Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH ISBD

DISUSUN OLEH :
ANITA
DEWI PURWATI
DINDA
INDAH PRAMUDHITA
MUTIARAH

DOSEN PEMBIMBING :Dr. Dada Suhaida ,M.Pd

POLITEKNIK AISYIYAH PONTIANAK


PRODI DIII KEBIDANAN TINGKAT 1
TAHUN 2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadiran tuhan yang maha esa yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah nya
sehinga penulis dapat menyelesaikan makalah ini walaupun secara sederhana, baik bentuknya
maupun isinya. Makalah ini di susun guna memenuhi tugas mata kuliah komunikasi kebidanan yang
di ampuh oleh Dr.Dada Suhaida ,M.Pd selaku dosen Poleteknik Aisyiyah Pontianak

dengan demikian makalah ini kami buat, tentunya dengan besar harapan dapat bermanfaat. Namun
tidak menutup kemungkinan makalah ini masih jauh dari kata sempurnah, oleh keruna itu kritik dan
saran yang dapat membangun sangat di harap kan untuk kepentingan proses peningkatan ilmu
pengatahuan kesehatan.

1.      Apa urgensi Pancasila sebagai pemersatu bangsa ?

2.      Bagaimana implementasi nilai-nilai Pancasila sebagai pemersatu bangsa ?

BAB II
PEMBAHASAN

A.  Urgensi Pancasila sebagai Pemersatu Bangsa

Pada saat ini Indonesia menghadapi tantangan besar yang dapat menggrogoti niali-

nilai persatuan bangsa, tantantang tersebut berasal dari dua faktor, yaitu faktor internal dan

faktor eksternal. Faktor internal itu sendiri berasal dari dalam negri, seperti adanya

pemetakan keragaman dan juga adanya ketimpangan anatara pulau Jawa dengan pulau

lainnya menegenai pemerataan ekonomi yang kurang berkeadilan, dimana hal-hal seperti itu

dapat manjadi suatu titik perpecahan. Tantangan dari faktor eksternal atau luar negri, dengan

adanya globalisasi menjadikan paham-paham transnasional begitu mudah masuk ke dalam

negri, sehingga masyarakat yang kurang akan wawasan nusantara dapat dengan mudah

mengikuti arus tersebut. Seperti sekarang ini banyak golongan atau kelompok yang berpaham

transnasional yang membuat suatu konsepan tatanan kenegaraan dan mengangap bahwa

konsepan tersebut jauh lebih baik dari Pancasila.


Adanya bayak permasalahan yang dapat menimbulkan perpecahan, harus dibentengi

dengan memperkuat persatuan bangsa. Persatuan bersal dari kata satu yang berarti utuh, tidak

memecah belah, persatuan mengandung suatu makna disatukannya berbagai macam corak

yang beraneka ragam menjadi satu kesatuan utuh. Berarti bahwa hal-hal yang beranekka

ragam setelah disatukan menjadi sesuatu yang serasi, utuh dan tidak saling bertentangan antra

satu dengan yang lain. (Kansil dkk, 2011: 35) “Perwujudan persatuan Indonesia adalah

perwujudan dari paham kebangsaan Indonesia yang dijiwai oleh Ketuhanan Yang Maha Esa,

serta kemanusiaan yang adil dan beradab”. (MPR RI Periode 2009-2014, 2015: 63).

Dapat diketahui bahwa persatuan adalah penting, karena sebagai cerminan kokohnya

suatu negara yang berdaulat, tanpa persatuan suatu negara tidak dapat berjalan dengan

semestinya dan akhirnya runtuh. Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang plural dan

menghendaki adanya persatuan dalam berbangsa dan bernegara dengan cinta tanah air atau

sifat nasionalisme. Dalam hal ini Pancasila mempunyai peranan penting, karena Pancasila

merupakan suatu ideologi yang memiliki nilai asas nasionalisme yang tumbuh diatas

perbedaan bukan nasionalisme yang berasas primordialisme (berdasar suku, etnis, ras, atau

agama).

Berikut adalah ulasan mengenai nilai-nilai falsafah persatuan Pancasila yang termuat

dalam sejarah nusantara :

a.       Nilai-nilai Pancasila masa kerajaan besar nusantara

Dalam sejarah, diperkirakan pada abad 7-12, telah berdiri kerajaan Sriwijaya di

Sumatra Selatan dan kemudian pada abad 13-16 didirakan pula kerajaan Majapahit di Jawa

Timur. Kedua kerajaan besar itu merupakan tonggak sejarah bangsa Indonesia, karena

keduanya telah memenuhi syarat-syarat sebagai suatu bangsa. Dengan berdaulat, bersatu,

serta memiliki wilayah yang meliputu nusantara. Menurut Mr. Muhammad Yamin, berdirinya
negara kebangsaan Indonesia tidak dapat dipisahkan dangan kerajaan-kerajaan lama yang

merupakan warisan nenek moyang bangsa Indonesia. (Hasan, 2016: 45).

Menurut Nur Hasan (2016: 46-47) Kerajaan Sriwijaya telah menunjukan nilai-nilai

Pancasila, yang dihayati serta dilaksanakan pada waktu itu, hanya saja belum dirumuskan

secara formal. Pada hakikatnya nili-nilai budaya bangsa Sriwijaya, yaitu:

1.      Nilai sila pertama, terwujud dengan adanya umat agama Budha dan Hindu hidup

berdampingan secara damai.

2.    Nilai sila kedua, terjalinnya hubungan antara Seriwijaya (Dinasty Harsa). Pengiriman para

pemuda untuk belajar di India. Telah tumbuh niali-nilai politik luar negri bebas aktif.

3.     Nilai sila ketiga, sebagai negara maritim, Sriwijaya telah menerapkan konsep negara

kepulauan sesuai dengan konsep wawasan nusantara.

4.    Nilai sila keempat, Sriwijaya telah memiliki kedaulatan yang sangat luas, meliputi (Indonesia

sekarang) Siam, dan Semenanjung Melayu.

5.   Nilai sila kelima, Sriwijaya meliputi pusat pelayanan dan perdagangan, sehingga kehidupan

rakyatnya sangat makmur.

Pada masa kerajaan Majapahit nilai-nilai Pancasila banyak sekali tercermin dalam

perjalanan kerajaan tersebut. Seperti Empu Prapanca menulis buku Negarakartagama (1365

M) yang di dalamnya terdapat Istilah pancasila. Menutut Nur Hasan (2016: 47-49) Nilai-nilai

Pancasila kerajaan Majapahit, yaitu:

1.   Nilai sila pertama, terbukti dengan hidup berdampingannya agama Hindu dan Budha secara

damai. Empu Tantular dalam karangannya Sutasoma terdapat sloka persatuan nasional

“Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrua”, artinya walaupun berbeda-beda tetapi

tetap satu jua, dan tidak ada agama yang memiliki tujuan yang berbeda. Hal ini menunjukkan

realitas beragama yang saling toliransi saat itu.


2.     Nilai sila kedua, hubungan baik Raja Hayam Wuruk dengan kerajaan Tiongkok, Ayoda,

Champa, dan dengan negara-negara tetangga atas dasar Mitreka Satata.

3.      Nilai sila ketiga, sumpah Palapa Gajah Mada yang diucapkannya pada sidang Ratu dan

Menteri-menteri (1331 M) berisi cita-cita mempersatukan seluruh nusantara yang berbunyi

“Saya baru akan berhenti berpuasa makan palapa, jika seluruh nusantara bertakluk di bawah

kekuasaan negara, jika Gurun, Seram, Tanjung, Haru, Pahang, Dempo, Bali, Sunda,

Palembang Tumasik telah dikalahkan”.

