Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Sebagian besar komponen penting yang diperlukan dalam peningkatan kesehatan
adalah obat. Obat merupakan semua zat baik kimiawi, hewani, maupun nabati yang dalam
dosis layak dapat menyembuhkan, meringankan bahkan mencegah penyakit. Proses
pemindahan molekul obat dari bentuk padat ke dalam larutan pada suatu medium disebut
disolusi.

Dalam dunia kefarmasian para apoteker dan pakar-pakar kimia senantiasa merancang
sediaan obat supaya mampu merancang terobosan baru dalam menciptakan suati produk yang
berkualitas, baik dari segi kesetabilan obat maupun efek yangditimbulkan. Sudah
sepantasnya. Sebagai seorang farmasis kitaharus selalu menggali informasi terkini mengenai
teknologi obatdari berbagai segi. Disini yang paling ditekankan yaitu pada preformulasi.
Preformulasi merupakan metode perancangan suatu riset dalamrangka menyusun konsep baru
yang nantinya harusmampumenghasilkan suatu maha karya yang bernilai
Disolusi obat adalah suatu proses pelarutan senyawa aktif dari bentuk sediaan padat
ke dalam media pelarut. Pelarutan suatu zat aktif sangat penting artinya karena ketersediaan
suatu obat sangat tergantung dari kemampuan zat tersebut melarut ke dalam media pelarut
sebelum diserap ke dalam tubuh. Obat yang telah memenuhi persyaratan baik dari waktu
hancur, keregasan, keseragaman bobot, dan penetapan kadar, belum dapat menjamin bahwa
suatu obat memenuhi efek terapi. Karena itu uji disolusi harus dilakukan pada setiap produksi
tablet atau kapsul.
. Laju disolusi atau kecepatan melarut obat-obat yang relatif tidak larut dalam air telah
lama menjadi masalah pada industri farmasi. Obat-obat tersebutumumnya mengalami proses
disolusi yang lambat demikian pula laju absorpsinya.Dalam hal ini partikel obat terlarut akan
diabsorpsi pada laju rendah atau bahkan tidak diabsorpsi seluruhnya. Dengan demikian
absorpsi obat tersebut menjadi tidak sempurna
Sediaan tablet termasuk dalam persyaratan uji disolusi yaitu untuk mengetahui
seberapa banyak persentase zat aktif dalam obat yang terlarut dan terabsorbsi ke dalam
peredaran darah untuk memberikan efek terapi. Disolusi menggambarkan efek obat terhadap
tubuh, jika disolusi memenuhi syarat maka diharapkan obat akan memberikan khasiat pada
tubuh. Oleh karena itu, pada percobaan ini dilakukan dengan maksud untuk mengetahui
kecepatan disolusi dari tablet amoksisilin dengan menggunakan alat disolusi dan titrasi
alkalimetri dengan larutan baku NaOH dan penambahan indikator fenolftalein.

LATAR BELAKANG

Obat adalah suatu zat yang dimaksud untuk manusia untuk mengurangi rasa sakit,

menghambat, atau mencegah penyakit yang menyerangnya. Obat yang diberikan pada pasien

tersebut harus melalui banyak proses di dalam tubuh. Dan  bahan obat yang diberikan

tersebut, dengan cara apapun juga harus memiliki daya larut dalam air untuk kemanjuran

terapeutiknya.
Disolusi obat adalah suatu proses pelarutan senyawa aktif dari bentuk  sediaan padat

ke dalam media pelarut. Pelarutan suatu zat aktif sangat penting artinya karena ketersediaan

suatu obat sangat tergantung dari kemampuan zat tersebut melarut  ke dalam media pelarut

sebelum diserap ke dalam tubuh.

Suatu bahan obat yang diberikan dengan cara apapun dia harus memiliki daya larut

dalam air untuk kemanjuran terapeutiknya. Senyawa-senyawa yang relatif tidak dapat

dilarutkan mungkin memperlihatkan absorpsi yang tidak sempurna, atau tidak menentu

sehingga menghasilkan respon terapeutik yang minimum. Daya larut yang ditingkatkan dari

senyawa-senyawa ini mungkin dicapai dengan menyiapkan lebih banyak turunan yang larut,

seperti garam dan ester dengan teknik seperti mikronisasi obat atau kompleksasi.

Dalam bidang farmasi, laju disolusi sangat diperlukan karena menyangkut tentang tentang
waktu yang dibutuhkan untuk penglepasan obat dalam bentuk sediaan dan diabsorbsi dalam
tubuh. Jadi, semakin cepat disolusinya maka makin cepat  pula obat atau sediaan memberikan
efek kepada tubuh.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Teori Umum
Disolusi obat adalah suatu proses pelarutan senyawa aktif dari bentuk sediaan padat
ke dalam media pelarut. Pelarut suatu zat aktif sangat penting artinya bagi ketersediaan suatu
obat sangat tergantung dari kemampuan zat tersebut melarut ke dalam media pelarut sebelum
diserap ke dalam tubuh. Sediaan obat yang harus diuji disolusinya adalah bentuk padat atau
semi padat, seperti kapsul, tablet atau salep (Ansel, 1985).
Agar suatu obat diabsorbsi, mula-mula obat tersebut harus larutan dalam cairan pada
tempat absorbsi. Sebagai contoh, suatu obat yang diberikan secara oral dalam bentuk tablet
atau kapsul tidak dapat diabsorbsi sampai partikel-partikel obat larut dalam cairan pada suatu
tempat dalam saluran lambung-usus. Dalam hal dimana kelarutan suatu obat tergantung dari
apakah medium asam atau medium basa, obat tersebut akan dilarutkan berturut-turut dalam
lambung dan dalam usus halus. Proses melarutnya suatu obat disebut disolusi (Ansel, 1985).
Bila suatu tablet atau sediaan obat lainnya dimasukkan dalam saluran cerna, obat
tersebut mulai masuk ke dalam larutan dari bentuk padatnya. Kalau tablet tersebut tidak
dilapisi polimer, matriks padat juga mengalami disintegrasi menjadi granul-granul, dan
granul-granul ini mengalami pemecahan menjadi partikel-partikel halus. Disintegrasi,
deagregasi dan disolusi bisa berlangsung secara serentak dengan melepasnya suatu obat dari
bentuk dimana obat tersebut diberikan (Martin, 1993).
Kecepatan disolusi adalah suatu ukuran yang menyatakan banyaknya suatu zat terlarut
dalam pelarut tertentu setiap satuan waktu. Persamaan kecepatan menurut Noyes dan
Whitney sebagai berikut (Ansel, 1993):
dM.dt-1 : Kecepatan disolusi
D : Koefisien difusi
Cs : Kelarutan zat padat
C : Konsentrasi zat dalam larutan pada waktu
h : Tebal lapisan difusi
Faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan disolusi yaitu (Martin, 1993):
1.        Suhu
Meningginya suhu umumnya memperbesar kelarutan (Cs) suatu zat yang bersifat endotermik
serta memperbesar harga koefisien difusi zat. Menurut Einstein,koefisien difusi dapat
dinyatakan melalui persamaan berikut (Martin, 1993):
D : koefisien difusi
r : jari-jari molekul
k : konstanta Boltzman
ή : viskositas pelarut
T : suhu
2.        Viskositas
Turunnya viskositas pelarut akan memperbesar kecepatan disolusi suatu zat sesuai dengan
persamaan Einstein. Meningginya suhu juga menurunkan viskositas dan memperbesar
kecepatan disolusi.
3.        pH pelarut
pH pelarut sangat berpengaruh terhadap kelarutan zat-zat yang bersifat asam atau basa lemah.
Untuk asam lemah:

Jika (H+) kecil atau pH besar maka kelarutan zat akan meningkat. Dengan demikian,
kecepatan disolusi zat juga meningkat.
Untuk basa lemah:

Jika (H+) besar atau pH kecil maka kelarutan zat akan meningkat. Dengan demikian,
kecepatan disolusi juga meningkat.
4.        Pengadukan
Kecepatan pengadukan akan mempengaruhi tebal lapisan difusi (h). jika pengadukan
berlangsung cepat, maka tebal lapisan difusi akan cepat berkurang.
5.        Ukuran Partikel
Jika partikel zat berukuran kecil maka luas permukaan efektif menjadi besar sehingga
kecepatan disolusi meningkat.
6.        Polimorfisme
Kelarutan suatu zat dipengaruhi pula oleh adanya polimorfisme. Struktur internal zat yang
berlainan dapat memberikan tingkat kelarutan yang berbeda juga. Kristal meta stabil
umumnya lebih mudah larut daripada bentuk stabilnya, sehingga kecepatan disolusinya besar.
7.        Sifat Permukaan Zat
Pada umumnya zat-zat yang digunakan sebagai bahan obat bersifat hidrofob. Dengan adanya
surfaktan di dalam pelarut, tegangan permukaan antar partikel zat dengan pelarut akan
menurun sehingga zat mudah terbasahi dan kecepatan disolusinya bertambah.
Ada 2 metode penentuan kecepatan disolusi yaitu (Martin, 1993):
1.      Metode Suspensi
Serbuk zat padat ditambahkan ke dalam pelarut tanpa pengontrolan terhadap luas
permukaan partikelnya. Sampel diambil pada waktu-waktu tertentu dan jumlah zat yang larut
ditentukan dengan cara yang sesuai.
2.           Metode Permukaan Konstan
Zat ditempatkan dalam suatu wadah yang diketahui luasnya sehingga variable
perbedaan luas permukaan efektif dapat diabaikan. Umumnya zat diubah menjadi tablet
terlebih dahulu, kemudian ditentukan seperti pada metode suspensi.
Prinsip kerja alat disolusi dapat dilakukan dengan 2 cara yaitu (Dirjen POM, 1995) :
1.      Alat terdiri dari sebuah wadah tertutup yang terbuat dari kaca atau bahan transparan yang
inert, suatu batang logam yang digerakkan oleh motor dan keranjang yang berbentuk silinder
dan dipanaskan dengan tangas air pada suhu 370C.
2.      Alat yang digunakan adalah dayung yang terdiri dari daun dan batang sebagai pengaduk.
Batang berada pada posisi sedemikian sehingga sumbunya tidak lebih dari 2 mm pada setiap
titik dari sumbu vertikel wadah dan berputar dengan halus tanpa goyangan yang berarti.

