P a d a S a a t P a n d e m i C o v i d - 1 9 |1
Bismillahirrahmanirrahim
Bidang Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi DKI Jakarta dalam rapatnya yang
berlangsung pada hari Selasa, 10 Syawal 1441 H/02 Juni 2020 M yang membahas tentang
Hukum dan Panduan Shalat Jum’at lebih dari satu kali pada saat Pandemi Covid-19, setelah:
MEMBACA : Surat dari Sekretaris Daerah Provinsi DKI Jakarta Nomor 469/-0.856 perihal
Permohonan Panduan Pelaksanaan Peribadatan dan Kegiatan Keagamaan
MENIMBANG:
1. Virus corona tipe 2 (SARS-CoV-2) penyebab COVID-19 di DKI Jakarta menjadi ancaman
serius bagi kehidupan warganya;
2. Belum ditemukan obat dan vaksin yang benar-benar efektif mengobati covid-19;
3. Kebijakan Pengendalian Sosial Berskala Besar (PSBB) yang dilakukan Pemerintah Provinsi
DKI Jakarta, yang dipatuhi warga berhasil mengendalikan dan menurunkan penyebaran
covid-19;
4. Rencana kebijakan tatanan kehidupan baru (New Normal Life) dari Pemerintah dengan
mengeluarkan aturan terkait tata cara ibadah di masjid, musholla, majelis taklim dan
lainnya dengan syarat memenuhi protokol kesehatan covid-19.
5. Kebijakan protokol kesehatan akan berakibat masjid-masjid di DKI Jakarta tidak mampu
menampung keseluruhan jamaah shalat Jumat;
6. Bidang Fatwa Majelis Ulama Indonesia Provinsi DKI Jakarta memandang perlu
menetapkan Fatwa Hukum dan Pedoman tentang Hukum dan Panduan Shalat Jum’at
Lebih dari Satu Kali Pada Saat Pandemi Covid-19.
MENGINGAT
1. Firman Allah SWT, antara lain:
a. QS. Al-Jumu’ah [62]: 9
"Wahai orang-orang yang beriman! Apabila telah diseru untuk melaksanakan salat pada
hari Jum‘at, maka segeralah kamu mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang
demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui."
“Dan janganlah kamu jatuhkan (diri sendiri) ke dalam kebinasaan dengan tangan sendiri,
dan berbuat baiklah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.”
ِ ِ ِ
َ أ َْو، أْ ِو ْامَرأَة، اعة إَِلَّ أ َْربَ َعة َعْبد َمَْلُوك
أ َْو َم ِريض، صِب َ َب َعلَى ُك ِل ُم ْسلم ِِف ََج
ٌ اْلُ ُم َعةُ َح ٌّق َواج
ْ
”Shalat Jumat itu hak yang wajib bagi setiap muslim secara berjamaah kecuali empat
orang yaitu budak yang dimiliki, perempuan, anak kecil, dan orang sakit”
اْلُ ُم َع ِة فَ َس ِم َع
ْ ت بِِه إِ ََل ِ ِ ُكْن: ب ب ِن مالِك قَ َال َّ َع ْن َعْب ِد
ُ ص ُرهُ فَِإذَا َخَر ْج َ َف ب َّ ي ُك َ ت قَائ َد أَِِب ح ُ َ ْ ِ الر ْْحَ ِن بْ ِن َك ْع
ِ َ َِْسع ذَل ِ ْ فَم َكث.َاألَذَا َن ِِبا استَ ْغ َفر ألَِِب أُمام َة أَسع َد ب ِن زرارة