4. Nilai sila keempat, kerukunan dan gotong-royong dalam kehidupan masyarakat telah

menumbuhkan adat bermusyawarah untuk mufakat dalam memutuskan maalah bersama.

5.  Nilai sila kelima, berdirinya kerajaan hingga berabad-abad yang tentunya ditopang dengan

kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya.

Pancasila bukanlah ideologi yang timbul dari buah pikiran satu dua orang saja, tapi

suatu ideologi yang nilai-nilainya digali dari budaya dan pengalaman sejarah masyarakat

nusantara sejak zaman dahulu. Hal ini berarti bahwa nilai-nilai dasar yang terkandung dalam

ideologi tersebut secara rill hidup dan berkembang dalam masayarakat nusantara pada saat itu

dan nilai-nilai yang ada sebagai landasan untuk bersatu.

b.    Pencoretan tujuh kata Piagam Jakarta sebagai nilai persatuan

Berawal dari berhasilnya Panitia Sembilan membuat rumusan dasar negara untuk

Indonesia merdeka pada 22 Juni 1945 dan disetujui seluruh anggota. Yang anggotanya terdiri

dari sembilan orang, yaitu Soekarno (ketua) Mohammad Hatta, Muhammad Yamin, A.A.

Maramis, Achmad Soebardjo (golongan kebangsaan), K.H. Wachid Hasyim, K.H. Kahar

Moezakir, H. Agoes Salim, dan R. Abikoesno Tjokrosoejoso (golongan Islam).

Adapun rumusan dasar negara dalam Piagam Jakarta sebagai berikut:

1.      Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.

2.      Kemanusiaan yang adil dan beradab.


3.      Persatuan Indonesia.

4.      Kerakyatan yng dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.

5.      Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Pada tanggal 18 Agustus 1945 kesepakatan yang terdapat dalam Piagam Jakarta tersebut

diubah oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Hal penting yang diubah

adalah tujuh kata setelah Ketuhanan, yang semulanya “Ketuhanan dengan kewajiban

menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” diubah menjadi “Ketuhanan Yang

Maha Esa”. (MPR RI Periode 2009-2014, 2015: 36-38).

Mengenai kisah pencoretan tujuh kata dalam Piagam Jakarta ditulis kembali dalam

buku Materi Sosialisasi Empat Pilar MPR RI (2015: 38-40), M. Hatta menuturkan dalam

Memoirnya sebagai berikut :

“Pada sore harinya aku menerima telepon dari tuan Nishijama, pembantu Admiral Maeda

menanyakan dapatkah aku menerima opsir Kaigun (Angkatan Laut) karena ia mau

mengemukakan suatu hal yang sangat penting bagi Indonesia. Nishijima sendiri yang akan

menjadi juru bahasanya. Aku mempersilahkan mereka datang.

Opsir itu yang aku lupa namanya, datang sebagai utusan kagiun untuk memberitahukan

bahwa wakil-wakil Protestan dan Katolik, yang dikuasai oleh Angkatan Laut Jepang,

berkeberatan sangat terhadap bagian pembukaan Undang-Undang Dasar, yang berbunyi,

“Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.

Mereka mengakui bahwa bagian kalimat itu tidak mengikat mereka, hanya mengikat rakyat

yang beragama Islam. Tetapi tercantumnya ketetapan seperti itu dalam suatu dasar yang

menjadi pokok Undang-Undang Dasar berarti mengadakan diskriminasi terhadap golongan

minoritas. Jika diskriminasi itu ditetapkan juga, mereka lebih suka berdiri di luar republik

Indonesia. Aku mengatakan bahwa itu bukan suatu diskriminasi, sebab penetapan itu hanya

mengenai rakyat yang beragama Islam.


Waktu merumuskan pembukaan Undang-Undang Dasar itu, Mr. Maramis yang ikut serta

dalam panitia sembilan, tidak mempunyai keberatan apa-apa dan tanggal 22 Juni 1945 ia ikut

menandatanganinya. Opsir tadi mengatakan bahwa itu adalah pendirian dan perasaan

pemimpin-pemimpin Protestan dan Katolik dalam daerah penduduk Kagiun. Mungkin waktu

itu Mr. Maramis cuma memikirkan bahwa bagian kalimat itu hanya untuk rakyat Islam yang

90% jumlahnya dan tidak mengikat rakyat Indonesia yang beragama lain. Ia tidak merasa

bahwa penetapan itu adalah suatu diskriminasi.

Pembukaan Undang-Undang Dasar adalah pokok dari pokok, sebab itu harus teruntuk bagi

seluruh bangsa Indonesia dengan tiada kecualinya. Kalau sebagian dari pada dasar itu hanya

mengikat sebagian rakyat Indonesia, sekalipun terbesar, itu dirasakan oleh golongan-

golongan minoritas sebagai diskriminasi. Sebab itu kalu diteruskan juga Pembukaan yang

mengandung diskriminasi itu, mereka golongan Protestan dan Katolik lebih suka berdiri di

luar Republik.

Karena begitu serius ruapanya, esok paginya tanggal 18 agustus 1945, sebelum Sidangan

Panitia Persiapan bermula, kuajak Ki Bagus Hadikusumo, Wahid Hasyim, Mr. Kasman

Singodimedjo dan Mr. Teuku Mohammad Hasan dari Sumatra mengadakan rapat

pendahuluan untuk membicarakan maslah itu. Supaya kita jangan pecah sebagai bangsa,

kami mufakat untuk menghilangkan bagian kalimat yang menusuk hati kaum Kristen itu dan

menggantinya dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Apabila suatu masalah yang seriusdan

bisa membahayakan keutuhan negara dapat diatasi dalam sidang kecil yang lamanya kurang

dari 15 menit, itu adalah suatu tanda bahwa pemimpin-pemimpin tersebut di waktu itu benar-

benar mementingkan nasib dan persatuan bangsa.”

Bisa dilihat dari uraian diatas bahwa kepentingan persatuan bangsa jauh lebih penting

dari pada kepentingan golongan, padahal jika membaca sejarah kontribusi golongan Islam

jauh lebih besar dari pada golongan yang lain. Tetapi dengan rendah hatinya dari golongan
Islam rela untuk merubah hal yang mengikat mereka, demi mecegah terpecah belahnya

bangsa pada awal-awal kemerdekaan. Hal itu karena tujuan Indonesia meredeka untuk

bersama bukan hanya untuk suatu golongan saja.

B.  Implementasi Pancasila sebagai Pemersatu Bangsa

Terdapat banyak konsep dalam mengimplementasikan Pancasila dalam kehidupan

berbangsa dan bernegara, khususnya dalam bingkai persatuan bangsa. Persatuan merupakan

hal yang harus dipertahankan dan ditingkatkan. Tujuannya untuk mewujudkan persatuan

antar warga negara yang memiliki keberagaman budaya sehingga dapat menumbuhkan rasa

kebersamaan, solidaritas, kebanggaan, dan cinta kepada bangsa dan negara Republik

Indonesia.

“Sejatinya yang merupakan saripati nilai Pancasila, yaitu keadilan dan toleransi.

Kedua hal ini mutlak diperlukan untuk membangun kehidupan yang berkeadilan dan

berkeadaban sebagai sebuah persatuan” (Misrawi, 2010: 32). Pancasila dan agama tidak sama

sekali bertentangan, dengan mengamalkan Pancasila otomatis mengamalkan agama. Karena

nilai-nilai Pancasila merupakan nili-nilai kebaikan yang juga terdapat dalam ajaran agama.