Pelepasan zat aktif dari suatu produk obat sangat dipengaruhi oleh sifat fisikokimia
zat aktif dan bentuk sediaan. Ketersediaan zat aktif biasanaya ditetapkan oleh kecepatan
pelepasan zat aktif dari bentuk sediaannya. Pelepasan zat aktif dari bentuk sediaan biasanya
ditenmtukan oleh kecepatan melarutnya dalam media sekelilingnya (Amir, 2007).
Disolusi adalah suatu jenis khusus dari suatu reaksi heterogen yang menghasilkan
transfer massa karena adanya pelepasan dan pemindahan menyeluruh ke pelarut dari
permukaan padat. Teori disolusi yang umum adalah:
1.      Teori film (model difusi lapisan)
2.      Teori pembaharuan-permukaan dari Danckwerts (teori penetrasi)
3.      Teori Solvasi terbatas/Inerfisial (Amir, 2007).
Kecepatan disolusi merupakan kecepatan zat aktif larut dari suatu bentuk sediaan
utuh/ pecahan/ partikel yang berasal dari bentuk sediaan itu sendiri. Kecepatan disolusi zat
aktif dari keadaan polar atau dari sediaannya didefinisikan sebagai jumlah zat aktif yang
terdisolusi per unit waktu di bawah kondisi antar permukaan padat-cair, suhu dan kompisisi
media yang dibakukan. Kecepatan pelarutan memberikan informasi tentang profil proses
pelarutan persatuan waktu. Hukum yang mendasarinya telah ditemukan oleh Noyes dan
Whitney sejak tahun 1897 dan diformulasikan secara matematik sebagai berikut :

      dc / dt        = kecepatan pelarutan ( perubahan konsentrasi per satuan waktu )


      Cs                   = kelarutan  (konsentrasi jenuh bahan dalam bahan pelarut )
      Ct               = konsentrasi bahan dalam  larutan untuk waktu t
      K               = konstanta yang membandingkan koefisien difusi, voume larutan    
          jenuh dan tebal lapisan difusi (Shargel, 1988)
Dari persamaan di atas dinyatakan bahwa tetapnya luas permukaan dan konstannya
suhu, menyebabkan kecepatan pelarutan tergantung dari gradien konsentasi antara
konsentrasi jenuh dengan konsentrasi pada waktu (Shargel, 1988).
Pada peristiwa melarut sebuah zat padat disekelilingnya terbentuk lapisan tipis larutan
jenuhnya, darinya berlangsung suatu difusi suatu ke dalam bagian sisa dari larutan di
sekelilingnya. Untuk peristiwa melarut di bawah pengamatan kelambatan difusi ini dapat
menjadi persamaan dengan menggunakan hukum difusi. Dengan mensubtitusikan hukum
difusi pertama Ficks ke dalam persamaan Hernsi Brunner dan Bogoski, dapat memberikan
kemungkinan perbaikan  kecepatan pelarutan secara konkret.

Kecepatan pelarutan berbanding lurus dengan luas permukaan bahan padat, koefisien
difusi, serta berbanding lurus dengan turunnya konsentrasi pada waktu t. Kecepatan pelarutan
ini juga berbanding terbalik dengan tebal lapisan difusi. Pelepasan zat aktif dari suatu produk
obat sangat dipengaruhi oleh sifat fisikokimia zat aktif dan bentuk sediaan. Ketersediaan zat
aktif ditetapkan oleh kecepatan pelepasan zat aktif dari bentuk sediaan, dimana pelepasan zat
aktif ditentukan oleh kecepatan melarutnya dalam media sekelilingnya (Tjay, 2002).
Lapisan difusi adalah lapisan molekul-molekul air yang tidak bergerak oleh adanya
kekuatan adhesi dengan lapisan padatan. Lapisan ini juga dikenal sebagai lapisan yang tidak
teraduk atau lapisan stagnasi. Tebal lapisan ini bervariasi dan sulit untuk ditentukan, namun
umumnya 0,005 cm (50 mikron) atau kurang (Tjay, 2002).
Hal-hal dalam persamaan Noyes Whitney yang mempengaruhi kecepatan melarut:
   Kenaikan dalam harga A menyebabkan naiknya kecepatan melarut
   Kenaikan dalam harga D menyebabkan naiknya kecepatan melarut
   Kenaikan dalam harga Cs menyebabkan naiknya kecepatan melarut
   Kenaikan dalam harga Ct menyebabkan naiknya kecepatan melarut
   Kenaikan dalam harga d menyebabkan naiknya kecepatan melarut
Hal-hal lainnya yang juga dapat mempengaruhi kecepatan melarut adalah :
        Naiknya temperatur menyebabkan naiknya Cs dan D
        Ionisasi obat (menjadi spesies yang lebih polar) karena perubahan pH akan menaikkan nilai
Cs (Ansel, 1989)

UJI DISOLUSI OBAT


Uji hancur pada suatu tablet didasarkan pada kenyataan bahwa, tablet itu pecah
menjadi partikel-partikel kecil, sehingga daerah permukaan media pelarut menjadi lebih luas,
dan akan berhubungan dengan tersedianya obat dalam cairan tubuh. Namun, sebenarnya uji
hancur hanya menyatakan waktu yang diperlukan tablet untuk hancur di bawah kondisi yang
ditetapkan. Uji ini tidak memberikan jaminan bahwa partikel-partikel itu akan melepas bahan
obat dalam larutan dengan kecepatan yang seharusnya. Oleh sebab itu, uji disolusi dan
ketentuan uji dikembangkan bagi hampir seluruh produk tablet. Laju absorpsi dari obat-obat
bersifat asam yang diabsorpsi dengan mudah dalam saluran pencernaan sering ditetapkan
dengan laju larut obat dalam tablet (Voigt, 1995).
Agar diperoleh kadar obat yang tinggi di dalam darah, maka kecepatan obat dan tablet
melarut menjadi sangat menentukan. Karena itu, laju larut dapat berhubungan langsung
dengan efikasi (kemanjuran) dan perbedaan bioavaibilitas dari berbagai formula. Karena itu,
dilakukannya evaluasi mengenai apakah suatu tablet melepas kandungan zat aktifnya atau
tidak bila berada di saluran cerna, menjadi minat utama dari para ahli farmasi (Voigt, 1995).
Diperkirakan bahwa pelepasan paling langsung obat dari formula tablet diperoleh
dengan mengukur bioavaibilitas in vivo. Ada berbagai alasan mengapa penggunaan in vivo
menjadi sangat terbatas, yaitu lamanya waktu yang diperlukan untuk merencanakan,
melakukan, dan mengitepretasi; tingginya keterampilan yang diperlukan bagi pengkajian
pada manusia.; ketepatan yang rendah serta besarnya penyimpangan pengukuran; besarnya
biaya yang diperlukan; pemakaian  manusia sebagai obyek bagi penelitian yang
“nonesensial”; dan keharusan menganggap adanya hubungan yang sempurna antara manusia
yang sehat dan tidak sehat yang digunakan dalam uji. Dengan demikian, uji disolusi secara in
vitro dipakai dan dikembangkan secara luas, dan secara tidak langsung dipakai untuk
mengukur bioavabilitas obat, terutama pada penentuan pendahuluan dari faktor-faktor
formulasi dan berbagai metoda pembuatan yang tampaknya akan mempengaruhi
bioavaibilitas. Seperti pada setiap uji in vitro, sangat penting untuk menghubungkan uji
disolusi dengan tes bioavaibilitas in vitro. Ada dua sasaran dalam mengembangkan uji
disolusi in vitro yaitu untuk menunjukkan :
1.      Penglepasan obat dari tablet kalau dapat mendekati 100%
2.      Laju penglepasan obat seragam pada setiap batch dan harus sama dengan laju penglepasan
dari batch yang telah dibuktikan bioavaibilitas dan efektif secara klinis (Shargel, 1988).
Tes kecepatan melarut telah didesain untuk mengukur berapa kecepatan zat aktif dari
satu tablet atau kapsul melarut ke dalam larutan. Hal ini perlu diketahui sebagai indikator
kualitas dan dapat memberikan informasi sangat berharga tentang konsistensi dari “batch”
satu ke “batch” lainnya. Tes disolusi ini didesain untuk membandingkan kecepatan
melarutnya suatu obat, yang ada di dalam suatu sediaan pada kondisi dan ketentuan yang
sama dan dapat diulangi (Shargel, 1988).
Kecepatan disolusi sediaan sangat berpengaruh terhadap respon klinis dari kelayakan
sistem penghantaran obat. Disolusi menjadi sifat sangat penting pada zat aktif yang
dikandung oleh sediaan obat tertentu, dimana berpengaruh terhadap kecepatan dan besarnya
ketersediaan zat aktif dalam tubuh. Jika disolusi makin cepat, maka absorbsi makin cepat. Zat
aktif dari sediaan padat (tablet, kapsul, serbuk, seppositoria), sediaan system terdispersi
(suspensi dan emulsi), atau sediaan-sediaan semisolid (salep,krim,pasta) mengalami disolusi
dalam media/cairan biologis kemudian diikuti absorbsi zat aktif ke dalam sirkulasi sistemik
(Voigt, 1995).
Kecepatan disolusi dalam berbagai keadaan dapat menjadi tahap pembatasan
kecepatan zat aktif ke dalam cairan tubuh. Apabila zat padat ada dalam saluran cerna, mama
terdapat dua kemungkinan tahap pembatasan kecepatan zat aktif tersebut, yaitu :
  Zat aktif mula-mula harus larut
  Zat aktif harus dapat melewati membrane saluran cerna (Voigt, 1995).
Analisis kecepatan disolusi zat aktif dari sediaannya merupakan analisis yang penting
dalam pengujian mutu untuk sediaan-sediaan obat. Analisis disolusi telah masuk persyaratan
wajib USP untuk persyaratan tablet dan kapsul, sejak tahun 1960. Berbagai studi telah
berhasil dalam korelasi disolusi invivo dengan disolusi invitro. Namun, disolusi bukan
merupakan suatu peramal koefisien terapi, tetapi disolusi lebih merupakan parameter mutu
yang dapat memberikan informasi berharga tentang ketersediaan hayati dari suatu produk
(Voigt, 1995).
Pengembangan dan penggunaan uji disolusi invitro untuk mengevaluasi dan
menggambarkan disolusi dan absorbsi invitro bertujuan :
a)      Untuk mengetahui kepentingan bahwa sifat-sifat fisikokimia yang ada dalam model disolusi
dapat berarti atau berpengaruh dalam proses invivo apabila dikembangkan suatu model yang
berhasil meniru situasi invivo
b)      Untuk menyaring zat aktif penting dikaitkan dengan formulasinya dengan sifat disolusi dan
absorbsinya sesuai.
c)      Sistem uji disolusi invitro dapat digunakan sebagai prosedur pengendalian mutu untuk
produk akhir.
d)      Menjamin kesetaraan hayati (bioekivalen) dari batch yang berbeda dari bentuk sediaan solid
apabila korelasi antara sifat disolusi dan ketersdiaan hayati telah ditetapkan.
e)      Metode yang baik sekali dan handal untuk memantau proses formulasi dan manufaktur.
f)        Penetapan kecepatan disolusi intrinsik berguna untuk mengetahui sifat disolusi zat aktif yang
baru.
g)      Agar sistem disolusi invitro bernilai maka system harus meniru secara dekat sistem invivo
sampai tingkat invitro-invivo yang konsisten tercapai. Oleh karena itu keuntungan dalam
biaya, tenaga kerja, kemudahan dapat diberikan dengan penggunaan sistem (Ansel, 1989).
Disolusi dapat terjadi langsung pada permukaan tablet, dari granul-granul bilamana
tablet telah pecah atau dari partikel-partikel halus bilamana granul-granul telah pecah. Pada
tablet yang tidak berdesintegrasi, kecepatan disolusinya ditentukan oleh proses disolusi dan
difusi. Namun demikian, bagi tablet yang berdesintegrasi, profil disolusinya dapat menjadi
sangat berbeda tergantung dari apakah desintegrasi atau disolusinya yang menjadi penentu
kecepatan (Ansel, 1989).

