Anda di halaman 1dari 22

-RANDAS TATA IBADAH GPIB-

DRAFT RANCANGAN DASAR (RANDAS) PERANGKAT TEOLOGI – TATA IBADAH

KERANGKA PIKIR
Tata Ibadah berisi tatanan tentang cara beribadah yang rapi, tertib dan teratur dalam rangka menunjang penghayatan perjumpaan antara umat dengan Tuhan dan umat dengan
sesamanya, sehingga ibadah berlangsung untuk kemuliaan Allah yang memilih dan menguduskan umat-Nya. Oleh karena itu Tata Ibadah mengandung Rumpun, Unsur dan Simbol.
Ibadah juga diselenggarakan menurut Lectio Selecta/Continua dan Tahun Gereja.
Berkaitan dengan hal tersebut diatas, maka penting adanya penjelasan Teologis dan petunjuk pelaksanaan serta petunjuk teknis Ibadah karena di masing-masing Jemaat masih terdapat
perbedaan penjelasan terkait pemahaman dan pelaksanaan ibadah. Pengetahuan dan pemahaman para pendeta yang berbeda-beda, yang mestinya memperkaya pemahaman dan
pelaksanaan ibadah, terlebih memperkaya ekspresi dalam beribadah, sering menjadi polemik dan menimbulkan kebingungan di kalangan Jemaat. Di dalam Buku Hasil Ketetapan
Persidangan Sinode tentang Ibadah, ada banyak hal terkait rumpun, unsur, simbol-simbol ibadah belum dijelaskan pemahaman teologisnya, dan belum tersedia petunjuk pelaksanaan
dan petunjuk teknisnya. Perlu disadari bahwa teologi ibadah dan pemakanaan simbol-simbol ibadah berkembang pesat, sehingga perlu selalu diperkaya dan dicerahkan oleh teolog-
teolog yang sangat bergelut dengan hal tersebut. Hal ini dipandang penting karena dengan dasar teologis yang jelas maka petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknisnya akan
dilaksanakan dengan baik.

TATA IBADAH DASAR TEOLOGIS PEMAHAMAN IMAN

PERSOALAN
IBADAH & 1. JUKLAK
PERANGKAT 2. JUKNIS

No. Pokok Bahasan Daftar Inventaris Masalah (DIM) Hasil Ketetapan Yang Berlaku Usulan
1 PAKAIAN LITURGIS
1.1. Pendeta GPIB a Pakaian Liturgis atau Pakaian Jabatan? Buku II Hasil Ketetapan Persidangan Sinode XX Para pendeta yang diundang menghadiri upacara-upacara
(Khususnya pakaian yang digunakan oleh Tahun 2015 halaman 178 sebagai berikut: ke-pemerintah-an, mengenakan pakaian liturgis yang
Pendeta GPIB pada saat diundang GPIB tidak mengenal pakaian jabatan untuk sepadan dengan jabatannya.
menghadiri upacara-upacara baik Pendeta atau Presbiter lainnya (Diaken dan
kenegaraan atau instansi lainnya termasuk Penatua). Yang ada adalah pakaian liturgis yang Makna tahbisan berarti “seseorang ditahbiskan ke dalam
melaksanakan angkat sumpah pegawai ) digunakan pada waktu melakukan tugas pelayanan jabatannya”. Di GPIB ini terjadi dalam peristiwa liturgis.
ibadah, baik ibadah Hari Minggu di gedung Gereja, Karena itu, ada pakaian jabatan dan pakaian liturgis.
maupun ibadah lain di luar gedung ibadah. Pakaian jabatan maupun pakaian liturgis ini diterima dari
Gereja dan karena itu penggunaan pakaian tersebut
menandakan kehadirannya di acara mewakili gereja sebagai
1
-RANDAS TATA IBADAH GPIB-

seorang pejabat gereja.

Oleh karena itu, toga putih yang dipakai oleh Pendeta GPIB
dan disebut sebagai pakaian liturgis adalah juga pakaian
jabatan.
Eklesiologi Calvin memberi jawaban terhadap pesoalan ini.
Konsep eklesiologi Calvin bergeser dari model gereja
sebagai persekutuan (tubuh Kristus) (makanya bisa disebut
pakaian liturgis) ke model gereja sebagai lembaga (makanya
toga bisa disebut pakaian jabatan).
Sehingga, pada diri pendeta menyatu fungsi kegembalaan
dan kepejabatan (apalagi GPIB punya jalan sejarah yang
khas sebagai pewaris “gereja negara”; lebih-lebih pada
jabatan pendeta/Ketua Majelis Jemaat yang menyatukan
fungsi gembala dan pejabat)

Toga dapat digunakan dalam pelantikan dan pengambilan


sumpah pejabat pemerintah dengan berdasar pada teologi
Reformatoris tentang dua kerajaan bahwa negara adalah
hamba Allah, dan terlebih dahulu mendapat pengesahan
pada tingkat konsistorium (sidang majelis jemaat) yang khas
dalam eklesiologi Calvin.

Kehadiran seorang pendeta dengan toga putihnya sekaligus


bentuk pengakuan bahwa negara adalah hamba Allah, yang
dalam perspektif Calvin, negara tetap dilihat secara profetis.

Pakaian liturgis dan pakaian jabatan pendeta GPIB, yang


berwarna putih, sejatinya mewakili semangat ekumenisme
gereja-gereja dunia, dan nilai-nilai keindonesiaan yang
kontekstual, sederhana, suci, dan berbelarasa pada
penderitaan dunia.
b Model Toga Putih/Pakaian Liturgis Buku II Hasil Ketetapan Persidangan Sinode XX Tahun Simbol 70 murid dasar Alkitabnya Lukas 10 : 1 – 17.
2015 halaman 178 sebagai berikut:
Ploi (lipatan kecil) bagian atas pangkal lengan Cukup jelas.
berjumlah 70, simbol 70 murid yang diutus oleh Tuhan
Yesus ke segala bangsa.
Di atas pundak terdapat tiga kancing putih besar,
simbol Tritunggal;
Seluruh toga disatukan dengan 12 kancing; simbol 12

2
-RANDAS TATA IBADAH GPIB-

murid/rasul Yesus Kristus.


c. Kalung Salib Buku II Hasil Ketetapan Persidangan Sinode XX Tahun Penggunaan “salib” bersamaan dengan toga dan stolanya
2015 halaman 179 sebagai berikut: juga merupakan amanat gerakan ekumenis, selain
Toga GPIB mestinya tanpa variasi asesoris apa pun penggunaan klerikal kolar (clerical collar).
seperti kalung salib, tali pinggang dll. Oleh karena itu, dasar pemberlakuan penggunaan salib
(bersamaan toga putih, juga baniang dan stola) bagi para
pendeta GPIB adalah semangat gerakan ekumenis.