Memahami sejarah Indonesia merupakan bagian dari cara bagimana untuk

mengimplementasikan Pancasila, karena adanya Pancasila itu bukan jatuh dari langit. Tapi

diciptakan dengan menggunakan suatu alat, yang disebut masa lalu atau sejarah. Alasan-

alasan masa lalu adalah alasan adanya Pancasila dan juga karena masa lalu Indonesia dapat

merdeka.

Dibawah ini adalah rincian penerapan nilai-nilai Pancasila warga negara dalam

persatuan bangsa, adalah sebagai berikut:

1.      Menumbuhkan sifat nasionalisme dan cinta tanah air dalam berbangsa dan negara.

2.      Menumbuhkan sikap saling menghormati antar suku, agama, ras, dan antar gologan dan tidak

mematakan perbedaan.
3.      Membina persatuan dan kesatuan demi terwujudnya kemajuan bangsa dan negara.

4.      Memahami sejarah Indonesia, sebagai pembangkit semangat persatuan.

Pemerintah juga berperan penting dalam penerapan pancasila, bahwa pemerintah tidak

boleh setengah-setengah dalam penerapan Pancasila, khususnya terhadap suatu kebijakan

publik yang dikeluarkan haruslah memperhatikan nilai-nilai Pancasila secara utuh, sehingga

dapat terhindar dari suatu kebijakan yang menguntungkan salah satu pihak tetapi merugikan

pihak yang lain. Disitulah biasanya titik sebuah perpecahan suatu bangsa karena pemerintah

sudah tidak memiliki legistimasi dan tidak mampu untuk mengaktualisasikan nilai-nilai dasar

negara.

BAB IV
PENUTUP

A.  Kesimpulan

persatuan adalah penting, sebagai cerminan kokohnya suatu negara yang berdaulat.

Indonesia merupakan bangsa yang plural dan menghendaki adanya persatuan. Hal ini

Pancasila mempunyai peranan penting di dalamnya, karena Pancasila merupakan suatu

ideologi yang memiliki nilai asas nasionalisme yang tumbuh diatas perbedaan bukan

nasionalisme yang berasas primordialisme (berdasar suku, etnis, ras, atau agama).

Implementasi nilai-nilai Pancasila warga negara dalam persatuan bangsa, yaitu:

Menumbuhkan sifat nasionalisme, menumbuhkan sikap saling menghormati perbedaan dan

tidak memetakan perbedaan, membina persatuan dan kesatuan, dan memahami sejarah

Indonesia.

B.  Saran

Dengan disusunnya makalah ini, penulis mengharapkan kepada pembaca agar lebih

memahami peran Pancasila sebagai pemersatu bangsa dan dapat menerapkan dalam
kehidupan sehari-hari. Penulis menyadari bahwa makalah sederhana ini jauh dari kata

sempurna, semoga ke depannya dalam penulisan maklah menjadi lebih baik dari

sebelumnnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan barokah untuk kita semua.

DAFTAR PUSTAKA

Ghofur, Abdul. (2002). Demokratisasi dan Prospek Hukum Islam di Indonesia: Studi atas Pemikiran

Gus Dur. Yogjakarta: Walisongo Pers dan Pustaka Pelajar.

Hasan, M. Nur. (2016). Pendidikan Pancasila Di Perguruan Tinggi. Semarang: Unissula Press.

Kansil, C.S.T. dkk. (2011). Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara. Jakarta: PT RIEKA CIPTA.

Misrawi, Zubair. (2010). Pandangan Muslim Moderat: Toleransi, Terorisme, dan Oase Perdamaian.

Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.

Pimpinan MPR dan Tim Kerja Sosialisasi MPR RI Periode 2009-2014. (2015). Materi Sosialisasi

Empat Pilar MPR RI. Jakarta: Sekretariat Jendral MPR RI.

1.      Apa urgensi Pancasila sebagai pemersatu bangsa ?

2.      Bagaimana implementasi nilai-nilai Pancasila sebagai pemersatu bangsa ?

BAB II
PEMBAHASAN

A.  Urgensi Pancasila sebagai Pemersatu Bangsa

Pada saat ini Indonesia menghadapi tantangan besar yang dapat menggrogoti niali-

nilai persatuan bangsa, tantantang tersebut berasal dari dua faktor, yaitu faktor internal dan

faktor eksternal. Faktor internal itu sendiri berasal dari dalam negri, seperti adanya

pemetakan keragaman dan juga adanya ketimpangan anatara pulau Jawa dengan pulau

lainnya menegenai pemerataan ekonomi yang kurang berkeadilan, dimana hal-hal seperti itu

dapat manjadi suatu titik perpecahan. Tantangan dari faktor eksternal atau luar negri, dengan

adanya globalisasi menjadikan paham-paham transnasional begitu mudah masuk ke dalam


negri, sehingga masyarakat yang kurang akan wawasan nusantara dapat dengan mudah

mengikuti arus tersebut. Seperti sekarang ini banyak golongan atau kelompok yang berpaham

transnasional yang membuat suatu konsepan tatanan kenegaraan dan mengangap bahwa

konsepan tersebut jauh lebih baik dari Pancasila.

Adanya bayak permasalahan yang dapat menimbulkan perpecahan, harus dibentengi

dengan memperkuat persatuan bangsa. Persatuan bersal dari kata satu yang berarti utuh, tidak

memecah belah, persatuan mengandung suatu makna disatukannya berbagai macam corak

yang beraneka ragam menjadi satu kesatuan utuh. Berarti bahwa hal-hal yang beranekka

ragam setelah disatukan menjadi sesuatu yang serasi, utuh dan tidak saling bertentangan antra

satu dengan yang lain. (Kansil dkk, 2011: 35) “Perwujudan persatuan Indonesia adalah

perwujudan dari paham kebangsaan Indonesia yang dijiwai oleh Ketuhanan Yang Maha Esa,

serta kemanusiaan yang adil dan beradab”. (MPR RI Periode 2009-2014, 2015: 63).

Dapat diketahui bahwa persatuan adalah penting, karena sebagai cerminan kokohnya

suatu negara yang berdaulat, tanpa persatuan suatu negara tidak dapat berjalan dengan

semestinya dan akhirnya runtuh. Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang plural dan

menghendaki adanya persatuan dalam berbangsa dan bernegara dengan cinta tanah air atau

sifat nasionalisme. Dalam hal ini Pancasila mempunyai peranan penting, karena Pancasila

merupakan suatu ideologi yang memiliki nilai asas nasionalisme yang tumbuh diatas

perbedaan bukan nasionalisme yang berasas primordialisme (berdasar suku, etnis, ras, atau

agama).

Berikut adalah ulasan mengenai nilai-nilai falsafah persatuan Pancasila yang termuat

dalam sejarah nusantara :

a.       Nilai-nilai Pancasila masa kerajaan besar nusantara

Dalam sejarah, diperkirakan pada abad 7-12, telah berdiri kerajaan Sriwijaya di

Sumatra Selatan dan kemudian pada abad 13-16 didirakan pula kerajaan Majapahit di Jawa
Timur. Kedua kerajaan besar itu merupakan tonggak sejarah bangsa Indonesia, karena

keduanya telah memenuhi syarat-syarat sebagai suatu bangsa. Dengan berdaulat, bersatu,

serta memiliki wilayah yang meliputu nusantara. Menurut Mr. Muhammad Yamin, berdirinya

negara kebangsaan Indonesia tidak dapat dipisahkan dangan kerajaan-kerajaan lama yang

merupakan warisan nenek moyang bangsa Indonesia. (Hasan, 2016: 45).

