Anda di halaman 1dari 4

Jenis-jenis penghasilan

 Penghasilan yang merupakan obyek vs bukan obyek PPh

Objek pajak, objek pajak yang menjadi sasaran PPh adalah penghasilan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) UU PPh1984, yang lengkapnya berbunyi, “Yang menjadi
objek pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima
atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia,
yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaaan Wajib Pajak yang
bersangkutan dengan nama dan dalam bentuk apapun,...”

Non Objek Pajak  warisan;  harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai
pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal;  penggantian atau imbalan
sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura
dan atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah;  pembayaran dari perusahaan
asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan,
asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa

 Penghasilan teratur vs tidak teratur

Penghasilan teratur  Penghasilan yang lazimnya diterima atau diperoleh secara berkala; 
Yang bersumber dari kegiatan usaha, pekerjaan bebas, pekerjaan, harta dan atau modal;

Penghasilan teratur (cont.)  Contoh: – Penjualan – Fee (atas jasa) – Gaji dan tunjangan –
Penghasilan sewa – dll

Penghasilan tidak teratur  Penghasilan yang tidak diterima atau tidak diperoleh dalam setiap
tahun pajak

Penghasilan tidak teratur (cont.)  Contoh: – Laba penjualan aktiva tetap – Laba selisih kurs
– Dividen (jika tidak setiap tahun diterima)

 Penghasilan yang merupakan obyek PPh Final vs non Final

Penghasilan yang merupakan obyek PPh Final  PPh Final: tidak dapat dijadikan sebagai
kredit pajak  Penghasilannya tidak perlu digabungkan lagi dalam perhitungan pajak
terhutang

PAJAK Penghasilan (PPh) Pasal 25 adalah pembayaran PPh secara angsuran dalam tahun pajak
berjalan yang harus dibayar sendiri oleh wajib pajak orang pribadi maupun badan setiap bulan
setelah dikurangi dengan kredit pajak.

Pajak yang satu ini memberikan kemudahan bagi wajib pajak agar tidak terlalu terbebani dengan
pembayaran pajak sekaligus pada akhir tahun yang dirasa akan memberatkan wajib pajak.
Dalam Pasal 25 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang PPh sebagaimana telah beberapa
kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008 (UU PPh) dijelaskan bahwa
pembayaran pajak bisa diangsur atau dicicil di muka dengan pembayaran cicilan setiap bulan.

Angsuran Pajak PPh Pasal 25 dibayarkan setiap bulan paling lambat tanggal 15 bulan berikutnya,
dan dilaporkan ke Kantor Pelayanan Pajak paling lambat tanggal 20 bulan berikutnya. Sebagai
contoh, untuk masa pajak Januari 2016, maka angsuran PPh Pasal 25 disetor paling lambat
tanggal 15 Februari 2016 dan dilaporkan paling lambat tanggal 20 Februari 2016.

Perhitungan PPh Pasal 25

Besarnya angsuran PPh Pasal 25 dihitung berdasarkan data Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan
pada tahun sebelumnya, setelah dikurangi dengan PPh yang telah dipotong atau dipungut oleh
pihak lain dan kredit pajak lainnya, kemudian dibagi 12 atau total bulan dalam pajak masa
setahun.

Kondisi tersebut mengakibatkan adanya selisih atau perbedaan yang terjadi dengan kondisi
sebenarnya yang harus dibayar pada tahun pajak terakhir. Jika selisih tersebut menyebabkan
pajak yang seharusnya dibayar menjadi kurang bayar maka kekurangan tersebut harus
dibayarkan pada akhir tahun. Kekurangan inilah yang dinamakan dengan PPh Pasal 29.

Sebaliknya, jika terdapat kelebihan pajak yang dibayar, maka wajib pajak dapat meminta
kelebihan pembayaran pajak yang telah dibayarkan atau disebut sebagai restitusi.

Pasal 25 ayat 4 dan 6 UU PPH menjelaskan bahwa terdapat beberapa hal yang dapat
mempengaruhi besarnya jumlah angsuran PPh pasal 25 yaitu:

 Apabila dalam tahun pajak berjalan diterbitkan surat ketetapan pajak (SKP) untuk tahun
pajak yang lalu, maka besarnya angsuran pajak dihitung kembali berdasarkan SKP tersebut,
dan berlaku mulai bulan berikutnya setelah bulan penerbitan SKP.
 Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menetapkan penghitungan besarnya angsuran
pajak dalam tahun pajak berjalan dalam hal-hal tertentu, sebagai berikut:
1. Wajib pajak berhak atas kompensasi kerugian;
2. Wajib pajak memperoleh penghasilan tidak teratur;
3. SPT Tahunan PPh tahun yang lalu disampaikan setelah lewat batas waktu yang
ditentukan;
4. Wajib pajak diberikan perpanjangan jangka waktu penyampaian Surat
Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan;
5. Wajib pajak membetulkan sendiri SPT Tahunan PPh yang mengakibatkan
angsuran bulanan lebih besar dari angsuran bulanan sebelum pembetulan; dan/atau
6. Terjadi perubahan keadaan usaha atau kegiatan wajib pajak.

Lebih lanjut, Menteri Keuangan diberikan kewenangan untuk menetapkan dasar perhitungan
besarnya angsuran bulanan PPh Pasal 25. Oleh karenanya, Menteri Keuangan mengeluarkan
Peraturan Menteri Keuangan No. 255/PMK.03/2008 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan
Menteri Keuangan No. 208/ PMK.03/ 2009 yang menetapkan penghitungan besarnya angsuran
PPh dalam tahun pajak berjalan yang harus dibayar sendiri oleh:

 Wajib pajak baru;


 Bank, Sewa Guna Usaha Dengan Hak Opsi, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha
Milik Daerah, wajib pajak masuk bursa dan wajib pajak lainnya yang berdasarkan ketentuan
diharuskan membuat laporan keuangan berkala; atau
 Wajib pajak orang pribadi pengusaha tertentu.