Apabila sudah menggunakan salib, tidak perlu lagi


memakai klerikal kolar (clerical collar), begitu sebaliknya.
Keduanya, baik salib maupun klerikal kolar tidak
digunakan pada waktu yang bersamaan dalam kegiatan
ekumenis.

Design, ukuran dan warna dirancang sama dan


dikeluarkan resmi oleh Majelis Sinode.

Tali pinggang tidak perlu digunakan karena tidak punya


rujukan dalam tradisi Protestan.
Catatan: Dalam Tradisi Katolik, tali pinggang digunakan
antara lain oleh Ordo OFM Cap yang memiliki arti
solidaritas terhadap orang miskin. Di GPIB, penghayatan
solidaritas pada orang miskin sudah terwakili dari warna
pakaian liturgis yaitu putih, selain berarti kesederhanaan
dan kesucian.

d. Jenasah & Pendeta yang hadir dalam Ibadah Belum diatur Tradisi Reformasi menurut garis Lutheran sangat terbuka
Penglepasan. pada pendeta yang meninggal, maka ia akan dimakamkan
(Pakaian apa yang dipakaikan kepada bersama dengan pakaian jabatannya itu. Hal ini tidak
Jenasah Pendeta -baik yang masih aktif perlu mengherankan karena Luther sendiri masih banyak
maupun yang sudah emeritus – ketika mempertahankan praktek gereja pertengahan, di mana ia
dimasukkan ke dalam peti?) sendiri menjadi bagian dari rohaniawan Katolik.

Pengenaan pakaian liturgis pada jenazah pendeta,


sesungguhnya tidak sekadar memperlihatkan rasa hormat
kepada manusia, tetapi mewakili sebuah spiritualitas
jabatan. Kalau boleh meminjam, spiritualitas ini persis
yang Abineno katakan, “tiap-tiap orang, yang mau
memangku ‘jabatan gerejawi’, harus ditahbis dalam
3
-RANDAS TATA IBADAH GPIB-

‘pakaian jabatan’ itu”.

Berarti, ketika ia kembali ke Sang Pemberi Tugas, Allah,


maka ia dimakamkan bersama pakaiannya itu.

Bagi gereja-gereja Protestan beraliran Calvinis,


khususnya yang melembaga dalam Gereja Hervormd, dan
pasca kemerdekaan Belanda dari Spanyol, dan akhirnya
gereja menjadi “gereja negara”, maka para pejabatnya
pun mendapat status dan hak sebagai pejabat negara.
Dalam kerangka inilah para pendeta mendapat alat
kelengkapan seperti pakaian hingga penghormatan.
Penghormatan ini bahkan diterima hingga kematian,
sehingga jenazah para pendeta pun mendapat
penghormatan dengan pakaiannya.
Jenasah dipakaikan toga putih berikut stola sesuai tahun
gereja yang berjalan.

Sejalan dengan itu, kehadiran rekan pendeta dalam


ibadah penglepasan itu dapat menggunakan baniang-
collar.
Pengusungan peti jenasah dilakukan oleh rekan pendeta
sepanjang situsi dan kondisi memungkinkan.
e. Melayankan Sakramen Perjamuan di luar Belum Diatur Berkaitan dengan persoalan yang ditemui di lingkup
Gedung Gereja jemaat khususnya Pos Pelkes, Gereja di ruko dan
(dhi. Pelaksanaan Ibadah di Hotel atau GPIB perlu meninjau kembali keputusannya tentang sebagainya maka GPIB perlu memperluas makna liturgis
tempat umum lainnya) penggunaan toga dan stolanya yang hanya terbatas tersebut bukan pada tempat saja (sacred place), tetapi
pada Gedung Gereja yang sudah ditahbiskan serta juga orang (sacred person).
penggunaan baniang dan stola di Gedung yang belum Sehingga, ketika sebuah ibadah dilaksanakan di luar
ditahbiskan Gedung gereja dihadiri dan dilayani oleh seorang pelayan
(pelayan ibadah, dhi. diaken, penatua dan pendeta GPIB),
maka dengan sendirinya ibadah itu sah secara teologis.
Bila ibadah yang dilaksanakan adalah Ibadah sakramen,
maka makin meneguhkan fungsi kehadiran seorang
pelayan (sacred person) yang “mensakralkan”
pelaksanaan ibadah tersebut.

4
-RANDAS TATA IBADAH GPIB-

Pelaksanaan Sakramen Perjamuan dan Ibadah-ibadah


lainnya dalam Persidangan Raya/Persidangan Sinode
Tahunan/Persidangan Sinode Istimewa secara
kelembagaan menjadi sah melalui Surat Keputusan
Majelis Sinode tentang pengangkatan Panitia Pelaksana
dan Pelaksanaan Ibadah-ibadah.

Pakaian liturgis/Toga putih dapat digunakan pada saat


Pendeta melayankan Sakramen Perjamuan baik di
Rumah-rumah maupun juga di tempat terselenggaranya
acara Sinodal.
f. Baniang Buku II Hasil Ketetapan Persidangan Sinode XV Tahun Baniang laksana pakaian dinas lapangan seorang
(Dipergunakan pada saat apa saja? Serta 1990 halaman 64 sebagai berikut : Pendeta, kecuali sebagai pelaksana sumpah jabatan.
bagaimana dengan pakaian etnis?) 1. ... “Clerical colar” (bahasa Inggris=leher Modelnya masih sama dengan keputusan Persidangan
baju/kerah) biasanya dipakai oleh para “clerus” Sinode XX
yang rohaniawan Gereja Katolik. Pada mulanya
kerah itu adalah kerah biasa yang menyatu
dengan baju putih. Karena Eropa beriklim dingin
maka baju tidak perlu diganti tiap hari sebab kalau
dicuci susah dikeringkan. Untuk itu maka bagian
baju ini (kerah) dibuat terlepas agar mudah
dilepaskan untuk dicuci atau diganti. Setelah
mengalami perubahan maka muncullah bentuk
yamg sekarang ini dikenal dengan nama “clerical
collar” yang dapat dipakai di setiap tempat dan
waktu. Pakaian ini untuk membedakan para
rohaniawan dengan kaum awam.
2. Bertitik tolak dari penjelasan itu maka “pakaian jas
dan clerical collar” perlu diganti, dengan
memperhatikan persyaratan yang disebut di atas,
dan tentu saja dengan warna dasar putih. Baniang
dengan warna dasar putih ini adalah pakaian khas
Melayu yang dipergunakan oleh beberapa suku di
Indonesia. Di daerah Maluku, pakian baning ini
biasanya dipakai sebagai pakaian beribadah bagi
warga sidi Jemaat yang dilengkapi dengan kebaya
hitam. Dasar pertimbangan adalah karena

5
-RANDAS TATA IBADAH GPIB-

baniang memiliki warna dasar putih, bentuknya


sederhana serta unsur budaya setempat. Baniang
digunakan oleh Pendeta yang melaksanakan
tugas pelayanan, di luar gedung ibadah atau
pakaian dinas lapangan.