َُسلَلَهْ إِ َّن َع ْزًاا أَ ْن َلَ أ: ت ُ ْك مْنهُ فَ ُقل ُ َْ ت حينًا أ ُ َ َ َُ ْ َ ْ َ َ َ ْ َ
ِ ِ ِ عن ه َذا فَخرج
ت َ ْ َاي أَبَتَاهُ أ ََرأَي: ت ْ ج فَلَ َّما َْس َع األَذَا َن ِِب ْْلُ ُم َعة
ُ ْاستَ ْغ َفَر لَهُ فَ ُقل ُ َخ ُر
ْت أ ُ ت بِه َك َما ُكْن ُ ْ ََ َ ْ َ
َس َع ُد أ ََّوَل َم ْن ََجَّ َع بِنَا ِِبلْ َم ِدينَ ِة
ْ َن َكا َن أ
ََّ َُى ب
ِ
ْ أ: ت األَذَا َن ِِب ْْلُ ُم َعة قَ َال
ِ
َ َس ْع َد بْ ِن ُزَر َارةَ ُكلَّ َما َْس ْع
ِ
َ است ْغ َف َارَك أل
ْ
ت ُ ْات قُل ُ ض َم ُ اض َة ِِف نَِقيع يُ َق
َ َال لَهُ ا ْْل
ِ
َ َ ِِف َه ْام م ْن َحَّرِة بََِن بَي-صلى هللا عليه وسلم- اَّلل
َِّ ول ِ قَبل م ْق َدِم رس
َُ َ َْ
ً أ َْربَعُو َن َر ُجال: َوَك ْم أَنْتُ ْم يَ ْوَمئِذ؟ قَ َال:
“Dari Abdurrahman Bin Ka’b Bin Malik ia berkata; ‘Aku adalah penuntun jalan ayahku
pada saat beliau menjadi buta. Apabila aku keluar bersama beliau untuk untuk
menunaikan shalat Jum’at lalu beliau mendengar Adzan maka beliau memintakan
ampun untuk Abu Umamah As’ad bin Zurarah. Maka selama beberapa saat aku
mendengar hal itu dari beliau, kemudian aku bergumam; Sesungguhnya sebuah
kelemahan jika aku tidak menanyakan hal ini kepada beliau. Maka aku keluar bersama
beliau sebagaimana biasanya. Tatkala beliau mendengar Adzan Jum’at beliau
memintakan ampun untuknya. Maka aku bertanya; Wahai ayah, kenapa engkau
beristighfar untuk As’ad bin Zurarah setiap kali engkau mendengar Adzan Jum’at?
Beliau menjawab; wahai putraku, As’ad adalah orang yang pertama kali
menyelenggarakan Shalat Jum’at bersama kami di Madinah sebelum kedatangan
Rasulullah SAW bertempat di sebuah tanah rendah dari tanah tak berpasir milik Bani
Bayadhoh di kawasan tempat berair yang bernama Al- Khodhomat. Aku pun lantas
bertanya; berapa jumlah kalian waktu itu? Ayahku menjawab; empat puluh lelaki’”.
3. Kaidah Fikih
MEMPERHATIKAN
Pendapat para ulama, antara lain:
1. Pendapat Imam Abu Hanifah, Imam Al-Syafii, dan mayoritas ulama sebagaimana
dijelaskan di dalam kitab ‘Aun al-Ma’bud Syarhu Sunan Abi Dawud sebagai berikut;
ِ ِ ِِ ِ ِِ ِ ِِ ِ ِ
ُض إِ ََل ا ْش َِتاط الْ َم ْسزد قَ َال ألَن ََّها ََلْ تُ َق ْم إََِّل فيه َوقَ َال أَبُو َحني َف َة َوالشَّافع ُّي َو َسائ ُر العُلَ َماء إِنَّهُ ب البَ ْع َ َو َذ َه
ٌّ َغْي ُر َش ْرط َو ُه َو قَ ِو
ي
"Sebagian ulama mempersyaratkan masjid sebagai tempat pelaksanaan shalat Jumat.
Sebab, menurut mereka shalat Jumat tidak didirikan kecuali di masjid. Sedangkan
menurut Imam Abu Hanifah, Imam Al-Al-Syafi’i dan mayoritas ulama bahwa masjid
bukan syarat bagi pelakasanaan shalat Jumat. Ini adalah pendapat yang kuat."