Menurut Nur Hasan (2016: 46-47) Kerajaan Sriwijaya telah menunjukan nilai-nilai

Pancasila, yang dihayati serta dilaksanakan pada waktu itu, hanya saja belum dirumuskan

secara formal. Pada hakikatnya nili-nilai budaya bangsa Sriwijaya, yaitu:

1.      Nilai sila pertama, terwujud dengan adanya umat agama Budha dan Hindu hidup

berdampingan secara damai.

2.    Nilai sila kedua, terjalinnya hubungan antara Seriwijaya (Dinasty Harsa). Pengiriman para

pemuda untuk belajar di India. Telah tumbuh niali-nilai politik luar negri bebas aktif.

3.     Nilai sila ketiga, sebagai negara maritim, Sriwijaya telah menerapkan konsep negara

kepulauan sesuai dengan konsep wawasan nusantara.

4.    Nilai sila keempat, Sriwijaya telah memiliki kedaulatan yang sangat luas, meliputi (Indonesia

sekarang) Siam, dan Semenanjung Melayu.

5.   Nilai sila kelima, Sriwijaya meliputi pusat pelayanan dan perdagangan, sehingga kehidupan

rakyatnya sangat makmur.

Pada masa kerajaan Majapahit nilai-nilai Pancasila banyak sekali tercermin dalam

perjalanan kerajaan tersebut. Seperti Empu Prapanca menulis buku Negarakartagama (1365

M) yang di dalamnya terdapat Istilah pancasila. Menutut Nur Hasan (2016: 47-49) Nilai-nilai

Pancasila kerajaan Majapahit, yaitu:

1.   Nilai sila pertama, terbukti dengan hidup berdampingannya agama Hindu dan Budha secara

damai. Empu Tantular dalam karangannya Sutasoma terdapat sloka persatuan nasional

“Bhineka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrua”, artinya walaupun berbeda-beda tetapi
tetap satu jua, dan tidak ada agama yang memiliki tujuan yang berbeda. Hal ini menunjukkan

realitas beragama yang saling toliransi saat itu.

2.     Nilai sila kedua, hubungan baik Raja Hayam Wuruk dengan kerajaan Tiongkok, Ayoda,

Champa, dan dengan negara-negara tetangga atas dasar Mitreka Satata.

3.      Nilai sila ketiga, sumpah Palapa Gajah Mada yang diucapkannya pada sidang Ratu dan

Menteri-menteri (1331 M) berisi cita-cita mempersatukan seluruh nusantara yang berbunyi

“Saya baru akan berhenti berpuasa makan palapa, jika seluruh nusantara bertakluk di bawah

kekuasaan negara, jika Gurun, Seram, Tanjung, Haru, Pahang, Dempo, Bali, Sunda,

Palembang Tumasik telah dikalahkan”.

4. Nilai sila keempat, kerukunan dan gotong-royong dalam kehidupan masyarakat telah

menumbuhkan adat bermusyawarah untuk mufakat dalam memutuskan maalah bersama.

5.  Nilai sila kelima, berdirinya kerajaan hingga berabad-abad yang tentunya ditopang dengan

kesejahteraan dan kemakmuran rakyatnya.

Pancasila bukanlah ideologi yang timbul dari buah pikiran satu dua orang saja, tapi

suatu ideologi yang nilai-nilainya digali dari budaya dan pengalaman sejarah masyarakat

nusantara sejak zaman dahulu. Hal ini berarti bahwa nilai-nilai dasar yang terkandung dalam

ideologi tersebut secara rill hidup dan berkembang dalam masayarakat nusantara pada saat itu

dan nilai-nilai yang ada sebagai landasan untuk bersatu.

b.    Pencoretan tujuh kata Piagam Jakarta sebagai nilai persatuan

Berawal dari berhasilnya Panitia Sembilan membuat rumusan dasar negara untuk

Indonesia merdeka pada 22 Juni 1945 dan disetujui seluruh anggota. Yang anggotanya terdiri

dari sembilan orang, yaitu Soekarno (ketua) Mohammad Hatta, Muhammad Yamin, A.A.

Maramis, Achmad Soebardjo (golongan kebangsaan), K.H. Wachid Hasyim, K.H. Kahar

Moezakir, H. Agoes Salim, dan R. Abikoesno Tjokrosoejoso (golongan Islam).

Adapun rumusan dasar negara dalam Piagam Jakarta sebagai berikut:


1.      Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.

2.      Kemanusiaan yang adil dan beradab.

3.      Persatuan Indonesia.

4.      Kerakyatan yng dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.

5.      Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Pada tanggal 18 Agustus 1945 kesepakatan yang terdapat dalam Piagam Jakarta tersebut

diubah oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Hal penting yang diubah

adalah tujuh kata setelah Ketuhanan, yang semulanya “Ketuhanan dengan kewajiban

menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” diubah menjadi “Ketuhanan Yang

Maha Esa”. (MPR RI Periode 2009-2014, 2015: 36-38).

Mengenai kisah pencoretan tujuh kata dalam Piagam Jakarta ditulis kembali dalam

buku Materi Sosialisasi Empat Pilar MPR RI (2015: 38-40), M. Hatta menuturkan dalam

Memoirnya sebagai berikut :

“Pada sore harinya aku menerima telepon dari tuan Nishijama, pembantu Admiral Maeda

menanyakan dapatkah aku menerima opsir Kaigun (Angkatan Laut) karena ia mau

mengemukakan suatu hal yang sangat penting bagi Indonesia. Nishijima sendiri yang akan

menjadi juru bahasanya. Aku mempersilahkan mereka datang.

Opsir itu yang aku lupa namanya, datang sebagai utusan kagiun untuk memberitahukan

bahwa wakil-wakil Protestan dan Katolik, yang dikuasai oleh Angkatan Laut Jepang,

berkeberatan sangat terhadap bagian pembukaan Undang-Undang Dasar, yang berbunyi,

“Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.

Mereka mengakui bahwa bagian kalimat itu tidak mengikat mereka, hanya mengikat rakyat

yang beragama Islam. Tetapi tercantumnya ketetapan seperti itu dalam suatu dasar yang

menjadi pokok Undang-Undang Dasar berarti mengadakan diskriminasi terhadap golongan

minoritas. Jika diskriminasi itu ditetapkan juga, mereka lebih suka berdiri di luar republik
Indonesia. Aku mengatakan bahwa itu bukan suatu diskriminasi, sebab penetapan itu hanya

mengenai rakyat yang beragama Islam.

Waktu merumuskan pembukaan Undang-Undang Dasar itu, Mr. Maramis yang ikut serta

dalam panitia sembilan, tidak mempunyai keberatan apa-apa dan tanggal 22 Juni 1945 ia ikut

menandatanganinya. Opsir tadi mengatakan bahwa itu adalah pendirian dan perasaan

pemimpin-pemimpin Protestan dan Katolik dalam daerah penduduk Kagiun. Mungkin waktu

itu Mr. Maramis cuma memikirkan bahwa bagian kalimat itu hanya untuk rakyat Islam yang

90% jumlahnya dan tidak mengikat rakyat Indonesia yang beragama lain. Ia tidak merasa

bahwa penetapan itu adalah suatu diskriminasi.

Pembukaan Undang-Undang Dasar adalah pokok dari pokok, sebab itu harus teruntuk bagi

seluruh bangsa Indonesia dengan tiada kecualinya. Kalau sebagian dari pada dasar itu hanya

mengikat sebagian rakyat Indonesia, sekalipun terbesar, itu dirasakan oleh golongan-

golongan minoritas sebagai diskriminasi. Sebab itu kalu diteruskan juga Pembukaan yang

mengandung diskriminasi itu, mereka golongan Protestan dan Katolik lebih suka berdiri di

luar Republik.