IV.        Alat dan Bahan


a.      Alat
1.      Alat Spektrofotometri
2.      Alat Uji disolusi
3.      Beaker glass
4.      Botol vial
5.      Kuvet
6.      Pipet tetes
7.      Syringe

b.      Bahan
1.      Aquadest
2.      Baku pembanding Glycerol Guaiakolat
3.      Tablet Glycerol Guaiakolat

V.           Prosedur
Pembuatan larutan baku
Baku glycerol guaiacolat sebanyak 222 mg ditimbang dan dilarutkan dalam 100 ml
air. Kemudian dibuat pengenceran bertingkat yaitu 70ppm, 60ppm, 50ppm, 40ppm, dan
30ppm. Setelah itu diukur absorbansinya dengan spektrofotometer pada panjang gelombang
maksimum. Lalu dibuat kurva baku dari hasil pengukuran.
Uji  Disolusi
Perlakuan pertama adalah dicari panjang gelombang serapan maksimum untuk baku
pembanding Glyceril Gualakoat. Langkah selanjutnya adalah tablet dicelupkan ke dalam
medium aquadest sampai ke dasar yang terdapat dalam labu sebanyak 900mL, suhu
dipertahankan pada 37.5oC, motor diatur pada kecepatan konstan 50 rpm. Kemudian cairan
sample diambil pada selang waktu menit ke 5, menit ke 15 , menit ke 25, menit ke 35, dan
menit ke 45 untuk menentukan jumlah obat dalam cairan itu. Kemudian diencerkan 1 mL dari
setiap cuplikan menjadi 10 mL dengan medium dan tentukan absorbansinya pada panjang
gelombang maksimum yang didapat pada percobaan. Untuk menentukan kadar obat maka
digunakan alat spektrophotometri dengan mengukur tingkat absorbansi-nya.

VI.        Data Pengamatan


1.      Pembuatan Kurva Kalibrasi
Tabel 1. Hasil pengukuran absorbansi larutan baku
No Konsentrasi Absorbansi rata-rata
1 30 ppm 0,311233
2 40 ppm 0,39670
3 50 ppm 0,495567
4 60 ppm 0,583667
5 70 ppm 0,66740

Kurva Kalibrasi

a = 0.008993
b = 0.04126
r = 0.999
persamaan garis linear à y = 0.008993x + 0.04126

2.      Pengukuran absorbansi 3 tablet hasil disolusi dengan interval waktu 5, 15, 25, 35, 45
menit
Tabel 2.1 Hasil pengukuran absorbansi tablet ke-1
Menit ke- A1 A2 A3 A rata-rata
5 0.277 0.2764 0.2763 0.2766
15 0.5118 0.5122 0.5123 0.5121
25 0.4875 0.4875 0.4877 0.4876
35 0.51 0.5076 0.5062 0.5079
45 0.4592 0.4593 0.4595 0.4593
Tabel 2.2 Hasil pengukuran absorbansi tablet ke-2
Menit ke- A1 A2 A3 A rata-rata
5 0.3893 0.3897 0.3891 0.3894
15 0.4657 0.4653 0.4654 0.4655
25 0.4729 0.4723 0.4728 0.4727
35 0.4498 0.4497 0.45 0.4498
45 0.4779 0.4768 0.4761 0.4769

Tabel 2.3 Hasil pengukuran absorbansi tablet ke-3


Menit ke- A1 A2 A3 A rata-rata
5 0.3475 0.3479 0.3484 0.3479
15 0.4392 0.44 0.4398 0.4397
25 0.4994 0.5001 0.5005 0.5
35 0.5189 0.5184 0.5181 0.5187
45 0.4934 0.4931 0.4929 0.4931

3.      Konsentrasi 3 tablet yang larut dalam interval waktu tertentu


Tabel 3. Hasil perhitungan konsentrasi obat yang terdisolusi (dalam mg/ml)
Menit ke- Tablet ke-1 Tablet ke-2 Tablet ke-3
5 0.026167 0.038712 0.034098
15 0.052356 0.047174 0.044306
25 0.049632 0.047975 0.051011
35 0.051889 0.045429 0.053902
45 0.046485 0.048442 0.050243

4.      Persentase disolusi 3 tablet dalam interval waktu tertentu


Tabel 4. Hasil perhitungan % disolusi tablet
Menit ke- Tablet ke-1 Tablet ke-2 Tablet ke-3
5 9.42 % 13.94 % 12.28 %
15 18.85 % 16.98 % 15.95 %
25 17.87 % 17.23 % 18.38 %
35 18.68 % 16.35 % 19.11 %
45 16.73 % 17.44 % 18.09 %

Kurva laju disolusi tablet glycerol guaiacolat

VII.     Perhitungan
Pembuatan Kurva Kalibrasi
a.       Pembuatan larutan stok
Baku yang digunakan : 222 mg dalam 100 ml
b.      Pengenceran larutan baku dengan variasi konsentrasi
  Konsentrasi 30 ppm
  Konsentrasi 40 ppm

