Anda di halaman 1dari 2

Pada tanggal 21 April 1879 di Jepara, seorang ibu melahirkan balita perempuan cantik yang

dinamai Raden Ajeng Kartini. Beliau merupakan anak ke-5 dari Raden Mas Adipati Ario
Sosroningrat dan M.A. Ngasirah. Putri ini diangkat dalam lingkungan keluarga Ningrat dengan
semua kebutuhannya dipenuhi, dan si Kartini yang kecil bertumbuh dengan baik. Beliau
terkenal sebagai anak yang gesit, lincah, dan mudah bergaul.

Setiap saat beliau pertama kali masuk ke rumah adalah untuk mendatangi sang Romo
Ayahanda dan bertanya: “Jika sudah besar nanti, jadi apakah aku kelak?”, tetapi Sosroningrat
tidak pernah menjawab dan hanya menggodanya dengan mencolek pipinya sambil tertawa.

Beberapa tahun kemudian, Sosroningrat keinginan Kartini untuk memulai pendidikan. Dengan
itu, beliau melanggar peraturan adat dimana wanita pribumi tidak diperbolehkan untuk
mengenyam pendidikan modern. Kartini ditempatkan di Europese Lagere School dimana beliau
belajar bahasa belanda dan tumbuh menjadi siswa yang cerdas, serta salah satu yang bisa
bergaul di antaranya sebagian besar siswa adalah orang Belanda dan campuran. Akan tetapi,
sekolahnya telah dianggap melakukan tindakan diskriminasi di mana mereka mengelompokkan
orang dan memutuskan nilai berdasarkan warna kulit.

Pada tahun 1892, saat Kartini menjelang 12 tahun, Romo menghadapkannya ke pernikahan
dan dipaksakan untuk berhenti sekolah. Ini karena Ayahanda berposisi sebagai bupati, dan
dengan itu beliau harus menghormati adat-istiadat. Kartini patah hati dengan berita mendadak
yang harus diterima di usianya yang masih muda ini, tetapi beliau menghargai keputusan Romo
karena tidak punya pilihan lain.

Dalam hari-hari isolasi Kartini, beliau rajin membaca berbagai macam majalah, dan juga
menulis surat untuk tokoh-tokoh Belanda yang disebut dalam apa yang dibaca. Beliau juga
mulai mencari sahabat pena dan menerbit iklan di majalah sebagai pencarian. Kartini dan
sahabat penanya sering saling menulis dan beliau terus-menerus meminta pendapat tentang
topik pernikahan muda, poligami, dll.

Pada tanggal 7 Agustus 1900, Kartini bertemu dengan dua sahabat penanya, di mana beliau
kemudian mulai memiliki koneksi dengan orang-orang dari dunia politik. Beliau juga mulai
sering membaca artikel macam-macam yang berasal dari Eropa, dan wanita-wanita yang
diceritakan dalam buku tersebut yang telah melakukan perbuatan-perbuatan besar menyebab
Kartini untuk memiliki gerakan di mana beliau menginginkan wanita pribumi dapat maju seperti
yang di Eropa.

Dengan ide itu, Kartini menulis surat kepada pasangan Abendanon tentang cita-citanya dan
merencanakan untuk sekolah di Belanda. Abendanon menasehati Kartini untuk berubah
pikirannya karena sekolah di Belanda bisa merepotkan dan menghalanginya untuk mencapai
tujuannya, dan mengusulkan ide untuk mendirikan sebuah sekolah.

Pertama kali sekolahnya dibuka, hanya satu siswa yang menghadiri kelasnya. Tetapi tidak lama
kemudian, banyak yang mengikuti, dan hasil lebih jelas. Anak-anak perempuan yang pribumi itu
diajarkan oleh Kartini cara menggambar, menulis, membaca, dll. Kartini juga mendapat
beasiswa untuk pendidikan guru tidak lama setelahnya.

Tiba-tiba, ada berita bahwa beliau akan dipaksa menikah kepada bupati bernama Raden
Adipati Djojoadiningrat. Itu berarti Kartini harus tolak tawaran beasiswa, dan beliau tertekan
dengan lamarannya. Beliau menerima tawaran pernikahan, tetapi dengan syarat. Salah satunya
adalah bahwa Kartini meminta untuk Rembang membuka sekolah yang akan menerima
perempuan pribumi seperti yang beliau sedang melakukan di Jepara.

Semua syarat Kartini diajukan, dan perjuangan Kartini tidak dihentikan setelah menikah. Beliau
melanjutkan pendidikan, tetap mengajari, mendirikan sekolah, dan di suatu saat, mengandung.
13 September 1904 adalah ketika beliau melahirkan seorang bayi laki-laki yang diberi nama
R.M. Soesalit Djojoadiningrat, namun Kartini meninggal tidak lama setelah melahirkan karena
efek samping yang menyertainya pada 17 September 1904.

Anda mungkin juga menyukai