Karena begitu serius ruapanya, esok paginya tanggal 18 agustus 1945, sebelum Sidangan

Panitia Persiapan bermula, kuajak Ki Bagus Hadikusumo, Wahid Hasyim, Mr. Kasman

Singodimedjo dan Mr. Teuku Mohammad Hasan dari Sumatra mengadakan rapat

pendahuluan untuk membicarakan maslah itu. Supaya kita jangan pecah sebagai bangsa,

kami mufakat untuk menghilangkan bagian kalimat yang menusuk hati kaum Kristen itu dan

menggantinya dengan “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Apabila suatu masalah yang seriusdan

bisa membahayakan keutuhan negara dapat diatasi dalam sidang kecil yang lamanya kurang

dari 15 menit, itu adalah suatu tanda bahwa pemimpin-pemimpin tersebut di waktu itu benar-

benar mementingkan nasib dan persatuan bangsa.”


Bisa dilihat dari uraian diatas bahwa kepentingan persatuan bangsa jauh lebih penting

dari pada kepentingan golongan, padahal jika membaca sejarah kontribusi golongan Islam

jauh lebih besar dari pada golongan yang lain. Tetapi dengan rendah hatinya dari golongan

Islam rela untuk merubah hal yang mengikat mereka, demi mecegah terpecah belahnya

bangsa pada awal-awal kemerdekaan. Hal itu karena tujuan Indonesia meredeka untuk

bersama bukan hanya untuk suatu golongan saja.

B.  Implementasi Pancasila sebagai Pemersatu Bangsa

Terdapat banyak konsep dalam mengimplementasikan Pancasila dalam kehidupan

berbangsa dan bernegara, khususnya dalam bingkai persatuan bangsa. Persatuan merupakan

hal yang harus dipertahankan dan ditingkatkan. Tujuannya untuk mewujudkan persatuan

antar warga negara yang memiliki keberagaman budaya sehingga dapat menumbuhkan rasa

kebersamaan, solidaritas, kebanggaan, dan cinta kepada bangsa dan negara Republik

Indonesia.

“Sejatinya yang merupakan saripati nilai Pancasila, yaitu keadilan dan toleransi.

Kedua hal ini mutlak diperlukan untuk membangun kehidupan yang berkeadilan dan

berkeadaban sebagai sebuah persatuan” (Misrawi, 2010: 32). Pancasila dan agama tidak sama

sekali bertentangan, dengan mengamalkan Pancasila otomatis mengamalkan agama. Karena

nilai-nilai Pancasila merupakan nili-nilai kebaikan yang juga terdapat dalam ajaran agama.

Memahami sejarah Indonesia merupakan bagian dari cara bagimana untuk

mengimplementasikan Pancasila, karena adanya Pancasila itu bukan jatuh dari langit. Tapi

diciptakan dengan menggunakan suatu alat, yang disebut masa lalu atau sejarah. Alasan-

alasan masa lalu adalah alasan adanya Pancasila dan juga karena masa lalu Indonesia dapat

merdeka.

Dibawah ini adalah rincian penerapan nilai-nilai Pancasila warga negara dalam

persatuan bangsa, adalah sebagai berikut:


1.      Menumbuhkan sifat nasionalisme dan cinta tanah air dalam berbangsa dan negara.

2.      Menumbuhkan sikap saling menghormati antar suku, agama, ras, dan antar gologan dan tidak

mematakan perbedaan.

3.      Membina persatuan dan kesatuan demi terwujudnya kemajuan bangsa dan negara.

4.      Memahami sejarah Indonesia, sebagai pembangkit semangat persatuan.

Pemerintah juga berperan penting dalam penerapan pancasila, bahwa pemerintah tidak

boleh setengah-setengah dalam penerapan Pancasila, khususnya terhadap suatu kebijakan

publik yang dikeluarkan haruslah memperhatikan nilai-nilai Pancasila secara utuh, sehingga

dapat terhindar dari suatu kebijakan yang menguntungkan salah satu pihak tetapi merugikan

pihak yang lain. Disitulah biasanya titik sebuah perpecahan suatu bangsa karena pemerintah

sudah tidak memiliki legistimasi dan tidak mampu untuk mengaktualisasikan nilai-nilai dasar

negara.

BAB IV
PENUTUP

A.  Kesimpulan

persatuan adalah penting, sebagai cerminan kokohnya suatu negara yang berdaulat.

Indonesia merupakan bangsa yang plural dan menghendaki adanya persatuan. Hal ini

Pancasila mempunyai peranan penting di dalamnya, karena Pancasila merupakan suatu

ideologi yang memiliki nilai asas nasionalisme yang tumbuh diatas perbedaan bukan

nasionalisme yang berasas primordialisme (berdasar suku, etnis, ras, atau agama).

Implementasi nilai-nilai Pancasila warga negara dalam persatuan bangsa, yaitu:

Menumbuhkan sifat nasionalisme, menumbuhkan sikap saling menghormati perbedaan dan

tidak memetakan perbedaan, membina persatuan dan kesatuan, dan memahami sejarah

Indonesia.
B.  Saran

Dengan disusunnya makalah ini, penulis mengharapkan kepada pembaca agar lebih

memahami peran Pancasila sebagai pemersatu bangsa dan dapat menerapkan dalam

kehidupan sehari-hari. Penulis menyadari bahwa makalah sederhana ini jauh dari kata

sempurna, semoga ke depannya dalam penulisan maklah menjadi lebih baik dari

sebelumnnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan barokah untuk kita semua.

DAFTAR PUSTAKA

Ghofur, Abdul. (2002). Demokratisasi dan Prospek Hukum Islam di Indonesia: Studi atas Pemikiran

Gus Dur. Yogjakarta: Walisongo Pers dan Pustaka Pelajar.

Hasan, M. Nur. (2016). Pendidikan Pancasila Di Perguruan Tinggi. Semarang: Unissula Press.

Kansil, C.S.T. dkk. (2011). Empat Pilar Berbangsa dan Bernegara. Jakarta: PT RIEKA CIPTA.

Misrawi, Zubair. (2010). Pandangan Muslim Moderat: Toleransi, Terorisme, dan Oase Perdamaian.

Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.

Pimpinan MPR dan Tim Kerja Sosialisasi MPR RI Periode 2009-2014. (2015). Materi Sosialisasi

Empat Pilar MPR RI. Jakarta: Sekretariat Jendral MPR RI.

Pontianak, 29 Oktober2020

Penyusun
DAFTAR ISI

Kata pengantar………………………………………………………………………………………………………………….

Daftar isi……………………………………………………………………………………………………………………………

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah…………………………………………………………………………………………………


B. Pokok Permasalahan……………………………………………………………………………………………………..
C. Tujuan………………………………………………………………………………………………………………………….

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Manusia,Nilai,Moral,dan
Hukum…………………………………………………………………………………………………
B. Proses Keadilan,Ketertiban,dan
Kesejahteraan………………………………………………………………………………………………………..
C. Jenis-Jenis Problematika nilai, moral, dan hukum dalam masyarakat dan negara
………………………………………………………………………………………………….