(Muhammad Syamsul Haq Abadi, ’Aun al-Ma'’ud Syarhu Sunani Abi Dawud, Bairut-Dar al-
Kutub al-‘Ilmiyyah, Cet ke-2, 1415 H, juz, III, h. 281).”
“Yang ketiga dari syarat sahnya pelaksanaan shalat Jumat adalah tidak didahului dan
berbarengan dengan shalat Jumat lain dalam satu kawasan (baldah) meskipun kawasan
tersebut luas sebagaimana pendapat Imam Al-Al-Syafi’i. Sebab, Nabi SAW dan khulafaur
rasyidin tidak pernah mengadakan shalat Jumat melebihi satu kali dalam satu kawasan.
Hal ini selaras dengan tujuan shalat Jumat itu sendiri yaitu memperlihatkan syi’ar
persatuan umat Islam. Menurut Imam Al-Syafi’i, apabila boleh mengadakan shalat Jumat
di dua masjid (dalam satu kawasan, pent) maka boleh juga mengadakan di masjid-masjid
kabilah. Padahal menurut ijmak (konsesnsus ulama) hal tersebut tidak boleh kecuali
kawasan tersebut luas dan sulit mengumpulkan jamaah shalat Jumat pada satu tempat.
Seperti tidak tersedianya tempat yang memadai untuk menampung shalat Jumat dengan
tanpa adanya kesulitan walaupun bukan masjid sehingga boleh melaksanakan jumatan
lebih dari satu dalam satu kawasan karena adanya kebutuhan (hajat). Imam Al-Syafi’i
pernah mengunjungi kota Baghdad dan melihat penduduknya mengadakan dua shalat
Jumat (dalam satu kawasan, pent), dan diriwayatkan dalam pendapat lain tiga shalat
Jumat, namun beliau tidak mengingkari hal tesebut. Sikap Imam Al-Syafi’i yang demikian
itu, dipahami mayoritas ulama madzhab Al-Syafi’i dalam konteks adanya kesulitan
mengumpulkan jamaah shalat Jumat dalam satu tempat.” (Muhammad asy-Syarbini al-
Khathib, Mughi al-Muhtaj, Bairut-Dar al-Fikr, tt, juz, I, h. 281).”
3. Pendapat Abdul Wahhab asy-Sya’rani tentang alasan pelarangan dan kebolehan ta’addud
al-jumuah yang dikemukakan dalam kitab al-Mizan al-Kubra sebagai berikut:
اجتِ َماعُ ُه ْم ِِف َم َكان ِ ْ ك قَو ُل ْاألَئِ َّم ِة ْاألَرب ع ِة أَنَّه ََل ََيوز تَعدُّد ِ ِ
ْ اْلُ ُم َعة ِِف بَلَد إََِّل إِ َذا َكثَ ُروا َو َع ُسَر ُ َ ُ ُ ُ َ َْ ْ َ َوم ْن َذل
ِِ َّ َو ِاحد … َوَو ْجهُ ْاأل ََّوِل أ
صلُّو َن ا ْْلُ ُم َع َة إََِّل َّ فَ َكا َن،َعظَِم
َ ُالص َحابَةُ ََل ي ْ اْل َم ِام ْاأل
ِْ ب ِص َ َن إِ َم َام َة ا ْْلُ ُم َعة م ْن َمْن