Buku II Hasil Ketetapan Persidangan Sinode XX Tahun


2015 halaman 179 sebagai berikut:
Baniang putih adalah jenis busana yang dikenal di
Indonesia Timur. Baniang putih tersebut harus dipakai
dengan ‘kebaya’ model jas hitam di bagian luar.
Kombinasi ini mesti terlihat, ketika menjadikan Baniang
sebagai pakaian liturgis bagi pendeta untuk tugas
umum.
g. Stola Buku II Hasil Ketetapan Persidangan Sinode XV Tahun Stola adalah kelengkapan pakaian liturgis bagi diaken,
1990 halaman 65 sebagai berikut: penatua dan pendeta sebagai simbol kesiapan untuk
Stola (bahasa Yunani=kain penutup badan) adalah melaksanakan tugas, dan mengungkap misteri wibawa
sepotong kain yang agak panjang seperti selendang ilahi dan rasuli.
dikalungkan di leher. Stola bukan perhiasan melainkan
bagian dari pakaian liturgis yang bersifat fungsional. Stola dengan bis emas hanya digunakan pada stola
Hal ini berarti bahwa presbiter yang sedang bertugas pendeta yang memiliki makna mulia, murni, dan abadi
sebagai pelayan liturgi yang memakai stola sedang yang menggambarkan kependetaannya.
diutus oleh Tuhan untuk pelayanan dengan
kewibawaan yang bukan berasal dari dirinya sendiri. Kata “tahbisan” dikenakan bagi pendeta, dengan
Dalam hal ini tidak ada perbedaan jabatan. kesadaran bahwa istilah “peneguhan” tidak cukup
memadai untuk menguak rahasia atau misteri proses
Buku II Hasil Ketetapan Persidangan Sinode XX Tahun pemanggilan seorang pendeta.
2015 halaman 180 sebagai berikut: Memang di satu sisi ada teologi imamat am orang
Setiap presbiter (diaken, penatua dan pendeta) yang percaya yang semangatnya kesetaraan di antara tiga
sedang bertugas sebagai pemberita firman, maupun jabatan penting gereja Calvinis, tetapi di sisi lain, bukan
pelayan liturgi mesti menggunakan stola. berarti di tradisi Calvinis tidak dikenal gagasan dari gereja
Toga dan baniang pun harus dipakai dengan stola. purba tentang primus inter pares (yang pertama di antara
Penggunaan stola oleh presbiter yang sedang yang sama; siapa itu? pendeta) yang secara jelas
bertugas mau menjelaskan bahwa ia sedang diutus membedakan panggilan lahir dan panggilan batin.
oleh Tuhan untuk suatu pelayanan dan kewibawaan
yang bukan berasal dari dirinya sendiri. Calvin sebelum diusir dari Genewa – dengan berdasar
pada model gereja sebagai persekutuan— sangat
menekankan kesetaraan para pejabat (diaken, penatua
dan pendeta). Namun, Calvin setelah kembali ke Genewa,
mengembangkan model gereja sebagai lembaga, yang

6
-RANDAS TATA IBADAH GPIB-

berhadapan dengan Dewan Kota yang bertindak keras,


arogan dan semau-maunya (baik terhadap warga dan
pendeta), menetapkan gagasan primus inter pares tadi.
Bahwa pendeta diberi otoritas sebagai Ketua Majelis yang
kedudukannya sejajar dengan Dewan Kota Genewa,
bukan sub-ordinat. Tugas terberat pendeta sebagai Ketua
Majelis adalah membela prinsip-prinsip gereja yang
sesuai dengan Injil Yesus Kristus, termasuk hak-hak
sesama pendeta dan warga jemaat yang adalah warga
kota Genewa berhadapan dengan Dewan Kota yang
terdiri dari para penatua dan diaken. Dalam konteks ini,
pemanggilan pendeta bisa meliputi peneguhan dan
penahbisan.

 Sebagai tahbisan karena yang memendetakan


adalah Sinode, bukan Jemaat.
 Sebagai peneguhan karena pendeta ditempatkan
secara bergilir melalui proses mutasi di jemaat-
jemaat.

Penting dipahami bahwa eklesiologi persekutuan dan


eklesiologi lembaga adalah dua hal yang hidup dalam
jatidiri Calvinis.
Sehingga, baik jemaat dan sinode (karena menjalankan
fungsi gerejawi) sama-sama dapat disebut gereja.

Terkait dengan usaha mengontekstualisasikan stola


diaken, penatua dan pendeta, maka perlu pada stola
tersebut dirancang sedemikian rupa dengan
mengakomodir warna liturgis (pada satu sisi) dan
keindahan kain-kain tenun, batik nusantara (pada sisi lain,
di sisi yang ada logo GPIB).

1.2. Pendeta Non GPIB Toga dan Stola Sudah pernah dikeluarkan oleh Majelis Sinode sebuah Pendeta non-GPIB yang melayani di GPIB menggunakan
surat yang menyerukan agar para Pendeta Non GPIB pakaian jabatan/liturgis dan stola dari asal Gereja yang
tetap menggunakan kelengkapan pakaian liturgisnya mentahbiskan/meneguhkannya.
sesuai asal Gereja yang mentahbiskannya. Hal ini di dasarkan pada semangat ekumenis di Indonesia
dalam dokumen/piagam saling mengakui dan saling
menerima (PSMSM).

7
-RANDAS TATA IBADAH GPIB-

Apabila melayani pada Ibadah selain Ibadah Hari Minggu,


stola yang dikenakannya adalah stola yang berasal dari
Gerejanya. Bukan mengenakan stola GPIB.

Pendeta GPIB wajib menggunakan pakaian


jabatan/liturgis. Sehingga ketika mereka berada di
wilayah gereja-gereja saudara atau seazas yang meminta
pendeta GPIB melayani dalam ibadah hari minggu, maka
sudah sepatutnya sebagai pendeta GPIB tetap
menggunakan stola sesuai tahun gerejawi dan pakaian
liturgis GPIB.