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan…………………………………………………………………………………………………………………

Daftar Pustaka……………………………………………………………………………………………………………
BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Manusia, nilai, moral, dan hukum merupakan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan.
Masalah-masalah serius yang dihadapi bangsa Indonesia berkaitan dengan nilai, moral, dan
hukum antara lain mengenai kejujuran, keadilan, menjilat, dan perbuatan negatif lainnya
sehingga perlu dikedepankan pendidikan agama dan moral karena dengan adanya panutan,
nilai, bimbingan, dan moral dalam diri manusia akan sangat menentukan kepribadian
individu atau jati diri manusia, lingkungan sosial dan kehidupan setiap insan. Pendidikan nilai
yang mengarah kepada pembentukan moral yang sesuai dengan norma kebenaran menjadi
sesuatu yang esensial bagi pengembangan manusia yang utuh dalam konteks sosial.
Pendidikan moral tidak hanya terbatas pada lingkungan akademis, tetapi dapat
dilakukan oleh siapa saja dan dimana saja. Secara umum ada tiga lingkungan yang sangat
kondusif untuk melaksanakan pendidikan moral yaitu lingkungan keluarga, lingkungan
pendidikan dan lingkungan masyarakat. Peran keluarga dalam pendidikan mendukung
terjadinya proses identifikasi, internalisasi, panutan dan reproduksi langsung dari nilai-nilai
moral yang hendak ditanamkan sebagai pola orientasi dari kehidupan keluarga. Hal-hal yang
juga perlu diperhatikan dalam pendidikan moral di lingkungan keluarga adalah penanaman
nilai-nilai kejujuran, kedisiplinan dan tanggung jawab dalam segenap aspek.

B.  Rumusan masalah


1.      Pengertian dari manusia, nilai, moral dan hokum
2.      Hakikat fungsi perwujudan nilai moral dan hokum
3.      Keadilan, ketertiban, dan kesejahteraan
4.      Problematika nilai, moral, hokum dalam masyarakat dan Negara

C.  Tujuan
1.      Membahas mengenai manusia, nilai, moral dan hukum
2.      Mengetahui Hakikat fungsi dari perwujudan nilai moral dan hukum
3.      Mempelajari tentang keadilan, ketertiban, dan kesejahteraan
4.      Membahas tentang problematika nilai, moral dalam masyarakat dan Negara

BAB II
PEMBAHASAN
MANUSIA, NILAI, MORAL DAN HUKUM
Pengertian Manusia, Nilai, Moral dan Hukum

·         Manusia
Secara bahasa manusia berasal dari kata “manu” (Sansekerta), “mens” (Latin), yang
berarti berpikir, berakal budi atau makhluk ang berakal budi (mampu menguasai makhluk
lain). Secara istilah manusia dapat diartikan sebuah konsep atau sebuah fakta, sebuah gagasan
atau realitas, sebuah kelompok (genus) atau seorang individu. Manusia adalah makhluk yang
tidak dapat dengan segera menyesuaikan diri dengan lingkungannya.

·         Nilai
Nilai dapat diartikan sebagai sifat atau kualitas dari sesuatu yang bermanfaat bagi
kehidupan manusia baik lahir maupun batin. Bagi manusia nilai dijadikan sebagai landasan,
alasan atau motivasi dalam bersikap dan bertingkah laku, baik disadari maupun tidak.

·         Moral
Moral adalah perbuatan/tingkah laku/ucapan seseorang dalam ber interaksi dengan
manusia. apabila yang dilakukan seseorang itu sesuai dengan nilai rasa yang berlaku di
masyarakat tersebut dan dapat diterima serta menyenangkan lingkungan masyarakatnya,
maka orang itu dinilai mempunyai moral yang baik, begitu juga sebaliknya. Jadi moral adalah
tata aturan norma-norma yang bersifat abstrak yang mengatur kehidupan manusia untuk
melakukan perbuatan tertentu dan sebagai pengendali yang mengatur manusia untuk menjadi
manusia yang baik.

·         Hukum
Hukum adalah sistem yang terpenting dalam pelaksanaan atas rangkaian kekuasaan
kelembagaan dari bentuk penyalahgunaan kekuasaan dalam bidang politik, ekonomi dan
masyarakat dalam berbagai cara dan bertindak, sebagai perantara utama dalam hubungan
sosial antar masyarakat terhadap kriminalisasi dalam hukum pidana, hukum pidana yang
berupayakan cara negara dapat menuntut pelaku dalam konstitusi hukum menyediakan
kerangka kerja bagi penciptaan hukum, perlindungan hak asasi manusia dan memperluas
kekuasaan politik serta cara perwakilan di mana mereka yang akan dipilih.

A.  Hakikat Fungsi Perwujudan nilai, moral dan hukum


Terdapat beberapa bidang filsafat yang ada hubungannya dengan cara manusia
mencari hakikat sesuatu, satu di antaranya adalah aksiologi (filsafat nilai) yang mempunyai
dua kajian utama yakni estetika dan etika. Keduanya berbeda karena estetika berhubungan
dengan keindahan sedangkan etika berhubungan dengan baik dan salah, namun karena
manusia selalu berhubungan dengan masalah keindahan, baik, dan buruk bahkan dengan
persoalan-persoalan layak atau tidaknya sesuatu, maka pembahasan etika dan estetika jauh
melangkah ke depan meningkatkan kemampuannya untuk mengkaji persoalan nilai dan moral
tersebut sebagaimana mestinya.
Menurut Bartens ada tiga jenis makna etika, yaitu:

1. Kata etika bisa dipakai dalam arti nilai-nilai dan norma-norma yang menjadi
pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya.
2. Etika berarti juga kumpulan asas atau nilai moral (kode etik).
3. Etika mempunyai arti ilmu tentang yang baik dan yang buruk (filsafat moral).

Norma sosial adalah kebiasaan umum yang menjadi patokan perilaku dalam suatu
kelompok masyarakat dan batasan wilayah tertentu. Norma akan berkembang seiring dengan
kesepakatan-kesepakatan sosial masyarakatnya, sering juga disebut dengan peraturan sosial.
Norma menyangkut perilaku-perilaku yang pantas dilakukan dalam menjalani interaksi
sosialnya. Keberadaan norma dalam masyarakat bersifat memaksa individu atau suatu
kelompok agar bertindak sesuai dengan aturan sosial yang telah terbentuk. Pada dasarnya,
norma disusun agar hubungan di antara manusia dalam masyarakat dapat berlangsung tertib
sebagaimana yang diharapkan.

 Nilai Moral di Antara Pandangan Objektif dan Subjektif Manusia


Nilai erat hubungannya dengan manusia, dalam hal etika maupun estetika. Manusia
sebagai makhluk yang bernilai akan memaknai nilai dalam dua konteks, pertama akan
memandang nilai sebagai sesuatu yang objektif, apabila dia memandang nilai itu ada
meskipun tanpa ada yang menilainya. Kedua, memandang nilai sebagai sesuatu yang
subjektif, artinya nilai sangat tergantung pada subjek yang menilainya.
Dua kategori nilai itu subjektif atau objektif:
Pertama, apakah objek itu memiliki nilai karena kita mendambakannya, atau kita
mendambakannya karena objek itu memiliki nilai Kedua, apakah hasrat, kenikmatan,
perhatian yang memberikan nilai pada objek, atau kita mengalami preferensi karena
kenyataan bahwa objek tersebut memiliki nilai mendahului dan asing bagi reaksi psikologis
badan organis kita (Frondizi, 2001, hlm. 19-24).