ف الْ َم ْس ِز ِد الَّ ِذي َ آخَر ِخ َال ِ
َ فَ َكا َن ُك ُّل َم ْن ََجَ َع بَِق ْوم ِِف َم ْسزد.ك
ِ
َ الر ِاش ُدو َن َعلَى َذل َّ ُاْلُلَ َفاء
ْ َوتَبَ َع ُه ُم.َُخلْ َفه
،ٌَت َكثِ َرية ِ ِ فَ َكا َن ي ت ولَّ ُد ِمن َذل.اْلمام ِة ِِ ث الن ِْ فِ ِيه
ٌَ ك ف َ ْ َ ََ َ َ ِْ إ َّن فَُال ًًن يُنَا ِزعُ ِِف:َّاس به َويَ ُقولُو َن ُ ُ َعظَ ُم يُلَ ِو ْ اْل َمامُ ْاأل
ِ ِ ِ ِ ِ ِ َك،اْلمام ْاألَعظَم ِ فَس َّد ْاألَئِ َّمةُ ه َذا الْباب إََِّل لِع ْذر ي ر
بُ َ فَ َه َذا َسب.ضْيق َم ْسزده َع ِن ََجي ِع أ َْه ِل الْبَ لَد َ ُ ْ ُ َ ِْ ضى بِه َ َْ ُ َ َ َ َ
ِ فَبطْ َال ُن ا ْْلمعة.اْلمع ِة ِِف الْب لَ ِد الْو ِاح ِد إََِّل إِ َذا عسر اجتِماعهم ِِف م َكان و ِاحد ِ ِ ِ
َ ُُ ُ َ َ ْ ُ ُ َ ْ َُ َ َ َ َ ُ ُْ ُّد ُ وز تَ َعد
ُ ُقَ ْول ْاألَئ َّمة أَنَّهُ ََل ََي
Bidang Fatwa MUI Provinsi DKI Jakarta
Hukum dan Panduan Shalat Jum’at Lebih Dari Satu Kali
P a d a S a a t P a n d e m i C o v i d - 1 9 |5
“Di antara pendapat yang diperselisihkan adalah pendapat Imam Empat yang
menyatakan bahwa tidak boleh mengadakan shalat jumat lebih dari satu kali (ta’addud
al-jumu’ah) dalam satu kawasan kecuali ketika jumlah penduduknya banyak dan sulit
berkumpul dalam satu tempat… Alasan pendapat pertama adalah bahwa imam shalat
Jumat termasuk kewenangan al-Imam al-A’zham (kepala tertinggi pemerintahan), maka
para sahabat tidak pernah melaksanakan shalat Jumat kecuali di belakangnya. Al-
khulafa’ ar-rasyidun pun mengikuti mereka dalam praktek tersebut. Sebab itu, setiap
orang yang mengimami suatu kaum dalam pelaksanaan shalat Jumat di masjid lain selain
masjid yang digunakan al-imam al-a’zham pasti mendapat perhatian yang besar dari
masyarakat dan mereka berkata: “Dia melawan pemerintahan yang sah”. Dari sinilah
kemudian muncul berbagai fitnah dan para ulama membatasi kebolehan boleh ta’addud
al-Jumu’ah kecuali karena uzur yang diperbolehkan oleh al-imam al-a’zham. Inilah sebab
pendapat para ulama yang melarang boleh ta’addud al-Jumu’ah dalam satu kawasan
kecuali ketika mereka sulit berkumpul dalam satu tempat. Maka batalnya shalat Jumat
yang kedua bukan karena shalatnya itu sendiri dzat ash-shalat), akan tetapi karena
kekhawatiran terjadinya fitnah.