  Konsentrasi 50 ppm

  Konsentrasi 60 ppm

  Konsentrasi 70 ppm

Perhitungan konsentrasi dan %disolusi

VIII.  Pembahasan
Disolusi obat adalah suatu proses hancurnya obat (tablet) dan terlepasnya zat-zat aktif
dari tablet ketika dimasukkan ke dalam saluran pencernaan dan terjadi kontak dengan cairan
tubuh.
Pada percobaan kali ini dilakukan uji laju disolusi terhadap tablet gliseril guaiakolat.
Tujuan dilakukannya uji laju disolusi yaitu untuk mengetahui seberapa cepat kelarutan suatu
tablet ketika kontak dengan cairan tubuh, sehingga dapat diketahui seberapa cepat keefektifan
obat yang diberikan tersebut.
Faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan pelarutan suatu zat yaitu temperatur,
viskositas, pH pelarut, pengadukan, ukuran partikel, polimorfisa, dan sifat permukaan zat.
Secara umum mekanisme disolusi suatu sediaan dalam bentuk tablet yaitu tablet yang
ditelan akan masuk ke dalam lambung dan di dalam lambung akan dipecah, mengalami
disintegrasi menjadi granul-granul yang kecil yang terdiri dari zat-zat aktif dan zat-zat
tambahan yang lain. Granul selanjutnya dipecah menjadi serbuk dan zat-zat aktifnya akan
larut dalam cairan lambung atau usus, tergantung di mana tablet tersebut harus bekerja.
Sebelum melakukan uji disolusi, terlebih dahulu dilakukan pembuatan kurva baku
sampel gliseril guaiakolat. Prosedur pembuatan kurva baku sampel gliseril guaiakolat dimulai
dengan menimbang sampel, kemudian sampel dimasukkan kedalam labu ukur 100 ml, dan
ditambahkan aquadest hingga mencapai tanda batas, dan dikocok hingga homogen. Larutan
tersebut merupakan larutan sampel standar. Selanjutnya adalah dibuat pengenceran menjadi
lima konsentrasi yang berbeda, yaitu 30 ppm, 40 ppm, 50 ppm, 60 ppm, dan 70 ppm.
Selanjutnya spektrofotometer UV-Vis disetting pada panjang gelombang dimana gliseril
guaiakolat memberikan absorbansi, yaitu pada panjang gelombang 274 nm. Masing-masing
sampel kemudian dianalisis dengan spektrofotometer UV-Vis, diukur absorbansi nya terlebih
dahulu. Absorbansi yang terbaca haruslah berada pada rentang 0.2 hingga 0.8, sesuai hukum
lambert-beer. Kemudian setelah absorbansinya berada pada rentang tersebut, kelima sampel
dianalisis. Hasil analisis masing-masing sampel dapat dilihat dibawah ini :
        Konsentrasi 30 ppm = 0,311233
        Konsentrasi 40 ppm = 0,39670
        Konsentrasi 50 ppm = 0,495567
        Konsentrasi 60 ppm = 0,583667
        Konsentrasi 70 ppm = 0,66740
Setelah diketahui hasilnya, dibuat kurva baku yang berisi perbandingan antara
konsentrasi dengan absorbansi. Kemudian dibuat persamaan garis nya dengan menggunakan
metode regresi linier, dan didapat persamaan nya adalah sebagai berikut : y =
0,008993x+0,04126. Dengan nilai r adalah 0,999. Nilai r yang didapat sangat baik, karena
nilai nya mendekati 1. Persamaan garis yang didapat tersebut nantinya akan digunakan untuk
menghitung kadar sampel gliseril guaiakolat pada uji disolusi.
Selanjutnya dilakukan uji disolusi. Mula-mula 1000 ml aquadest dipanaskan hingga
mencapai suhu 40oC dan sebelum digunakan suhu air harus dipertahankan pada suhu ± 37 oC
sesuai suhu tubuh. Selanjutnya 900 ml dari air tersebut dimasukkan ke dalam wadah gelas
yang terdapat di dalam alat disolusi. Alat disolusi yang digunakan diisi dengan aquadest
sebanyak ¾ bagian saja. Hal ini dilakukan untuk menganalogkannya dengan jumlah cairan
tubuh. Selanjutnya sampel tablet dimasukkan ke dalam keranjang saringan yang kecil yang
ada di dalam alat disolusi. Sampel tablet yang diuji adalah sebanyak 3 tablet. Sampel yang
digunakan di sini yaitu tablet gliseril guaiakolat. Setelah itu, keranjang dicelupkan ke dalam
pelarut. Alat disolusi lalu dinyalakan dan kecepatan diatur pada 100 rpm dan suhu 37 oC.
Suhu 37oC digunakan agar sama dengan suhu tubuh manusia.
Pada saat tablet dimasukkan ke dalam alat disolusi, stopwatch mulai dijalankan.
Pengambilan sampel dilakukan sebanyak 4 kali, yaitu pada menit ke-5, 15, 25, dan 35.
Setelah 5 menit sampel diambil sebanyak 5 ml menggunakan syringe yang berselang, dan
dimasukkan kedalam botol vial, kemudian kedalam alat disolusi yang berisi tablet gliseril
guaiakolat yang telah diambil sampel larutannya sebanyak 5 ml, ditambahkan aquadest
sebanyak 5 ml juga. Tujuannya untuk mengembalikan jumlah pelarut seperti semula karena
pelarut dianalogikan sebagai cairan tubuh. Diulangi prosedur tersebut pada menit ke 15, 25,
dan 35. Pengambilan pelarut diambil sekitar 1 cm keranjang tempat tablet. Hal ini dilakukan
karena pada bagian tersebut dianggap merupakan bagian yang diabsorpsi oleh darah.
Setelah dilakukan pengambilan sampel, dilakukan analisis dengan menggunakan
instrument. Instrument yang digunakan dalam analisis tersebut adalah spektrofotometer UV-
Vis double beam. Analisis dilakukan secara bertahap dimulai dari tablet 1 hingga tablet 3
(masing-masing menit ke-5, 15, 25, dan 35). Sehingga total sampel yang dianalisis adalah
sebanyak 12 sampel yang berada pada 12 botol vial yang berbeda. Pertama, dilakukan
analisis terhadap blanko sampel (aquadest). Selanjutnya diikuti analisis 12 sampel tersebut.
Kemudian dibuat rata-rata berdasarkan nilai absorbansi yang terbaca pada alat. Hal yang
perlu diperhatikan dalam analisis dengan menggunakan instrument spektrofotometer UV-Vis
double beam adalah saat pengisian sampel kedalam kuvet, jari tangan jangan sampai
menyentuh bagian licin dari kuvet, karena jika jari tangan menyentuh bagian tersebut, maka
protein akan menempel pada bagian licin daripada kuvet, yang mengakibatkan hasil analisis
menjadi tidak akurat lagi. Selain itu, alat juga perlu disetting pada panjang gelombang
tertentu sesuai dengan sampel yang akan dianalisis.
Uji disolusi dapat digunakan untuk menentukan persentasi ketersediaan obat dalam
sirkulasi sistemik pada waktu tertentu, hal ini berhubungan dengan bio-availabilitas yang
dapat menjadi parameter efikasi (kemanjuran) dan mutu suatu produk obat. Disolusi obat
adalah suatu proses pelarutan senyawa aktif dari bentuk  sediaan padat ke dalam media
pelarut. Pelarutan suatu zat aktif sangat penting artinya karena ketersediaan suatu obat sangat
tergantung dari kemampuan zat tersebut melarut  ke dalam media pelarut sebelum diserap ke
dalam tubuh.
Suatu bahan obat yang diberikan dengan cara apapun dia harus memiliki daya larut
dalam air untuk kemanjuran terapeutiknya. Senyawa-senyawa yang relatif tidak dapat
dilarutkan mungkin memperlihatkan absorpsi yang tidak sempurna, atau tidak menentu
sehingga menghasilkan respon terapeutik yang minimum. Daya larut yang ditingkatkan dari
senyawa-senyawa ini mungkin dicapai dengan menyiapkan lebih banyak turunan yang larut,
seperti garam dan ester dengan teknik seperti mikronisasi obat atau kompleksasi.
Ada tiga kegunaan uji disolusi yaitu menjamin keseragaman satu batch, menjamin
bahwa obat akan memberikan efek terapi yang diinginkan, dan Uji disolusi diperlukan dalam
rangka pengembangan suatu obat baru. Obat yang telah memenuhi persyaratan keseragaman
bobot, kekerasan, kerenyahan, waktu hancur dan penetapan kadar zat berkhasiat belum dapat
menjamin bahwa suatu obat memenuhi efek terapi, karena itu uji disolusi harus dilakukan
pada setiap produksi tablet.
Tahapan yang dilakukan setelah pengujian disolusi adalah pengukuran absorbansi
melalui alat spektrofotometer uv-vis di panjang gelombang maksimumnya yaitu 274 nm.
Hasil yang didapatkan adalah :

1.      Tablet 1
-         Menit ke 5 = 0,2766
-         Menit ke 15 = 0,5121
-         Menit ke 25 = 0,4876
-         Menit ke 35 = 0,5079
-         Menit ke 45 = 0,4593
2.      Tablet 2
-         Menit ke 5 = 0,3894
-         Menit ke 15 = 0,4655
-         Menit ke 25 = 0,4727
-         Menit ke 35 = 0,4498
-         Menit ke 45 = 0,4769
3.      Tablet 3
-         Menit ke 5 = 0,3479
-         Menit ke 15 = 0,4397
-         Menit ke 25 = 0,5
-         Menit ke 35 = 0,5187
-         Menit ke 45 = 0,4931

Dari hasil percobaan tersebut terlihat bahwa absorbansi yang dihasilkan kurang tepat
karena seiring peningkatan waktu seharusnya absorbansinya meningkat tetapi dari data
terlihat bahwa absorbansinya naik dan kemudian di menit selanjutnya turun kembali. Hal ini
dapat disebabkan karena pada saat uji disolusi dilakukan terdapat pengotor atau kontaminan
pada aquadest yang digunakan sebagai medium disolusi dan saat pemasukkan aquadest setiap
10 menit sekali sebagai pengganti larutan yang diambil. Hal ini menyebabkan kontaminan
tersebut terserap juga absorbansinya pada alat sehingga hasil absorbansi menjadi kurang
akurat. Tetapi hasil absorbansi yang dihasilkan pada uji ini baik karena memenuhi hukum
lambert-beer yaitu 0,2-0,8.
Persyaratan uji disolusi dipenuhi bila jumlah zat aktif yang terlarut dari sediaan yang
diuji sesuai dengan tabel penerimaan. Pengujian dilakukan sampai tiga tahap. Pada tahap 1
(S1), 6 tablet diuji. Bila pada tahap ini tidak memenuhi syarat, maka akan dilanjutkan ke

tahap berikutnya yaitu tahap 2 (S2). Pada tahap ini 6 tablet tambahan diuji lagi. Bila tetap

tidak memenuhi syarat, maka pengujian dilanjutkan lagi ke tahap 3 (S 3 ). Pada tahap ini 12

tablet tambahan diuji lagi. Kriteria penerimaan hasil uji disolusi dapat dilihat sesuai dengan
tabel dibawah ini.

Tabel. 2.1. Penerimaan Hasil Uji Disolusi


Jumlah Sediaan
Tahap Kriteria Penerimaan
yang diuji
S1 6 Tiap unit sediaan tidak kurang dari Q +
5%
S2 6 Rata – rata dari 12 unit (S1+ S2) adalah
sama dengan atau lebih besar dari Q dan
tidak satu unit sediaan yang lebih kecil
dari
Q – 15%

S3 12 Rata – rata dari 24 unit (S1+ S2+ S3 )


adalah sama dengan atau lebih besar
dari Q, tidak lebih dari 2 unit sediaan
yang lebih kecil dari Q – 15% dan tidak
satupun unit yang lebih kecil dari Q –
25%

Harga Q adalah jumlah zat aktif yang terlarut dalam persen dari jumlah yang tertera
pada etiket. Angka 5% dan 15% dalam tabel adalah persentase kadar pada etiket, dengan
demikian mempunyai arti yang sama dengan Q. Kecuali dinyatakan lain dalam masing-
masing monografi, persyaratan umum untuk penetapan satu titik tunggal ialah terdisolusi
75% dalam waktu 45 menit dengan menggunakan alat 1 pada 100 rpm atau alat 2 pada 50
rpm.
Perhitungan hasil dari uji disolusi dilakukan menggunakan rumus :
% disolusi =
Pengujian dilakukan terhadap tiga tablet untuk membandingkan hasil pada satu tablet
dengan tablet yang lainnya dan meminimalisir terjadinya kesalahan sehingga pengukuran
dilakukan berulang. Hasil yang didapatkan melalui perhitungan adalah :

1.      Tablet 1
Menit ke 5 = 9,16075%
Menit ke 15 = 18,32776%
Menit ke 25 = 17,37406%
Menit ke 35 = 18,16425%
Menit ke 45 = 16,27248%
2.      Tablet 2
Menit ke 5 = 13,53578%
Menit ke 15 = 16,49457%
Menit ke 25 = 16,77451%
Menit ke 35 = 15,88415%
Menit ke 45 = 16,93780%
3.      Tablet 3
Menit ke 5 = 11,90375%
Menit ke 15 = 15,46742%
Menit ke 25 = 17,80827%
Menit ke 35 = 18,5342%
Menit ke 45 = 17,54041%