1.3. Diaken & Penatua Pakaian yang dikenakan pada peristiwa Buku II Hasil Ketetapan Persidangan Sinode XX Tahun Penentuan pakaian liturgis untuk diaken dan penatua
khusus 2015 halaman 181 sebagai berikut: harus mempertimbangkan tradisi setempat dan kekayaan
(perlu penegasan penjelasan tertulis) Ada kecenderungan para presbiter lain (diaken dan budaya Indonesia. Dalam hal ini perlu diangkat kekayaan
penatua) untuk menggunakan seragam dalam corak dan jenis kain tradisional/daerah misalnya: kain
pelayanan di dalam maupun di luar gedung gereja. tenun berbagai macam daerah dan batik serta model
Memang, tidak ada ketentuan bagi diaken dan penatua baniang dan kebaya yang dikenakan dengan stola.
untuk memeiliki pakaian khusus, baik di dalam maupun
di luar gedung gereja, seperti ibadah keluarga atau
ibadah kategorial.
Namun, jika dirasa perlu untuk menyeragamkan
pakaian liturgis seperti baniang bagi diaken dan
penatua dalam pelayanan ibadah di gedung gereja,
maka hal ini dapat dibijaki oleh Majelis Jemaat
setempat.
Sedangkan untuk pelayanan ibadah di luar gedung
gereja menggunakan pakaian lengan panjang dengan
stola baik (diaken, penatua) laki-laki maupun
perempuan

Diaken dan Penatua bertugas memakai pakaian


sesuai Peraturan Pelaksanaan Majelis Jemaat. (Buku
II (2015), hal 184)

1.4 Calon a. Pakaian liturgis dikenakan sebelum Belum diatur Seseorang yang ditahbiskan dalam jabatan gerejawi
PF&S/Pendeta memasuki ruang ibadah atau dikenakan tertentu, maka harus ditahbis (= diteguhkan) dalam
pada saat unsur pentahbisan di dalam ruang ‘pakaian jabatan’ itu”. Bahwa kata “dalam” mengandung
ibadah. dua pengertian.
Pertama, pada saat prosesi ibadah penahbisan atau

8
-RANDAS TATA IBADAH GPIB-

peneguhan itu dilangsungkan, maka seseorang yang akan


memangku jabatan gerejawi tersebut sudah mengenakan
pakaian jabatannya.
Logika ini sejalan dengan formulasi tata ibadah
peneguhan pendeta. Dikatakan: “Saudara […] terimalah
stola ini sebagai tanda pengesahan dan pengakuan
terhadap wibawa ilahi yang melekat pada jabatan saudara
dalam gereja Tuhan”. Pada waktu pengenaan stola,
diandaikan calon pendeta tersebut sudah mengenakan
pakaian liturgis/toga putih.

Kedua, selama ibadah itu berlangsung pakaian jabatan


tersebut melekat pada orang yang akan ditahbiskan.

Hasil buku Ungu hasil PS XV di Ujung Pandang, yang


mengutip catatan sejarah gereja, bahwa dahulu bila
seorang budak hendak dibaptis, ia memakai pakaian putih
panjang, yang bermakna bahwa semua orang yang
dibaptis dipersekutukan/dipersatukan dalam tanda kain
baptisan itu.

Oleh sebab itu, calon PF&S/Pendeta sudah memakai toga


putih mulai keluar dari konsistori memasuki gedung
ibadah.
Toga adalah pakaian liturgis dan sudah dipakai sejak dari
konsistori, maka harus ada seremoni pengenaan toga di
konsistori. Seremoni ini bersamaan waktunya dengan
penandatanganan surat perjanjian (dalam gereja
Hervormd disebut “janji kesetiaan” untuk
mempertahankan iman Protestan di manapun ia
ditempatkan) antara calon pendeta dihadapan pejabat
lembaga tersebut di ruang Konsistori sebelum persiapan
ibadah dilaksanakan.

b. Siapa pemberi kewenangan pengenaaan Belum ada penjelasannya Toga dan stola diberikan oleh gereja (bukan oleh orang
pakaian liturgis/toga putih kepada para calon tua) sebagai yang menahbiskannya dan dikenakan juga
PF&S/Pendeta oleh gereja (pejabat lembaga atau yang mewakilinya).

Penjelasan teknis tentang ini akan dimasukkan dalam tata


ibadah penahbisan bagian persiapan.

9
-RANDAS TATA IBADAH GPIB-

Oleh karena yang memberikan toga adalah gereja, maka


sangat wajar bahwa proses pengadaan calon pendeta
yang sudah dikerjakan oleh Majelis Sinode, serta
penahbisannya pun oleh Sinode. Seperti yang sudah
dilakukan sekarang ini oleh salah seorang pejabat sinode,
di sebuah jemaat tertentu dan juga atas keputusan
sinode. Sehingga hal itu memungkinkan ditahbiskan di
dalam sebuah persidangan sinode melalui representasi
kehadiran seluruh jemaat GPIB yang dilaksanakan oleh
Majelis Sinode. Kotbah sulung pendeta akan dilaksanakan
1 minggu setelah penahbisan di jemaat pelatihan terakhir.

Dasar pelaksanaannya adalah eklesiologi Calvin tentang


model gereja sebagai persekutuan (tubuh Kristus), apalagi
model gereja sebagai lembaga (yang melakukan proses
pemanggilan hingga pemendetaan seorang pendeta di
GPIB).
1.5. Pelayan PA & PT Pakaian liturgis saat mengajar/memberitakan Belum diatur. Perlu pengkajian lebih lanjut.
Firman kepada Warga Jemaat dhi. anak- Penjelasan hanya untuk pakaian resmi serta harian
anak dan teruna dan emblem berupa logo dari masing-masing Dalam catatan sejarah, sebagai bagian dari negara
Pelayanan Kategorial (“gereja negara”), organ-organ pelayanan diusahakan
diadakan seperti mempersiapkan para pejabat negara.
Yang sedikit berbeda adalah para calon guru sekolah. Di
konteks “gereja negara” adalah juga “gereja rakyat”, maka
para guru sekolah sekaligus juga guru agama, seringkali
juga adalah guru Sekolah Minggu. Mereka wajib
menandatangani Katekismus Heidelberg, Pengakuan
Iman Belanda dan Pasal-pasal Dordrecht.

Upacara penandatanganan inilah (lihat catatan surat


perjanjian calon pendeta) yang membedakan para calon
guru ini dengan organ-organ pelayanan lainnya. Para guru
sekolah ini disebut pelayan dalam arti penuh, karena
kepada mereka diberi mandat mengajarkan iman dan
pokok-pokok ajaran resmi gereja. Kepenuhan mereka
nampak saat mereka tidak hanya diperkenalkan di jemaat,
tetapi juga diteguhkan, sebagai simbolisasi masuk ke
dalam kawanan gembala untuk membimbing umat (anak-
anak). Sementara organ-organ pelayanan lainnya,

10
-RANDAS TATA IBADAH GPIB-

termasuk pemeriksa perbendaharaan gereja, kepanitiaan


dan badan-badan pelayanan hanya dilantik dan
diperkenalkan di depan jemaat. Ketika gerakan Pietisme
semakin berpengaruh di gereja-gereja Lutheran dan
Calvinis, persyaratan kepada mereka semakin diperketat,
antara lain keharusan seseorang sudah lahir baru, dan
tidak cukup pengetahuan iman tetapi juga penghayatan
iman. Di GPIB, praktik pelantikan, perkenalan, peneguhan
tidak lepas dari auchtoritas (otoritas) gereja yang
menetapkan organ-organ pelayanan itu diadakan, dengan
seremoni diteguhkan, atau cukup diperkenalkan atau
dilantik
1.6. Stola PELKAT Pengurus PELKAT dan Pelayan PA dan PT Belum diatur Mengingat para Pengurus PELKAT maupun Pelayan
pada saat melayankan Pemberitaan Firman PA/PT juga sebagai pelayan liturgis dalam ibadah-ibadah
ataupun mengajar perlukah menggunakan PELKAT maka seyogyanya juga mengenakan stola
pakaian liturgis sama seperti diaken maupun sebagai simbol bahwa yang bersangkutan sedang diutus
penatua saat bertugas dalam ibadah- oleh Tuhan untuk suatu pelayanan dengan kewibawaan
ibadah? yang bukan berasal dari dirinya sendiri.