Maka ketika substansi pelarangan mengadakan jumatan lebih dari satu tempat
(ta’addud al-jumu’ah) ini hilang, yaitu kekhawatiran fitnah, maka boleh mengadakannya
sesuai dengan hukum asal pendirian shalat jamaah. Yang demikian ini barang kali yang
dimaksudkan oleh Imam Dawud dalam statemennya; ‘Sesungguhnya shalat Jumat seperti
shalat-shalat lainnya’. Kesimpulan ini dikuatkan dengan fakta bahwa terjadi pelaksanaan
jumatan lebih dari satu tempat di berbagai kawasan tanpa berlebihan dalam meneliti
penyebabnya. Barangkali ini yang dikehendaki syari’at. Andaikan pelaksanaan shalat
jumat lebih dari satu tempat dalam satu kawasan dilarang, niscaya tidak diperkenankan
sama sekali dan ada hadits yang melarangnya, meski hanya satu hadits. Oleh karena itu
maka semangat (himmah) Rasulullah saw sebagai pembawa syariat senantiasa berlaku
untuk memudahkan umat Islam dalam kebolehan ta’addud al-jumu’ah di berbagai
kawasan sekiranya hal tersebut lebih memudahkan mereka dibandingkan dengan
berkumpul dalam satu tempat Jumat.” (Abdul Wahhab asy-Sya’rani, al-Mizan al-Kubra,
Jakarta-Dar al-Kutub al-Islamiyyah, tt, juz, I, h. 209-210).”
4. Penjelasan Syaikh Al-Nawawi al-Bantani dalam kitab Suluku al-Jaddah fi Bayani al-
Jumu’ah atas pendapat Imam Syafii mengenai jumalah jamaah sebagai keabasahan shalat
Jumat sebagai berikut:
َن لِلشَّافِعِ ِي َرِْحَهُ هللاُ تَ َع َاَل ِِف الْ َع َد ِد الَّ ِذي تَ ْن َع ِق ُد بِِه
َّ (أ:َج ِوبَِة
ْ ك ْاأل َ َي ِم ْن تِْل ْ َّم) أ
ِ ِ
َ اَ ْْلَاص ُل َمَّا تَ َقد:ولُ ُفَلَق
،ب الشَّافِعِيَِّة ِ َُي ِِف ُكتْ ورةُ) أ
ِ ِ ِ وهو َكونُهم أَربع،يد
َ ي ِبلش ُُّروط الْ َم ْذ ُك
ِ
َ َْ ْ ُ ْ َ ُ َ ُ قَ ْوٌل ُم ْعتَ َم ٌد َو ُه َو ا ْْلَد.اْلُ ُم َعةُ أ َْربَ َعةُ أَقْ َوال ْ
َوَه َذا ُم َوافِ ٌق ِألَِِب َحنِ َيف َة َوالث َّْوِر ِي،)ام ِْ َح ُد ُهم
ُ اْل َم ُ َ أ َْربَ َعةٌ أ:َح ُد َها
َ أ.ٌضع َيفة
ِ ب الْ َق ِد ِمي
َ ِ ذهَ (وثََالثَةُ أَقْ َوال ِِف اْلَ ْم
َ
ِ ِ ِ ِ ِْ َح ُد ُهم ِ
ِ َ .َواللَّْيث
اثْنَا:ث ُ (والثَّالَ .ف َو َُمَ َّمد َو ْاأل َْوَزع ُّي َوأَِِب ثُور ُ ُ َوَه َذا ُم َواف ٌق ألَِِب ي،)ام
َ وس ُ اْل َم ُ َ ثََالثَةٌ أ:(والثَّاِن
ور ِم ِن ِ ِ ُّ ام) َوَه َذا ُم َوافِ ٌق لَِربِ َيع َة َو
ُ ك) أَ ِي الْ َم ْذ ُك َ الاْه ِر ِي َو ْاأل َْوَز ِع ِي َو َُمَ َّمد … (إِ َذا عُل َم َذل ِْ َح ُد ُهم
ُ اْل َم ُ َ َع َشَر أ
ِ ِ ِ ِ ِ ِ (فَعلَى الْعاقِ ِل الطَّال،اْلمع ِة ِِبَح ِد ه ِذهِ ْاألَقْ و ِال ْاألَرب ع ِة ِ
ضاهُ (أَ ْن ََل َ ب َما عْن َد هللا تَ َع َاَل) م ْن ثَ َوابِه َوِر َ َ َ َْ َ َ َ َ ُ ُْ اد ُ انْع َق