      Dari hasil perhitungan tersebut terlihat bahwa nilai % disolusi ada yang naik
kemudian turun kembali di selang 10 menit setelahnya. Seharusnya % disolusi meningkat
seiring bertambahnya waktu dan mencapai 75% di menit 45 sesuai persyaratan uji disolusi.
Hal ini dapat terjadi disebabkan karena faktor pengikat dan disintegran. Dimana bahan
pengikat dan disintegran mempengaruhi kuat tidaknya ikatan partikel-partikel dalam tablet
tersebut sehingga mempengaruhi pula kemudahan cairan untuk masuk berpenetrasi ke dalam
lapisan difusi tablet menembus ikatan-ikatan dalam tablet tersebut. Dalam hal ini pemilihan
bahan pengikat dan disintegran dan bobot dari penggunaan bahan pengikat dan disintegran
sangat berpengaruh terhadap laju disolusi. Selain itu penyebab lain yang mungkin adalah
formulasi dari sediaan tablet yang kurang baik. Faktor formulasi yang mempengaruhi laju
disolusi diantaranya kecepatan disintegrasi, interaksi obat dengan eksipien (bahan tambahan)
dan kekerasan.  Faktor lain yang menyebabkan hasil percobaan tidak akurat adalah kecepatan
pengadukan saat uji. Pengadukan mempengaruhi penyebaran partikel-partikel dan tebal
lapisan difusi sehingga memperluas permukaan partikel yang kontak dengan pelarut.
Semakin lama kecepatan pengadukan maka laju disolusi akan semakin tinggi. Pada
percobaan ini kecepatan pengadukannya rendah sehingga % disolusi yang dihasilkan pun
rendah.
Selain itu Faktor-faktor kesalahan yang mungkin mempengaruhi hasil yang diperoleh
antara lain :
o   Suhu larutan disolusi yang tidak konstan.
o   Ketidaktepatan jumlah dari medium disolusi, setelah dipipet beberapa ml.
o   Terjadi kesalahan pengukuran pada waktu pengambilan sampel menggunakan pipet volume.
o   Terdapat kontaminasi pada larutan sampel.
o   Suhu yang dipakai tidak tepat.

IX.        Kesimpulan
Berdasarkan hasil percobaan, diperoleh %disolusi tablet glycerol guaikolat setelah 45
menit yaitu antara 16 – 18 %. Hal ini menunjukkan bahwa %disolusi glycerol guaikolat tidak
memenuhi syarat pada Farmakope Indonesia yang menyebutkan bahwa ‘dalam waktu 45
menit harus larut tidak kurang dari 75 %’ sehingga bisa dikatakan %disolusi tablet
glycerolguaikolat pada percobaan tidak bagus.
DAFTAR PUSTAKA

Amir, Syarif.dr, dkk.2007. Farmakologi dan Terapi. Edisi kelima. Gaya Baru. Jakarta.
Ansel, C Howard. 1989. Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi. Edisi keempat. Penerjemah
Farida Ibrahim. Universitas Indonesia Press. Jakarta.
Shargel, Leon, dan Andrew B.C.Y.U. 1988. Biofarmasi dan Farmakokinetika          
Terapan.          Edisi II. Penerjemah Dr. Fasich, Apt. dan Dra. Siti    Sjamsiah, Apt. Airlangga
University Press. Surabaya.
Tjay, Hoan Tan dan Kirana Rahardja. 2002. Obat-obat Penting Khasiat, Penggunaan, dan Efek-efek
Sampingnya. Edisi kelima. Cetakan kedua. PT. Elex Media Komputindo Kelompok
Gramedia. Jakarta:
Voigt, 1995. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Universitas Gadjah Mada   Press.
Yogyakarta.

Read more: http://laporanakhirpraktikum.blogspot.com/2013/06/g.html#ixzz3VJpzCPlj

DASAR TEORI
Disolusi obat adalah suatu proses pelarutan senyawa aktif dari bentuk sediaan padat ke dalam media pelarut. Pelarut suatu zat aktif sangat

penting artinya karena ketersediaan suatu obat sangat tergantung dari kemampuan zat tersebut melarut ke dalam media pelarut. Pelarut suatu zat aktif

sangat penting artinya karena ketersediaan suatu obat sangat tergantung dari kemampuan zat tersebut melarut ke dalam media pelarut sebelum diserap

ke dalam tubuh. Sediaan obat yang harus diuji disolusinya adalah bentuk padat atau semi padat yaitu bentuk tablet, kapsul dan salep (Martin,1993)

Agar suatu obat diabsorbsi, mula-mula obat tersebut harus larut dalam cairan pada tempat absorpsi. Dalam hal ini dimana kelarutan suatu

obat tergantung dari apakah medium asam atau medium basa, obat tersebut akan dilarutkan berturut-turut dalam lambung dan dalam usus halus.

Proses melarutnya suatu obat disebut disolusi (Ansel, 1989).

Jika proses disolusi untuk suatu partikel obat tertentu adalah cepat atau jika obat diberikan sebagai suatu larutan dan tetap ada dalam

tubuh seperti itu, laju obat yang terabsorbsi terutama akan tergantung pada kesanggunpannya menembeus pembatas membrane. Tetapi, jika disolusi

untuk suatu partikel obat lambat, misalnya mungkin karena karakteristik zat obat atau bentuk dosis yang diberikan, proses disolusinya sendiri akan

merupakan tahap yang menentukan laju dalam proses absorbsi (Ansel, 1989)

Penentuan kecepatan pelarutan suatu zat dapat dilakukan dengan metode: (Effendi, 2005)

1.      Metode suspensi

Bubuk zatpadat ditambahkan pada pelarut tanpa pengontrolan yang eksak terhadap luas pemukaan partikelnya. Sample diambil pada waktu-waktu

tertentu dan jumlah zat yang terlarut ditentukan dengan cara yang sesuai.

2.      Metode permukaan konstan

Zat ditempatkan dalam suatu wadah yang diketahui luasnya, sehingga variable perbedaan luas permukaan efektif dapat dihilangkan. Biasanya zat

dibuat tablet terlebih dahulu. Kemudian sampel ditentukan seperti pada metode suspensi.
Kecepatan pelarutan berbanding lurus dengan luas permukaan bahan padat, koefisien difusi, serta berbanding lurus dengan turunnya

konsentrasi pada waktu t. Kecepatan pelarutan ini juga berbanding terbalik dengan tebal lapisan difusi. Pelepasan zat aktif dari suatu produk obat

sangat dipengaruhi oleh sifat fisikokimia zat aktif dan bentuk sediaan. Ketersediaan zat aktif ditetapkan oleh kecepatan pelepasan zat aktif dari bentuk

sediaan, dimana pelepasan zat aktif ditentukan oleh kecepatan melarutnya dalam media sekelilingnya (Tjay, 2002).

Agar suatu obat diabsorbsi, mula-mula obat tersebut harus larutan dalam cairan pada tempat absorbsi. Sebagai contoh, suatu obat yang

diberikan secara oral dalam bentuk tablet atau kapsul tidak dapat diabsorbsi sampai partikel-partikel obat larut dalam cairan   pada suatu tempat dalam

saluran lambung-usus. Dalam hal dimana kelarutan suatu obat tergantung dari apakah medium asam atau medium basa, obat tersebut akan dilarutkan

berturut-turut dalam lambung dan dalam usus halus. Proses melarutnya suatu obat disebut disolusi (Ansel, 1985).

Pelepasan zat aktif dari suatu produk obat sangat dipengaruhi oleh sifat fisikokimia zat aktif dan bentuk sediaan. Ketersediaan zat aktif

biasanaya ditetapkan oleh kecepatan pelepasan zat aktif dari bentuk sediaannya. Pelepasan zat aktif dari bentuk sediaan biasanya ditenmtukan oleh

kecepatan melarutnya dalam media sekelilingnya (Amir, 2007).

Disolusi adalah suatu jenis khusus dari suatu reaksi heterogen yang menghasilkan transfer massa karena adanya pelepasan dan

pemindahan menyeluruh ke pelarut dari permukaan padat. Teori disolusi yang umum adalah: (Amir, 2007).

1.      Teori film (model difusi lapisan)

2.      Teori pembaharuan-permukaan dari Danckwerts (teori penetrasi)

3.      Teori Solvasi terbatas/Inerfisial

Kecepatan disolusi merupakan kecepatan zat aktif larut dari suatu bentuk sediaan utuh/ pecahan/ partikel yang berasal dari bentuk sediaan

itu sendiri. Kecepatan disolusi zat aktif dari keadaan polar atau dari sediaannya didefinisikan sebagai jumlah zat aktif yang terdisolusi per unit waktu

di bawah kondisi antar permukaan padat-cair, suhu dan kompisisi media yang dibakukan  (Shargel, 1988).

Tes  kecepatan melarut telah didesain untuk mengukur berapa kecepatan zat aktif dari satu tablet atau kapsul melarut ke dalam larutan.

Hal ini perlu diketahui sebagai indikator kualitas dan dapat memberikan informasi sangat berharga tentang konsistensi dari “batch” satu ke “batch”

lainnya. Tes disolusi ini didesain untuk membandingkan kecepatan melarutnya suatu obat, yang ada di dalam suatu sediaan pada kondisi dan

ketentuan yang sama dan dapat diulangi (Shargel, 1988).

Kecepatan disolusi sediaan sangat berpengaruh terhadap respon klinis dari kelayakan sistem penghantaran obat. Disolusi menjadi sifat

sangat penting pada zat aktif yang dikandung oleh sediaan obat tertentu, dimana berpengaruh terhadap kecepatan dan besarnya ketersediaan zat aktif

dalam tubuh. Jika disolusi makin cepat, maka absorbsi makin cepat. Zat aktif dari sediaan padat (tablet, kapsul, serbuk, seppositoria), sediaan system

terdispersi (suspensi dan emulsi), atau sediaan-sediaan semisolid (salep,krim,pasta) mengalami disolusi dalam media/cairan biologis kemudian diikuti

absorbsi zat aktif ke dalam sirkulasi sistemik (Voigt, 1995).