Bentuk stola akan dirancang khusus dengan warna dari


masing-masing PELKAT dengan simbol Logo GPIB dan
Logo masing-masing PELKAT serta nuansa berbagai
corak kain daerah Indonesia.
2 Peneguhan/Pelantikan/Perkenalan Pengurus dan Anggota Unit-unit Misioner di lingkup Jemaat maupun di lingkup Sinodal
2.1 Penggunaan Istilah Peneguhan, Pelantikan, Perkenalan dalam Di GPIB, praktik pelantikan, perkenalan, peneguhan tidak
Ibadah kepada siapa dan oleh siapa. lepas dari auchtoritas (otoritas) gereja yang menetapkan
organ-organ pelayanan itu diadakan, dengan seremoni
diteguhkan, atau cukup diperkenalkan atau dilantik.

2.2 Pelayanan Pelayan Anak dan Pelayan Teruna, Buku II Hasil Ketetapan Persidangan Sinode XX Tahun Praktik GPIB terhadap pelayan dan pengurus Pelkat
Kategorial Para Pengurus Pelayanan Anak, 2015 halaman 103- 107 sebagai berikut: (khususnya PA dan PT), komisi dan departemen,
Persekutuan Teruna, Gerakan Pemuda, Peneguhan dilakukan untuk Pengurus Pelayanan termasuk BPPJ dan BPPG serta BPMS sesungguhnya
Persekutuan Kaum Perempuan, Kategorial dan Pelayan Pelayanan Anak dan dapat diusut jauh ke belakang pada praktik gereja
Persekutuan Kaum Bapak dan Persekutuan Persekutuan Teruna Hervormd di Belanda. Sebagai bagian dari negara
Kaum Lanjut Usia (“gereja negara”), organ-organ pelayanan diusahakan
diadakan seperti mempersiapkan para pejabat negara.
Yang sedikit berbeda adalah para calon guru sekolah. Di
konteks “gereja negara” adalah juga “gereja rakyat”, maka
para guru sekolah sekaligus juga guru agama, seringkali

11
-RANDAS TATA IBADAH GPIB-

juga adalah guru Sekolah Minggu. Mereka wajib


menandatangani Katekismus Heidelberg, Pengakuan
Iman Belanda dan Pasal-pasal Dordrecht.
Upacara penandatanganan inilah (lihat catatan surat
perjanjian calon pendeta) yang membedakan para calon
guru ini dengan organ-organ pelayanan lainnya.
Para guru sekolah ini disebut pelayan dalam arti penuh,
karena kepada mereka diberi mandat mengajarkan iman
dan pokok-pokok ajaran resmi gereja. Kepenuhan mereka
nampak saat mereka tidak hanya diperkenalkan di jemaat,
tetapi juga diteguhkan, sebagai simbolisasi masuk ke
dalam kawanan gembala untuk membimbing umat (anak-
anak).
2.3 Pengurus Unit-unit Komisi di lingkup Jemaat & Belum diatur tegas Organ-organ ini termasuk pemeriksa perbendaharaan
Misioner lainnya. Departemen di lingkup Sinodal, BPPJ, Masih dibutuhkan formulasi kata-kata dalam Tata gereja, kepanitiaan dan badan-badan pelayanan hanya
BPPG, BPMS Ibadah. dilantik dan diperkenalkan di depan jemaat.

(Pelantikan atau perkenalan


Rumpun dan Unsur di mana)

3 PERKAWINAN
3.1 Tempat Perkawinan Pelaksanaan Pemberkatan dan Peneguhan Belum diatur tegas. Mengenai tempat pelaksanaan Peneguhan dan
Perkawinan selain di dalam Gedung Gereja Pemberkatan Perkawinan: Bagi Calvin, perkawinan
dapatkah dilaksanakan di luar Gedung adalah ketetapan Illahi, tetapi sifatnya tetap sosial,
Gereja. sehingga tidak tepat jika menyebutnya sakramen.
Misalnya, Di tempat-tempat wisata yang Bagi Calvin, perkawinan pertama-tama adalah urusan
dapat disewa, dlsb. Pemerintah dan Gereja menjadi penasihat, dalam hal ini
Bagaimana pelaksanaan dan pemberkatan memberkati dalam Ibadah gereja  (bisa dilaksanakan hari
Perkawinan bagi Jemaat-jemaat yang di biasa atau hari Minggu tapi bukan dalam Ibadah yang di
Ruko (Rumah Toko)? dalamnya dilaksanakan Perjamuan Kudus).
Jadi apabila selama ini GPIB dapat melaksanakan
Ibadah peneguhan dan pemberkatan Sakramen Perjamuan di tempat yang belum ditahbiskan
Perkawinan itu bukan sakramen.  Lalu (mis: hotel, pada saat PS/PST) maka tentu Ibadah
mengapa dibatasi tempatnya hanya di Peneguhan dan Pemberkatan Perkawinan dapat
Gereja, mengapa tidak diantisipasi untuk dilaksanakan di luar gedung gereja namun tentu dalam
warga jemaat yang ingin kawin di luar pelaksanaannya tetap dalam kelengkapan unsur
gedung Gereja? Sehingga Gereja pelayanan dalam ibadah.
denominasi lainnya yang mengambil alih
pelaksanaan peneguhan dan pemberkatan
perkawinan terhadap warga jemaatnya

12
-RANDAS TATA IBADAH GPIB-

karena GPIB tidak mengantisipasinya?


3.2 Penumpangan a. Bagi Pendeta GPIB dalam ibadah pada Belum diatur
Tangan oleh denominasi lainnya
Pendeta b. Bagi Pendeta Non GPIB/Pastor dari Gereja Belum diatur
Katolik
3.3 Berdoa di depan Bagaimana sikap yang harus diambil atau Belum diatur Berdoa di depan patung Bunda Maria pada saat
Patung Bunda Maria apa saja yang harus dilakukan apabila perkawinan Katolik dapat dimaknai sebagai perayaan
pengantin perempuan yang berasal dari bukan keterpakasaan/pemaksaan.
GPIB melaksanakan perkawinan di Gereja
Katolik?