Untuk pembahasan berikutnya, akan dijelaskan mengenai penentuan tarif PPh Pasal 25, batas
waktu pembayaran, syarat yang harus dipenuhi dalam membayar PPh Pasal 25 serta sanksi atas
keterlambatannya.*

Pengertian
Pajak Penghasilan PPh Pasal 25 Muljono (2009) Menyatakan bahwa pajak Penghasilan
(disingkat PPh) dikenakan terhadap Wajib Pajak dalam satu periode tertentu yang dinamakan
tahun pajak. Berdasarkan hal ini, maka perhitungan dan penghitungan PPh dilakukan setahun
sekali yang dituangkan dalam SPT Tahunan. Karena penghitungan PPh dilakukan setahun sekali,
maka penghitungan ini harus dilakukan setelah satu tahun tersebut berakhir agar semua data
penghasilan dalam satu tahun sudah diketahui. Untuk perusahaan, tentu saja data penghasilan ini
harus menunggu laporan keuangan selesai dibuat.
Cara seperti itu tentu saja jumlah PPh terutang yang wajib dibayar baru dapat diketahui ketika
suatu tahun pajak telah berakhir. Agar Steven Karuniawan, Jenny Morasa, Stanley Kho
Walandouw 223 pembayaran pajak tidak dilakukan sekaligus yang tentunya akan memberatkan,
maka dibuatlah mekanisme pembayaran pajak di muka atau pembayaran cicilan setiap bulan.
Pembayaran angsuran atau cicilan ini dinamakan Pajak Penghasilan Pasal 25.
Cara Menghitung PPh Pasal 25
Besarnya angsuran PPh Pasal 25 harus dihitung sesuai dengan ketentuan.
Pada umumnya, cara menghitung PPh Pasal 25 didasarkan kepada data SPT Tahunan tahun
sebelumnya. Artinya, kita mengasumsikan bahwa penghasilan tahun ini sama dengan
penghasilan tahun sebelumnya. Tentu saja nanti akan ada perbedaan dengan kondisi sebenarnya
ketika tahun pajak sekarang sudah berakhir. Selisih tersebutlah yang kita bayar sebagai
kekurangan pajak akhir tahun. Kekurangan bayar akhir tahun ini biasa dinamakan PPh Pasal 29.
Apabila selisihnya menunjukkan lebih bayar, maka kondisi ini dinamakan restitusi atau Wajib
Pajak meminta kelebihan pembayaran pajak yang telah dilakukan.
Menurut Peraturan Dirjen Pajak No.PER-22/PJ/2008 bahwa pembayaran PPh Pasal 25 melalui
modul penerimaan negara (MPN) dan SSP PPh Pasal 25 yang telah mendapat validasi NTPN
(nomor transaksi penerimaan Negara) dari bank, maka Wajib Pajak dianggap telah melakukan
pelaporan PPh Pasal 25. Perhitungan Pajak Terutang Dalam menghitung Pajak Penghasilan yang
terutang, dibedakan antara Wajib Pajak dalam negeri dan Wajib Pajak luar negeri.
Bagi Wajib Pajak Badan dalam negeri pada dasarnya untuk menentukan besarnya Penghasilan
Kena Pajak yaitu perhitungan Pajak Penghasilan dengan dasar pembukuan.Sementara Wajib
Pajak Orang Pribadi yang peredaran brotonya di bawah Rp. 600.000.000,00(enam ratus juta)
diperkenankan menggunakan norma perhitungan penghasilan neto berdasarkan pencatatan.
Orang pribadi yang berada di Indonesia untuk jangka waktu secara berturut-turut yang lebih dari
183 (seratus delapan puluh tiga) hari dianggap sebagai Wajib Pajak dalam negeri, dan wajib
memenuhi kewajiban dan haknya selaku Wajib Pajak dalam negeri. Wajib Pajak yang
meninggalkan Indonesia untuk jangka waktu yang tidak lebih dari 1 (satu) tahun, masih
merupakan Wajib Pajak dalam negeri dan masih dikenakan pajak di Indonesia.
Jurnal Riset Akuntansi Going Concern 12(1), 2017, 220-232 224 Penelitian Terdahulu
Separingga (2014) meneliti tentang Analisis Penerapan Tax Planning Dalam
MeminimalkanPembayaran Pajak Penghasilan Badan PadaPT Pupuk Sriwidjaja Palembang.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif.Hasil penelitian menunjukan
penerapan perencanaan pajak pada PT. Pupuk Sriwidjaja Palembang telah berjalan sesuai dengan
Undang – Undang PPh No. 36 tahun 2008 sehingga tidak melanggar ketentuan yang berlaku
dengan terjadi efisiensi pembayaran beban pajak penghasilan. Renita (2013) meneliti tentang
Penerapan Perencanaan Pajak Penghasilan Badan Sebagai upaya EfesiensiPembayaran Pajak PT
SINAR SASONGKO.Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif kualitatif
dan hasil penelitian menunjukan PT. Sinar Sasongko merupakan perusahaan yang juga
melakukan pembukuan untuk menyediakan informasi yang menyangkut laporan keuangan
perusahaan agar dapat dinilai kinerjanya.

Anda mungkin juga menyukai