Bila suatu tablet atau sediaan obat lainnya dimasukkan dalam saluran cerna, obat tersebut mulai masuk ke dalam larutan dari bentuk

padatnya. Kalau tablet tersebut tidak dilapisi polimer, matriks padat juga mengalami disintegrasi menjadi granul-granul, dan granul-granul ini

mengalami pemecahan menjadi partikel-partikel halus. Disintegrasi, deagregasi dan disolusi bisa berlangsung secara serentak dengan melepasnya

suatu obat dari bentuk dimana obat tersebut diberikan (Martin, 1993).

Mekanisme disolusi, tidak dipengaruhi oleh kekuatan kimia atau reaktivitas partikel-partikel padat terlarut ke dalam zat cair, dengan

mengalami dua langkah berturut-turut: (Gennaro, 1990)

1.      Larutan dari zat padat pada permukaan membentuk lapisan tebal yang tetap atau film disekitar partikel

2.      Difusi dari lapisan tersebut pada massa dari zat cair.

Langkah pertama,. larutan berlangsung sangat singkat. Langka kedua, difusi lebih lambat dan karena itu adalah  langkah terakhir.

Adapun mekanisme disolusi dapat digambarkan sebagai berikut :

Massa larutan dengan konsentrasi = Ct


Kristal
Lapisan film (h) dgn konsentrasi = Cs
 

                                         Difusi layer model (theori film)

Pada waktu suatu partikel obat memngalami disolusi, molekul-molekul obat pada permukaan mula-mula masuk ke dalam larutan

menciptakan suatu lapisan jenuh obat-larutan yang membungkus permukaan partikel obat padat. Lapisan larutan ini dikenal sebagai lapisan difusi.

Dari lapisan difusi ini, molekul-molekul obat keluar melewati cairan yang melarut dan berhubungan dengan membrane biologis serta absorbsi terjadi.

Jika molekul-molekul obat terus meninggalkan larutan difusi, molekul-molekul tersebut diganti dengan obat  yang dilarutkan dari permukaan partikel

obat dan proses absorbsi tersebut berlanjut (Martin, 1993).

Jika proses disolusi untuk suatu partikel obat tertentu adalah cepat, atau jika obat diberikan  sebagai suatu larutan  dan tetap ada dalam

tubuh seperti itu, laju obat yang terabsorbsi terutama akan tergantung pada kesanggupannya menembus   menembus pembatas membran. Tetapi, jika

laju disolusi  untuk suatu partikel obat lambat, misalnya mungkin karena karakteristik zat obat atau bentuk dosis yang diberikan , proses disolusinya

sendiri akan merupakan tahap yang menentukan laju dalam proses absorbsi. Perlahan-lahan obat yang larut tidak hanya bisa diabsorbsi pada suatu

laju rendah, obat-obat tersebut mungkin tidak seluruhnya diabsorbsi atau dalam beberapa hal banyak yang tidak diabsorbsi setelah pemberian ora,

karena batasan waaktu alamiah bahwa obat bisa tinggal dalam lambung atau saluran usus halus (Martin, 1993).

Pemikiran awal dilakukannya uji hancurnya tablet didasarkan pada kenyataan bahwa tablet itu pecah menjadi lebih luas dan akan

berhubungan dengan tersedianya obat di dalam cairan tubuh. Namun sebenarnya uji hancur hanya waktu yang diperlukan tablet untuk hancur di

bawah kondisi yang ditetapkan dan lewatnya partikel melalui saringan. Uji ini tidak memberi jaminan bahwa partikel-partilkel tersebut akan melepas

bahan obat dalam larutan dengan kecepatan yang seharusnya. Untuk itulah sebabnya uji disolusi dan ketentuan uji dikembangkan bagi hampir seluruh

produk tablet  (Martin, 1993).

Pelepasan dari bentuk-bentuk sediaan dan kemudian absorpsi dalam tubuh dikontrol oleh sifat fisika kimia dari obat dan bentuk yang

diberikan, serta sifat-sifat fisika kimia dan fisiologis dari system biologis. Konsentrasi obat, kelarutan dalam air, ukuran molekul, bentuk kristal,

ikatan protein, dan pKa adalah faktor-faktor fisika kimia yang harus dipahami untuk mendesain system pemberian (Martin, 1993).

Obat-obat yang diberikan dalam bentuk larutan biasanya diabsorpsi lebih cepat dibandingkan pemberian dalam bentuk padat, karena tidak

membutuhkan prose melarut (Ansel, 1989).

Disolusi dari suatu partikel obat dikontrol oleh beberapa sifat fisika-kimia, termasuk bentuk kimia, kebiasaan kristal, ukuran partikel,

kelarutan, luas permukaan, dan sifat-sifat pembasahan. Bila data kelarutan kesetimbangan dirangkaikan, maka eksperimen disolusi dapat membantu

mengidentifikasi daerah masalah bioavailabilitas potensial (Lachman, 1994).

Obat dapat diubah dalam system saluran cerna menjadi berbagai bentuk yang menjadikannya kurang atau lebih lambat tersedia untuk

diabsorpsi. Perubahan ini mungkin disebabkan oleh penggabungan atau berikatannya obat-obat dengan beberapa bahan lain yang mungkin berupa

suatu unsure yang normal dari system saluran cerna atau suatu bahan makanan atau bahan obat lain. (Ansel, 1989)

Dalam bidang farmasi, penentuan kecepatan pelarutan suatu zat perlu dilakukan karena kecepatan pelarutan suatu zat aktif dapat

dilakukan pada beberapa tahap pembuatan sediaan obat yaitu : tahap preformulasi, tahap formulasi, dan tahap produksi (Effendi, 2005).

Beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi disolusi adalah luas permukaan, bentuk obat kristal dan amorf, bentuk garam, atau faktor

lainnya yaitu keadaan hidrasi dari suatu obat dapat mempengaruhi kelarutan dan pola absorpsi. Biasanya bentuk anhidrat dari suatu molekul organic

lebih mudah larut daripada anhidratnya (Ansel, 1989).


Analisis kecepatan disolusi zat aktif dari sediaannya merupakan analisis yang penting dalam pengujian mutu untuk sediaan-sediaan

obat. Analisis disolusi telah masuk persyaratan wajib USPuntuk persyaratan tablet dan kapsul, sejak tahun 1960. Berbagai studi telah berhasil dalam

korelasi disolusi invivo dengan disolusi invitro. Namun, disolusi bukan merupakan suatu peramal koefisien terapi, tetapi disolusi lebih merupakan

parameter mutu yang dapat memberikan informasi berharga tentang ketersediaan hayati dari suatu produk (Voigt, 1995).

Pengembangan dan penggunaan uji disolusi invitro untuk mengevaluasi dan menggambarkan disolusi dan absorbsi invitro bertujuan :

(Ansel, 1989).

a)      Untuk mengetahui kepentingan bahwa sifat-sifat fisikokimia yang ada dalam model disolusi dapat berarti atau berpengaruh dalam proses invivo

apabila dikembangkan suatu model yang berhasil meniru situasi invivo

b)      Untuk menyaring zat aktif penting dikaitkan dengan formulasinya dengan sifat disolusi dan absorbsinya sesuai.

c)      Sistem uji disolusi invitro dapat digunakan sebagai prosedur pengendalian mutu untuk produk akhir.

d)      Menjamin kesetaraan hayati (bioekivalen) dari batch yang berbeda dari bentuk sediaan solid apabila korelasi antara sifat disolusi dan ketersdiaan

hayati telah ditetapkan.

e)      Metode yang baik sekali dan handal untuk memantau proses formulasi dan manufaktur.

f)        Penetapan kecepatan disolusi intrinsik berguna untuk mengetahui sifat disolusi zat aktif yang baru.

g)      Agar sistem disolusi invitro bernilai maka system harus meniru secara dekat sistem  invivo sampai tingkat invitro-invivo yang konsisten tercapai.

Oleh karena itu keuntungan dalam biaya, tenaga kerja, kemudahan dapat diberikan dengan penggunaan sistem 

Disolusi dapat terjadi langsung pada permukaan tablet, dari granul-granul bilamana tablet telah pecah atau dari partikel-partikel halus

bilamana granul-granul telah pecah. Pada tablet yang tidak berdesintegrasi, kecepatan disolusinya ditentukan oleh proses disolusi dan difusi. Namun

demikian, bagi tablet yang berdesintegrasi, profil disolusinya dapat menjadi sangat berbeda tergantung dari apakah desintegrasi atau disolusinya yang

menjadi penentu kecepatan (Ansel, 1989).


II.2   URAIAN BAHAN

       Air Suling (DitjenPOM, 1979 : 96 )


Nama Resmi : AQUA DESTILLATA
Nama Lain : Air suling, aquadest
RM/BM : H2O / 18,02
Rumus Struktur : H-O-H
Pemerian : Cairan jernih, tidak berwarna, tidak berasa, tidak mempunyai bau.
Penyimapanan : Dalam wadah tertutup rapat
Kegunaan : Sebagai pelarut

      Parasetamol (DitjenPOM, 1979 : 37 )


Nama Resmi : ACETAMINOPHENUM
Nama Lain : Parasetamol
RM/BM : C8H9NO2 / 151,16
Pemerian : Hablur atau serbuk hablur putih: tidak berbau : rasa pahit.
Penyimapanan : Dalam wadah tertutup rapat
Kegunaan : Sebagai zat uji
II.3   Prosedur Kerja (Anonim, 2013)

1.     Pengaruh suhu terhadap kecepatan disolusi zat

         Isilah bejana dengan 900 ml.

         Pasang thermostat pada suhu 30oC.

         Jika suhu air di dalam bejana mencapai 30oC,masukkan 2 g asam salisilat dan hidupkan motor penggerak pada kecepatan 50 rpm.

         Ambil sebanyak 20 ml air dari bejana setiap selang waktu 1, 5, 10, 15,20, 25, dan 30 menit setelah pengadukan . Setiap selesai pengambilan sampel,

segera digantikan dengan 20 ml air.

         Tentukan kadar asam salisilat terlarut dari setiap sampel dengan cara titrasi asam-basa menggunakan NaOH 0,05 N dan indikator fenoftalein.