 Nilai di Antara Kualitas Primer dan Kualitas Sekunder


Kualitas primer yaitu kualitas dasar yang tanpanya objek tidak dapat menjadi ada,
sama seperi kebutuhan primer yang harus ada sebagai syarat hidup manusia, sedangkan
kualitas sekunder merupakan kualitas yang dapat ditangkap oleh pancaindera seperti warna,
rasa, bau, dan sebagainya, jadi kualitas sekunder seperti halnya kualitas sampingan yang
memberikan nilai lebih terhadap sesuatu yang dijadikan objek penilaian kualitasnya.
Perbedaan antara kedua kualitas ini adalah pada keniscayaannya, kualitas primer
harus ada dan tidak bisa ditawar lagi, sedangkan kualitas sekunder bagian eksistesi objek
tetapi kehadirannya tergantung subjek penilai. Nilai bukan kualitas primer maupun sekunder
sebab nilai tidak menambah atau memberi eksistensi objek. Nilai bukan sebuah keniscayaan
bagi esensi objek. Nilai bukan benda atau unsur benda, melainkan sifat, kualitas, yang
dimiliki objek tertentu yang dikatakan “baik”. Nilai milik semua objek, nilai tidaklah
independen yakni tidak memiliki kesubstantifan.

 Metode Menemukan dan Hierarki Nilai dalam Pendidikan


Menilai berarti menimbang, yaitu kegiatan manusia menghubungkan sesuatu dengan
sesuatu yang lain, yang selanjutnya diambil sebuah keputusan, nilai memiliki polaritas dan
hierarki, yaitu:

1. Nilai menampilkan diri dalam aspek positif dan aspek negatif yang sesuai (polaritas)
seperti baik dan buruk, keindahan dan kejelekan.
2. Nilai tersusun secara hierarkis, yaitu hierarki urutan pentingnya.

Ada beberapa klasifikasi nilai yaitu klasifikasi nilai yang didasarkan atas pengakuan,
objek yang dipermasalahkan, keuntungan yang diperoleh, tujuan yang akan dicapai,
hubungan antara pengembangan nilai dengan keuntungan, dan hubungan yang dihasilkan
nilai itu sendiri dengan hal lain yang lebih baik. Sedangkan Max Scheller berpendapat bahwa
hierarki terdiri dari, nilai kenikmatan, kehidupan, kejiwaan, dan nilai kerohanian. Dan masih
banyak lagi klasifikasi lainnya dari para pakar, namun adapula pembagian hierarki di
Indonesia (khususnya pada masa dekade Penataran P4), yakni, nilai dasar, nilai instrumental,
dan yang terakhir nilai praksis.

 Makna Nilai bagi Manusia


Nilai itu penting bagi manusia, apakah nilai itu dipandang dapat mendorong manusia
karena dianggap berada dalam diri manusia atau nilai itu menarik manusia karena ada di luar
manusia yaitu terdapat pada objek, sehingga nilai lebih dipandang sebagai kegiatan menilai.
Nilai itu harus jelas, harus semakin diyakini oleh individu dan harus diaplikasikan dalam
perbuatan.

 Pengaruh Kehidupan Keluarga dalam Pembinaan Nilai Moral


Persoalan merosotnya intensitas interaksi dalam keluarga, serta terputusnya
komunikasi yang harmonis antara orang tua dengan anak, mengakibatkan merosotnya fungsi
keluarga dalam pembinaan nilai moral anak. Keluarga bisa jadi tidak lagi menjadi tempat
untuk memperjelas nilai yang harus dipegang bahkan sebaliknya menambah kebingungan
nilai bagi si anak.

 Pengaruh Teman Sebaya Terhadap Pembinaan Nilai Moral


Setiap orang yang menjadi teman anak akan menampilkan kebiasaan yang
dimilikinya, pengaruh pertemanan ini akan berdampak positif jika isu dan kebiasaan teman
itu positif juga, sebaliknya akan berpengaruh negatif jika sikap dan tabiat yang ditampikan
memang buruk, jadi diperlukan pula pendampingan orang tua dalam tindakan anak-anaknya,
terutama bagi para orang tua yang memiliki anak yang masih di bawah umur.

 Pengaruh Figur Otoritas Terhadap Perkembangan Nilai Moral Individu


Orang dewasa mempunyai pemikiran bahwa fungsi utama dalam menjalin hubungan
dengan anak-anak adalah memberi tahu sesuatu kepada mereka: memberi tahu apa yang
harus mereka lakukan, kapan waktu yang tepat untuk melakukannya, di mana harus
dilakukan, seberapa sering harus melakukan, dan juga kapan harus mengakhirinya. Itulah
sebabnya seorang figur otoritas (bisa juga seorang public figure) sangat berpengaruh dalam
perkembangan nilai moral.

 Pengaruh Media Komunikasi Terhadap Perkembangan Nilai Moral


Setiap orang berharap pentingnya memerhatikan perkembangan nilai anak-anak. Oleh
karena itu dalam media komunikasi mutakhir tentu akan mengembangkan suatu pandangan
hidup yang terfokus sehingga memberikan stabilitas nilai pada anak. Namun ketika anak
dipenuhi oleh kebingungan nilai, maka institusi pendidikan perlu mengupayakan jalan keluar
bagi peserta didiknya dengan pendekatan klarifikasi nilai.

 Pengaruh Otak atau Berpikir Terhadap Perkembangan Nilai Moral


Pendidikan tentang nilai moral yang menggunakan pendekatan berpikir dan lebih
berorientasi pada upaya-upaya untuk mengklarifikasi nilai moral sangat dimungkinkan bila
melihat eratnya hubungan antara berpikir dengan nilai itu sendiri, meskipun diakui bahwa ada
pendekatan lain dalam pendidikan nilai yang memiliki orientasi yang berbeda.

 Pengaruh Informasi Terhadap Perkembangan Nilai Moral


Munculnya berbagai informasi, apalagi bila informasi itu sama kuatnya maka akan
mempengaruhi disonansi kognitif yang sama, misalnya saja pengaruh tuntutan teman sebaya
dengan tuntutan aturan keluarga dan aturan agama akan menjadi konflik internal pada
individu yang akhirnya akan menimbulkan kebingungan nilai bagi individu tersebut.

 Manusia Dan Hukum


Hukum dalam masyarakat merupakan tuntutan, mengingat bahwa kita tidak mungkin
menggambarkan hidupnya manusia tanpa atau di luar masyarakat. Maka manusia,
masyarakat, dan hukum merupakan pengertian yang tidak bisa dipisahkan. Untuk mencapai
ketertiban dalam masyarakat, diperlukan adanya kepastian dalam pergaulan antar-manusia
dalam masyarakat. Kepastian ini bukan saja agar kehidupan masyarakat menjadi teratur akan
tetapi akan mempertegas lembaga-lembaga hukum mana yang melaksanakannya.
Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup (the living
law) dalam masyarakat, yang tentunya sesuai pula atau merupakan pencerminan dari nilai-
nilai yang berlaku dalam masyarakat tersebut.
Manusia dan hukum adalah dua entitas yang tidak bisa dipisahkan. Bahkan dalam
ilmu hukum, terdapat adagium yang terkenal yang berbunyi: “Ubi societas ibi jus” (di mana
ada masyarakat di situ ada hukumnya). Artinya bahwa dalam setiap pembentukan suatu
bangunan struktur sosial yang bernama masyarakat, maka selalu akan dibutuhkan bahan yang
bersifat sebagai “semen perekat” atas berbagai komponen pembentuk dari masyarakat itu,
dan yang berfungsi sebagai “semen perekat” tersebut adalah hukum.
Untuk mewujudkan keteraturan, maka mula-mula manusia membentuk suatu struktur
tatanan (organisasi) di antara dirinya yang dikenal dengan istilah tatanan sosial (social order)
yang bernama: m a s y a r a k a t. Guna membangun dan mempertahankan tatanan sosial
masyarakat yang teratur ini, maka manusia membutuhkan pranata pengatur yang terdiri dari
dua hal: aturan (hukum) dan si pengatur(kekuasaan).

