram 1: Components of a Support Delivery System

6
a. Komunikasi

Mempromosikan EBPP akan terhambat jika dikomunikasikan hanya melalui


penggunaan sistem teknoligi informasi/TI saja seperti database elektronik atau
repository hasil penelitian. Ini adalah bentuk penyebaran pasif, dan informasi
saja serta tidak menjamin dan tidak memfasilitasi pengambilan pendekatan
berbasis bukti. Satu temuan penting dari penelitian yang telah mengeksplorasi
berbagai opsi untuk diseminasi adalah bahwa pada akhirnya penggunaannya
dikaitkan dengan strategi yang menyediakan ruang bagi pembuat kebijakan
dan praktisi untuk mencari, membaca, merenungkan, bertukar ide dan
mendiskusikan bukti penelitian (Nutley, et al., 2007). Juga program berbasis
bukti lebih mungkin untuk diikuti ketika pengguna akhir yang dituju
(misalnya Praktisi) memiliki input ke dalam desain program atau mereka
dilibatkan

b. Kapasitas

Dalam EBPP istilah kapasitas sering dimasukkan di bawah


“pembangunan/pengembangan kapasitas” dengan sejumlah makna yang
beragam (Greenhalgh, et al., 2004). Ini sering digunakan untuk
menggambarkan keterampilan, motivasi, pengetahuan dan sikap yang
mendasari upaya untuk mengimplementasikan inovasi baik di sektor publik
maupun swasta. Kami berpendapat bahwa banyak fitur yang sering dikaitkan
dengan kapasitas istilah harus diberi perhatian terpisah missal kompetensi.
Kelebihan ini menjadi lebih sulit untuk memberikan panduan kepada pembuat
kebijakan atau praktisi tentang apa yang mungkin diperlukan dalam
pengembangan kapasitas.

c. Kompetensi

Gagasan kompetensi, dalam kaitannya dengan kondisi yang menghambat atau


memfasilitasi adopsi program berbasis bukti, patut dianggap sebagai masalah
dalam dirinya sendiri. Ini karena personil agen mungkin memiliki kompetensi
untuk beroperasi dengan cara yang lebih berbasis bukti (mis. Memiliki
keterampilan memecahkan masalah dan analisis data yang relevan) tetapi

7
kapasitas organisasi yang mendukung mungkin tidak ada yang akan
memungkinkan mereka untuk menerapkan keterampilan ini dalam tindakan.
Kompetensi berkaitan dengan sejumlah keterampilan individu spesifik yang
penting untuk implementasi EBPP. Ini mencakup bentuk pengetahuan
eksplisit dan implisit yang terkait dengan pengalaman kebijakan / praktik
sebelumnya yang dapat memberikan wawasan tentang keberhasilan
implementasi pendekatan berbasis bukti.

d. Kompatibilitas

Kompatibilitas di sini mengacu pada iklim organisasi yang kondusif untuk


penggunaan dan implementasi EBPP. Komponen yang dijelaskan sebelumnya
membantu menghasilkan iklim seperti itu. Mengatasi kekurangan individu
dalam pengetahuan dan keterampilan tidak akan menjamin hasil yang lebih
baik. Perlu ada persepsi bersama di antara para profesional bahwa adopsi
dihargai, didukung dan diharapkan dalam organisasi mereka (Durlak & Du
Pre, 2008; Klein & Sorra, 1996). Dengan demikian, kompatibilitas berkaitan
dengan kesesuaian antara prinsip-prinsip yang menopang kebijakan atau
praktik berbasis bukti dan cara organisasi beroperasi.

e. Komitmen

Namun ada satu batasan lebih lanjut: personil harus berkomitmen untuk
menggunakannya (Klein & Sorra, 1996). Sementara organisasi atau unit
kebijakan resmi dapat mendukung pendekatan berbasis bukti (yaitu ada
kompatibilitas formal), itu tidak serta merta berarti bahwa individu-individu di
dalam lembaga-lembaga tersebut benar-benar mendukung model kebijakan
dan praktik baru (misalnya: terdapat komitmen yang rendah di antara staf).
Komitmen adalah atribut level individu yang merujuk pada internalisasi nilai
inovasi tertentu.Komitmen memiliki pengaruh penting pada kepatuhan dan
adaptasi. Penelitian menunjukkan bahwa jika ada komitmen yang rendah di
antara personel agensi terhadap program berbasis bukti, mereka cenderung
tidak diimplementasikan dengan kepatuhan (Mihalic, et al., 2008; O”Connor,
et al., 2007).