Lakukan koreksi perhitungan kadar yang diperoleh setiap waktu terhadap pengenceran yang dilakukan karena penggantian larutan dengan air suling.

         Lakukan percobaan yang sama untuk suhu 40oC dan suhu 50oC.

         Tabelkan hasil yang diperoleh.

         Buat kurva antara konsentrasi asam salisilat yang diperoleh dengan waktu untuk setiap satuan waktu (dalam satu grafik).

2.     Pengaruh kecepatan pengadukan terhadap kecepatan disolusi zat

         Isilah bejana dengan 900 ml.

         Pasang thermostat pada suhu 30oC.

         Jika suhu air di dalam bejana mencapai 30oC,masukkan 2 g asam salisilat dan hidupkan motor penggerak pada kecepatan 50 rpm.

         Ambil sebanyak 20 ml air dari bejana setiap selang waktu 1, 5, 10, 15,20, 25, dan 30 menit setelah pengadukan . Setiap selesai pengambilan sampel,

segera digantikan dengan 20 ml air.

         Tentukan kadar asam salisilat terlarut dari setiap sampel dengan cara titrasi asam-basa menggunakan NaOH 0,05 N dan indikator fenoftalein.

Lakukan koreksi perhitungan kadar yang diperoleh setiap waktu terhadap pengenceran yang dilakukan karena penggantian larutan dengan air suling.

         Lakukan percobaan yang sama untuk kecepatan 100 dan 500 rpm.

         Tabelkan hasil yang diperoleh.

         Buat kurva antara konsentrasi asam salisilat yang diperoleh dengan waktu untuk setiapmsatuan waktu (dalam satuan grafik).
BAB III

METODE KERJA

III.1  ALAT DAN BAHAN

1.      Alat-alat yang digunakan

Alat yang dipakai pada praktikum ini adalah  alat uji disolusi tipe 2 (dayung), gelas kimia 50 ml, kuvet, pipet volume 5 ml, pipet volume 10

ml, spektrofotometer  dan vial.

2.      Bahan-bahan yang digunakan

Bahan yang digunakan pada praktikum ini adalah air steril, etiket, parasetamol 500 mg dan parasetamol p.a.

III.2  CARA KERJA

  Prosedur penggunaan alat uji disolusi

1.      SWITCH ON pemanas lampu dan LED hijau akan menyala dan LCD juga akan menyala.

2.      Pesan akan nampak pada display yaitu: VEEGO TABLET DISSOLUTION.

3.      Kemudian pesan itu akan berubah menjadi: TANK WARMING 29,9 o HEATER ON.

4.      Pemanas akan terus on hingga suhu mencapai 38,0o C.

5.      Ketika suhu telah mencapai 38,0o C akan timbul suara agak panjang dan pesan akan berubah menjadi START TEST.

6.      Untuk mengatur tanggal dan waktu, tekan SET CLOCK , lalu atur waktu dan tanggal.

7.      Untuk mengatur interval waktu, tekan SET INTERVAL kemudian atur waktunya tekan ENTER.

8.      Untuk mengatur suhu tekan SET TEMPT lalu atur suhunya dan tekan ENTER.

9.      Untuk mengatur kecepatan putar, tekan SET RPM atur RPMnya kemudian tekan ENTER.

10.  Untuk mengatur no.batch tekan BATCH NO ketikkan no batch lalu tekan ENTER.

11.  Pelaksanaan test tekan START TEST dan akan muncul pesan: BEAKER WARMING 36,9 oC HEATER ON.

12.  Setelah 45 menit suhu digelas kimia juga akan mencapai 37,0 oC dan akan muncul suara beep agak panjang. Pesan berubah menjadi: INSERT SAMPLE

ENTER TO START.

13.  Masukkan tablet atau kapsul ke dalam keranjang kemudian tekan ENTER.

  Prosedur penggunaan spektrofotometer

1.      Sambungkan ke sumber arus listrik

2.      Putar / set tombol turn ON

3.      Panaskan selama minimum 15 menit

4.      Putar / set zero (nol)

5.      Putar / set panjang gelombang

6.      Masukkan kuvet berisi blanko

7.      Putar / set skala penuh sampai jarum menunjukkan angka 0 (absorban) atau angka 100 (transmitan)

8.      Masukkan kuvet yang berisi sampel yang akan diukur

9.      Lihat / catat persen transmitan (%T) atau absorban (A)

10.  Putar / set turn OFF

11.  Lepaskan kabel / cabut dari sumber arus listrik

  Pengukuran absorban paracetamol

1.      Disiapkan alat dan bahan.


2.      Disiapkan alat uji disolusi dan dimasukkan 900 ml air steril pada medium dan diuji dengan menggunakan metode dayung.

3.      Dimasukkan tablet paracetamol ke dalam medium.

4.      Dilakukan pengadukan dengan kecepatan 50 rpm, dan tiap 5 menit dipipet 5 ml absorban menggunakan pipet volume 5 ml. Bersamaan dengan

diambil 5 ml dimasukkan lagi 5 ml air steril ke dalam medium hingga menit ke 30.

5.      Dimasukkan setiap absorban yang dipipet pada interval waktu 5 menit ke dalam masing-masing vial dan ditutup dengan aluminium foil.

6.      Diukur nilai absorban air steril dengan menggunakan spektrofotometer.

7.      Diukur nilai absorban paracetamol menggunakan spektrofotometer.

8.      Dicatat hasilnya dan dibuat dalam tabel

BAB V

PEMBAHASAN

Disolusi adalah suatu proses melarutnya senyawa aktif dari bentuk sediaan padat ke dalam medium pelarut. Pelarutan suatu zat aktif

sangat penting artinya karena ketersediaan suatu obat sangat tergantung dari kemampuan zat tersebut melarut  ke dalam media pelarut sebelum

diserap ke dalam tubuh.

Adapun aplikasi dalam bidang farmasi yaitu penentuan bentuk-bentuk sediaan yang akan dibuat sesuai dengan sifat zat aktif sehingga

dicapai kecepatan pelarutan dalam cairan tubu sehingga dicapai kecepatan pelarutan dalam cairan tubuh sehingga cepat diabsorbsi dan cepat

memberikan efek farmakologinya.

Sampel yang digunakan pada praktikum ini yaitu parasetamol 500 mg, air steril sebagai medium disolusi dan parasetamol p.a sebagai

pembanding.

Tujuan dari percobaan ini adalah untuk menentukan kecepatan disolusi dari paracetamol 500 mg dan mengetahui cara penggunaan alat

uji disolusi.

Pada percobaan ini ada 2 alat yang digunakan yaitu alat uji disolusi (tablet dissolution test apparatus) tipe 2 (dayung) dan

spektrofotometer.

Prinsip kerja dari tablet dissolution test apparatus yaitu pada saat tablet dimasukkan ke dalam medium disolusi maka tablet akan

mengalami proses disolusi sesuai dengan lama waktu disolusi tablet tersebut.

Prinsip kerja dari spektrofotometer yaitu sinar/cahaya yang datang melalui sampel sebagian akan diserap terhitung sebagai absorban (A)

dan sebagian lagi dipantulkan terhitung sebagai transmitan (% T).

Pada percobaan ini, akan dilihat disolusi parasetamol dengan menggunakan medium air steril. Dalam percobaan ini digunakan air steril

sebagai media disolusinya  karena air merupakan komponen terbesar yang terdapat di dalam tubuh manusia. Adapun volume dari labu disolusi  yang

digunakan adalah 900 ml. Kemudian suhu yang digunakan yaitu dipertahankan agar tetap 37°C, agar sesuai dengan suhu tubuh manusia. Hal ini

sebagai pembanding jika obat tersebut berada dalam tubuh manusia. Selain itu alat disolusi juga diatur kecepatan putarannya sebesar 100 rpm karena

ini diumpamakan sebagai kecepatan gerak peristaltik lambung.

Pemipetan larutan dilakukan pada waktu-waktu yang berbeda yaitu menit ke-5, 10, 15, 20, 25, dan 30. Hal ini dilakukan untuk

mengetahui pada menit ke berapa parasetamol tersebut dapat terdisolusi dengan baik pada medium pelarutnya.

Pada percobaan ini, digunakan air suling sebagai media disolusi karena air merupakan komponen paling besar yang berada di dalam

tubuh manusia, jadi obat seakan-akan berdisolusi di dalam tubuh, selain itu karena mengingat kelarutan dari obat yang digunakan. Adapun volume

dari labu disolusi  yang digunakan adalah 900 ml. hal ini dianalogikan terhadap suatu gelembung udara,maka gelembung udara tersebut akan masuk

ke pori-pori dan bekerja sebagai barier pada interfase sehingga mengganggu disolusi obat.

Waktu yang digunakan yaitu 30 menit karena waktu yang digunakan paracetamol untuk dapat terdisolusi adalah 30 menit.
Untuk melakukan uji disolusi obat, terlebih dahulu alat uji disolusi diaktifkan, kemudian diatur waktu, suhu, interval waktu, dan rpmnya,

kemudian setelah 45 menit dan terdengar suara beep yang panjang dari alat uji disolusi maka paracetamol dimasukkan kedalam alat uji disolusi.

Setelah obat dimasukkan ke dalam alat uji disolusi, dilakukan pemipetean dalam tiap interval waktu 0, 5, 10, 15, 20, 25, dan 30 menit, tetapi pada saat

dilakukan pemipetan dari alat uji disolusi, maka larutan yang diambil dalam alat uji disolusi harus diganti dengan air steril sesuai dengan volume yang

diambil. Dilakukan triplo agar hasil yang diperoleh dapat dibandingkan secara keseluruhan.

Setelah dipipet 5 ml, sampel dimasukkan ke dalam erlenmeyer lalu dimasukkan lagi air 5 ml sebagai penggantinya. Hal ini diibaratkan

dalam tubuh manusia, yang mana ketika ada cairan yang keluar maka akan segera tergantikan.

Setelah dipipet tiap-tiap interval waktu, sampel dimasukkan ke dalam vial untuk menampung kemudian dimasukkan didalam kuvet lalu

ditentukan nilai absorban sampel dan juga air steril dengan menggunakan spektrofotometer.