4 TATA IBADAH & SIKAP BERIBADAH


4.1 Mars / Hymne Kapan Nyanyian tersebut dilantunkan, Belum diatur.
PELKAT-PELKAT apakah sebelum atau sesudah Ibadah Perlu dibedakan dengan tegas pengertian antara mars Mars atau sering disebut Marcia merupakan bentuk
GPIB PELKAT? dan hymne sehingga penempatannya dan nyanyian yang biasanya digunakan untuk mengiringi
Di mana nyanyian tersebut dilantunkan, pemaknaannya baik sebelum atau sesudah maupun di parade atau prosesi. Karena bentuk dan iramanya, maka
pada ibadah rutin atau ibadah khusus? dalam ibadah yang berlangsung. nyanyian mars menjadi sebuah nyanyian yang
cenderung bersifat memberi semangat, riang dan
menghentak-hentak.
Sementara Hymne atau gita puja menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI) adalah sejenis nyanyian
pujaan, biasanya pujaan ditujukan untuk Tuhan atau
sesuatu yang dimuliakan. Selain sebagai pujaan hymne
juga sebagai bentuk lagu untuk mendoakan, memberi
kesan agung, atau pun rasa syukur yang disampaikan
dalam bentuk lagu. Hymne juga diartikan sebagai puisi
yang dinyanyikan.

Atas dasar hal tersebut, maka nyanyian mars PELKAT


dinyanyikan sebelum Ibadah PELKAT dimulai sebagai
pemberi semangat dan menghidupkan suasana untuk
beribadah. Hal ini juga hendak menunjukkan ciri khas
kategorial dalam persekutuan. Setelahnya umat
memasuki saat teduh beberapa saat lamanya untuk
mempersiapkan diri memulai ibadah.

13
-RANDAS TATA IBADAH GPIB-

Demikian halnya dengan hymne dapat dinyanyikan baik


sebelum dan di dalam ibadah (sebagaimana nyanyian
Pelkat PKLU yang telah masuk dalam nyanyian di buku
Gita Bakti GPIB).

Pelaksanaannya dilakukan untuk setiap kali ibadah


PELKAT hendak dimulai baik di lingkup Jemaat maupun
di lingkup Sinodal.

4.2 Peneguhan/Pelantika Setelah pemilihan pengurus & anggota Unit- Buku II Hasil Ketetapan Persidangan Sinode XX Pengurus PELKAT dan Pelayan PA&PT GPIB/Dewan
n & Perkenalan unit Misioner lingkup Jemaat (PELKAT, Tahun 2015 halaman 102 - 107 sebagai berikut: PELKATdilaksanakan
Komisi dan Tim Kerja/Panitia termasuk ... Peneguhan/pengukuhan/pelantikan, namun demikian
BPPJ) dan lingkup Sinodal (Departemen, masih perlu peninjauan lebih dalam lagi mengenai
Yayasan, Panitia-panitia, termasuk BPPG rumusan peneguhannya. Sebaiknya sudah dibuatkan
dan BPMS, dlsb.) ketika di dalam ibadah formulasi kata-katanya.
Hari Minggu belum jelas rumusannya
apakah peneguhan, pelantikan atau Khusus Departemen, Yayasan, Panitia Pelaksana, BPPG
perkenalan? dan BPMS di lingkup Sinodal serta Komisi, Tim
Kerja/Panitia Pelaksana , BPPJ,dlsb dilaksanakan
perkenalan di dalam Ibadah Hari Minggu di tengah-
tengah Jemaat atau di salah satu Jemaat (khusus lingkup
sinodal), pada rumpun Pengutusan. Rumusan unsur
maupun formulasikata-katanya sudah harus
dibuatkan/dikerjakan.

4.3 Ibadah Emeritus a. Masih belum tegasnya rumusan unsur Buku II Hasil Ketetapan Persidangan Sinode XX Akan dibuatkan formulasi kata-katanya yang merujuk
Pendeta ibadah dan formulasi kata-kata saat Tahun 2015 halaman 110-112. kepada Tata Gereja GPIB.
penetapan & penjelasan antara
kepegawaian dan kependetaan para
Pendeta GPIB
b. Penumpangan Tangan Belum ada kejelasan Penumpangan tangan tetap dipertahankan.
Penumpangan tangan menunjuk pada tradisi gereja yang
hidup yang sudah ada sejak gereja mula-mula dan tetap

14
-RANDAS TATA IBADAH GPIB-

hidup di GPIB.
Maknanya untuk meneguhkan fungsi kegembalaannya
yang tidak hilang walaupun ditetapkan emeritus (diakhiri
kepegawaiannya).
Emeritus juga dimaknai sebagai syukur dan sukacita
iman tentang kasih setia Tuhan yang tak berkesudahan.
Di dalamnya tidak ada pencopotan stola (karena stola
bukan menandai kepegawaiannya, tetapi kependetaan
seorang pendeta, yang tidak berakhir setelah emeritus).
Penumpangan tangan oleh para Pelayan Firman &
Sakramen GPIB

4.4 Unsur Budaya Maraknya Jemaat-jemaat melangsungkan Belum ada Pembaruan liturgis dibutuhkan dalam rangka melepaskan
Ibadah Hari Minggu dalam rangka diri dari tradisi Barat, khususnya Belanda dalam Tata
peristiwa/perayaan khusus dengan Ibadah. Oleh karenanya, GPIB perlu membuat
memasukkan nyanyian lagam daerah, musik “eksperimen” (istilah Maitimoe) berupa tata ibadah2 yang
tradisional termasuk mengenakan pakaian berbasis pengalaman kebudayaan seperti ibadah panen,
daerah. ibadah berkat benih, ibadah syukur buah, dll. Harapannya
dalam tata ibadah2 tersebut tercermin kesadaran ekologi
dalam gerakan iman gereja-gereja dunia untuk keutuhan
ciptaan (integrity of creation).
Tata ibadah-tata ibadah tersebut tetap berbasis pada 3
sumber berteologi GPIB yakni,
 tradisi Biblis,
 tradisi sistematis berupa teologi GPIB,
 tradisi setempat

Dewasa ini, masyarakat adat di Indonesia, sangatlah


kaya akan ke-aneka-annya yang melampaui konversi
menjadi apresiatif dan dialogis. Masyarakat adat tersebut
sangat dekat dengan kebudayaan, termasuk alam dan
sumber dayanya. Mereka hidup bagaikan saudara-
saudara alam, yang di situ memperlihatkan penghayatan
hidup yang inter-dependensi. Sebuah harapan ke depan
adalah membangun jembatan2 teologis dalam semangat
ekumenis –oikos sebagai dunia yang didiami bersama—
lewat tata ibadah-tata ibadah yang berbasis kebudayaan
15
-RANDAS TATA IBADAH GPIB-

itu.
Pada peristiwa khusus dalam Jemaat setempat dapat
mengadakan ibadah eksperensial baik oleh anggota
Jemaat sendiri maupun melibatkan masyarakat setempat.
Penggunaan pakaian daerah sedapatnya tidak
memberatkan warga jemaat untuk mengenakannya.
Perlu kebijakan setempat juga dengan penggunaan alat-
alat musik tradisional, sehingga menghindarkan diri dari
latar belakang sejarah yang bersifat magis.