8
f. Kolaborasi

Salah satu tema sentral dari tulisan ini adalah bahwa bertindak dengan cara
berbasis bukti pada tingkat kebijakan dan praktik sangat menantang. Salah
satu alasan untuk ini adalah bahwa EBPP sering membtutuhkan kolaborasi di
antara beberapa penyedia layanan karena sifat kebijakan publiknya kompleks,
dan berada di luar kemampuan lembaga mana pun untuk ditangani (Head,
2008a & 2008b, Head, 2008c). Mengingat bahwa kemitraan bergantung pada
anggota yang memberikan kontribusi yang baik, mereka seringkali sulit untuk
dikelola dan dapat memperoleh manfaat dari dukungan yang membantu
memastikan kejelasan fokus, dengan lembaga-lembaga yang bekerja sama
memperjelas input dan tanggung jawab mereka untuk sebuah inisiatif.

g. Kreatifitas

Replikasi yang utuh pada sistem pendukung untuk EBPP harus


memungkinkan untuk adaptasi atau apa yang kita sebut kreativitas di sini:
yaitu menyediakan ruang untuk inovasi dan eksperimen.

h. Disiplin/ Kepatuhan

Institusionalisasi EBPP membutuhkan proses untuk memantau pengambilan


dan adopsi dalam konteks profesional yang relevan. Dengan menggunakan
istilah kepatuhan, kami tidak mengacu pada proses pemantauan “top-down”.
Pemantauan perlu fokus pada isu ganda kepatuhan dan adaptasi.

i. Juara

Proses untuk EBPP tidak akan mandiri. Harus ada individu atau kelompok
yang dapat membantu mendorong proses. Inilah sebabnya mengapa peran
juara tersebut dipusatkan dalam keseluruhan sistem dukungan dan
dihubungkan dengan “utuh” elemen yang diilustrasikan dalam Diagram 1 di
atas. Pentingnya perantara tersebut didukung dalam literatur. Misalnya
literatur tentang difusi inovasi menunjukkan bahwa agensi yang merupakan

9
pengadopsi awal inovasi ditandai dengan memiliki perantara (mis. Pemimpin
opini dan agen perubahan) yang memainkan peran kunci dalam meyakinkan
orang lain untuk mengadopsi inovasi tertentu (Rogers, 2003).

Dalam konsep pendidikan keperawatan di Indonesia, sejak menempuh jenjang


pendidikan keperawatan, perawat dan bidan sudah dituntut untuk berperan serta
dalam kegiatan penelitian dalam bidang keperawatan dan menggunakan hasil
penelitian serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk
meningkatkan mutu dan jangkauan pelayanan atau asuhan keperawatan
(Simamora, 2009). Akan tetapi, kondisi lingkungan kerja yang tidak menerapkan
evidence-based practice dalam pemberian asuhan keperawatan, dapat
menyebabkan perawat dan tenaga kesehatan lainnya lupa dengan kompetensi
penerapan evidence-based practice (Setyawati dkk. 2017).

Dalam konsep pendidikan keperawatan di Indonesia, pengalaman penelitian dan


konsep evidence-based practice belum ditekankan pada mahasiswa jenjang
Diploma III. Sehingga menjadi wajar jika hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
sebagian besar perawat dan bidan memiliki nilai pengetahuan yang rendah
sebelum mengikuti pelatihan karena mereka kurang terpapar tentang konsep
evidence-based practice. Meskipun demikian, perawat dan bidan yang memiliki
pendidikan terakhir Diploma III harus tetap mengembangkan diri secara terus
menerus untuk meningkatkan kemampuan profesinya dalam melakukan asuhan
keperawatan pada pasien berdasarkan evidence-based practice (Simamora, 2009).

Pelatihan penerapan evidenve based practice perlu diberikan pada perawat dan
bidan untuk meningkatkan pengetahuan mereka tentang konsep evidence-based
practice. Hal ini sejalan dengan pernyataan Egerod dan Hansen (2005) bahwa
pengetahuan yang terbatas tentang konsep evidence-based practice yang dimiliki
perawat klinisi dapat diakibatkan salah satunya adalah langkanya pelatihan-
pelatihan mengenai evidence-based practice. Konsep evidence-based practice
tidak cukup diberikan hanya dalam periode singkat. Untuk dapat memahami
konsep evidence-based practice dengan baik, diperlukan pelatihan-pelatihan yang
efektif dan efisien.

10
C. Pemberian Informasi Sesuai Evidence Based pada Pasien

“Mendapatkan informasi yang meliputi diagnosis dan tata cara tindakan medis,
tujuan tindakan medis,alternatif tindakan, risiko dan komplikasi yang
mungkin terjadi, dan prognosis terhadap tindakan yang di lakukan serta perkiraan
biaya pengobatan.” Sesuai dengan Undang-Undang No 4 tahun 2009 Pasal 32.

Hak pasien sangat erat kaitanya dengan kewajiban tenaga kesehatan termasuk hal
pemberian dan penerimaan informasi.