·         Hubungan Hukum Dan Moral


Hukum tidak akan berarti tanpa dijiwai moralitas, hukum akan kosong tanpa
moralitas. Oleh karena itu kualitas hukum harus selalu diukur dengan norma moral dan
perundang-undangan yang immoral harus diganti.
Meskipun hubungan hukum dan moral begitu erat, namun hukum dan moral tetap
berbeda, sebab dalam kenyataannya mungkin ada hukum yang bertentangan dengan moral
atau ada undang-undang yang immoral, yang berarti terdapat ketidakcocokan antara hukum
dengan moral.

B.  KEADILAN, KETERTIBAN, DAN KESEJAHTERAAN


Keadilan adalah pengakuan yang seimbang antara hak dan kewajiban. Pengakuan atas
hak hidup individu harus diimbangi melalui kerja keras tanpa merugikan pihak lain, karena
orang lain punya hak hidup seperti kita. Jadi kita harus member kesempatan pada orang lain
untuk mempertahankan hidupnya. Prinsipnya keadilan terletak apada keseimbangan atau
keharmonisan antara menuntut hak dan menjalankan kewajiban. Tindakan-tindakan yang
menuntut hak dan lupa pada kewajiban merupakan pemerasan. Sedangkan tindakan yang
hanya menjalankan kewajiban tanpa menuntut hak berakibat pada mudah diperbudak atau
dipengaruhi orang lain.

Jadi keadilan bila disimpulkan adalah :


1. Kesadaran adanya hak yang sama bagi setiap warga Negara
2. Kesadaran adanya kewajiban yang sama bagi setiap warga Negara
3. Hak dan kewajiban untuk menciptakan kesejahteraan dan kemakmuran yang merata.

Ciri-ciri keadilan adalah :


1. Tidak memihak
2. Sama hak
3. Sah menurut hokum
4. Layak dan wajar
5. Benar secara moral

Sedangkan akibat dari ketidakadilan adalah :


1. Kehancuran : diri, keluarga, perusahaan, masyarakat, bangsa dan Negara
2. Kezaliman yaitu keadaan yang tidak lagi menghargai, menghormati hak-hak orang lain,
sewenang-wenang merampas hak orang lain demi keserakahan dan kepuasan nafsu.

Macam-macam Keadilan :
1. Keadilan Legal (keadilan moral)
Dalam suatu komunitas yang adil, setiap orang menjalankan pekerjaan menurut sifat
dasar yang paling cocok baginya (the man behind the gun). Rasa keadilan akan terwujud bila
setiap individu melakukan fungsinya sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya, keadilan
tidak akan terjadi bila ada intervensi pada pihak lain dalam melaksanakan tugas
kemasyarakatan dan hal ini dapat memicu pertentangan, konflik dan ketidakserasian.
2. Keadilan Distributive
Keadilan akan terlaksana bila hal yang sama diperlukan secara sama dan hal yang tidak
sama diperlakukan secara tidak sama diperlakukan secara tidak sama (justice is done when
equals are treated equally). Contoh : gaji pegawai lulusan smu dan sarjana harus dibedakan.

C.  PROBLEMATIKA NILAI, MORAL, DAN HUKUM DALAM MASYARAKAT DAN


NEGARA

Terbentuknya nilai dari hubungan yang bersifat ketergantungan sikap manusia


terhadap nilai dari suatu maka manusia akan berbuat sesuatu yang merupakan modal dasar
dalam menjalin kehidupan manusia. Dengan menilai dapat menentukan moral seseorang,
apakah baik buruknya sepanjang niali itu dalam arti positif berarti perubahan bermoral ,
begitu juga sebaliknya jika nilai itu dalam arti negatif berarti perbuatan yang amoral.
Perbuatan yang bersifat amoral inilah yang dijadikan problema dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara.
Tujuan hukum mengatur pergaulan hidup secara damai, ditinjau dari aspek lahiriah
yaitu untuk mencapai ketertiban atau kedamaian, dan jika di tinjau dari aspek batiniah yaitu
untuk mencapai ketenangan atau ketentraman. Statu contoh adalah masalah perkawinan.
Semua orang tahu bahwa tujuan dari perkawinan adalah untuk menciptakan keluarga sakinah
mawadah warahmah, akan tetapi kenyataan-kenyataan yang ada banyak problem yang terjadi
dalam keluarga, misalnya: terjadi kekerasan dalam rumah tangga, seorang suami tidak
bertanggung jawab pada anak dan istri dan lain sebagainya. Dengan nilai dari perkawinan
tidak terwujud sebagaimana yang kita dambakan. Secara hukum suatu perkawinan itu dapat
diakui oleh negara apanila dilakukan dihadapan catatan sipil (untuk penduduk non Islam) dan
tercatat di Kantor Urusan Agama (KUA, untuk penduduk Islam), namur kenyataannya masih
banyak istilah kawin sirih (kawin di bawah tangan), bahkan ada juga yang dikenal dengan
“kawin kontrak”. Problema yang demikian harus diperhatikan dan perlu dipikirkan secara arif
dan bijaksana baik oleh kalangan masyarakat awam maupun oleh pemerintah, karena sifat
perkawinan yang demikian ini sangat merugikan bagi kaum perempuan dan nasib anak-anak.
Karena dengan perkawinan sirih dan perkawinan sirih dan perkawinan kontrak ini, dengan
begitu mudah kaum laki-laki untuk meninggalkannya, bahkan ingin terlepas dari tanggung
jawabnya.
Perkawinan itu apabila dilakukan menurut prosedur atau menurut aturan-aturan yang
ada dalam suatu masyarakat, maka orang yang melaksanakan perkawinan demikian dikatakan
yang bermoral. Juga sebaliknya jika perkawinan yang dilakukan tidak melalui prosedur atau
tidak dilakukan sesuai dengan aturan yang ada dalam suatu masyarakat tertentu maka
perkawinan itu dikenal dengan cara tidak bermoral. Maka yang perlu kita ketahui dalam hal
ini di samping hukum dasar yang tertulis ada hukum yang tidak tertulis, yaitu misalnya
“hukum adat perkawinan” yang setiap daerah mempunyai adat masing-masing. Manusia
sebagai makhluk yang hidup bermasyarakat untuk terwujudnya apa yang dikatakan ketertiban
atau keamanan, dan ketenangan atau ketentraman maka harus patuh lepada hukum yanng
berlaku dan mennjalani nilai-nilai yang ada di masyarakat dengan baik dan sempurna.

BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN

Manusia, nilai, moral dan hukum adalah suatu hal yang saling berkaitan dan saling
menunjang. Sebagai warga negara kita perlu mempelajari, menghayati dan melaksanakan
dengan ikhlas mengenai nilai, moral dan hukum agar terjadi keselarasan dan harmoni
kehidupan.
Manusia adalah individu yg terdiri dari jasad dan roh dan makhluk yang paling
sempurna, paling tertinggi derajatnya, dan menjadi khalifah di permukaan bumi.
Nilai adalah sesuatu yang baik yang selalu diinginkan, dicita-citakan dan dianggap
pentong oleh seluruh manusia sebagai anggota masyarakat. Nilai adalah sesuatu yang
berharga, bermutu, menunjukkan kualitas, dan berguna bagi manusia. Sesuatu itu bernilai
berarti sesuatu itu berharga atau berguna bagi kehidupan manusia.

Anda mungkin juga menyukai