4.5 Ibadah-ibadah Siklus Masih rancunya pelaksanaan Hari Doa Buku II Hasil Ketetapan Persidangan Sinode XX Ibadah Rabu Abu sejatinya harus diletakkan dalam
Paskah dhi. Hari Doa GPIB dengan Ibadah Rabu Abu? Tahun 2015 halaman 24-25 tentang Rabu Abu kerangka eklesiologi transdenominasional, yang
GPIB-Rabu Abu Bagaimana dengan Tata Ibadahnya yang di menunjukkan afirmasi atas gerakan ekumenis di mana
dalamnya ada unsur penorehan abu di Rabu Abu yang menjadi kekayaan tradisi Gereja Katolik
kening/dahi seseorang oleh para Pelayan dan Gereja Ortodoks, kini menjadi milik semua tradisi
Ibadah? gereja yang lain, termasuk yang berlatar Lutheran,
Revormed (Calvinis), Baptis, Methodis, dan Evangelikal.
Maknanya adalah berpartisipasi dalam ingatan
penderitaan Kristus dan membangun solidaritas pada
penderitaan dunia. Basis dari Ibadah Rabu Abu adalah
teologi salib.
Penamaan Ibadah hari Rabu dalam siklus Paskah tetap
menjadi Hari Doa GPIB sesuai ketetapan sebelumnya,
hanya unsur ibadahnya dimasukkan penorehan
abu/unsur lainnya seperti arang di kening/dahi dan
formulasi rumusan kalimat/kata-kata akan dibuatkan
kemudian. Ibadah Hari Doa GPIB ini menjadi hal yang
wajib dilaksanakan oleh seluruh Jemaat GPIB.

5 SAKRAMEN
5.1 Sakramen Baptisan a. Bapak – Ibu Serani Belum diatur. Hal ini mengingat di beberapa budaya Gagasan Calvin bahwa keabsahan baptisan anak-anak
merupakan kewajiban untuk menghadirkan Bapak-Ibu terletak dalam perjanjian anugerah antara Allah dan
Serani. gereja. Melalui baptisan anak-anak, iman para orang tua
diperkuat. Akan tetapi juga untuk anak-anak sendiri
baptisan sangat berguna. Penting bagi mereka untuk

16
-RANDAS TATA IBADAH GPIB-

sedini mungkin dimasukkan dalam persekutuan gereja,


karena dengan demikian iman mereka dapat dibina sejak
awal.
Apabila orang tuanya (ayah maupun ibunya atau salah
satunya) berhalangan hadir maka, orang-orang lain dapat
membawa anak itu juga untuk dibaptis.
Anak-anak dari orang tua yang dikenakan disiplin gereja,
yang belum anggota sidi gerejaatau yang masih anggota
Gereja Katolik Roma dan agama lainnya, semua dapat
dibaptis sebagai anggota perjanjian anugerah, asal ada
saksi-saksi yang bersedia bertanggung jawab atas
pendidikan iman. Saksi-saksi (atau bapak-ibu serani)
seharusnya anggota sidi gereja Protestan. Kebiasaan
saksi-saksi baptisan yang berasal dari zaman gereja
kuno, gereja abad pertengahan dan Calvin juga
menerima kebiasaan ini. Namun hal ini bukan merupakan
keharusan apabila orang tua kandungnya sendiri yang
hadir dalam ibadah hari minggu yang di dalamnya
dilayankan Sakramen Baptisan.
b. Pelaksanaan Baptisan kepada anak yang Belum ada penjelasan yang tertulis. Baptisan menurut Calvin “adalah tanda bahwa kita
sakit atau yang sedang sekarat. diterima masuk dalam persekutuan gereja”.
Dalam definisi ini baptisan pertama-aema dihubungkan
dengan keanggotaan gereja.
Konsekuensi dari ikatan baptisan dengan keanggotaan
gereja bagi Calvin adalah bahwa pelayanan baptisan
harus terjadi di dalam kebaktian jemaat oleh pejabat yang
ditentukan oleh gereja, yaitu pendeta. Karena tekanan
pada corak gerejawi baptisan dan penolakan terhadap
pemahaman bahwa baptisan sendiri menyucikan orang
percaya, maka Calvin tegas menolak “baptisan darurat”,
yaitu pelayanan baptisan kepada anak yang terancam
maut, dan bisa dilayankan oleh siapa saja (bidan, warga
gereja lainnya yang bukan pendeta).
Namun, kalau baptisan merupakan tindakan pengakuan;
demikian baptisan dilihat sebagai tanda pengampunan
dosa dan kelahiran kembali, serta menandai bahwa orang
percaya ikut serta dalam kematian dan kebangkitan
Kristus dan menjadi satu dengan Dia, maka Calvin bisa
menerima pengecualian itu. Dalam keadaan darurat,
seseorang (anak) dibaptis (termasuk di rumah pribadi)

17
-RANDAS TATA IBADAH GPIB-

karena baptisan perlu untuk keselamatan. Berdasar apa


diselamatkan? Berdasar iman orang tuanya. Bahkan
Calvin menjelaskan bahwa keselamatan anak yang
meninggal sebelum dibaptis tidak perlu diragukan.
Keselamatan itu terjamin karena janji Allah bahwa Ia
menjadi Allah orang percaya dan keturunannya. Dalam
janji ini terkandung janji bahwa anak-anak yang baru lahir
sudah menjadi anak Allah. Itulah dasar keselamatan
mereka dan bukan air baptisan, seakan-akan
keselamatan manusia tergantung dari air.

5.2 Sakramen Perjamuan a. Penutup alat-alat Sakramen. Selain Ibadah Belum ada penjelasan sehingga keseragaman tidak Memang tradisi tidak memberi penjelasan tentang ini.
Sakramen Perjamuan tidak ada penutup ada. Namun, referensinya mungkin harus dibawa ke era
kain atas alat-alat Perjamuan, sementara gereja VOC dan Hindia Belanda yang masih berlatar
saat ibadah Sakramen di manapun sering belakang pietisme (gerakan kesalehan). Latar pietisme
ditutup oleh kain atau tissue. inilah yang kemudian berada di belakang kebiasaan
Apakah perlu alat-alat sakramen diberi memperlakukan roti dan anggur perjamuan sebagai
penutup seperti kain, bahkan di beberapa makanan dan minuman yang sakral, bahkan sisa-sisa
kasus ditutup oleh kertas tissue? Katolik masih tersimpan dengan melihat keduanya
sebagai “barang” magis. Karena sakral, maka diberi
perhatian sangat hati-hati demi rasa hormat. Ketika roti
dan anggur itu dibawa dari pastori ke gereja didahului
dengan doa dan ditudungi atau ditutup dengan kain putih.
Hingga di dalam gereja, tudung atau tutup kain putih itu
tidak dilepaskan tetapi dipertahankan.
Kebiasaan ini lalu menjadi tradisi yang diteruskan
sehingga tanpa sadar menjadi bagian dari aturan
gerejawi.