(Widjajarta 2011) Permenkes tentang Pertindik Pasal 1 huruf a menyatakan bahwa


persetujuan tindakan medis/ informed concent adalah persetujuan yang diberikan
oleh pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan mengenai tindakan medis yang
akan dilakukan terhadap pasien tersebut, sedangkan tindakan medis menurut Pasal
1 Huruf b adalah suatu tindakan yang dilakukan tehadap pasien berupa diagnostik
atau terapeutik.

Sebelum memberikan pertindik pasien seharusnya menerima informasi tentang


tindakan medis yang diperlukan, namun ternyata mengandung risiko. Pertindik
harus ditandatangani oleh penderita atau keluarga terdekatnya dan disaksikan
minimum satu orang saksi dari pihak pasien. Informasi dan penjelasan yang perlu
diberikan dalam Pertindik meliputi hal-hal berikut:

3. Informasi harus diberikan baik diminta maupun tidak. Informasi


tidak diberikan dengan mempergunakan istilah kedokteran yang
tidak dimengerti oleh orang awam.
4. Informasi diberikan sesuai dengan tingkat pendidikan, kondisi, dan
situasi pasien.
5. Informasi diberikan secara lengkap dan jujur, kecuali jika dokter
menilai bahwa informasi tersebut dapat merugikan kesehatan
pasien, atau pasien menolak untuk diberikan informasi. Dalam hal
ini informasi dapat diberikan kepada keluarga terdekat.
6. Informasi dan penjelasan tenang tujuan dan prospek keberhasilan
tindakan medis yang akan dilakukan.

11
7. Informasi dan penjelasan tentang tata cara tindakan medis yang
akan dilakukan. 6. Informasi dan penjelasan tentang risiko dan
komplikasi yang mungkin terjadi.
8. Informasi dan penjelasan tentang alternatif tindakan medis lain
yang tersedia serta risikonya masing-masing.
9. Informasi dan penjelasan tentang prognosis penyakit apabila
tindakan medis tersebut dilakukan.
10. Untuk tindakan bedah atau tindakan invasif lain, informasi harus
diberikan oleh dokter yuang melakukan operasi, atau dokter lain
dengan sepengetahuan atau petunjuk dokter yang bertanggung
jawab.
11. Untuk tindakan yang bukan bedah atau tindakan yang tidak invasif
lainnya, informasi dapat diberikan oleh dokter lain atau perawat
dengan sepengetahuan atau petunjuk dokter dan bertanggung
jawab.

12
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Menurut penulis tantangan dalam penerapan EB ini bisa dari berbagai faktor

B. Saran

Diharapkan tulisan ini dapat dijadikan kerangka yang dapat dipakai untuk
mendeteksi tantangan dan memperbaiki sistem.

13
Daftar Pustaka

Bostwick, L. (2013.). Evidence-Based Practice Clinical Evaluation Criteria for


Bachelor of Science in Nursing Curricula A Dissertation submitted (PhD
Thesis). College of Saint Mary.

Carlson, E. A. (2010). Evidence-Based Practice for Nurses: Appraisal and


Application of Research. Orthopaedic Nursing, 29(4), 283–284.

Egerod, I., & Hansen, G. M. (2005). Evidence-based practice among Danish


cardiac nurses: A national survey. Journal of Advanced Nursing, 51(5),
465–473.

Hart, P., Eaton, L., Buckner, M., Morrow, B. N., Barret, D. T., Fraser, D. D., …
Sharrer, R. L. (2008). Effectiveness of a Computer-Based Educational
Program on Nurses’ Knowledge, Attitude, and Skill Level Related to
Evidence-Based Practice. Wiley Online Library, 5(2), 75–84. https://doi.
org/10.1111/j.1741-6787.2008.00123.x

Macnee CL, McCabe S. (2011). Understanding nursing research: Using research


in evidence-based practice. Philadelphia: Williams & Wilkins.

Nutley, Sandra M., Walter, Isabel, Huw T. O. Davies. 2007. Using Evidence:
How Research Can Inform Public Services. British Library: Policy Press.

Widjajarta, Marius. 2011. Tim Pengkajian Hukum Tnteng Hak dan Kewajiban
Tenaga Kesehatan.

Sackett, D. Evidence-based Medicine: How to Practice and Teach EBM. 2nd


edition. Churchill Livingtone, 2000.

Simamora, R. H. (2009). Buku Ajar Pendidikan dalam Keperawatan. Jakarta:


EGC.

Subhan, Haris. (2019). Evidence-Based Policy and Practice: Tantangan dan


Pengembangan. Vol 9, No 1 (2019): JISPO : Vol 9 No 1 2019.

14
Setyawati, Anita, Hasniatisari Harun dan Yusshy Kurnia Herliani. (2017).
Peningkatan Pengetahuan Perawat dan Bidan Tentang Evidence-Based
Practice melalui Pelatihan Penerapan Evidence-Based Practice

Trinder, L & Reynolds, S 2006, Evidence-based practice: A critical appraisal,


Blackwell Science, Oxford.

15

Anda mungkin juga menyukai