،ٌص َد ِريَّةٌ ظَْرفِيَّة ِ ِ ِ ِ
ْ فَ َما َم.َي أ َْم َك َن (ف ْعلُ َها َعلَى َواحد م َن ْاألَقْ َو ِال) أَ ِي ْاأل َْربَ َعة ْ (ما ََتَتَّى) أ
ِِ ِ ْ ي ْت رَك
َ اْلُ ُم َعة) ِِبْل ُكليَّة َُ
ِ ِ ِ
.ك َ َي ُم َّد َة ُس ُهولَة ف ْعلُ َها َعلَى َذل ْأ
ْ ان قَ َال أَبُو َعلِ ِي بْ ُن أَِِب ُهَريَْرَة تَ ْن َع ِق ُد ِبِِ ْم َِلَنَّهُ تَلَْاُم ُه ُم
ُاْلُ ُم َعة ِ وطنِي فِ ِيه وجه ِ
َ ْ َ َ َي َغ ِْري ُم ْست
ِ ِِ ِ
َ َوَه ْل تَ ْن َعق ُد ِبُقيم
صلَّى هللاُ َعلَْي ِه َو َسلَّ َم َخَر َج إِ ََل َعَرفَات ِ ِ ِ َ ي َوقَ َال أَبُو إِ ْس َح ِِ ِِ فَانْع َق َد
َّ ِاق ََل تَْن َعق ُد ِبْ ْم َلَ َّن الن
َ َِّب َ ت ِب ْم َكالْ ُم ْستَ ْوطن ْ َ
ت ِبِِم اْلُ ُم َعةُ َألَقَ َام َها ِِ ِ ِ ِ
ْ ي فَلَ ِو انْ َع َق َدَ يمو َن َغْي ُر ُم ْستَ ْوطن َ َوَكا َن َم َعهُ أ َْه ُل َم َّك َة َو ُه ْم ِِف َذل
ُ ك الْ َم ْوض ِع ُمق
"Apakah keabsahan pelaksanaan shalat Jumat dapat terpenuhi dengan orang-orang
berstatus muqim (orang bertujuan menetap di suatu daerah mininmal empat hari empat
malam atau bertahun-tahun tetapi ada niat untuk kembali ke tanah kelahirannya, pent)
yang bukan mustawthin (orang yang menetap di tanah kelahirannya atau bisa juga
pindah ke tempat lain tetapi tidak ada keinginan untuk kembali, pent)? Dalam hal ini ada
dua pendapat. Pertama, menurut Abu Ali bin Abi Hurairah, keabsahan pelaksnaan shalat
Bidang Fatwa MUI Provinsi DKI Jakarta
Hukum dan Panduan Shalat Jum’at Lebih Dari Satu Kali
P a d a S a a t P a n d e m i C o v i d - 1 9 |7
Jumat dapat terpenuhi dengan mereka yang berstatus sebagai muqim. Sebab, mereka
berkewajiban melaksanakan Jum’at sehingga keabsahannya dapat terpenuhi oleh
mereka sebagaimana halnya penduduk asli. Pendapat kedua, menurut Abu Ishaq, bahwa
keabasahan pelaksanaan shalat Jumat tidak bisa terpenuhi oleh mereka. Karena Nabi
SAW keluar ke Arafah bersama penduduk Makkah di mana mereka (pada saat di Arafah)
statusnya adalah muqim yang tidak mustawthin. Seandainya keabsaha shalat Jumat
dapat terpenuhi dengan mereka niscaya Nabi akan mendirikan Jumat." (Abu Ishaq asy-
Syirazi, al-Muhadzdzab, Bairut-Dar al-Fikr, juz, I, h. 110)
6. Pandangan Imam Nawawi atas apa yang dikemukakan penulis kitab al-Muhadzdzab di
dalam kitab al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab sebagai berikut:
7. Dr. Sholeh bin Abdul Aziz al-Ghaliqah, dalam Tikrar Sholatil Jumu’ah fi al-Masjid al-Wahid
li dhiiq al-Makaan, (Riyadh: Markaz at-Tamayuz al-Bahtsy fii Fiqh al-Qadhaya al-
Muashirah, 2014), h. 60-61.