Jika kita akan meninjau ulang tradisi ini, maka dasarnya


adalah teologi perjamuan itu sendiri. Bahwa perjamuan
kudus adalah firman yang kelihatan, seperti kata
Augustinus dan diikuti oleh para reformator. Karena harus

18
-RANDAS TATA IBADAH GPIB-

dapat dilihat (roti dan cawan), maka buat apa diberi


penutup.

Tetapi penting pula untuk mempertimbangkan aspek


kebersihan yang juga penting dalam iman. Bukankah
munculnya kebiasaan memberikan gelas kecil dengan
anggur (sloki), yang pertama kali dimulai di Inggris, juga
dilatarbelakangi oleh pertimbangan higienis?

b. Tata Letak Meja Perjamuan Kudus pada Belum diatur seragam. Calvin mendorong bahwa sebaiknya perjamuan kudus
Ibadah Hari Jum’at Agung. diberi bentuk upacara makan bersama dengan meja yang
dikelilingi kursi-kursi supaya para peserta dapat duduk
Saat Meja perjamuan dibentuk salib, maka melingkar seperti salib.
alat-alat perjamuan dipindahkan di atasnya, Pengecualian terjadi di jemaat-jemaat Calvinis yang
namun seringkali meja perjamuan berikut menjadi pengungsi (imigran) –ketika penghambatan
alat-alat perjamuan masih diletakkan di terhadap jemaat-jemaat Protestan terjadi— mereka
depan mimbar sehingga terkesan merayakan perjamuan kudus sambil duduk di tempat
ganda/doule di belakang Pendeta berdiri masing-masing. Begitulah pada abad ke-20 sebagai
dan yang di depan Pendeta berdiri. pengaruh gerakan pembaruan liturgis di Belanda, timbul
bentuk-bentuk baru dengan alasan-alasan praktis dan
teologis liturgis. Antara lain penggantian materi roti dan
anggur, perjamuan ekumenis bersama gereja lain.
Namun, perjamuan meja didorong oleh dokumen BEM
(Baptism, Eucharist and Ministry) untuk dilakukan
sesering mungkin (walaupun secara praktis di GPIB
dipraktikkan sekali saja), yang mengangkat spiritualitas
ekumenis gereja di sepanjang abad tentang duduk
makan pada perjamuan sorgawi bersama Anak Domba
Allah.
Selain Ibadah Jum’at Agung meja perjamuannya
menggunakan meja perjamuan di depan mimbar seperti
biasanya dan diletakkan alat-alat sakramen perjamuan
yang sudah diisi (roti dan anggur). Atau diganti dengan
meja yang lebih panjang dan lebar untuk menampung
tempat roti dan cawan minuman yang banyak di atas
meja.
Jika Ibadah Jum’at Agung, apabila meja perjamuan yang
diperluas dan alat-alat sakramen perjamuan di letakkan di
atasnya maka, tidak perlu ada meja lainnya yang ada di
di antara seorang Pelayan Firman dan Sakramen dan

19
-RANDAS TATA IBADAH GPIB-

letak mimbar.
C Sursum Coda Peletakkan unsur yang menjadi berbeda makna Satu hal lagi yang sudah kabur dalam praktik ibadah
. Perjamuan Kudus di GPIB adalah hakikat Perjamuan
Kudus menurut Calvin pada ungkapan “sursum corda”
(angkatlah hatimu, ke ataslah hati), yaitu undangan untuk
mengarahkan hati kepada Kristus di surga supaya dalam
roti dan anggur perjamuan diterima roti dan anggur surga
yang sesungguhnya.
Gagasan “sursum corda” penting bagi Calvin, karena
bukan Kristus yang turun ke bawah, tetapi kita yang naik
ke atas. “Sursum corda” penting bagi Calvin, karena
menjadi dasar ajarannya mengenai Perjamuan Kudus.
Karena “sursum corda” yang adalah bagian dari
pendahuluan doa syukur agung maka, apabila ini
dikeluarkan maka akan Sakramen Perjamuan menjadi
kehilangan makna sakramennya dan hanya merupakan
perjamuan kasih biasa.
Formulasi Tata Ibadah Sakramen Perjamuan Jumat
Agung pelaksanaannya harus sama di semua tempat
termasuk di pos Pelkes atau gedung lainnya dan
perjamuan di hari minggu.
Formula John Calvin Formula GPIB Tata
Ibadah Sakramen
Perjamuan Kudus Jumat
Agung
Penjelasan Penjelasan
Pengarahan Hati Doa Syukur Agung
(Sursum Corda) (hingga Doa Bapa Kami)
Doa Syukur Agung Pengakuan Iman Nice
(hingga Doa Bapa Kami) Konstantinopel
Pengakuan Iman Nicea Nyanyian Jemaat
Konstantinopel
Nyanyian Jemaat Pengarahan Hati
(Sursum Corda)
Undangan Undangan
Jamuan Jamuan

Oleh karenanya formulasinya dikembalikan seperti tradisi


20
-RANDAS TATA IBADAH GPIB-

Gerejanya.

RANCANGAN KERJA
1. Berkaitan dengan kerangka pikir di atas, maka pertama-tama yang dilakukan oleh kelompok PANTER Sub-Tata Ibadah adalah : Inventarisasi masalah-masalah
yang muncul dalam pelaksanaan Ibadah-Ibadah di Jemaat.
2. Kedua, Pengayaan Dasar Teologis Tata Ibadah GPIB yang dapat dijadikan acuan sebagai awal kerja membangun kerangka pikir Tata Ibadah diharapkan dapat
menjawab persoalan-persoalan yang muncul di jemaat dan di kalangan para Pendeta.
3. Tindak lanjut dari Pengayaan Dasar Teologis Tata Ibadah, kelompok akan mengadakan Kelompok Diskusi Perangkat Teologi agar lebih memperkaya kelompok
untuk lebih fokus pada konsep dasar teologis yang dapat menjadi pegangan pelaksanaa Ibadah-ibadah
4. Pertemuan rutin kelompok untuk melengkapi konsep dasar teologis yang sudah ditetapkan dalam Persidangan-persidangan.
5. Sebelum RANUM (Rancangan Umum) akan diturunkan ke Jemaat-jemaat akan dilaksanakan Lokakarya berkaitan dengan pengayaan dasar teologis mengenai
penjelasan-penjelasan dari Ibadah dan Tata Ibadah GPIB serta perangkat-perangkatnya.
6. Apabila di tengah pelayanan Jemaat masih ditemukan hal-hal yang menjadi pertentangan dan ketidak-sesuaian dalam praktiknya, dapat ditambahkan sebagai
usulan agar Panitia Materi dapat bekerja untuk memperlengkapinya.

Soli Deo Gloria!

kfbp-shr-mtt-ur-dlg-dk-hus-wg-ydt-stk-gmr-vth-rvm-msrth

21
-RANDAS TATA IBADAH GPIB-

22

Anda mungkin juga menyukai