  Pemipetan dilakukan pada waktu yang berbeda-beda untuk melihat kapan paracetamol berdisolusi dengan optimal  pada medium pelarut.

Pada saat suatu sediaan obat masuk ke dalam tubuh, selanjutnya terjadi proses absorbsi ke dalam sirkulasi darah dan akan didistribusikan

ke seluruh cairan dan jaringan tubuh. Apabila zat aktif pada sediaan obat tersebut memiliki pelarut yang cepat, berarti efek yang ditimbulkan juga

akan semakin cepat, begitu juga sebaliknya.

Pada percobaan ini ingin ditentukan konstanta kecepatan disolusi suatu zat. Zat yang akan diukur kecepatan atau laju disolusinya adalah

tablet parasetamol yang melarut ke dalam media disolusi, dimana medium disolusi yang digunakan adalah air suling.

Hasil yang diperoleh pada percobaan untuk data kurva baku pada 50 ppm absorbannya 0,243, 70 ppm absorbannya 0,306, 90 ppm

absorbannya 0,384, 110 Rpm absorbannya 0,481, 130 ppm absorbannya 0,548, dan untuk 200 ppm absorbannya 0.813. Konstanta laju disolusi

paracetamol yaitu 8.8 x 10 -3 mg/menitmg/menit. Sehingga dapat disimpulkan bahwa semakin banyak waktu yang dibutuhkan oleh suatu obat untuk

berdisolusi maka semakin tinggi pula konsentrasi (Kadar) zat tersebut dalam cairan (media pelarut).

Dari percobaan yang telah dilakukan diperoleh hasil laju disolusi obat paracetamol yaitu sebesar 8.8 x 10 -3mg/menit dan persentase disolusi

rata-rata obat parasetamol sebesar 55,56 %. Hal ini tidak sesuai dengan literatur “Ditjen POM” yang menyatakan bahwa hasil disolusi obat

parasetamol adalah 80%.

Adapun ketidaksesuaian hasil praktikum ini dengan literatur, hal ini disebabkan beberapa faktor kesalahan antara lain yaitu kesalahan dalam

melakukan uji disolusi, suhu yang tidak tepat, dan pengamatan yang kurang teliti

BAB VI

PENUTUP

VI.1  KESIMPULAN

Dari percobaan yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa :

1.      Faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan disolusi

Suhu, medium, kecepatan perputaran, kecepatan letak vertical poros, vibrasi, gangguan pola aliran, posisi pengambilan cuplikan, formulasi bentuk

sediaan, dan kalibrasi alat disolusi.

2.      Hasil laju disolus parasetamol sebesar 8,8 x 10-3

3.      Disolusi rata-rata obat parasetamol sebesar 55,56 %

VI.2  SARAN

Sebaiknya dalam praktikum, praktikan harus lebih aktif dan saling bekerja sama dalam kelompok. Praktikan juga harus lebih teliti dalam

dalam melakukan pengamatan.


DAFTAR PUSTAKA

Amir, Syarif.dr, dkk.2007. Farmakologi dan Terapi. Edisi kelima. Gaya Baru. Jakarta.

Ansel, Howard C., 1989, Pengantar Bentuk Sediaan Farmasi Edisi IV, UI Press, Jakarta

Ditjen POM.1979. Farmakope Indonesiaedisi III. Jakarta; Depkes RI.

Effendi, M. Idris, 2005, Penuntun Praktikum Farmasi Fisika, Universitas Hasanuddin Press, Makassar

Gennaro, A. R., et all., 1990,  Remingto’s Pharmaceutical Sciensces, Edisi 18th, Marck Publishing Company, Easton, Pensylvania
Lachman, Leon, dkk, 1994, Teori dan Praktek Farmasi Industri I Edisi III, UI Press, Jakarta.
Martin, Alfred, dkk.  1993 . Farmasi Fisika: Dasar-dasar farmasi fisika dalam ilmu farmasetika, diterjemahkan oleh Yoshita , edisi III , jilid II.
Jakarta; penerbit UI.
Mirawati. 2013.Penuntun Praktikum Farmasi Fisika.Makassar;Jurusan Farmasi UMI.

Shargel, Leon, dan Andrew B.C.Y.U. 1988. Biofarmasi dan Farmakokinetika Terapan. Edisi II. Penerjemah Dr. Fasich, Apt. dan Dra. Siti   
Sjamsiah, Apt. Airlangga University Press. Surabaya.

Voigt, 1995. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Universitas Gadjah Mada   Press. Yogyakarta.

PEMBAHASAN
Disolusi merupakan proses dimana suatu zat padat melarut. Dalam penentuan
kecepatan disolusi dari bentuk sediaan padat terlihat berbagai macam proses disolusi yang
melibatkan zat murni supaya partikel padat terdisolusi. Molekul solut pertama-tama harus
memisahkan diri dari permukaan padatan, kemudian bergerak menjauhi permukaan
memasuki pelarut, tergantung pada kedua proses ini dan cara bagaimana transport
berlangsung. Perilaku disolusi dapat digambarkan secara fisika. Ada 3 dasar model fisika
yang dapat menggambarkan mekanisme kecepatan disolusi yang terlibat dalam zat murni,
yaknimodel lapisan difusi (diffusion layer model), model halangan antar muka (interfacial
barier model), dan model dankwert (Dankwert model).
Laju disolusi intrinsic dapat didefinisikan sebagai laju disolusi dari suatu zat aktif
murni yang diperoleh dengan menjaga konstan kondisi-kondisi yang bisa mempengaruhi laju
disolusi zat tersebut, yaitu luas permukaan, suhu, laju pengadukan, pH, dan kekuatan ionik
dari medium disolusi yang digunakan. Dengan demikian, besarnya laju disolusi intrinsik
suatu zat aktif tidak dipengaruhi oleh faktor formulasi sehingga bisa dijadikan ukuran
kelarutan inharen obat tersebut di dalam medium disolusi.
Pelarutan intrinsik merupakan pelarutan dari suatu serbuk yang mempertahankan luas
permukaan yang tetap, yang biasanya dinyatakan dalam mg/cm2 menit. Obat-obat tersebut
umumnya meliputi obat-obat yang kecepatan disolusinya sangat lambat yang disebabkan oleh
kelarutannya yang sangat lambat yang disebabkan oleh kelarutannya yang sangat kecil.
Dalam praktikum ini, bahan obat yang digunakan adalah Asam Salisilat dengan
medium disolusi 250 mL dan volume sampel 5 mL, digunakan operating time yaitu 5
menitdan persamaan kurva baku Y = 0,00625 X + 0,00469 pada panjang gelombang 526 nm.
Dalam proses disolusi dipengaruhi beberapa faktor, yaitu luas permukaan padatan (obatnya),
dimana massa yang sama ukuran lebih kecil, maka luas permukaan lebih besar, dispersibilitas
(keterbagian) serbuk padatan dalam medium, porositas porinya banyak. Maka, apabila
semakin luas permukaannya, pada proses ini ukuran partikel selalu berubah, semakin lama
semakin kecil. Faktor kedua yang mempengaruhi adalah kelarutan, dimana konsentrasi jenuh
(besaran yang statis dengan kenaikan waktu akan tetap, tetapi termodinamik yang
dipengaruhi oleh pH dan suhu). Konsentrasi ditentukan apabila volume rendah, kadar obat
akan tinggi. Kelarutan tidak dipengaruhi oleh proses pengadukan, karena pengadukan hanya
mempengaruhi proses melarutnya zat itu. Obat atau bahan obat yang memerlukan solven
banyak untuk larut, berarti kelarutannya kecil, begitu juga sebaliknya. Dapat dinyatakan
bahwa pH mempengaruhi kelarutan, asam-asam dengan kelarutan rendah akan mengendap
(dalam ukuran kecil) tetapi akan terjadi redisolusi yang cepat terlarut.
Uji disolusi pada praktikum ini menggunakan alat disolusi dengan menggunakan 250
mL, medium disolusi pH 1 – 8, pada suhu 370C dengan kecepatan putar 50 putaran permenit.
Grafik hubungan W/A (massa terlarut persatuan luas) versus t (waktu) akan menghasilkan
kurva yang mendekati gradient nol pada waktu pertama yaitu 2 menit, sebagi pendekatan Cs
dan Ct. Cs merupakan kadar jenuh atau maksimal solute pada temperatur.
Dari pengeplotan hasil praktikum, maka diperoleh sebuah garis lurus dari regresi linier
t vs W/A yang merupakan slope, dan inilah yang dinamakan laju disolusi intrinsik.
Persamaan kurva baku yang didapat yaitu 99,506x + 1521,9, sehingga didapatkan harga slope
yang merupakan kecpatan disolusi intrinsik sebesar 99,506 mg/menit/cm2. Kecepatan disolusi
intrinsik lebih dari 0,1 mg/menit/cm 2 menunjukkan tidak ada masalah serius pada
absorbansinya. Dari model fisikanya, merupakan model lapisan difusi karena terlihat bahwa
kecepatan disolusi berbanding lurus dengan luas permukaan bahan obat dan kelarutannya.

VII.             KESIMPULAN
1.      Kecepatan disolusi intrinsik 99,506 mg/menit/cm 2, kecepatan ini lebih dari 0,1 mg/menit/cm 2
menunjukkan tidak ada masalah serius pada absorbansinya.
2.      Sesuai dengan model lapisan difusi karena terlihat bahwa kecepatan disolusi berbanding
lurus dengan luas permukaan bahan obat dan kelarutannya.
3.      Hasil percobaan sesuai dengan teori yang jika kecepatan disolusi intrinsik < 0,1
mg/menit/cm2 menunjukkan masalah yang serius, namun pada percobaan > 0,1 mg/menit/cm 2
menunjukkan sehingga tidak ada masalah serius.

VIII.             DAFTAR PUSTAKA


Agoes. 2008. Seri Farmasi Industri Sistem Penghantaran Obat Pelepasan Terkendali. ITB.
Bandung
Alache. 1993. Farmasetika 2 Biofarmasetika, Edisi kedua. Airlangga University Press. Surabaya
Shargel. 1998. Biofarmasetika dan Farmakokinetika Terapan. Airlangga University Press. Surabaya
                Voight. 1971. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. UGM Press. Yogyakarta

Anda mungkin juga menyukai