ِبذا أفتت دار اْلفتاء املصرية و اجمللس.أن إنشاء َجعتي ِف مسزد واحد جائا إذا دعت اْلاجة لذلك
و هو الرأي الثاِن (اْلديد) للزنة مركا الفتوى ِف موقع إسالم ويب حيث قالوا.األوروِب لإلفتاء والبحوث
والذي يظهر لنا أنه َل فرق بي إقامتها ِف مكان أخر أو ِف نفس املكان ما دامت اْلاجة للتعدد قائمة و
-عند قيام اْلاجة لذلك- أن ِف املنع من إنشاء َجعتي ِف مسزد واحد: الدليل األول:استدلوا بدليلي
وهلا.مفسدة إذ ُيرم كثري من املسلمي من أدا هذه الفريضة اليت تعد من الشعائر العظيمة ِف اْلسالم
وحصول التعارف بينهم مع ما يتحقق فيها من التوجيه،مقاصد حاجية كاجتماع املسلمي وَتليف قلوِبم
.والوعظ والتعليم
“Mendirikan dua sholat Jum’at di satu masjid boleh, apabila hal itu memang dibutuhkan.
Ini yang difatwakan oleh Majlis Ifta Mesir, Majelis Fatwa dan Kajian Eropa, dan
merupakan pendapat baru Komisi Pusat Fatwa di Situs Islam Web. Mereka berkata”
“Kami memandang bahwa tidak ada perbedaan antara mendirikan dua Jum’at di tempat
yang berbeda atau di tempat yang sama, selama kebutuhan untuk pelaksanaan multi
Jum’at itu ada. Mereka berargumen dengan dua dalil, yang pertama: Larangan
mendirikan dua Jumat di satu masjid- ketika kondisi membutuhkannya- merupakan
mafsadah (kerusakan) karena banyak orang Islam dilarang untuk melaksanakan
kewajiban Jumat yang dianggap sebagai salah satu syiar utama dalam Islam. Mengingat
dalam sholat Jumat terdapat tujuan-tujuan sekunder, seperti berkumpulnya umat Islam,
mempersatukan hati mereka, saling mengenal antara mereka, di samping dalam ibadah
Jumat terdapat aspek pengarahan, nasehat, dan pendidikan.”
8. Fatwa MUI Provinsi DKI Jakarta Tahun 2001 tentang Fatwa Hukum Shalat Jum’at Dua
Shift;
9. Pendapat, saran dan masukan yang berkembang pada Rapat Bidang Fatwa MUI Provinsi
DKI Jakarta pada tanggal 02 Juni 2020.
MEMUTUSKAN
MENETAPKAN : HUKUM DAN PANDUAN TA’ADDUD AL-JUMUAH SELAIN DI MASJID PADA SAAT
PANDEMI COVID-19
Ketiga : Rekomendasi
1. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berperan aktif menciptakan suasana
kondusif dalam pelaksanaan kegiatan ibadah pada masa New Normal Life;
2. Pengurus masjid dan majelis taklim hendaknya menerapkan protokol
kesehatan Covid-19;
3. Para ustadz/ustadzah, mubaligh, dai, dan khotib berpatisipasi untuk
mengedukasi masyarakat agar bertindak bijak menghadapi New Normal
Life sesuai protokol kesehatan;
4. Umat Islam DKI Jakarta tetap berusaha menjaga kesehatan dan kebersihan,
serta berkoordinasi dengan pihak terkait dalam kegiatan ibadah dan majelis
taklim.
Keempat : Penutup
Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian
hari ternyata membutuhkan penyempurnaan, akan diperbaiki dan
disempurnakan sebagaimana mestinya.
Ditetapkan di Jakarta, 10 Syawal 1441 H
02 Juni 2020 M